NOMOR : 441/KPTS/1998
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
1. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu
lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, diatas, atau di dalam tanah dan atau perairan
secara tetap yang berfungsi sebagai tampat manusia melakukan kegiatannya.
4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah T'ngkat II.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 2
Bagian Pertama
Persyaratan Teknis
Pasal 3
(2) Rincian persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini tercantum pada lampiran Keputusan Menten ini yang merupakan satu
kesatuan pengaturan dalam keputusan ini
(3) Setiap orang atau badan termasuk instansi Pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pasal ini.
Pasal 4
Bagian Kedua
Pengaturan Pelaksanaan di Daerah
Pasal 5
(1) Untuk pedoman pelaksanaan penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah perlu dibuat
Peraturan Daerah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri
ini.
(2) Dalam hal Daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini maka terhadap penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah
diberlakukan ketentuan-ketentuan Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3.
(3) Daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah tentang persyaratan teknis bangunan
gedung sebelum Keputusan Menteri ini diterbitkan harus menyesuaikannya dengan
ketentuan-ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3.
Pasal 6
(3) Terhadap aparat Pemerintah Daerah yang bertugas dalam pengendalian pembangunan
bangunan gedung yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan
sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi
Pasal 7
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikenakan sesuai
dengan tingkat pelanggaran dapat berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Pembatasan kegiatan
c. Penghentian sementara kegiatan sampai dilakukannya pemenuhan persyaratan
teknis bangunan gedung.
d. Pencabutan izin yang telah dikeluarkan untok menyelenggarakan pembangunan
bangunan gedung.
(3) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), di dalam Peraturan
Daerah dapat diatur mengenai pengenaan denda dan tindakan Pembongkaran atas
terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung.
BAB III
Pasal 8
(1) Pembinaan dan Pengawasan Teknis untuk pelaksanaan ketentuan persyaratan teknis
bangunan gedung dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 58/PRT/1991 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Teknis
dan Pengawasan Teknis Bidang Pekerjaan Umum kepada Dinas Pekerjaan Umum.
(2) Pelaksanaan pembinaan teknis dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini didasarkan pada Rencana dan program yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Cipta Karya.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9
Dengan berlakunya Keputusan Menteri inl, maka semua ketentuan persyaratan teknis
bangunan gedung yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri ini
masih tetap berlaku, sampai digantikan dengan yang baru.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
(2) Keputusan Menteri ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk
diketahui dan dilaksanakan.
DITETAPKAN Dl : JAKARTA
PADA TANGGAL : 10 NOPEMBER 1998
DAFTAR ISI
BAGIAN I
KETENTUAN UMUM
I. 1 PENGERTIAN
1. Umum
2. Teknis
I.2 MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
2. Tujuan
BAGIAN II
PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN
BAGIAN III
ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN
BAGIAN IV
STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG
IV.2 PEMBEBANAN
BAGIAN V
PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN
VII.1 LIF
1. Kapasitas Lif
2. Lif Kebakaran
3. Peringatan Terhadap Pengguna Lif pada Saat Terjadi Kebakaran
4. Lif untuk Rumah Sakit
5. Sangkar Lif
6. Saf Lif
7. Mesin Lif dan Ruang Mesin Lif
8. Instalasi Listrik
9. Pemeriksaan, Pengujian dan Pemeliharaan
BAGIAN VIII
PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR, SISTEM PERINGATAN BAHAYA
BAGIAN IX
INSTALANSI LISTRIK, PENANGKAL PETIR, DAN KOMUNIKASI DALAM GEDUNG
BAGIAN XI
SANITASI DALAM GEDUNG
XI. PERSAMPAHAN
1. Penempatan pada Bangunan
2. Pewadahan
3. Sampah Berbahaya
BAGIAN XII
VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA
XII.1 VENTILASI
1. Kebutuhan Ventilasi
2. Ventilasi Alami
3. Ventilasi Buatan
BAGIAN XIII
PENCAHAYAAN
BAGIAN XIV
KEBISINGAN DAN GETARAN
XIV.1 KEBISINGAN
XIV.2 GETARAN
BAGIAN XV
PENUTUP
LAMPIRAN
I. KETENTUAN UMUM
1. PENGERTIAN
1. Umum
Dalam pedoman teknis ini yang dimaksud dengan:
c. Dinas Bangunan adalah salah satu Dinas Teknis di Daerah yang diantaranya
mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengaturan, pembinaan, dan
pengendalian pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung yang berada di
Daerah yang bersangkutan.
2. Teknis
a. Air kotor adalah semua air yang bercampur dengan kotoran-kotoran dapur,
kamar mandi, kakus dan peralatan-peralatan pembuangan lainnya.
b. Atrium adalah suatu ruang dalam suatu bangunan yang menghubungkan 2 atau
lebih tingka/lantai, di mana:
i. seluruh atau sebagian ruangnya tertutup pada bagian atasnya oleh lantai atau
atap, termasuk struktur atap kaca;
ii. termasuk setiap ruang yang berbatasan/ berdekatan tetapi tidak terpisahkan
oleh pembatas;
iii. tidak termasuk lorong tangga, lorong ramp, atau ruang dalam shaft.
c. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam
suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di daiam tanah
dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia untuk
melakukan kegiatan bertempat tinggal, berusaha, bersosial-budaya, dan
kegiatan lainnya.
g. Baku Tingkat Getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dan usaha atau kegiatan pada
media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan
kesehatan serta keutuhan bangunan.
a. Daerah Hijau Bangunan, yang selanjutnya disebut DHB adalah ruang terbuka
pada bangunan yang dimanfaatkan untuk penghijauan.
d. Dinding Luar adalah suatu dinding bangunan terluar yang bukan merupakan
dinding pembatas.
e. Dinding Luar Non-struktural adalah suatu dinding luar yang tidak memikul
beban dan bukan merupakan dinding panel.
g. Garis sempadan pagar adalah garis bagian luar dari pagar persil atau pagar
pekarangan.
h. Garis sempadan loteng adaiah garis yang terhitung dan tepi jalan berbatasan
yang tidak diperkenankan didirikan tingkat bangunan.
j. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat.
k. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan
kegiatan manusia.
l. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam
dan kegiatan manusia.
m. Jarak antara bangunan adalah jarak terkecil antara bangunan yang diukur
antara permukaan-permukaan denah bangunan.
n. Jaringan persil adalah jaringan sanitasi dan jaringan drainasi dalam persil.
o. Jaringan saluran umum kota adalah jaringan sarana dan prasarana saluran
umum perkotaan, seperti jaringan sanitasi dan jaringan drainasi.
p. Kamar adalah ruangan yang tertutup seluruhnya atau sebagian, untuk tempat
kegiatan manusia, selain kamar untuk MCK dan dapur.
q. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan.
v. Lubang Atrium adalah ruang dari suatu atrium yang dikelilingi oleh batas
pinggir bukaan lantai atau oleh batas pinggir lantai dan dinding luar.
w. Mendirikan Bangunan
i. Mendirikan, memperbaiki, memperluas, mengubah atau membongkar secara
keseluruhan atau sebagian suatu bangunan;
ii. Melakukan pekerjaan tanah untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan yang
dimaksud pada butir 2.w.i.
aa. Rumah adalah bangunan yang terdiri atas ruangan atau gabungan ruangan yang
borhubungan satu sama lain, yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga.
bb. Sambungan jaringan adalah penghubung antara sesuatu jaringan persil dengan
jaringan saluran umum kota.
cc. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang akan dinyatakan dalam
satuan Desibel disingkat dB.
dd. Tinghat Ketahanan Api (TKA), adalah tingkat ketahanan api yang
dipersyaratakan pada bagian atau komponen bangunan sesuai ketentuan butir
V.1.2 dalam ukuran waktu satuan menit, dengan kriteria-kriteria berurut yaitu
aspek ketahanan struktural, integritas, dan insulasi. Contoh: TKA 90/-/60
berarti hanya terdapat persyaratan TKA untuk ketahanan struktural 90 menit
dan insulasi 60 menit.
ee. Tinggi bangunan adalah jarak antara garis potong permukaan atap dengan
muka bangunan bagian luar dan permukaan lantai denah bawah.
1. Maksud
2. Tujuan.
Tujuan Pedoman Teknis ini bertujuan untuk dapat terwujudnya bangunan gedung
sesuai fungsi yang ditetapkan dan yang memenuhi persyaratan teknis, yaitu meliputi
persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta
keandalan bangunan.
Adapun tujuan dari pengaturan per-bagian adalah:
i. menjamin bangunan gedung didirikan berdasarkan ketentuan tata ruang dan tata
bangunan yang ditetapkan di Daerah yang bersangkutan,
ii. menjamin terwujudnya tata ruang hijau yang dapat memberikan keseimbangan
dan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.
c. Strukfur Bangunan:
ii. menjamin keselamatan manusia dari kemungkinan kecelakaan atau luka yang
disebabkan oleh kegagalan struktur bangunan.
iii. menjamin kepentingan manusia dari kehilangan atau kerusakan benda yang
disebabkan oleh perilaku struktur.
iv. menjamin perlindungan properti lainnya dari kerusakan fisik yang disebabkan
oleh kegagalan struktur.
(2) cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk
memadamkan api;
ii. menjamin terwujudnya upaya melindungi penghuni dari cedera atau luka saat
evakuasi pada keadaan darurat
iii. menjamin tersedianya aksesibilitas bagi penyandang cacat, khususnya untuk
bangunan fasilitas umum dan sosial.
i. menjamin tersedianya alat transportasi yang layak, aman, dan nyaman di dalam
bangunan gedung.
ii. menjamin penghuni melakukan evakuasi secara mudah dan aman, apabila
terjadi keadaan darurat.
i. Instalasi Gas:
iii menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan sanitasi secara baik.
k Ventilasi dan Pengkondisian Udara:
ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan tata udara secara
baik.
l. Pencahayaan:
ii. menjamin adanya kepastian bahwa setiap usaha atau kegiatan yang
menimbulkan dampak negatif suara dan getaran perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau mencegah perusakan lingkungan.
II. PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN
1. Peruntukan Lokasi
a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang
diatur dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang
bersangkutan.
d. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata
bangunan dapat memperolehnya secara terbuka melalui Dinas Bangunan.
g. Bagi Daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan
setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan
membangun bangunan gedung dengan pertimbangan:
iii. Apabila persetujuan yang telah diberikan terdapat ketidak sesuaian dengan
rencana tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan kemudian, maka perlu
diadakan penyesuaian dengan resiko ditanggung oleh pemohon/pemilik
bangunan.
iv. Bagi Daerah yang belum memilih RTRW Daerah, Kepala Daerah dapat
memberikan persetujuan membangun bangunan pada daerah tersebut untuk
jangka waktu sementara.
h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain
perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai
berikut:
i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;
ii. tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun
barang;
iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan
atau diatas tanah;
i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;
iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah tanah;
i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;
iii. tidak menimbulkan perubahan atau arus air yang dapat merusak
lingkungan;
iv. tidak menimbulkan pencemaran;
v. telah mempertimbangkan faktor keamaan, kenyamanan, kesehatan dan
aksesibilitas bagi pengguna bangunan.
i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;
ii. letak bangunan minimal 10 (sepuluh) meter diukur dari as (proyeksi) jalur
tegangan tinggi terluar;
iii. letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45° (empat
puluh lima derajat) diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar;
2. Fungsi Bangunan
b. Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan yang bersifat sementara harus dengan
mempertimbangkan tingkat permanensi, keamanan, pencegahan dan
penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, dan sanitasi yang memadai.
d. Fungsi bangunan dapat dikelompokkan dalam fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi
sosial dan budaya, dan fungsi khusus.
e. Bangunan dengan fungsi hunian meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
hunian yang merupakan:
f. Bangunan dengan fungsi usaha meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
untuk:
v. Bangunan Terminal: stasiun kereta, terminal bus, terminal udara, halte bus,
pelabuhan laut.
g. Bangunan dengan fungsi umum, sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung
dengan fungsi utama untuk :
h. Bangunan dengan fungsi khusus meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi, atau tingkat resiko bahaya tinggi :
seperti bangunan kemiliteran, bangunan reaktor, dan sejenisnya.
i. Dalam suatu persil, keveling, atau blok peruntukan dimungkinkan adanya fungsi
campuran (mixed use), sepanjang sesuai dengan peruntukan lokasinya dan standar
perencanaan lingkungan yang berlaku.
j. Setiap bangunan gedung, selain terdiri dari ruang-ruang dengan fungsi utama, juga
dilengkapi dengan ruang fungsi penunjang, serta dilengkapi pula dengan instalasi
dan kelengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya fungsi bangunan,
sesuai dengan persyatatan pokok yang diatur dalam Pedoman Teknis ini.
3. Klasifikasi Bangunan
Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.
ii. Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel, atau sejenisnya dengan luas
total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara
tetap, dan tidak terletak diatas atau dibawah bangunan hunian lain atau
bangunan klas lain selain tempat garasi pribadi.
b. Klas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang
masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.
c. Klas 3: Bangunan hunian diluar bangunan klas 1 atau 2, yang umum digunakan
sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak
berhubungan, termasuk:
Adalah tempat tinggal yang berada didalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 dan
merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut
Adalah bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat
penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada
masyarakat, termasuk
i. Klas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya;
ii. Klas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.
Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan
1 s/d 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai dengan peruntukannya
m. Klasifikasi jamak
Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan:
i. bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas
lantai dari suatu tingkat bangunan, dan b' laboratorium, klasifikasinya disamakan
dengan klasifikasi bangunan utamanya;
ii. Klas-klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;
iii. Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lift, ruang boiler atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak
b. Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana
tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala
Daerah dapat menetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan dan setelah
mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
b. luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya
lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihiitung penuh 100 %;
c. luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi
oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m diatas lantai ruangan dihitung 50 %, selama
tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB
yang ditetapkan;
d. overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya
tersebut dianggap sebagai luas lantai denah;
e. teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas
lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai;
g. ramp dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi l0% dari luas
lantai dasar yang diperkenankan;
h. Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang
dibelakang GSJ;
k. Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh
ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut
dianggap sebagai dua lantai;
l. Mezanine yang luasnya melebihi 50 % dari luas lantai dasar dianggap sebagai
lantai penuh;
a. Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata
bangunan dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat.
b. Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya atau sebagian dari suatu
bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam butir a. tidak boleh dilanggar.
g. Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan
berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus
ditempatkan pada garis tersebut.
b. Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang
ditetapkan, maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis sempadan
tersebut dengan setelah mempertimbangkan keamanan kesehatan dan
kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap permohonan perijinan mendirikan
bangunan.
c. Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan-
bahan/benda-benda yang mudah terbakar dan atau bahan berbahaya, maka
Kepala Daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarak-
jarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur dalam butir a.
iv. pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping,
sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah dari
besarnya garis sempadan muka bangunan.
ii. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak
dibangun pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang
yang berbatasan dengan pekarangan.
f. Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk
apapun.
g Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
i. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan,
maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak
bebas yang ditetapkan;
ii. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok
tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan atau berlubang, maka
jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang
ditetapkan;
iii. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan,
maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang
ditetapkan.
a. Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara
yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan keamanan,
kenyamanan, serta keserasian lingkungan.
c. Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan
desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir a.
d. Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari
ketentuan-ketentuan dalam butir a dan b, dengan setelah mempertimbangkan
hal teknis terkait.
e. Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara
GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas
permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk
bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan.
j. Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan
pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk,
kecuali jika jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan
belakang untuk umum .
a. Ketentuan Umum
i. Penempatan bangunan gedung tidak boleh mengganggu fungsi prasarana
kota, lalu lintas dan ketertiban umum.
ii. Pada lokasi-lokasi tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan secara
khusus arahan rencana tata bangunan dan lingkungan.
iii. Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampang-penampang (profil)
bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi syarat
keindahan dan keserasian.
iv. Bilamana dianggap perlu, persyaratan lebih lanjut dari ketentuan-
ketentuan ini dapat ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah
dengan membentuk suatu panitia khusus yang bertugas memberi nasehat
teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan.
b. Tapak Bangunan
i. Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga
keserasian lingkungan serta tidak merugikan pihak lain.
ii. Penambahan lantai atau tingkat suatu bangunan gedung diperkenankan
apabila masih memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang kota, dengan ketentuan tidak melebihi KLB, harus memenuhi
persyaratan teknis yang berlaku dan keserasian lingkungan.
iii. Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur.
iv. Pada daerah / lingkungan tertentu dapat ditetapkan:
(1) ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau
sedang dibangun, pemasangan nama proyek dan sejenisnya dengan
memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian
lingkungan,
(2) larangan membuat batas fisik atau pagar pekarangan.
(3) ketentuan penataan bangunan yang harus diikuti dengan
memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian
lingkungan.
(4) Kekecualian kelonggaran terhadap ketentuan butir III.1.1 b.iv.(2) dapat
diberikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan
memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.
2. Bentuk Bangunan
a. Ketentuan Umum
i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk
dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang
mampu sebagai pedoman arsitektur atau teladan bagi lingkungannya.
ii. Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan
yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan
tersebut.
iii. Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil tampak
bangunannya harus bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan
atau dinding yang telah ada di sebelahnya.
iv. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap
lingkungannya.
v. Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan harus
dirancang memenuhi syarat keindahan dan keserasian lingkungan yang
telah ada dan atau yang direncanakan kemudian dengan tidak
menyimpang dari persyaratan fungsinya.
vi. Bentuk bangunan gedung sesuai kondisi daerahnya harus dirancang
dengan mempertimbangkan kestabilan struktur dan ketahanannya
terhadap gempa.
vii. Syarat-syarat lebih lanjut mengenai tinggi/tingkat dan sesuatunya
ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan rencana tata ruang, dan atau
rencana tata bangunan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi
tersebut.
b. Perancangan Bangunan
i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang sedemikian rupa sehingga
setiap nuang dalam dimungkinkan menggunakan pencayahayaan dan
penghawaan alami.
ii. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir II 1.1.2.b.i tidak berlaku
apabila sesuai fungsi bangunan diperlukan sistem pencahayaan dan
penghawaan buatan.
iii. Ketentuan pada butir II.1.1.2.b.ii harus tetap mengacu pada prinsip-
prinsip konservasi energi.
iv. Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan
harus memenuhi persyaratan konservasi energi.
v. Aksesibilitas bangunan harus mempertimbangkan kemudahan bagi semua
orang, termasuk para penyandang cacat dan usia lanjut.
vi. Suatu bangunan gedung tertentu berdasarkan letak ketinggian dan
penggunaannya, harus dilengkapi dengan perlengkapan yang berfungsi
sebagai pengaman terhadap lalu lintas udara dan atau lalu lintas laut.
a. Ketentuan Umum
i. Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari permukaan
bawah langit-langit ke permukaan lantai.
ii. Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk
fungsi yang diharapkan.
iii. Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan
arsitektur bangunannya.
iv. Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas
lantai sampai permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai
permukaan bawah kaso-kaso.
v. Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan,
perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya
fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian
bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana
jalan keluar/masuk.
vi. Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian
bangunan dapat diijinkan apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan
jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan
serta penghuninya.
vii Ruang penunjang dapat ditambahkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
kegiatan bangunan, sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama
bangunan.
viii.Jenis dan jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan
pada setiap jenis penggunann bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah.
ix. Tata ruang dalam untuk bangunan tempat ibadah, bangunan monumental,
gedung serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung
sekolah, gedung olah raga, serta gedung sejenis lainnya diatur secara
khusus.
4. Kelengkapan Bangunan
a. Ketentuan Umum
i. Bangunan tertentu berdasarkan letak, ketinggian dan penggunaannya harus
dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan bangunan, termasuk
pengaman/ rambu-rambu terhadap lalu-lintas udara dan atau laut.
ii. Syarat-syarat teknis lebih lanjut terhadap ketentuan tersebut di atas mengikuti
standar teknis yang berlaku.
f. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan yang telah ditetapkan dalam rencana tata
ruang dan tata bangunan tidak boleh dilanggar dalam mendirikan atau
rnemperbaharui seluruhnya atau sebagian dari bangunan.
j. Dalam hal terdapat makro lansekap yang dominan seperti laut, sungai besar,
gunung dan sebagainya, terhadap suatu kawasan/daerah dapat diterapkan
pengaturan khusus untok orientasi tata letak bangunan yang
mempertimbangkan potensi arsitektural lansekap yang ada.
b. Bila diperlukan dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas jalan
dengan mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan ruang
sempadan depan bangunan, pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan
jalur hijau median jalan berikut utilitas jalan lainnya seperti tiang listrik, tiang
telepon di kedua sisi jalan / ruas jalan yang dimaksud.
3. Tapak Basement
5. Tata Tanaman
a. Ketentuan Umum
c. Jalan
d. Pedestrian
e. Parkir
1. Dampak Penting
a. Persyaratan Bangunan
i. Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan
menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain yang
sifatnya mudah meledak, dapat diberikan ijin apabila:
(1) Lokasi bangunan terletak di luar lingkungan perumahan atau berjarak
tertentu dari jalan umum, jalan kereta api dan bangunan lain di
sekitarnya sesuai rekomendasi dinas teknis terkait.
(2) Bangunan yang didirikan harus terletak pada jarak tertentu dari
batas-batas pekarangan atau bangunan lainnya dalam pekarangan
sesuai rekomendasi dinas terkait.
(3) Bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke
daerah yang paling aman.
ii. Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau
memproduksi bahan radioaktif, racun, mudah terbakar atau bahan lain
yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan keselamatan serta
kesehatan penghuni dan lingkungannya.
iii. Pada bangunan yang menggunakan kaca pantul pada tampak bangunan,
sinar yang dipantulkan tidak boleh melebihi 24% dan dengan
memnperhatikan tata letak serta orientasi bangunan terhadap matahari.
iv. Bangunan yang menurut fungsinya memerlukan pasokan air bersih
dengan debit > 5 l/dt atau > 500 m3/hari dan akan mengambil sumber air
tanah dangkal dan atau air tanah dalam (deep well) harus mendapat ijin
dari dinas terkait yang bertanggung jawab serta menggunakan hanya
untuk keperluan darurat atau alternatif dari sumber utama PDAM.
v. Guna pemulihan cadangan air tanah dan mengurangi debit air larian, maka
setiap tapak bangunan gedung harus dilengkapi dengan bidang resapan
yang ukurannya disesuaikan dengan standar teknis yang berlaku.
vi. Apabila bangunan yang menurut fungsinya akan membangkitkan LHR >=
60 SMP per 1000 ft2 luas lantai, maka rencana teknis sistem jalan akses
keluar masuk bangunan gedung harus mendapat ijin dari dinas teknis yang
berwenang.
i. Setiap bangunan yang menghasilkan limbah cair dan padat atau buangan
lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran air dan tanah, harus
dilengkapi dengan sarana pengumpulan dan pengolahan limbah sebelum
dibuang ke tempat pembuangan yang diijinkan dan atau ditetapkan oleh
instansi yang berwenang.
ii. Sarana pongumpulan dan pongolahan air limbah harus dipelihara secara
berkala untuk menjamin kualitas effluen yang memenuhi standar baku
mutu limbah cair.
iii. Sampah yang dikumpulkan di sarana pengumpulan sampah padat harus
selalu dikosongkan setiap hari untuk menjamin agar lalat tidak
berkembang biak dan mengganggu kesehatan lingkungan bangunan
gedung.
5. Pengelolaan Daerah Bencana
a. Suatu daerah dapat ditetapkan sebagai daerah bencana, daerah Banjir dan
yang sejenisnya.
1. Persyaratan Struktur
2. Persyaratan Bahan
b. Dalam hal bilamana bahan struktur bangunan belum mempunyai SNI maka
bahan struktur bangunan tersebut harus memenuhi ketentuan teknis yang
sepadan dari negara/ produsen yang bersangkutan.
IV.2 PEMBEBANAN
2. Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus sesuai
dengan standar teknis yang berlaku, seperti :
a. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung SNI
1726;
b. Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung SNI 1727.
1. Konstruksi beton
a. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI 2847;
d. Tata Cara Perencanaan Beton dan Struktur Dinding Bertulang untuk Rumah
dan Gedung, SNI -1734.
2. Konstruksi Baja
b. Tata cara / pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
baja.
3. Konstruksi Kayu
1. Pondasi Langsung
d. Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton
bertulang.
2. Pondasi Dalam
a. Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan
daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga
penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang
berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.
1. Keselamatan Struktur
2. Keruntuhan Struktur
b. Ketidak andalan struktur akibat beban sendiri dan atau beban yang
didukungnya disebabkan oleh karena umur bangunan yang secara teknis
telah melebihi umur yang direncanakan, atau karena dilampauinya beban
yang harus dipikulnya sesuai rencana sebagai akibat berubahnya fungsi
bangunan atau kesalahan dalam pemanfaatannya.
c. Ketidak andalan struktur akibat beban perilaku alam dan atau manusia dapat
diakibatkan oleh adanya kebakaran, gempa, maupun bencana lainnya.
1. Kriteria Demolisi
a. Struktur bangunan sudah tidak andal, dan kerusakan struktur sudah tidak
memungkinkan lagi untuk diperbaiki karena alasan teknis dan atau
ekonomis, serta dapat membahayakan pengguna bangunan, masyarakat dan
lingkungan.
c. Bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada
tingkat tertentu akan mempertahankan stabilitas struktural selama kebakaran,
yang sesuai dengan:
i. fungsi atau penggunaan bangunan;
ii. beban api;
iii. intensitas kebakaran;
iv. tingkat bahaya api;
v. ketinggian bangunan;
vi. kedekatan dengan bangunan lain;
vii sistem proteksi aktif yang dipasang pada bangunan;
viii.ukuran setiap kompartemen api;
ix intervensi pasukan pemadam kebakaran; dan
x. elemen bangunan lainnya.
i. Setiap elemen bangunan yang disediakan untuk menahan penyebaran api, yaitu
pada bukaan, sambungan konstruksi, dan lubang untuk instalasi harus
dilindungi sedemikian, sehingga diperoleh tingkat kinerja yang memadai dari
elemen tersebut.
j. Akses ke dan sekeliling bangunan harus disediakan bagi kendaraan dan personil
pemadam kebakaran, untuk memudahkan tindakan pasukan pemadam
kebakaran secara memadai, sesuai dengan:
i. fungsi bangunan,
ii. beban api,
iii. intensitas kebakaran,
iv. tingkat bahaya api,
v. sistem proteksi aktif, dan
vi. ukuran kompartemen.
Dikaitkan dengan ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi yaitu:
a. Tipe A:
Konstruksi yang unsur-unsur struktur pembentuknya adalah tahan api dan
mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran pada bangunan minimal
2 (dua) jam. Pada konstruksi ini terdapat dinding pemisah pembentuk
kompartemen untok mencegah penjaiaran panas ke ruang-ruang yang
bersebelahan di dalam bangunan dan dinding luar untuk mencegah penjalaran
api ke dan dari bangunan didekatnya.
b. Tipe B:
Konstruksi yang unsur-unsur struktur pembentuk kompartemen penahanan api
mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam
bangunan dan unsur dinding luarnya mampu menahan penjalaran kebakaran
dari luar bangunan selama sekurang kurangnya 1 (satu) jam.
c. Tipe C:
Konstruksi yang terbentuk dari unsur-unsur struktur yang dapat terbakar dan
tidak dimaksudkan untuk mampu bertahan terhadap api.
3. Tipe konstruksi yang diwajibkan
Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan
ketentuan pada tabel berikut:
Tabel V.1.3
Tipe Konstruksi yang diwajibkan
a. Ukuran Kompartemen
Ukuran kompartemenisasi dan konstruksi pemisah harus dapat membatasi kobaran
api yang potensial, perambatan api dan asap, agar dapat:
i. melindungi penghuni yang berada di suatu bagian bangunan terhadap dampak
kebakaran yang terjadi ditempat lain di dalam bangunan.
ii. mengendalikan kebaran api agar tidak menjelar ke bangunan lain yang
berdekatan.
iii. menyediakan jalan masuk bagi petugas pemadam kebakaran.
Tabel V.1.4
Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran
b Pemberlakuan.
i. bagian ini tidak berlaku untuk bangunan klas 1 atau 10, dan
ii. ketentuan pada butir c, d dan e tidak berlaku untuk tempat parkir umum yang
dilengkapi dengan sistem sprinkler, tempat parkir tak beratap atau suatu
panggung terbuka.
f. Pemisahan
Pemisahan vertikal pada bukaan di dinding luar, pemisahan oleh dinding tahan api,
dan pemisahan pada shaft lift mengikuti syarat teknis sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Proteksi Bukaan
a. Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus diberi penyetop api
untuk mencegah merambatnya api serta menjamin pemisahan dan
kompartemenisasi bangunan.
b. Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk shaft pipa, shaft ventilasi,
dan shaft instalasi listrik harus sepenuhnya tertutup dengan dinding dari bawah
sampai atas, dan tertutup pada setiap lantai.
c. Apabila harus diadakan bukaan pada dinding sebagaimana dimaksud pada butir b,
maka bukaan harus dilindungi dengan penutup tahan minimal sama dengan
ketahanan api dinding atau lantai.
d. Sarana dan atau peralatan proteksi seperti penyetop api, damper, dan sebagainya
harus memenuhi persyaratan dan dapat dibuktikan melalui pengujian oleh lembaga
uji yang diakui dan terakreditasi.
Tabel V.1.5
JARAK ANTARA BUKAAN
PADA KOMPARTEMEN KEBAKARAN YANG BERBEDA
i. Bila diperlukan proteksi, maka jalan masuk, jendela dan bukaan lainnya harus
dilindungi sebagai berikut:
(1) Jalan masuk/pintu : sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan, atau memasang pintu kebakaran dengan TKA -/60/30 (dapat
menutup sendiri secara otomatis);
(2) Jendela: sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai keperluan,
atau jendela kebakaran dengan TKA -/60/- (menutup otomatis atau secara
tetap dipasang pada posisi tertutup), atau memasang penutup api otomatis
dengan TKA -/60/-
(3) Bukaan-bukaan lain: sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan, atau konstruksi dengan TKA tidak kurang dari-/60/-.
ii. Pintu, jendela, dan penutup kebakaran harus memenuhi ketentuan butir i di
atas dan standar teknis yang berlaku.
a. Hidran kebakaran.
i. Sistem hidran harus dipasang pada bangunan:
(1) yang memiliki luas lantai total lebih dari 500 m2, dan
(2) terdapat regu pemadam kebakaran.
ii. Sistem hidran kebakaran,
(1) harus dipasang sesuai dengan standar yang berlaku, SNI 1745; dan
(2) hidran dalam bangunan harus melayani hanya di lantai hidran
tersebut ditempatkan, kecuali pada satuan peruntukan bangunan, di
mana:
(a) bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian klas 4, dilayani oleh
hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai dimana ada jalur
keluar, atau
(b) bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang berlantai tidak lebih dari 2
(dua), dilayani oleh hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai
dimana ada jalur keluar, asalkan hidran dapat menjangkau
seluruh satuan peruntukan bangunan.
(3) bila dilengkapi dengan pompa kebakaran harus terdiri dari:
(a) 2 (dua) pompa, yang sekurang-kurangnya satu pompa
digerakkan oleh motor bakar atau motor listrik yang dicatu dari
daya generator darurat,
(b) 2 (dua) pompa yang digerakkan oleh motor listrik yang
dihubungkan dengan sumber tenaga yang terpisah satu sama
lain,
(4) bila pompa kebakaran dihubungkan dengan jaringan pasokan air dan
dipasang pada bangunan dengan ketinggian efektif kurang dari 25 m,
satu pompa digerakkan oleh:
(a) motor-bakar, atau
(b) motor listrik yang dicatu dari generator darurat, atau
(c) motor listrik yang dihubungkan pada sumber tenaga yang
terpisah satu sama lain melalui fasilitas pemindah daya otomatis;
(5) pemasangan pompa kebakarannya dalam bangunan harus pada
tempat yang:
(a) mempunyai jelur keluar ke jalan atau ruang terbuka, atau
(b) jika bangunan tidak dilindungi seluruhnya dengan sistem
sprinkler sesuai ketentuan yang berlaku, tempat pompa harus
terpisah dari bangunan, dan dengan konstruksi yang mempunysi
TKA tidak kurang dari yang dipersyaratkan bagi suatu dinding
tahan api untuk klasifikasi bangunannya;
(6) untuk pompa yang ditempatkan di luar bangunan, maka bangunan
rumah pompa tersebut harus jelas terlihat, tahan cuaca, mempunyai
jalur keluar langsung ke jalan atau ruang terbuka, dan jika dalam
jarak 6 m dari bangunan, maka dinding rumah pompa dan bagian
dinding luar yang berjarak 2 m dari samping rumah pompa dan 3 m
di atas rumah pompa, atau dinding antara bangunan dan rumah
pompa yang berjarak 2 m dari sisi rurnah pompa dan 3 m di atas
rumah pompa harus mempunyai TKA tidak kurang dari yang
dipersyaratkan untuk dinding tahan api sesuai klas bangunannya.
(7) bila sistem pasokan air mengambil air dari sumber statis, maka harus
disediakan sambungan yang cocok dan jalan masuk kendaraan
pemadam kebakaran untuk memudahkan petugas pemadam
kebakaran memompa air dari sumber tersebut dan harus disediakan
sambungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut untuk
meningkatkan tekanan air dalam sistem gedung, serta harus dirancang
untuk memenuhi tekanan dan laju aliran yang disyaratkan untuk
operasi petugas pemadam kebakaran.
b. Hose Reel
c. Sistem Sprinkler
i. Sistem sprinkler harus dipasang pada bangunan sebagaimana ditunjukkan
pada tabel berikut:
Tabel V.2.1
Persyaratan Pemakaian Sprinkler
d. Ketentuan lebih teknis dalam pengendalian asap kebakaran untuk setiap klas
bangunan mengikuti petunjuk dan standar teknis yang berlaku.
b. Konstruksi.
Ruang Pusat Pengendaii Kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya
lebih dari 50 meter harus merupakan ruang terpisah, dimana:
i. konstruksi penutupnya dari beton, dinding atau sejenisnya mempunyai
kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
ii. bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya harus memenuhi persyaratan
terhadap kebakaran;
iii. peralatan utilitas, pipa, saluran udara dan sejenisnya, yang tidak diperlukan
untuk berfungsinya nuang pengendali, tidak boleh lewat ruang tersebut;
iv. bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang
pengendali dengan ruang dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi
dan lubang perawatan lainnya, yang khusus untuk melayani fungsi ruang
pengendali tersebut.
d. Pintu Keluar.
i. Pintu yang menuju ruang pengendali harus membuka ke arah dalam ruang
tersebut, dapat dikunci dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang
menggunakan rute evakuasi dari dalam bangunan tidak menghalangi atau
menutupi jalan masuk ke ruang pengendali tersebut.
ii. Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari (2) dua arah
(1) arah pintu masuk di depan bangunan; dan
(2) arah langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yang
dilindungi terhadap api, yang menuju ke tempat umum dan mempunyai
nilai TKA tidak kurang dari -/120/30.
g. Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang pusat
pengendali, dan tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400 Lux.
h. Beberapa peralatan seperti Motor bakar, pompa pengendali sprinkler, pemipaan dan
sambungan-sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang pengendali, tetapi boleh
dipasang di ruangan-ruangan yang dapat di capai dari ruang pengendali tersebut.
i. Tingkat suara (ambient) dalam ruang pengendali kebakaran yang diukur pada saat semua
peralatan penanggulangan kebakaran beroperasi ketika kondisi darurat berlangsung
tidak melebihi 65 dbA bila ditentukan berdasarkan ketentuan tingkat kebisingan didalam
bangunan.
VI. SARANA JALAN MASUK DAN KELUAR
1. Fungsi
a. Melengkapi bangunan dengan akses yang layak, aman, nyaman, dan
memadai bagi semua orang.
b. Melengkapi bangunan dengan sarana evakuasi yang memungkinkan
penghuni punya waktu untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa
meraskan keadaan darurat.
c. Fungsi tersebut pada butir b di atas tidak berlaku untuk unit hunian tunggal
pada bangunan klas 2, 3, atau 4.
2. Persyaratan kinerja:
a. Akses ke dan di dalam bangunan harus tersedia yang memungkinkan
pergerakan manusia secara aman, nyaman dan memadai.
b. Agar manusia dapat bergerak dengan aman ke dan di dalam bangunan maka
bangunan harus mempunyai antara lain:
i. Kemiringan permukaan lantai harus aman bagi pejalan kaki.
ii. Setiap pintu dibuat agar penghuni mudah mencapai akses keluar dan
menghindari risiko terjebak di dalam bangunan.
iii. Setiap tangga dan ramp memiliki:
(1) Permukaan lantai tidak licin pada ramp, injakan dan akhiran
injakan tangga.
(2) Pegangan rambat (handrails) yang memadai untuk membantu
kestabilan pemakai tangga/ramp
(3) Lantai bordes yang memadai uniuk menghindari keletihan
(4) Pintu di lantai bordes sedemikian hingga pintu tersebut tidak
menjadi rintangan.
(5) Tangga yang memadai untuk menampung volume dan frekwensi
penggunaan.
c. Pada area dimana orang bisa jatuh dari ketinggian 1m atau lebih dari
lantai/atap/melalui bukaan pada dinding luar bangunan, atau karena
perbedaan tinggi lantai dalam bangunan, harus dibuatkan penghalang yang:
i. menerus sepanjang area yang berbahaya.
ii. tinggi disesuaikan dengan risiko orang tanpa disengaja jatuh dari lantai
/atap.
iii. mampu menjaga lintasan anak-anak.
iv. Kuat dan kokoh menahan pengaruh orang yang menabrak, dan tekanan
orang pada penghalang tersebut.
d. Butir c tersebut di atas tidak berlaku bila penghalang tersebut digunakan
untuk panggung, tempat bongkar muat barang dan sejenisnya.
e. Butir c tersebut tidak berlaku juga untuk:
i. tangga/ramp yang diisolasi terhadap kebakaran dan area lain untuk tujuan
darurat, kecuali tangga/ramp di luar bangunan.
ii. bangunan klas 7 (kecuali tempat parkir mobil) dan klas 8.
f. Jumlah, lokasi dan dimensi pintu keluar yang tersedia pada bangunan
disediakan agar penghuni dapat menyelamatkan diri dengan aman, sesuai
dengan:
i. Jarak tempuh
ii. Jumlah, mobilitas dan karakter penghuni.
iii. Fungsi bangunan
iv. Tinggi bangunan
h. Agar penghuni dapat keluar dengan aman dari bangunan, dimensi jelur
lintasan menuju ke pintu keluar harus sesuai dengan .
i. Jumlah, mobilitas dan karakter lain dan penghuni
ii. Fungsi bangunan
i. Butir h tersebut di atas tidak berlaku di dalam unit hunian tunggal pada
bangunan klas 2, 3 dan 4.
1. Persyaratan Keamanan
a. Tangga, ramp dan lorong (gang) harus aman bagi lalu lintas pengguna
bangunan.
b. Tangga, ramp, lantai, balkon, dan atap yang dapat dicapai oleh manusia
harus mempunyai dinding pembatas, balustrade atau penghalang lainya yang
untuk melindungi pengguna bangunan terhadap risiko jatuh .
c. Ramp kendaraan dan lantai yang dapat dilewati kendaraan harus mempunyai
pembatas pinggir atau penghalang lainnya untuk melindungi pejalan kaki
dan struktur bangunannya.
e. Area perawatan pasien: Pada bangunan klas 9a sedikitnya harus ada 1 jalan
keluar dari setiap bagian pada lapis lantai yang telah disekat menjadi
kompartemen tahan api.
g. Akses ke jalan keluar: Tanpa harus melalui hunian tunggal lainnya, setiap
penghuni pada lapis lantai atau bagian lapis lantai bangunan harus dapat
mencapai ke:
i. 1 jalan keluar, atau
ii. sedikitnya 2 jalan keluar, bila 2 atau lebih jalan keluar diwajibkan.
b. Bagian bangunan klas 4: Pintu masuk harus tidak lebih dari 6 m dari pintu keluar,
atau dari tempat dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar tersedia.
c. Bangunan klas 5 s.d. 9: Terkena aturan butir d, e, f, dan:
i. Setiap tempat harus berjarak tidak lebih 20 m dari pintu keluar, atau tempat
dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar tersedia, jika jarak
maksimum ke salah satu pintu keluar tersebut tidak melebihi 40 m, dan
ii. Pada bangunan klas 5 atau 6, jarsk ke pintu keluar tunggal pada lapis lantai
yang merupakan akses ke jalan atau ke ruang terbuka dapat diperpanjang
sampai 30 m.
d. Bangunan klas 9a: Area perawatan pasien pada bangunan klas 9a.
i. Setiap tempat pada lantai harus berjarak tidak lebih 12 m dari tempat dengan
jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar yang dipersyaratkan tersedia.
ii. Jarak maksimum dari satu tempat ke salah satu dari pintu keluar tersebut
tidak lebih dari 30 m.
e. Panggung Terbuka: Jarak jalur lintasan menuju ke pintu keluar pada bangunan
klas 9b yang dipakai sebagai panggung terbuka harus tidak lebih dari 60 m.
f. Gedung Pertemuan: Pada bangunan klas 9b selain gedung sekolah atau pusat
asuhan balita, jarak ke salah satu pintu keluar dimungkinkan 60 m, bila :
i. jalur lintasan dari ruang tersebut ke pintu keluar melalui lorong/koridor.
lobby, ramp, atau ruang sirkulasi lainnya, dan
ii. konstruksi ruang tersebut bebas asap, memiliki TKA tidak kurang dari
60/60/60 dan konstruksi setiap pintunya terlindung serta dapat menutup
sendiri dengan ketebalan tidak kurang dari 35 mm.
b. Setiap tangga atau ramp tahan api harus menyediakan pintu keluar tersendiri dari
tiap lapis lantai yang dilayani dan keluar secara langsung atau melawati lorong
yang diisolasi terhadap kebakaran yang ada di lantai tersebut:
i. ke jalan atau ruang terbuka, atau
ii. ketempat:
(1) ruang atau lantai yang digunakan hanya untuk pejalan kaki, parkir
kendaraan atau sejenisnya, dan tertutup tidak lebih dari 1/3 kelilingnya.
(2) lintasan tanpa rintangan, tidak lebih dari 20 m, tersedia menuju ke jalan
atau ruang terbuka.
iii. ke area tertutup yang:
(1) berbatasan dengan jalan atau ruang terbuka,
(2) terbuka untuk sedikitnya 1/3 dari keliling area tersebut;
(3) mernpunyai ketinggian bebas rintangan di semua bagian termasuk
bukaan pada keliling area yang tidak kurang dari 3 m;
(4) mempunyai lintasan bebas rintangan dari tempat keluar ke jalan atau
ruang terbuka yang tidak lebih dan 6 m.
d. Jika Jebih dari dua akses pintu, bukan dari komponen sanitasi atau sejenisnya,
membuka ke pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran pada lantai dimaksud
i lobby bebas asap sesuai dengan Bab V.2.3 harus tersedia
ii. pintu keluar bertekanan udara sesuai standar yang berlaku.
e. bangunan klas 9a : Ramp harus tersedia untuk setiap perubahan ketinggian kurang
dari 600 mm pada lorong yang diisolasi terhadap kebakaran.
b. Pada bangunan klas 2, 3 atau 4, jarak antara pintu keluar dari ruang atau unit
hunian tunggal dan tempat keluar menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui
tangga atau ramp yang tidak diisolasii terhadap kebakaran harus tidak melampaui:
i. 30 m pada konstruksi bangunan tipe C, atau
ii. 60 m pada konstruksi bangunan lainnya.
c. Pada bangunan klas 5 s.d. 9, jarak antara sembarang tempat pada lantai ke tempat
keluar menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui tangga/ramp yang tidak
diisolasi terhadap kebakaran harus tidak melebihi 80 m.
d. Pada bangunan klas 2, 3 atau 9a, tangga/ramp yan tidak diisolasi terhadap
kebakaran harus keluar pada tempat yang tidak lebih dari
i. 15 m dari pintu keluar yang menyediakan jalan keluar menuju ke jalan atau
ruang terbuka, atau dari lorong yang diisolasi terhadap kebakaran menuju ke
Jalan atau ruang terbuka, atau
ii. 30 m dan salah satu dari dua pintu atau lorong keluar bila arah tangga/ramp
yang tidak diisolasi terhadap kebakaran berlawanan atau hampir berlawanan
arah.
e. Pada bangunan klas 5 s d. 8 ata u 9b, tangga/ramp yang tidak diisolasi torhadap
kebakaran harus keluar ke tempat yang tidak lebih dari:
i. 20 m dari pintu keluaar yang menyediakan jalan keluar menuju ke jalan atau
ruang terbuka, atau dari lorong yang diisolasi terhadap kebakaran menuju ke
jalan atau ruang terbuka, atau
ii. 40 m dari salah satu dari dua pintu atau lorong keluar: arah tangga/ramp
yang tidak diisolasi terhadap kebakaran berlawanan atau hampir berlawanan
arah.
f. Pada bangunan klas 2 atau 3, bila dua atau lebih pintu keluar disyaratkan dan
disediakan sebagai sarana tangga/ramp yang tidak diisolasi. terhadap kebakaran
dalam bangunan, maka masing-masing pintu keluar tersebut harus :
i menyediakan jalan keluar terpisah menuju ke jalan atau ruang terbuka;
ii. bebas asap.
e. Pada bangunan klas 9b dengan auditorium yang menampung lebih dan 500 orang,
tidak lebih dari 2/3 lebar pintu keluar yang disyaratkan harus terletak di area pintu
masuk utama.
b. Pada bangunan klas 9a, pintu keluar horisontal dapat dianggap sebagai pintu
keluar yang disyaratkan, bila jalur lintasan dari kompartemen kebakaran menuju
ke satu atau lebih pintu keluar horisontal langsung menuju ke kompartemen
kebakaran lainnya, dan mempunyai sedikitnya satu pintu keluar yang disyaratkan
yang bukan pintu keluar horisontal
c. Kasus selain butir b di atas, pintu keluar horisontal harus tidak lebih dari separuh
pintu keluar yang disyaratkan pada lantai yang dipisahkan oleh dinding tahan api
d. Pintu keluar horisontal harus mempunyai area bebas disetiap sisi dinding tahan api
untuk menampung jumlah orang dari seluruh bagian lantai dengan tidak kurang
dari:
i. 2.5 m2 tiap pasien pada bangunan klas 9a, dan
ii. 0,5 m2 tiap orang pada klas bangunan lainnya.
Tabel VI.2
LUASAN PER-ORANG SESUAI PENGGUNAANNYA (BEBAN PENGHUNIAN)
1. Penerapan
Kecuali ketentuan butir 13 den 16, persyaratan ini tidak berlaku untuk unit
hunian tunggal pada bangunan klas 2 atau 3 atau bagian klas 4.
9. Lebar Tangga
a. Lebar tangga yang disyaratkan harus:
i. bebas halangan, seperti pegangan rambat (handrail), bagian dari
balustrade, dan sejenisnya,
ii. lebar bebas halangan, kecuali untuk list langit-langit, sampai ketinggian
tidak kurang dari 2 m, vertikal di atas garis sepanjang nosing injakan
tangga atau lantai bordes.
b. Lebar tangga melebihi 2m dianggap mempunysi lebar hanya 2 m, kecuali
dipisahkan oleh balustrade atau pegangan rambat menerus antara lantai
bordes dan lebar masing-masing bagian kurang dari 2 m.
14. Bordes
a. Bordes tangga dengan maksimum kemiringan 1: 50 dapat digunakan, untuk
mengurangi jumlah tanjakan dan setiap bordes harus:
i. panjangnya tidak kurang dari 550 mm diukur dari tepi dalam bordes,
ii. tepi bordes diberi finishing yang tidak licin.
b. Bangunan klas 9a:
i. Luas bordes harus cukup untuk gerakan usungan yang berukuran
panjang 2 m dan lebar 60 cm,
ii. Sudut arah naik dan turun tangga harus 180°, lebar minimal bordes 1,6
m dan panjangnya minimal 2,7 m.
16. Balustrade
a Balustrade menerus harus tersedia sekeliling atap yang terbuka untuk
umum, tangga, ramp, lantai, koridor, balkon dan sejenisnya, bila:
i. tidak dibatasi dengan dinding,
ii. tinggi lebih dari 1 m di atas lantai atau dibawah muka tanah, kecuali
sekeliling panggung, tempat bongkar muat barang atau tempat lain bagi
staf untuk pemeliharaan.
b. Balustrade pada:
i. tangga/ramp yang diisolasi terhadap kebakaran atau area lain untuk
keadaan darurat, kecuali tangga/ramp luar bangunan, dan
ii. bangunan klas 7 (kecuali tempat parkir) serta klas 8, harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.i.
c. Balustrade, tangga, dan ramp di luar ketentuan butir b harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.i.
d. Balustrade sepanjang sisi atau dekat permukaan horisontal seperti:
i. atap, yang tersedia akses untuk umum dan jalur masuk ke bangunan,
ii. lantai, koridor, balkon, lorong, mesanin dan sejenisnya, harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.ii.
e. Balustrade atau penghalang lain di depan tempat duduk permanen pada
balkon atau mesanin auditorium bangunan klas 9b harus sesuai ketentuan
f.iii dan g.ii.
f. Tinggi balustrade:
i. minimal 865 mm di atas nosing injakan tangga atau lantai ramp
ii. tidak kurang dari 1 m di atas lantai akses masuk, balkon dan sejenisnya,
iii. Balustrade sesuai ketentuan butir e, tinggi di atas lantai tidak kurang
dari 1m, atau 700 mm bila tonjolan keluar dari bagian atas balustrade
diproyeksikan mendatar tidak kurang dari 1 m.
g. Bukaan pada balustrade memenuhi ketentuan butir b, bila dibuat sesuai
i. Jarak antara lebar bukaan tidak lebih dari 300 mm
ii. Bila menggunakan jeruji, tinggi jeruji tidak lebih dan 150 mm di atas
nosing injakan tangga atau lantai bordes, balkon atau sejenisnya dan
jarak antar jeruji tidak lebih dari 460 mm.
18. Pintu
Sebagai pintu keluar yang disyaratkan:
a. bukan pintu berputar
b. bukan pintu gulung,
i. kecuali dipasang pada bangunan atau bagian bangunan klas 6, 7, 8
dengan luas lantai tidak lebih dari 200 m2,
ii. merupakan satu-satunya pintu keluar yang disyaratkan dalam bangunan
c. bukan pintu sorong, kecuali:
i membuka secara langsung ke arah jalan atau ruang terbuka
ii. pintu dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dari 110 N.
d. bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik:
i. harus dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dan 110 N.
bila terjadi kerusakan atau tidak berfungsinya tenaga listrik
ii. membuka langsung ke arah jalan atau ruang terbuka harus dapat
membuka secara otomatis bila terjadi kegagalan pada daya listrik, alarm
kebakaran dan lainnya.
VII. 1 LIF
1. Kapasitas Lif
2. Lift Kebakaran
a. Lif kebakaran dapat berupa lif penumpang biasa atau lif barang yang dapat
diatur, sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh
petuugas Kebakaran, tanpa terganggu oleh sakelar panggil lainnya.
b. Persyaratan teknis dari lif yang digunakan sebagai lif kebakaran harus
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
c. Untuk mengubah fungsi lif penumpang atau lif barang menjadi lif
kebakaran, harus dengan cara menekan sakelar kebakaran (Fire Switch)
terlebih dahulu.
d. Kecepatan dan ukuran sangkar lif kebakaran disesuaikan dengan standar
teknis yang berlaku.
e. Pintu saf lif kebakaran harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan yang
berlaku di Indonesia.
f. Lif kebakaran harus dapat berhenti di setiap lantai.
g. Sumber daya listrik untuk lif kebakaran harus direncanakan dari sumber
yang berbeda, dan menggunakan kabel tahan api.
ATAU
10 mm
Dilarang menggunakan Lif
bila terjadi Kebakaran
8 mm
Gambar VII. 1
Tanda Peringatan Lif Penumpang
b. sesuai dengan detail dan dimensi minimum seperti pada gambar Vll. 1, dan
terdiri dari
i. huruf yang diukir, ditatah atau huruf timbul pada logam, kayu, plastic
atau sejenisnya dan dipasang tetap didinding, atau
ii huruf yang diukir atau ditatah langsung dipermukaan bahan dinding
iii. bila diperlukan, dengan penampilan khusus sehingga dapat terbaca
pada keadaan gelap atau sewaktu terjadi kebakaran.
a. Satu atau beberapa lif harus di pasang sebagai lif pasien untuk melayani
setiap lantai dalam bangunan yang tidak menggunakan ramp, misalnya
bangunan Kelas 9a, yang ruang rawat pasiennya tidak berada di lantai
b. Lif pasien yang dibutuhkan pada butir a, harus:
i. berukuran cukup untuk meletakkan fasilitas kereta dorong ( wheel
strecther) secara horisontal
ii. Lif yang melayani ruang rawat pasien dihubungkan juga ke sistem
tenaga listrik cadangan, dan
iii. Mempunyai kapasitas beban tidak kurang dari 600 Kg.
5. Sangkar Lif
Sangkar pada setiap lif harus dilengkapi dengan peralatan tanda bahaya yang
dapat dioperasikan dari dalam sangkar, berupa bel listrik, telepon, atau alat-alat
lainnya yang dipasang dalam gedung ditempat yang mudah didengar oleh
pengelola bangunan gedung yang bersangkutan.
6. Saf Lif
a. Dalam saf lif dilarang memasang pipa atau peralatan lain yang tidak
merupakan bagian dari instalasi lif.
b. Untuk saf lif yang menerus dan tidak memiliki pintu keluar pada setiap
lantainya, setiap 3 lantai harus memiliki bukaan untuk digunakan dalam
kondisi darurat,
7. Mesin Lif Dan Ruang Mesin Lif
a. Bangunan ruang mesin lif harus kuat dan kedap air serta berventilasi
cukup. Ruang mesin harus mempunyai sirkulasi udara, untuk
mempertahankan suhu udara dan panas dari peralatan mesin.
b. Minimum satu jalan keluar harus dibuat pada setiap nuang mesin lif.
c. Balok, lantai dan penyangga di Ruang mesin harus di rencanakan dengan
memenuhi:
i. Beban balok dan penyangga harus sudah termasuk beban mesin lif,
motor generator, panel kontrol, governor dan peralatan lain, termasuk
lantai ruang mesin.
ii. Dua kali jumlah beban komponen yang bergerak vertikal dari tromol
(dihitung dari dua sisi), atau dihubungkan ke tali yang disangga oleh
balok, dengan beban sangkar lif.
iii. Beban diperhitungkan pada saat bandul mekanis governor) bekerja.
d. Jika mesin lif dan tali diempatkan di lantai bawah, atau disamping ruang
luncur di lantai bawah, pondasi untuk mesin, tromol, dan penyangga harus
direncanakan sesuai beban dibawah ini:
i. Pondasi harus menyangga berat mesin, tromol tali, peralatan lain dan
lantai diatasnya.
ii. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali beban berat
pada arah tegak.
iii. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali baban berat
pada arah sejajar.
iv. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali beban berat
pada semua arah gaya
8. Instalasi Listrik
a. Semua hantaran listrik harus dipasang dalam pipa atau saluran kabel (duct)
kecuali hantaran lemas (fleksibel) yang khusus.
b. Instalasi listrik untuk lif harus dilengkapi dengan pengaman harus lebih
atau sakelar otomatis.
c. Semua bagian logam dari lif pada keadaan bekerja normal tidak boleh
bertegangan.
Persyaratan Teknis tangga dan lantai berjalan harus mengikuti pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
VIII. PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR,
DAN SISTEM PERINGATAN BAHAYA
a jalan lintas.
b. ruang yang mempunyai luas lebih dari 300 m2,
c ruangan yang mempunyai luas lebih dari 100 m2 tetapi kurang 300 m2
yang terbuka:
i. ke koridor, atau
ii ke ruang yang mempunyai lampu darurat, atau
iii. ke jalan raya, atau
iv. ke ruang terbuka.
d. bangunan kelas 2 atau 3, dan pada setiap jalan lintas yang mempunyai
panjang lebih dari 6 meter diberikan sistem lampu darurat;
e. bangunan kelas 9a, yaitu pada:
i. setiap lorong, koridor, hall, atau sejenisnya yang digunakan pasien.
ii. setiap ruang dengan luas lantai lebih dari 120 m2 yang digunakan
pasien
3. Lampu darurat yang digunakan harus sesuai dengan standar yang berlaku.
a. Jelas, mudah dibaca, mempunyai huruf dan simbol dengan ukuran yang
cukup
b diterangi dengan pencahayaan cukup sehingga jelas terbaca setiap waktu
oleh orang yang masuk dan berada di dalam bangunan,
c. dipasang sehingga jika tenaga listrik normal terganggu, pencahayaan
darurat digunakan pada tanda KELUAR.
2. Tanda KELUAR harus jelas kelihatan untuk orang yang menuju keluar, dan
harus dipasang diatas atau di dekat setiap:
a. Pintu yang digunakan untuk jalan keluar dari setiap lantai keluar
i. tangga yang tertutup, lorong, atau ramp yang digunakan untuk
ii tangga luar, lorong atau ramp yang digunakan untuk Keluar
iii. jalan keluar di balkon yang menuju Keluar.
b. Pintu dari tangga tertutup, lorong, atau ramp pada setiap tingkat yang
menuju Jalan raya atau ruang terbuka, dan:
c. Jalan keluar horisontal, dan:
d. Pintu yang digunakan sebagai atau merupakan bagian dari jalan KELUAR"
pada setiap lantai yang harus dilengkapi dengan lampu darurat sesuai
VIII.1
3. Jika tanda “KELUAR" tidak segera diketahui oleh penghuni atau pengunjung
bangunan, maka tanda Keluar dengan arah panah harus dipasang pada posisi
yang tepat di koridor, hall, lobi, atau sejenisnya yang menunjukkan arah keluar
yang disyaratkan.
Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal mengacu pada standar yang
berlaku dan harus dipasang pada:
2. Bangunan Kelas 2 yang mempunyai ketinggian lantai lebih dari dua lapis dan
a. bagian rumah dari sekolahan,
b. akomodasi untuk orang tua, anak-anak, atau orang cacat.
3. Bangunan kelas 2 sebagai rumah perawatan orang tua, kecuali bila sistemnya
a. langsung memberikan peringatan pada petugas, atau
b. sistem alarm diatur volume dan isi pesannya untuk meminimalkan
kepanikan dan trauma, sesuai dengan tipe dan kondisi penghuni.
4. Bangunan Kelas 9a yang mempunyai luas lantai lebih dari 1000 m2 atau
ketinggian lantai lebih dari dua:
a. sistemnya harus diatur memberikan peringatan pada petugas
b. di daerah bangsal perawatan, sistem alarm dapat diatur volume dan isi
pesannya untuk meminimalkan kepanikan sesuai dengan tipe dan kondisi
pasien
5. Bangunan Kelas 9b
a. untuk sekolah, mempunyai ketinggian lantai tidak lebih dari tiga
b. untuk gedung pertunjukan, hall umum, atau sejenisnya, yang mempunyai
luas lantai lebih dari 1000 m2 atau ketinggian lantai lebih dari dua.
IX. INSTALASI LISTRIK, PENANGKAL PETIR DAN
KOMUNIKASI DALAM GEDUNG
5. Transformator Distribusi
a. Transformator distribusi yang berada dalam gedung harus ditempatkan dalam
ruangan khusus yang tahan api dan terdiri dari dinding, atap dan lantai yang
kokoh, dengan pintu yang hanya dapat dimasuki oleh petugas.
b. Ruangan trafo harus diberi ventilasi yang cukup, dengan ruangan yang cukup
untuk perawatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Umum Instalasi Listrik
dan SNI-0225 yang berlaku.
c. Bila ruang transformator dekat dengan ruang yang rawan kebakaran maka
diharuskan mempergunakan transformator tipe kering.
2. Instalasi Telpon
a. Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi Persyaratan:
i. Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air,
aman dan mudah dikerjakan.
ii. Ukuran lubang orang (manhole) yang melayani saluran masuk ke dalam
gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x 0,80m.
iii. Dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan jalan
besar.
b. Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak
0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Ruang PABX dan TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
i. Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan
tidak boleh kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan
untuk tempat peralatan.
ii. Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas.
iii. Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
d. Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan
lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup dan tidak boleh kena sinar matahari
langsung.
1. Jenis Gas
Jenis gas pembakaran yang dimaksud meliputi:
a. Gas Kota
Gas kota yang dipakai umumnya berupa gas alam (natural gas), yang terdiri
dari kandungan methane (CH4) dan ethane (C2He ). Ketentuan teknis dari gas
ini mengikuti standar yang dikeluarkan oleh pemasok gas tersebut.
b. Gas elpiji (LPG = Liquefied Petroleum Gasses).
Gas elpiji, terdiri dari propane (C3H8) dan Butane (C4H10). Ketentuan teknis
dari gas ini mengikuti standar yang dikeluarkan oleh pemasok gas tersebut.
1. Jenis Gas
Jenis gas medik yang dimaksud, adalah :
a. Gas oxigen
b. Gas nitrous Oxida (N2O)
c. Udara tekan
d. Vakum
b. Sumber air bersih pada bangunan harus diperoleh dari sumber air PAM
(Perusahaan Air Minum), dan apabila sumber air bukan dari PAM, sebelum
digunakan harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.
e. Apabila kapasitas dan atau tekanan sumber yang digunakan tidak memenuhi
kapasitas dan tekanan minimal pada titik pengaturan keluar, maka harus
dipasang sistem tanki persediaan air dan pompa yang direncanakan dan
ditempatkan sehingga dapat memberikan kapasitas dan tekanan yang
optimal.
f. Bangunan yang dilengkapi dengan sistem penyediaan air panas, dimana pipa
pembawa air panas dari sumber air panas ke alat plambing cukup panjang,
maka harus dilengkapi dengan pipa sirkulasi. Pipa pembawa air panas yang
cukup panjang tersebut harus dilapisi dengan bahan isolasi.
g. Temperatur air panas yang keluar dari alat plambing harus diatur,
maksimum 60° C, kecuali untuk penggunaan khusus.
h. Bahan pipa yang digunakan dapat berupa PVC, PE (poli-etilena), besi lapis
galvanis atau Tembaga, mampu menahan tekanan sekurang-kurangnya 2 kali
tekanan kerja, tidak mengandung bahan beracun dan pemasangannya harus
sesuai dengan petunjuk teknis bahan pipa yang bersangkutan.
j. Diameter pipa sambungan pelanggan dari jaringan pipa distribusi kota harus
disesuaikan dengan kelas bangunan.
a. Pada dasarnya air kotor berasal dari aktivitas manusia, baik tempat mandi
cuci, kakus maupun kegiatan lainnya.
b. Semua air kotor harus diolah sebelum dibuang ke saluran air kotor umum
kota atau disalurkan ke bangunan pengolahan air kotor komunal bila
tersedia.
c. Air kotor yang mengandung bahan buangan berbahaya dan beracun, serta
yang mengandung radioaktif, harus ditangani secara khusus, sesuai peraturan
yang berlaku di Indonesia.
e. Saluran air kotor dapat benupa pipa atau saluran lainnya, baik dari bahan
PVC, PE, tanah liat, beton, tembaga, besi tuang, baja maupun bahan lainnya
yang tidak mudah rusak, tahan terhadap karat dan panas.
h. Sistem air kotor didalam bangunan harus dilengkapi dengan pipa ven untuk
menetralisir tekanan udara didalam saluran tersebut.
b. Bahan alat plambing harus mempunyai permukaan yang halus dan rapat air,
tahan lama untuk digunakan, babas dari kerusakan dan tidak mempunyai
bagian kotor yang tersembunyi.
d. Pipa pembuangan dari alat plambing yang digunakan untuk menyimpan atau
mengolah makanan, minuman bahan steril atau bahan sejenis lainnya, harus
dilengkapi dengan celah udara yang cukup untuk mencegah kemungkinan
terjadinya kontaminasi.
f. Pada pipa penyaluran air kotor dari alat plambing yang mungkin menerima
buangan mengandung minyak atau lemak, harus dilengkapi dengan alat
perangkap minyak dan lemak.
a. Fungsi tangki penyediaan air bersih adalah untuk menyimpan cadangan air
bersih untuk kebutuhan penghuni, perlengkapan bangunan, penanggulangan
kebakaran dan pengaturan tekanan air.
c. Konstnuksi dan bahan tanki penyediaan air bersih harus cukup kuat dan tidak
mudah rusak. Bahan tangki dapat berupa beton, baja, fiberglass dan kayu.
e. Tangki penyediaan air bersih harus diiengkapi dengan sistem perpipaan dan
perlengkapannya yang terdiri dari pipa masuk dan pipa keluar, pipa peluap,
pipa penguras dan pipa ven, serta dilengkapi dengan 1ubang pemeriksa.
6. Pompa
a. Fungsi pompa air bersih adalah memberikan kapasitas dan tekanan yang
cukup pada sistem penyediaan air bersih atau menyalurkan air ke tanki
penyediaan air bersih. Fungsi pompa air kotor adalah menyalurkan air kotor
ke saluran air kotor umum Kota atau ke bangunan pengolahan air kotor
lainnya.
c. Pompa harus dipasang pada lokasi yang mudah untuk pengoperasian dan
pemeliharaannya.
e. Pompa harus dilengkapi dengan alat pengukur tekanan dan katup pencegah
aliran balik pada pipa keluaran dan ujung pipa isap pompa.
b. Air hujan harus dialirkan ke sumur resapan dan atau dialirkan ke jaringan air
hujan umum kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Bila belum tersedia jaringan umum kota ataupun sebab-sebab lain yang dapat
diterima, maka harus dilakukan cara-cara lain yang dibenarkan oleh instansi
yang berwenang
2. Persyaratan Saluran
a. Saluran air hujan dapat merupakan saluran terbuka dan atau saluran tertutup.
b Apabila saluran dibuat tertutup, maka pada tiap perubahan arah aliran harus
dilengkapi dengan lubang pemeriksa, dan pada saluran yang lurus, lubang
pemeriksa harus dibuat dengan jarak tiap 25-100 m, disesuaikan dengan
diameter saluran tersebut dan standar yang berlaku.
3. Pemeliharaan
Pemeliharaan sistem air hujan harus dilakukan secara berkala untuk mencegah
terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran.
XI.3 PERSAMPAHAN
Setiap bangunan baru dan atau perluasan bangunan harus dilengkapi dengan
fasilitas pewadahan dan atau penampungan sampah sementara yang memadai,
sehingga tidak mengganggu kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
2. Pewadahan
b. Tempat pewadahan sampah harus terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah
rusak, mempunyai tutup dan mudah diangkut. Bahan tersebut dapat berupa
kantong plastik, peti kemas fiberglass, peti kemas baja, dan pasangan bata
atau beton.
3. Sampah Berbahaya
Untuk sampah padat yang dikatagorikan sebagai jenis buangan berbahaya dan
beracun (sampah B3), penempatan dan pembuangannya harus ditangani secara
khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
XII. VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA
XII.1 VENTILASI
1. Kebutahan Ventilasi
Setiap bangunan harus mempunyai:
a. Ventilasi alami sesuai dengan butir XII.1.2 di bawah ini atau
b. Ventilasi mekanis yang memenuhi ketentuan yang berlaku.
2. Ventilasi Alami
a. Penerapan ventilasi alami.
Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau
sarana lain yang dapat dibuka
i. dengan jumlah bukaan berukuran tidak kurang dari 5% dari luas lantai
ruangan yang dibutuhkan untuk di ventilasi;
ii ke arah;
(1) halaman berdinding dengan ukuran yang sesuai, atau daerah yang
terbuka ke atas;
(2) teras terbuka, pelataran parkir, dan yang sejenis;
(3) ruangan bersebelahan yang dimaksud dalam butir b di bawah ini.
d. Ruang antara
Jika ruang kakus atau peturasan yang dilarang menurut butir c di atas
terbuka langsung terhadap ruang lainnya:
i. Dalam hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau 3 atau bagian
bangunan kelas 4;
(1) jalan masuk harus melalui ruang antara, koridor atau ruang
lainnya;
(2) ruangan yang ada kakus atau peturasan tersebut harus tersedia
ventilasi pembuangan mekanis;
ii. pada bangunan Kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 (yang bukan merupakan pusat
penitipan anak, sekolah TK atau panggung terbuka);
(1) jalan masuk harus melalui suatu dinding terkurung, koridor atau
ruang lainnya dengan luas tidak kurang dari 1,1 m2 dan pada
setiap pintu jalan masuk harus dipasang alat penutup pintu
otomatis;
(2) ruangan yang ada kakus atau peturasan tersebut harus tersedia
ventilasi pembuangan udara mekanis; dan pintu ke ruangan
tersebut harus terhalang dari penglihatan.
f. Gedung Parkir
Setiap lantai gedung parkir, kecuali pelataran parkir terbuka harus
mempunyai:
i. sistem ventilasi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
ii. sistem ventilasi alami permanen yang memadai.
3. Ventilasi buatan
a. Penempatan fan harus memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan
juga memungkinkan masuknya udara segar, atau sebaliknya.
b. Sistem Ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami yang memenuhi
syarat tidak memadai.
c. Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja terus
menerus selama ruang tersebut dihuni.
d. Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi
buatan untuk membuang udara kotor dari dalam, dan minimal 2/3 volume
udara ruang harus terdapat pada ketinggian maksimal 0,60 meter diatas
lantai.
e. Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari lebih
satu lantai, gas buang mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu
udara bersih pada lantai lainnya.
f. Besamya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang
dalam bangunan harus sesuai standar yang berlaku.
2. Konservasi Energi
a. Pengkondisian udara harus memperhatikan upaya konservasi energi
minimal seperti dinyatakan dalam SK SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
b. Rancangan sistem pengkondisian udara harus dikembangkan sehingga
penggunaan energi yang optimal dapat diperoleh, termasuk dengan
memperhitungkan pemakaian energi per tahunnya, pemilihan peralatan,
serta biaya awal dan biaya umur pemakaian energi.
c. Karakteristik beban bangunan harus dianalisa sehingga memungkinkan
sistem dan peralatan dengan ukuran yang tepat serta dipilih untuk
memperoleh efisiensi yang baik pada beban penuh atau beban paruh.
.
XIII. PENCAHAYAAN
XIV. 1. KEBISINGAN
2 Dampak Lingkungan
Bagi usaha atau kegiatan yang mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih
ketat dari ketentuan, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku
tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak
lingkungan atau ditetapkan oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
XIV.2 GETARAN
2. Dampak Lingkungan
Bagi usaha atau kegiatan yang mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat
dari ketentuan, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut, berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan
atau ditetapkan oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
XV. KETENTUAN PENUTUP
XV.1 Persyaratan Teknis Bangunan Gedung seperti telah diuraikan pada Bab-bab
sebelumnya merupakan persyaratan pokok yang ditunjang oleh standar teknis (SNI),
pedoman atau petunjuk teknis yang berlaku dan lebih rinci berkaitan dengan
spesifikasi, tata cara, dan metode uji bangunan, komponen, elemen, serta berbagai
aspek teknis dari bangunan gedung.
XV.2 Persyaratan-persyaratan yang lebih spesifik dan atau yang bersifat alternatif serta
penyesuaian penyesuaian yang diperlukan terhadap Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung diharapkan untuk dikembangkan oleh masing-masing Daerah disesuaikan
dengan kondisi, permasalahan, kebutuhan, dan kesiapan kelembagaan di setiap
Daerah.
ttd.
TABEL V.2.3
PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN
1. KETENTUAN UMUM
Klas5,6, 7,8,dan 9b (selain 1. Harus dilengkapi dengan sistem pengendali asap terzona
ruang/tempat parkir) sesuai ketentuan yang berlaku.
2. KETENTUAN KHUSUS
Pembina
Ir. Rachmadi BS. Menteri Pekerjaan Umum
Pengarah
Drs. Gembong Priyono, MSc Direktur Jenderal Cipta Karya, Dep. PU
Ir. Sunaryo Sumadji, MSc Sekretaris Jenderal Dep. PU
Ir. J. Hendro Moeljono Kepala Balitbang Dep. PU
Ir. Achmad Lanti, M. Eng. Staf Ahli Menteri PU V Bidang Pengembangan
Jasa Konstruksi
Pelaksana
Ir. Aim Abdurachim Idris, MSc Direktur Bina Teknis , DJCK, Dep. PU
Ir. Hari Sidharta, Dipl. H.E. Sekretaris Ditjen Cipta Karya, Dep. PU
Ir. Sutikni Utoro Kepala Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Wibisono Setio Wibowo, MSc Kepala Biro Hukum, Setjen Dep. PU
Kelompok Kerja
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, MSc Dit. Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Antonius Budiono, MCM Dit. Bitnek, DJCK, Dep. PU
Ir G. Eko Djuli Sasongko Dit, Bitnek, DJCK, Dep. PU
Ir. J. L. G. P. Eko Widiatmo Dit. Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Erry Saptaria Achyar, CES Dit, Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Adjar Prajudi, MCM, MSc Dit. Binlak Wilayah Barat, DJCK
Ir. Tulus Rachmat S Dit. Binlak Wilayah Tengah , DJCK
Ir. Achid Winarno Dit. Binlak Wilayah Timur, DJCK
Ir. Renyansih Bagian Hukum, DJCK, Dep. PU
Ny. Sri Hartinah, SH Biro Hukum, Setjen Dep. PU
Ir. HR. Sidjabat Widyaiswara Dep. PU
Ir. Suprapto, MSc Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Ir. Jacob Ruzuar, Dipl. SE Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Ir. Bambang Guritno, MSc, MPA Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Suwarmo S., Dipl.BD.Sc, B.Arch, IAI, FRAIA Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Roestanto Wahidi D., MM, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Harlansyah Soerarso, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Bintang Agus Nugroho, IALI Ikatan Ahli Lansekap Indonesia (IALI)
DR. Ir. Chaidir AM, MSCE Himpunan Ahli Teknik Tanah Indoensia (HATTI)
Disamping itu juga melibatkan peran aktif berbagai nara sumber di bidang tata bangunan
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penyelaras Akhir
Ir. J. Hendro Moeljono
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, MSc
Ir. G. Eko Djuli Sasongko
Studio Taba '98