Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

“SEORANG ANAK PEREMPUAN DENGAN DEMAM TIFOID


DAN GIZI BAIK”

Disusun oleh:

NURPADILA RAMADANTI

030.13.151

Pembimbing :

Dr. Hery Susanto, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 01 OKTOBER – 08 DESEMBER 2018


LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi Kasus dengan judul

“Seorang Anak Perempuan Dengan Demam Tifoid dan Gizi Baik”

Telah diterima dan disetujui oleh pembiming, dr. Hery Susanto, Sp. A
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepanitraaan klinik Ilmu Kesehatan Anak
di RSUD Kardinah
Periode 01 Oktober – 08 Desember 2018

` Tegal, November 2018

dr. Hery Susanto, Sp. A


STATUS PASIEN LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Nurpadila Ramadanti Pembimbing : dr. Hery Susanto, Sp.A

NIM : 030.13.151 Tanda tangan :

A. IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. L Tn. C Ny. S

Umur 10 tahun 44 tahun 38 tahun

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan

Alamat Jl.Kepandean RT 02/ RW 02 Kec Dukuhturi

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan 5 SD SMA SMP

Pekerjaan Pelajar Wiraswasta Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - Rp. 5.000.000.00,- -

Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi BPJS NON PBI

No. RM 931828
B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap Ibu kandung pasien pada tanggal
13 November 2018 di Bangsal Puspanidra RSUD Kardinah Tegal pukul 11.00 WIB.

 Keluhan Utama : Demam sejak 3 hari SMRS

 Keluhan Tambahan: Muntah, mual, nafsu makan turun, lidah terasa pahit, nyeri
kepala, lemas, terasa pegal-pegal, nyeri perut kanan atas, dan nyeri ulu hati.

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang diantar oleh Ibunya ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 12 November
2018 dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, demam makin tinggi, dan turun jika
diberi obat penurun panas. Pasien juga mengeluh mual dan muntah jika diberi makan.
Selain keluhan tersebut pasien mengeluh nyeri kepala, dan pasien mengatakan badan
terasa pegal-pegal. BAK dalam batas normal, pasien mengatakan awal demam pasien
mengeluh BAB cair, tidak ada lendir tidak ada darah sebanyak 1x, lalu setelah 3 hari
pasien mengeluh belum BAB, dan perut terasa nyeri, batuk dan pilek disangkal, lidah
terasa pahit. Mimisan disangkal, gusi berdarah disangkal, kejang disangkal.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Menurut ibunya, pasien pernah mengalami hal serupa 2 minggu yang lalu dan dirawat
di RSUD Kardinah Tegal dengan diagnosis demam tifoid. Pasien tidak memiliki
riwayat BAB hitam, sesak nafas, mimisan, gusi berdarah, nyeri pada sendi maupun otot
sebelumnya. Riwayat kejang dengan demam atau tanpa demam disangkal oleh ibu
pasien dan tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
obat maupun makanan tertentu. Penyakit lain, seperti asma, penyakit paru, jantung, dan
penyakit hati disangkal.

 Riwayat Pengobatan

Dua hari setelah demam, pasien dibawa berobat ke klinik namun tidak ada perubahan
dan ibu tidak paham obat yang diberikan. Selain itu tidak ada pengobatan lainnya.
 Riwayat kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan makan-makanan pedas, mie instan sehari 3 kali dan jajan
sembarangan jika di sekolah.

 Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa. Riwayat
penyakit keganasan, darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit jantung dan paru
dalam keluarga disangkal.

 Riwayat Lingkungan Perumahan

Pasien tinggal di rumah milik orangtua. Rumah tersebut berukuran ± 10 x 16


m2, memiliki 3 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng,
berlantai ubin, berdinding tembok, memiliki jendela cukup. Di rumah tersebut tinggal
kedua orangtua pasien dan saudara laki-laki pasien, dan pasien. Rumah rajin
dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai membersihkan debu-debu ruangan.
Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari.
Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap. Sumber air bersih berasal
dari sumur dan PAM. Jarak septic tank dengan sumber air sekitar ± 10 meter

Kesan: Keadaan lingkungan rumah, sanitasi, pencahayaan dan ventilasi baik.

 Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien berprofesi sebagai wiraswasta dengan penghasilan ± Rp


5.000.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai IRT. Penghasilan tersebut
menanggung hidup 4 orang yaitu ayah pasien, ibu pasien, pasien, dan saudara pasien.

Kesan: Riwayat sosial ekonomi baik.


 Riwayat Kehamilan, Pemeriksaan Prenatal dan Kelahiran
Anemia (-) Hipertensi (-), diabetes melitus (-),
Morbiditas
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-
Kehamilan
), infeksi (-), minum alkohol (-)
Kehamilan
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya
Perawatan Antenatal setiap bulan di Bidan. Kondisi ibu dan bayi
dikatakan baik. Riwayat imunisasi TT (+) 2 x

Tempat Persalinan RSUD Kardinah Kota Tegal

Penolong Persalinan Dokter Sp.OG

Kelahiran Cara Persalinan Pervaginam secara spontan

Masa Gestasi 38 minggu

Air Ketuban Jernih

Berat lahir : 3200 gram

Panjang lahir : 47 cm

Lingkar kepala : Ibu lupa

Keadaan Bayi Langsung menangis

Kemerahan : (+)

Nilai APGAR : ibu lupa

Kelainan bawaan : (-)

Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik, neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam
keadaan bugar.
 Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di dokter dan bidan sebulan sekali dan anak
dalam keadaan sehat.
Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik.

 Corak Reproduksi Ibu

Ibu P2A0, Anak pertama adalah pasien berjenis kelamin perempuan berusia 10 tahun,
dan anak kedua adalah kakak pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 18 tahun, Usia ibu pasien
saat hamil pasien adalah 28 tahun.

 Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien mengaku saat ini menggunakan KB IUD.

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Pertumbuhan:

Berat badan lahir 3200 gram. Panjang badan lahir 47 cm.

Berat badan sekarang 31 kg. Tinggi badan 136 cm.

Pertumbuhan gigi pertama : 5 bulan (Normal : 5 - 9 bulan)

Psikomotor :

Motorik Kasar

Tengkurap : 4 bulan (Normal : 3 - 5 bulan)

Duduk : 8 bulan (Normal : 6 - 9 bulan)

Berdiri : 11 bulan (Normal : 9 - 12 bulan)

Berjalan : 12 bulan (Normal : 12 - 18 bulan)

Berlari : 18 bulan (Normal 18 - 24 bulan)

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak baik. Tidak ada


keterlambatan kemampuan psikomotor.
 Riwayat Makan dan Minum

Ibu memberikan anak ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Usia 7 bulan diberikan ASI
dan makanan pendamping ASI. Makanan yang diberikan contohnya bubur bayi. Usia 1
tahun, anak diberikan nasi, sayur dan lauk pauk. Pasien rutin makan 3 x sehari. Variasi
makanan nasi, lauk pauk dan sayur.

Usia 1 tahun keatas :

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi/pengganti 3 kali

Sayur 1 kali

Daging 1 kali

Telur 2 kali

Ikan 1 kali

Tahu 2 kali

Tempe 2 kali

Susu 1 kali

Kesan : Pasien mendapat ASI eksklusif, kualitas dan kuantitas makanan baik.
 Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)

BCG 0 bulan - - - - - -

DTP/ DT - 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 5 12


bulan tahun tahun

POLIO 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 - -


bulan

CAMPAK - - - 9 bulan 18 - -
bulan

HEPATITIS B 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -

Hib - 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 - -


bulan

Kesan : Riwayat imunisasi dasar dan ulangan pasien lengkap.


 Silsilah Keluarga

Keterangan :

= Laki-laki

= Perempuan

= Ibu pasien

= Ayah pasien

= Pasien

= Kakak pasien

 Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara

 Ayah pasien merupakan anak tunggal tidak mempunyai bersaudara

 Ibu pasien merupakan anak ke-2 dari 9 bersaudara

C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 13 November 2018, pukul 08.30 WIB, di
Bangsal Puspanidra RSUD Kardinah Kota Tegal.
I. Keadaan Umum
Kesadaran: E4 M5 V6  GCS 15 (compos mentis), Tampak sakit sedang, tampak
lemah, terpasang infus RL (+)
II. Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 136x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 24x/menit reguler
Suhu : 38,8 oC, Axilla
SpO2 : 97 %

III. Data Antropometri


Berat badan sekarang : 31 kg
Tinggi badan sekarang : 136 cm
Lingkar kepala sekarang : 51 cm

IV. Status Generalis

Kulit Warna kulit , sianosis (-), ikterik (-), ruam (-), ptekie(-), ekimosis
(-),
Kepala Normosefal
Rambut Hitam, Tidak mudah di cabut
Wajah Simetris, tidak tampak kelainan dismorfik
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
keluar air mata (+/+)
Hidung Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-),
sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Telinga Normotia, discharge (-/-)
Mulut Bibir kering (+), bibir sianosis (-), stomatitis
(-), labioschizis (-), palatochizis (-), lidah
kotor (+)
Leher Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB
Jantung Inspeksi Bentuk dada simetris kanan – kiri. Sternum
dan iga normal. Retraksi (-). Gerak napas
simetris, tidak ada hemithotax yang
tertinggal.
Palpasi Simetris, tidak ada yang tertinggal
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-).
Paru Inspeksi Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
sinistra.
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen Inspeksi Simestis, smilling umbilicus (-)
Auskultasi Bising usus (+)
Palpasi Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik,
heparlien tidak teraba. Nyeri tekan pada
kuadaran kanan atas, dan epigastrium.
Perkusi Timpani di 4 kuadran
Vertebra Tidak ada kelainan
Genetalia Tidak ada kelainan, jenis kelamin perempuan
Anorektal Tidak ada kelainan
Ekstremitas Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

V. Status Neurologis
 Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk : (-)

- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Kernig : (-)
- Laseque : (-)
 Reflek fisiologis : (+/+)
 Refleks patologis : (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium Darah

Hasil Laboratorium di RSUD Kardinah 12/11/2018 (10.53 WIB)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 13.4 g/dl 10.8 – 15.8


Leukosit 8.2 103/µl 4.5 – 13.5

Hematokrit 40.0 % 35-45

Trombosit 216 103/µl 150 – 521

Eritrosit 5.7 106/µl 3.8– 5.8

RDW 13.6 % 11.5 – 14.5

MCV 70,5 (L) U 80– 96

MCH 23.6 (L) Pcg 28 – 33

MCHC 33.5 g/dL 33-36

Diff count

Neutrofil 58,6 % 50– 70

Limfosit 34,6 % 25 – 40

Monosit 6.6 % 2– 8

Eosinofil 0 (L) % 2-4

Basofil 0.2 % 0–1

SERO IMUNOLOGI

St-O Pos 1/320 Negatif

St-H Pos 1/320 Negatif

S pt-AH Negatif Negatif

NS1 Dengue Negatif Negatif


E. PEMERIKSAAN KHUSUS

Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi


Anak perempuan 10 tahun Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut
Berat badan 31 kg :
Tinggi badan 136 cm 1. BB/U= 31/33 x 100% = 93,9 % (berat badan
Lingkar kepala 51 cm normal menurut usia)
2. TB/U = 136/138 x 100% = 98,5 % (tinggi badan
normal menurut usia)
3. BB/TB = 31/33 x 100% = 93,9% (gizi baik
menurut berat badan per tinggi badan)
Kesan: berat badan normal, perawakan normal dan
status gizi baik
 Lingkar Kepala (kurva Nellhaus)

Lingkar Kepala : 51 cm

Kesan : Normosefali

F. RESUME

Pasien datang diantar oleh Ibunya ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 12 November
2018 dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, demam makin tinggi, dan turun jika diberi
obat penurun panas. Pasien juga mengeluh mual dan muntah jika diberi makan. Selain
keluhan tersebut pasien mengeluh nyeri kepala, dan pasien mengatakan badan terasa pegal-
pegal. BAK dalam batas normal, pasien mengatakan awal demam pasien mengeluh BAB
cair, tidak ada lendir tidak ada darah sebanyak 1x, lalu setelah 3 hari pasien mengeluh
belum BAB, dan perut terasa nyeri, batuk dan pilek disangkal, lidah terasa pahit. Mimisan
disangkal, gusi berdarah disangkal, kejang disangkal. Sebelumnya pada hari kedua demam,
pasien dibawa ke klinik namun tidak ada perubahan.

Menurut ibunya, pasien pernah mengalami hal serupa 2 minggu yang lalu dan dirawat
di RSUD Kardinah Tegal dengan diagnosis demam tifoid. Pasien tidak memiliki riwayat
BAB hitam, sesak nafas, mimisan, gusi berdarah, nyeri pada sendi maupun otot. Riwayat
kejang (-), tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
maupun makanan tertentu. Penyakit lain, seperti asma, penyakit paru, penyakit jantung,
dan penyakit hati disangkal. Pasien memiliki kebiasaan sehar-hari makan pedas dan
senang jajan sembarangan dan makan mie instan sehari 3 kali.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kompos mentis, tampak lemah
dengan denyut jantung 136 x/m, pernafasan 24 x/m, dan suhu 38,8 ˚C. Status antropometri
dan status gizi pasien baik. Status generalis, bibir pasien tampak kering, lidah tampak
kotor, nyeri kuadran kanan atas, dan epigastrium. Pemeriksaan laboratorium, MCV
menurun, MCH menurun, eosinofil menurun, dan sero imunologi St-O 1/320, dan St-H
1/320, Spt-AH negatif, dan NS1 Dengue negatif.

G. DAFTAR MASALAH

 Demam sejak 3 hari SMRS


 Mual dan muntah
 Nyeri kepala
 Nyeri perut kanan atas
 Nyeri ulu hati
 Lidah Kotor dan terasa pahit
 Nafsu makan menurun
 Lemas
 Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium sero imunologi : St-O dan St-H positif
1/320.
 DIAGNOSIS BANDING
 Demam tifoid
 Demam dengue
Demam 3 hari SMRS,
 ISK
mual dan muntah, nyeri
 Malaria
kepala
 Encephalitis

Gastroenteritis :
 Infeksi
Nyeri Perut dan BAB cair
 Non Infeksi

 Gizi baik
Gizi
 Gizi Kurang
 Gizi Lebih

H. DIAGNOSIS KERJA

 Demam Tifoid

 Gizi Baik

I. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
 Monitor tanda vital dan keadaan umum
 Edukasi:
- Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
- Mencari faktor pencetus dan menghindarinya.
- Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak terkena
penyakit serupa.
b. Medikamentosa
• IVFD RL 20 tpm
• Inj Ondansetron 3x1/2 amp
• Inj Cefotaxime 3x500 mg
• Inj Paracetamol 4x250 mg
• Inj, Ceftriaxone 2x750 mg
• Po. Paracetamol 4x1/2 tab

J. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Serologi Tubex

 Kultur darah

K. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam

 Quo ad fungsionam : Ad Bonam

 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam


L. PERJALANAN PENYAKIT
12 November 2018 pukul 08.00 WIB (Ruang PN)
Hari Perawatan ke-1

S Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam 3 hari SMRS terus menerus, nyeri
kepala,mual muntah jika makan, nafsu makan menurun, belum BAB sejak 3 hari
SMRS, namun awal demam BAB cair 1x, batuk (-), dan pilek(-).

O KU: CM, tampak sakit sedang, tampak lemah,rewel


TTV: HR 136 x/m, RR 24 x/m, S 38.8ºC,
Status generalis:
Kepala: Normocepali
Mata: CA(-/-),SI (-/-)
Mulut : Lidah Kotor
Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi (-/-)
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), hepatosplenomegaly (-), nyeri tekan
epigastrium(+), nyeri perut kanan atas (+).
Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
A Febris dd Demam Tifoid

P • IVFD RL 20 tpm
• Inj. Ondansentron 3x1/2 amp
• Inj. Cefotaxime 3x500 mg
• Inj. Paracetamol 4x250 mg
• Inj. Ceftriaxone 2x750 mg
• Po. Paracetamol 4x1/2 tab
• Cek laboratorium darah rutin, sero imunologi, dan NS1 Dengue

13 November 2018 pukul 07.30 WIB (Ruang PN)


Hari perawatan ke-2

S Demam naik turun (+), mual(-), muntah (-), nyeri kepala (-), BAK dalam batas normal,
BAB cair 1x. batuk (-), pilek (-), lidah terasa pahit (+), Kejang (-), mimisan (-).

O KU: CM, tampak sakit sedang, tampak lemas


TTV: HR 96 x/m, RR 24x/m, S 38,5ºC,
Status generalis:
Kepala: Normocepali
Mata: CA(-/-),SI (-/-)
Mulut : Lidah Kotor

Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi (-/-)
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), hepatospenomegali (-), nyeri tekan epigastrium
(+), nyeri perut kanan atas (+)
Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
 Hasil pemeriksaan Sero Imunologi : St-O pos 1/320, St-H pos 1/320, S pt-AH Negatif,
NS1 Dengue negatif

A
Demam Tifoid

P IVFD 20 tpm
Inj. Paracetamol 4x1/2 mg
Inj. Ceftriaxone 2x750 mg
 Po. Paracetamol 4x1/2 tab

14 November 2018 pukul 07.30 WIB (Ruang PN)


Hari perawatan ke-3
S Demam turun (+) , mual dan muntah (-), batuk (-), mimisan (-), kejang(-), nyeri kepala(-
), BAB dan BAK dalam batas normal, lidah terasa pahit (+)

O KU: CM, tampak sakit sedang, tampak lemah


TTV: HR 96 x/m, RR 24x/m, S 36,5ºC,
Status generalis:
Kepala: Normocepali
Mata: CA(-/-),SI (-/-)
Mulut : Lidah Kotor (+)
Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-).
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), hepatospenomegali (-), nyeri tekan epigastrium
(+), nyeri perut kanan atas (+)
Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
A
Demam tifoid
P IVFD RL 20 tpm
Inj. Paracetamol 4x 250 mg
Inj. Cefrtriaxone 2x750 mg
Po. Paracetamol 4x1/2 tab
15 November 2018 pukul 07.30 WIB (Ruang PN)
Hari perawatan ke 4
S Demam (-), mual muntah (-), batuk (-) dahak (-), mimisan (-), kejang(-), nyeri kepala (-),
BAB dan BAK dalam batas normal, makan dan minum (+), lidah pahit (-)

O KU: Compos Mentis


TTV: HR 100 x/m, RR 24x/m, S 36,5ºC,
Status generalis:
Kepala: Normocepali
Mata: CA(-/-), SI (-/-)
Mulut : Lidah kotor (-)
Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-).
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), hepatospenomegali (-),
nyeri tekan epigastrium (-), nyeri perut kanan atas (-)
Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
A Demam Tifoid

P IVFD RL 20 tpm
Inj . Cefrtriaxone 2x750 mg
Po. Paracetamol 4x1/2 tab
Acc Pulang
Aff Infus
Obat pulang: Po. Paracetamol 4x1/2 tab
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Tifoid

2.1.2 Definisi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian
saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.(1)

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, kandung empedu.(2)

2.1.2 Epidemiologi
Demam tifoid disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovoar typhi dan
menular melalui fekal-oral. Demam tifoid endemis di negara berkembang khusunya Asia
Tenggara. Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara diberbagau benua,
melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka
kematian 10%. Insidens demam tifoid tertnggi ditemukan pada anak usia 5-15 tahun. Di
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden demam tifoid, pada kelompok umur 5-
15 tahun dilaporkan 180,3 per 100.000 penduduk.(3,4,)

2.1.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Masa
inkubasi 10-14 hari. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 – 20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu:

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.(5,6,7)

Gambar 1. Mikroskopik Salmonella Typhi

2.1.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup
dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ-
organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan
air ke dalam lumen intestinal

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah
bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental
dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu
tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.(7,8)

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel
mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
respirasi, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien,
folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel,
sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan
juga menstimulasi sistem imunologis.(7,8)

Patogenesis (serotipe invasif)


Epitel usus
fagositosis
Lamina propria respons inflamasi
endotoxin (lokal, sistemik)

multiplikasi Plaque Payeri Lokal: inflamasi


Sistemik: pengeluaran
Makrofag sitokin ->
Duktus torasikus Demam,depp SSTl

bakteriemi primer sirkulasi

Organ target RES (hati,limpa,ss.tl)


bakteriemi sekunder

Organ lain ( fenomena metastasis)

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan
kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam
penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan
antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian
berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang
terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang,
kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen,
namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.
Gambar 3. Respons Antibodi Terhadap S. typhi

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita
yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.(7,8,9)
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang
timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat,
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke
7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.(7,8,9)

2.1.6 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai
komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal,
jumlah megakariosit dalam batas normal.(7,8,10)
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen
itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting


dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).(10)

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi
yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah
serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah
yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada
demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih
lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal
slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi
(karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
 Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

 Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
 Negatif Palsu :
1. pem.terlalu dini  a.b. Belum terbentuk
2. gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
3. Th/ a.b. Dini  antibodi tdk terbentuk

 Positif Palsu :
1. salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )

b) Tes TUBEX
5. Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal.

Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.(10)

Ada 4 interpretasi hasil :


1. Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
2. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
3. Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


1. Immunodominan yang kuat
2. Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang
imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
3. Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon antibodi
dapat terdeteksi lebih cepat.
4. Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui
aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
5. Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di
alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
1. Mendeteksi infeksi akut Salmonella
2. Muncul pada hari ke 3 demam
3. Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
4. Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
5. Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi
demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti
dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat
tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu
3 jam setelah penerimaan serum pasien.(10)
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.(10)

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi
IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.

3) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan
2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1
mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi
hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih
sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.

Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah
satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.(9,10)

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang


digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang


rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4) Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.(10)

2.1.6 Penatalaksanaan
 Non Medika Mentosa
a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus


diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.(9)

b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet
cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.

d) Kompres air hangat


Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh
Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di
hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.(11)

 Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol
dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang
masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah (7,8,9)
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara
syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu.
Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan


pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol
dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid
dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah.
Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol.

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian (8)

1. Komplikasi pada usus halus


a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan.

b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.

c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri
tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh
bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada
awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru,
efusi, dan empiema.

b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :
sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat
I, aritmia, supraventrikular takikardi.

f) Infeksi saluran kemih


Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
2.1.7 Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:

 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

 Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau
kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air
di pancuran kamar mandi.

 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran
tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar
sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

 Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak
ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
 Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.(7)

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5
mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping
yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada
tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan
riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,
mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
2.1.8 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.(7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366:
749-62.
2. Satari HI, Sidabutar S. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak: Kloramfenikol atau
Seftriaxon . Depertemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr.Cipto Mangkusumo. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Sari Pediatri.Vol.No.6.April 2010
3. Stephens I, Levine MM. Management of typhoid fever in children. Pediatric Infect Dis
2002:2002;21:157-9
4. Retnosari S, Tumbelaka AR,Akib AP,Hadinegoro SRS.Clinical and Laboratory features
of typhoid fever in chilhod.Pediatic Indones 2001:4:149-54
5. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th Jakarta
Antimicrobial Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia.
6. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk
factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-
15.
7. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
8. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000
9. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
10. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
11. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien
Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
2012.Diunduhdari.http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwat
y_JHSVol05No01_08_2012.pdf.

Anda mungkin juga menyukai