Anda di halaman 1dari 17

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung


Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk
piramid, bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum
nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan
bagian hidung dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi
memiliki 4 buah dinding yaitu :
- medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu
lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os
palatina, kartilago septum, dan kolumela
- lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior.
Diantara konka tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus.
1. Concha nasalis superior
... Meatus nasi superior...
2. Concha nasalis media
... Meatus nasi medius...
3. Concha nasalis inferior
... Meatus nasi inferior...
Dasar cavum nasi
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior.
Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.
- inferior adalah os maksilla & os palatum
- superior adalah lamina kribiformis

Vaskularisasi
Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-
cabang a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian
depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .

Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Inervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris
yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis
posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati
lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis
anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang
nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis

1
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.

III.2. Epistaksis
III.2.1. Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius
dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya
berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya
mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia
serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat
ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi
darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat

2
dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya
pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.

III.2.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,
kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal
dan kelainan kongenital.
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu
juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan
bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
Kelainan pembuluh darah (lokal)
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-
selnya lebih sedikit.
Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur,
tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
Penyakit kardiovaskuler

3
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering
kali hebat dan dapat berakibat fatal.
Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-
Rendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.
Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat
kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung
Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan
sistemik.
Etiologi lokal
 Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
 Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.

4
 Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan
berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal
tersering.
Eiologi lainnya yaitu :
 iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada
mukosa hidung;
 Keadaan lingkungan yang sangat dingin
 Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba
 Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
 Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.
Etiologi sistemik
 Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun.
 Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
 Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili,
demam tifoid dll.
Termasuk etiologi sistemik lain
 Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada
kehamilan, menarke dan menopause
 kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau
penyakit Rendj-Osler-Weber;
 Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung
 pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.

5
III.2.3. Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada
orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau
perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian
dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun
dan >50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa
muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua,
terutama pada laki- laki berusia ≥ 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit
hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering
dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah
beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur
6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai
tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah
mengalami kejadian serupa pada saat kecil.

III.2.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga
hidung.
Epistaksis anterior
 Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan
biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
 Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus
Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area
terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis
anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior.
Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial,
mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada anak.
Epistaksis posterior
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari.
Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar

6
darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior
untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan
hipertensi.

III.2.5. Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna
yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis
(gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach
(little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar
melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang
masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal

7
perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal
dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak
terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya
epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih
hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di
hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang
dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis

III.2.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan
bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan
berhenti, lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab.
Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior)
ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan

8
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan
kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik,
tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi.
Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan
jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi
gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah,
hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke
dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata
dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5. Skrinning terhadap koagulopati

9
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin
parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan

III.2.6. Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya
epistaksis.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan
perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari
anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien
anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan
tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan
bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 – 1/10.000 dan
pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian
anterior atau posterior hidung.

Perdarahan Anterior
Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama
pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15

10
menit, seringkali berhasil. Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan
hidung harus duduk tegak, menggunakan apron plastic serta memegang suatu
wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah
dibasahi larutan kokain 4% dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil
mengaaspirasi darah yang berlebihan.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi
krim antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas
vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun
dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang
rongga hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan
selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari
ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila
perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis


primer, pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk
duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam
hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan Posterior

11
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan
epistaksis posterior antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon
hidung posterior, atau ligase pembuluh spesifik.
Blok Ganglion Sfenopalatinum
Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik
dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hati-
hati ke dalam kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri
sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia
untuk prosedur pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari
cabang arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit.
Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain
diabsorbsi, untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP 2%) dan Xilokain untuk efek
yang lebih lama. Jika injeksi tidak member efek, maka perdarahan mungkin berasal
dari arteri etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering digunakan oleh spesialis
karena komplikasinya ke okular.
Tampon Hidung Posterior
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik
memakai kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran
4x4 inchi yang digulung erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan
tampon yang baik. Dapat diolesi dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi
insidens infeksi. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat
dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas
benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari
telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua

12
benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan
nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-
hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.

Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan


lewat depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat
balon dengan dua ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan
yang satunya sebagai tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan
suatu kantung 15cc juga dapat dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat
pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan suatu klem
umbilicus. Yang paling sering dilakukan adalah memasukan suatu kateter melalui
hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua benang
yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali
ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring sebagai tali
penarik. Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk menempatkan
tampon pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan jari
dokter hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan
tidak boleh menekan palatum mole. Sementara tegangan dipertahankan melalui
kedua tali yang keluar dari hidung depan, dokter harus menempatkan tampon
anterior diantara kedua tali dan kedua tali diikatkan simpul pada gulungan kasa
kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan tidak
diikatkan pada kolumela, hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak.
Pasien yang memasang tampon harus dirawat dirumah sakit.

13
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti
tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga
banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau
tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian
endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.
sfenopalatina dengan panduan endoskop.
Ligasi Pembuluh Spesifik
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka
perlu dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis
eksterna, arteri maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina
dan arteri etmoidalis posterior anterior.

III.2.7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep
obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi
koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian
infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.

14
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon
Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang
yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon
balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa hidung dan septum.

15
DAFTAR PUSTAKA

Efiaty A.S. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta. 2007
Higler, B.A. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta
Moore,K.L.dkk. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.2000
FKUI. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.2007
ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008

16

Anda mungkin juga menyukai