Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Typhus Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan dan gangguan kesadaran.
Penyakit typhus abdominallis atau demam thypod merupakan problem atau
masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat di Negara-negara yang berkembang
seperti halnya Indonesia yang memiliki iklim tropis banyak di temukan penyakit
infeksi salah satuhnya Typhus Abdominalis yang di temukan sepanjang tahun.
Typhus abdominalis di sebabkan oleh salmonella tyhpi . Bila salmonella tyhpi
berjalan bersama makanan atau terkontaminasi, ia berserang dijaringan limfoid pada
dinding usus. Aliran limfe membawa organ ini kedalam hati dan empedu.
Penyebabnya adalah kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C,
selain demam enterik kuman ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan
makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus).
Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak, namun tidak tertutup kemungkinan
untuk orang muda/dewasa. Kuman ini terdapat didalam kotoran, urine manusia, dan juga
pada makanan dan minuman yang tercemar kuman yang dibawa oleh lalat. Dalam
masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama thypus, tetapi dalam dunia kedokteran
disebut Tyfoid fever atau thypus abdominalis, karena pada umumnya kuman menyerang
usus, maka usus bisa jadi luka, dan menyebabkan perdarahan, serta bisa pula terjadi
kebocoran usus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian thypus abdominalis?
2. Bagaimana etiologi thypus abdominalis?
3. Bagaimana patofisiologi thypus abdominalis?
4. Bagaimana Pathway thypus abdominalis?
5. Bagaimana Manifestasi thypus abdominalis?
6. Bagaimana penatalaksanaan thypus abdominalis?
7. Bagaimana membuat Asuhan keperawatan pada thypus abdominalis?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian thypus abdominalis
2. Mengetahui etiologi thypus abdominalis
3. Mengetahui patofisiologi thypus abdominalis
4. Mengetahui pathway thypus abdominalis
5. Mengetahui manifestasi thypus abdominalis
6. Mengetahui penatalaksanaan thypus abdominalis
7. Mengetahui pembuatan askep thypus abdominalis

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Demam tifoid atau thypoid fever atau thypus abdominalis merupakan penyakit
infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella
typhii, ditandai gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan
dan I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thypiia/Eberthela
Thypii yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora, hidup
baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta
mati pada suhu 700C dan antiseptik.
Salmonella mempunyai tiga macam antigen, yaitu antigen O (Ohne Hauch)
merupakan somatik antigen (tidak menyebar) ada dalam dinding sel
kuman, antigen H (Hauch, menyebar)terdapat pada flagella dan bersifat termolabil
dan antigen V1 (kapsul) merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini di manusia
akan menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
C. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman yang terkontaminasi,
setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus
(terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan
peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah
(bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati
dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit retikuloendotelial
sistem (RES) dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak.
Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke
seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh
terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan
kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus.
Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang

3
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines
yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas
vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang
mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai
tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam usus
halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang
terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum
terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila
sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.
D. Pathway

4
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteremia yang
mengakibatkan gejala toksis umum seperti letargi, sakit kepala, demam, dan
beradikardia.
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikulo endothelial,
umpanya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri diperut. Kelompok
gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan
penyakitnya.
Masa tunas biasanya 5 sampai 14 hari, tetapi dapat sampai 5 minggu. Pada kasus
ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung 4 minggu. Timbulnya
berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh
badang, letargi, dan demam. Demam ini tidak selalu khas, kadang mirip dengan
demam pada influenza .
Pada minggu pertama terdapat demam remiten* yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan
tidak jarang ditemukan epitaksis (mimisan). Hampir selalu ada rasa tidak enak
atau nyeri diperut. Konstifasi sering ada, tetapi diare juga sering ditemukan.
Kelainan maskulopapural berupa roseola berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit
perut bagian atas dan dada bagian bawah. Kelainan yang berjumlah kurang lebih
20 buah ini hanya tampak selama 2-4 hari pada minggu pertama.
Pada minggu kedua demam umumnya menetap tinggi (demam kontinu) dan
penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan sistem
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan
berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain alergi penderita
mengallami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu
ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa
membesar lunak.
Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan
menurun dan keadaan umum tampak baik.
Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang.
Kambuhan ini dapat ringan saja, tetapi dapat berat, dan mungkin terjadi dua atau
tiga kali.
Gambaran klinik yang biasa ditemukan adalah:
1. Demam

5
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat remiten dan
suhu tinggi sekali selama minggu pertama, suhu badan berangsur-angsur naik
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore
hari dan malam hari. Dalam minggu kedua pasienterus berada dalam keadaan
demam,pada minggu ketiga suhu berangsur turun dan normalkembali.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(rageden) lidah tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan,
jarang disertai tremor pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung.
Hati dan limpa membesar disertai nyeri palpasi. Biasanya sering terjadi
konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal.
3. Gangguan kesadaran umum
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berada dalam kondisi
apatis, sampa samnolen jarang terjadi stupor, koma, atau gelisah
(kecualipenyakit berat dan terlambat mendapat pengobatan). Disamping
gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan bintik-bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit, yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam,
kadang-kadang ditemukan pula bradikardi dan epistaksis (mimisan) pada anak
besar
F. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Pemberian antibiotik ; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran
kuman. Antibiotik yang dapat digunakan.
2. Kloramfenikol ; dosis hari pertama 4X250 mg, hari kedua 4X500 mg,
diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian
dosis diturunkan menjadi 4X250 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian
terakhir (Nelwan, dkk. Di RSUP Persahabatan), penggunaan klomfenikol msih
memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru
dari jenis kuinolon.
3. Ampisilin/amoksisilin ; dosis 50-150 mg/kg/BB, diberikan selama 2 minggu.
4. Kotrimoksazol ; 2X2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80
mg trimetoprim, diberikan selama dua minggu pula.

6
5. Sefalosporin generasi II dan III dapat berhasil mengatsi demam dengan baik.
Demam pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
Regimen yang dipakai adalah:

 Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari.


 Norfloksasin 2 X 400 mg/hari selama 14 hari.
 Siprofloksasin 2 X 500 mg/hari selama 6 hari.
 Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari.
 Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
 Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
a. Istirahat dan perawatan professional
Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan,
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien.
Pasien dapat kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk
mencegah dekubitus, dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil
perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

b. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suporatif).

Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun bebrapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (pantang sayur dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup
untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga
keseimbangan dan hemoestasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan
optimal.

Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan


intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi
bebrapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan.

7
Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis tidak
begitu baik pada kedua keadaan di atas.

Namun berbeda dengan pengobatan pada penderita demam tifoid yaitu untuk
wanita hamil. Tidak semua antibiotik dapat diberikan. Kloramfenikol tidak
boleh diberikan pada trimister ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan
partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan sindrom Gray pada neonatus.
Demikian pula dengan tiamfenikol yang mempunyai efek teratogenik terhadap
fetus. Namun pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat diberikan. Selain
itu, kotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh diberikan.

Antibiotik yang aman bagi kehamilan adaah golongan penisil (ampisin,


amoksisilin), dan sefalosporin generasi ketiga, kecuali pasien yang
hipersensitif terhadap obat tersebut.

G. Konsep Asuhan Keperawatan


Pengkajian:
1. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
no.registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan,
tanggal MR.

2. Keluhan Utama

Pada pasien typhoid biasanya mengeluh perut mual dan kembung, nafsu
makan menurun, panas, dan demam.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang


Pada umumnya penyakit pada pasien Typhoid adalah demam, anoreksia, mual,
diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemia), nyeri kepala pusing, nyeri
otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
4. Riwayat Kesehatan dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit dan dirawat dengan yang
sama, atau apakah menderita penyakit lainnya.

8
5. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita yang sama atau
sakit yang lainnya.
6. Riwayat Psikososial
Intrapersonal: perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).
Interpersonal: hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan

 Pola nutrisi dan metabolism


Biasanya nafsu makan klien berkurang, adanya mua, muntah selama sakit,
lidah kotor, dan terasa pahit waktu makan sehingga dapat memepengaruhi
status nutrisi berubah karena terjadi gangguan pada usus halus.

 Pola istirahat dan tidur


Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan sakit
pada perutnya, mual, muntah, kadang diare. Kebiasaan tidur pasien akan
terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa
gelisah pada waktu tidur.

 Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan


Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah
dalam kesehatannya.

 Pola aktifitas dan latihan


Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien
akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.

 Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi referensi bila dehidrasi karena
panas yang meninggi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.

 Pola reproduksi dan seksual


Mengalami perubahan pada pasien yang telah menikah.

9
 Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan memengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.

 Pola persepsi dan konsep diri


Di dalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.

 Pola penanggulangan stress


Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.

 Pola hubungan interpersonal


Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap berhubungan interpersonal
dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama
sakit.

 Pola tata nilai dan kepercayaan


Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi
cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.

8. Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma)
untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.

 Tanda – tanda vital dan keadaan umum


TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan
umum pasien / kondisi pasien. Disamping itu juga penimbangan BB untuk
mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi yang
terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Biasanya
pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak
enak, anorexia.

10
 Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva
anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor,
ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid.

 Dada dan abdomen


Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan
nyeri tekan.

 Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat
cuping hidung.

 Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami
peningkatan suhu tubuh.

 Sistem integument
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.

 Sistem eliminasi
Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien
bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam.

 Sistem muskuloskoletal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.

 Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil.

 Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita
penyakit thypoid.

11
9. Diagnosa Keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia,
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik.
d. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (mual/muntah).
e. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pencernaan.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan respon imun.
g. Resiko integritas kulit berhubungan dengan program terapi bedrest total.
h. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang
informasi.
10. Intervensi
Diagnosa Keperawatan 1 : Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi salmonella
thypi.

Tujuan : Suhu tubuh normal

Intervensi :

 Observasi suhu tubuh klien


R/ mengetahui perubahan suhu tubuh.

 Beri kompres dengan air hangat pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi
panas
R/ melancarkan aliran darah dalam pembuluh darah.

 Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang tipis dan dapat menyerap
keringat seperti katun
R/ menjaga kebersihan badan, agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan
membantu mengurangi penguapan tubuh

12
 Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh.
R/ klien dan keluarga mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan membantu
mengurangi kecemasan yang timbul.

 Observasi TTV tiap 4 jam sekali.


R/ tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.

 Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum.


R/ peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga
perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak (2,5 liter / 24 jam).

 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiuretik


R/ menurunkan panas dengan obat.

Diagnosa Keperawatan 2. : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,

Tujuan : Nutrisi kebutuhan tubuh terpenuhi.

Kriteria hasil :

– Nafsu makan meningkat

– Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan

Intervensi :

 Kaji pola nutrisi klien


R/ mengetahui pola makan, kebiasaan makan, keteraturan waktu makan.

 Kaji makan yang di sukai dan tidak disukai


R/ meningkatkan status makanan yang disukai dan menghindari pemberian makan
yang tidak disukai.

 Anjurkan tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase akut

13
R/ penghematan tenaga, mengurangi kerja tubuh.

 Timbang berat badan tiap hari


R/ mengetahui adanya penurunan atau kenaikan berat badan.

 Anjurkan klien makan sedikit tapi sering.


R/ mengurangi kerja usus, menghindari kebosanan makan.

 Hindari pemberian laksatif.


R/ penggunaannya berakibat buruk karena digunakan sebagai pembersih
makanan/kalori tubuh oleh pasien.

 Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.


R/ untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk
makan meningkat.

 Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang,
maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
R/ untuk meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.

 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.


R/ antasida mengurangi rasa mual dan muntah. Nutrisi parenteral dibutuhkan
terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangat kurang.

 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet


R/ mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan dan makanan yang tidak boleh
dikonsumsi.

Diagnosa keperawatan 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan


kebutuhan metabolik.

Tujuan : Pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.

Intervensi :

14
 Beri motivasi pada pasien dan keluarga untuk melakukan mobilisasi sebatas
kemampuan (mis : Miring kanan, miring kiri).
R/ pasien dan keluarga mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien yang bedrest.

 Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).


R/ untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.

 Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.


R/ untuk mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas.

 Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.


R/ untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah adanya dekubitus.

Diagnosa Keperawatan 4 : Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan)


berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (mual/muntah).

Tujuan : Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.

Kriteria hasil : Turgor kulit meningkat, Wajah tidak nampak pucat

Intervensi :

 Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
R/ untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada pasien.

 Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.


R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan, 2,5 liter / 24 jam.

 Anjurkan pasien untuk banyak minum.


R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan.

 Diskusikan strategi untuk menghentikan muntah dan penggunaan laksatif/diuretik.


R/ membantu pasien menerima perasaan bahwa akibat muntah dan/atau
penggunaan laksatif/diuretik mencegah kehilangan cairan lanjut.

15
 Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi (secara parenteral).

Diagnosa Keperawatan 5 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pencernaan.

Tujuan : Nyeri tidak dirasakan.

Kriteria hasil : Individu akan menyampaikan kepuasan setelah tindakan pereda


nyeri diberikan.

Intervensi :

 Catat keluhan nyeri, termasuk lokasi, lamanya, intensitas (skala 0 – 10).


R/ membantu diagnosa keluhan nyeri.

 Kaji faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.


R/ membantu menegakkan diagnosa dan kebutuhan terapi.

 Kolaborasi dalam pemberian obat yang diresepkan (analgesik)


R/ menghilangkan nyeri.

Diagnosa Keperawatan 6 : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan respon


imun.

Tujuan : Mencegah infeksi dialami oleh klien.

Kriteria hasil : Individu dapat menyebutkan faktor resiko yang berkaitan dengan
infeksi dan kewaspadaan yang dibutuhkan.

Intervensi :

 Kaji adanya faktor prediktif.


R/ Faktor prediktif adalah factor terkontrol yang sudah teridentifikasi mampu
meningkatkan resiko infeksi dan menurunkan pertahanan hospes.

16
 Kaji adanya faktor penyulit.
R/ faktor penyulit dapat memperbesar resiko infeksi.

 Kurangi masuknya kuman ke dalam tubuh.


R/ mengurangi kontaminasi resiko infeksi silang.

Diagnosa Keperawatan 7 : Resiko integritas kulit berhubungan dengan program


terapi bedrest total.

Tujuan : Mencegah terjadinya gangguan integritas kulit.

Kriteria hasil : Individu dapat mempertahankan kebersihan kulit ( personal hygiene)

Intervensi :

 Kaji faktor penyebab.


R/ menetapkan terapi yang dapat dilakukan.

 Beri kesempatan klien beradaptasi dalam aktivitas perawatan diri.


R/ Meningkatkan kemampuan klien dalam aktivitas perawatan diri.

 Observasi tanda-tanda gangguan integritas kulit.


R/ Melindungi klien dari resiko integritas kulit.

 Diskusikan pentingnya perubahan posisi sering, perlu untuk mempertahankan


aktivitas.
R/ Meningkatkan sirkulasi dan perfusi kulit dan mencegah tekanan lama pada
jaringan.

Diagnosa Keperawatan 8 : Kurangnya pengetahuan tentang


penyakit berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan : Pengetahuan klien dan keluarga meningkat

Intervensi :

17
 Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
R/ Mengetahui apa yang diketahui pasien tentang penyakitnya.

 Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien


R/ pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan dan pencegahan penyakit typhoid.

 Beri kesempatan pasien dan keluaga pasien untuk bertanya bila ada yang belum
dimengerti
R/ Mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga pasien setelah di beri
penjelasan tantang penyakitnya.

 Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat


R/ Memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan sakitnya.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Typhus Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan dan gangguan kesadaran.

B. Saran
Demikian makalah ini kami susun dan kami berharap bermanfaat dan dapat mendapingi
kita dalam proses belajar, dan kami juga mengucapkan terima kasih banyak atas
dukungan dari teman – teman dan dosen pembimbing kami

19
DAFTAR PUSTAKA

Askepdikta.blogspot.com/2012/09/thypus-abdominalis.html

https://husnunnisaabbas.wordpress.com/2015/03/19/asuhan-keperawatan-thypus-
abdominalis/

20

Anda mungkin juga menyukai