Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. S
 Umur : 57 tahun
 Alamat : Welahan, Jepara
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Agama : Islam
 No.RM : 048XXX
 Tgl. Masuk RS : 24 Maret 2018
 Pembiayaan : BPJS

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 24
Maret 2018 pukul 10.00 WIB di Bangsal MS RS PKU Muhammadiyah
Mayong.
 Keluhan Utama : Sesak nafas
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS PKU Mayong diantar keluarganya
dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas sudah dirasakan pasien sejak 1
minggu yanga lalu. Awalnya sesak dirasakan pada saat pasien melakukan
aktivitas berat seperti naik tangga tetapi membaik saat istirahat tetapi
semakin lama sesak yang dirasakan semakin berat sampai mengganggu
aktivitas bahkan saat pasien istirahat atau tidur dengan bantal tinggi seperti
yang dilakukannya sehari-hari tetap terasa sesak. Pasien mengatakan rasa
sesaknya seperti tercekik dan kadang dadanya ikut nyeri. Pasien juga
mengeluhkan dada bagian kirinya terasa ampeg sejak tadi pagi. Keluhan
lainya seperti batuk, pusing, lemas, tidak nafsu makan dan keluar keringat

1
dingin. Karena kesulitan bernafas dan nyeri dada inilah akhirnya keluarga
memutuskan untuk membawa pasien berobat ke rumah sakit.
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat HT : disangkal
- Riwayat DM : diakui (2 tahun yang lalu)
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat sakit asma : disangkal
- Riwayat opname : diakui (2 tahun yang lalu karena kecelakan)
- Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat Keluarga
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat Pribadi
Pasien tidak pernah berolah raga, pasien tidak merokok dan tidak minum
minuman beralkohol.
 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama anak-anaknya. Pasien seorang ibu rumah tangga.
Anak-anak pasien bekerja membuat batu bata. Biaya kesehatan ditanggung
BPJS. Kesan keadaan sosial ekonomi pasien kurang.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sesak nafas
2. Kesadaran : compos mentis
3. GCS : E4M6V5
4. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 130/80 mmHg

2
b. Nadi : 115 kali/menit
c. Pernafasan : 38 kali/menit
d. Suhu : 36,7 ºC
e. SpO2 : 97%
5. Status Gizi
a. Tinggi badan : 155 cm
b. Berat badan : 48 kg
c. IMT : 19 kg/m2
d. Status gizi : normal
6. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk oval, simetris, warna rambut putih, tanda trauma (-).
b. Mata
Eksophtalmus (-/-), edema palpebra (-/-), sklera ikterik (-/-),
konjunctiva palpebra anemis (+/+), pupil isokor, reflek cahaya
(+/+).
c. Hidung
Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang
dalam perabaan baik, mukosa hiperemis (-/-), epistaksis (-/-), nafas
cuping hidung (+/+).
d. Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, sekret (-/-), serumen (+/+).
e. Mulut
Bibir sianosis (-), bibir kering (-).
f. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
otot bantu nafas (-)
g. Thorax
Paru
Dextra Sinistra
Paru Depan

3
Inspeksi Diameter lateral>antero Diameter lateral>antero
posterior posterior
Hemithorax simetris statis Hemithorax simetris statis
dinamis. Retraksi (-) dinamis. Retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri Stem fremitus kanan = kiri
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran SIC (-) Pelebaran SIC (-)
Arcus costa normal Arcus costa normal
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), Suara dasar paru vesikuler (+),
wheezing (-), ronkhi basah wheezing (-), ronkhi basah
halus (+) halus (+)
Paru Belakang
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri Stem fremitus kanan = kiri
Hemithorax simetris Hemithorax simetris
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran SIC (-) Pelebaran SIC (-)
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), Suara dasar paru vesikuler (+),
wheezing (-),ronkhi basah wheezing (-),ronkhi basah
halus (+) halus (+)

Paru tampak anterior Paru tampak posterior

Suara dasar: vesikuler (+) Suara dasar: vesikuler (+)


RBH (+), wheezing (-) RBH (+), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea mid clavicula sinistra dan
kuat angkat. Pulsus parasternal (-). Sternal lift (-). Pulsus epigastrium
(-). Thrill (-)
Perkusi :
 Batas kanan atas jantung : ICS II linea sternalis dextra
 Batas kanan bawah jantung : ICS VI linea midclavicula dextra
 Batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra
 Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra

4
 Batas kiri bawah jantung : ICS VII 2 cm lateral linea media
clavicularis sinistra
Kesan: batas jantung melebar ke lateral
Auskultasi: Bunyi jantung I & II murni, bising jantung (-), gallop (-),
pericardial friction rub (-).
h. Abdomen
Inspeksi : Datar (-), warna kulit sama dengan sekitar (+)
Auskultasi: Bising usus (+) N, bruit hepar (-), metalic sound (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen (+), pekak sisi (-) N
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-) dan splenomegali
(-), ginjal tidak teraba

0 Nyeri tekan (-)

i. Extremitas
Extremitas Superior Extremitas Inferior
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2’ < 2’
Akral dingin +/+ +/+
Tremor -/- -/-

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (Tgl 24-03-2018)
Parameter Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
- Hb 9,3 (L) 12 - 16 g/dl
- Leukosit 10.000 4.500 - 11.000 /ul
- Trombosit 569.000 (H) 150.000 - 400.000 /mm3
- Eritrosit 3,32 (L) 4,0 – 5,1 jt/uL
- Hematokrit 29,6 (L) 37 – 43 %
- MCV 89,3 82 – 95 fl
- MCH 28,0 27 – 31 pg
- MCHC 31,4 (L) 32 – 37 g/dL

5
Diff Count
- Eosinofil 0 1–3%
- Basofil 0 0–1%
- Neutrofil Batang 0 2–6%
- Neutrofil Segmen 72 50 – 70 %
- Limfosit 21 20 – 40 %
- Monosit 7 2 –10 %
Kimia Klinik
- Glukosa sewaktu 144 70-150 mg/dl
- SGOT 16 20,00-60,00 mg/dl
- SGPT 24 20,00-60,00 mg/dl

2. EKG (Tgl 24-03-2018)

Kesan: Sinus takikardi

6
3. Pemeriksaan Radiologi (Tgl 24-3-2018)

- Cor : CTR >50%, apeks melebar kekiri diatas diafragma


- Pulmo : corakan vakuler kasar dan melebar, kesuraman di medial
kedua paru
Kesan : Cardiomegali dengan oedem pulmonum

D. DAFTAR ABNOMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
1. Sesak nafas 8. KU sesak nafas 15. Hb 9,3 ()
2. Pusing 9. Takikardi 16. Trombosit 569000 ()
3. Lemas 10. Takipneu 17. Ht 29,6 ()
4. Batuk 11. Nafas cuping hidung 18. SGOT 16 ()
5. Keringat dingin 12. RBH 19. Ro Thorax :
6. Anoreksia 13. kardiomegali kardiomegali dengan
7. Riwayat DM 14. Akral dingin oedem pulmonum
20. EKG sinus takikardi

E. DIAGNOSIS
CHF NYHA IV, anemia normokromik normositer

F. INITIAL PLAN
Diagnosis : CHF NYHA IV, anemia normositik normokromik,
Initial plan
a. Ip Dx : Pemeriksaan elektrolit

7
b. Ip Tx
- Posisi setengah duduk
- O2 2-4 L/menit
- Inf RL 12 tpm
- Diuretik kuat : Furosemide 1 amp/ 12 jam
- ACE inhibitor : Captopril 6,25 mg tiap 8 jam p.o
- Beta Bloker : propanolol 10 mg tiap 8 jam p.o
- Spironolakton 50 mg tiap 24 jam p.o
- ISDN 1 tab 10 mg tiap 8 jam p.o
- Metformin 500 mg tiap 8 jam p.o
c. Ip Mx
- Keadaan umum, tanda-tanda vital, ureum, kreatinin, EKG
d. Ip Ex
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang kondisi
penyakit, pengobatan, komplikasi yang mungkin timbul baik
komplikasi akut maupun kronik, pencegahan berulangnya komplikasi,
serta intervensi gaya hidup, seperti :
- Diet rendah garam 1g (seperempat sendok teh)
- Pemenuhan cairan ± 1 liter/ hari
- Berhenti merokok dan alcohol
- Aktivitas fisik rutin misal berjalan kaki 3-5 kali/minggu 20-30
menit
- Istirahat/ tirah baring.

G. Prognosis
- Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
- Quo Ad Sanam : dubia ad bonam
- Quo Ad Fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

8
I. PENDAHULUAN

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah


suatu keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan
mekanisme kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering
dari segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari
gagal jantung adalah disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh
darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan
Amerika, disfungsi miokard yang paling sering terjadi akibat penyakit
jantung koroner, biasanya akibat infark miokard yang merupakan penyebab
paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes.
1, 2

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada


usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. 3
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan. 2, 3
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan
meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan
gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. 2

II. DEFINISI

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa


tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-

9
ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah
relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal
miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium
umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik
sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit
menjadi gagal jantung. 1

Beberapa istilah dalam gagal jantung : 4

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati


dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.

3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea.

10
Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel
kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli
paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan
edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena
perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan
atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,


hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume
darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir
di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung
kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh
rongga jantung. 5

II1. ETIOLOGI

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi :


regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat
pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan

11
kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal
jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia,
infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. 1

Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik,


penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan
arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai
gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau
pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup
arteri pulmonalis atau trikuspid. 5

IV. PATOFISIOLOGI
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard,
maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai
akibatnya akan timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan
bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena
jugularis. 5,6,7

Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal


mulai terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons
tersebut mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik,
peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai
untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi
menjadi semakin kurang efektif. 1,5,6,7

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :

12
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari
saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya
rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung
dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi
kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai
dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat
pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin
bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk
mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin
akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 1, 4, 6

13
Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung. 8

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-


Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi
natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme
yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada
gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya,
penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus
- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk
menghasilkan angiotensinI
- Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah. 1, 5, 6, 7

14
Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron 8

3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.

Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang


menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban
akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja
jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi
miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung. 1, 4,6,7

15
Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon
terhadap hemodinamik berlebih. 8

V. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif


terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada
awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi
dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan
semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang
lebih ringan. 1, 4

16
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara
individu sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada
derajat penyakit.1, 4, 9

 Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun


kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi
gejala kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin
disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang
untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak
merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik
mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
 Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung
yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja
pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan
paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.
Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena
paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas
menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari
bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi
cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan
kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama
pada posisi berbaring.
 Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah
ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian
bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.

17
 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang
terjadi akibat distensi vena.
 Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-
vena leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang
gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena
ke jantung selama inspirasi.
 Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat
peregangan kapsula hati.
 Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang
interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang
tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia
(diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu
istirahat.
 Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran
vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan,
namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya
disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
 Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan.
Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan
sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting
kematian mendadak dalam situasi ini.

VI. DIAGNOSIS

18
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala
yang ada dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang
antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium
rutin, dan pemeriksaan biomarker. 2, 10
Kriteria Diagnosis : 11
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif 1, 9
Kriteria Major :

1. Paroksismal nokturnal dispnea


2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :

1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif
berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain: 1

19
 NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam
kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung
seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila
melakukan kegiatan biasa.
 NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi
kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri
dada.
 NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih
banyak dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu
istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa
sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
tersebut di atas.
 NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik
apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka
melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

b. Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,


pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan. 12

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 11, 12, 13


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea
nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis.
Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.

2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q

20
wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV. 11, 12
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai
ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi
aorta, dan kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien. . 11, 12, 13
4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada
katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada
LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler
juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold
standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan
pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload.
Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai

21
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%),
fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara
bermakna (<30-40%). 11

VII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi


penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 13

Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat
dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan
profesi yang masih bisa dilakukan.
 Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan.
 Hentikan rokok
 Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya.

22
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker,
vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan
anti-aritmia. 14, 15

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung


membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah.
Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila
respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid.
Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50
mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang

23
digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa
digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang
dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE
inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia
klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam
nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 –
2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah
baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.

24
Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,
gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 13

Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis


dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik
< 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan
bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang
berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya
problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark. 13

Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi


dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi
duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker
sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi
jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter. 13

Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan


menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti
obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
13

25
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
13

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi


preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai
vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian
harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi
terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya
hanya 16 – 24 jam. 13

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang


diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal
jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5
μg/kg/menit. 13

Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.


Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. 13

26
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan
darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah
dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 13

Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi


pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung
serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3
μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15
μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. 13

Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP


menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik
jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan
enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut
dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus
10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone
0,25– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13

Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut


yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.

27
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 13

Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang


menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan
untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau
nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan
aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi. 13

Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon


intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter
defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan
pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita

28
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik. 13

VIII. PROGNOSA

Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.


Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi
yaitu: (2)
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV


2. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVI
3. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan.Buku ajar kardiologi. jakarta : balai
penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 – 17,115 –
126.
4. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.
5. Oemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.
6. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Vol. Volume 2.
7. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA:
Lipincott Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.
8. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of
the adult patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams &
Wilkins 2009;.hal.275-287
9. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell
publishing 2006;hal. 10-11.
10. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
11. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the
older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
12. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.

30
13. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with
heart failure. A statement for healthcare professionals from The
Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation
Circulation 2000.

31

Anda mungkin juga menyukai