Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk
terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Masalah gizi buruk masih
menjadi masalah kesehatan terutama di negara miskin dan negara berkembang, seperti
Indonesia. Menurut WHO, sebanyak 54% penyebab kematian bayi dan balita disebabkan
karena keadaan gizi buruk pada anak. Anak yang mengalami gizi buruk memiliki risiko
meninggal 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. Berdasarkan Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi balita gizi buruk dan kurang di Indonesia
mencapai 19,6%. Angka ini meningkat dibandingkan data Riskesdas 2010 sebesar 17,9%.
Upaya Pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia
antara lain melalui pemberian makanan tambahan dalam jaringan pengaman sosial
(JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi
buruk kepada tenaga kesehatan. Hal tersebut terbukti berhasil menurunkan angka
gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 1998, 8,1% pada tahun 1999, dan 6,3%
tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali 7% dan pada
tahun 2003 menjadi 8,15%.4,7 Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan
Survei Departemen Kesehatan Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di
Indonesia penderita gizi buruk sebanyak 169 kabupaten/kota tergolong prevalensi
sangat tinggi dan 257 kabupaten/kota lainnya prevalensi tinggi.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami
tentang gizi buruk serta penatalaksanaan gizi buruk pada anak.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai gizi buruk beserta
penatalaksanaannya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga
bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor),
karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan
kedua-duanya (disebut marasmus-kwashiorkor). Gizi buruk ini biasanya terjadi
pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut
(busung lapar).
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan zat
gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada di bawah standar rata-rata.
Zat gizi yang dimaksud bisaberupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk
(severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari
proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency, 2005). Anak balita (bawah
lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat
badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan
berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut standar WHO, dia bergizi
baik. Kalau sedikit dibawah standar WHO disebut bergizi kurang yang bersifat
kronis. Apabila jauh dibawah standar WHO dikatakan bergizi buruk.
2.2 Klasifikasi Gizi Buruk
Klasifikasi gizi buruk ada 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor,
dan marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri
atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.
2.2.1 Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala
yang timbul diantaranya pada marasmus antara lain:
a. Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus

2
b. Perubahan mental
c. Kulit kering, dingin dan kendur
d. Rambut kering, tipis dan mudah rontok
e. Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang
f. Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas
g. Otot paha mengendor (baggy pants)
h. Sering diare atau konstipasi
i. Kadang terdapat bradikardi
j. Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
k. Kadang frekuensi pernafasan menurun
2.2.2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),
bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan
protein, walaupun dibagiantubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat
adanya atrofi. Tampak sangat kurus danatau edema pada kedua punggung
kaki sampai seluruh tubuh
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah
dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut
kepala kusam
c. Wajah membulat dan samba
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang
tajam
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
2.2.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung

3
proteindan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita
demikian disamping menurunnya berat badan <60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes RI,
2000).
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa
terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana
makan,pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan
kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat
elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami
rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Lebih
tepatnya, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi pada
rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan
degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti
gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan
protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan
lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL
dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan,
pada akhirnya penumpukan lemak di hepar. Tanda khas pada penderita
kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang jika
ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya
protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi,
maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk keintertisial, tidak
ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal
untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan
cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi
multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial larike daerah

4
sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya
membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya
terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan
hidrostatik danonkotik (Sadewa, 2008).
Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang
kalori protein yang dapat terjadi karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan
yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena
kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil
akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain
faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa
sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
Marasmus adalah compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi
tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama. Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk empertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai
oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya katabolisme protein terjadi
setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi
karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama kurangnya intake makanan, jaringan
lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah lemak
tidak dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat mempergunakan asam
lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan. Pada
akhirnya setelah semua tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi lagi,
protein akan dipecah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh.
Proses ini berjalan menahun, dan merupakan respon adaptasi terhadap ketidak
cukupan asupan energi dan protein.

5
2.4 Diagnosis
Diagnosis marasmus dan kwashiorkor dibuat berdasarkan gambaran klinis,
tetapi untuk mengetahui penyebab harus dilakukan anamnesis makanan dan
kebiasaan makan anak serta riwayat penyakit yang lalu. Pada awalnya, terjadi
kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan
sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi
berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang. Lemak pada daerah pipih
adalah bagian terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa waktu muka bayi
tampak relative normal sampai nantinya menyusut dan berkeriput. Abdomen
dapat kembung atau datar dan gambaran usus dapat dengan mudah dilihat.
Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya subnormal, nadi
mungkin lambat, dan angka metabolism basal cenderung menurun. Mula-mula
bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu makan hilang. Bayi
biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan buang air besar sering,
tinja berisi mucus dan sedikit.
2.5 Tatalaksana
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi,
fase transisi dan fase rehabilitasi. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmus-kwarshiorkor.
Tujuan penatalaksanaan gizi buruk adalah pemberian diet tinggi kalori dan
tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita gizi buruk tanpa
komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian
makanan yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta
dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit.
Penatalaksanaan penderita yang dirawat di RS dibagi dalam dua fase.
Pada fase stabilisasi, tujuan yang diharapkan adalah untuk menangani atau
mencegah hipoglikemia, hipotermi, dan dehidrasi. Tahap awal yaitu 24-48 jam
pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamat-kan jiwa,
antara lain mengkoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan
intravena. Cairan yang diberikan ialah larutan Darrow-Glucosa atau Ringer

6
Lactat Dextrose 5%. Cairan diberikan sebanyak 200 ml/kg BB/hari. Mula-mula
diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya
diberikan dalam 16-20 jam berikutnya. Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh
yang rendah dibawah 36⁰C. Pada keadaan ini anak harus dihangatkan. Cara yang
dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa lain mendekap anak di dadanya
lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat
bernafas. Semua anak, menurut guideline dari WHO, diberikan antibiotic untuk
mencegah komplikasi yang berupa infeksi, namun pemberian antibiotic yang
spesifik tergantung dari diagnosis, keparahan, dan keadaan klinis dari anak
tersebut. Pada anak diatas 2 tahun diberikan obat anti parasite sesuai dari
protocol.
Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian besar penderita tidak memerlukan
koreksi cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai dengan
penyesuaian terhadap pemberian makanan. Pada hari-hari pertama jumlah kalori
yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/kg BB/hari atau rata-rata 50 kalori/kg
BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari. Jumlah ini dinaikkan secara
berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175 kalori/kg BB/hari
dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet
tinggi kalori tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari. Cairan diberikan sebanyak
150 ml/kg BB/hari. Formula yang biasa diberikan dalam tahap ini adalah F-75
yang mengandung 75kcal/100ml dan 0,9 protein/100ml) yang diberika terus
menerus setiap 2 jam. Pemberian vitamin dan mineral yaitu vitamin A diberikan
sebanyak 200.000. i.u peroral atau 100.000 i.u im pada hari pertama kemudian
pada hari ke dua diberikan 200.000 i.u. oral. Vitamin A diberikan tanpa melihat
ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A untuk mencegah terjadinya xeroftalmia
karena pada kasus ini kadar vitamin A serum sangat rendah. Mineral yang perlu
ditambahkan ialah K, sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV atau dalam
bentuk preparat oral 75-100 mg/kg BB/hari dan Mg, berupa MgS04 50% 0,25
ml/kg BB/hari atau magnesium oral 30 mg/kg BB/hari. Dapat diberikan 1 ml

7
vitamin B (IC) dan 1 ml vit. C (IM), selanjutnya diberikan preparat oral atau
dengan diet.
Fase rehabilitasi dimulai saat nafsu makan anak meningkat dan infeksi yang
ada berhasil ditangani. Formula F-75 diganti menjadi F-100 yang dikurangi kadar
gulanya untuk mengurangi osmolaritasnya. Jenis makanan yang memenuhi syarat
untuk penderita malnutrisi berat ialah susu dan diberikan bergantian dengan F-
100. Dalam pemilihan jenis makanan perlu diperhatikan berat badan penderita.
Dianjurkan untuk memakai pedoman BB kurang dari 7 kg diberikan makanan
untuk bayi dengan makanan utama ialah susu formula atau susu yang
dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan lumat dan makanan lunak.
Penderita dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan untuk anak di atas 1 tahun,
dalam bentuk makanan cair kemudian makanan lunak dan makanan padat.
Tabel I. 10 Langkah Tatalaksana Gizi Buruk

*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala
(1minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Pada pasien
dengan gizi buruk dibagi dalam 2 fase yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi
(Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), fase rehabilitasi (Minggu ke 3 – 6),
ditambah fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26) seperti tampak pada tabel
diatas.1,

2.6 Komplikasi

8
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan
mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang
terganggu dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis
gangguannya sangat banyak. Pengaruh KEP bisa terjadi pada semua organ sistem
tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna, otot dan
tulang, hati, pankreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal. Anemia gizi adalah
kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan karena kurangnya
asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi adalah anak tampak
pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya.
Pengaruh sistem hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol,
insulin, Growht hormon (hormon pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon
meninggi tetapi fungsi tiroid menurun. Hormon-hormon tersebut berperanan
dalam metabolism karbohidrat, lemak dan tersering mengakibatkan kematian
(Sadewa, 2008). Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita
KEP, khususnya pada KEP berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP
berat risiko kematian cukup besar, adalah sekitar 55%. Kematian ini seringkali
terjadi karena penyakit infeksi (seperti Tuberculosis, radang paru, infeksi saluran
cerna) atau karena gangguan jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena
pada KEP sering mengalami gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga
mudah terjadi infeksi atau bila terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang
lebih berat hingga mengancam jiwa (Nelson, 2007).
2.7 Prognosis
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari
penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya
dapat dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani secara cepat
dan tepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit
infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan
terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan
malnutrisi pada usia yang lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat
kecerdasan yang lebih besar dan irreversibel dibanding dengan anak yang

9
mendapat keadaan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding
terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih
cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan
gizinya akan cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih
sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah
mendapatkan penanganan yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan
perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus ini cenderung
lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak
dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi
anak berada dalam batas yang normal.

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit KEP merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi
negara-negara tertinggal maupun negara berkembang seperti Indonesia dan lainnya.
Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak dibawah umur lima tahun (balita), dan
ibu yang sedang mengandung atau menyusui. Pada kondisi ini ditemukan berbagai
macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam

10
tingkat yang bermacam-macam. Akibat dari kondisi tersebut, ditemukan malnutrisi
dari derajat yang ringan hingga berat. Pada keadaan yang sangat ringan tidak
ditemukan kelainan dan hanya terdapat pertumbuhan yang kurang sedangkan
kelainan biokimiawi dan gejala klinis tidak terlihat. Pada keadaan yang berat
ditemukan dua tipe malnutrisi, yaitu marasmus dan kwashiokor, serta diantara
keduanya terdapat suatu keadaan dimana ditemukan percampuran ciri-ciri kedua tipe
malnutrisi tersebut yang dinamakan marasmus-kwashiokor. Masing-masing dari tipe
itu mempunyai gejalagejala klinis yang khas. Pada semua derajat maupun tipe
malnutrisi ini mempunyai persamaan bahwa adanya gangguan pertumbuhan pada
penderitanya. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya malnutrisi pada anak,
terutama adalah peranan diet sehari-hari yang kurang mencukupi kebutuhan gizi
seimbang anak pada masa usia pertumbuhan, adanya penyakit penyerta yang
memperburuk keadaan gizi serta peranan sosial ekonomi yang mempunyai peranan
tinggi terutama kemiskinan dalam hal mempengaruhi status gizi seseorang.
Gejala klinis yang timbul pada kekurangan gizi tipe marasmus mempunyai
gambaran yang khas dalam hal membedakannya dengan kekurangan gizi tipe
kwashiokor. Pada tipe marasmus, gejala klinis yang lebih menonjol bahwa penderita
terlihat wajahnya seperti orang tua dan anak sangat kurus karena hilangnya sebagian
besar lemak dan atrofi dari otot-ototnya. Sedangkan pada tipe kwashiokor, gejala
klinis yang lebih terlihat adalah penampilannya yang gemuk disertai adanya edema
ringan maupun berat dan adanya ascites dikarenakan kekurangan protein, disamping
itu juga terlihat perubahan warna rambut menjadi merah seperti rambut pada jagung
serta mudah dicabut.
Pengobatan marasmus adalah dengan pemberian diet tinggi protein, sedangkan
pada malnutrisi tipe kwashiokor terutama dengan pemberian diet tinggi protein
disertai pemberian cairan untuk menanggulangi dehidrasi jika ada. Selain itu juga
diberikan vitamin A untuk mencegah terjadinya kebutaan pada matanya dan
pemberian mineral lain untuk membantu meningkatkan gizi penderita. Penyakit ini
mempunyai komplikasi dari yang ringan seperti infeksi traktus urinarius hingga yang
berat seperti tuberkulosis. Penatalaksanaannya dilakukan secara bersama-sama

11
dengan memperbaiki keadaan gizinya. Walaupun prognosisnya terlihat buruk tetapi
dengan penganganan yang cepat dan tepat dapat menghindarkan penderitanya dari
kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and


Undernutrition in Nelson Textbook of Pediatric 18th edition, 2004 : 225-232
2. Bernal, C.,Velasquez, C., Alcaraz &G., Botero, J. 2007. Treatment of Severe
Malnutrition in Children: Experience in Implementing the World Health
Organization Guidelines in Turbo, Colombia.
3. Branca M, Ferrari M. Impact of Micronutrient Deficiencies on Growth: The
Stunting Syndrome. Ann Nutr Metab. 2002;46(suppl 1):8–17

12
4. Brunser Oscar. Protein Energy Malnutrition : Marasmus in Clinical Nutrition
of the Young Child, Raven Press, New York, 1985 : 121-154
5. Cole TJ, Bellizzi MC, Flegal KM, Dietz WH. Establishing a standard
definition for child overweight and obesity worldwide: international survey.
Br Med J. 2000;320:1240–3
6. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Severe
Malnutrition in Management of The Child With a Serious Infection or Severe
Malnutrition, World Health Organization, 2004 : 80-91
7. Gordon B, Mackay R, Rehfuess E. Inheriting the World: The Atlas of
Children’s Health and the Environment. WHO, 2004. Hal.8
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Asuhan Nutrisi Pediatrik.
Jakarta; Badan Penerbit IDAI; 2012.
9. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005 : 95-137
10. United Nations Millennium Declaration. Document number A/RES/55/2/
United Nations General Assembly, 55th session, 18 September 2000.

13

Anda mungkin juga menyukai