Disusun oleh:
NURPADILA RAMADANTI
030.13.151
Pembimbing :
Telah diterima dan disetujui oleh pembiming, dr. Hery Susanto, Sp. A
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepanitraaan klinik Ilmu Kesehatan Anak
di RSUD Kardinah
Periode 01 Oktober – 08 Desember 2018
A. IDENTITAS PASIEN
No. RM 931828
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap Ibu kandung pasien pada tanggal
13 November 2018 di Bangsal Puspanidra RSUD Kardinah Tegal pukul 11.00 WIB.
Keluhan Tambahan: Muntah, mual, nafsu makan turun, lidah terasa pahit, nyeri
kepala, lemas, terasa pegal-pegal, nyeri perut kanan atas, dan nyeri ulu hati.
Pasien datang diantar oleh Ibunya ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 12 November
2018 dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, demam makin tinggi, dan turun jika
diberi obat penurun panas. Pasien juga mengeluh mual dan muntah jika diberi makan.
Selain keluhan tersebut pasien mengeluh nyeri kepala, dan pasien mengatakan badan
terasa pegal-pegal. BAK dalam batas normal, pasien mengatakan awal demam pasien
mengeluh BAB cair, tidak ada lendir tidak ada darah sebanyak 1x, lalu setelah 3 hari
pasien mengeluh belum BAB, dan perut terasa nyeri, batuk dan pilek disangkal, lidah
terasa pahit. Mimisan disangkal, gusi berdarah disangkal, kejang disangkal.
Riwayat Pengobatan
Dua hari setelah demam, pasien dibawa berobat ke klinik namun tidak ada perubahan
dan ibu tidak paham obat yang diberikan. Selain itu tidak ada pengobatan lainnya.
Riwayat kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan makan-makanan pedas, mie instan sehari 3 kali dan jajan
sembarangan jika di sekolah.
Ibu mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa. Riwayat
penyakit keganasan, darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit jantung dan paru
dalam keluarga disangkal.
Panjang lahir : 47 cm
Kemerahan : (+)
Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik, neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam
keadaan bugar.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di dokter dan bidan sebulan sekali dan anak
dalam keadaan sehat.
Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik.
Ibu P2A0, Anak pertama adalah pasien berjenis kelamin perempuan berusia 10 tahun,
dan anak kedua adalah kakak pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 18 tahun, Usia ibu pasien
saat hamil pasien adalah 28 tahun.
Pertumbuhan:
Psikomotor :
Motorik Kasar
Ibu memberikan anak ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Usia 7 bulan diberikan ASI
dan makanan pendamping ASI. Makanan yang diberikan contohnya bubur bayi. Usia 1
tahun, anak diberikan nasi, sayur dan lauk pauk. Pasien rutin makan 3 x sehari. Variasi
makanan nasi, lauk pauk dan sayur.
Nasi/pengganti 3 kali
Sayur 1 kali
Daging 1 kali
Telur 2 kali
Ikan 1 kali
Tahu 2 kali
Tempe 2 kali
Susu 1 kali
Kesan : Pasien mendapat ASI eksklusif, kualitas dan kuantitas makanan baik.
Riwayat Imunisasi
BCG 0 bulan - - - - - -
CAMPAK - - - 9 bulan 18 - -
bulan
Keterangan :
= Laki-laki
= Perempuan
= Ibu pasien
= Ayah pasien
= Pasien
= Kakak pasien
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 13 November 2018, pukul 08.30 WIB, di
Bangsal Puspanidra RSUD Kardinah Kota Tegal.
I. Keadaan Umum
Kesadaran: E4 M5 V6 GCS 15 (compos mentis), Tampak sakit sedang, tampak
lemah, terpasang infus RL (+)
II. Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 136x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 24x/menit reguler
Suhu : 38,8 oC, Axilla
SpO2 : 97 %
Kulit Warna kulit , sianosis (-), ikterik (-), ruam (-), ptekie(-), ekimosis
(-),
Kepala Normosefal
Rambut Hitam, Tidak mudah di cabut
Wajah Simetris, tidak tampak kelainan dismorfik
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
keluar air mata (+/+)
Hidung Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-),
sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Telinga Normotia, discharge (-/-)
Mulut Bibir kering (+), bibir sianosis (-), stomatitis
(-), labioschizis (-), palatochizis (-), lidah
kotor (+)
Leher Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB
Jantung Inspeksi Bentuk dada simetris kanan – kiri. Sternum
dan iga normal. Retraksi (-). Gerak napas
simetris, tidak ada hemithotax yang
tertinggal.
Palpasi Simetris, tidak ada yang tertinggal
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-).
Paru Inspeksi Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
sinistra.
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen Inspeksi Simestis, smilling umbilicus (-)
Auskultasi Bising usus (+)
Palpasi Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik,
heparlien tidak teraba. Nyeri tekan pada
kuadaran kanan atas, dan epigastrium.
Perkusi Timpani di 4 kuadran
Vertebra Tidak ada kelainan
Genetalia Tidak ada kelainan, jenis kelamin perempuan
Anorektal Tidak ada kelainan
Ekstremitas Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
V. Status Neurologis
Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Kernig : (-)
- Laseque : (-)
Reflek fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
Diff count
Limfosit 34,6 % 25 – 40
Monosit 6.6 % 2– 8
SERO IMUNOLOGI
Lingkar Kepala : 51 cm
Kesan : Normosefali
F. RESUME
Pasien datang diantar oleh Ibunya ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 12 November
2018 dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, demam makin tinggi, dan turun jika diberi
obat penurun panas. Pasien juga mengeluh mual dan muntah jika diberi makan. Selain
keluhan tersebut pasien mengeluh nyeri kepala, dan pasien mengatakan badan terasa pegal-
pegal. BAK dalam batas normal, pasien mengatakan awal demam pasien mengeluh BAB
cair, tidak ada lendir tidak ada darah sebanyak 1x, lalu setelah 3 hari pasien mengeluh
belum BAB, dan perut terasa nyeri, batuk dan pilek disangkal, lidah terasa pahit. Mimisan
disangkal, gusi berdarah disangkal, kejang disangkal. Sebelumnya pada hari kedua demam,
pasien dibawa ke klinik namun tidak ada perubahan.
Menurut ibunya, pasien pernah mengalami hal serupa 2 minggu yang lalu dan dirawat
di RSUD Kardinah Tegal dengan diagnosis demam tifoid. Pasien tidak memiliki riwayat
BAB hitam, sesak nafas, mimisan, gusi berdarah, nyeri pada sendi maupun otot. Riwayat
kejang (-), tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
maupun makanan tertentu. Penyakit lain, seperti asma, penyakit paru, penyakit jantung,
dan penyakit hati disangkal. Pasien memiliki kebiasaan sehar-hari makan pedas dan
senang jajan sembarangan dan makan mie instan sehari 3 kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kompos mentis, tampak lemah
dengan denyut jantung 136 x/m, pernafasan 24 x/m, dan suhu 38,8 ˚C. Status antropometri
dan status gizi pasien baik. Status generalis, bibir pasien tampak kering, lidah tampak
kotor, nyeri kuadran kanan atas, dan epigastrium. Pemeriksaan laboratorium, MCV
menurun, MCH menurun, eosinofil menurun, dan sero imunologi St-O 1/320, dan St-H
1/320, Spt-AH negatif, dan NS1 Dengue negatif.
G. DAFTAR MASALAH
Gastroenteritis :
Infeksi
Nyeri Perut dan BAB cair
Non Infeksi
Gizi baik
Gizi
Gizi Kurang
Gizi Lebih
H. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
Gizi Baik
I. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
Monitor tanda vital dan keadaan umum
Edukasi:
- Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
- Mencari faktor pencetus dan menghindarinya.
- Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak terkena
penyakit serupa.
b. Medikamentosa
• IVFD RL 20 tpm
• Inj Ondansetron 3x1/2 amp
• Inj Cefotaxime 3x500 mg
• Inj Paracetamol 4x250 mg
• Inj, Ceftriaxone 2x750 mg
• Po. Paracetamol 4x1/2 tab
J. PEMERIKSAAN ANJURAN
Serologi Tubex
Kultur darah
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
S Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam 3 hari SMRS terus menerus, nyeri
kepala,mual muntah jika makan, nafsu makan menurun, belum BAB sejak 3 hari
SMRS, namun awal demam BAB cair 1x, batuk (-), dan pilek(-).
P • IVFD RL 20 tpm
• Inj. Ondansentron 3x1/2 amp
• Inj. Cefotaxime 3x500 mg
• Inj. Paracetamol 4x250 mg
• Inj. Ceftriaxone 2x750 mg
• Po. Paracetamol 4x1/2 tab
• Cek laboratorium darah rutin, sero imunologi, dan NS1 Dengue
S Demam naik turun (+), mual(-), muntah (-), nyeri kepala (-), BAK dalam batas normal,
BAB cair 1x. batuk (-), pilek (-), lidah terasa pahit (+), Kejang (-), mimisan (-).
Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi (-/-)
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), hepatospenomegali (-), nyeri tekan epigastrium
(+), nyeri perut kanan atas (+)
Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
Hasil pemeriksaan Sero Imunologi : St-O pos 1/320, St-H pos 1/320, S pt-AH Negatif,
NS1 Dengue negatif
A
Demam Tifoid
P IVFD 20 tpm
Inj. Paracetamol 4x1/2 mg
Inj. Ceftriaxone 2x750 mg
Po. Paracetamol 4x1/2 tab
P IVFD RL 20 tpm
Inj . Cefrtriaxone 2x750 mg
Po. Paracetamol 4x1/2 tab
Acc Pulang
Aff Infus
Obat pulang: Po. Paracetamol 4x1/2 tab
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian
saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.(1)
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, kandung empedu.(2)
2.1.2 Epidemiologi
Demam tifoid disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovoar typhi dan
menular melalui fekal-oral. Demam tifoid endemis di negara berkembang khusunya Asia
Tenggara. Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara diberbagau benua,
melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka
kematian 10%. Insidens demam tifoid tertnggi ditemukan pada anak usia 5-15 tahun. Di
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden demam tifoid, pada kelompok umur 5-
15 tahun dilaporkan 180,3 per 100.000 penduduk.(3,4,)
2.1.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Masa
inkubasi 10-14 hari. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 – 20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu:
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.(5,6,7)
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup
dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ-
organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan
air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah
bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental
dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu
tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.(7,8)
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel
mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien,
folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel,
sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan
juga menstimulasi sistem imunologis.(7,8)
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan
kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam
penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan
antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian
berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang
terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang,
kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen,
namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.
Gambar 3. Respons Antibodi Terhadap S. typhi
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita
yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.(7,8,9)
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang
timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat,
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke
7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.(7,8,9)
2.1.6 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai
komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal,
jumlah megakariosit dalam batas normal.(7,8,10)
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen
itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi
yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah
serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah
yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada
demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih
lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal
slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi
(karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu :
1. pem.terlalu dini a.b. Belum terbentuk
2. gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
3. Th/ a.b. Dini antibodi tdk terbentuk
Positif Palsu :
1. salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )
b) Tes TUBEX
5. Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.(10)
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat
tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu
3 jam setelah penerimaan serum pasien.(10)
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.(10)
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi
IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan
2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1
mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi
hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih
sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah
satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.(9,10)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.(10)
2.1.6 Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet
cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol
dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang
masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah (7,8,9)
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid
dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah.
Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol.
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian (8)
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri
tekan.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :
sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat
I, aritmia, supraventrikular takikardi.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
2.1.7 Pencegahan
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
2.1.8 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.(7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366:
749-62.
2. Satari HI, Sidabutar S. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak: Kloramfenikol atau
Seftriaxon . Depertemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr.Cipto Mangkusumo. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Sari Pediatri.Vol.No.6.April 2010
3. Stephens I, Levine MM. Management of typhoid fever in children. Pediatric Infect Dis
2002:2002;21:157-9
4. Retnosari S, Tumbelaka AR,Akib AP,Hadinegoro SRS.Clinical and Laboratory features
of typhoid fever in chilhod.Pediatic Indones 2001:4:149-54
5. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th Jakarta
Antimicrobial Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia.
6. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk
factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-
15.
7. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
8. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000
9. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
10. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
11. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien
Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
2012.Diunduhdari.http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwat
y_JHSVol05No01_08_2012.pdf.