Anda di halaman 1dari 57

]]BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang ikut menandatangani deklarasi MDGs,

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan program pembangunan

nasional. Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai paket

arah pembangunan global yang dirumuskan dalam 8 tujuan. Salah satu tujuan

pembangunan di bidang kesehatan yaitu memerangi HIV/AIDS, malaria dan

penyakit menular lainnya salah satunya adalahTuberculosis (TB) (Kemenkes

RI, 2014).

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri berbentuk batang yaitu Mycobacterium tuberculosis. Biasanya yang

paling umum terinfeksi adalah paru-paru tetapi dapat mengenai organ tubuh

lainnya. Penyakit ini dapat menular dari orang ke orang melalui droplet dari

orang yang terinfeksi Tuberculosis paru. Sumber penularan kuman ini adalah

pasien Tuberculosis, Bakteri Tahan Asam (BTA) positif.Tuberculosis Paru

merupakan penyakit menular yang mengancam kesehatan masyarakat di

seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang

berkembang.Tuberculosis Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga

terbesar setelah penyakit Kardiovaskuler (Pertiwi, 2012).

Tuberculosis (TBC) merupakan salah satu masalah kesehatan bagi

bangsa Indonesia dan dunia. World Health Organization (WHO) dalam

1
2

Anuual Report on Global TB Control (2014) menyatakan terdapat 22

negara dikategorikan sebagai hight-burden countries terhadap TBC (WHO

dalam Nisa, 2012). WHO juga memperkirakan terjadinya kasus TBC

sebanyak 9 juta per tahun di seluruh dunia pada(2009), dengan jumlah

kematian sebanyak 3 juta orang per tahun. Dari seluruh kematian tersebut,

25% terjadi di negara berkembang salah satunya termasuk Indonesia

(Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan laporan WHO Global Tuberculosis Control pada tahun

(2014), Indonesia termasuk negara yang dikategorikan sebagai High Burden

Countries terhadap TB Paru yaitu menduduki peringkat kelima sebagai

negara penyumbang penyakit TB Paru setelah India, Cina, Afrika Selatan dan

Nigeria, yaitu India (2,0 juta), Cina (1,3 juta), Afrika Selatan (0,53 juta),

Nigeria (0,46 juta) dan Indonesia (0,46 juta). Provinsi dengan peringkat 5

tertinggi penderita TB Paru adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,

Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Perkiraan Kasus TB Paru di Jawa Barat

sebanyak 44.407, Jawa Timur sebanyak 39.896, Jawa Tengah sebanyak

35.165, Sumatra Utara sebanyak 21.197, dan Sulawesi Selatan sebanyak

16.608 (Profil Kesehatan Indonesia, 2016). Surabaya menempati urutan

kedua di Jawa Timur setelah kota Jember. Daerah dengan peringkat 3

tertinggi penderita TB Paru di Surabaya adalah Perak Timur (88), Dupak

(75), dan Pegirian (45) (Profil Kesehatan Kota Surabaya, 2016).

Indonesia merupakan negara yang dikategorikan sebagai penyumbang

jumlahkasus TB terbesar bersama 21 negara yang lain. Di tingkat nasional,


3

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penyumbang jumlah penemuan

penderita TB Paru terbanyak kedua di bawah Provinsi Jawa Barat. Angka

penemuan kasus baru BTA Positif (Case Detection Rate) merupakan proporsi

penemuan kasus TB BTA Positif dibanding dengan perkiraan kasus dalam

persen. Pada tahun 2016, angka CDR sebesar 63.03% dengan jumlah kasus

baru (positif dan negatif) sebanyak 41.472 penderita dan BTA Positif baru

sebanyak 25.618 kasus (Profil Kesehatan Jawa Timur, 2016).

Tahun 2016, terdapat 18 kabupaten/kota yang telah mencapai target

Compact Disk Recorder70%, sedangkan 20 kabupaten/kota lainnya masih

belum. Kondisi tersebut menunjukkan kabupaten/kota yang berhasil

mencapai target 70% semakin meningkat. Kegiatan penemuan pasien TB

mengalami kemajuan. Berdasarkan jenis kelamin, penderita penyakit TB Paru

ternyata lebih banyak menyerang laki-laki (54%) dibandingkanperempuan

(46%). Bila dilihat berdasarkan usia, maka yang mendominasi penderitaTB

Paru adalah kelompok usia produktif yaitu usia 35-54 tahun dan usia 15-34

tahun (Profil Kesehatan Jawa Timur, 2016).

Berdasarkan Studi Pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 10 Juni

2017, diketahui bahwa jumlah kunjungan Poliklinik Paru RSUD Mardi

Waluyo Kota Blitar dalam 5 bulan terakhir yaitu Januari 2016 sampai Mei

2016 sebanyak 67 penderita dan di dapatkan data pasien yang tidak patuh

dalam mengkonsumsi OAT yaitu sebanyak 42 penderita sedangkan yang

patuh mengkonsumsi OAT yaitu 25 penderita. Dan pada tahun 2017

diketahui bahwa jumlah kunjungan Poliklinik Paru RSUD Mardi Waluyo


4

Kota Blitar yaitu sebanyak 71 penderita TB . Dan di dapatkan data pasien

yang tidak patuh mengkonsumsi OAT yaitu sebanyak 43 penderita sedangkan

yang patuh mengkonsumsi OAT yaitu 28 penderita. Dari hasil wawancara

yang dilakukan peneliti ke 10 penderita TB yang menjalani pengobatan di

dapatkan 8 pasien tidak patuh dalam mengkonsumsi OAT dikarenakan bosan

serta obat-obatan yang di konsumsi besar-besar sehingga pasien malas dalam

mengkonsumsi OAT sedangkan 2 pasien mengatakan patuh dalam minum

OAT karena mengikuti intruksi dari awal selama pengobatan yang diberikan

oleh Dokter dan Perawat poli paru.

Individu dapat terinfeksi kuman tuberkulosis ketika seorang penderita

TB berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi yang dapat melepaskan

droplet besar (lebih besar dari 100 µ) dan kecil (1 sampai 5 µ). Droplet yang

besar akan menetap, sedangkan droplet yang kecil tertahan diudara (Droplet

Nuclei) dan terhirup oleh individu yang beresiko rentan (Suddarth &

Brunner,2008). Orang-orang yang beresiko terpajan dengan basil

Tuberkulosis adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang

terinfeksi aktif. Kelompok antara lain tunawisma yang tinggal berdekatan

ditempat penampungan yang terdapat kasus tuberkulosa, serta anggota

keluarga pasien dan petugas kesehatan (Corwin, 2009). Faktor pencegahan

penularan menitikberatkan pada penanggulangan faktor risiko penyakit

seperti lingkungan dan perilaku. Perilaku seseorang merupakan akumulasi

dari pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan (Widoyono, 2012).

Sebaliknya, jika mereka mengetahui dan menggunakan masker saat didekat


5

pasien kemungkinan tertular akan berkurang karena fungsi masker yang dapat

memfiltrasi udara yang dihirup sebelum masuk kesaluran pernafasan manusia

(Wijayakusuma,2010).

Penggunaan obat merupakan hal yang sangat krusial dalam pengobatan

penyakit. Oleh karena itu obat-obattan selalu diberikan dengan tepat, baik

tepat penyakit, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pakai, tepat pasien, jika tidak

obat akan memberikan efek yang tidak diharapkan dan bahkan bisa

memberikan efek keracunan yang membahayakan jiwa pasien (Dunia

Farmasi, 2014).

Organisasi kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa biaya yang

dikeluarkan untuk pembelanjaan obat di negara-negara berkembang antara 20

– 40% terhadap total biaya kesehatan sedangkan di negara maju antara 10 –

20%, disebutkan bahwa 50 – 90% pasien di negara berkembang membayar

biaya pengobatan secara swadaya (tidak ditanggung asuransi). Khusus untuk

Indonesia, harga obat tergolong mahal yang disebabkan lebih dari 90% bahan

baku obat harus diimpor dari luar negeri, (Dunia Farmasi, 2014).

Menurut laporan WHO (2014), kepatuhan rata-rata pasien pada terapi

jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara majunya sebesar 50%

sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah.

Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan

berkelanjutan. Terapi tuberculosis yang memerlukan pengobatan salah

satunya saat mengkonsumsi OAT dapat memberikan efek negatif yang

sangat besar karena prosentase kasus TBC yang pengobatannya tidak tuntas.
6

Angka ini bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 65%

pada tahun 2020. Beberapa hal yang dapat memicu kekambuhan pada pasien,

antara lain tidakpatuh minum OAT, tidak kontrol ke dokter secara teratur,

menghentikan sendiri OAT tanpa persetujuan dari dokter, gaya hidup yang

tidak sehat, kurangnya dukungan dari keluarga, kurangnya pengetahuan

pasien dan keluarga tentang suatu penyakit serta lingkungan yang kurang

sehat. (Akbar, 2014).

Kepatuhan merupakan fenomena multidimensi yang ditentukan oleh

tujuh dimensi, faktor terapi, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan, usia,

dukungan keluarga, motivasi pasien dan faktor sosial ekonomi. Diatas semua

faktor itu, diperlukan komitmen yang kuat dan koordinasi yang erat dari

seluruh pihak dalam mengembangkan pendekatan multidisiplin untuk

menyelesaikan permasalahan ketidakpatuhan pasien (Purwanto, 2010).

Kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat

meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada

pasien maupun pada masyarakat luas. Banyak faktor berhubungan dengan

kepatuhan terhadap terapi pengobatan termasuk karakteristik pasien,

hubungan antara petugas pelayanan kesehatan dan pasien, regimen terapi dan

seting pelayanan kesehatan, selain itu umur, jenis kelamin, motivasi pasien,

suku/ras dan status ekonomi keluarga berhubungan dengan kepatuhan pasien

dibeberapa tempat di Indonesia (Purwanto,2010).

Lamanya penyakit akan memberikan efek negatif terhadap kepatuhan

pasien. Semakin lama pasien mengidap penyakit TBC maka semakin kecil
7

pasien akan patuh terhadap pengobatannya. Biaya pelayanan merupakan

hambatan yang besar bagi penderita yang mendapat pelayanan rawat jalan

dari klinik umum.Tingkat ekonomi maupun penghasilan yang rendah akan

berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan.

Kemungkinan seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang

ada karena tidak mempunyai cukup biaya untuk menebus resep maupun

membayar transportasi (Kemenkes RI, 2013).

Usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan,

masa depan dan pengambilan keputusan. Misalnya seorang pasien usia 35

tahun dengan 2 orang anak balita dibandingkan dengan penderita lain yang

berusia 78 tahun dimana semua anaknya sudah mandiri tentu saja berbeda

dalam menentukan pilihan untuk mendapatkan kesehatan. Penderita yang

dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih

muda mempunyai harapan hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung

keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau

anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah tua, lelah, hanya

menunggu waktu dan akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani

terapi pengobatan. Usia juga erat kaitannya dengan prognosa penyakit dan

harapan hidup mereka yang berusia diatas 55 tahun cenderung untuk terjadi

berbagai komplikasi yang sangat besar bila dibandingkan dengan yang

berusia dibawah 40 tahun. Selain itu, kemampuan ekonomi, motivasi atau

dukungan keluarga juga berperan dalam ketaatan seseorang menjalani terapi

(Wijaya dan Putri, 2013). Penelitian Zuliana (2009), di Puskesmas Pekan


8

Labuhan Medan menunjukkan 31,6% pasien tidak patuh dalam menjalani

pengobatan, hal ini dikarenakan kurangnya dukungan keluarga,pengaruh

sosial ekonomi dan jarak rumah dan tempat pelayanan medis yang cukup jauh

membuat pasien tidak patuh terhadap pengobatan.

Hasil pengobatan pasien TB dapat dilihat dari kohort(2016) didapatkan

angka terhitung dengan jumlah penderita TB BTA Positif baru dengan hasil

akhir pengobatan sembuh dan pengobatan lengkap dibagi dengan pasien TB

BTA Positif yang diobati pada periode kohort yang sama dan dikalikan

100%. Hasil pengobatan di Provinsi Jawa Timur menunjukkan angka yang

cukup baik, karena telah mencapai angka keberhasilan pengobatan lebih dari

90%. Hanya 9 (sembilan) kabupaten/kota yang belum mencapai angka

keberhasilan 90%. Target RENSTRA tahun 2014, angka keberhasilan

pengobatan 90% dapat dicapai oleh 100% kabupaten/kota.

Pengetahuan tentang penyakit TB Paru merupakan hal yang sangat

penting agar tidak menimbulkan peningkatan jumlah kasus TB Paru akibat

penularan dari pasien kepada orang lain, sehingga perlunya seseorang

mendapatkan informasi tentang TB dan pencegahannya.Perawat dapat

memberikan informasi langsung atau melalui pemberitahuan tertulis berupa

poster tentang cara penularan TB dan pencegahannya dan di harapkan pasien

dapat patuh dalam menggunakan masker dan OAT sehingga angka terjadin

kasus TB paru akan menurun.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian secara langsung tentang “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum


9

OAT Terhadap Karakteristik Basil Tahan Asam di Poliklinik Paru Rumah

Sakit Mardi Waluyo Kota Blitar”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan

Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum OAT Terhadap Karakteristik Basil

Tahan Asam Di Poliklinik Paru RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Pengaruh Tingkat

Kepatuhan Minum OAT Terhadap Karakteristik Basil Tahan Asma Di

Poliklinik Paru RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan mengkonsumsi OAT pada pasien

TB di Poliklinik Paru Rumah Sakit Mardi Waluyo Kota Blitar

b. Mengidentifkasi Karakteristik Basil Tahan Asam Di Poliklinik Paru

Rumah Sakit Mardi Waluyo Kota Blitar.

c. Menganalisa Tingkat Kepatuhan Minum OAT Terhadap Karakteristik

Basil Tahan Asam Di Poliklinik Paru Rumah Sakit Mardi Waluyo Kota

Blitar.
10

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan Sumbangan pemikiran dan tambahan

pengetahuan tentang penerapan kepatuhan Minum OAT di Poliklinik Paru

RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Responden

Menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor resiko apa

saja yang mempengaruhi peningkatan kasus TB Paru khususnya pada

penderita TB Paru dipoliklinik paru Rumah Sakit Mardi Waluyo Kota

Blitar.

b. Bagi Tempat Penelitian

Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan Program Pengendalian TB

paru di Poliklinik Paru Rumah Sakit Mardi Waluyo Koa Blitar.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan referensi terkait studi epidemiologi mengenai

faktor resiko dalam peningkatan kasus TB paru.

E. Keaslian Penelitian

Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum OAT Terhadap Tingkat

Keberhasilan Pengobatan TB, belum pernah diteliti sebelumnya, namun

terdapat beberapa penelitian yang serupa. Perbedaan antara penelitian

sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah sebagai berikut :


11

Tabel 1.1 Perbedaan penelitian yang sebelumnya dengan penelitian


sekarang tentang “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum OAT
Terhadap Karakteristik Basil Tahan Asam di Poliklinik Paru
RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar”.
Perbedaan Variabel, Populasi, Sampel dan
No Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Variabel bebas : Dukungan Keluarga dalam
Peran PMO
Variabel terikat : Kepatuhan Pasien
Mengkonsumsi Obat Pada
Pasien TBC
Tempat : Puskesmas Campurejo Kota
Natalia Maya Sari
1 Kediri
Populasi : Semua responden pasien
TB
Sampel : Sebagian responden pasien
TB
Tahun : 2013
Variabel bebas : Faktor-faktor yang di teliti
yaitu (Usia, Jenis kelamin,
tingkat kepatuhan, hasil
pemeriksaan dahak secara
mikroskopis setelah
pengobatan dan jenis
pengobatan)
Nurmasdi
2 Variabel terikat : Keberhasilan Pengobatan
Kurniawan et al.,
Tuberkulosis Paru
Tempat : Puskesmas Harapan Raya
Pekan Baru
Populasi : Semua responden pasien
TB
Sampel : Sebagian pasien TB
Tahun : 2015

Dari sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang berjudul tentang

“Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum OAT Terhadap karakteristik Basil

Tahan Asam di Poliklinik Paru RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar”. Namun

setelah peneliti melakukan penelusuran usulan penelitian yang sudah ada,

terdapat penelitian yang mempunyai kemiripan judul dengan yang akan di


12

teliti, tetapi penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan

dari segi variabel waktu, populasi, sampel dan lokasi penelitian.

Yang membedakannya dengan penelitian ini terletak pada :

1. Variabel yang diteliti

Pada penelitian ini, variabel independentnya yaitu Kepatuhan Minum

OAT sedangkan variabel dependentnya yaitu Karakteristik Basal Tahan

Asam Tempat Penelitian, Populasi dan sampel

Pada penelitian ini, tempat penelitian yaitu Poliklinik Paru RSUD

Mardi Waluyo Kota Blitar. Populasi yang akan diteliti yaitu semua

penderita TB yang menjalani pengobatan di Poliklinik Paru dan

sampelnya adalah sebagian penderita TB di Poliklinik Paru RSUD Mardi

Waluyo.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep TB Paru

a. Pengertian TB Paru

TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis, kuman yang berukuran satu sampai lima

mikrometer dimana penyebarannya lewat udara melalui droplet dari

pasien TB paru yang menyebar ketika penderita batuk, bersin, dan

berbicara (Utomo et al., 2013).

TB paru menurut Sudoyo et al.,(2009) adalah penyakit infeksius

yang terutama menyerang parenkin paru yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis dimana penularan penyakit ini sebagian

besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei khususnya

yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak

yang mengandung Basil Tahan Asam (BTA). TB paru merupakan

penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberkolosis (Price dan Wilson, 2010). TB paru merupakan penyakit

yang disebabkan oleh oleh Mycobacterium tubercolosis dimana

penularannya melalui tranmisi udara atau airbone desease (Siegel et al.,

2014).

Tuberculosis (TB paru) adalah suatu penyakit infeksi menular

yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang

13
14

parenkim paru dimana penyebarannya lewat udara melalui droplet dan

airbone desease dari pasien TB paru yang menyebar ketika penderita

batuk, bersin dan berbicara.

b. Epidemiologi Penyakit TB Paru

Penyakit tuberculosis menrupakan penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri

Mycobacterium tuberculosis ditemukan pada tahun 1882 pertama kali

oleh Robert Koch. Bakteri tuberculosis masuk ke dalam tubuh melalui

saluran pernafasan menuju kedalam bagian paru-paru, kemudian

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran

darah, saluran limfa, dan saluran pernafasan atau penyebaran langsung

ke bagian atau organ lainnya. Terdapat dua kondisi yang dapat dijumpai

dalam tuberkulosis paru pada manusia, yaitu Tuberkulosis primer (bila

penyakit tuberkulosis muncul dan langsung menginfeksi manusia) dan

Tuberkulosis paska primer (bila penyakit tuberkulosis timbul setelah

beberapa waktu seseorang terkena infeksi dan sembuh). Bakteri

tuberkulosis dapat ditemukan dalam dahak penderita yang menjadi

sumber penularan Wijaya dan Putri (2013).

Bakteri ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarnaan yang biasa disebut sebagai Basil Tahan

Asam (BTA). Bakteri TB dapat bertahan hidup beberapa jam di udara,

tempat yang gelap dan lembab selama berbulan-bulan namun tidak


15

tahan terhadap sinar matahari. Dalam jaringan, tubuh kuman ini dapat

bersifat dormant (tertidur lama selama beberapa tahun) (Suryo, 2010).

Bakteri tuberculosis akan mati pada tingkat pemanasan 100ºC

selama 5 – 10 menit atau pada tingkat pemanasan 60ºC selama 30 menit

dan dengan alkohol 70 – 95% selama 15 – 30 detik. Masa inkubasi

penyakit tuberculosis yaitu selama 3 – 6 bulan. Bakteri ini tahan selama

1 – 2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-

bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data

pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara

bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara

per jam (Widyono, 2008).

Bakteri tuberculosis menular melalui udara dari orang ke orang.

Bakteri TB berada di udara ketika seseorang dengan penyakit TB

mengalami batuk, bersin, berbicara dan bernyanyi. Sumber penularan

adalah penderita tuberkulosis paru BTA positif. Orang terdekat yang

berada disekitarnya ketika bernapas dapat menghirup bakteri TB yang

keluar ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara ataupun bernyanyi

dan terhisap ke dalam paru-paru serta dapat menyebar ke bagian tubuh

lain dan menjadi terinfeksi. Namun tidak selalu langsung terinfeksi,

orang tersebut harus menghabiskan waktu yang cukup lama dalam

kontak dekat dengan orang yang terinfeksi TB untuk dapat menangkap

bakteri TB dan menjadi terinfeksi kuman TB (CDC: Tuberculosis (TB)

Disease, 2016).
16

Selain menginfeksi orang dewasa, infeksi tuberkulosis dapat

menginfeksi bayi dan anak (TB milier). TB anak adalah penyakit TB

yang terjadi pada anak umur 0 – 14 tahun (Kemenkes RI, 2014). TB

pada anak merupakan transmisi terbaru dan berkelanjutan bakteri TB.

Anak-anak kemungkinan terinfeksi TB oleh kontak terdekat, seperti

anggota keluarga. Anak – anak dapat mengembangkan penyakit TB

pada usia berapa pun, tetapi TB yang paling sering menjangkit anak-

anak yaitu pada usia 1 – 4 tahun. Anak – anak bisa sakit dengan

penyakit TB segera setelah terinfeksi bakteri TB atau mereka bisa sakit

di kemudian hari ketika terjadi pelemahan sistem imunitas sehingga

bakteri TB kembali aktif dan berkembangbiak di dalam tubuh. Jika

tidak diobati, kuman TB akan terus menetap di dalam tubuh seumur

hidup dan memungkinkan untuk dapat menginfeksi anak-anak mereka

kelak (Center of Desease Control Prevention: TB in Children, 2013).

Seorang anak dapat terinfeksi bakteri TB pada dasarnya dengan

cara yang sama sebagai orang dewasa, yaitu menghirup bakteri TB

yang ada di udara sebagai hasil dari pelepasan bakteri TB ke udara oleh

seseorang yang memiliki TB BTA positif. Setelah bakteri TB dihirup

dan mencapai paru-paru, selanjutnya bakteri TB berkembangbiak dan

kemudian menyebar melalui pembuluh getah bening ke kelenjar getah

bening di dekatnya. Beberapa anak berada pada risiko yang lebih besar

terkena TB daripada anak yang lain yaitu seorang anak yang tinggal

dirumah yang sama dengan seseorang yang didiagnosis mengidap TB


17

BTA positif, seorang anak berusia kurang dari 5 tahun, seorang anak

dengan infeksi HIV, seorang anak dengan gizi buruk (Center of

Desease Control Prevention: Tuberculosis (TB) Disease, 2016).

Daya penularan dari orang dengan TB ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan di parunya. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahak, makin tinggi daya penularan dari orang dengan TB

tersebut. Tingkat pajanan percikan dahak sangat mempengaruhi besar

risiko tertular TB. Selain itu, faktor yang mempengaruhi kemungkinan

seseorang terinfeksi TB adalah imunitas tubuh yang rendah, infeksi

HIV atau AIDS, dan malnutrisi atau gizi buruk (Kemenkes RI, 2014).

Dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di

Indonesia menyebutkan bahwa faktor risiko penularan TB pada anak

tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan pada

anak. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan

menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif

adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah

26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks

positif adalah 17% (Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, 2014).

c. Penyebab TB Paru

Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil

penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan

tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.


18

Karakteristik kuman Mycobacterium tuberculosa adalah mempunyai

ukuran 0,5 – 4 mikron x 0,3 – 0,6 mikron dengan bentuk batang tipis,

lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung,

tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama

asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam

dan alkohol, sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA), tahan terhadap

zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin,

bersifat dormant (dapat tertidur lama) dan aerob (Widoyono, 2008).

d. Patofisiologi TB Paru

Pertama kali penderita terinfeksi oleh Mycobacterium

tuberculosis, disebut sebagai infeksi primer dan biasanya terdapat pada

apeks paru atau di dekat pleura lobus bawah. Tempat infeksi primer ini

mengalami proses degenerasi nekrotik (perkejuan) yang menyebabkan

pembentukkan rongga yang terisi oleh massa basil tuberkel seperti keju,

sel – sel darah putih yang mati dan jaringan paru nekrotik. Pada

waktunya, material ini mencair dan mengalir ke dalam percabangan

trakheobronkhial dan dibatukkan oleh penderita (Corwin 2009).

Dalam waktu 3 – 6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan

menjadi sensitive terhadap protein yang dibuat oleh Mycobacterium

tuberculosis dan akan bereaksi positif jika dilakukan tes tuberculin atau

tes Mantoux. Sebagian besar tuberkel primer ini sembuh dalam waktu

bulanan dengan membentuk jaringan parut. Lesi ini dapat mengandung

basil hidup yang dapat aktif kembali, meski telah bertahun-tahun dan
19

menyebabkan infeksi sekunder. Sebanyak 90% di antaranya tidak

mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB terjadi bila daya tahan

tubuh menurun, alkoholisme, keganansan, silikosis, diabetes mellitus

dan AIDS (Mutaqqin, 2014).

e. Klasifikasi TB Paru

Ada beberapa klasifikasi TB paru menurut (Kemenkes RI, 2014)

yaitu:

1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

a) Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang

jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)

dan kelenjar pada hilus.

b) Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain

paru,misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung

(pericardium),kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,

ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

a) Tuberkulosis paru BTA positif

(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu

– Pagi – Sewaktu) hasilnya adalah BTA positif.


20

(2) 1 spesimen dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu) hasilnya

BTA positif dan fototoraks dada menunjukkan gambaran

tuberkulosis.

(3) 1 spesimen dahak SPS (Sewakti – Pagi – Sewaktu) hasilnya

BTA positif dan biakan kuman TB positif.

(4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu) pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kriteria diagnostik TB pru BTA negatif harus meliputi :

(1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu – Pagi –

Sewaktu) hasilnya BTA negatif.

(2) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

(3) Tidak ada perbaikan setelah antibiotika non OAT.

(4) Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dtentukan berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya.

c) Kasus Baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu

bulan (4 minggu).
21

d) Kasus Kambuh (Relaps)

Kasus kambuh dalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan

sembuh tetapi kambuh lagi.

e) Kasus setelah putus berobat (Default)

Kasus setelah putus obat adalah pasien yang telah berobat

dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

f) Kasus setelah gagal (Failure)

Kasus setelah gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan

kelima atau lebih selama pengobatan.

g) Kasus Lain

Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi

ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik,

yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah

selesai pengobatan ulangan (Kemenkes RI, 2014).

f. Gejala-Gejala TB Paru

Gejala klinis Pasien Tuberkulosis Paru menurut Wijaya dan Putri

(2013) :

1) Batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih.

2) Dahak bercampur darah.

3) Batuk berdarah.

4) Sesak napas.
22

5) Badan lemas.

6) Nafsu makan menurun.

7) Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.

8) Demam meriang lebih dari satu bulan.

Dengan strategi yang baru DOTS (Directly Observed Treatment

Shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak atau terus-

menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut,

seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya

adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan

pemeriksaan mikroskopis Wijaya dan Putri (2013).

g. Penularan TB Paru

Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman

Mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei)

saat seorang penderita Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang

mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber

penularannya yaitu pada penderita Tuberkulosis paru BTA positif, bila

penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang

lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang

sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah

pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dengan masa inkubasi

selama 3 – 6 bulan (Wijaya & Putri, 2013).


23

h. Diagnosa TB Paru

Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan

gejala klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program

tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti

radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan

mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto thoraks

saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada

TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2009).

i. Komplikasi TB Paru

TB paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita TB

paru dibedakan menjadi dua yaitu :

1) Komplikasi dini : Pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.

2) Komplikasi pada stadium lanjut :

a) Hemoptisis pasif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau

syok hipovolemik.

b) Kolaps lobus akibat sumbatan duktus


24

c) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

pada paru

d) pneumotoraks spontanyaitu kolaps spontan karena bula/blep yang

pecah.

e) Penyebaran infeksi ke orang lain seperti otak, tulang, sendi,ginjal,

dan sebagainya (Sudoyo, 2014).

j. Penatalaksanaan TB Paru

Penatalaksanaan TB Paru meliputi penemuan pasien dan

pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan

utrama pengobatan TB paru adalah menurunkan angka kematian dan

kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan

pasien. Penatalaksanaan penyakit TB Paru merupakan bagian dari

survailans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat

sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan

sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan,

pelaporan, evaluasi evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjut.

Untuk kegiatan tersebut diantaranya : kegiatan penemuan pasien

terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penetuan klasifikasi penyakit

dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam

kegiatan penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB

menular, secara bermakna akan menurunkan angka kesakitan dan

kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus


25

merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di

masyarakat. (Kemenkes RI, 2014)

Strategi penemuan-penemuan TB paru dilakukan secara pasif

dengan promosi aktif penjaringan tersangka pasien di lakukan diunit

pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik

oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan

cakupan tersangka pasien TB. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB,

terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak penderita

TB yang meunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan

secara aktif dari rumah kerumah, dianggap tidak cost efektif.

(Kemenkes RI,2014)

Pemeriksaan dahak mikroskopis dilakukan dengan cara

mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari

kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). S

(Sewaktu) adalah dahak yang dikumpul pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot

dahak untuk mengumpulkan dahak pagi hari untuk hari kedua. P (Pagi)

adalah dahak yang dikumpulkan dirumah pada hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepetugas

UPK. S (Sewaktu) adalah dahak yang dikumpulkan di UPK pada hari

kedua, saat menyerahkan dahak pagi hari (Kemenkes RI, 2014).


26

k. Pencegahan TB Paru

Pencegahan TB paru dilakukan dengan pemeriksaan terhadap

individu yang bergaul erat dengan penderita TB paru BTA positif.

Pemeriksaan meliputi tes tuberculin, klinis dan radiologis. Bila tes

positif, maka pemeriksaan radiologi diulang 6 dan 12 bulan mendatang.

Selain itu, dilakukan pemeriksaan misal terhadap kelompok-kelompok

populasi tertentu yang disebut mass chestX-ray. Pemeriksaan ini

dilakukan misalnya kepada karyawan rumah sakit, penghuni rumah

tahanan atau siswa – siswi asrama. Jika hasil negatif maka akan

diberikan vaksinasi BCG sebagai pencegahan, namun jika hasilnya

positif atau pada kasus bayi yang menyusui dari ibu dengan BTA

positif, maka akan diberikan kemoprofilaksis dengan menggunakan

INH (Isoniazid 5mg/kgBB) selama 6 – 12 bulan dengan tujuan

menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.

Selain pemeriksaan tersebut, tentunya pencegahan yang sangat

diperlukan adalah informasi dan edukasi tentang penyakit TB kepada

masyarakat. Dengan memberikan edukasi yang benar,

diharapkanmasyarakat lebih mengetahui tentang pencegahan TB dan

juga pengobatan.

Salah satu upaya untuk mencengah penularan infeksi udara yaitu

dengan menggunakan masker. Masker harus dikenakan bila

diperkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh

ke wajah. Selain itu, masker menghindarkan perawat menghirup


27

mikroorganisme dari saluran pernapasan pasien dan mencengah

penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke pasien. Masker

bedah melindungi pemakai dari menghirup partikel besar aerosol yang

melintas dalam jarak yang lebih pendek (tiga kaki) dan partikel kecil,

droplet yang lebih jauh. Sekaligus pasien yang rentan terhadap infeksi

menggunakan masker untuk mencengah inhalasi patogen. Pasien yang

manjalani kewaspadaan droplet dan bakteri yang menyebar melalui

udara yang dipindahkan keluar dari kamar mereka, harus menggunakan

masker untuk melindungi pasien dan pekerja yang lain (Siegel et al.,

2014).

Masker yang dipakai dengan tepat terpasang tepat, nyaman diatas

mulut dan hidung sehingga patogen dan cairan tubuh tidak dapat

memasuki atau keluar dari sela-selanya. Jika individu menggunakan

kaca, batas atas masker berada tepat dibawah kacamata sehingga tidak

akan mengembun pada kacamata, bila individu tersebut menghebuskan

napas. Masker yang telah menjadi lembab tidak dapat berfungsi sebagai

barier atau pelindung terhadap mikroorganisme dan demikian bisa

terinfeksi. Masker tersebut harus dibuang, dan tidak seharusnya

digunakan kembali. penderita dan anggota keluarga harus diperingati

bahwa masker yang mengakibatkan sensasi tercekik karena pemakaian

masker yang terlalu lama. Peralatan perlindungan khusus pernapasan

atau masker diwajibkan bila merawat pasien dengan tuberculosis atau

dicurigai tuberculosis (Siegel et al., 2014).


28

Penggunaan masker pada pasien suspek TB paru atau pasien TB

paru BTA positif yaitu memberikan masker pada pasien yang tersangka

TB paru dan pasien BTA positif dimana tujuannya yaitu mencengah

penularan pada pasien lainnya, mencengah penularan silang,

mencengah penularan pada penunggu pasien. Prosedurnya yaitu bila

ada pasien yang datang diperiksa atau kontrol dengan keluhan batuk –

batuk lebih dari dua minggu wajib diberikan masker, setiap pasien yang

kontrol selama pengobatan harus memakai masker bedah, petugas

memakai masker N 95 (SPO RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

2. Konsep Kepatuhan Minum Obat

a. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul

akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga

pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui

rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I., 2014).

Kepatuhan merupakan istilah yang dipakai untuk menjelaskan

ketaatan atau pasrah untuk tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan

dalam program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi

dan dapat langsung diukur. Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien

yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam

bentuk terapi apapun yang ditentukan baik diet, latihan, pengobatan

atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Bastable, 2010).


29

Kepatuhan pasien didefinisikan sebagai “sejauh mana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional

kesehatan”. Pasien mungkin tidak memenuhi tujuan atau mungkin

melupakan begitu saja atau salah mengartikan intruksi yang diberikan.

Pasien gagal meminum antibiotik sebanyak 37,5% gagal meminum obat

– obatan antituberkulosis, dan bahkan diantara pasien – pasien yang

berusaha mematuhi intruksi yang diberikan pada mereka, 25% sampai

75% mungkin meminum dosis yang salah, dan lebih dari 30% membuat

kesalahan yang potensial berakibat fatal (Siegel et al., 2014).Kepatuhan

dalam terapi adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap

intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang

ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan

dengan dokter (Stanley, 2007).

b. Faktor-Faktor yang Mendukung Kepatuhan

Menurut Faktul (2009) terdapat beberapa faktor yang mendukung

sikap patuh, diantaranya :

1) Pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia

meningkatkan kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju

kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan

membina dan mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa

rohani (cipta, rasa, karsa) dan jasmani. Domain pendidikan dapat

diukur dari melalui :


30

a) Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge).

b) Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan

(attitude).

c) Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang

diberikan.

2) Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian

pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri

harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.

3) Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman

sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk

membantu memahami kepatuhan terhadap program pengobatan.

4) Perubahan model terapi

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan

pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

5) Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien.

Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada

pasien setelah memperoleh informasi diagnosa.

c. Kriteria Kepatuhan

Wijaya dan Putri (2013) kriteria kepatuhan dalam melaksanakan

tindakan kesehatan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :


31

1) Patuh adalah kesesuaian antara peraturan dengan tindakan, baik

terhadap perintah ataupun aturan, dan perintah tersebut telah

dilaksanakan dan semuanya benar, patuh : 50 – 100%.

2) Tidak patuh adalah suatu tindakan yang mengabaikan atau tidak

melaksanakan perintah atau aturan sama sekali, tidak patuh: <50%.

d. Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka

menuruti, disiplin. Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam

mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan

kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Menurut Ester (2000)

kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Secara umum,

istilah kepatuhan (compliance atau adherence) didefinisikan sebagai

ukuran sejauh mana pasien mengikuti instruksi – instruksi atau saran

medis (Lemone dkk., 2016).

Menurut Khoiriyah(2009) menyatakan bahwa salah satu indikator

kepatuhan dalam pengobatan TB adalah datang atau tidaknya penderita

setelah mendapat anjuran untuk kontrol kembali. Seseorang penderita

akan dikatakan patuh jika dalam proses pengobatan penderita meminum

obat sesuai dengan aturan paket obat dan tepat waktu dalam

pengambilan obat.

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 – 3

bulan) dan fase lanjutan (4 – 7 bulan). Untuk program nasional


32

pembatasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan

kategori penyakit. Kategori tersebut didasarkan pada urutan kebutuhan

pengobatan dalam program. Kategori dalam penyakit TB dibagi

menjadi empat yaitu :

1) Kategori I

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan

penderita dengan sputum negatif tetapi memiliki kelainan paru yang

luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Dimulai

dengan fase 2 HRZS (E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan.

Jika setelah dua bulan pengobatan, sputum menjadi negatif, maka

dilanjutkan dengan fase lanjutan. Jika setelah dua bulan, hasil

sputum tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2 – 4 minggu

setelah fase intensif pertama, kemudian dilanjutkan dengan fase

lanjutan tanpa melihat hasil sputum berikutnya.

2) Kategori II

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum

tetap positif. Fase intensif HRZES – 1 HRZE. Bila setelah fase

intensif sputum berubah menjadi negative, maka diteruskan ke fase

lanjutan. Bila setelah pengobatan selama tiga bulan sputum tetap

positif, maka pengobatan dihentikan 2 – 3 hari. Kemudian uji

resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.


33

3) Kategori III

Kategori III adalah kasus dengan sputum negative tetapi

kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang

disebutkan dalam kategori I. Pengobatan yang diberikan 2HRZ/6

HE, 2HRZ/4 HR, 2HRZ/4 H3R3.

4) Kategori IV

Kategori IV adalah TB kronis. Prioritas pengobatan rendah

karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil. Untuk negara

kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H

saja seumur hidup. Untuk negara maju atau pengobatan secara

individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat

berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua seperti Quinolon,

Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin dan sebagainya

(Muttaqin, 2014).

e. Efek Samping Obat

Sebagian besar penderita penyakit tuberkulosis dapat

menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil

dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantauan efek

samping dapat diperlukan selama pengobatan dengan cara :

1) Menjelaskan kepada pasien tanda – tanda efek samping obat.

a) Efek samping ringan dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) menurut

Kemenkes RI (2014).
34

Tabel 2.1. Efek samping ringan OAT

Obat Efek Samping Penanganan

Tidak ada nafsu makan, Perlu penjelasan pada


mual, sakit perut, warna penderita dan obat
Rifampizin
kemerahan pada air seni diminum malam
(Urine) sebelum tidur

Pirasinamid Nyeri sendi Beri aspirin

Kesemutan s/d rasa Beri vitamin B6


INH
terbakar dikaki (Peridoxin) 10 Mg/ hari

b) Efek samping berat dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) menurut

Kemenkes RI (2014).

Tabel 2.2. Efek samping berat OAT

Obat Efek Samping Penanganan


Streptomisin
Tuli, gangguan
Streptomisin dihentikan, ganti
keseimbangan
etambutol
Etambutol Gangguan penglihatan Hentikan etambutol
Purpura dan rejatan
Rifampisin Hentikan Rifampisin
(syok)
Semua Jenis Gatal dan kemerahan
Diberi antihistamin
OAT kulit
Hentikan semua OAT
Ikterus tanpa penyebab
Hampir semua sampai ikterus
lain, bingung dan
OAT menghilang dan segera
muntah-muntah
lakukan tes fungsi hati

2) Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita

mengambil obat.
35

3. Konsep Karakteristik BTA

a. Pengertian Basil Tahan Asam

Bakteri tahan asam adalah jenis bakteri tahan asam yang tidak

dapat diwarnai dengan pewarnaan anilin biasa kecuali dengan

menggunakan fenot dan dengan pemanasan. Bakteri ini memiliki

dinding sel berlilin karena mengandung sejumlah besar materi lipoidal

oleh karena itu bakteri ini hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan

BTA (Acid-Fas Stain). Dinding sel hibrovobik dan impermeabel

terhadap pewarnaan dan bahan kimia lain pada cairan atau larutan

encer. Ketika proses pewarnaan, bakteri tahan asam ini melawan

dekolorisasi dengan asam sehingga bakteri tersebut disebut bakteri

tahan asam (Ball,2007).

Bakteri yang pada pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) tetap mengikat

warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol, sehingga tidak

mampu mengikat warna kedua. Bakteri tersebut ketika diamati dibawah

mikroskop tampak berwarna merah dengan warna dasar biru muda.

Basil tahan asam juga dapat dikatakan sebagai bakteri yang memiliki

kandungan lemak sangat tebal sehingga dalam pewarnaannya tidak

dapat dipengaruhi oleh reaksi pewarna lainnya. Pada kelompok bakteri

tersebut disebut dengan bakteri tahan asam (BTA), pada saat pencucian

pertama dapat mempertahankan warnanya dengan pelarut pemucat

Bakteri yang memiliki ciri-ciri yaitu berantai karbon ( C ) yang

panjangnya 8-95 dan memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari
36

lapisan lilin dan asam lemak mikolat, lipid yang ada bisa mencapai 60%

dari berat dinding sel (Syahrurachman,2007).

b. Cara Pemeriksaan BTA

1) Pengumpulan Contoh Uji Dahak

a) Persiapan Pasien

Sebagai persiapan bagi pasien, pasien harus diberitahu

bahwa uji dahak sangat bernilai untuk menentukan status

penyakitnya, karena itu anjuran pemeriksaan dahak Sewaktu (S),

Pagi (P), Sewaktu (S) untuk pasien baru serta Sewaktu (S) dan

Pagi (P) untuk pasien dalam pemantauan pengobatan harus

dipenuhi. Dahak yang baik adalah yang berasal dari saluran nafas

bagian bawah,berupa lendir yang berwarna kuning kehijauan

(Mukopurulen). Pasien berdahak dalam keadaan perut kosong,

sebelum makan / minum dan membersihkan rongga mulut

terlebih dahulu dengan berkumur dengan air bersih. Bila ada

kesulitan berdahak, pasien harus diberi obat ekspektoran yang

dapat merangsang pengeluaran dahak dan diminum pada malam

sebelum mengeluarkan dahak, (Kemenkes RI 2013).

b) Persiapan alat yang diperlukan adalah sebagai berikut :

Pot dahak bersih dan kering dengan diameter mulut pot>

6cm, transparan, berwarna bening, bertutup ulir. Pot tidak boleh

bocor. Sebelum diserahkan kepada pasien, pot dahak harus sudah

diberikan identitas sesuai idntitas/nomor register (pada form TB


37

05); Formulir permohonan pemeriksaan laboratotium (TB 05) ;

Label, pensil, spidol (Kemenkes RI, 2013).

c) Cara Pengeluaran dahak yang Baik

Pada saat berdahak, aerosol/percikan dapat menulari orang

yang ada disekitarnya. Karena itu tempat berdahak adalah ruang

khusus yang jauh dari kerumunan orang, apabial diruang terbuka,

harus dengan sinar matahari langsung dan apabila di ruang

tertutup harus dengan ventilasi yang baik.

Cara Berdahak :

Kumur-kumur dengan air bersih sebelum mengeluarkan

dahak, bila memakai gigi palsu, lepaskan sebelum berkumur

lalu tarik nafas dalam (2-3 kali), buka tutup pot deatkan ke

mulut, berdahak dengan kuat dan ludahkan kedalam pot

dahak, tutup pot yang berisi dahak dengan rapat, pasien harus

mencuci tangan dengan air dan sabun antiseptik (Kemenkes

RI, 2013).

Waktu pengambilan dahak :

(1) S (Sewaktu,pertama) : dahak dikumpulkan pada saat datang

pada kunjungan pertama ke laboratorium

(2) P (Pagi) : Dahak dikumpulkan pagi segera setelah bangun

tidur pada hari ke 2, dibawa lansung oleh pasien ke

labolatorium.
38

(3) S (Sewaktu, kedua) : dahak dikumpulkan di labolatorium

pada hari ke 2 pada saat menyerahkan dahak pagi.

Adapun kualitas dahak yang baik dapat dilihat dari :

(1) Volume : 3,5-5ml

(2) Kekentalan : mukoid

(3) Warna : Hijau ke kuningan (purulen) (Kemenkes RI,

2013)

c. Pewarnaan BTA

1) Ziehl Neelsen

Pewarna Ziehl-Neelsen, juga dikenal sebagai pewarna tahan

asid, pertama kali ditemukan oleh dua orang doktor Jerman, Franz

Ziehl 1859 hingga 1926), pakar bakteria bakteriologi dan Friedrich

Neelsen (1854 hingga 1894), ahli patologi. ZN merupakan pewarna

bakteria khas yang digunakan organisme tahan asid, terutama

Mycobacteri. ZN membantu mendiagnosis Mycobacterium

tuberculosis karena dinding lipid yang banyak selnya.

Pewarnan Zihel Neelsen merupakan pewarna diferensial,

artinya pewarna yang menggunakan lebih dari satu zat warna, seerti

pewarnaan gram dan pewarnaan tahan asam, dapat membedakan

bakteri tahan asam dengan bakteri yang bukan tahan asam.

Pada dasarnya prinsip pewarnaan Mycobacterium yang dinding

selnya tahan asam karena mempunyai lapisan lemak atau lilin,

sehingga sukar ditembus cat. Oleh pengaruh phenol dan pemanasan,


39

maka lapisan lilin dapat ditembus dapat ditembus oleh cat Bassic

Fuchsin, kemudian dicuci dengan air mengalir, lapisan lilin yang

terbuka waktu dipanasi akan merapat kembali, karena terjadi

pendinginan pada waktu dicuci. Sewaktu dituangi dengan HCL dan

alkohol 70%, warna merah dar Bassic Fuchsin pada BTA tidak akan

dilepas ataupun luntur. Bakteri yang tidak tahan asam akan

melepaskan warna merah, sehingga menjadi pucay atau tidak

berwarna. Akhirnya pada waktu dicat dengan Methylene Blue, BTA

tidak mengambil warna biru. (Kumala,2007)

2) Carbon Fuchsin

Fuchsine pertama kali dibuat oleh August Wilhelm von

Hofmann dari anilin dan akrbon tetraklorida pada tahun 1858.

Francois-Emmanuel Verguin menemukan cat ini terlepas dari

Hofman pada tahun yang sama dan dipatenkan nya. Fuchsine

dinamai oleh pembuat aslinya Renard freres et Franc, biasanya

disebut salah satu dari dua etimologi: dari warna bunga-bunga dari

tanaman genus Fuchsia, dinamai untuk menghargai ahli Botani

Leonhart Fuchs, atau sebagai Fuchs terjemahan bahasa jerman nama

Perancis renard, yang berarti rubah. Sebuah artikel dalam

repertoarde Pharmacie 1861 mengatakan bahwa nama itu diilih

untuk kedua alasan.

Fuchsine basa adalah suatu campuran homolog dari Fuchsin

dasar, yang diubah dengan penambahan gugus sulfonat. Sedangkan


40

ini menghasilkan 12 kemungkinan isomer. Dalam larutan bersam

fenol (disebut juga asam karbolat) sebagai accentuator disebut carbol

Fuchsin dan digunakan untuk pewarnaan Ziehl-Neelsen dan

pewarnaan asam cepat serupa lainnya dari mikobakteri yang

menyebabkan tuberkulosis, kusta dll. Fuchsine dasar banyak

digunakan dalam biologi untuk mewarnai inti.

Carbon Fuchsin yang terdiri dari larutan Fuchin dan larutan

phenol yang mempunyai yang mempunyai fungsi membuka lapisan

lilin agar menjadi lunak sehingga catdapat menembus masuk ke

dalam sel bakteri Mycobacterium Tuberculosis. (Jutomo,2008)

3) Asam Alkohol

Larutan ang terdiri dari HCL 37% 30 ml dan ethanol 96% 970 ml

yang berfungsi untuk membilas atau melunturkan zat warna

(decolarization) pada sel bakteri (mikroorganisme). Saat sel-sel bakteri

sudah mampu menyerap warna carbol Fuchsin maka dinding sel

tersebut kan kembali tertutup pada suhu semula, sehingga sebelum

ditambahkan asam alkohol ditunggu 5 menit dan pada saat penambahan

asam alkohol ini, maka bakteri yang bukan BTA akan dilunturkan

kembali oleh carbol fuchsin tersebut karena tidak mampu mengikat kuat

seperti halnya bakteri BTA.

4) Methyelen Blue

Metielen biru adalah senyawa kimia aromatik heterosiklik dengan

rumus kimia C16H18N3SC1. Senyawa ini banyak digunakan biologi dan


41

kimia. Pada prmbuatan preparat BTA Methyelen blue terdiri dari

methyelen blue dan aquadest. Methyelen blue berfungsi sebagai cat

lawan dan pada pemberian methyelen blue pada bakteri akan tetap

berwarna merah dengan latar belakang biru atau hijau. (Jutomo Dkk,

2007)

d. Pembacaan Mikroskopis sediaan

Pemeriksaan mikroskopis harus dilaksanakan dengan

menggunakan mikroskopis binokuler yang sesuai standar. Agar hasil

pemeriksaan mikroskopis bermutu harus menggunakan mikroskop

dengan kondisi dan fungsi yang baik. Petugas harus melakukan

perawatan mikroskop secara teratur dan dengan cara yang benar, yaitu

dengan cara :

1) Pembersihan Lensa

Lensa dibersihkan dengan pembersih yang sesuai dengan

bahan lensa mikroskop, sesuai dengan ketentuan pabrik,

menggunakan kertas lensa dan sikat halus atau peniup udara

(blower).

2) Penggantian bola lampu

Ketahui batas lampu dan sediakan lampu cadangan dengan

tegangan / voltage yang sesuai

3) Penyimpanan

Mikroskopis harus disimpan dalam kotak / lemari yang tidak

lembab dengan cara dengan cara pemasangan lampu 5 watt terus


42

menerus, walaupun mikroskop sedang dipakai atau dengan

menempatkan silica gel dalam kantung kain. Kotak/lemari

mikroskop harus memiliki lubang untuk pertukaran udara dan harus

tertutup sehingga mikroskop bebas dari debu. Debu dapat tertimbun

pada bagian saluran dan roda gigi dan dapat menyebabkan bagian-

bagian mekanik mikroskop akan susah digerakan.

Cara pembacaan mikroskopis dahak adalah :

a) Pemindaian 100 lapangan pandang

Pembacaan sediaan dahak menggunakan mikroskop dengan

lensa objektif 100x dilakukan pembacaan di sepanjang garis

horisontal terpanjang dari ujung kiri ke ujung kanan atau

sebaliknya. Dengan demikian akan dibaca minimal 100 lapang

pandang.

b) Pelaporan hasil pemeriksaan mikroskopis dengan mengacu

kepada skala International union Againts To Lung Disease

(IUATLD)

(1) Negatif : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang

(2) Scanty : Ditemukan BTA 1-9 dalam 100 lapang pandang

(tuliskan jumlah BTA yang ditemukan)

(3) 1⁺ : ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang

(4) 2⁺ : ditemukan 1-10 BTA setiap 1 lapang pandang ( periksa

minimal 50 lapang pandang )


43

(5) 3⁺ : ditemukan ≥ 10 BTA dalam 1 lapang pandang (periksa

minimal 2 lapang pandang)

c) Penilaian Kualitas Sediaan Dahak

Sediaan dahak yang baik adalah sediaan yang memenuhi 6

syarat kualitas sediaan yang baik yaitu kualitas contoh uji,ukuran

ketebalan, kerataan, pewarnaan dan kebersihan.

(1) Kualitas Contoh Uji (Spesimen)

Spesimen dahak berkualitas apabila ditemukan leukosit

≥ 25 per lapang pandang pada pembesaran mikroskop 10x10.

(2) Ukuran Sediaan Dahak

sediaan dahak yang baik berbentuk oval berukuran

panjang 3 cm dan lebar 2cm.

(3) Ketebalan

Penilaian ketebalan dapat dilakukan sebelum

pewarnaan dan pada saat pemeriksaan mikroskopis. Penilaian

ketebalan sebelum pewarnaan dilakukan dengan meletakan

sediaan sekitar 4cm diatas kertas. Penilaian ketebalan dapat

dilakukan juga setelah sediaan dahak di warnai. Pada sediaan

yang baik, sel leukosit tidak tampak bertumpuk (one layer

cells).

(4) Kerataan

Penilaian kerataan dilakukan secara mikroskopis dan

mikroskopis dengan tidak tampak adanya daerah kosong.


44

Sediaan yang baik pada setiap lapang pandang akan terlihat

apusan dahak yang tersebar rata secara mikroskopis.

(5) Pewarnaan

Pada sediaan yang baik, tampak jelas kontras antara

BTA dan warna latar, bersih dan tidak tampak sisa zat warna.

Pada waktu dilihat dibawah mikroskop akan tampak latar

berwarna biru dan BTA berwarna merah.

Pengamatan secara makroskopis reagen ZN yang baik apabila

(a) Larutan Carbol Fuchsin 0,3%

 Larutan berwarna merah dengan kilo logam

dipermukaannya

 Larutan tidak ada endapan

(b) Larutan Asam Alkohol 3%

 larutan bening tidak ada endapan

(c) Larutan Methylene blue 0,3%

 Larutan berwarna biru tidak ada endapan

(6) Kebersihan

Penilaian kebersihan dilakukan secara makroskopis dan

mikroskopis. Sediaan yang baik terlihat bersih, tidak tampak

sisa zat dan warna endapan Kristal. Sediaan dahak yang

kurang bersih akan mengganggu pembacaan secara

mikroskopis. Penilaian kulitas sediaan dahak yang baik


45

dilakukan dengan menggunakan diagram sarang laba - laba.

(Kemenkes RI, 2013).

B. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian

yang akan dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap topik yang dipilih

sesuai dengan identifiikasi masalahnya (Hidayat, 2010).

Faktor penyebab TB Pencegahan


Paru : Penularan TB Paru :
1. Ekonomi 1. Mengkonsumsi
Kasus TB Paru
2. Status Gizi OAT
3. Umur 2. Penggunaan
4. Jenis Kelamin Masker
3. Melakukan
Imunisasi BCG
Hasil pemeriksaan 4. Tidak kontak
Basil Tahan Asam langsung dengan
(BTA) : penderita
1. Pagi : Negatif
2. Sewaktu : Patuh
Negatif
3. Pagi : Negatif Kepatuhan Minum
OAT
Tidak
Hasil pemeriksaan
Patuh
Basil Tahan Asam
(BTA)
1. Pagi : Positif
2. Sewaktu : Keterangan
Positif
3. Pagi : Positif : Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum OAT


Terhadap Karakteristik Basil Tahan Asam Di Poliklinik Paru
RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar
46

C. Hipotesis Penelitian

Secara umum hipotesis adalah sebuah pernyataan yang masih lemah dan

membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut

diterima atau ditolak, berdasarkan fakta dan data empiris yang telah

dikumpulkan dalam penelitian. Hipotesis juga merupakan sebuah pernyataan

tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat

diuji secara empiris (Hidayat,2010).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya Pengaruh TingkatKepatuhan

Minum OAT Tterhadap Karakteristik Basil Tahan Asam

46
47

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran ilmu

pengetahuan atau pemecahan suatu masalah yang dasarnya menggunakan metode

ilmiah (Notoatmodjo, 2012). Metode penelitian merupakan prinsip-prinsip logis

terhadap penemuan, pengetahuan dan penjelasan kebenaran.

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah suatu hasil akhir dari suatu tahapan

keputusan yang di buat oleh peneliti yang berhubungan dengan bagaimana

suatu penelitian dapat diterapkan (Nursalam, 2015). Jenis penelitian ini

adalah korelasi dengan desain case control. Pada desain case control yaitu

jenis penelitian dengan cara membandingkan kelompok kasus dengan

kelompok kontrol berdasarkan status paparannya (retrospektif).(Notoatmodjo,

2012).

B. Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah suatu langkah-langkah dalam aktivitas penelitian,

di mulai dari penetapan populasi, sampel dan hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian atau kegiatan sejak awal dimulainya suatu penelitian (Nursalam,

2013)

47
48

Populasi
Semua pasien yang berkunjung di Poli ParuRSUD Mardi Waluyo Kota
Blitar sebanyak 71pasien pada bulan Januari sampai Mei 2017

Accidental Sampling

Sampel
Sebagain pasien yang berkunjung di Poli paru Rumah Sakit Mardi Waluyo
Kota Blitar yang dilakukan selama 2 minggu

Pengambilan data

Variabel independen : Variabel dependen :


Kepatuhan Minum OAT Basil Tahan Asam
(Observasi) (Observasi)

Pengolahan data
Editing, coding, scoring, tabulating

Uji Statistik :
Regresi Logistik

Penyajian hasil

Kesimpulan

Gambar 3.1Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum OAT Terhadap Karakteristik


Basil Tahan Asam Di Poliklinik Paru Rumah Sakit Mardi
Waluyo Kota Blitar
49

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang akan di teliti (Notoadmojo,

2010). Populasi dalam penelitian merupakan subjek yang memenuhi

kriteria yang sudah diterapkan (Nursalam, 2015).Dalam penelitian ini,

yang akan menjadi populasi adalah semua Pasien TB Paru yang

berkunjung ke Poli Paru Rumah Sakit Mardi Waluyo Blitar. Besar

populasi pasien TB Paru di Poliklinik Paru RS Mardi Waluyo pada

bulan Januari 2017 sampai Mei 2017 sebanyak 71 responden.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoadmodjo, 2012). Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagian pasien TB Paru yang berkunjung ke Poli

Paru Rumah Sakit Mardi Waluyo Blitar yang melakukan pemeriksaan

BTA

3. Sampling

Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian,

terdapat berbagai teknik sampling yang dapat digunakan (Nursalam,

2013). Pada penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik

nonprobability sampling, menggunakan teknik sampling accidental

sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu

siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat

digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang ditemui itu


50

cocok dengan sumber data (Sugiyono, 2012).

D. Identifikasi Variabel

Variabel adalah konsep dari berbagai level abstrak yang didefinisikan

sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi suatu

penelitian (Nursalam, 2013). Variabel penelitian biasanya didefinisikan

sebagai faktor yang apabila diukur memberikan nilai yang bervariasi

sebagai karakteristik dari orang, obyek atau gejala yang dimiliki nilai yang

berbeda- beda (Notoatmodjo, 2012), meliputi :

1. Variabel independent (Variabel bebas)

Variabel independent disebut juga dengan variabel bebas adalah

variabel yang nilainya menentukan variabel yang lain (Nursalam,

2013). Pada penelitian ini variabel bebasnya adalah “Kepatuhan

Minum OAT”.

2. Variabel dependent (Variabel terikat)

Variabel dependent disebut juga variabel terikat yaitu variabel

yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2013). Pada

penelitian ini variabel terikatnya adalah “Karakteristik Basil Tahan

Asam”.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari suatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2013).


51

Tabel 3.1 Definisi Operasional Pengaruh tingkat Kepatuhan Minum OAT Terhadap
lKarakteristik Basil Tahan Asam.
Definisi
Variabel Parameter Instrument Skala Kategori
Operasional
Variabel Menuruti 1. Waktu Lembar Nominal Patuh : Jika pasien
Independent aturan 2. Jenis Observasi disiplin minum obat
pengobatan 3. Jumlah sesuai anjuran tenaga
Kepatuhan secara lengkap kesehatan serta obat yang
Minum OAT selama 6 bulan diberikan habis sesuai
dan jadwal, pasien kembali
pemeriksaan mengambil obat tepat
secara rutin waktu, dan tidak ada sisa
obat.

Tidak Patuh : Jika pasien


tidak disiplin minum obat
sesuai anjuran tenaga
kesehatan serta obat yang
diberikan tidak habis
sesuai jadwal, pasien
kembali mengambil obat
tidak tepat waktu, dan
masih ada sisa obat.
Variabel Menentukan 1. Pagi Lembar Nominal 1.BTA Positif Paien
Dependent : adanya 2. Sewaktu Observasi belum sembuh
Mycrobacteriu 3. Pagi 2. BTA Negatif Pasien
Karakteristik m tubercuosa dinyatakan sembuh
Basil Tahan yang setelah
Asam dilakukan
pewarnaan
bakteri ini
dapat berubah
atau tidak
mengalami
perubahan
warna oleh
alkohol asam
52

F. Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat untuk pengumpul data yang

terdiri dari lembar observasi yang disiapkan untuk mendapatkan

informasi dari responden, sehingga data yang dikumpulkan merupakan

data yang valid, reliabeldan akurat (Nursalam, 2013).

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Poli Paru RSUD Mardi Waluyo

Kota Blitar. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2017.

3. Prosedur Pengambilan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan langkah – langkah

sebagai berikut :

a. Mendapat rekomendasi dari Stikes Surya Mitra Husada Kediri

b. Meminta Izin kepada pimpinan lokasi penelitian

c. Setelah mendapat ijin dari pimpinan lokasi penelitian, peneliti

mulaimelakukan penelitian

d. Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian

e. Memilih calon responden

f. Memberikan inform konsen kepada responden dan menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian.

g. Memberikan Lembar Observasi kepada responden

g. Setelah data terkumpul maka akan dilakukan pengolahan data.


53

4. Prosedur Pengolahan Data

Tahap- tahap pengolahan data :

a. Editing yaitu melihat apakah kuesioner sudah terisi lengkap atau

belum.

b. Coding yaitu mengklasifikasikan hasil penelitian yang termasuk

data karakteristik responden. Dan mengkode data karakteristik

responden (Asiz, 2007).

1) Data umum

a) Jenis kelamin

1 : laki-laki

2 : perempuan

b) Usia

1 : 41-45 Tahun

2 : 46-50 Tahun

3 : 51-55 Tahun

4 : 56-60 Tahun

5 : 61 – 65Tahun

c) Pendidikan

1 : Sekolah Dasar (SD)

2 : Sekolah Menengah Pertama (SMP)

3 : Sekolah Menengah Atas (SMA)


54

4 : Perguruan Tinggi (PT)

d) Pekerjaan

1 : tidak bekerja

2 : wiraswasta

3 : swasta

4 : PNS/TNI/POLRI

e) Data Khusus

Kepatuhan Minum OAT

1 :Patuh

2 :Tidak patuh

c. Scoring adalah memberikan skor terhadap item-item yang perlu

diberi skor (Arikunto, 2010).

d. Tabulasi adalah penyusunan data dalam bentuk tabel merupakan

kegiatan untuk meringkas data yang masuk (data mentah) ke dalam

tabel-tabel yang disiapkan (Notoatmodjo, 2010).

G. Analisa data

Data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil lapangan, wawancara dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke unit- unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting

dan dipelajari kemudian disimpulkan sehingga mudah dipahami oleh diri

sendiri atau orang lain (Sugiyono,2007).

a. Analisis Data Univariat


55

Menurut Notoatmodjo (2010), analisis univariat adalah

menganalisa terhadap tiap variabel dari hasil tiap penelitian untuk

menghasilkan distribusi frekuensi dan prosentase dari tiap variabel.

Rumus yang digunakan adalah :

SP
N= X 100%
SM

Keterangan

N : nilai yang didapat

SP : skor yang didapat

SM : skor tertinggi

Menurut Arikunto (2008) dalam teknik penyajian data

menganalisis semua variabel hasil pengumpulan data di tampilkan

dalam bentuk distribusi frekuensi. Selanjutnya data yang sudah

dikelompokkan dan diprosentasikan serta dimasukkan ke dalam tabel

distribusi frekuensi antara lain sebagai berikut :

a) 100% = Seluruh Responden

b) 76-99% = Hampir Seluruh Responden

c) 51-75% = Sebagian Besar Responden

d) 50% = Setengah Dari Responden

e) 26-49% = Hampir Setengah Dari Responden

f) 1-25% = Sebagian Kecil Dari Responden

g) 0% = Tidak Satu Pun Dari Responden

h)
56

b. Analisa Bivariat

Tehnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

“Regresi Logistik”, Regresi logistik adalah bagian dari analisis regresi

yang digunakan ketika variabel dependen (respon) merupakan variabel

diktomi. Variabel diktomi biasanya hanya terdiri atas dua nilai, yang

mewakili kemunculan atau tidak adanya suatau kejadian yang biasanya

diberi 0 atau angka. Skala diktomi yang dimaksud adalah skala data

nominal dengan dua kategori, misalnya : Ya dan Tidak, Baik dan

Buruk atau Tinggi dan Rendah (Ghozali,2011). Dalam proses

perhitungannya dibantu dengan menggunakan bantuan Statistical

Product and Solution Service (SPSS) for windows. Untuk mengetahui

variabel independen dan dependen, derajat kemaknaan ditentukan α =

0,05 artinya jika hasil uji statistik menunjukkan p≤α ada hubungan

yang signifikan antar variabel.

H. Etika Penelitian

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan

dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Tujuan informed consent adalah agar subyek mengerti maksud dan

tujuan penelitian, serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data.

Jika subyek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa
57

dan tetap menghormati haknya.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Memberikan jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan

cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya sekelompok

data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Nursalam, 2013).

Anda mungkin juga menyukai