Anda di halaman 1dari 23

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN

1. Hipertensi dalam Kehamilan


1.1. Definisi
Gangguan hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai
kenaikan tekanan darah sistolik >140mmHg dan tekanan darah diastolik
>90mmHg yang dilihat dari dua kali pengukuran dengan jeda enam jam
pada masa kehamilan (George, 2014). Hipertensi dapat diklasifikasikan
berdasarkan tingginya tekanan darah: hipertensi ringan (Tekanan darah
sistolik 140-149 mmHg dan Tekanan darah diastolik 90-99 mmHg),
sedang (Tekanan darah sistolik 150-159 mmHg dan Tekanan darah
diastolik 100-109 mmHg), dan berat (Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
dan Tekanan darah diastolik ≥110 mmHg). Gangguan hipertensi dalam
kehamilan dapat terjadi pada wanita hamil yang sudah menderita
hipertensi kronis primer atau sekunder dan pada wanita yang menderita
hipertensi onset baru pada kehamilan trimester kedua (NICE, 2010).
Gangguan hipertensi dalam kehamilan menyebabkan komplikasi pada
kehamilan sebesar 5-15%.
1.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6%
dari ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian
preeklampsia berkisar antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi
75% dan preeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh kejadian
preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu.
Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat
preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal.
Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering
menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor
predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35
tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.

1
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan
sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor
risiko tersebut meliputi:
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida
tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat.
Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi
yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua,
primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita,
faktor risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif
(recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti
bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini
lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia.
Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu.
Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian
yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang
obese/overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun
merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan
janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau
istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
f. Hiperplasentosis

2
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan
kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia.
Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia
kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga
sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada
kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia
dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan
tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari
penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan
bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih
dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai
jumlah janin lebih dari satu.

1.3. Klasifikasi
Berdasarkan The National High Blood pressure Education
Program of the NHLBI dan pedoman American College of Obstetricians
and Gynecologist, gangguan hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi
empat kategori:
1) Hipertensi gestasional
2) Hipertensi kronik
3) Preeklampsia
4) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia

3
Tabel 1.1 Klasifikasi Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan Secara Umum

KLASIFIKASI USIA TEKANAN PROTEINURIA KEJANG


GESTASI DARAH
(MINGGU) INU
(mmHg)
Hipertensi ≥20 minggu >140/90 - -
Gestasional
Hipertensi ≤ 20 minggu >140/90 - -
kronik
Preeklampsia ≥20 minggu >140/90 ≥300mg/24j -
Eklampsia ≥20 minggu >160/110 ≥500mg/24j √
Hipertensi ≤ 20 minggu >140/90 Onset baru -
kronik dengan
superimposed

2. Hipertensi Gestasional
a. Definisi
Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah sistolik
≥140mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥90mmHg yang diukur minimal
dua kali dan terjadi setelah 20 minggu kehamilan pada wanita yang
tekanan darahnya normal sebelum hamil Hipertensi gestasional adalah
hipertensi de novo yang muncul pada pertengahan kehamilan tanpa adanya
gambaran klinis preeklampsia (terutama proteinuria). Beberapa wanita
dengan hipertensi gestasional bisa berkembang menjadi preeklampsia,
sehingga diagnosis hipertensi gestasional hanya dapat ditegakkan saat post
partum. Jika hipertensi hilang pada post partum, diagnosis dapat
ditegakkan sebagai hipertensi kehamilan transien.

3. Preeklamsi
a. Pengertian preeklamsi
Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria.Menurut Prawiroharjo 2008 hal-hal
yang perlu diperhatikan:

4
1) Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90
mmHg. Pengukuran darah dilakukan sebanyak 2 kali pada selang
waktu 4 jam-6 jam.
2) Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24
jam atau sama dengan ≥1+ dipstic.
3) Edema, sebelumnya edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda
preeklamsi tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi,
kecuali edema generalisata. Selain itu bila di dapatkan kenaikan
berat badan >0,57kg/minggu.
Preeklamsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, proteinuria adalah
tanda penting preeklamsi, terdapatnya proteinuria 300 mg/1+
b. Etiologi/Predisposisi preeklamsi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui
secara pasti. Namun banyak teori yang telah dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada satupun teori
tersebut yang dianggap benar-benar mutlak.
Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklamsi:
1) Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama.
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari kejadian
preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada grandemultigravida
(Bobak, 2005). Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4 tahun juga
dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003)
2) Usia
Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35
tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia
dibawah 20 tahun dan setelah usia 35 tahun meningkat, karena
wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklamsi
(Cunningham, 2006). Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun

5
telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan
lahir tidak lentur lagi sehingga lebih berisiko untuk terjadi
preeklamsi (Rochjati, 2003).
3) Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami
hipertensi sebelum hamil atau sebelum umur kehamilan 20
minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko lebih
besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan
mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi. Diagnosa preeklamsi
ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah yang disertai
dengan proteinuria atau edema anasarka.

4) Sosial ekonomi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang
sosial ekonominya lebih maju jarang terjangkit penyakit
preeklamsi. Secara umum, preeklamsi/eklamsi dapat dicegah
dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi
yang masih rendah dan pengetahuan yang kurang seperti di negara
berkembang seperti Indonesia insiden preeklamsi/eklamsi masih
sering terjadi.
5) Hiperplasentosis /kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai
faktor predisposisi terjadinya preeklamsi, karena trofoblas yang
berlebihan dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat
mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan vasospasme adalah
dasar patofisiologi preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut
misalnya: kehamilan multiple, diabetes melitus, bayi besar, 70%
terjadi pada kasus molahidatidosa.

6) Genetik

6
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotip janin.
Telah terbukti pada ibu yang mengalami preeklamsi 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklamsi pula, sedangkan 8% anak
menantunya mengalami preeklamsi. Karena biasanya kelainan genetik
juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan
terjadinya vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya
preeklamsi/eklamsi.
7) Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan
di dalam tubuh. Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan
kalori, biasanya disertai kelebihan lemak dan protein hewani,
kelebihan gula dan garam yang kelak bisa merupakan faktor risiko
terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes
melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan
berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan
lain.Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko preeklamsia
bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan
indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan
menjadi 13,3 % untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2.

c. Klasifikasi preeklamsi
Preeklamsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat
membahayakan kesehatan maternal maupun neonatal. Gejala klinik
preeklamsi dapat dibagi menjadi preeklamsi ringan dan preeklampsi berat:
1) Preeklamsi ringan (PER)

a) Pengertian PE ringan

Preeklamsi ringan adalah suatu sindrom spesifik


kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang

7
berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
aktivasi endotel.

b) Diagnosis PE ringan
Diagnosis preeklamsi ringan menurut Prawirohardjo
2008, ditegakkan berdasarkan atas munculnya hipertensi
disertai proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20
minggu dengan ketentuan sebagai berikut:
 TD ≥140/90 mmHg

 Proteinuria: ≥300 mg/24 jam atau pemeriksaan


kualitatif 1 atau 2+

 Edema: edema generalisata (edema pada kaki,


tangan,muka,dan perut).

2) Preeklamsi berat

a) Pengertian PE berat
Preeklamsi berat adalah preeklamsi dengan tekanan
darah ≥160/110 mmHg, disertai proteinuria ≥5 g/24 jam
atau 3+ atau lebih (Prawirohardjo, 2008).
b) Diagnosa PE berat
Diagnosis preeklamsi berat menurut Prawirohardjo
2008, dan Wiknjosastro 2007, ditegakkan bila ditemukan
salah satu atau lebih tanda/gejala berikut:
 TD ≥ 160/110 mmHg

 Proteinuria ≥5 g/24 jam; 3 atau 4+ dalam


pemeriksaan kualitatif.

 Oliguria yaitu produksi urin kurang dari


500cc/24jam

8
 Kenaikan kadar kreatinin plasma

 Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran,


nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.

 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan


atas abdomen.

 Edema paru-paru dan sianosis

 Hemolisis mikroangiopatik

 Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3atau


penurunan trombosit dengan cepat.

 Gangguan fungsi hepar

 Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat

 Sindrom HELLP

d. Patologi preeklamsi

Perubahan pada sistem dan organ pada preeklamsi menurut


Prawirohardjo 2008 adalah:

a) Perubahan kardiovaskular

Penderita preeklamsi sering mengalami gangguan fungsi


kardiovaskular yang parah, gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan afterload jantung akibat hipertensi (Cunningham,
2006).

b) Ginjal

9
Terjadi perubahan fungsi ginjal disebabkan karena
menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemi, kerusakan
sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permebelitas
membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria. Gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus ginjal.
Kerusakan jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah
dapat diatasi dengan pemberian dopamin agar terjadi vaso dilatasi
pada pembuluh darah ginjal.
c) Viskositas darah
Vaskositas darah meningkat pada preeklamsi, hal ini
mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya
aliran darah ke organ.

d) Hematokrit
Hematokrit pada penderita preeklamsi meningkat karena
hipovolemia yang menggambarkan beratnya preeklamsi.
e) Edema
Edema terjadi karena kerusakan sel endotel kapilar. Edema
yang patologi bila terjadi pada kaki tangan/seluruh tubuh disertai
dengan kenaikan berat badan yang cepat.
f) Hepar
Terjadi perubahan pada hepar akibat vasospasme, iskemia,
dan perdarahan. Perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan
ini bisa meluas yang disebut subkapsular hematoma dan inilah
yang menimbulkan nyeri pada daerah epigastrium dan dapat
menimbulkan ruptur hepar.
g) Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa, nyeri kepala di
sebabkan hiperfusi otak. Akibat spasme arteri retina dan edema
retina dapat terjadi ganguan visus.

10
h) Paru
Penderita preeklamsi berat mempunyai resiko terjadinya
edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri,
kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan
menurunnya deuresis.

e. Pencegahan preeklamsi
Pencegahan preeklamsi ini dilakukan dalam upaya untuk
mencegah terjadinya preeklamsi pada perempuan hamil yang memiliki
resiko terjadinya preeklamsi. Menurut Prawirohardjo 2008 pencegahan
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
 Pencegahan non medikal
Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara
yang paling sederhana yaitu dengan tirah baring. Kemudian diet,
ditambah suplemen yang mengandung: a) minyak ikan yang kaya
akan asam lemak tidak jenuh misal: omega-3 PUFA, b)
antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll.c) elemen logam berat: zinc,
magnesium, kalium.
 Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif
dibanding fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam
uji klinik yang melibatkan 897 penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat
transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium,
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap

11
menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia
atau eklampsia.(1)
Cara pemberian MgSO4 :
 Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40
% dalam 10 cc) selama 15 menit
 Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan
ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
 Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi
yaitu kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc)
diberikan iv 3 menit
 Refleks patella (+) kuat
 Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda
distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 :
 Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
 Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
 Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
 Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
 Antihipertensi lini pertama :
 Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
 Antihipertensi lini kedua :
 Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse
ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5 menit.
 Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10
mg/menit/dititrasi.

12
4. Eklampsia
a. Gambaran klinik
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan
atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Sama halnya
dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan
postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24
jam pertama setelah persalinan. Pada penderita preeklampsia yang akan
kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang
dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang. Preeklampsia
yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending
eklampsia atau imminent eklampsia.(1)
b. Perawatan eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk
stabilisasi fungsi vital yang harus selalu diingat Airway, Breathing,
Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia
dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang,
mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi,
melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia, merupakan
perawatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa
eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegahh dan
mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu
seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan
cara yang tepat.
c. Pengobatan medikamentosa
 Obat anti kejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah
magnesium sulfat. Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar
diatasi, dapat dipakai obat jenis lain, misalnya tiopental. Diazepam
dapat dipakai sebagai alternatif pilihan, namun mengingat dosis
yang diperlukan sangat tinggi, pemberian diazepam hanya

13
dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian
diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma
elektrolit. Obat kardiotonika ataupun obat-obat anti hipertensi
hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas
indikasi.
 Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti
pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia berat. Pengobaran
suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ
penting, misainya tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis,
mempertahankan ventilasi paru-paru, mengatur tekanan darah,
mencegah dekompensasi kordis. Pada penderita yang mengalami
kejang dan koma, nursing care sangat penting misalnya meliputi
cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi,
mencegah aspirasi, mengatur infus penderita dan monitoring
produksi urin.(1)
 Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tuiuan pertama
pertolongan ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat
kejang-kejang tersebut. Dirawat di kamar isolasi cukup terang,
tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat
diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar dengan
rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat.
Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan
jangan mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena
dapat mematahkan gigi. Kepala direndahkan dan daerah orofaring
diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita
yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di
sekitarnya. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor,
guna menghindari fraktur. Bila penderita selesai kejang-kejang,
segera beri oksigenasi.

14
 Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi
atau mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrem, posisi
tubuh yang menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya
refleks muntah. Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma,
ialah terbuntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang
jatuh dalam koma harus dianggap bahwa jalan napas atas terbuntu,
kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu, tindakan pertama-tama
pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan
mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Untuk
menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan
epiglottis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang sederhana
dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas, ialah
dengan manuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan
leher dalam posisi ekstensi ke belakang atau head tily-chain lift,
dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik ke atas, atau jaw-
thrust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan ke atas sarnbil
mengangkat kepala ke belakang. Tindakan ini kemudian dapat
dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal airway.
Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa
penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga
kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar.
Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh.
Oleh karena itu, semua benda yang ada dalam rongga mulut dan
tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan, harus
segera diisap secara intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi
stabil untuk drainase lendir. Monitoring kesadaran dan dalamnya
koma memakai Glasgow Coma Scale. Pada perawatan korna perlu
diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada
koma yang lama, bila nutrisi tidak mungkin dapat diberikan
melalui Naso Gastric Tube (NGT).

15
 Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU
karena membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
d. Pengobatan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia
harus diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika
dan metabolisme ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi
pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
e. Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka
gejala perbaikan akan tampak jeias setelah kehamilannya diakhiri. Segera
setelah persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula
mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan.
Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik. karena hal ini merupakan
gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa
jam kemudian. Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali
pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin
pada penderita eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati
intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah
sangat inferior.

5. Sindroma HELLP
a. Definisi klinik
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
H: Hemolysis
EL : Elevated Liver Enzyme
LP : Low Platelets Count

16
b. Diagnosis
 Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah,
nyeri kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan
gejala infeksi virus)
 Adanya tanda dan gejala preeklampsia
 Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan
LDH, AST, dan bilirubin indirek
 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT,
AST, LDH
 Trombositopenia : trombosit < 150.000/ml
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada
kuadran atas abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan
gejala preeklampsia, harus dipertimbangkan sindroma HELLP.
 Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi
Berdasar kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP
diklasifikasi dengan nama "Klasifikasi Mississippi".
 Klas 1: Kadar trombosit : ≤ 50.000/ml, LDH ≥ 600 IU/I, AST
dan/atau ALT ≥ 40IU/l
 Klas 2: Kadar trombosit > 50.000 ≤ 100.000/ml, LDH ≥ 600
IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40IU/l
 Klas 3: Kadar trombosit > 100.000 ≤150.000/ml, LDH ≥ 600
IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l(1)
c. Terapi medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit <
50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa
waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen. Pemberian
dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double
strength dexamethasone (double dose).

17
Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000 -

150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat, nyeri

epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg i.v. tiap 12 jam. Pada

postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 72 jam 2 kali, kemudian

diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan, bila telah

terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan

LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia - eklampsia.

Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit <

50.000/ml dan antioksidan.

d. Sikap pengelolaan obstetrik


Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu
kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan.
Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominam.(1)
e. Pengelolaan
Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang
mirip dengan Sindroma HELLP. Pengobatan sindroma HELLP juga harus
mernperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklampsia dan
eklampsia. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah
teriadi vasospasme dan kerusakan sel endotel. Cairan yang diberikan adalah
RD 5 %, bergantian RL 5 % dengan kecepatan 100 ml/jam dengan produksi
urin dipertahankan sekurang-kurangnya 20 ml/jam. Bila hendak dilakukan
seksio sesarea dan bila trombosit < 50.000/ml, maka perlu diberi transfusi
trombosit. Bila trombosit <40.000/ml, dan akan dilakukan seksio sesarea maka
perlu diberi transfusi darah segar. Dapat pula diberikan plasma exchange
dengan fresh frozen plasma dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis
mikroangiopati.
Double strength dexamethasone diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam
segera setelah diagnosis sindroma HELLP ditegakkan. Kegunaan pemberian

18
double strength dexamethasone ialah untuk (1) kehamilan preterm,
meningkatkan pematangan paru janin dan (2) untuk sindroma HELLP sendiri
dapat mempercepat perbaikan gejala klinik dan laboratorik. Pada sindroma
HELLP postpartum diberikan deksametason 10 mg i.v. setiap 12 jam, disusul
pemberian 5 mg deksametason 2 x selang 12 jam (tappering off).
Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat diketahui
dengan: meningkatnya produksi urin, trombosit, menurunnya tekanan darah,
menurunnya kadar LDH, dan AST. Bila teriadi ruptur hepar sebaiknya segera
dilakukan pembedahan lobektomi.
f. Sikap terhadap kehamilan
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, tanpa memandang
umur kehamilan. Kehamilan segera diakhiri. Persalinan dapat dilakukan
perabdominam atau pervaginam. Perlu diperhatikan adanya gangguan
pembekuan darah bila hendak melakukan anestesi regional (spinal).

6. Hipertensi Kronik
a. Definisi
Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan
sebelum timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi
sebelum kehamilan, maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan
tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg
sebelum umur kehamilan 20 minggu.

b. Etiologi Hipertensi Kronik


Hipertensi kronik dapat disebabkan primer: idiopatik: 90% dan
sekunder: 10 %, berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen,
endokrin, dan pembuluh darah.

19
c. Diagnosis hipertensi kronik pada kehamilan
Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang
telah timbul sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur
kehamilan.
Ciri-ciri hipertensi kronik :
- Umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
- Tekanan darah sangat tinggi
- Umumnya multipara
- Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal dan diabetes mellitus
- Obesitas
- Penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan
- Hipertensi yang menetap pasca persalinan.

d. Dampak hipertensi kronik pada kehamilan


- Dampak pada ibu
Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya,
dan hipertensi dapat terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh
buruk pada kehamilan, meski tetap mempunyai risiko terjadinya solusio
plasenta ataupun superimposed preeklampsia.
Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan akan memberi
tanda (a) kenaikan mendadak tekanan darah, yang akhirnya disusul
proteinuria dan (b) tekanan darah sistolik >200 mmHg diastolik >130
mmHg, dengan akibat segera terjadi oliguria dan gangguan ginjal.
Pernyulit hipertensi kronik pada kehamilan ialah (a) solusio
plasenta : risiko terjadinya solusio plasenta 2-3 kali pada hipertensi kronik
dan (b) superimposed preeklampsia.
- Dampak pada janin
Dampak hipertensi kronik pada janin ialah pertumbuhan janin
terhambat atau fetal growth restriction, intra uterine growth restriction :
IUGR. Insiden fetal growth restriction berbanding langsung dengan
derajat hipertensi yang disebabkan menurunnya perfusi uteroplasenta,

20
sehingga menimbulkan insufisiensi plasenta. Dampak lain pada janin ialan
peningkatan persalinan preterm.

e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan khusus berupa ekokardiografi, pemeriksaan mata dan
pemeriksaan USG ginjal. Pemeriksaan laboratorium lain ialah fungsi
ginjal, fungsi hepar, Hb, hematokrit dam trombosit.

f. Pengelolaan pada kehamilan


Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah
meminimalkan atau mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat
hipertensinya sendiri ataupun akibat obat-obat antihipertensi. Secara umum
ini berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi lebih berat,
yang dapat dicapai dengan cara farmakologik atau perubahan pola hidup:
diet, merokok, alkohol, dan substance abuse.
Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan
keselamatan ibu, tanpa memandang status kehamilan. Hal ini untuk
menghindari terjadinya CVA, infark miokard serta disfungsi jantung dan
ginjal.(1)
Antihipertensi diberikan:
- Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada
stage I hipertensi tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolik ≥
90 mmHg
- bila terjadi disfungsi end organ.

Obat antihipertensi :
Jenis antihipertensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah :
- α-Metildopa
Suatu α2 - reseptor agonis
Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gram per hari
- Calcium channel blockers

21
Nifedipin: dosis bervariasi antara 30 - 90 mg per hari.
- Diuretik thiazide
Tidak diberikan karena akan mengganggu volume plasma sehingga
mengganggu aliran darah utero-plasenta.

g. Evaluasi janin
Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau
kronik, perlu dilakukan Non stress test dan pemeriksaan ultrasonografi bila
curiga terjadinya fetal growth restriction atau terjadi superimposed
preeklampsia.

h. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia


Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik
disertai kelainan ginjal dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed
preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah a) adanya proteinuria, gejala-
gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik yang
menyeluruh (anasarka), oliguria, edema paru. b) kelainan laboratorium: berupa
kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum
hepar.

i. Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronik


Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan
perjalanan klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan
kehamilan normal, pertumbuhan janin normal, dan volume amnion normal,
maka dapat diteruskan sampai aterm.(1)
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah buruk, maka
segera diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur
kehamilan. Secara umum persalinan diarahkan pervaginam, termasuk
hipertensi dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi kronik yang
tambah berat.

22
j. Perawatan pasca persalinan
Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema serebri,
edema paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 - 36 jam pasca persalinan.
Setelah persalinan: 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat.
Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri (left ventricular work load).
Bersamaan dengan itu akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam
intravaskular. Perlu terapi lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Banyak
perempuan dengan hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia,
mengalami penciutan volume darah (hipovolemia). Bila terjadi perdarahan
pascapersalinan, sangat berbahaya bila diberi cairan kristaloid ataupun koloid,
karena lumen pembuluh darah telah mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik
bila terjadi perdarahan ialah pemberian transfusi darah.

23

Anda mungkin juga menyukai