Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar
matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan
penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara geografis, pterigium
paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim
tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil
penelitian G Gazzard dari Singapore National Eye Center, yang melakukan
penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas
21 tahun adalah 10% sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.

Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya frekuensi


pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah 35–
52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa
recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain itu, pterigium
menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan bahkan
berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis
dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan
dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi & Fisiologi


a. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang
menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi
menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks
yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan
di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling
sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva
yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva


(diambil dari www.eastoneye.com)

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
2
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun
dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh
limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf
ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.

b. Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus,
di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa
tersusun longgar pada bola mata.

3
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior
dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring. Kedua
kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata asesori
(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal,
terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan
sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada
sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

2.2 Pterigium
a. Definisi

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang
tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari
bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah poliferasi
jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaannya. Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif

4
Gambar 2. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga dengan
puncak di kornea

b. Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang
kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis
lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-
36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena
paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan
penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah

c. Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara panas. Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun,
karena lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka
gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-
faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
5
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini
.
d. Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah nasal
konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan
dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian
nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering
didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal. Patofisiologi
pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic
akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak
bisa dihancurkan oleh elastase.

e. Faktor resiko
Yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter.
a) Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
b) Faktor Genetik

6
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c) Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes,
dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.

f. Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
antara lain:
 Mata sering berair dan tampak merah
 Merasa seperti ada benda asing
 Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,
biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

g. Diagnosis

1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang

7
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.

2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus
sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus
disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap.
Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterigium.
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

8
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8

Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari
2mm, namun belum melewati pupil.

c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp


1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan


pseudopterigium.

h. Diagnosis Banding

Pterigium Pinguekula Pseudopterigium


Definisi Jaringan fibrovaskular Benjolan pada Perlengketan
konjungtiva bulbi konjungtiva bulbi konjungtiba bulbi
berbentuk segitiga dengan kornea yang
cacat
Warna Putih kekuningan Putih-kuning Putih kekuningan
keabu-abuan

9
Letak Celah kelopak bagian Celah kelopak Pada daerah
nasal atau temporal mata terutama konjungtiva yang
yang meluas ke arah bagian nasal terdekat dengan proses
kornea kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat diselipkan Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan bawah lesi karena tidak
melekat pada limbus
Puncak Ada pulau-pulau Tidak ada Tidak ada (tidak ada
Funchs (bercak kelabu) head, cap, body)
Histopatologi Epitel ireguler dan Degenerasi hialin Perlengketan
degenerasi hialin dalam jaringan
stromanya submukosa
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury
Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta: Widya
Medika,2000, hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002.
Jakarta: Sagung Seto)

i. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan
10
tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila
perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare
sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan
jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat
timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot.
Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan
tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana
pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar
sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak
mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
11
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen,
telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1

3. Cangkok Membran Amnion

12
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa
itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan
dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik
ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap
ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran
amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah
digunakan dalam autografts konjungtiva.

Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi


masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah
jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi
tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi.
Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak
ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari
radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan

13
ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.

Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place

j. Komplikasi

14
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment
2. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea.
3. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80 %.
Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
4. Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.

k. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah
24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran
amnion.

15
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Bangli dengan keluhan utama pandangan
kabur pada mata kiri. ± 1 tahun yang lalu penderita mengeluh penglihatan mata kiri kabur,
terlihat adanya lemak pada mata sebelah kiri, perih (+), berair (-), silau saat melihat (+).Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran jaringan seperti lemak yang menutupi mata
sebelah kiri. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien ini ddiagnosis sebagai suatu
pterigium

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi terkena pterigium. Hal
ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang diterima oleh mata.

Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya penderita


mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan
atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk
segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis,
berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi pterigium dengan pinguekula dan
pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium. Penentuan
derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan
pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat
1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.

2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with


subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume
39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia:
prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2012; 86(12):
1341–1346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-
17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8
External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian Perspective,
Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2015. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth
Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher. 2017. p:
443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen
Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Pterygium and Pingueculum available at: http://www.baysideeyes.com.au/eye-
specialists/pterygium.htm

17

Anda mungkin juga menyukai