Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui
alat jasmani. Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran,
senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh
sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi
yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah
Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang
tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan mulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari
(mausia) dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum
diketahuinya”.
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi.
Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu
tersebut merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia
untuk membaca dan menulis. Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat
yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk
mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan
pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali
mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-
Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak
yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta
adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan
selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak
manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi
yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada
benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar
yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu
yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal
pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk
membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang
dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.

B. Rumusan masalah
a. Sejarah perkembangan kaligrafi pada masa daulah bani abbasiyah?
b. Contoh-contoh model kaligrafi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam


Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti
tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa
Inggris disebut “calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang
memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya
menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana
menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu
diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya. Sedangkan pengertian kaligrafi
menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu
bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap
penciptanya.
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat
jasmani. Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata
pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama
disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan
adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama
diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq
ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia)
dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga
dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan
“sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan
menulis.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang
mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah
yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang
pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman
firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang
percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah
Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya
mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir
dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu
seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-
lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap
sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau
aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau
sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar. Kaligrafi Mesir Kuno yang
disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta
Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang
dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun. Tulisan yang ditemukan 3200 SM
di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku, tetapi
disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang
mengandung isyarat pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai
cikal bakal kaligrafi Arab.

B. Kaligrafi Murni dan Lukisan Kaligrafi


Seni kaligrafi merupakan kebesaran seni Islam, yang lahir di tengah-tengah dunia arsitektur. Hal
ini dapat dibuktikan pada aneka ragam hiasan kaligrafi yang memenuhi masjid-masjid dan
bangunan-bangunan lainnya, yang diekspresikan dalam paduan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Al-
Hadits atau kata-kata hikmah. Demikian juga mushaf Al-Qur’an banyak ditulis dengan berbagai
corak kaligrafi.
Berdasarkan eksistensi tulisan (huruf Arab) pada saat pengekspresiannya, dibedakan pengertian
antara kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi. Keduanya agak berjauhan satu sama lain. Kaligrafi
murni adalah seni tulis indah yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan
ketat, yaitu bentuk-bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi yang baku
(kaidah khathiyah). Di sini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts,
Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.1 Penyimpangan atau pencampuradukkan
satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak cocok dengan
rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Jelaslah, bahwa suatu hasil karya kaligrafi tidak boleh
mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts
dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya
menurut Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan
penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi harus
diperhitungkan dengan serasi. Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga mempunyai
cara yang berbeda-beda.
Dewasa ini kaligrafi murni atau kaligrafi klasik telah banyak mendapat perhatian dan
dikembangkan ke dalam bentuk lukisan kaligrafi (kaligrafi ekspresif atau kontemporer). Istilah
“lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau
“kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaidah-kaidah khathiyah.
Pengertian lukisan yaitu suatu pengucapan pengalaman artistik yang ditumpahkan dalam bidang
dua dimensional dengan menggunakan warna dan garis.15 Lukisan adalah suatu bentuk
ungkapan batin seseorang dari hasil suatu pengolahan ide berbakat pengalaman indrawi maupun
pengalaman jiwa melalui susunan unsur-unsur estetis dengan ukuran dwi marta (dua dimensi).
Ungkapan atau pernyataan batin yang juga disebut ekspresi dalam suatu karya seni, haruslah
memiliki nilai kebebasan dan mengandung unsur keindahan. Tampilnya keindahan tidak selalu
dalam pewujudan fisik dan visual semata-mata, tetapi dapat pula secara moral (perasaan) atau
secara kedua-duanya. Sedangkan yang dimaksud dengan lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi
yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligafi yang dilukis sedemikian rupa
dengan menggunakan warna-warna yang beragam, bebas dan tidak terikat oleh rumus-rumus
baku yang ditentukan. Menurut Situmorang, lukisan kaligrafi adalah suatu bentuk atau corak seni
kaligrafi yang dieksperimenkan ke dalam bentuk lukisan yang dikombinasikan dengan warna-
warna, huruf dan corak tulisannya cenderung memiliki gaya atau corak yang bebas dan lepas dari
kaidah-kaidah yang telah digariskan dalam kaligrafi yang baku.
Lukisan kaligrafi merupakan seni lukis yang menampilkan aksara Arab sebagai subject-matter
(sasaran) utuh atau sebagian, atau mengambil beberapa huruf saja. Secara prinsip kaligrafi lukis
(lukisan kaligrafi) berbeda dengan kaligrafi tulis (kaligrafi murni). Pada lukisan kaligrafi terdapat
sejumlah kebebasan dalam berekspresi. Sedangkan dalam kaligrafi tulis, dikenal beberapa
macam ketentuan pokok dan rumus-rumus baku. Lukisan kaligrafi secara mendasar berbeda
dengan lukisan biasa. Di samping si pelukis harus memiliki niat suci dan hati bersih, pemilihan
medianya pun harus benar dan tepat. Oleh karena itu, pengertian lukisan kaligrafi Islam tidak
selalu menunjukkan kepada pengembangan gaya-gaya kaligrafi (kontemporer maupun klasik
baku) dalam arti huruf seperti dalam kriterium al-Faruqi. Fokus lukisan kaligrafi tidak hanya
selesai pada huruf, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang
sesungguhnya, seperti yang di kemukakan pelukis kaligrafi Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa
Dan Suwaryono menandaskan bahwa lukisan kaligrafi pada dasarnya ditopang dua unsur elemen
seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan
volume) di satu pihak, dan di pihak lain tuntutan-berupa tuntunan yang cenderung ke arah idio
plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan isi atau cita pembahasan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, “lukisan” kaligrafi
tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebagai sebuah lukisan utuh yang
menjadikan huruf sebagai salah satu elemennya.
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil pengolahan
ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain,
yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam. Jadi,
setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga tercipta suatu
kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan penciptanya. Dari pengkajian makna
peristilahan tersebut dapat dikatakan: Pertama, lukisan kaligrafi bukan sekedar sebagai seni
tulisan indah. Kedua, melalui kebebasan ekspresi estetik, seni tulisan indah kemudian dengan
kreasi bentuk dan susunan huruf-huruf dilengkapi dengan unsur-unsur lain menjadi karya
lukisan. Ketiga, lukisan merupakan bahasa dari pelukisnya. Bahasa adalah media komunikasi.
Lukisan dengan unsur-unsurnya adalah merupakan wujud perlambang yang digunakan oleh
pelukis untuk mengutarakan isi hatinya dengan pesan-pesannya. Keempat, lukisan kaligrafi
perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Islami. Karena itulah lukisan kaligrafi
mengekspresikan keagamaan. Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi sangatlah bebas,
sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan umumnya. Lukisan kaligrafi dapat
ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik bahkan dengan berbagai teknik eksperimen
klasik maupun modern.
Banyak sedikitnya unsur tulisan dalam karya lukisan kaligrafi tidak menjadi masalah. Yang
penting adalah keterpaduan dan keselarasan dapat tercapai. Karena yang ditulis adalah ayat-ayat
Al-Qur’an, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai merubah arti dan makna ayat tersebut.
Dalam penampilannya, lukisan kaligrafi dapat bercorak realis, surealis, dekoratif sampai yang
bercorak semi abstrak.

C. Kaligrafi Kontemporer
Kaligrafi yang dikenal dalam bentuk ragamnya sekarang, mempunyai asal-usul yang cukup
panjang dan berliku. Perkembangannya telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, dimulai
dari pemerintahan Dinasti Ummayah (661-750 M) dengan pusatnya di Damaskus, Syria sampai
pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan pusatnya di Bagdad, dan berlanjut
lagi pada masa-masa pemerintahan Fatimiyah (969-1171 M), pemerintahan Ayyub (1771-1250
M), pemerintahan Mameluk (1250-1517 M) dengan pusatnya di Mesir, pemerintahan Usmaniah
(1299-1922 M) dan pemerintahan Safavid Persia (1500-1800 M). Demikian lamanya
pengembangan kaligrafi Islam berlangsung hingga mencapai kematangannya.
Dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat visual ayat-ayat al-Qur’an,
tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar (al-khath al-mansub) olahan Ibnu Muqlah yang
sangat ketat. Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran
untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaidah
murni” aksara Arab. Namun, belakangan muncul gerakan yang menjauhkan diri dari kebekuan
ikatan-ikatan tersebut. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari grammar lama ini populer
dengan sebutan “kaligrafi kontemporer”, merujuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan
kreatifitas dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik, seperti karya-karya kaligrafis yang
dibuat di atas kayu, kanvas lukis, atau bahan lain yang menggambarkan beberapa ayat Al-Qur’an
atau Hadits Nabi, atau karya mandiri dari seniman.
Munculnya kaligrafi kontemporer lebih dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat yang
mengarah pada kebebasan dalam berkarya. Wujud yang ingin ditampilkan adalah nilai-nilai
artistik baru secara tersurat dengan menafikan aturan-aturan lama (rumus-rumus dasar kaligrafi),
tanpa ingin menyuguhkan makna-makna baru secara tersirat dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an.
Ciri-ciri yang telihat dalam kaligrafi kontemporer adalah pada konsep “kebebasan” berkarya,
baik karakter huruf yang ditampilkan maupun media yang digunakan. Salah satunya adalah
seperti yang ingin ditampilkan dalam karya seni lukis kaligrafi.
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-
nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih
tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai
tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan
Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa
Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan pelbagai negeri lain
sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat
Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak
mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut
kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru
dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-
Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan
waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan
kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal
dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang
terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami
Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah
Arab. Perkembangan kaligrafi pada tiap-tiap priode:
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat
dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang
berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar),
Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga
inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya
Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal
(rectilinear). Dua gaya inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi
diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh
terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan
Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun
horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi
Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith
Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan
luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun
penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan
lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah
Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts.
Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih
sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar
(lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk
komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana.
Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khilafah
pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-
peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti
prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah,
inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin
banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah
Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur
(754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi
pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian
kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil
menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah
yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa
besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-
rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan
huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus
dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia
juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts,
Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi
dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser
dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad
ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer
bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu
Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai
perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-
karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen
duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam
penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur
itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini
pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat
nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat
ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah
berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh
Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan
geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
3. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur
Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang
terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam).
Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang
dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan
yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif
yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol
dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit
kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk
agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga
meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk
berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki
beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran
dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-
Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang
didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk
Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian
besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini dilanjutkan oleh
puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang
menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri
yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh
Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. pendirinya Shah Ismail
dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru
yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan dari Ta’liq
adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya menggeser
Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya
Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras
dengan garis vertikalnya yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang
khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini
mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa
ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman)
di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu
terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini
memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar
dan seniman tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak
segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun
dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada
masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah
satunya adalah Hafidz Usman. Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan
Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya
kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah
Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang
dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-
keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini
dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh
Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan
bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih
monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini
sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.
BAB II
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari pembahasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi tersebut di atas, maka penyusun
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Seni lukis kaligrafi adalah seni kaligrafi yang dituangkan ke dalam bentuk lukisan dan
merupakan pernyataan antara idio plastis dan fisiko plastis yang mengandung nilai-nilai estetik
dan religius. Bentuk menifestasi gagasan dalam wujud visualnya secara estetika mengacu pada
kaidah penciptaan seni lukis secara umum, yang secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Disebut kaligrafi kontemporer karena bentuk karya yang ditampikan cenderung
membebaskan diri dari rumus-rumus dasar kaligrafi (kaligrafi klasik) dan bersifat mengikuti arus
perkembangan seni rupa Barat (modern).

2. Perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta diawali oleh adanya pengaruh “Gerakan
Seni Rupa Baru Indonesia” yang berusaha mengikuti arus perkembangan seni rupa Barat. Seni
lukis yang pertama kali berkembang di Yogyakarta adalah dengan menggunakan media batik
pada tahun 1976. Banyak ragam aliran dan gaya yang bermunculan di dalamnya. Semua itu lebih
dipengaruhi oleh sifat ekspresif yang dimiliki oleh kaidah penciptaan seni lukis secara umum.
Perkembangannya yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam bentuk visual, semakin
beringas di tahun 1980-an dengan munculnya gaya “Syaifuli” pada tahun 1982. Banyak kalangan
seniman melibatkan dirinya dalam penciptaan (pengembangan) seni lukis kaligrafi yang
“memberontak” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi. Beberapa faktor yang mendasari
munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah secara garis besar dikelompokkan
menjadi dua: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor intern merupakan faktor yang
ditimbulkan oleh para seniman muslim sendiri sebagai kreator. Sementara faktor ekstern timbul
dari adanya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” di tahun 1970-an.

3. Tokoh dalam dunia seni lukis kaligrafi di Yogyakarta adalah Amri Yahya, sebagai tokoh
pelopor dengan gaya “Irama Lebak” (media batik) di tahun 1976, dan Syaiful Adnan (1982)
sebagai “generasi kedua” dengan gaya “Syaifuli”nya. Juga dikenal beberapa tokoh lainnya
seperti Hendra Buana (1982) dengan gaya “Abstrak Kaligrafis”, Hatta Hambali (1996) dengan
gaya “Dekoratif” dan Yetmon Amier (1996) dengan gaya “Tekstur Semu” Lima ragam gaya
dalam perkembangan seni lukis kaligrafi yang sering muncul di berbagai pameran tersebut, dapat
digolongkan ke dalam tiga kategori kaligrafi kontemporer, yaitu: kaligrafi ekspresionis, kaligrafi
figural dan kaligrafi abstrak.
DAFTAR PUSTAKA

– M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam Peradaban Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988),
hlm. 1.
– Lihat Ibid., hlm. 281-355.
– Ahmad Suudi, Konsep Kaligrafi Islami Amri Yahya dalam Seni Lukis Batik, (Yogyakarta:
FPBS-IKIP, 1995), hlm. 4.
– Berarti garis atau tulisan indah. Garis lintang, equator atau khatulistiwa terambil dari kata
Arab, khathul istiwa, melintang elok membelah bumi jadi dua bagian yang indah. Lihat D.
Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. I, edisi II, Mei
2000), hlm. 3.
– Rumus-rumus dasar kaligrafi yang sudah dibakukan, seperti: Naskhi. Tsuluts, Diwani, Diwani
Jali, Kufi, Farisi, Riq’ah dan Rayhan. Lihat D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, hlm. 281-
355.

Anda mungkin juga menyukai