Anda di halaman 1dari 110

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

NOMOR : 441/KPTS/1998

TENTANG

PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

MENTERI PEKERJAAN UMUM,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987


tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di bidang
Pekerjaan Umum kepada Daerah, urusan penyelenggaraan
bangunan gedung telah diserahkan kepada Daerah baik Daerah
Tingkat I maupun Daerah Tingkat II;

b. bahwa perkembangan penyelenggaraan bangunan gedung dewasa


ini semakin kompleks sehingga perlu adanya pengaturan mengenai
ketentuan teknis yang menyangkut peruntukan dan intensitas
bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta keandalan bangunan
yang menjadi persyaratan pokok suatu bangunan gedung;

c. bahwa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun


1987, kepada Menteri Pekerjaan Umum diberi wewenang untuk
melakukan pembinaan teknis dan pengawasan teknis dalam
penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah;

d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pertimbangan tersebut


diatas perlu mengatur persyaratan teknis bangunan gedung, dengan
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah;
2. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Parumahan dan
Permukiman;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum
kepada Daerah;
6. Keputusan Presiden Rl Nomor 44 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Organisasi Departemen;
7. Keputusan Presiden Rl Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas Keputusan Rl Nomor 15 tahun 1984 tentang Susunan
Organisasi Departemen Sebagaimana Telah Tiga Puluh Kali
Diubah Terakhir Dengan Keputusan Rl Nomor 23 Tahun 1994
8. Keputusan Presiden Rl Nomor 122/M Tahun 1998 tentang
Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
9. Keputusan Menteri PU Nomor 211/KPTS/1994 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG


PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu
lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, diatas, atau di dalam tanah dan atau perairan
secara tetap yang berfungsi sebagai tampat manusia melakukan kegiatannya.

2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah proses kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan


pemanfaatan bangunan gedung

3. Daerah adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Kabupaten/Kotamadya Daerah


Tingkat II.

4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah T'ngkat II.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2

(1) Pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung dimaksudkan untuk mewujudkan


bangunan gedung yang berkualitas sesuai dengan fungsinya.

(2) Pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung bertujuan terselenggaranya fungsi


bangunan gedung yang aman, sehat, nyaman, efisien, seimbang, serasi dan selaras dengan
lingkungannya
BAB II

PENGATURAN PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

Bagian Pertama
Persyaratan Teknis

Pasal 3

(1) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan mengenai :

a. Peruntukan dan Intensitas Bangunan.


b. Arsitektur dan lingkungan.
c. Struktur Bangunan Gedung.
d. Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran.
e. Sarana Jalan Masuk dan Keluar.
f. Transportasi dalam Gedung.
g. Pencahayaan Darurat, Tanda Arah Keluar, dan Sistem Peringatan Bahaya.
h. Instalasi Listrik Penangkal Petir, dan Komunikasi dalam Gedung
i. Instalasi Gas.
j. Sanitasi dalam gedung.
k. Ventilasi dan Pengkondisian Udara
I. Pencahayaan.
m. Kebisingan dan Getaran.

(2) Rincian persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini tercantum pada lampiran Keputusan Menten ini yang merupakan satu
kesatuan pengaturan dalam keputusan ini

(3) Setiap orang atau badan termasuk instansi Pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pasal ini.

Pasal 4

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dilakukan sesuai dengan


peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengaturan Pelaksanaan di Daerah

Pasal 5

(1) Untuk pedoman pelaksanaan penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah perlu dibuat
Peraturan Daerah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri
ini.

(2) Dalam hal Daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini maka terhadap penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah
diberlakukan ketentuan-ketentuan Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3.

(3) Daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah tentang persyaratan teknis bangunan
gedung sebelum Keputusan Menteri ini diterbitkan harus menyesuaikannya dengan
ketentuan-ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3.
Pasal 6

(1) Dalam melaksanakan pembinaan pembangunan bangunan gedung, Pemerintah Daerah


melakukan peningkatan kemampuan aparat Pemerintah maupun masyarakat dalam
memenuhi ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 untuk
terwujudnya tertib pembangunan bangunan gedung.

(2) Dalam melaksanakan pengendalian pembangunan bangunan gedung, Pemerintah


Daerah wajib menggunakan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3 sebagai landasan dalam mengeluarkan persetujuan atau
perizinan yang diperlukan.

(3) Terhadap aparat Pemerintah Daerah yang bertugas dalam pengendalian pembangunan
bangunan gedung yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan
sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi

Pasal 7

(1) Penyelenggaraan bangunan gedung yang melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 3 dan


Pasal 4 Keputusan Menteri ini dikenakan sanksi administrasi yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5.

(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikenakan sesuai
dengan tingkat pelanggaran dapat berupa:

a. Peringatan tertulis
b. Pembatasan kegiatan
c. Penghentian sementara kegiatan sampai dilakukannya pemenuhan persyaratan
teknis bangunan gedung.
d. Pencabutan izin yang telah dikeluarkan untok menyelenggarakan pembangunan
bangunan gedung.

(3) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), di dalam Peraturan
Daerah dapat diatur mengenai pengenaan denda dan tindakan Pembongkaran atas
terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung.
BAB III

PEMB1NAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS

Pasal 8

(1) Pembinaan dan Pengawasan Teknis untuk pelaksanaan ketentuan persyaratan teknis
bangunan gedung dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 58/PRT/1991 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Teknis
dan Pengawasan Teknis Bidang Pekerjaan Umum kepada Dinas Pekerjaan Umum.

(2) Pelaksanaan pembinaan teknis dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini didasarkan pada Rencana dan program yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Cipta Karya.

BAB IV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 9

Dengan berlakunya Keputusan Menteri inl, maka semua ketentuan persyaratan teknis
bangunan gedung yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri ini
masih tetap berlaku, sampai digantikan dengan yang baru.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

(1) Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

(2) Keputusan Menteri ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk
diketahui dan dilaksanakan.

DITETAPKAN Dl : JAKARTA
PADA TANGGAL : 10 NOPEMBER 1998

MENTERI PEKERJAAN UMUM

RACHMADI BAMBANG SUMADHIJO


LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
NOMOR 441/KPTS/1998
TANGGAL 10 NOPEMBER 1998

DAFTAR ISI
BAGIAN I
KETENTUAN UMUM

I. 1 PENGERTIAN
1. Umum
2. Teknis
I.2 MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
2. Tujuan

BAGIAN II
PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN

II.1 PERUNTUKAN, FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN


1. Peruntukan Lokasi
2. Fungsi Bangunan
3. Klasifikasi Bangunan

II.2 INTENSITAS BANGUNAN


1. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan
2. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB
3. Perhitungan KDB dan KLB

II.3 GARIS SEMPADAN BANGUNAN


1. Garis Sempadan (muka) Bangunan
2. Garis Sempadan Samping dan Belakang Bangunan
3. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan, Samping, dan Belakang Bangunan

BAGIAN III
ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN

III.1 ARSITEK BANGUNAN


1. Tata Letak Bangunan
2. Bentuk Bangunan
3. Tata Ruang Dalam
4. Kelengkapan Bangunan

III.2 RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN


1. Fungsi dan Persyaratan Ruang Tebuka Hijau Pekarangan
2. Ruang Sempadan Bangunan
3. Tapak Basement
4. Hijau Pada Bangunan
5. Tata Tanaman

III.3 SIRKULASI, PERTANDAAN, DAN PENCAHAYAAN RUANG LUAR BANGUNAN


1. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir
2. Pertandaan (Signage)
3. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan
III.4 PENGELOLAAN DAMPAK LINGKUNGAN
1. Dampak Penting
2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Ligkungan
3. Ketentuan UPL dan UKL
4. Persyaratan Teknis Pengelolaan Dampak Lingkungan
5. Pengelolaan Daerah Bencana

BAGIAN IV
STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG

IV.1 PERSYARATAN STRUKTUR DAN BAHAN


1. Persyaratan Struktur
2. Persyaratan Bahan

IV.2 PEMBEBANAN

IV.3 STRUKTUR ATAS


1. Kontruksi Bangunan
2. Kontruksi Baja
3. Kontruksi Kayu
4. Kontruksi Dengan Bahan dan Teknologi Khusus
5. Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi

IV.4 STRUKTUR BAWAH


1. Pondasi Langsung
2. Pondasi Bawah

IV.5 KEANDALAN STRUKTUR


1. Keselamatan Struktur
2. Keruntuhan Struktur

IV.6 DEMOLISI STUKTUR


1. Kriteria Demolisi
2. Prosedur dan Metoda

BAGIAN V
PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN

V.1 SISTEM PROTEKSI PASIF


1. Ketahanan Api dan Stabilitas
2. Tipe Konstruksi Tahan Api
3. Tipe Konstruksi Yang Diwajibkan
4. Kompartemensasi dan Pemisahan
5. Proteksi Bukaan

V.2 SISTEM PROTEKSI AKTIF


1. Sistem Pemadam Kebakaran
2. Sistem Diteksi & Alarm Kebakaran
3. Pengendalian Asap Kebakaran
4. Pusat Pengendali Kebakaran
BAGIAN VI
SARANA JALAN MASUK DAN KELUAR

VI.1 FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA


1. Fungsi
2. Pesyaratan Kinerja

VI.2 KETENTUAN JALAN KELUAR


1. Persyaratan Keamanan
2. Kebutuhan Jalan Keluar
3. Jalan Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
4. Jarak Jalur Menuju Pintu Keluar
5. Jarak antara Pintu-pintu Keluar Alternatif
6. Dimensi/ukuran Pintu Keluar
7. Jalur Lintasan Melalui Jalan Keluar Yang Diisolasi Tehadap Kebakaran
8. Tangga Luar Bangunan
9. Lintasan Melalui Tangga/ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran
10. Keluar Melalui Pintu-pintu Keluar
11. Pintu Keluar Horisontal
12. Tangga, Ramp atau Eskalator Yang Tidak Disyaratkan
13. Ruang Peralatan dan Ruang Motor Lift
14. Jumlah Orang Yang Ditampung

VI.3 KONTRUKSI JALAN KELUAR


1. Penerapan
2. Tangga dan Ramp Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
3. Tangga dan Ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran
4. Pemisahan Tanjakan dan Turunan Tangga
5. Ramp dan Balkon Akses Yang Terbuka
6. Lobby Bebas Asap
7. Instalasi pada Pintu Keluar dan Jalan Lintasan
8. Perlindungan pada Ruang di Bawah Tangga dan Ramp
9. Lebar Tangga
10. Ramp Pejalan Kaki
11. Lorong Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
12. Atap sebagai Ruang Terbuka
13. Injakan dan Tanjakan Tangga
14. Bordes
15. Ambang Pintu
16. Balustrade
17. Pegangan Rambat pada Tangga
18. Pintu
19. Pintu Ayun
20. Pengoperasian Gerendel Pintu
21. Masuk dari Pintu Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
22. Rambu pada Pintu

VI.4 AKSES BAGI PENYANDANG CACAT


BAGIAN VII
TRANSPORTASI DALAM GEDUNG

VII.1 LIF
1. Kapasitas Lif
2. Lif Kebakaran
3. Peringatan Terhadap Pengguna Lif pada Saat Terjadi Kebakaran
4. Lif untuk Rumah Sakit
5. Sangkar Lif
6. Saf Lif
7. Mesin Lif dan Ruang Mesin Lif
8. Instalasi Listrik
9. Pemeriksaan, Pengujian dan Pemeliharaan

VII.2 TANGGA BERJALAN DAN LANTAI BERJALAN

BAGIAN VIII
PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR, SISTEM PERINGATAN BAHAYA

VIII.1 1SISTEM PENCAHAYAAN DARURAT

VIII.2 TANDA ARAH KELUAR

VIII.3 SISTEM PERINGATAN BAHAYA

BAGIAN IX
INSTALANSI LISTRIK, PENANGKAL PETIR, DAN KOMUNIKASI DALAM GEDUNG

IX.1 INSTALANSI LISTRIK


1. Perencanaan Instalansi Listrik
2. Jaringan Distribusi Listrik
3. Beban Listrik
4. Sumber Daya Listrik
5. Transformator Distribusi
6. Pemerikasaan dan Pengujian
7. Pemeliharaan

IX.2 INSTALANSI PENANGKAL PETIR


1. Perencanaan Penangkal Petir
2. Instalansi Penangkal Petir
3. Pemeriksaan dan Pengujian
4. Pemeliharaan

IX.3 INSTALASI KOMUNIKASI DALAM GEDUNG


1. Perencanaan Komunikasi dalam Gedung
2. Instalansi Telepon
3. Instalansi Tata Suara
BAGIAN X
INSTALANSI GAS

X.1 INSTALANSI GAS PEMBAKARAN


1. Jenis Gas
2. Jaringan Distribusi Gas Kota
3. Pemeriksaan dan Pengujian

X.2 INSTALANSI GAS MEDIK


1. Jenis Gas
2. Jaringan Distribusi Gas Medik
3. Pemeriksaan dan Pengujian

BAGIAN XI
SANITASI DALAM GEDUNG

XI. 1 SISTEM PLAMBING


1. Perencanaan Sistem Plumbing
2. Sistem Penyediaan Air Bersih
3. Sistem Pembuangan Air Kotor
4. Alat Plambing
5. Tangki Penyediaan Air Bersih
6. Pompa Air Bersih

XI. PERSAMPAHAN
1. Penempatan pada Bangunan
2. Pewadahan
3. Sampah Berbahaya

BAGIAN XII
VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA

XII.1 VENTILASI
1. Kebutuhan Ventilasi
2. Ventilasi Alami
3. Ventilasi Buatan

XII.2 PENGKONDISIAN UDARA


1. Kebutuhan Pengkondisian Udara
2. Konservaasi Energi
3. Perhitungan Perkiraan Beban Pendinginan

BAGIAN XIII
PENCAHAYAAN

XIII.1 KEBUTUHAN PENCAHAYAAN

XIII.2 PENCAHAYAAN BUATAN

XIII.3 PENCAHAYAAN ALAMI


XIII.4 PENGENDALIAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN

BAGIAN XIV
KEBISINGAN DAN GETARAN

XIV.1 KEBISINGAN

XIV.2 GETARAN

BAGIAN XV
PENUTUP

LAMPIRAN
I. KETENTUAN UMUM

1. PENGERTIAN

1. Umum
Dalam pedoman teknis ini yang dimaksud dengan:

a. Daerah adalah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II atau Daerah Khusus


Ibukota Jakarta.

b. Kepala Daerah adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, atau


Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

c. Dinas Bangunan adalah salah satu Dinas Teknis di Daerah yang diantaranya
mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengaturan, pembinaan, dan
pengendalian pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung yang berada di
Daerah yang bersangkutan.

d. Pengawas/Penilik Bangunan adalah pejabat atau tenaga teknis profesional


yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah atau ketentuan yang
berlaku untuk bertugas mengawasi/menilik bangunan gedung.

2. Teknis

a. Air kotor adalah semua air yang bercampur dengan kotoran-kotoran dapur,
kamar mandi, kakus dan peralatan-peralatan pembuangan lainnya.

b. Atrium adalah suatu ruang dalam suatu bangunan yang menghubungkan 2 atau
lebih tingka/lantai, di mana:
i. seluruh atau sebagian ruangnya tertutup pada bagian atasnya oleh lantai atau
atap, termasuk struktur atap kaca;
ii. termasuk setiap ruang yang berbatasan/ berdekatan tetapi tidak terpisahkan
oleh pembatas;
iii. tidak termasuk lorong tangga, lorong ramp, atau ruang dalam shaft.

c. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam
suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di daiam tanah
dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia untuk
melakukan kegiatan bertempat tinggal, berusaha, bersosial-budaya, dan
kegiatan lainnya.

d. Bangunan turutan adalah bangunan sebagai tambahan atau pengembangan


dari bangunan yang sudah ada.

e. Bangunan umum adalah bangunan yang berfungsi untuk tempat manusia


berkumpul, mengadakan pertemuan, dan melaksanakan kegiatan yang bersifat
publik lainnya, seperti keagamaan, pendidikan, rekreasi, olah raga,
perbelanjaan, dsb.
f. Bangunan Induk adalah bangunan yang mempunyai fungsi dominan dalam
suatu persil.

g. Baku Tingkat Getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dan usaha atau kegiatan pada
media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan
kesehatan serta keutuhan bangunan.

h. Baku tingkat Kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang


diperbolehkan dituang kelingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.

a. Daerah Hijau Bangunan, yang selanjutnya disebut DHB adalah ruang terbuka
pada bangunan yang dimanfaatkan untuk penghijauan.

b. Demolisi adalah kegiatan merobohkan atau membongkar bangunan secara total.

c. Dinding Pembatas adalah dinding yang menjadi pembatas antara bangunan.

d. Dinding Luar adalah suatu dinding bangunan terluar yang bukan merupakan
dinding pembatas.

e. Dinding Luar Non-struktural adalah suatu dinding luar yang tidak memikul
beban dan bukan merupakan dinding panel.

f. Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bebas minimum dari bidang


terluar suatu massa bangunan terhadap:
i. Batas lahan yang dikuasai,
ii. Batas tepi sungai/pantai,
iii. Antar massa bangunan lainnya, atau
iv. Rencana saluran, jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan pipa gas dan
sebagainya.

g. Garis sempadan pagar adalah garis bagian luar dari pagar persil atau pagar
pekarangan.

h. Garis sempadan loteng adaiah garis yang terhitung dan tepi jalan berbatasan
yang tidak diperkenankan didirikan tingkat bangunan.

i. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang


terhadap suatu titik acuan.

j. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat.

k. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan
kegiatan manusia.

l. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam
dan kegiatan manusia.
m. Jarak antara bangunan adalah jarak terkecil antara bangunan yang diukur
antara permukaan-permukaan denah bangunan.

n. Jaringan persil adalah jaringan sanitasi dan jaringan drainasi dalam persil.

o. Jaringan saluran umum kota adalah jaringan sarana dan prasarana saluran
umum perkotaan, seperti jaringan sanitasi dan jaringan drainasi.

p. Kamar adalah ruangan yang tertutup seluruhnya atau sebagian, untuk tempat
kegiatan manusia, selain kamar untuk MCK dan dapur.

q. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan.

r. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah koefisien perbandingan antara luas


lantai dasar bangunan terhadap luas persil/ kaveling/ blok peruntukan.

s. Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara


luas ruang terbuka di luar bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/
penghijauan dengan luas tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada.

t. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah koefisien perbandingan antara luas


keseluruhan lantai bangunan terhadap luas persil/ kaveling/ blok peruntukan.

u. Koefisien Tapak Basement (KTB) adalah angka prosentasi perbandingan luas


tapak basement dengan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada.

v. Lubang Atrium adalah ruang dari suatu atrium yang dikelilingi oleh batas
pinggir bukaan lantai atau oleh batas pinggir lantai dan dinding luar.

w. Mendirikan Bangunan
i. Mendirikan, memperbaiki, memperluas, mengubah atau membongkar secara
keseluruhan atau sebagian suatu bangunan;
ii. Melakukan pekerjaan tanah untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan yang
dimaksud pada butir 2.w.i.

x. Pekarangan adalah bagian yang kosong dari suatu persil/ kaveling/blok


peruntukan bangunan.

y. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah pedoman rencana


teknik, program tata bangunan dan lingkungan, serta pedoman pengendalian
pelaksanaan yang umumnya meliputi suatu lingkungan/kawasan (urban design
and development guidelines).
z. Ruang persiapan adalah ruang yang berhubungan dengan, dan berbatasan ke
suatu panggung pada bangunan klas 9b yang dipergunakan untuk barang-barang
dekorasi panggung, peralatan, ruang ganti, atau sejenisnya.

aa. Rumah adalah bangunan yang terdiri atas ruangan atau gabungan ruangan yang
borhubungan satu sama lain, yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga.

bb. Sambungan jaringan adalah penghubung antara sesuatu jaringan persil dengan
jaringan saluran umum kota.

cc. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang akan dinyatakan dalam
satuan Desibel disingkat dB.

dd. Tinghat Ketahanan Api (TKA), adalah tingkat ketahanan api yang
dipersyaratakan pada bagian atau komponen bangunan sesuai ketentuan butir
V.1.2 dalam ukuran waktu satuan menit, dengan kriteria-kriteria berurut yaitu
aspek ketahanan struktural, integritas, dan insulasi. Contoh: TKA 90/-/60
berarti hanya terdapat persyaratan TKA untuk ketahanan struktural 90 menit
dan insulasi 60 menit.

ee. Tinggi bangunan adalah jarak antara garis potong permukaan atap dengan
muka bangunan bagian luar dan permukaan lantai denah bawah.

I.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung ini dimaksudkan sebagai acuan persyaratan


teknis yang diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan
bangunan gedung di Indonesia, termasuk dalam rangka proses perijinan pelaksanaan
dan pemanfaatan bangunan, serta pemeriksaan kelaikan fungsi/keandalan bangunan
gedung.

2. Tujuan.
Tujuan Pedoman Teknis ini bertujuan untuk dapat terwujudnya bangunan gedung
sesuai fungsi yang ditetapkan dan yang memenuhi persyaratan teknis, yaitu meliputi
persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta
keandalan bangunan.
Adapun tujuan dari pengaturan per-bagian adalah:

a. Peruntukan dan Intensitas:

i. menjamin bangunan gedung didirikan berdasarkan ketentuan tata ruang dan tata
bangunan yang ditetapkan di Daerah yang bersangkutan,

ii. menjamin bangunan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya,


iii. menjamin keselamatan pengguna, masyarakat, dan lingkungan.

b. Arsitektur dan Lingkungan:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang didirikan berdasarkan


karakteristik lingkungan, ketentuan wujud bangunan, dan budaya daerah,
sehingga seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

ii. menjamin terwujudnya tata ruang hijau yang dapat memberikan keseimbangan
dan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.

iii. menjamin bangunan gedung dibangun dan dimanfaatkan dengan tidak


menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

c. Strukfur Bangunan:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dapat mendukung beban yang


timbul akibat perilaku alam dan manusia.

ii. menjamin keselamatan manusia dari kemungkinan kecelakaan atau luka yang
disebabkan oleh kegagalan struktur bangunan.

iii. menjamin kepentingan manusia dari kehilangan atau kerusakan benda yang
disebabkan oleh perilaku struktur.

iv. menjamin perlindungan properti lainnya dari kerusakan fisik yang disebabkan
oleh kegagalan struktur.

d. Ketahanan terhadap Kebakaran:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dapat mendukung beban yang


timbul akibat perilaku alam dan manusia pada saat terjadi kebakaran.

ii. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dibangun sedemikian rupa


sehinga mampu secara struktural stabil selama kebakaran, sehingga:

(1) cukup waktu bagi penghuni melakukan evakuasi secara aman;

(2) cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk
memadamkan api;

(3) dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya.

e. Sarana Jalan Masuk dan Keluar:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang mempunyai akses yang layak,


aman dan nyaman ke dalam bangunan dan fasilitas serta layanan di dalamnya.

ii. menjamin terwujudnya upaya melindungi penghuni dari cedera atau luka saat
evakuasi pada keadaan darurat
iii. menjamin tersedianya aksesibilitas bagi penyandang cacat, khususnya untuk
bangunan fasilitas umum dan sosial.

f. Transportasl dalam Gedung:

i. menjamin tersedianya alat transportasi yang layak, aman, dan nyaman di dalam
bangunan gedung.

ii. menjamin tersedianya aksesibiltas bagi penyandang cacat khususnya untuk


bangunan fasilitas umum dan sosial.

g. Pencahayean Darurat, Tanda arah Keluar, dan Sistem Peringatan Bahaya:

i. menjamin tersedianya pertandaan dini yang informatif di dalam bangunan


gedung apabila terjadi keadaan darurat;

ii. menjamin penghuni melakukan evakuasi secara mudah dan aman, apabila
terjadi keadaan darurat.

h. Instalasi Listrik, Penangkal Petir dan Komunikasi:

i. menjamin terpasangnya instalasi listrik secara cukup dan aman dalam


menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan
fungsinya;

ii. menjamin terwujudnya keamanan bangunan gedung dan penghuninya dari


bahaya akibat petir;

iii. menjamin tersedianya sarana komunikasi yang memadai dalam menunjang


terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya.

i. Instalasi Gas:

i. menjamin terpasangnya instalasi gas secara aman dalam menunjang


terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin terpenuhinya pemakaian gas yang aman dan cukup;

iii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan secara baik.

j. Sanitasi dalam Bangunan:

i. menjamin tersedianya sarana sanitasi yang memadai dalam menunjang


terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin terwujudnya kebersihan, kesehatan dan memberikan kenyamanan


bagi penghuni bangunan dan lingkungan;

iii menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan sanitasi secara baik.
k Ventilasi dan Pengkondisian Udara:

i. menjamin terpenuhinya kebutuhan udara yang cukup, baik alami maupun


buatan dalam menunjang terselenggaranya kegiatan dalam bangunan gedung
sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan tata udara secara
baik.

l. Pencahayaan:

i. menjamin terpenuhinya kebutuhan pencahayaan yang cukup, baik alami


maupun buatan dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan
gedung sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan pencahayaan secara


baik.

m. Kebisingan dan Getaran:

i. menjamin terwujudnya kehidupan yang nyaman dari gangguan suara dan


getaran yang tidak diinginkan;

ii. menjamin adanya kepastian bahwa setiap usaha atau kegiatan yang
menimbulkan dampak negatif suara dan getaran perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau mencegah perusakan lingkungan.
II. PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN

II.I. PERUNTUKAN, FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN

1. Peruntukan Lokasi
a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang
diatur dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang
bersangkutan.

b. Ketentuan tata ruang dan tata bangunan ditetapkan melalui:


i. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah,
ii. Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR),
iii. Peraturan bangunan setempat dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL).

c. Peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud dalam butir a, merupakan peruntukan


utama, sedangkan peruntukan penunjangnya sebagaimana ditetapkan di dalam
ketentuan tata bangunan yang ada di Daerah setempat atau berdasarkan
pertimbangan teknis Dinas Bangunan.

d. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata
bangunan dapat memperolehnya secara terbuka melalui Dinas Bangunan.

e. Keterangan atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir d meliputi


keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan, seperti
kepadatan bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan.

f. Dalam hal rencana-rencana tata ruang dan tata bangunan sebagaimana


dimaksud pada butir b belum ada, Kepala Daerah dapat memberikan
pertimbangan atas ketentuan yang diperlukan, dengan tetap mengadakan
peninjauan seperlunya terhadap rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada
di Daerah.

g. Bagi Daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan
setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan
membangun bangunan gedung dengan pertimbangan:

i. Persetujuan membangun tersebut berstfat sementara sepanjang tidak


bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tata ruang yang lebih makro,
kaidah perencanaan kota dan penataan bangunan

ii. Kepala Daerah segera menyusun dan menetapkan RRTR, peraturan


bangunan setempat dan RTBL berdasarkan rencana tata ruang yang lebih
makro.

iii. Apabila persetujuan yang telah diberikan terdapat ketidak sesuaian dengan
rencana tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan kemudian, maka perlu
diadakan penyesuaian dengan resiko ditanggung oleh pemohon/pemilik
bangunan.
iv. Bagi Daerah yang belum memilih RTRW Daerah, Kepala Daerah dapat
memberikan persetujuan membangun bangunan pada daerah tersebut untuk
jangka waktu sementara.

v. Apabila di kemudian hari terdapat penetapan RTRW Daerah yang


bersangkutan, maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana
tata ruang yang ditetapkan.

h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain
perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai
berikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun
barang;

iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan
atau diatas tanah;

iv. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.

i. Pembangunan bangunan gedung dibawah tanah yang melintasi sarana dan


prasarana jaringan kota perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan
pertimbangan sebagai berikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;

iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah tanah;

iv. penghawaan dan pencahayaan bangunan telah memenuhi persyaratan


kesehatan sesuai fungsi bangunan;

v. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi


pengguna bangunan.

j. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air perlu mendapatkan


persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi indung kawasan;

iii. tidak menimbulkan perubahan atau arus air yang dapat merusak
lingkungan;
iv. tidak menimbulkan pencemaran;
v. telah mempertimbangkan faktor keamaan, kenyamanan, kesehatan dan
aksesibilitas bagi pengguna bangunan.

k. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi


tegangan tinggi perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan
pertimbangan sebagai perikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. letak bangunan minimal 10 (sepuluh) meter diukur dari as (proyeksi) jalur
tegangan tinggi terluar;

iii. letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45° (empat
puluh lima derajat) diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar;

iv. setelah mendapat pertimbangan teknis dari para ahli terkait.

2. Fungsi Bangunan

a. Fungsi dan klasifikasi bangunan merupakan acuan untuk persyaratan teknis


bangunan gedung, baik ditinjau dari segi intensitas banguanan arsitektur dan
lingkungan, keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, maupun dari segi
keserasian bangunan terhadap lingkungannya.

b. Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan yang bersifat sementara harus dengan
mempertimbangkan tingkat permanensi, keamanan, pencegahan dan
penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, dan sanitasi yang memadai.

c. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan.

d. Fungsi bangunan dapat dikelompokkan dalam fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi
sosial dan budaya, dan fungsi khusus.

e. Bangunan dengan fungsi hunian meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
hunian yang merupakan:

i. Rumah tinggal tunggal


ii. Rumah tinggal deret
iii. Rumah tinggal susun
iv. Rumah tinggal vila
v. Rumah tinggal asrama

f. Bangunan dengan fungsi usaha meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
untuk:

i. Bangunan perkantoran: perkantoran pemerintah, perkantoran niaga, dan


sejenisnya.
ii. Bangunan perdagangan: pasar, pertokoan, pusat perbelanjaan, mal, dan
sejenisnya.

iii. Bangunan Perhotelan/Penginapan: hotel, motel, hostel, penginapan, dan


sejenisnya.

iv. Bangunan Industri : industri kecil, industri sedang, industri besar/berat.

v. Bangunan Terminal: stasiun kereta, terminal bus, terminal udara, halte bus,
pelabuhan laut.

vi. Bangunan Penyimpanan: gudang, gedung tempat parkir, dan sejenisnya.

vii Bangunan Pariwisata: tempat rekreasi, bioskop, dan sejenisnya.

g. Bangunan dengan fungsi umum, sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung
dengan fungsi utama untuk :

i. Bangunan pendidikan: sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah


lanjutan, sekolah tinggi/universitas.

ii. Bangunan pelayanan kesehatan: puskesmas, poliklinik, rumah bersalin, rumah


sakit klas A, B. & C, dan sejenisnya.

iii. Bangunan peribadatan: mesjid, gereja, pura, kelenteng, dan vihara.

iv. Bangunan kebudayaan : museum, gedung kesenian, dan sejenisnya

h. Bangunan dengan fungsi khusus meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi, atau tingkat resiko bahaya tinggi :
seperti bangunan kemiliteran, bangunan reaktor, dan sejenisnya.

i. Dalam suatu persil, keveling, atau blok peruntukan dimungkinkan adanya fungsi
campuran (mixed use), sepanjang sesuai dengan peruntukan lokasinya dan standar
perencanaan lingkungan yang berlaku.

j. Setiap bangunan gedung, selain terdiri dari ruang-ruang dengan fungsi utama, juga
dilengkapi dengan ruang fungsi penunjang, serta dilengkapi pula dengan instalasi
dan kelengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya fungsi bangunan,
sesuai dengan persyatatan pokok yang diatur dalam Pedoman Teknis ini.

3. Klasifikasi Bangunan

Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.

a. Klas 1 : Bangunan Hunian Biasa


Adalah satu atau lebih bangunan yang merupakan:
i. Klas 1a : bangunan hunian tunggal yang berupa:

(1) satu rumah tunggal; atau


(2) satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing
bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk
rumah deret, rumah taman, unit town house , villa, atau

ii. Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel, atau sejenisnya dengan luas
total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara
tetap, dan tidak terletak diatas atau dibawah bangunan hunian lain atau
bangunan klas lain selain tempat garasi pribadi.

b. Klas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang
masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

c. Klas 3: Bangunan hunian diluar bangunan klas 1 atau 2, yang umum digunakan
sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak
berhubungan, termasuk:

i. rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau


ii bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau
iii. bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
iv. panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau
v. bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
menampung karyawan-karyawannya.

d. Klas 4 : Bangunan Hunian Campuran

Adalah tempat tinggal yang berada didalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 dan
merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut

e. Klas 5: Bangunan kantor

Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional,


pengurusan administrasi, atau usaha komersial, diluar bangunan klas 6, 7, 8, atau 9.

f. Klas 6: Bangunan Perdagangan

Adalah bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat
penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada
masyarakat, termasuk

i. ruang makan, kafe, restoran,; atau


ii. ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau
motel; atau
iii. tempat potong rambut /salon, tempat cuci umum; atau
iv. pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
g. Klas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang

Adalah bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk:

i. tempat parkir umum; atau


ii. gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.

h. Klas 8 : Bangunan Laboratorium/lndustri/Pabrik

Adalah bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk


tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan,
finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau
penjualan.

i. Klas 9: Bangunan Umum

Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat


umum, yaitu:

i. Klas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan


tersebut yang berupa laboratorium;
ii. Klas 9b: bangunan pertemuan, temmasuk bengkel kerja, laboratorium atau
sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan,
bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak temmasuk setiap bagian dari
bangunan yang merupakan klas lain.

j. Klas 10 : Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian:

i. Klas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya;
ii. Klas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.

k. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus

Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan
1 s/d 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai dengan peruntukannya

l. Bangunan yang penggunaannya insidentil

Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang mengakibatkan


gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama
dengan bangunan utamanya.

m. Klasifikasi jamak

Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan:
i. bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas
lantai dari suatu tingkat bangunan, dan b' laboratorium, klasifikasinya disamakan
dengan klasifikasi bangunan utamanya;

ii. Klas-klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;

iii. Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lift, ruang boiler atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak

II.2 INTENSITAS BANGUNAN

1. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan

a. Bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan kepadatan dan


ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah Daerah
yang bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan
peraturan bangunan setempat.

b. Kepadatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a, meliputi ketentuan


tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang dibedakan dalam tingkatan KDB
padat, sedang, dan renggang.

c. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a, meliputi ketentuan


tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah.

d. Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan


oleh:

i. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan


optimalnya intensitas pembangunan,

ii. kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan


lingkungan,

iii. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta


masyarakat pada umumnya.

e. Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, seperti kawasan wisata,


pelestarian dan lain lain, dengan pertimbangan kepentingan umum dan dengan
persetujuan Kepala Daerah dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan
terhadap ketentuan kepadatan, ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan
lainnya dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan.

f. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud pada butir c tidak diperkenankan


mengganggu lalu-lintas udara.
2. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB

a. Penetapan besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung sebagaimana


dimaksud dalam II.2.1 butir b dan c, ditetapkan dengan mempertimbangkan
perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/
lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan.

b. Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana
tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala
Daerah dapat menetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan dan setelah
mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.

c. Ketentuan besarnya KDB dan JLB/KLB dapat diperbanui sejalan dengan


pertimbangan perkembangan kota, kebijaksanasn intensitas pembangunan, daya
dukung lahan/lingkungan, dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli
terkait.

d. Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan, Kepala


Daerah dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu kawasan/lingkungan
dengan persyaratan:
i. setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang
telah diatur di dalam rencana tata ruang,
ii. apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan
berdasarkan luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang dimiliki.
iii. untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau
disikukan, untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil
tersebut diukur dari titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut
dan luas persil diperhitungkan berdasarkan lebar dan panjangnya.
iv. penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan
KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan
lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan
teknis yang telah ditetapkan.
v. dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB diantara
perpetakan yang berdekatan, dengan tetap menjaga keseimbangan daya
dukung lahan dan keserasian lingkungan.

e. Dimungkinkan adanya kompensasi berupa penambahan besarnya KDB JLB/KLB


bagi perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk
kepentingan umum.

f. Penetapan besamya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung


diatas fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan keserasian,
keseimbangan dan persyaratan teknis serta mendengarkan pendapat teknis para
ahli terkait.

3. Perhitungan KDB dan KLB

Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut:


a. perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan
sampai batas dinding terluar;

b. luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya
lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihiitung penuh 100 %;

c. luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi
oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m diatas lantai ruangan dihitung 50 %, selama
tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB
yang ditetapkan;

d. overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya
tersebut dianggap sebagai luas lantai denah;

e. teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas
lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai;

f. luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan


dalam perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50 % dari KLB yang ditetapkan,
selebihnya diperhitungkan 50 % terhadap KLB;

g. ramp dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi l0% dari luas
lantai dasar yang diperkenankan;

h. Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang
dibelakang GSJ;

i. Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) ditetapkan Kepala


Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat
teknis para ahli terkait;

j. Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan


KLB adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total
keseluruhan luas lantai bangunan dalam kawasan tersebut tehadap total
keseluruhan luas kawasan;

k. Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh
ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut
dianggap sebagai dua lantai;

l. Mezanine yang luasnya melebihi 50 % dari luas lantai dasar dianggap sebagai
lantai penuh;

I.3 GARIS SEMPADAN BANGUNAN

1. Garis Sempadan (muka) Bangunan

a. Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata
bangunan dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat.
b. Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya atau sebagian dari suatu
bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam butir a. tidak boleh dilanggar.

c. Apabila Garis Sempadan Bangunan sebagaimana dimaksud pada butir a.


tersebut belum ditetapkan, maka Kepala Daerah dapat menetapkan GSB yang
bersifat sementara untuk lokasi tersebut pada setiap permohonan perijinan
mendirikan bangunan.

d. Penetapan Garis Sempadan Bangunan didasarkan pada pertimbangan


keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta
ketinggian bangunan.

e. Daerah menentukan garis-garis sempadan pagar, garis sempadan muka


bangunan, garis sempadan loteng, garis sempadan podium, garis sempadan
menara, begitu pula garis-garis sempadan untuk pantai, sungai, danau,
jaringan umum dan lapangan umum.

f. Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas


bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas
bangunan dapat ditetapkan garis-garis sempadannya masing-masing.

g. Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan
berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus
ditempatkan pada garis tersebut.

h. Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir


g, sepanjang penempatan bangunan tidak mengganggu jalan dan penataan
bangunan sekitarnya.

i Ketentuan besarnya GSB dapat diperbarui dengan pertimbangan


perkembangan kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan,
maupun pertimbangan lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli
terkait.

2. Garis sempadan samping dan belakang bangunan

a. Kepala Daerah dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan dan


kenyamanan, juga menetapkan garis sempadan samping kiri dan kanan, serta
belakang bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata
ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan peraturan bangunan
setempat.

b. Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang
ditetapkan, maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis sempadan
tersebut dengan setelah mempertimbangkan keamanan kesehatan dan
kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap permohonan perijinan mendirikan
bangunan.
c. Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan-
bahan/benda-benda yang mudah terbakar dan atau bahan berbahaya, maka
Kepala Daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarak-
jarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur dalam butir a.

d. Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan samping


dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:

i. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan;

ii. struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya


10 cm kearah dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah
tinggal;

iii. untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan


bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya,
disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding
batas terdahulu;

iv. pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping,
sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah dari
besarnya garis sempadan muka bangunan.

e. Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping


dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:

i. jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m


pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan,
jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya
sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan
rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat
diatur tersendiri.

ii. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak
dibangun pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang
yang berbatasan dengan pekarangan.

f. Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk
apapun.

g Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
i. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan,
maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak
bebas yang ditetapkan;

ii. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok
tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan atau berlubang, maka
jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang
ditetapkan;
iii. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan,
maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang
ditetapkan.

3. Pemisah disepanjang halaman depan, samping, dan belakang bangunan

a. Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara
yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan keamanan,
kenyamanan, serta keserasian lingkungan.

b. Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka.

c. Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan
desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir a.

d. Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari
ketentuan-ketentuan dalam butir a dan b, dengan setelah mempertimbangkan
hal teknis terkait.

e. Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara
GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas
permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk
bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan.

f. Pagar sebagaimana dimaksud pada butir e harus tembus pandang, dengan


bagian bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m diatas
permukaan tanah pekarangan.

g Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan lain


terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir e dan f.

h Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum


tidak diperkenankan.

i. Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang


untuk bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan,
dan apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal
bertingkat tembok maksimal 7 m dari permukaan tanah pekarangan, atau
ditetapkan lebih rendah setelah mempertimbangkan kenyamanan dan
kesehatan lingkungan.

j. Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan
pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk,
kecuali jika jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan
belakang untuk umum .

k. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang


berkaitan dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman
depan, samping, dan belakang bangunan.
l. Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman
depan, samping maupun belakang bangunan pada ruas-ruas jalan atau
kawasan tertentu, dengan pertimbangan kepentingan kenyamanan kemudahan
hubungan (aksesibilitas), keserasian lingkungan, dan penataan bangunan dan
lingkungan yang diharapkan.
III. ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN

III.1. ARSITEKTUR BANGUNAN

1. Tata Letak Bangunan

a. Ketentuan Umum
i. Penempatan bangunan gedung tidak boleh mengganggu fungsi prasarana
kota, lalu lintas dan ketertiban umum.
ii. Pada lokasi-lokasi tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan secara
khusus arahan rencana tata bangunan dan lingkungan.
iii. Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampang-penampang (profil)
bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi syarat
keindahan dan keserasian.
iv. Bilamana dianggap perlu, persyaratan lebih lanjut dari ketentuan-
ketentuan ini dapat ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah
dengan membentuk suatu panitia khusus yang bertugas memberi nasehat
teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan.

b. Tapak Bangunan
i. Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga
keserasian lingkungan serta tidak merugikan pihak lain.
ii. Penambahan lantai atau tingkat suatu bangunan gedung diperkenankan
apabila masih memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang kota, dengan ketentuan tidak melebihi KLB, harus memenuhi
persyaratan teknis yang berlaku dan keserasian lingkungan.
iii. Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur.
iv. Pada daerah / lingkungan tertentu dapat ditetapkan:
(1) ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau
sedang dibangun, pemasangan nama proyek dan sejenisnya dengan
memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian
lingkungan,
(2) larangan membuat batas fisik atau pagar pekarangan.
(3) ketentuan penataan bangunan yang harus diikuti dengan
memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian
lingkungan.
(4) Kekecualian kelonggaran terhadap ketentuan butir III.1.1 b.iv.(2) dapat
diberikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan
memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.

2. Bentuk Bangunan

a. Ketentuan Umum
i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk
dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang
mampu sebagai pedoman arsitektur atau teladan bagi lingkungannya.
ii. Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan
yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan
tersebut.
iii. Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil tampak
bangunannya harus bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan
atau dinding yang telah ada di sebelahnya.
iv. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap
lingkungannya.
v. Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan harus
dirancang memenuhi syarat keindahan dan keserasian lingkungan yang
telah ada dan atau yang direncanakan kemudian dengan tidak
menyimpang dari persyaratan fungsinya.
vi. Bentuk bangunan gedung sesuai kondisi daerahnya harus dirancang
dengan mempertimbangkan kestabilan struktur dan ketahanannya
terhadap gempa.
vii. Syarat-syarat lebih lanjut mengenai tinggi/tingkat dan sesuatunya
ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan rencana tata ruang, dan atau
rencana tata bangunan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi
tersebut.

b. Perancangan Bangunan
i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang sedemikian rupa sehingga
setiap nuang dalam dimungkinkan menggunakan pencayahayaan dan
penghawaan alami.
ii. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir II 1.1.2.b.i tidak berlaku
apabila sesuai fungsi bangunan diperlukan sistem pencahayaan dan
penghawaan buatan.
iii. Ketentuan pada butir II.1.1.2.b.ii harus tetap mengacu pada prinsip-
prinsip konservasi energi.
iv. Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan
harus memenuhi persyaratan konservasi energi.
v. Aksesibilitas bangunan harus mempertimbangkan kemudahan bagi semua
orang, termasuk para penyandang cacat dan usia lanjut.
vi. Suatu bangunan gedung tertentu berdasarkan letak ketinggian dan
penggunaannya, harus dilengkapi dengan perlengkapan yang berfungsi
sebagai pengaman terhadap lalu lintas udara dan atau lalu lintas laut.

3. Tata Ruang Dalam

a. Ketentuan Umum
i. Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari permukaan
bawah langit-langit ke permukaan lantai.
ii. Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk
fungsi yang diharapkan.
iii. Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan
arsitektur bangunannya.
iv. Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas
lantai sampai permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai
permukaan bawah kaso-kaso.
v. Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan,
perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya
fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian
bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana
jalan keluar/masuk.
vi. Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian
bangunan dapat diijinkan apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan
jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan
serta penghuninya.
vii Ruang penunjang dapat ditambahkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
kegiatan bangunan, sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama
bangunan.
viii.Jenis dan jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan
pada setiap jenis penggunann bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah.
ix. Tata ruang dalam untuk bangunan tempat ibadah, bangunan monumental,
gedung serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung
sekolah, gedung olah raga, serta gedung sejenis lainnya diatur secara
khusus.

b. Perancangan Ruang Dalam


i. Bangunan tempat tinggal sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi
utama yang mewadahi kegiatan pribadi, kegiatan keluarga bersama dan
kegiatan pelayanan.
ii. Bangunan kantor sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama
yang mewadahi kegiatan kerja, ruang umum dan ruang pelayanan.
iii. Bangunan toko sekurang-kurang memiliki ruang-ruang fungsi utama yang
mewadahi kegiatan toko, kegiatan umum dan pelayanan.
iv. Suatu bangunan gudang, sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan kamar
mandi dan kakus serta nuang kebutuhan karyawawan
v. Suatu bangunan pabrik sehurang-kurangnya harus dilengkapi dengan fasilitas
kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan, ruang
istirahat, serta ruang pelayanan kesehatan yang memadai.
vi. Perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke
lantai penuh berikutnya lebih dari 5 meter, maka ketinggian bangunan
dianggap sebagai dua lantai, kecuali untuk penggunaan ruang lobby, atau
ruang pertemuan dalam bangunan komersial (antara lain hotel, perkantoran,
dan pertokoan).
vii. Mezanin yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar dianggap sebagai
lantai penuh. ;
viii. Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus untuk pria dan wanita harus
terpisah.
ix. Ruang rongga atap hanya dapat diijinkan apabila penggunaannya tidak
menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi
kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan lingkungan.
x. Ruang-rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan
pencahayaan alami yang memadai.
xi. Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau kegiatan lain
yang potensial menimbulkan kecelakaan/ kebakaran
xii. Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari
luas lantai di bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat
bangunan.
xiii Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifat dan karakter
arsitektur bangunannya.
xiv Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan atau gas harus
disediakan lobang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya, kecuali
menggunakan alat bantu mekanis.
xv. Cerobong asap dan atau gas harus dirancang memenuhi persyaratan
pencegahan kebakaran.
xvi. Tinggi ruang dalam bangunan tidak boleh kurang dari ketentuan minimum
yang ditetapkan.
xvii. Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m
di atas tinggi rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan
memperhatikan keserasian lingkungan.
xviii Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas
banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar
pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar
ditetapkan tersendiri. –
xix. Tinggi Lantai Denah:
(1) Permukaan atas dari lantai denah (dasar) harus:
(a) Sekurang-kurangnya 15 cm diatas titik tertinggi dari pekarangan yang
sudah dipersiapkan.
(b) Sekurang-kurangnya 25 cm diatas titik tertinggi dari sumbu jalan
yang berbatasan.
(2) Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam butir (1) tersebut, tidak
berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari 60 cm di atas tanah
yang ada di sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring.
xx. Lantai tanah atau tanah dibawah lantai panggung harus ditempatkan
sekurang-kurangnya 15 cm diatas tanah pekarangan serta dibuat kemiringan
supaya air dapat mengalir.

4. Kelengkapan Bangunan
a. Ketentuan Umum
i. Bangunan tertentu berdasarkan letak, ketinggian dan penggunaannya harus
dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan bangunan, termasuk
pengaman/ rambu-rambu terhadap lalu-lintas udara dan atau laut.
ii. Syarat-syarat teknis lebih lanjut terhadap ketentuan tersebut di atas mengikuti
standar teknis yang berlaku.

b. Sarana dan Prasarana Bangunan Gedung


i. Bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung
yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan, kenyamanan, kesehatan dan
keselamatan pengguna bangunan gedung.
ii Prasarana-prasarana pendukung bangunan harus direncanakan secara
terintegrasi dengan sistem prasarana lingkungan sekitarnya
iii. Sarana dan prasarana pendukung harus menjamin bahwa pemanfaatan
bangunan tersebut tidak mengganggu bangunan gedung lain dan lingkungan
sekitarnya.
iv. Bangunan gedung harus direncanakan dan dirancang sebaik-baiknya,
sehingga dapat menjamin fungsi bangunan juga dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh semua orang, termasuk para penyandang cacat dan warga usia
lanjut.
v. Pintu masuk dan keluar area bangunan gedung harus direncanakan secara
terintegrasi serta tidak mengganggu tata sirkulasi lingkungannya.

III.2 RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN

1. Fungsi dan Persyaratan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan

a. Ruang Terbuka Hijau adalah ruang yang diperuntukkan sebagai daerah


penanaman di kota/wilayah/halaman yang berfungsi untuk kepentingan
ekologis, sosial, ekonomi maupun estetika.

b. Ruang Terbuka Hijau yang berhubungan langsung dengan bangunan gedung


dan terletak pada persil yang sama disebut Ruang Terbuka Hijau Pekarangan
(RTHP).

c. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan berfungsi sebagai tempat tumbuhnya


tanaman, peresapan air, sirkulasi, unsur-unsur estetik, baik sebagai ruang
kegiatan dan maupun sebagai ruang amenity.

d. Sebagai ruang transisi, RTHP menupakan bagian integral dari penataan


bangunan gedung dan sub-sistem dari penataan lansekap kota.

e. Syarat-syarat Ruang Terbuka Hijau Pekarangan ditetapkan dalam rencana tata


ruang dan tata bangunan baik langsung maupun tidak langsung dalam bentuk
ketetapan GSB, KDB, KDH, KLB, Parkir dan ketetapan lainnya.

f. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan yang telah ditetapkan dalam rencana tata
ruang dan tata bangunan tidak boleh dilanggar dalam mendirikan atau
rnemperbaharui seluruhnya atau sebagian dari bangunan.

g. Apabila Ruang Terbuka Hijau Pekarangan sebagaimana dimaksud pada butir


111.2.1.e ini belum ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan,
maka dapat dibuat ketetapan yang bersifat sementara untuk lokasi/lingkungan
yang terkait dengan setiap pemmohonan bangunan.

h. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir III.2.1.e dapat dipertimbangkan


dan disesuaikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan
memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.

i. Setiap perencanaan bangunan baru harus memperhatikan potensi unsur-unsur


alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun,
tanah dan permukaan tanah.

j. Dalam hal terdapat makro lansekap yang dominan seperti laut, sungai besar,
gunung dan sebagainya, terhadap suatu kawasan/daerah dapat diterapkan
pengaturan khusus untok orientasi tata letak bangunan yang
mempertimbangkan potensi arsitektural lansekap yang ada.

k. Sebagai perlindungan atas sumber-sumber daya alam yang ada, dapat


ditetapkan persyaratan khusus bagi permohonan ijin mendirikan bangunan
dengan mempertimbangkan hal-hal pencagaran sumber daya alam,
keselamatan pemakai dan kepentingan umum.

1. Ketinggian maksimum/minimum lantai dasar bangunan dari muka jalan


ditentukan untuk pengendalian keselamatan bangunan, seperti dari bahaya
banjir, pengendalian bentuk estetika bangunan secara keseluruhan/ kesatuan
lingkungan, dan aspek aksesibilitas, serta tergantung pada kondisi lahan.

2. Ruang Sempadan Bangunan

a. Pemanfaatan Ruang Sempadan Depan Bangunan harus mengindahkan


keserasian lansekap pada ruas jalan yang terkait sesuai dengan ketentuan
rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. Keserasian tersebut antara
lain mencakup: pagar dan gerbang, vegetasi besar / pohon, bangunan
penunjang seperti pos jaga, tiang bendera, bak sampah dan papan nama
bangunan.

b. Bila diperlukan dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas jalan
dengan mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan ruang
sempadan depan bangunan, pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan
jalur hijau median jalan berikut utilitas jalan lainnya seperti tiang listrik, tiang
telepon di kedua sisi jalan / ruas jalan yang dimaksud.

c. Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukan dalam


rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada
daerah sangat padat/padat. KDH ditetapkan meningkat setara dengan naiknya
ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan wilayah.

d. Ruang terbuka hijau pekarangan sebanyak mungkin diperuntukkan bagi


penghijauan / penanaman di atas tanah. Dengan demikian area parkir dengan
lantai perkerasan masih tergolong RTHP sejauh ditanami pohon peneduh
yang ditanam di atas tanah, tidak di dalam wadah / container yang kedap air.

e. KDH tersendiri dapat ditetapkan untuk tiap-tiap klas bangunan dalam


kawasan-kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan
kawasan campuran.

3. Tapak Basement

a. Kebutuhan basement dan besaran koefisien tapak basement (KTB) ditetapkan


berdasarkan rencana peruntukan lahan, ketentuan teknis dan kebijaksanaan
Daerah setempat.
b. Untuk keperluan penyediaan RTHP yang memadai, lantai basement pertama
(B-1) tidak dibenarkan keluar dari tapak bangunan (di atas tanah) dan atap
basement kedua (B-2) yang di luar tapak bangun harus berkedalaman
sekurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah tempat penanaman.

4. Hijau Pada Bangunan

a. Daerah Hijau Bangunan (DHB) dapat berupa taman-atap (roof-garden)


maupun penanaman pada sisi-sisi bangunan seperti pada balkon dan cara-cara
perletakan tanaman lainnya pada dinding bangunan.

b. DHB merupakan bagian dari kewajiban pemohon bangunan untuk


menyediakan RTHP. Luas DHB diperhitungkan sebagai luas RTHP namun
tidak lebih dari 25% luas RTHP.

5. Tata Tanaman

a. Pemilihan dan penggunaan tanaman harus memperhitungkan karakter


tanaman sampai pertumbuhannya optimal yang berkaitan dengan bahaya yang
mungkin ditimbulkan. Potensi bahaya terdapat pada jenis-jenis tertentu yang
sistem perakarannya destruktif, batang dan cabangnya rapuh, mudah terbakar
serta bagian-bagian lain yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

b. Penempatan tanaman harus memperhitungkan pengaruh angin, air, kestabilan


tanah / wadah sehingga memenuhi syarat-syarat keselamatan pemakai.

c. Untuk memenuhi fungsi ekologis khususnya di perkotaan, tanaman dengan


struktur daun yang rapat besar seperti pohon menahun harus lebih
diutamakan.

d. Untuk pelaksanaan kepentingan tersebut pada butir III.2.5.a dan III.2.5.b


Kepala Daerah dapat membentuk tim penasehat untuk mengkaji rencana
pemanfaatan jeni-jenis tanaman yang layak tanam di Ruang terbuka Hijau
Pekarangan berikut standar perlakuannya yang memenuhi syarat keselamatan
pemakai.

III.3 PERTANDAAN, DAN PENCAHAYAAN RUANG LUAR BANGUNAN

1. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir

a. Ketentuan Umum

i. Setiap bangunan bukan rumah hunian diwajibkan menyediakan area


parkir kendaraan sesuai dengan jumlah area parkir yang proporsional
dengan jumlah luas lantai bangunan.
ii. Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah
penghijauan yang telah ditetapkan.
iii. Prasarana parkir untuk suatu rumah atau bangunan tidak diperkenankan
mengganggu kelancaran lalu lintas, atau mengganggu lingkungan di
sekitarnya.
iv. Jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan sesuai dengan
standar teknis yang berlaku.
b. Sirkulasi

i. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus saling mendukung, antara


sirkulasi eksternal dengan internal bangunan, serta antara individu
pemakai bangunan dengan sarana transportasinya. Sirkulasi harus
memberikan pencapaian yang mudah dan jelas, baik yang bersifat
pelayanan publik maupun pribadi.
ii. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus telah memperhatikan
kepentingan bagi aksesibilitas pejalan kaki.
iii. Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal (clearance)
dan lebar jalan yang sesuai untuk pencapaian darurat oleh kendaraan
pemadam kebakaran, dan kendaraan pelayanan lainnya.
iv. Sirkulasi pertu diberi perlengkapan seperti tanda penunjuk jalan,
rambu-rambu, papan informasi sirkulasi, elemen pengarah sirkulasi (dapat
berupa elemen perkerasan maupun tanaman), guna mendukung sistim
sirkulasi yang jelas dan efisien serta memperhatikan unsur estetika.

c. Jalan

i. Penataan jalan tidak dapat terpisahkan dari penataan pedestrian,


penghijauan, dan ruang terbuka umum.
ii. Penataan ruang jalan dapat sekaligus mencakup ruang-ruang antar
bangunan yang tidak hanya terbatas dalam Damija, dan termasuk untuk
penataan elemen lingkungan, penghijauan, dll.
iii. Pemilihan bahan pelapis jalan dapat mendukung pembentukan identitas
lingkungan yang dikehendaki, dan keJelasan kontinyuitas pedestrian.

d. Pedestrian

i. Jalur utama pedestrian harus telah mempertimbangkan sistem pedestrian


secara keseluruhan, aksesibilitas terhadap subsistem pedestrian dalam
lingkungan, dan aksesibilitas dengan lingkungan sekitarnya.
ii. Jalur pedestrian harus berhasil menciptakan pergerakan manusia yang
tidak terganggu oleh lalu lintas kendaraan.
iii. Penataan pedestrian harus mampu merangsang terciptanya ruang yang
layak digunakan/manusiawi, aman, nyaman, dan memberikan
pemandangan yang menarik.
iv. Elemen pedestrian (street fumiture) harus berorientasi pada kepentingan
pejalan kaki.

e. Parkir

i. Penataan parkir harus berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki,


memudahkan aksesibilitas, dan tidak terganggu oleh sirkulasi kendaraan.
ii. Luas, distribusi dan perletakan fasilitas parkir diupayakan tidak
mengganggu kegiatan bangunan dan lingkungannya, serta disesuaikan
dengan daya tampung lahan.
iii. Penataan parkir tidak terpisahkan dengan penataan lainnya seperti untuk
jalan, pedestrian dan penghijauan.
2. Pertandaan (Signage)

a. Penempatan signage termasuk papan iklan/ reklame, harus membantu


orientasi tetapi tidak mengganggu karakter lingkungan yang ingin diciptakan/
dipertahankan, baik yang penempatannya pada bangunan keveling, pagar,
atau ruang publik.

b. Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk lingkungan/


kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat mengatur pembatasa-pembatasan
ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari signage.

3. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan

a. Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan memperhatikan


karakter lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan estetika amenity, dan
komponen promosi.

b. Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan


pencahayaan dari dalam bangunan dan pencahayaan dari jalan umum

c. Pencahayaan yang dihasilkan dengan telah menghindari penerangan ruang


luar yang berlebihan, silau, visual yang tidak menarik, dan telah
memperhatikan aspek operasi dan pemeliharaan.

III.4 PENGELOLAAN DAMPAK LAINGKUNGAN

1. Dampak Penting

a. Setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungannya yang mengganggu


dan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan harus dilengkapi
dengan AMDAL sesuai ketentuan yang berlaku.

b. Setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungannya yang menimbulkan


dampak tidak penting terhadap lingkungan, atau secara teknologi sudah dapat
dikelola dampak pentingnya, tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL, tetapi
diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai ketentuan yang berlaku.

c. Kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan


adalah bila rencana kegiatan tersebut akan:
i. menyebabkan perubahan pada sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan,
yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan
penundang-undangan yang bertaku;
ii. menyebabkan perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang
melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan pertimbangan ilmiah;
iii. mengakibatkan spesies-spesies yang langka dan atau endemik, dan atau
dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terancam
punah; atau habitat alaminya mengalami kerusakan;
iv. menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (hutan
lindung, cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, dan sebagainya)
yang telah ditetapkan menunut peraturan perundang-undangan;
v. merusak atau memusnahkan benda-benda dan bangunan peninggalan
sejarah yang bernilai tinggi;
vi. mengubah atau memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan
alami yang tinggi;
vii. mengakibatkan/ menimbulkan konflik atau kontroversi dengan
masyarakat, dan atau pemerintah.

d. Kegiatan yang dimaksud pada butir III.3.1.c merupakan kegiatan yang


berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup.

2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Lingkungan

Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan atau lingkungannya


yang wajib AMDAL, adalah sesuai Ketentuan pengelolaan Dampak Lingkungan
yang berlaku.

3. Ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan


Lingkungan (UPL)

Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan atau lingkungannya


yang harus melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) adaiah sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Persyaratan Teknis Pengelolaan Dampak Lingkungan

a. Persyaratan Bangunan
i. Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan
menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain yang
sifatnya mudah meledak, dapat diberikan ijin apabila:
(1) Lokasi bangunan terletak di luar lingkungan perumahan atau berjarak
tertentu dari jalan umum, jalan kereta api dan bangunan lain di
sekitarnya sesuai rekomendasi dinas teknis terkait.
(2) Bangunan yang didirikan harus terletak pada jarak tertentu dari
batas-batas pekarangan atau bangunan lainnya dalam pekarangan
sesuai rekomendasi dinas terkait.
(3) Bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke
daerah yang paling aman.
ii. Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau
memproduksi bahan radioaktif, racun, mudah terbakar atau bahan lain
yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan keselamatan serta
kesehatan penghuni dan lingkungannya.
iii. Pada bangunan yang menggunakan kaca pantul pada tampak bangunan,
sinar yang dipantulkan tidak boleh melebihi 24% dan dengan
memnperhatikan tata letak serta orientasi bangunan terhadap matahari.
iv. Bangunan yang menurut fungsinya memerlukan pasokan air bersih
dengan debit > 5 l/dt atau > 500 m3/hari dan akan mengambil sumber air
tanah dangkal dan atau air tanah dalam (deep well) harus mendapat ijin
dari dinas terkait yang bertanggung jawab serta menggunakan hanya
untuk keperluan darurat atau alternatif dari sumber utama PDAM.
v. Guna pemulihan cadangan air tanah dan mengurangi debit air larian, maka
setiap tapak bangunan gedung harus dilengkapi dengan bidang resapan
yang ukurannya disesuaikan dengan standar teknis yang berlaku.
vi. Apabila bangunan yang menurut fungsinya akan membangkitkan LHR >=
60 SMP per 1000 ft2 luas lantai, maka rencana teknis sistem jalan akses
keluar masuk bangunan gedung harus mendapat ijin dari dinas teknis yang
berwenang.

b. Persyaratan Pelaksanaan Konstruksi

i. Setiap kegiatan konstruksi yang menimbulkan genangan baru sekitar


tapak bangunan harus dilengkapi dengan saluran pengering genangan
sementara yang nantinya dapat dibuat permanen dan menjadi bagian
sistem drainase yang ada.
ii. Setiap kegiatan pelaksanaan konstruksi yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap lalu lintas umum harus dilengkapi dengan
rambu-rambu lalu lintas yang dioperasikan dan dikendalikan oleh tim
pengatur lalu lintas.
iii. Penggunaan hammer pile untuk pemancangan pondasi hanya diijinkan
bila tidak ada bangunan rumah sakit di sekitarnya, atau tidak ada
bangunan rumah yang rawan keretakan.
iv. Penggunaan peralatan konstruksi yang diperkirakan menimbulkan
keretakan bangunan, sekelilingnya harus dilengkapi dengan kolam
peredam getaran.
v. Setiap kegiatan pengeringan (dewatering) yang menimbulkan kekeringan
sumur penduduk harus memperhitungkan pemberian kompensasi berupa
penyediaan air bersih kepada masyarakat selama pelaksanaan kegiatan,
atau sampai sumur penduduk pulih seperti semula.

c. Pembuangan limbah cair dan padat

i. Setiap bangunan yang menghasilkan limbah cair dan padat atau buangan
lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran air dan tanah, harus
dilengkapi dengan sarana pengumpulan dan pengolahan limbah sebelum
dibuang ke tempat pembuangan yang diijinkan dan atau ditetapkan oleh
instansi yang berwenang.
ii. Sarana pongumpulan dan pongolahan air limbah harus dipelihara secara
berkala untuk menjamin kualitas effluen yang memenuhi standar baku
mutu limbah cair.
iii. Sampah yang dikumpulkan di sarana pengumpulan sampah padat harus
selalu dikosongkan setiap hari untuk menjamin agar lalat tidak
berkembang biak dan mengganggu kesehatan lingkungan bangunan
gedung.
5. Pengelolaan Daerah Bencana

a. Suatu daerah dapat ditetapkan sebagai daerah bencana, daerah Banjir dan
yang sejenisnya.

b. Pada daerah bencana sebagaimana dimaksud pada butir III.3.5.a dapat


ditetapkan larangan membangun atau menetapkan tata cara dan persyaratan
khusus di dalam membangun, dengan memperhatikan keamanan, keselamatan
dan kesehatan lingkungan.

c. Lingkungan bangunan yang mengalami kebakaran dapat ditetapkan sebagai


daerah tertutup dalam jangka waktu tertentu, dibatasi, atau dilarang
membangun bangunan.

d. Bangunan-bangunan pada lingkungan bangunan yang mengalami bencana,


dengan memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesehatan dapat
diperkenankan mengadakan perbaikan darurat, bagi bangunanan yang rusak
atau membangun bangunan sementara untuk kebutuhan darurat dalam batas
waktu penggunaan tertentu dan dapat dibebaskan dari izin.

e. Daerah sebagaimana dimaksud pada butir III.3.5.a, dapat ditetapkan sebagai


daerah peremajaan kota.
IV. STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG

IV. 1 PERSYARATAN STRUKTUR DAN BAHAN

1. Persyaratan Struktur

a. Struktur bangunan yang direncanakan secara umum harus memenuhi


persyaratan keamanan (safety) dan kelayakan (serviceability).

b. Struktur bangunan harus direncanakan dan dilaksanakan sedemikian rupa,


sehingga pada kondisi pembebanan maksimum, keruntuhan yang terjadi
menimbulkan kondisi struktur yang masih dapat mengamankan penghuni,
harta benda dan masih dapat diperbaiki.

c. Struktur bangunan harus direncanakan mampu memikul semua beban dan /


atau pengaruh luar yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan
struktur, termasuk kombinasi pembebanan yang kritis (antara lain: meliputi
beban gempa yang mungkin terjadi sesuai zona gempanya), dan beban-beban
lainnya yang secara logis dapat terjadi pada struktur.

2. Persyaratan Bahan

a. Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua persyaratan


keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan pengguna
bangunan, serta sesuai standar teknis (SNI) yang terkait.

b. Dalam hal bilamana bahan struktur bangunan belum mempunyai SNI maka
bahan struktur bangunan tersebut harus memenuhi ketentuan teknis yang
sepadan dari negara/ produsen yang bersangkutan.

c. Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai


dengan standar tata cara yang baku untuk keperluan yang dimaksud.

d. Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem


hubungan yang baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan-bahan
yang dihubungkan, serta mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat
pemasangan/pelaksanaan.

IV.2 PEMBEBANAN

1 Analisa struktur harus dilakukan untuk memeriksa tanggap struktur terhadap


beban - beban yang mungkin bekerja selama umur layan struktur, termasuk beban
tetap, beban sementara (angin, gempa) dan beban khusus.

2. Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus sesuai
dengan standar teknis yang berlaku, seperti :
a. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung SNI
1726;

b. Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung SNI 1727.

IV.3 STRUKTUR ATAS

1. Konstruksi beton

Perencanaan konstruksi beton harus memenuhi standar-standar teknis yang


berlaku, seperti:

a. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI 2847;

b. Tata Cara Perencanaan Dinding Struktur Pasangan Blok Beton Berongga


Bertulang untuk Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-3430.

c. Tata Cara Pelaksanaan Mendirikan Bangunan Gedung, SNI-1728

d. Tata Cara Perencanaan Beton dan Struktur Dinding Bertulang untuk Rumah
dan Gedung, SNI -1734.

e. Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal, SNI-2834

f. Tata Cara Pengadukan dan Pengecoran Beton, SNI-3976.

g. Tata Cara Rencana Pembuatan Campuran Beton Ringan dengan Agregat


Ringan, SNI-3449.

2. Konstruksi Baja

Perencanaan konstruksi baja harus memenuhi standar-standar yang berlaku


seperti:

a. Tata Cara Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung, SNI-1729

b. Tata cara / pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
baja.

c. Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja.

d. Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan Konstruksi.

3. Konstruksi Kayu

Perencanaan konstruksi kayu harus memenuhi standar-standar teknis yang


berlaku. seperti:

a. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan Gedung.


b. Tata cara/ pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
kayu.

c. Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu

d. Tata Cara Pengecatan Kayu untuk Rumah dan Gedung, SNI-2407.

4. Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus

a. Perencanaan konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus harus


dilaksanakan oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan
teknologi khusus tersebut.

b. Perencanaan konstruksi dengan memperhatikan standar-standar teknis


padanan untuk spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan
teknologi khusus tersebut.

5. Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi

Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar


teknis lainnya yang terkait dalam perencanean suatu bangunan yang harus
dipenuhi, antara lain:

a. Tata Cara Perencanaan Bangunan dan Lingkungan untuk Pencegahan


Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1735.

b. Tata Cara Perencanaan Struktur Bangunan untuk Pencegahan Bahaya


Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1736.

c. Tata Cara Pemasangan Sistem Hidran untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran


pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1745.

d. Tata Cara Dasar Koordinasi Modular untuk Perancangan Bangunan Rumah


dan Gedung, SNI-1963.

e. Tata Cara Perencanaan dan Perancangan Bangunan Radiologi di Rumah


Sakit, SNI-2395.

f. Tata Cara Perencanaan dan Perancangan Bangunan Kedokteran Nuklir di


Rumah Sakit, SNI-2394.

g. Tata Cara Perancangan Bangunan Sederhana Tahan Angin, SNI-2397.

h. Tata Cara Pencegahan Rayap pada Pembuatan Bangunan Rumah dan


Gedung, SNI-2404.

i. Tata Cara Penanggulangan Rayap pada Bangunan Rumah dan Gedung


dengan Temmitisida, SNI-2405
IV.4 STRUKTUR BAWAH

1. Pondasi Langsung

a. Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa sehingga


dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung
tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya bangunan tidak mengalami
penurunan yang melampaui batas.

b. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori


mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter
tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai
tipikal dan korelasi tipikal dengan korelasi tipikal parameter tanah yang lain.

c. Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana dan


spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli yang
memiiki sertifikasi sesuai.

d. Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton
bertulang.

2. Pondasi Dalam

a. Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan
daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga
penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang
berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.

b. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori


mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter
tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai
tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.

c. Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan


percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan
dengan faktor keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang
lazim.

d. Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan


berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh
perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

e. Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1 % dari jumlah


titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random,
kecuali ditentukan lain oleh perencana ahli serta disetujui oleh Dinas
Bangunan.
IV.5 KEANDALAN STRUKTUR

1. Keselamatan Struktur

a. Keselamatan struktur tergantung pada keandalan struktur tersebut terhadap


gaya-gaya yang dipikulnya, beban akibat perilaku manusia maupun beban
yang diakibatkan oleh perilaku alam.

b. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan


pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan
dalam Pedoman/ Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan
Bangunan Gedung.

c. Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai


rekomendasi hasil pemeriksaan keandaian bangunan gedung, sehingga
bangunan gedung selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur.

d. Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai


klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang
memiliki sertifikasi sesuai.

2. Keruntuhan Struktur

a. Keruntuhan sruktur adalah diakibatkan oleh ketidak andalan suatu sistem


atau komponen stnuktur untuk memikul beban sendiri, beban yang
didukungnya, beban akibat perilaku manusia, dan atau beban yang
diakibatkan oleh perilaku alam.

b. Ketidak andalan struktur akibat beban sendiri dan atau beban yang
didukungnya disebabkan oleh karena umur bangunan yang secara teknis
telah melebihi umur yang direncanakan, atau karena dilampauinya beban
yang harus dipikulnya sesuai rencana sebagai akibat berubahnya fungsi
bangunan atau kesalahan dalam pemanfaatannya.

c. Ketidak andalan struktur akibat beban perilaku alam dan atau manusia dapat
diakibatkan oleh adanya kebakaran, gempa, maupun bencana lainnya.

d. Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan


pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai
dengan pedoman/ petunjuk teknis yang berlaku.

IV.6 DEMOLISI STRUKTUR

1. Kriteria Demolisi

Demolisi struktur dilakukan apabila:

a. Struktur bangunan sudah tidak andal, dan kerusakan struktur sudah tidak
memungkinkan lagi untuk diperbaiki karena alasan teknis dan atau
ekonomis, serta dapat membahayakan pengguna bangunan, masyarakat dan
lingkungan.

b. Adanya perubahan peruntukan lokasi/fungsi bangunan, dan secara teknis


struktur bangunan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

2. Prosedur dan Metoda


a. Prosedur, metoda dan rencana demolisi struktur harus memenuhi persyaratan
teknis untuk pencegahan korban manusia dan untuk mencegah kerusakan
serta dampak lingkungan.

b. Penyusunan prosedur, metoda dan rencana demolisi struktur dilakukan atau


didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
V. PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN

V.1 SISTEM PROTEKSI PASIF

1. Ketahanan Api dan Stabilitas.

a. Bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran,


sehingga:
i. cukup waktu untuk evakuasi penghuni secara aman;
ii. cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk
memadamkan api;
iii. dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya.

b. Bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana/ prasarana pengamanan dan


pencegahan penyebaran api, terutama pada bangunan klas 2, 3 atau bagian dan
bangunan klas 4:
i. yang menghubungkan kompartemen api, dan
ii. antara bangunan.

c. Bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada
tingkat tertentu akan mempertahankan stabilitas struktural selama kebakaran,
yang sesuai dengan:
i. fungsi atau penggunaan bangunan;
ii. beban api;
iii. intensitas kebakaran;
iv. tingkat bahaya api;
v. ketinggian bangunan;
vi. kedekatan dengan bangunan lain;
vii sistem proteksi aktif yang dipasang pada bangunan;
viii.ukuran setiap kompartemen api;
ix intervensi pasukan pemadam kebakaran; dan
x. elemen bangunan lainnya.

d. Ruang perawatan pasien dari bangunan klas 9a harus dilindungi dari


penyebaran api dan asap untuk memberi waktu cukup untuk evakuasi yang
tertib dalam keadaan darurat.

e. Bahan dan komponen bangunan harus tahan-penyebaran api, membatasi


berkembangnya asap dan panas, serta gas-gas beracun yang mungkin timbul,
sampai dengan tingkat tertentu, yang sesuai dengan:
i. waktu evakuasi
ii. jumlah, mobilitas dan karakteristik penghuni lainnya;
iii. fungsi atau penggunaan bangunan;
iv. sistem proteksi aktif yang dipasang dalam bangunan.
f. Dinding luar beton yang dapat runtuh dalam bentuk panel yang utuh (misalnya
beton pracetak) harus dirancang sehingga pada kejadian kebakaran dalam
bangunan, keruntuhan tersebut dapat dihindari.

g. Bangunan gedung harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkat


tertentu menghindarkan penyebaran api dari peralatan utilitas yang mempunyai
pengaruh bahaya api yang tinggi, atau potensial dapat meledak.

h. Bangunan gedung harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkat


tertentu menghindarkan penyebaran api, sehingga peralatan darurat yang
tersedia dalam bangunan tetap beroperasi pada jangka waktu yang diperlukan
pada waktu terjadi kebakaran.

i. Setiap elemen bangunan yang disediakan untuk menahan penyebaran api, yaitu
pada bukaan, sambungan konstruksi, dan lubang untuk instalasi harus
dilindungi sedemikian, sehingga diperoleh tingkat kinerja yang memadai dari
elemen tersebut.

j. Akses ke dan sekeliling bangunan harus disediakan bagi kendaraan dan personil
pemadam kebakaran, untuk memudahkan tindakan pasukan pemadam
kebakaran secara memadai, sesuai dengan:
i. fungsi bangunan,
ii. beban api,
iii. intensitas kebakaran,
iv. tingkat bahaya api,
v. sistem proteksi aktif, dan
vi. ukuran kompartemen.

2. Tipe Konstruksi Tahan Api.

Dikaitkan dengan ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi yaitu:

a. Tipe A:
Konstruksi yang unsur-unsur struktur pembentuknya adalah tahan api dan
mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran pada bangunan minimal
2 (dua) jam. Pada konstruksi ini terdapat dinding pemisah pembentuk
kompartemen untok mencegah penjaiaran panas ke ruang-ruang yang
bersebelahan di dalam bangunan dan dinding luar untuk mencegah penjalaran
api ke dan dari bangunan didekatnya.

b. Tipe B:
Konstruksi yang unsur-unsur struktur pembentuk kompartemen penahanan api
mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam
bangunan dan unsur dinding luarnya mampu menahan penjalaran kebakaran
dari luar bangunan selama sekurang kurangnya 1 (satu) jam.

c. Tipe C:
Konstruksi yang terbentuk dari unsur-unsur struktur yang dapat terbakar dan
tidak dimaksudkan untuk mampu bertahan terhadap api.
3. Tipe konstruksi yang diwajibkan

Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan
ketentuan pada tabel berikut:

Tabel V.1.3
Tipe Konstruksi yang diwajibkan

KETINGGIAN KLAS BANGUNAN


(dalam jumlah lantai) 2,3,9 5,6,7,8
4 atau lebih A A
3 A B
2 B C
1 C C

4. Kompartemenisasi dan Pemisahan

a. Ukuran Kompartemen
Ukuran kompartemenisasi dan konstruksi pemisah harus dapat membatasi kobaran
api yang potensial, perambatan api dan asap, agar dapat:
i. melindungi penghuni yang berada di suatu bagian bangunan terhadap dampak
kebakaran yang terjadi ditempat lain di dalam bangunan.
ii. mengendalikan kebaran api agar tidak menjelar ke bangunan lain yang
berdekatan.
iii. menyediakan jalan masuk bagi petugas pemadam kebakaran.

Tabel V.1.4
Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran

Tipe Konstruksi bangunan


Klasifikasi Bangunan
Tipe A Tipe B Tipe C
Maksimum 8.000 m2 5.500 m2 3.000 m2
luasan lantai
Klas 5 atau 9b
Maksimum 48.000 m3 33.500 m3 18.000 m3
volume
Maksimum 5.000 m2 3.500 m2 2.000 m2
Klas 6,7,8 atau 9a luasan lantai
(kecuali daerah
perawatan pasien
Maksimum 30.000 m3 21.500 m3 12.000 m3
volume

b Pemberlakuan.
i. bagian ini tidak berlaku untuk bangunan klas 1 atau 10, dan
ii. ketentuan pada butir c, d dan e tidak berlaku untuk tempat parkir umum yang
dilengkapi dengan sistem sprinkler, tempat parkir tak beratap atau suatu
panggung terbuka.

c. Batasan umum luas lantai.


i. Ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan klas 5, 6, 7, 8
atau 9 harus tidak melebihi luasan lantai maksimum atau volume maksimum
seperti ditunjukkan dalam Tabel V.1.4 dan butir f, kecuali seperti yang diijinkan
pada butir d.
ii. Bagian dari bangunan yang hanya terdiri dari peralatan pendingin udara,
ventilasi, atau peralatan Lift, tanki air, atau unit utilitas sejenis dan berada di
puncak bangunan, tidak diperhitungkan sebagai luas lantai atau volume dari
kompartemen atau atrium
iii. Untuk bangunan yang memiliki lubang atrium, maka bagian dari ruang atrium
yang dibatasi oleh sisi tepi di sekeliling bukaan pada lantai dasar sampai dengan
langit-langit dari lantai tidak diperhitungkan sebagai volume atrium.
iv. Bagian bangunan, ruang dalam bangunan yang karena fungsinya mempunyai
risiko tinggi terhadap bahaya kebakaran, harus merupakan suatu kompartemen
terhadap penjalaran api, asap dan gas beracun.

d. Bangunan-bangunan besar yang diisolasi.


Ukuran kompartemen pada bangunan dapat melebihi ketentuan dari yang tersebut
dalam Tabel v.1.4 bila:
i. Bangunan dengan luas tidak melebihi 18.000 m2 dan volumenya tidak melebihi
108.000 m3 dengan ketentuan:
(1) bangunan klas 7 atau 8 kurang dari 2 lantai dan terdapat ruang terbuka
disekeliling bangunan tersebut, yang memenuhi persyaratan sebagaimana
tersebut pada butir 4.e.i yang lebamya tidak kurang dari 18 meter,
(2) bangunan klas 5 s.d. 9 yang dilindungi seluruhnya dengan sistem sprinkler
serta terdapat jalur kendaraan sekeliling bangunan yang memenuhi
ketentuan butir 4.e.ii, atau:
ii. Bangunan dengan luasan melebihi 18.000 m2 atau 108.000 m3 dengan sistem
sprinkler, dan dikelilingi jalan masuk kendaraan sesuai dengan butir 4.e.ii, dan
apabila:
(1) ketinggian langit-langit kompartemen tidak lebih dari 12 meter, dilengkapi
dengan sistem pembuangan asap atau ventilasi asap dan panas sesuai
pedoman dan standar teknis yang berlaku; atau
(2) ketinggian langit-langit lebih dari 12 meter, dilengkapi dengan sistem
pembuang asap sesuai ketentuan yang berlaku.
iii. Bila terdapat lebih dari satu bangunan pada satu kapling, dan
(1) setiap bangunan harus memenuhi ketentuan butir i atau ii di atas;
(2) bila jarak antara bangunan satu dengan lainnya kurang dari 6 meter, maka
seluruhnya dianggap sebagai satu bangunan dan secara bersama harus
memenuhi ketentuan butir i, atau ii.

e. Kebutuhan ruang terbuka dan jalan masuk kendaraan.


i. Ruang terbuka yang diperlukan harus:
(1) Seluruhnya berada di dalam kapling yang sama kecuali jalan, sungai, atau
tempat umum yang berdampingan dengan kapling tersebut, namun berjarak
tidak lebih dari 6 meter dengannya;
(2) termasuk jalan masuk kendaraan sesuai ketentuan butir 4.e.ii
(3) tidak untuk penyimpanan dan pemrosesan material; dan
(4) tidak ada bangunan diatasnya, kecuali untuk gardu jaga dan bangunan
penunjang ( seperti gardu listrik dan ruang pompa), yang tidak melanggar
batas lebar dari ruang terbuka, tidak menghalangi penanggulangan
kebakaran pada bagian manapun dari tepian kapling, atau akan menambah
risiko merambatnya api ke bangunan yang berdekatan dengan kapling
tersebut.
ii. Jalan masuk kendaraan harus:
(1) sebagai jalan masuk bagi kendaraan darurat dan lintasan dari jalan umum,
(2) lebar bebas minimum 6 meter dan tidak ada bagian yang lebih jauh dari 18
meter terhadap bangunan, serta di atas jalan tersebut tidak boleh dibangun
apapun kecuali hanya untuk kendaraan dan pejalan kaki
(3) dilengkapi jalan untuk pejalan kaki yang memadai;
(4) memiliki kapasitas beban dan tinggi bebas yang memudahkan operasi
mobil pemadam kebakaran, dan ;
(5) bila terdapat jalan umum yang memenuhi (1) s.d. (4) di atas maka jalan
tersebut dapat beriaku sebagai jalan lewatnya kendaraan atau bagian dari
padanya.

f. Pemisahan
Pemisahan vertikal pada bukaan di dinding luar, pemisahan oleh dinding tahan api,
dan pemisahan pada shaft lift mengikuti syarat teknis sesuai ketentuan yang
berlaku.

g. Tangga dan Lift pada satu shaft.


Tangga dan lift tidak boleh berada pada satu shaft yang sama, bila salah satu tangga
atau lift tersebut diwajibkan berada dalam suatu shaft tahan api.

h. Koridor umum pada bangunan klas 2 dan 3.


Pada bangunan klas 2 dan 3, koridor umum yang panjangnya lebih dari 40 meter
harus dibagi menjadi bagian yang tidak lebih dari 40 meter dengan dinding yang
tahan asap, mengikuti syarat teknis sesuai ketentuan yang berlaku.

5. Proteksi Bukaan

a. Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus diberi penyetop api
untuk mencegah merambatnya api serta menjamin pemisahan dan
kompartemenisasi bangunan.

b. Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk shaft pipa, shaft ventilasi,
dan shaft instalasi listrik harus sepenuhnya tertutup dengan dinding dari bawah
sampai atas, dan tertutup pada setiap lantai.

c. Apabila harus diadakan bukaan pada dinding sebagaimana dimaksud pada butir b,
maka bukaan harus dilindungi dengan penutup tahan minimal sama dengan
ketahanan api dinding atau lantai.
d. Sarana dan atau peralatan proteksi seperti penyetop api, damper, dan sebagainya
harus memenuhi persyaratan dan dapat dibuktikan melalui pengujian oleh lembaga
uji yang diakui dan terakreditasi.

e. Ketentuan proteksi pada bukaan ini tidak berlaku untuk:


i. bangunan-bangunan klas 1 atau klas 10;
ii sambungan pengendali, lubang tirai, dan sejenisnya di dinding luar dari
konstruksi pasangan, dan sambungan antara panel di dinding luar dari beton
pracetak, bila luas lubang/sambungan tersebut tidak lebih luas dari yang
diperlukan;
iii. lubang ventilasi yang tidak mudah terbakar (non combustible ventilators), bila
luas penampang masing-masing tak melebihi 45.000 mm2, dan jarak antara
lubang ventilasi tak kurang dari 2 m pada dinding yang sama.

f. Proteksi Bukaan Pada Dinding Luar.


Bukaan pada dinding luar yang perlu memiliki TKA harus:
i. berjarak dari suatu obyek sumber api tidak kurang dari:
(1) 1 m pada bangunan dengan 1 (satu) lantai; atau
(2) 1,5 m pada bangunan dengan lebih dari 1 (satu) lantai; dan
ii. bila bukaan di dinding luar tersebut terhadap suatu sumber api terletak kurang
dari:
(1) 3 m dari batas belakang persil bangunan; atau
(2) 6 m dari sempadan jalan yang membatasi persil, dan tidak berada pada atau
dekat dengan lantai dasar bangunan; atau
(3) 6 m dari bangunan lain pada persil yang sama, yang bukan dari klas 10,
maka harus dilindungi sesuai dengan ketentuan butir h, dan bila digunakan
sprinkler pembasah-dinding maka sprinkler tersebut harus ditempatkan di
bagian luar bangunan, dan
iii. bila bukaan tersebut wajib dilindungi sesuai dengan butir ii, maka tidak boleh
menempati lebih dari 1/3 luas dinding luar dari lantai dimana bukaan tersebut
berada, kecuali bila bukaan-bukaan tersebut pada bangunan klas 9b dan
diberlakukan seperti bangunan panggung terbuka.

g. Pemisahan Bukaan Pada Kompartemen Kebakaran. Kecuali bila dilindungi sesuai


ketentuan tersebut pada butir 9, jarak antara bukaan pada dinding luar pada
kompartemen kebakaran harus tidak kurang dari yang tercantum pada Tabel V.1.5.

Tabel V.1.5
JARAK ANTARA BUKAAN
PADA KOMPARTEMEN KEBAKARAN YANG BERBEDA

Sudut Terhadap Dinding Jarak Minimal Antara Bukaan


0° (dinding-dinding saling berhadapan) 6m
Lebih dari 0° s.d. 45° 5m
Lebih dari 45° s.d. 90° 4m
Lebih darii 90° s.d. 135° 3m
Lebih dari 134° s.d kurang dari 180° 2m
180° atau lebih nol
h. Metoda Proteksi Yang Diperbolehkan.

i. Bila diperlukan proteksi, maka jalan masuk, jendela dan bukaan lainnya harus
dilindungi sebagai berikut:
(1) Jalan masuk/pintu : sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan, atau memasang pintu kebakaran dengan TKA -/60/30 (dapat
menutup sendiri secara otomatis);
(2) Jendela: sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai keperluan,
atau jendela kebakaran dengan TKA -/60/- (menutup otomatis atau secara
tetap dipasang pada posisi tertutup), atau memasang penutup api otomatis
dengan TKA -/60/-
(3) Bukaan-bukaan lain: sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan, atau konstruksi dengan TKA tidak kurang dari-/60/-.

ii. Pintu, jendela, dan penutup kebakaran harus memenuhi ketentuan butir i di
atas dan standar teknis yang berlaku.

V.2 SISTEM PROTEKSI AKTIF

1. Sistem Pemadam Kebakaran

a. Hidran kebakaran.
i. Sistem hidran harus dipasang pada bangunan:
(1) yang memiliki luas lantai total lebih dari 500 m2, dan
(2) terdapat regu pemadam kebakaran.
ii. Sistem hidran kebakaran,
(1) harus dipasang sesuai dengan standar yang berlaku, SNI 1745; dan
(2) hidran dalam bangunan harus melayani hanya di lantai hidran
tersebut ditempatkan, kecuali pada satuan peruntukan bangunan, di
mana:
(a) bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian klas 4, dilayani oleh
hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai dimana ada jalur
keluar, atau
(b) bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang berlantai tidak lebih dari 2
(dua), dilayani oleh hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai
dimana ada jalur keluar, asalkan hidran dapat menjangkau
seluruh satuan peruntukan bangunan.
(3) bila dilengkapi dengan pompa kebakaran harus terdiri dari:
(a) 2 (dua) pompa, yang sekurang-kurangnya satu pompa
digerakkan oleh motor bakar atau motor listrik yang dicatu dari
daya generator darurat,
(b) 2 (dua) pompa yang digerakkan oleh motor listrik yang
dihubungkan dengan sumber tenaga yang terpisah satu sama
lain,
(4) bila pompa kebakaran dihubungkan dengan jaringan pasokan air dan
dipasang pada bangunan dengan ketinggian efektif kurang dari 25 m,
satu pompa digerakkan oleh:
(a) motor-bakar, atau
(b) motor listrik yang dicatu dari generator darurat, atau
(c) motor listrik yang dihubungkan pada sumber tenaga yang
terpisah satu sama lain melalui fasilitas pemindah daya otomatis;
(5) pemasangan pompa kebakarannya dalam bangunan harus pada
tempat yang:
(a) mempunyai jelur keluar ke jalan atau ruang terbuka, atau
(b) jika bangunan tidak dilindungi seluruhnya dengan sistem
sprinkler sesuai ketentuan yang berlaku, tempat pompa harus
terpisah dari bangunan, dan dengan konstruksi yang mempunysi
TKA tidak kurang dari yang dipersyaratkan bagi suatu dinding
tahan api untuk klasifikasi bangunannya;
(6) untuk pompa yang ditempatkan di luar bangunan, maka bangunan
rumah pompa tersebut harus jelas terlihat, tahan cuaca, mempunyai
jalur keluar langsung ke jalan atau ruang terbuka, dan jika dalam
jarak 6 m dari bangunan, maka dinding rumah pompa dan bagian
dinding luar yang berjarak 2 m dari samping rumah pompa dan 3 m
di atas rumah pompa, atau dinding antara bangunan dan rumah
pompa yang berjarak 2 m dari sisi rurnah pompa dan 3 m di atas
rumah pompa harus mempunyai TKA tidak kurang dari yang
dipersyaratkan untuk dinding tahan api sesuai klas bangunannya.
(7) bila sistem pasokan air mengambil air dari sumber statis, maka harus
disediakan sambungan yang cocok dan jalan masuk kendaraan
pemadam kebakaran untuk memudahkan petugas pemadam
kebakaran memompa air dari sumber tersebut dan harus disediakan
sambungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut untuk
meningkatkan tekanan air dalam sistem gedung, serta harus dirancang
untuk memenuhi tekanan dan laju aliran yang disyaratkan untuk
operasi petugas pemadam kebakaran.

b. Hose Reel

i. Sistem Hose Reel harus disediakan:


(1) untuk melayani seluruh bangunan, dimana satu atau lebih hidran
dalam dipasang, atau:
(2) bila hidran dalam tidak dipasang, untuk melayani setiap
kompartemen kebakaran dengan luas lantai lebih dari 500 m2 dan
untuk maksud butir ini, satu unit hunian bangunan klas 2 atau klas 3
atau sebagian bangunan klas 4, dipertimbangkan sebagai
kompartemen kebakaran.
ii. Sistem Hose Reel, harus:
(1) dipasang sesuai dengan standar yang berlaku.
(2) melayani hanya lantai dimana alat ini ditempatkan, kecuali pada satu
unit hunian,
(a) pada bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian Klas 4 dilayani
oleh Hose Reel tunggal yang ditempatkan pada jalur keluar dari
unit hunian tersebut, dan
(b) pada bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang tidak lebih dari 2
(dua) lantai, dilayani oleh Hose Reei tunggal yang ditempatkan
pada jalur keluar dari satu unit hunian tersebut dengan syarat
Hose Reel melayani seluruh unit hunian.
(3) Memiliki slang kebakaran yang harus diletakkan sedemikian rupa
untuk menghindari partisi atau penghalang di dalam mencapai setiap
bagian lantai dari tingkat yang bersangkutan
(4) Hose reel yang dipasang mengikuti butir (3) diatas ditempatkan:
(a) di luar bangunan, atau
(b) di dalam bangunan sekitar 4 m dari pintu keluar, atau
(c) di dalam bangunan berdekatan dengan hidran dalam (selain
hidran yang dipasang di pintu keluar yang diisolasi tahan api);
atau
(d) kombinasi (a), (b), dan (c), sehingga hose tidak perlu melintasi
pintu keluar masuk yang dilengkapi dengan pintu kebakaran
atau pintu asap.
(5) Bila dihubungkan dengan meteran air, maka:
(a) dipelihara kebutuhan kecepatan aliran dari hose reel;
(b) diameter pipa dari meteran air atau instalasi PAM berdiameter
tidak kurang dari 25 mm;
(c) jaringan pipa memenuhi syarat pembagian pasokan air;
(d) tiap katup yang mengatur aliran air dari sumber air utama ke
Hose Reel harus dijaga pada posisi terbuka oleh pengunci dari
logam.
(6) Bila dipasok oleh sumber air utama dengan diameter nominal lebih
besar dari 25 mm dan yang dihubungkan dengan sumber air untuk
hidran, sebuah katup yang memenuhi butir 5.d harus dipasang pada
sambungan ke saluran utama.

c. Sistem Sprinkler
i. Sistem sprinkler harus dipasang pada bangunan sebagaimana ditunjukkan
pada tabel berikut:

Tabel V.2.1
Persyaratan Pemakaian Sprinkler

Jenis bangunan Kapan Sprinkler diperlukan:

Semua klas bangunan:


1. Termasuk lapangan parkir terbuka dalam
bangunan campuran, Pada bangunan yang tinggi efektifnya
2. Tidak termasuk lapangan parkir terbuka, lebih dari 25 m
yang merupakan bangunan terpisah

Dalam kompartemenisasi dengan salah satu


Bangunan pertokoan (kbs 6). ketentuan berikut:
(a) luas lantai lebih dari 3.500 m2.
(b) volume ruangan lebih dari 21.000 m3.
Bangunan Rumah Sakit. Lebih dari 2 (dua) lantai.
Ruang Pertemuan Umum, Luas panggung dan belakang panggung
Ruang Pertunjukan, Teater. lebih dari 200 m
Konstruksi Atrium. Tiap bangunan beratrium
Untuk memperoleh ukuran kompartemen
yang lebih besar:
(a) bangunan klas 5 - 9 dengan luas
Bangunan berukuran begar den terpisah. maksimum 18.000 m2 den volume
108.000 m3.
(b) semua bangunan dengan luas lantai lebih
besar dari 18.000 m2 dan volume
108.000 m3.
Ruang parkir, selain nuang parkir terbuka Bila menampung lebih dari 40
kendaraan.
Bangunan dengan risiko bahaya kebakaran Pada kompartemen, dengan salah satu dari
2 (dua) persyaratan berikut: 2(dua) persyaratan :
amat tinggi. ·) (a) Luas lantai melebihi 2.000 m2.
(b) Volume lebih dari 12.000 m3.
*) Jenis bangunan dengan resiko bahaya kebakaran tinggi sesuai standar teknis yang berlaku.

ii. Sistem sprinkler harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:


(1) Standar perancangan dan pemasangan sprinkler otomatis sesuai
standar teknis yang berlaku, SNI-3989.
(2) Bangunan bersprinkler.
Tanpa mengurangi ketentuan atau standar yang berlaku bangunan
atau bagian bangunan dianggap bersprinkler, jika:
(a) sprinkler terpasang diselunuh bangunan, atau:
(b) dalam hal sebagian bangunan:
(i) sebagian bangunan dipasang sprinkler dan diberi
kompartemen kebakaran pada bagian yang tanpa sprinkler,
dan
(ii) setiap bukaan pada konstruksi pemisah antara bagian
ter-sprinkler dan bagian tak ter-sprinker diproteksi sesuai
ketentuan proteksi pada bukaan
(3) Katup kontrol sprinkler.
Katup kontrol sprinkler harus ditempatkan dalam suatu ruang yang
aman atau ruang tertutup yang berhubungan langsung ke jalan atau
ruang terbuka.
(4) Pasokan air.
Tanpa mengurangi ketentuan dalam standar teknis yang berlaku
mengenai sprinkler, pasokan air untuk sistem sprinkler harus
memperhatikan tinggi efektif bangunan, luar bangunan yang
diisyaratkan menggunakan sprinkler, dan klasifikas bangunan sesuai
standar teknis yang berlaku.
(5) Sambungan dengan peralatan alarm lainnya.
Sistem sprinkler harus disambung atau dihubungkan ke dan dapat
mengaktifkan:
(a) setiap peringatan darurat dan sistem komunikasi intema yang
disyaratkan; atau
(b) sistem pengeras suara atau peralatan lainnya yang dapat
didengar bila peringatan darurat dan sistem komunikas intemal
tidak disyaratkan,
(6) Peralatan anti gangguan (Anti Tamper).
Untuk sistem sprinkler yang dipasang di teater, ruang pertemuan
umum atau semacamnya, maka pada tiap katup yang berfungsi
mengendalikan sprinkler didaerah panggung harus dipasang
peralatan anti gangguan yang dihubungkan ke panel pemantau.
7) Sistem sprinkler di ruang parkir.
Sistem sprinkler yang dipasang pada ruang parkir pada bangunan
multi-klas, harus:
(a) berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan sistem sprinkler di
bagian bangunan lainnya.
(b) bila berhubungan dengan sistem sprinkler yang melindungi
bagian bangunan bukan ruang parkir, harus dirancang sehingga
sistem sprinkler yang melindungi bagian bukan nuang parkir
dapat diisolasi dengan tanpa mengganggu aliran air, ataupun
mempengaruhi efektivitas operasi sprinkler yang melindungi
ruang parkir.

d. Pemadam Api Ringan (PAR)


i. PAR yang jenisnya sesuai kebutuhan harus dipasang diseluruh bangunan,
kecuali di dalam unit hunian bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian
bangunan klas 4, yang memungkinkan dilakukannya pemadaman awal
efektip terhadap kebakaran oleh penghuni bangunan.
ii. PAR memenuhi butir i, jika:
(1) Disediakan dengan mengikuti standar teknis yang berlaku, SNI-3987
kecuali PAR jenis air yang tidak perlu dipasang di dalam bangunan
atau bagian bangunan yang dilayani oleh Hose Reel, dan
(2) PAR dari jenis bukan klas A harus ditempatkan pada lokasi yang
dapat menjangkau lokasi yang mengandung jenis bahaya yang harus
diatasi.

2. Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran


a. Sistem deteksi dan alarm kebakaran otomatis harus dipasang di:
i. bangunan klas 1b; dengan
ii. bangunan klas 2 dengan persyaratan khusus;
iii. bangunan klas 3 yang menampung lebih dari 20 penghuni yang
digunakan sebagai:
(1) bagian hunian dari bangunan sekolah; atau
(2) akomodasi bagi lanjut usia, anak-anak atau orang cacat; dan
iv. bangunan klas 9a.
b. Spesifikasi Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran.
i. Perancangan dan pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran harus
memenuhi standar teknis yang berlaku, SNI-3985.
ii. Sistem deteksi kebakaran dan sistem alarm otomatis harus dihubungkan
dan mengaktifkan:
(1) sistem peringatan keadaan darurat dan sistem komunikasi internal
sebagaimana dipersyaratkan oleh ketentuan Bab VIII; atau
(2) bila sistem peringatan darurat dan sistem komunikasi intemal tidak
dipersyaratkan, maka dapat dihubungkan dengan sistem pengeras
suara, alarm pengindera asap ataupun peralatan untuk peringatan
lainnya yang dapat didengar dan yang ditempatkan disetiap lantai
sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Penempatan Alat Pendeteksi Asap.
i. dipasang dengan permukaan menghadap ke bawah dan di luar saluran
unit pengkondisian udara, atau menggunakan sistem point sampling yang
mempunyai derajat kepekaan maksimum 0,5 % smoke obscuration/m;
ii. ditempatkan pada lokasi berkumpulnya asap panas dengan memper-
timbangkan geometri langit-langit dan efeknya pada lintasan perpindahan
asap;
iii. ditempatkan kurang dari 1,50 meter jaraknya dari pintu kebakaran; dan
iv. dipilih tipe foto-elektrik, jika dipasang di dalam saluran udara (ducts)
atau udara yang terkontaminasi partikel debu dengan ukuran kurang dari
1 µm, dan bila terdapat partikel jenis lainnya harus menggunakan
detektor tipe ionisasi. :
d. Batas Ambang.
i. Sistem sampling harus memenuhi Ketentuan yang berlaku tentang Tata
Cara Perencanaan, Pemasangan, dan Pemeriksaan Alat Deteksi dan
Alarm Kebakaran Otomatis.
ii. Penetapan batas ambang alarm bagi sistem detektor harus mengikuti
ketentuan yang berlaku, yaitu:
(1) ketentuan yang berlaku tentang Tata Cara Perencanaan Ventilasi
Mekanik dan Pengkondisian Udara dalam Bangunan Gedung; dan
(2) ketentuan yang berlaku tentang Spesifikasi Alat Pendeteksi dan
Alarm Kebakaran otomatis pada Bangunan Gedung.

3. Pengendalian Asap Kebakaran

a. Ketentuan pengendalian asap ini tidak berlaku untuk:


i. bangunan klas 1 atau 10; dan
ii. setiap ruangan yang tidak digunakan oleh penghuni untuk waktu yang
cukup lama, seperti gudang dengan luas lantai 30 m2, ruang
kompartemen sanitasi, ruang tanaman atau sejenisnya; dan
iii. ruang parkir terbuka atau panggung terbuka.
b. Persyaratan umum
i. Pada saat terjadi kebakaran, setiap rute evakuasi harus dijaga dengan
ketinggian asap sekurang-kurangnya 2.10 m di atas level lantai, sehingga
(1) temperatur ruang tidak membahayakan manusia;
(2) tingkat penglihatan memungkinkan diketahui rute evakuasinya,
(3) tingkat racun asap yang timbul tidak membahayakan manusia, untuk
selama tenggang waktu sampai dengan seluruh penghuni dapat
terevakuasi dari bangunan.
ii. Perioda tenggang waktu harus memperhitungkan keadaan bangunan dan
mobilitas manusia.
iii. Rute evakuasi merupakan jarak lintasan menerus perjalanan evakoasi/
penyelamatan dari suatu tempat (seperti pintu/ jalan keluar, ramp dan
jalur sirkulasi yang terisolasi dari kebakaran serta koridor umum) pada
setiap bagian bangunan, termasuk didalam satuan numah hunian
bangunan klas 2 atau 3 atau sebagian klas 4, sampai ke jalan atau ruang
terbuka bebas.
iv. Pada sistem pengkondisian udara terpusat yang memutar udara untuk
lebih dari satu ruangan kompartemen kebakaran:
(1) pada bangunan yang termasuk dalam butir v, harus:
(a) beroparasi seperti sistem pengendali asap; atau
(b) diatur sehingga pada kondisi kebakaran, setiap bagian yang
menyebabkan penyebaran asap yang serius antar kompartemen;
(2) pada bangunan yang termasuk dalam butir vi, harus:
(a) beroperasi seperti sistem pengendali asap sesuai ketentuan,
bersama-sama dengan kelengkapan pengendalian asap lainnya
yang dipasang untuk memenuhi ketentuan pada Tabel V.2.3.,
atau ketentuan pada butir b; atau
(b) diatur sehingga pada kondisi kebakaran, sistem tidak
mengganggu beroperasinya peralatan pengendalian asap yang
dipasang untuk memenuhi ketentuan pada Tabel V.2.3., atau
ketentuan pada butir b, dan tidak mensirkulasikan asap diantara
kompartemen kebakaran.
Untuk keperluan ketentuan ini, setiap hunian tunggal pada bangunan
klas 2 atau 3 harus diberlakukan sebagai kompartemen terpisah.
v. Untuk sistem pengatur udara lainnya, dan tidak membentuk bagian
sistem pengendali asap harus memenuhi ketentuan standar yang berlaku.
vi. Berkaitan dengan butir c berikut tentang Persyaratan Untuk Bahaya
Khusus, bila suatu bangunan tidak termasuk dalam Tabel V.2.3 pada
lampiran persyaratan teknis ini maka harus memenuhi ketentuan i, dan
persyaratan lain dari pedoman teknis ini.

c. Persyaratan untuk bahaya khusus


Upaya tambahan dalam pengendalian bahaya asap mungkin dipersyaratkan
bilamana berkaitan dengan:
i. tata letak bangunan;
ii sifat penggunaan bangunan;
iii. sifat dan jumlah bahan yang disimpan, ditaruh atau dipakai di dalam bangunan.

d. Ketentuan lebih teknis dalam pengendalian asap kebakaran untuk setiap klas
bangunan mengikuti petunjuk dan standar teknis yang berlaku.

4. Pusat Pengendali Kebakaran

a. Kegunaan dan sarana yang ada di Pusat Pengendali Kebakaran adalah:


i. sebuah ruang untuk pengendalian dan pengarahan selama berlangsungnya
operasi penanggulangan kebakaran atau penanganan kondisi darurat lainnya;
ii. dilengkapi sarana alat pengendali, panel kontrol, telepon, meubel, peralatan
dan sarana lainnya yang diperlukan dalam penanganan kondisi kebakaran;
iii. tidak digunakan bagi keperluan lain, selain:
(1) kegiatan pengendalian kebakaran; dan
(2) kegiatan lain yang berkaitan dengan unsur keselamatan atau keamanan
bagi penghuni bangunan.

b. Konstruksi.
Ruang Pusat Pengendaii Kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya
lebih dari 50 meter harus merupakan ruang terpisah, dimana:
i. konstruksi penutupnya dari beton, dinding atau sejenisnya mempunyai
kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
ii. bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya harus memenuhi persyaratan
terhadap kebakaran;
iii. peralatan utilitas, pipa, saluran udara dan sejenisnya, yang tidak diperlukan
untuk berfungsinya nuang pengendali, tidak boleh lewat ruang tersebut;
iv. bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang
pengendali dengan ruang dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi
dan lubang perawatan lainnya, yang khusus untuk melayani fungsi ruang
pengendali tersebut.

c. Proteksi pada bukaan.


Setiap bukaan pada ruang pengendali kebakaran, seperti pada lantai, langit-langit
dan dinding dalam, untuk jendela, pintu, ventilasi, saluran, dan sejenisnya harus
mengikuti syarat teknis proteksi bukaan pada Bab V.1.5

d. Pintu Keluar.
i. Pintu yang menuju ruang pengendali harus membuka ke arah dalam ruang
tersebut, dapat dikunci dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang
menggunakan rute evakuasi dari dalam bangunan tidak menghalangi atau
menutupi jalan masuk ke ruang pengendali tersebut.
ii. Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari (2) dua arah
(1) arah pintu masuk di depan bangunan; dan
(2) arah langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yang
dilindungi terhadap api, yang menuju ke tempat umum dan mempunyai
nilai TKA tidak kurang dari -/120/30.

e. Ukuran dan sarana.


i. Ruang pengendali kebakaran harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya:
(1). Panel indikator kebakaran, sakelar kontrol dan indikator visual yang
diperlukan untuk semua pompa kebakaran, kipas pengendali asap, dan
peralatan pengamanan kebakaran lainnya yang dipasang di dalam
bangunan;
(2) telepon sambungan langsung,
(3) sebuah papan tulis dan sebush papan tempel (pin-up board) berukuran
cukup; dan
(4) sebuah meja berukuran cukup untuk menggelar gambar dan rencana
taktis yang disebutkan dalam (5); dan
(5) rencana taktis penanggulangan kebakaran.
ii. Sebagai tambahan, di ruang pengendali dapat disediakan:
(1) Panel pengendali utama, panel indikator lif, sakelar pengendali jarak jauh
untuk gas atau catu daya listrik, genset darurat; dan
(2) sistem keamanan bangunan, sistem pengamatan, dan sistem manajemen,
jika dikehendaki terpisah total dari sistem lainnya.

iii. Ruang pengendali harus:


(1) mempunyai luas lantai tidak kurang dari 10 m2, dan salah satu panjangnya dari
sisi bagian dalam tidak kurang dari 2,50 m;
(2) jika hanya menampung peralatan minimum, luas lantai bersih tidak kurang dari
8 m dan luas ruang bebas di depan panel indikator tidak kurang dari 1,50 m2,
(3) jika dipasang peralatan tambahan, luas lantai bersih daerah tambahan adalah 2
m2 untuk setiap penambahan alat, ruang bebas di depan panel indikator tidak
kurang dari 1,50 m2 dan ruang untuk tiap rute evakuasi penyelamatan dari
ruang pengendali ke ruang lainnya harus disediakan sebagai tambahan
persyaratan (2) dan (3) diatas.

f. Ventilasi dan pemasok daya.


Ruang pengendali harus diberi ventilasi dengan cara:
i. ventilasi alami dari jendela atau pintu pada dinding luar bangunan yang membuka
langsung ke ruang pengendali; atau
ii. Sistem udara bertekanan yang hanya melayani ruang pengendali, dan
(1) dipasang sesuai ketentuan yang berlaku seperti untuk tangga kebakaran yang
dilindungi;
(2) beroperasi otomatis melalui aktivitas sistem alarm atau sistem sprinkler yang
dipasang pada bangunan;
(3) mengalirkan udara segar ke ruangan tidak kurang dari 30 kali pertukaran udara
perjamnya pada waktu sistem beroperasi dengan dan salah satu pintu ruangan
terbuka;
(4) mempunyai kipas, motor dan pipa-pipa saluran udara yang membentuk bagian
dari sistem, tetapi tidak berada di dalam ruang pengendali dan diproteksi oleh
dinding yang mempunyai TKA tidak lebih kecil dari 120/120/120;
(5) mempunyai catu daya listrik ke ruang pengendali atau peralatan penting bagi
beroperasinya ruang pengendali.

g. Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang pusat
pengendali, dan tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400 Lux.

h. Beberapa peralatan seperti Motor bakar, pompa pengendali sprinkler, pemipaan dan
sambungan-sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang pengendali, tetapi boleh
dipasang di ruangan-ruangan yang dapat di capai dari ruang pengendali tersebut.

i. Tingkat suara (ambient) dalam ruang pengendali kebakaran yang diukur pada saat semua
peralatan penanggulangan kebakaran beroperasi ketika kondisi darurat berlangsung
tidak melebihi 65 dbA bila ditentukan berdasarkan ketentuan tingkat kebisingan didalam
bangunan.
VI. SARANA JALAN MASUK DAN KELUAR

VI.1 FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA

1. Fungsi
a. Melengkapi bangunan dengan akses yang layak, aman, nyaman, dan
memadai bagi semua orang.
b. Melengkapi bangunan dengan sarana evakuasi yang memungkinkan
penghuni punya waktu untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa
meraskan keadaan darurat.
c. Fungsi tersebut pada butir b di atas tidak berlaku untuk unit hunian tunggal
pada bangunan klas 2, 3, atau 4.

2. Persyaratan kinerja:
a. Akses ke dan di dalam bangunan harus tersedia yang memungkinkan
pergerakan manusia secara aman, nyaman dan memadai.
b. Agar manusia dapat bergerak dengan aman ke dan di dalam bangunan maka
bangunan harus mempunyai antara lain:
i. Kemiringan permukaan lantai harus aman bagi pejalan kaki.
ii. Setiap pintu dibuat agar penghuni mudah mencapai akses keluar dan
menghindari risiko terjebak di dalam bangunan.
iii. Setiap tangga dan ramp memiliki:
(1) Permukaan lantai tidak licin pada ramp, injakan dan akhiran
injakan tangga.
(2) Pegangan rambat (handrails) yang memadai untuk membantu
kestabilan pemakai tangga/ramp
(3) Lantai bordes yang memadai uniuk menghindari keletihan
(4) Pintu di lantai bordes sedemikian hingga pintu tersebut tidak
menjadi rintangan.
(5) Tangga yang memadai untuk menampung volume dan frekwensi
penggunaan.
c. Pada area dimana orang bisa jatuh dari ketinggian 1m atau lebih dari
lantai/atap/melalui bukaan pada dinding luar bangunan, atau karena
perbedaan tinggi lantai dalam bangunan, harus dibuatkan penghalang yang:
i. menerus sepanjang area yang berbahaya.
ii. tinggi disesuaikan dengan risiko orang tanpa disengaja jatuh dari lantai
/atap.
iii. mampu menjaga lintasan anak-anak.
iv. Kuat dan kokoh menahan pengaruh orang yang menabrak, dan tekanan
orang pada penghalang tersebut.
d. Butir c tersebut di atas tidak berlaku bila penghalang tersebut digunakan
untuk panggung, tempat bongkar muat barang dan sejenisnya.
e. Butir c tersebut tidak berlaku juga untuk:
i. tangga/ramp yang diisolasi terhadap kebakaran dan area lain untuk tujuan
darurat, kecuali tangga/ramp di luar bangunan.
ii. bangunan klas 7 (kecuali tempat parkir mobil) dan klas 8.
f. Jumlah, lokasi dan dimensi pintu keluar yang tersedia pada bangunan
disediakan agar penghuni dapat menyelamatkan diri dengan aman, sesuai
dengan:
i. Jarak tempuh
ii. Jumlah, mobilitas dan karakter penghuni.
iii. Fungsi bangunan
iv. Tinggi bangunan

g. Jalan keluar harus diisolasi terhadap kebakaran dan sesuai dengan:


i. Jumlah lantai yang dihubungkan dengan pintu tersebut
ii. Sistem kebakaran yang dipasang dalam bangunan
iii. Fungsi bangunan
iv. Intervensi pasukan pemadam kebakaran

h. Agar penghuni dapat keluar dengan aman dari bangunan, dimensi jelur
lintasan menuju ke pintu keluar harus sesuai dengan .
i. Jumlah, mobilitas dan karakter lain dan penghuni
ii. Fungsi bangunan

i. Butir h tersebut di atas tidak berlaku di dalam unit hunian tunggal pada
bangunan klas 2, 3 dan 4.

VI.2 KETENTUAN JALAN KELUAR

1. Persyaratan Keamanan
a. Tangga, ramp dan lorong (gang) harus aman bagi lalu lintas pengguna
bangunan.
b. Tangga, ramp, lantai, balkon, dan atap yang dapat dicapai oleh manusia
harus mempunyai dinding pembatas, balustrade atau penghalang lainya yang
untuk melindungi pengguna bangunan terhadap risiko jatuh .
c. Ramp kendaraan dan lantai yang dapat dilewati kendaraan harus mempunyai
pembatas pinggir atau penghalang lainnya untuk melindungi pejalan kaki
dan struktur bangunannya.

2 Kebutuhan Jalan Keluar


a. Semua bangunan : Setiap bangunan harus mempunyai sedikitnya 1 jalan
keluar dari setiap lantainya.
b Bangunan klas 2 s.d. 8: Minimal harus tersedia 2 jalan ke!uar pada setiap
lapis lantainya apabila tinggi efektif bangunannya lebih dari 25 m
c. Basement: Minimal harus tersedia 2 jalan keluar pada lapis lantai manapun,
bila jalan keluar dari lapis lantai di dalam bangunan dimaksud naik lebih dari
1,5 m, kecuali:
i. luas lapis lantainya tak lebih dari 50 m2, dan
ii. jarak tempuh dari titik manapun pada lantai dimaksud ke suatu jalan
keluar tunggal tak lebih dari 20 m.
d. Bangunan klas 9: Minimal harus tersedia 2 jalan keluar pada:
i. setiap lapis lantai bila bangunan dengan jumlah lantai lebih dari 6,atau
yang ketinggian efektifnya lebih dari 25 m.
ii. setiap lapis lantai termasuk area perawatan pasien pada bangunan klas
9a.
iii. setiap lapis lantai pada bangunan klas 9b yang digunakan sebagai pusat
asuhan balita.
iv. setiap lapis lantai pada bangunan sekolah dasar dan sekolah lanjutan
pertama dengan ketinggian 2 lantai atau lebih.
v. setiap lapis lantai atau mesanin yang dapat menampung lebih dari 50
orang sesuai fungsinya.

e. Area perawatan pasien: Pada bangunan klas 9a sedikitnya harus ada 1 jalan
keluar dari setiap bagian pada lapis lantai yang telah disekat menjadi
kompartemen tahan api.

f. Panggung terbuka: Pada panggung terbuka dan menampung lebih dari 1


deret tempat duduk, setiap deret harus mempunyai minimal 2 tangga atau
ramp, masing-masing merupakan bagian jelur lintasan ke minimal 2 buah
jalan keluar.

g. Akses ke jalan keluar: Tanpa harus melalui hunian tunggal lainnya, setiap
penghuni pada lapis lantai atau bagian lapis lantai bangunan harus dapat
mencapai ke:
i. 1 jalan keluar, atau
ii. sedikitnya 2 jalan keluar, bila 2 atau lebih jalan keluar diwajibkan.

3. Jalan keluar yang diisolasi terhadap kebakaran


a. Bangunan klas 2 dan 3: Setiap jalan keluar harus diisolasi terhadap kebakaran,
kecuali jalan tersebut menghubungkan tidak lebih dari:
i. 3 lapis lantai berurutan dalam suatu bangunan klas 2, atau
ii. 2 lapis lantai berurutan dalam suatu bangunan klas 3, dan termasuk 1 lapis
lantai tambahan bila digunakan sebagai tempat menyimpan kendaraan
bermotor atau tempat pelengkap lainnya.
b. Bangunan kelas 5 s.d. 9 : Setiap jalan keluar harus diisolasi terhadap bahaya
kebakaran kecuali:
i. pada bangunan klas 9a: tidak menghubungkan lebih dari 2 lapis lantai secara
berurutan pada suatu tempat, selain area perawatan pasien;
ii. merupakan bagian dari tribun penonton terbuka;
iii. tidak menghubungkan lebih dari 2 lapis lantai secara berurutan, bila
bangunan tersebut mempunyai sistem sprinkler yang menyeluruh.

4. Jarak jalur menuju pintu keluar


a. Bangunan klas 2 dan 3
i. Pintu masuk dari setiap hunian tunggal harus berjarak tidak lebih dari:
(1) 6 m dari jalan keluar atau dari tempat dengan jalur yang berbeda arah
menuju ke 2 pintu keluar tersedia, atau
(2) 20 m dari pintu keluar tunggal pada lapis lantai yang merupakan jalan
keluar ke jalan atau ke ruang terbuka.
ii. Setiap tempat dalam ruangan yang bukan pada unit hunian tunggal, harus
kurang dari 20 m dari pintu keluar atau tempat jalur dua arah menuju ke 2
pintu keluar tersedia.

b. Bagian bangunan klas 4: Pintu masuk harus tidak lebih dari 6 m dari pintu keluar,
atau dari tempat dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar tersedia.
c. Bangunan klas 5 s.d. 9: Terkena aturan butir d, e, f, dan:
i. Setiap tempat harus berjarak tidak lebih 20 m dari pintu keluar, atau tempat
dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar tersedia, jika jarak
maksimum ke salah satu pintu keluar tersebut tidak melebihi 40 m, dan
ii. Pada bangunan klas 5 atau 6, jarsk ke pintu keluar tunggal pada lapis lantai
yang merupakan akses ke jalan atau ke ruang terbuka dapat diperpanjang
sampai 30 m.

d. Bangunan klas 9a: Area perawatan pasien pada bangunan klas 9a.
i. Setiap tempat pada lantai harus berjarak tidak lebih 12 m dari tempat dengan
jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar yang dipersyaratkan tersedia.
ii. Jarak maksimum dari satu tempat ke salah satu dari pintu keluar tersebut
tidak lebih dari 30 m.

e. Panggung Terbuka: Jarak jalur lintasan menuju ke pintu keluar pada bangunan
klas 9b yang dipakai sebagai panggung terbuka harus tidak lebih dari 60 m.

f. Gedung Pertemuan: Pada bangunan klas 9b selain gedung sekolah atau pusat
asuhan balita, jarak ke salah satu pintu keluar dimungkinkan 60 m, bila :
i. jalur lintasan dari ruang tersebut ke pintu keluar melalui lorong/koridor.
lobby, ramp, atau ruang sirkulasi lainnya, dan
ii. konstruksi ruang tersebut bebas asap, memiliki TKA tidak kurang dari
60/60/60 dan konstruksi setiap pintunya terlindung serta dapat menutup
sendiri dengan ketebalan tidak kurang dari 35 mm.

5. Jarak Antara Pintu-pintu Keluar Alternatif.


Pintu yang disyaratkan sebagai alternatif jalan keluar harus:
a. tersebar merata di sekeliling lantai dimaksud sehingga akses ke minimal dua pintu
keluar tidak terhalang dari semua tempat termasuk area lif di lobby;
b. berjarak tidak kurang dari 9 m;
c. berjarak tidak lebih dari:
i. 45 m pada bangunan klas 2 atau klas 3, atau
ii. 45 m pada bangunan klas 9a, bila disyaratkan untuk pintu keluar pada tempat
perawatan pasien, atau
iii. 60 m, untuk bangunan lainnya.
d. terletak sedemikian hingga alternatif jalur lintasan tidak bertemu hingga berjarak
kurang dari 6 m.

6. Dimensi/ukuran Pintu Keluar.


Pintu keluar yang disyaratkan atau jalur sirkulasi ke jalan keluar:
a. tinggi bebas seluruhnya harus tidak kurang dari 2 m;
b. jika lapis lantai atau mesanin menampung tidak lebih dari 100 orang, lebar bebas,
kecuali pintu keluar harus tidak kurang dari:
i. 1 m, atau
ii. 1,8 m pada lorong, koridor atau ramp yang digunakan untuk jalur sirkulasi
pasien di tempat tidur pada area atau bangsal perawatan
c. jika lapis lantai atau mesanin menampung lebih dari 100 orang tetapi tidak lebih
dari 200 orang, lebar bebas, kecuali pintu keluar harus tidak kurang dari:
i. 1 m ditambah 250 mm untuk setiap kelebihan 25 orang, atau
ii. 1,8 m pada lorong, koridor atau ramp yang digunakan untuk jalur sirkulasi
pasien di tempat tidur pada area atau bangsal perawatan.
d. jika lapis lantai atau mesanin menampung lebih dari 200 orang, lebar bebas,
kecuali pintu keluar harus ditambah menjadi:
i. 2 m ditambah 500 mm untuk setiap kelebihan 60 orang jika jalan keluar
mencakup perubahan ketinggian lantai oleh tangga atau ramp dengan tinggi
tanjakan 1:12, atau
ii. pada kasus lain, 2 m ditambah 500 mm untuk setiap kelebihan 75 orang.
e. pada panggung penonton yang menampung lebih dari 2000 orang, lebar bebas,
kecuali untuk pintu keluar harus diperlebar sampai 17 m ditambah dengan angka
kelebihan tersebut dibagi 600.
f. lebar pintu keluar:
i. pada area perawatan pasien, jika membuka ke arah koridor dengan
(1) lebar koridor antara 1,8 m - 2,2 m: 1200 mm.
(2) lebar koridor lebih dari 2,2 m: 1070 mm.
(3) pintu keluar horisontal: 1250 mm.
ii. lebar dari setiap pintu keluar yang memenuhi ketentuan butir b, c, d atau e,
minus 250 mm;
iii. 750 mm, bila pintu tersebut untuk kompartemen sanitasi atau kamar mandi.
g. lebar pintu keluar tidak boleh berkurang pada jalur lintasan ke jalan atau ruang
terbuka.

7. Jalur Lintasan Melalui Jalan Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran,


a. Pintu dalam ruangan harus tidak membuka langsung ke arah tangga, lorong, atau
ramp yang disyaratkan diisolasi terhadap kebakaran, kecuali kalau pintu tersebut
dari:
i. lobby umum, koridor, hall atau yang sejenisnya;
ii. unit hunian tunggal yang menempati seluruh lapis lantai;
iii. komponen sanitasi, ruang transisi atau yang sejenisnya.

b. Setiap tangga atau ramp tahan api harus menyediakan pintu keluar tersendiri dari
tiap lapis lantai yang dilayani dan keluar secara langsung atau melawati lorong
yang diisolasi terhadap kebakaran yang ada di lantai tersebut:
i. ke jalan atau ruang terbuka, atau
ii. ketempat:
(1) ruang atau lantai yang digunakan hanya untuk pejalan kaki, parkir
kendaraan atau sejenisnya, dan tertutup tidak lebih dari 1/3 kelilingnya.
(2) lintasan tanpa rintangan, tidak lebih dari 20 m, tersedia menuju ke jalan
atau ruang terbuka.
iii. ke area tertutup yang:
(1) berbatasan dengan jalan atau ruang terbuka,
(2) terbuka untuk sedikitnya 1/3 dari keliling area tersebut;
(3) mernpunyai ketinggian bebas rintangan di semua bagian termasuk
bukaan pada keliling area yang tidak kurang dari 3 m;
(4) mempunyai lintasan bebas rintangan dari tempat keluar ke jalan atau
ruang terbuka yang tidak lebih dan 6 m.

c. Bila lintasan keluar bangunan mengharuskan melewati 6 m dari dinding luar


bangunan dimaksud, diukur tegak lurus ke jalur lintasan, bagian dinding tersebut
harus mempunyai:
i. TKA sedikitnya 60/60/60,
ii. bukaan terlindung di bagian dalam dilindungi sesuai ketentuan Proteksi
Bukaan pada Bab V.1.5.

d. Jika Jebih dari dua akses pintu, bukan dari komponen sanitasi atau sejenisnya,
membuka ke pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran pada lantai dimaksud
i lobby bebas asap sesuai dengan Bab V.2.3 harus tersedia
ii. pintu keluar bertekanan udara sesuai standar yang berlaku.

e. bangunan klas 9a : Ramp harus tersedia untuk setiap perubahan ketinggian kurang
dari 600 mm pada lorong yang diisolasi terhadap kebakaran.

8. Tangga Luar Bangunan


Tangga luar bangunan dapat berfungsi sebagai pintu keluar yang disyaratkan
menggantikan pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran, pada bangunan dengan
ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m, bila konstruksi tangga tersebut (termasuk
jembatan penghubung) secara keseluruhan dari bahan yang tidak mudah terbakar, dan
memenuhi ketentuan teknis yang berlaku.

9. Lintasan Melalui Tangga/Ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran


a. Tangga/ramp, yang tidak diisolasi terhadap kebakaran, yang berfungsi sebagai
pintu keluar yang disyaratkan harus mempunyai jalan lintasan menerus, dengan
injakan dan tanjakan dari setiap lantai yang dilayani menuju ke lantai dimana pintu
keluar ke jalan atau ruang terbuka disediakan

b. Pada bangunan klas 2, 3 atau 4, jarak antara pintu keluar dari ruang atau unit
hunian tunggal dan tempat keluar menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui
tangga atau ramp yang tidak diisolasii terhadap kebakaran harus tidak melampaui:
i. 30 m pada konstruksi bangunan tipe C, atau
ii. 60 m pada konstruksi bangunan lainnya.

c. Pada bangunan klas 5 s.d. 9, jarak antara sembarang tempat pada lantai ke tempat
keluar menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui tangga/ramp yang tidak
diisolasi terhadap kebakaran harus tidak melebihi 80 m.

d. Pada bangunan klas 2, 3 atau 9a, tangga/ramp yan tidak diisolasi terhadap
kebakaran harus keluar pada tempat yang tidak lebih dari
i. 15 m dari pintu keluar yang menyediakan jalan keluar menuju ke jalan atau
ruang terbuka, atau dari lorong yang diisolasi terhadap kebakaran menuju ke
Jalan atau ruang terbuka, atau
ii. 30 m dan salah satu dari dua pintu atau lorong keluar bila arah tangga/ramp
yang tidak diisolasi terhadap kebakaran berlawanan atau hampir berlawanan
arah.

e. Pada bangunan klas 5 s d. 8 ata u 9b, tangga/ramp yang tidak diisolasi torhadap
kebakaran harus keluar ke tempat yang tidak lebih dari:
i. 20 m dari pintu keluaar yang menyediakan jalan keluar menuju ke jalan atau
ruang terbuka, atau dari lorong yang diisolasi terhadap kebakaran menuju ke
jalan atau ruang terbuka, atau
ii. 40 m dari salah satu dari dua pintu atau lorong keluar: arah tangga/ramp
yang tidak diisolasi terhadap kebakaran berlawanan atau hampir berlawanan
arah.

f. Pada bangunan klas 2 atau 3, bila dua atau lebih pintu keluar disyaratkan dan
disediakan sebagai sarana tangga/ramp yang tidak diisolasi. terhadap kebakaran
dalam bangunan, maka masing-masing pintu keluar tersebut harus :
i menyediakan jalan keluar terpisah menuju ke jalan atau ruang terbuka;
ii. bebas asap.

10. Keluar Melalui Pintu-Pintu Keluar


a. Pintu keluar harus tidak terhalang, dan bila perlu dibuat penghalang untuk
mencegah kendaraan menghalangi jalan keluar atau akses menuju ke pintu keluar
tersebut.
b. Jika pintu keluar yang disyaratkan menuju ke ruang terbuka, lintasan ke arah jalan
harus mempunyai lebar bebas tidak kurang dan 1 m, atau lebar minimum dari
pintu keluar yang disyaratkan, atau mana yang lebih lebar.
c. Jika pintu keluar menuju ke ruang terbuka yang terletak pada ketinggian berbeda
dengan jalan umum yang menghubungkannya, jalur lintasan menuju ke jalan harus
i. berupa ramp atau lereng dengan kemiringan kurang dari 1:8, atau tidak
setinggi 1.14 bila disyaratkan oleh ketentuan Bab. Vl.2.4;
ii. kecuali bila pintu keluar dari bangunan klas 9a, tangga memenuhi ketentuan
dari pedoman ini.
d. Pada bangunan klas 9b, panggung terbuka yang menampung lebih dari 500 orang,
tangga atau ramp yang disyaratkan harus tidak keluar ke arah area di depan
panggung tersebut.

e. Pada bangunan klas 9b dengan auditorium yang menampung lebih dan 500 orang,
tidak lebih dari 2/3 lebar pintu keluar yang disyaratkan harus terletak di area pintu
masuk utama.

11 Pintu Keluar Horisontal.


a. Pintu keluar horisontal bukan merupakan pintu keluar yang disyaratkan apabila:
i. antara unit hunian tunggal;
ii. pada bangunan klas 9b yang digunakan untuk pusat asuhan balita bagunan
SD atau SLTP.

b. Pada bangunan klas 9a, pintu keluar horisontal dapat dianggap sebagai pintu
keluar yang disyaratkan, bila jalur lintasan dari kompartemen kebakaran menuju
ke satu atau lebih pintu keluar horisontal langsung menuju ke kompartemen
kebakaran lainnya, dan mempunyai sedikitnya satu pintu keluar yang disyaratkan
yang bukan pintu keluar horisontal

c. Kasus selain butir b di atas, pintu keluar horisontal harus tidak lebih dari separuh
pintu keluar yang disyaratkan pada lantai yang dipisahkan oleh dinding tahan api

d. Pintu keluar horisontal harus mempunyai area bebas disetiap sisi dinding tahan api
untuk menampung jumlah orang dari seluruh bagian lantai dengan tidak kurang
dari:
i. 2.5 m2 tiap pasien pada bangunan klas 9a, dan
ii. 0,5 m2 tiap orang pada klas bangunan lainnya.

12. Tangga, Ramp Atau Eksalator Yang Tidak Disyaratkan


Eskalator dan tangga/ramp pejalan kaki yang ditetapkan tidak diisolasi terhadap
kebakaran
a. harus tidak digunakan di area perawatan pasien pada bangunan klas 9a
b. dapat menghubungkan sejumlah lantai bangunan bila tangga, ramp atau eskalator
tersebut
i. pada panggung terbuka atau stadion olah raga tertutup;
ii pada area parkir kendaraan atau atrium;
iii. di luar bangunan;
iv. pada bangunan klas 5 atau 6 yang dilengkapi dengan fasilitas sprinkler
menyeluruh, dan eskalator, tangga atau ramp disyaratkan memenuhi
ketentuan butir 12 ini
c. kecuali diijinkan sesuai butir b di atas; tidak harus menghubungkan lebih dari
i. 3 lantai, bila tiap lantai tersebut dilengkapi dengan sprinkler menyeluruh
sesuai ketentuan Bab V.2. 1.c, atau
ii. 2 lantai
dengan ketentuan lantai bangunan tersebut harus berurutan, dan satu dari
lapis lantai tersebut terletak pada ketinggian yang terdapat jalan keluar
langsung ke arah jalan atau ruang terbuka.
d. kecuali bila dijinkan sesuai butir b atau c di atas, harus tidak menghubungkan
secara langsung atau tidak langsung ke lebih dari 2 lapis lantai pada bangunan klas
5, 6, 7, 8 atau 9.

13. Ruang Peralatan Dan Ruang Motor Lift


a. Bila ruang peralatan atau ruang, motor lif mempunyai luasan
i. tidak lebih dari 100 m2, tangga pengait (ladder) dapat dipakai sebagai
pengganti tangga (stairway) dari setiap tempat jalan keluar dari ruangan;
ii. lebih dari 100 m2 dan tidak lebih dari 200 m2, dan bila 2 atau lebih tempat
jalan keluar tersedia dalam ruangan tersebut, tangga pengait dapat dipakai
sebagai pengganti tangga seluruhnya, kecuali satu dari jalan keluar tersebut.
b. Tangga pengait diijinkan menurut (a) di atas, bila:
i. merupakan bagian dari jalan keluar yang tersedia pada tangga yang diisolasi
terhadap kebakaran yang terdapat dalam saf;
ii. dapat keluar pada lantai dan dipertimbangkan sebagai bagian dari jalur
lintasan;
iii. harus memenuhi standar teknis terkait bila untuk ruang peralatan dan untuk
ruang motor lift.

14. Jumlah Orang Yang Ditampung


Jumlah orang yang ditampung dalam satu lantai, ruang atau mesanin harus ditentukan
dengan mempertimbangkan kegunaan atau fungsi bangunan, tata letak lantai tersebut,
dan luas lantai dengan:
a. menghitung total jumlah orang tersebut dengan membagi luas lantai dari tiap lapis
menurut Tabel Vl.2 sesuai jenis penghunian, tidak termasuk area yang dirancang
untuk:
i. lift, tangga, ramp, eskalator, koridor, hall, lobby dan yang sejenis, dan
ii. service duct dan yang sejenis, kompartemen sanitasi atau penggunaan
tambahan, atau
b. mengacu kepada kapasitas tempat duduk di ruang atau bangunan gedung
pertemuan, atau
c. cara lain yang sesuai untuk menilai kapasitasnya.

Tabel VI.2
LUASAN PER-ORANG SESUAI PENGGUNAANNYA (BEBAN PENGHUNIAN)

Jenis Penggunaan m2/orang Jenis Penggunaan m2/orang


Galeri seni, ruang pamer, museum 4 Kantor (pengetikan dan fotokopi) 10
Bar, café, gereja, ruang makan 1 Ruang Perawatan Pasien 10
Ruang pengurus 2 Ruang industri : - ventilasi, listrik, dll 30
Pemondokan/losmen 15 - boiler/sumber tenaga 50
Ruang komputer 25
Ruang sidang pengadilan: r. 10 Ruang baca 2
tunggu 1 Restoran 1
r. sidang 0,5 Sekolah : r. kelas umum 2
Ruang dansa 5 gedung serba guna 1
Asrama 4 ruang staf 10
Pusat Penitipan Balita ruang praktek: SD 4
Pabrik: 5 SLTP bengkel
- r. manufaktur, prosesing , Pertokoan, r. penjualan:
r. kerja, workshop 50 Level langsung dari luar 3
- ruang untuk fabrikasi dan Level lainnya 5
proses selain di atas 30 r. pamer : r. peragaan,mall, arcade 5
Garasi-garasi umum 3 Panggung penonton: darah panggung 0,3
Ruang senam/gymnasium 15 Kursi penonton 1
Hotel, hostel, motel, guest-house 10 R. penyimpanan r. elktrikal, r. telepon 30
Stadion indoor area 1 Kolam renang 1,5
Kios 10 Teater dan Hall 1
Dapur, laboratorium, tempat cuci 2 R. ganti di teater 4
Perpustakaan : - r. baca, 30 Terminal 2
- r penyimpanan Bengkel / workshop : staf pemeliharaan 30
Proses manufaktur pabrik

VI.3 KONSTRUKSI JALAN KELUAR

1. Penerapan
Kecuali ketentuan butir 13 den 16, persyaratan ini tidak berlaku untuk unit
hunian tunggal pada bangunan klas 2 atau 3 atau bagian klas 4.

2. Tangga Dan Ramp Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran


Tangga atau ramp yang disyaratkan berada di dalam saf tahan api harus dengan
konstruksi:
a. dari material tidak mudah terbakar;
b. bila terjadi kenusakan setempat tidak merusak struktur yang dapat
melemahkan ketahanan saf terhadap api.

3. Tangga Dan Ramp Yang tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran


Untuk bangunan dengan ketinggian lebih dari 2 lantai, tangga dan ramp yang
tidak disyaratkan berada di dalam saf tahan api harus dengan konstruksi sesuai
ketentuan butir 2 diatas, atau dengan konstruksi:
a. beton bertulang atau beton prestressed,
b. baja dengan tebal minimal 6 mm
c. kayu:
i. dengan ketebalan minimal 44 mm setelah finishing
ii. dengan berat jenis rata-rata tidak kurang dari 800 kg/m3 pada
kelembaban 12%
iii. yang direkatkan dengan perekat khusus seperti resorcinol formaldehyde
atau resorcinol phenol formaldehyde

4. Pemisahan tanjakan dan turunan tangga


Bila tangga dipakai sebagai jalan keluar, disyaratkan untuk diisolasi terhadap
kebakaran, dan:
a. harus tidak ada hubungan langsung antara
i. tanjakan tangga dari lantai di bawah lantai dasar ke arah jalan atau ruang
terbuka; dan
ii. turunan tangga dari lantai di atas lantai dasar;
b. setiap konstruksi yang memisahkan tanjakan dan turunan tangga harus tidak
mudah terbakar dan mempunyai TKA minimal 60/60/60.

5. Ramp dan Balkon Akses yang Terbuka


Bila ramp dan balkon akses yang terbuka merupakan bagian dari jalan keluar
yang disyaratkan, maka harus:
a. mempunyai bukaan ventilasi ke udara luar dimana:
i. luas total area bebas minimal seluas ramp atau balkon
ii. tersebar merata sepanjang sisi terbuka ramp atau balkon
b. pada area terbuka dengan ketinggian 1 m tidak tertutup, kecuali dengan grill
atau sejenisnya dengan ruang bebas udara minimal 75% dari area tersebut.

6. Lobby Bebas Asap


Lobby bebas asap yang disyaratkan sesuai Bab VI.2.7 harus:
a. mempunyai luas minimal 6 m2,
b. terpisah dari area hunian dengan dinding kedap asap, di mana:
i. mempunyai TKA minimal 60/60/-;
ii. terbentang antar balok lantai, atau ke bagian bawah langit-langit yang
tahan penjalaran api sampai 60 menit;
iii. setiap sambungan konstruksi antara bagian atas dinding balok lantai,
atap atau langit-langit harus ditutup dengan bahan yang bebas asap;
c. di setiap bukaan dari area hunian, mempunyai pintu bebas asap sesuai
standar teknis yang berlaku, atau terdapat alat sensor asap diletakkan dekat
dengan sisi bukaan;
d. diberi tekanan udara sebagai bagian dari pintu keluar, bila pintu keluar
disyaratkan harus diberi tekanan udara.

7. Instalasi Pada Jalan Keluar Dan Jalur Lintasan


a. Jalan masuk ke saf servis dan lainnya, kecuali ke peralatan pemadam atau
deteksi kebakaran sesuai yang diijinkan dalam pedoman ini, tidak harus
disediakan dari tangga, lorong atau ramp yang diisolasi terhadap kebakaran.
b. Bukaan pada saluran atau duct yang membawa hasil pembakaran yang
panas harus tidak diletakkan di bagian manapun dari jalan keluar yang
disyaratkan, koridor, gang, lobby, atau sejenisnya yang menuju ke jalan
keluar tersebut.
c. Gas atau bahan bakar lainnya harus tidak dipasang di jalan keluar yang
disyaratkan.
d. Peralatan harus tidak dipasang di jalan keluar yang disyaratkan, atau
koridor, gang, lobby atau sejenisnya yang menuju ke jalan keluar tersebut,
bila peralatan dimaksud terdiri atas:
i. meter listrik, panel atau saluran distribusi,
ii. panel atau peralatan distribusi telekomunikasi sentral, dan
iii. motor listrik atau peralatan motor lain dalam bangunan, kecuali
terlindung oleh konstruksi yang tidak mudah terbakar atau tahan api
dengan pintu atau bukaan yang terlindung dari penjalaran asap.

8. Perlindungan Pada Ruang Di Bawah Tangga Dan Ramp


a. Tangga dan ramp tahan api: Bila ruang di bawah tangga atau ramp tahan api
yang disyaratkan berada di dalam saf tahan api, maka bagian tangga atau
ramp tersebut harus tidak tertutup.
b. Tangga dan ramp tidak tahan api: Ruang di bawah tangga atau ramp tidak
tahan api yang disyaratkan (termasuk tangga luar) harusnya tidak tertutup,
kecuali:
i. dinding dan langit-langit sekelilingnya mempunyai TKA minimal
60/60/60
ii. setiap pintu masuk ke ruang tertutup tersebut dilengkapi dengan pintu
tahan api dengan TKA -/60130 yang dapat menutup secara otomatis

9. Lebar Tangga
a. Lebar tangga yang disyaratkan harus:
i. bebas halangan, seperti pegangan rambat (handrail), bagian dari
balustrade, dan sejenisnya,
ii. lebar bebas halangan, kecuali untuk list langit-langit, sampai ketinggian
tidak kurang dari 2 m, vertikal di atas garis sepanjang nosing injakan
tangga atau lantai bordes.
b. Lebar tangga melebihi 2m dianggap mempunysi lebar hanya 2 m, kecuali
dipisahkan oleh balustrade atau pegangan rambat menerus antara lantai
bordes dan lebar masing-masing bagian kurang dari 2 m.

10. Ramp Pejalan Kaki


a. Ramp yang diisolasi terhadap kebakaran dapat menggantikan tangga, bila
konstruksi yang menutup ramp, lebar dan tinggi langit-langit sesuai
persyaratan untuk tangga yang diisolasi terhadap kabakaran.
b. Ramp yang berfungsi sebagai jalan keluar yang disyaratkan harus
mempunyai tinggi tanjakan tidak kurang dari:
i. 1:12 pada area perawatan pasien di bangunan klas 9a
ii. disyaratkan sesuai ketentuan Bab VI.4
iii. 1:8 untuk kasus lainnya
c. Permakaan lantai ramp harus dengan bahan yang tidak licin.

11. Lorong Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran


a. Konstruksi lorong yang diisolasi terhadap kebakaran harus dari material
yang tidak mudah terbakar, di mana:
i. Iorong keluar dari tangga atau ramp yang diisolasi terhadap kebakaran,
TKA tidak kurang dari yang disyaratkan untuk saf tangga atau ramp,
ii. pada kasus lain TKA tidak kurang dari 60/60/60.
b. Meskipun dengan ketentuan butir a.ii, konstruksi atas dari lorong yang
diisolasi terhadap kebakaran tidak perlu punya TKA, bila dinding lorong
tersebut merupakan perluasan dari:
i. penutup atap yang tidak mudah terbakar
ii. langit-langit dengan ketahanan terhadap penjalaran api tidak kurang dari
60 menit dan dalam kompartemen kebakaran.

12. Atap Sebagai Ruang Terbuka


Jika pintu keluar menuju ke atap bangunan, atap tersebut harus
a. mempunyai TKA tidak kurang dari 120/120/120,
b. tidak terdapat pencahayaan atau bukaan atap iainnya sepanjang 3 m dari
jalur lintasan yang dipakai untuk keluar mencapai jalan atau ruang terbuka.

13. Injakan Dan Tanjakan Tangga


Tangga harus mempunyai:
a. tidak lebih dari 18 atau kurang dari 2 tanjakan;
b. injakan, tanjakan, dan jumlah sesuai standar teknis;
c. injakan dan tanjakan konstan;
d. bukaan antara injakan maksimum 125 mm;
e. ujung injakan dekat nosing diberi finishing yang tidak licin;
f. injakan harus kuat bila tinggi tangga lebih dari 10 m atau menghubungkan
lebih dari 3 lantai.

14. Bordes
a. Bordes tangga dengan maksimum kemiringan 1: 50 dapat digunakan, untuk
mengurangi jumlah tanjakan dan setiap bordes harus:
i. panjangnya tidak kurang dari 550 mm diukur dari tepi dalam bordes,
ii. tepi bordes diberi finishing yang tidak licin.
b. Bangunan klas 9a:
i. Luas bordes harus cukup untuk gerakan usungan yang berukuran
panjang 2 m dan lebar 60 cm,
ii. Sudut arah naik dan turun tangga harus 180°, lebar minimal bordes 1,6
m dan panjangnya minimal 2,7 m.

15. Ambang Pintu


Ambang pintu tidak mengenai anak tangga atau ramp minimal selebar daun
pintu kecuali:
a. ruang perawatan pasien bangunan klas 9a, ambang pintu tidak lebih dan 25
mm di atas ketinggian lantai dimana pintu membuka,
b. kasus lainnya
i. pintu terbuka ke arah jalan atau ruang terbuka, tangga atau balkon luar
ii. ambang pintu tidak lebih dari 190 mm di atas permukaan tanah, balkon
atau yang sejenis dimana pintu membuka.

16. Balustrade
a Balustrade menerus harus tersedia sekeliling atap yang terbuka untuk
umum, tangga, ramp, lantai, koridor, balkon dan sejenisnya, bila:
i. tidak dibatasi dengan dinding,
ii. tinggi lebih dari 1 m di atas lantai atau dibawah muka tanah, kecuali
sekeliling panggung, tempat bongkar muat barang atau tempat lain bagi
staf untuk pemeliharaan.
b. Balustrade pada:
i. tangga/ramp yang diisolasi terhadap kebakaran atau area lain untuk
keadaan darurat, kecuali tangga/ramp luar bangunan, dan
ii. bangunan klas 7 (kecuali tempat parkir) serta klas 8, harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.i.
c. Balustrade, tangga, dan ramp di luar ketentuan butir b harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.i.
d. Balustrade sepanjang sisi atau dekat permukaan horisontal seperti:
i. atap, yang tersedia akses untuk umum dan jalur masuk ke bangunan,
ii. lantai, koridor, balkon, lorong, mesanin dan sejenisnya, harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.ii.
e. Balustrade atau penghalang lain di depan tempat duduk permanen pada
balkon atau mesanin auditorium bangunan klas 9b harus sesuai ketentuan
f.iii dan g.ii.
f. Tinggi balustrade:
i. minimal 865 mm di atas nosing injakan tangga atau lantai ramp
ii. tidak kurang dari 1 m di atas lantai akses masuk, balkon dan sejenisnya,
iii. Balustrade sesuai ketentuan butir e, tinggi di atas lantai tidak kurang
dari 1m, atau 700 mm bila tonjolan keluar dari bagian atas balustrade
diproyeksikan mendatar tidak kurang dari 1 m.
g. Bukaan pada balustrade memenuhi ketentuan butir b, bila dibuat sesuai
i. Jarak antara lebar bukaan tidak lebih dari 300 mm
ii. Bila menggunakan jeruji, tinggi jeruji tidak lebih dan 150 mm di atas
nosing injakan tangga atau lantai bordes, balkon atau sejenisnya dan
jarak antar jeruji tidak lebih dari 460 mm.

17. Pegangan Rambat Pada Tangga


a. Pegangan rambat harus tersedia untuk membantu orang agar aman
menggunakan tangga atau ramp.
b. Pegangan rambat memenuhi ketentuan butir a tersebut bila:
i. sedikitnya dipasang sepanjang satu sisi ramp/tangga
ii dipasang pada dua sisi bila lebar tangga/ramp 2 m atau lebih
iii. bangunan klas 9b untuk sekolah dasar, dipasang permanen dengan
tinggi minimal 865 mm dengan jeruji pendukung permanen setinggi
minimal 700 mm.
c. Pada bangunan klas 9a harus tersedia sedikitnya sepanjang satu sisi dari
setiap lorong atau koridor yang digunakan oleh pasien, dan harus:
i. permanen sedikitnya 50 mm dari dinding
ii. dibuat menerus

18. Pintu
Sebagai pintu keluar yang disyaratkan:
a. bukan pintu berputar
b. bukan pintu gulung,
i. kecuali dipasang pada bangunan atau bagian bangunan klas 6, 7, 8
dengan luas lantai tidak lebih dari 200 m2,
ii. merupakan satu-satunya pintu keluar yang disyaratkan dalam bangunan
c. bukan pintu sorong, kecuali:
i membuka secara langsung ke arah jalan atau ruang terbuka
ii. pintu dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dari 110 N.
d. bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik:
i. harus dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dan 110 N.
bila terjadi kerusakan atau tidak berfungsinya tenaga listrik
ii. membuka langsung ke arah jalan atau ruang terbuka harus dapat
membuka secara otomatis bila terjadi kegagalan pada daya listrik, alarm
kebakaran dan lainnya.

19. Pintu Ayun


a. Tidak mengganggu lebih dari 500 mm pada lebar yang disyaratkan dari
tangga, lorong atau ramp, termasuk bordes.
b. Bila terbuka sempurna, lebih dari 100 mm pada lebar pintu keluar yang
disyaratkan.
c. Ayunan harus searah akses keluar, kecuali:
i. melayani bangunan atau bagian bangunan dengan luas tidak lebih dari
200 m2, merupakan satu-satunya pintu keluar dari bangunan dan
dipasang alat pegangan pada posisi membuka,
ii. melayani kompartemen saniter.

20. Pengoperasian Gerendel Pintu


Pintu yang disyaratkan sebagai lintasan, bagian atau jalan keluar harus siap
dibuka tanpa kunci dari sisi dalam dengan satu tangan, dengan mendorong alat
yang dipasang pada ketinggian antara 0,9 - 1,2 m dari lantai, kecuali bila:
a. melayani komponen sanitasi atau sejenisnya,
b. hanya melayani:
i. unit hunian tunggal pada bangunan klas 2, 3, atau bagian klas 4,
ii. unit hunian tunggal dengan luas area tidak lebih dari 200 m2 pada
bangunan klas 5, 6, 7, atau 8,
iii. ruangan yang tidak aksesibel sepanjang waktu bila pintu terkunci.
c. melayani hunian yang perlu pengamanan khusus dan dapat segera dibuka:
i. dengan mengoperasikan alat pengontrol untuk mengaktifkan alat untuk
membuka pintu,
ii. dengan tangan, khususnya oleh pemilik, sehingga orang dalam
bangunan segera dapat menyelamatkan diri bila terjadi kebakaran atau
keadaan darurat lainnya.
d. melayani lantai atau ruang yang menampung lebih dari 100 orang, pada
bangunan klas 9b, kecuali bangunan sekolah, panti asuhan balita atau
bangunan keagamaan.

21. Masuk Dari Pintu Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran


Pintu harus tidak terkunci dari dalam tangga/ramp/lorong yang diisolasi
terhadap kebakaran untuk melindungi orang yang masuk kembali ke lantai atau
ruang yang dilayani pada
a. bangunan klas 9a
b. bangunan dengan tinggi efektif lebih 25 m, kecuali semua pintu secara
otomatis terkunci dengan alat yang mengaktifkan alarm kebakaran, dan
i. sedikitnya setiap 4 tingkat terdapat pintu tidak terkunci dan terdapat
rambu permanen bahwa dapat dilalui;
ii. tersedia sistem komunikasi internal, sistem audibel/visual alarm yang
droperasikan dari dalam ruangan khusus dekat pintu, dan juga rambu
permanen tentang cara mengoperasikannya.

22. Rambu Pada Pintu


a. Rambu, untuk memberi tanda pada orang bahwa pintu tertentu harus tidak
dihalangi, dipasang ditempat yang mudah dilihat atau dekat dengan
pintu-pintu tahan api dan asap.
b. Rambu tersebut harus dibuat dengan huruf kapital minimal tinggi huruf 20
mm, warna kontras dan menyatakan bahwa pintu jangan dihalangi.

VI.4 AKSES BAGI PENYANDANG CACAT

1. Untuk bangunan yang digunakan untuk pelayanan umum harus dilengkapi


dengan fasilitas yang memberikan kemudahan akses dan sirkulasi bagi semua
orang, termasuk penyandang cacat.

2. Ketentuan-ketentuan teknis lebih lanjut mengenai akses bagi penyandang cacat


pada butir a di atas mengikuti Pedoman Teknis Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan.
VII. TRANSPORTASI DALAM GEDUNG

VII. 1 LIF

1. Kapasitas Lif

a. Kapasitas angkut yang dinyatakan dalam izin, harus menjadi kapasitas


angkut dari lif dimaksud.
b. Kapasitas angkut lif penumpang yang diizinkan, harus tertulis pada sangkar
dan dinyatakan dalam jumlah orang yang dapat diangkut.
c. Kapasitas angkut lif barang yang diizinkan, harus tertulis dalam sangkar dan
dinyatakan dalam Kg.
d. Jumlah dan kapasitas lif harus mampu melakukan pelayanan yang optimal
untak sirkulasi vertikal pada bangunan.
e. Waktu tunggu lif, harus disesuaikan dengan standar teknis yang berlaku.

2. Lift Kebakaran

a. Lif kebakaran dapat berupa lif penumpang biasa atau lif barang yang dapat
diatur, sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh
petuugas Kebakaran, tanpa terganggu oleh sakelar panggil lainnya.
b. Persyaratan teknis dari lif yang digunakan sebagai lif kebakaran harus
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
c. Untuk mengubah fungsi lif penumpang atau lif barang menjadi lif
kebakaran, harus dengan cara menekan sakelar kebakaran (Fire Switch)
terlebih dahulu.
d. Kecepatan dan ukuran sangkar lif kebakaran disesuaikan dengan standar
teknis yang berlaku.
e. Pintu saf lif kebakaran harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan yang
berlaku di Indonesia.
f. Lif kebakaran harus dapat berhenti di setiap lantai.
g. Sumber daya listrik untuk lif kebakaran harus direncanakan dari sumber
yang berbeda, dan menggunakan kabel tahan api.

3. Peringatan Terhadap Pengguna Lif Pada Saat Terjadi Kebakaran

Tanda peringatan harus:


a. dipasang ditempat yang mudah terbaca:
i. dekat setiap tombol panggil untuk lif penumpang atau kelompok dari lif
ada bangunan, kecuali
ii. lif kecil seperti dumb waiter atau sejenisnya yang digunakan untuk
mengangkut hanya barang-barang,
DILARANG MENGGUNAKAN LIF
BILA TERJADI KEBAKARAN

ATAU

10 mm
Dilarang menggunakan Lif
bila terjadi Kebakaran

8 mm
Gambar VII. 1
Tanda Peringatan Lif Penumpang

b. sesuai dengan detail dan dimensi minimum seperti pada gambar Vll. 1, dan
terdiri dari
i. huruf yang diukir, ditatah atau huruf timbul pada logam, kayu, plastic
atau sejenisnya dan dipasang tetap didinding, atau
ii huruf yang diukir atau ditatah langsung dipermukaan bahan dinding
iii. bila diperlukan, dengan penampilan khusus sehingga dapat terbaca
pada keadaan gelap atau sewaktu terjadi kebakaran.

4. Lif Untuk Rumah Sakit

a. Satu atau beberapa lif harus di pasang sebagai lif pasien untuk melayani
setiap lantai dalam bangunan yang tidak menggunakan ramp, misalnya
bangunan Kelas 9a, yang ruang rawat pasiennya tidak berada di lantai
b. Lif pasien yang dibutuhkan pada butir a, harus:
i. berukuran cukup untuk meletakkan fasilitas kereta dorong ( wheel
strecther) secara horisontal
ii. Lif yang melayani ruang rawat pasien dihubungkan juga ke sistem
tenaga listrik cadangan, dan
iii. Mempunyai kapasitas beban tidak kurang dari 600 Kg.

5. Sangkar Lif

Sangkar pada setiap lif harus dilengkapi dengan peralatan tanda bahaya yang
dapat dioperasikan dari dalam sangkar, berupa bel listrik, telepon, atau alat-alat
lainnya yang dipasang dalam gedung ditempat yang mudah didengar oleh
pengelola bangunan gedung yang bersangkutan.

6. Saf Lif

a. Dalam saf lif dilarang memasang pipa atau peralatan lain yang tidak
merupakan bagian dari instalasi lif.
b. Untuk saf lif yang menerus dan tidak memiliki pintu keluar pada setiap
lantainya, setiap 3 lantai harus memiliki bukaan untuk digunakan dalam
kondisi darurat,
7. Mesin Lif Dan Ruang Mesin Lif

a. Bangunan ruang mesin lif harus kuat dan kedap air serta berventilasi
cukup. Ruang mesin harus mempunyai sirkulasi udara, untuk
mempertahankan suhu udara dan panas dari peralatan mesin.
b. Minimum satu jalan keluar harus dibuat pada setiap nuang mesin lif.
c. Balok, lantai dan penyangga di Ruang mesin harus di rencanakan dengan
memenuhi:
i. Beban balok dan penyangga harus sudah termasuk beban mesin lif,
motor generator, panel kontrol, governor dan peralatan lain, termasuk
lantai ruang mesin.
ii. Dua kali jumlah beban komponen yang bergerak vertikal dari tromol
(dihitung dari dua sisi), atau dihubungkan ke tali yang disangga oleh
balok, dengan beban sangkar lif.
iii. Beban diperhitungkan pada saat bandul mekanis governor) bekerja.
d. Jika mesin lif dan tali diempatkan di lantai bawah, atau disamping ruang
luncur di lantai bawah, pondasi untuk mesin, tromol, dan penyangga harus
direncanakan sesuai beban dibawah ini:
i. Pondasi harus menyangga berat mesin, tromol tali, peralatan lain dan
lantai diatasnya.
ii. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali beban berat
pada arah tegak.
iii. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali baban berat
pada arah sejajar.
iv. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali beban berat
pada semua arah gaya

8. Instalasi Listrik
a. Semua hantaran listrik harus dipasang dalam pipa atau saluran kabel (duct)
kecuali hantaran lemas (fleksibel) yang khusus.
b. Instalasi listrik untuk lif harus dilengkapi dengan pengaman harus lebih
atau sakelar otomatis.
c. Semua bagian logam dari lif pada keadaan bekerja normal tidak boleh
bertegangan.

9. Pemeriksaan, Pengujian Dan Pemeliharaan


a. Instalasi lif yang telah selesai dipasang atau yang telah mengalami
perubahan teknis, sebelum dioperasikan harus diperiksa dan diuji terlebih
dahulu oleh instansi yang berwenang.
b. Prosedur pemeriksaan, pengujian dan pemeliharaan instalasi lif sesuai
dengan SNI 03-1718-1989 dan SNI 03-2190-1991.

Vll.2 TANGGA DAN LANTAI BERJALAN

Persyaratan Teknis tangga dan lantai berjalan harus mengikuti pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
VIII. PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR,
DAN SISTEM PERINGATAN BAHAYA

VIII.1 SISTEM PENCAHAYAAN DARURAT

1. Sistem lampu darurat dipasang pada:

a jalan lintas.
b. ruang yang mempunyai luas lebih dari 300 m2,
c ruangan yang mempunyai luas lebih dari 100 m2 tetapi kurang 300 m2
yang terbuka:
i. ke koridor, atau
ii ke ruang yang mempunyai lampu darurat, atau
iii. ke jalan raya, atau
iv. ke ruang terbuka.
d. bangunan kelas 2 atau 3, dan pada setiap jalan lintas yang mempunyai
panjang lebih dari 6 meter diberikan sistem lampu darurat;
e. bangunan kelas 9a, yaitu pada:
i. setiap lorong, koridor, hall, atau sejenisnya yang digunakan pasien.
ii. setiap ruang dengan luas lantai lebih dari 120 m2 yang digunakan
pasien

2. Setiap lampu darurat, harus:


a. bekerja secara otomatis
b. mempunyai tigkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman,
c. jika menggunakan sistem terpusat, catu daya cadangan dan kontrol
otomatisnya harus dilindungi daari kerusakan karena api dengan
konstsruksi penutup yang mempunyai TKA tidak kurang dari -/60/60.

3. Lampu darurat yang digunakan harus sesuai dengan standar yang berlaku.

VIII.2 TANDA ARAH KELUAR

1. Setiap tanda “KELUAR” dibutuhkan, harus :

a. Jelas, mudah dibaca, mempunyai huruf dan simbol dengan ukuran yang
cukup
b diterangi dengan pencahayaan cukup sehingga jelas terbaca setiap waktu
oleh orang yang masuk dan berada di dalam bangunan,
c. dipasang sehingga jika tenaga listrik normal terganggu, pencahayaan
darurat digunakan pada tanda KELUAR.

2. Tanda KELUAR harus jelas kelihatan untuk orang yang menuju keluar, dan
harus dipasang diatas atau di dekat setiap:
a. Pintu yang digunakan untuk jalan keluar dari setiap lantai keluar
i. tangga yang tertutup, lorong, atau ramp yang digunakan untuk
ii tangga luar, lorong atau ramp yang digunakan untuk Keluar
iii. jalan keluar di balkon yang menuju Keluar.
b. Pintu dari tangga tertutup, lorong, atau ramp pada setiap tingkat yang
menuju Jalan raya atau ruang terbuka, dan:
c. Jalan keluar horisontal, dan:
d. Pintu yang digunakan sebagai atau merupakan bagian dari jalan KELUAR"
pada setiap lantai yang harus dilengkapi dengan lampu darurat sesuai
VIII.1

3. Jika tanda “KELUAR" tidak segera diketahui oleh penghuni atau pengunjung
bangunan, maka tanda Keluar dengan arah panah harus dipasang pada posisi
yang tepat di koridor, hall, lobi, atau sejenisnya yang menunjukkan arah keluar
yang disyaratkan.

VIII.3 SISTEM PERINGATAN BAHAYA

Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal mengacu pada standar yang
berlaku dan harus dipasang pada:

1. Bangunan dengan ketinggian lebih dari 25 m

2. Bangunan Kelas 2 yang mempunyai ketinggian lantai lebih dari dua lapis dan
a. bagian rumah dari sekolahan,
b. akomodasi untuk orang tua, anak-anak, atau orang cacat.

3. Bangunan kelas 2 sebagai rumah perawatan orang tua, kecuali bila sistemnya
a. langsung memberikan peringatan pada petugas, atau
b. sistem alarm diatur volume dan isi pesannya untuk meminimalkan
kepanikan dan trauma, sesuai dengan tipe dan kondisi penghuni.

4. Bangunan Kelas 9a yang mempunyai luas lantai lebih dari 1000 m2 atau
ketinggian lantai lebih dari dua:
a. sistemnya harus diatur memberikan peringatan pada petugas
b. di daerah bangsal perawatan, sistem alarm dapat diatur volume dan isi
pesannya untuk meminimalkan kepanikan sesuai dengan tipe dan kondisi
pasien

5. Bangunan Kelas 9b
a. untuk sekolah, mempunyai ketinggian lantai tidak lebih dari tiga
b. untuk gedung pertunjukan, hall umum, atau sejenisnya, yang mempunyai
luas lantai lebih dari 1000 m2 atau ketinggian lantai lebih dari dua.
IX. INSTALASI LISTRIK, PENANGKAL PETIR DAN
KOMUNIKASI DALAM GEDUNG

IX.1 INSTALASI LISTRIK

1. Perencanaan Instalasi Listrik


Instalasi listrik harus memenuhi ketantuan:
a. Sistem instalasi listrik terdiri dari sumber daya, jaringan distribusi, papan
hubung bagi dan beban listrik. Sistem instalasi listrik dan penempatannya
harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan
merugikan bagi manusia, lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lainnya.
b. Kecuali untuk hal-hal yang dianggap khusus atau yang tidak disebutkan,
maka segala sesuatu yang bersangkutan dengan instalasi dan perlengkapan
listrik harus sesuai dengan buku Peraturan Umum Instalasi Listrik dan
SNI-0225 yang berlaku. Untuk hal-hal yang belum dicakup atau tidak disebut
dalam PUIL, dapat menggunakan ketentuan/ standar dari negara lain atau
badan international, sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku.
c. Sistem tegangan rendah dalam gedung adalah 220/380 volt, dengan frekuensi
50 Hertz. Sistem tegangan menengah dalam gedung adalah 20 kV atau
kurang, dengan frekuensi 50 Hertz.
d. Semua peralatan listrik diantaranya penghantar, papan hubung bagi dan
isinya , transformator dan peralatan lainnya, tidak boleh dibebani melebihi
batas kemampuannya
e. Dalam menentukan tipe peralatan yang dipakai untuk instalasi listrik harus
kuat harus diperhatikan bahaya kebakaran yang mungkin dapat terjadi dan
kerusakan yang mungkin terjadi akibat kebakaran.

2. Jaringan Distribusi Listrik


a. Jaringan distribusi listrik terdiri dari kabel dengan inti tunggal atau banyak
dan busduct dari berbagai tipe, ukuran dan kemampuan. Tipe dari kabel harus
disesuaikan dengan sistem yang dilayani.
b. Peralatan pada papan hubung bagi seperti sakelar, tombol, alat ukur, dan
lain-lain harus ditempatkan dengan baik sehingga memudahkan
pengoperasiannya oleh petugas.
c. Jaringan yang melayani beban penting, seperti pompa kebakaran, lif
kebakaran, peralatan pengendali asap, sistem deteksi dan alarm kebakaran,
sistem komunikasi darurat, dan beban penting lainnya harus terpisah dari
instalasi beban lainnya, dan dilindungi terhadap kebakaran atau terdiri dari
penghantar tahan api.
3. Beban Listrik
Beban maksimum suatu instalasi listrik arus kuat harus dihitung dengan
memperhatikan besarnya beban terpasang, faktor kebersamaan (coincident factor)
atau faktor ketidak bersamaan (diversity factor).

4. Sumber Daya Listrik


a. Sumber daya utama gedung harus menggunakan tenaga listrik dari
Perusahaan Listrik Negara.
b. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir 1 di atas tidak
momungkinkan, dengan ijin instansi yang bersangkutan, sumber daya utama
dapat menggunakan sistem pembangkit tenaga sendiri, yang penempatannya
harus aman dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan serta harus
mengikuti standar dan atau nomalisasi dari peraturan yang berlaku, di
antaranya Peraturan Umum Instalasi Listrik dan SNI-0225 yang berlaku.
c. Bangunan dan ruang khusus yang pelayanan daya listrik tidak boleh putus,
harus memiliki pembangkit tenaga cadangan yang dayanya dapat memenuhi
kelangsungan pelayanan dari seluruh atau sebagian dari bangunan atau ruang
khusus tersebut.
d. Sistem instalasi listrik pada bangunan gedung tinggi dan bangunan umum
harus memiliki sumber daya listrik darurat yang mampu melayani
kelangsungan pelayanan seluruh atau sebagian beban pada gedung apabila
tajadi gangguan sumber utama.
e. Sumber daya listrik darurat yang digunakan harus mampu melayani semua
beban penting yang disebut dalam butir 3, secara otomatis.
f. Instalasi dan peralatan listrik yang dipasang harus mempertimbangkan dan
diamankan terhadap dampak seperti interferensi golombang elektromanetik
dan lain-lain.
g. Beban dan peralatan listrik yang dipasang harus mempertimbangkan hal-hal
yang menyangkut konservasi energi dan lain-lain.

5. Transformator Distribusi
a. Transformator distribusi yang berada dalam gedung harus ditempatkan dalam
ruangan khusus yang tahan api dan terdiri dari dinding, atap dan lantai yang
kokoh, dengan pintu yang hanya dapat dimasuki oleh petugas.
b. Ruangan trafo harus diberi ventilasi yang cukup, dengan ruangan yang cukup
untuk perawatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Umum Instalasi Listrik
dan SNI-0225 yang berlaku.
c. Bila ruang transformator dekat dengan ruang yang rawan kebakaran maka
diharuskan mempergunakan transformator tipe kering.

6. Pemeriksaan Dan Pengujian


Instalasi listrik yang dipasang, sebelum dipergunakan, harus terlebih dahulu
diperiksa dan diuji mengikuti prosedur dan peraturan yang berlaku.
7. Pemeliharaan
a. Pada ruang panel hubung bagi, harus terdapat ruang yang cukup untuk
memudahkan pemeriksaan, perbaikan dan pelayanan, serta diberi ventilasi
cukup.
b. Pemeliharaan instalasi listrik harus dilaksanakan dan diperiksa setiap lima
tahun serta dilaporkan secara tertulis kepada instansi yang berwenang
c. Pembangkit tenaga listrik darurat secara periodik harus dihidupkan untuk
menjamin agar pembangkit tersebut dapat dioperasikan bila diperlukan.

IX.2 INSTALASI PENANGKAL PETIR

1. Perencanaan Penangkal Petir


a. Setiap bangunan atau yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk dan
penggunaannya diperhitungkan mempunyai risiko terkena sambaran petir,
harus diberi instalasi penangkal petir.
b. Pemasangan penangkal petir harus diperhitungkan berdasarkan standar,
normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku, antara lain SNI-3990
tentang Tata Cara Instalasi Penangkal Petir Untuk Bangunan dan SNI-3991
tentang Tata Cara Instalasi Penyalur Petir. Ha-hal yang belum diatur didalam
peraturan tersebut diatas baik yang menyangkut perhitungan maupun
peralatan dan instalasinya, harus mengacu pada rekomendasi dari badan
International seperti IEC.

2. Instalasi Penangkal Petir


a. Suatu instalasi penangkal petir harus dapat melindungi semua bagian dari
bangunan, termasuk manusia yang ada di dalamnya, dan instalasi lainnya,
terhadap bahaya sambaran petir.
b. Pemasangan instalasi penangkal petir pada bangunan, harus memperhatikan
arsitektur bangunan, tanpa mengurangi nilai perlindungan yang efektif
terhadap sambaran petir.
c. Instalasi penangkal petir harus disesuaikan dengan adanya perluasan atau
penambahan bangunan.

3. Pemeriksaan dan Pemeliharaan


a. instalasi penangkal petir harus diperiksa dan dipelihara secara berkala.
b. Apabila terjadi sambaran pada instalasi penangkal petir, harus diadakan
pemeriksaan dari bagian-bagiannya dan harus segera dilaksanakan perbaikan
terhadap bangunan, bagian atau peralatan dan perlengkapan bangunan yang
mengalami kerusakan.

IX.3 INSTANSI KOMUNIKASI DALAM GEDUNG.

1. Perencanaan Komunikasi dalam Gedung


a. Sistem instalasi komunikasi telepon dan tata gedung dan penempatannya
harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan
merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta direncanakan
dan dilaksanakan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan yang
berlaku.
b. Peralatan dan instalasi sistem komunikasi harus tidak memberi dampak, dan
harus diamankan terhadap gangguan seperti interferensi gelombang elektro
magnetik, dan lain-lain.

c. Secara berkala dilakukan pengukuran/ pengujian terhadap EMC (Electro


Magnetic Campatibility). Apabila hasil pengukuran terhadap EMC
melampaui ambang batas yang ditentukan, maka langkah penanggulangan dan
pengamanan harus dilakukan.

2. Instalasi Telpon
a. Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi Persyaratan:
i. Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air,
aman dan mudah dikerjakan.
ii. Ukuran lubang orang (manhole) yang melayani saluran masuk ke dalam
gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x 0,80m.
iii. Dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan jalan
besar.
b. Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak
0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Ruang PABX dan TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
i. Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan
tidak boleh kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan
untuk tempat peralatan.
ii. Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas.
iii. Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
d. Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan
lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup dan tidak boleh kena sinar matahari
langsung.

3. Instalasi Tata Suara


a. Setiap bangunan dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m keatas, harus dipasang
sistem tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengumuman
dan instruksi apabila terjadi kebakaran.
b. Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada butir a
diatas harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem tata suara
umum rusak, maka sistem telepon darurat tetap dapat bekerja.
c. Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi lainnya dan
dilindungi terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri dari kabel tahan api.
X. INSTALASI GAS

X.1 INSTALASI GAS PEMBAKARAN

1. Jenis Gas
Jenis gas pembakaran yang dimaksud meliputi:
a. Gas Kota
Gas kota yang dipakai umumnya berupa gas alam (natural gas), yang terdiri
dari kandungan methane (CH4) dan ethane (C2He ). Ketentuan teknis dari gas
ini mengikuti standar yang dikeluarkan oleh pemasok gas tersebut.
b. Gas elpiji (LPG = Liquefied Petroleum Gasses).
Gas elpiji, terdiri dari propane (C3H8) dan Butane (C4H10). Ketentuan teknis
dari gas ini mengikuti standar yang dikeluarkan oleh pemasok gas tersebut.

2. Jaringan Distribusi Gas Kota


a. Rancangan sistem distribusi gas pembakaran, pemilihan bahan dan
konstruksinya disesuaikan dengan penggunaannya.
b. Instalasi pemipaan untuk rumah dan gedung (mulai dari meter-gas)mengikuti
peraturan yang berlaku dari instansi yang berwenang, atau ketentuan lainnya
sepanjang tidak bertentangan.
c. Ukuran pipa gas harus mencukupi dan dipasang untuk melayani pasokan gas
dalam rangka memenuhi kebutuhan maksimum tanpa terlalu banyak kerugian
tekanan antara meter-gas dan peralatan-peralatan pengguna gas, serta
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :
i. Kerugian tekanan yang diperbolehkan dari meter-gas ke peralatan
ii. Konsumsi gas maksimum yang perlu disediakan.
iii. Panjang pipa dan jumlah sambungan.
iv. Berat jenis dari gas.
v. Faktor diversifikasi (diversity factor).
vi. Pada instalasi gas untuk pembakaran, harus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk mengetahui kebocoran gas yang secara otomatis
mematikan aliran gas.

3. Pemeriksaan dan Pengujian


Instalasi gas beserta kelengkapannya harus diperiksa dan diuji sebelum digunakan
dan diperiksa secara berkala oleh instansi yang berwenang sesuai ketentuan yang
berlaku, serta merupakan bagian pertimbangan keandalan bangunan.

X.2 INSTALASI GAS MEDIK

1. Jenis Gas
Jenis gas medik yang dimaksud, adalah :
a. Gas oxigen
b. Gas nitrous Oxida (N2O)
c. Udara tekan
d. Vakum

2. Jaringan Distribusi Gas Medik


a. Rancangan sistem distribusi gas medik, pemilihan bahan dan kontruksinya
disesuaikan dengan penggunaannya.
b. Instalasi pemipaan untuk bangunan gedung mengikuti peraturan yang berlaku
dari instansi yang berwenang, atau ketentuan lainnya sepanjang tidak
bertentangan.
c. Pada instalasi pipa gas medik harus dilengkapi dengan biofilter, khususnya
untuk instalasi pipa oksigen, pipa Nitrous Oxida dan pipa udara tekan.
d. Pada instalasi gas medik harus dilengkap peralatan khusus untuk mengetahui
kebocoran gas dan dilengkapi dengan sistem isyarat tanda kebocoran gas.
e. Kebutuhan gas medik garus disesuaikan dengan kebutuhan untuk asien rawat
inap dan kebutuhan lain, seperti untuk ruang bedah orthopedi, peralatan rawat
gigi dan sebagainya.

3. Pemeriksaan dan Pengujian


Instalasi gas beserta kelengkapannya harus diperiksa dan diuji sebelum digunakan
dan diperiksa secara berkala oleh instansi yang berwenang
XI. SANITASI DALAM GEDUNG

XI.1. SISTEM PLAMBING

1. Perencanaan Sistem Plambing

a. Setiap pembangunan baru dan atau perluasan bangunan harus diperlengkapi


dengan sistem plambing, meliputi sistem air bersih, sistem air kotor dan alat
plambing yang memadai.

b. Sistem plambing harus direncanakan dan dipasang sedemikian rupa sehingga


mudah dalam operasional dan pemeliharaannya, tidak mengganggu
lingkungan, serta diperhitungkan berdasarkan standar, petunjuk teknik, dan
Pedoman Plambing Indonesia yang berlaku.

2. Sistem Penyediaan Air Bersih

a. Kebutuhan air bersih untuk perumahan berkisar antara 60-250


liter/orang/hari, sedangkan untuk kelas bangunan lainnya disesuaikan dengan
standar kebutuhan air bersih yang berlaku di Indonesia.

b. Sumber air bersih pada bangunan harus diperoleh dari sumber air PAM
(Perusahaan Air Minum), dan apabila sumber air bukan dari PAM, sebelum
digunakan harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.

c. Kualitas air bersih yang dialirkan ke alat plambing dan perlengkapan


plambing harus memenuhi standar kualitas air minum yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.

d. Sistem distribusi air harus direncanakan sehingga dengan kapasitas dan


tekanan air yang minimal, alat plambing dapat bekerja dengan baik.

e. Apabila kapasitas dan atau tekanan sumber yang digunakan tidak memenuhi
kapasitas dan tekanan minimal pada titik pengaturan keluar, maka harus
dipasang sistem tanki persediaan air dan pompa yang direncanakan dan
ditempatkan sehingga dapat memberikan kapasitas dan tekanan yang
optimal.

f. Bangunan yang dilengkapi dengan sistem penyediaan air panas, dimana pipa
pembawa air panas dari sumber air panas ke alat plambing cukup panjang,
maka harus dilengkapi dengan pipa sirkulasi. Pipa pembawa air panas yang
cukup panjang tersebut harus dilapisi dengan bahan isolasi.

g. Temperatur air panas yang keluar dari alat plambing harus diatur,
maksimum 60° C, kecuali untuk penggunaan khusus.
h. Bahan pipa yang digunakan dapat berupa PVC, PE (poli-etilena), besi lapis
galvanis atau Tembaga, mampu menahan tekanan sekurang-kurangnya 2 kali
tekanan kerja, tidak mengandung bahan beracun dan pemasangannya harus
sesuai dengan petunjuk teknis bahan pipa yang bersangkutan.

i. Semua sistem pelayanan air bersih harus direncanakan, dipasang dan


dipelihara sedemikian rupa sehingga tidak mudah rusak dan tidak
terkontaminasi dari bahan yang dapat memperburuk kualitas air bersih.

j. Diameter pipa sambungan pelanggan dari jaringan pipa distribusi kota harus
disesuaikan dengan kelas bangunan.

3. Sistem Pembuangan Air Kotor

a. Pada dasarnya air kotor berasal dari aktivitas manusia, baik tempat mandi
cuci, kakus maupun kegiatan lainnya.

b. Semua air kotor harus diolah sebelum dibuang ke saluran air kotor umum
kota atau disalurkan ke bangunan pengolahan air kotor komunal bila
tersedia.

c. Air kotor yang mengandung bahan buangan berbahaya dan beracun, serta
yang mengandung radioaktif, harus ditangani secara khusus, sesuai peraturan
yang berlaku di Indonesia.

d. Sistem pengaliran air kotor direncanakan dengan menggunakan saluran


tertutup dan kemiringan tertentu, sehingga dapat mengalirkan air kotor
secara gravitasi. Apabila cara gravitasi ini tidak dapat dilaksanakan, maka
dapat menggunakan sistem perpompaan.

e. Saluran air kotor dapat benupa pipa atau saluran lainnya, baik dari bahan
PVC, PE, tanah liat, beton, tembaga, besi tuang, baja maupun bahan lainnya
yang tidak mudah rusak, tahan terhadap karat dan panas.

f. Pemilihan bahan dan pemasangan saluran harus disesuaikan dengan


penggunaannya dan sifat cairan yang akan dialirkan, sesuai dengan petunjuk
teknis dari bahan pipa yang bersangkutan dan ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku di Indonesia.

g. Penentuan diameter saluran dibuat seekonomis mungkin sesuai dengan


kapasitas dan bahan buangan yang akan dialirkan.

h. Sistem air kotor didalam bangunan harus dilengkapi dengan pipa ven untuk
menetralisir tekanan udara didalam saluran tersebut.

i. Pemeliharaan sistem air kotor dilakukan secara berkala untuk mencegah


terjadinya penyumbatan, karat dan kebocoran.
4. Alat Plambing

a. Jumlah dan jenis alat plambing serta perlengkapannya harus disediakan


sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya.

b. Bahan alat plambing harus mempunyai permukaan yang halus dan rapat air,
tahan lama untuk digunakan, babas dari kerusakan dan tidak mempunyai
bagian kotor yang tersembunyi.

c. Semua alat plambing harus direncanakan dan dipasang sehingga memenuhi


aspek kebersihan, kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni bangunan.

d. Pipa pembuangan dari alat plambing yang digunakan untuk menyimpan atau
mengolah makanan, minuman bahan steril atau bahan sejenis lainnya, harus
dilengkapi dengan celah udara yang cukup untuk mencegah kemungkinan
terjadinya kontaminasi.

e. Peralatan plambing yang mengalirkan air bersih ke tempat-tempat yang dapat


menimbulkan pencemaran, harus dilengkapi dengan alat pencegah
kontaminasi, seperti katup penahan aliran balik dan katup pencegah atau
pemutus vakum.

f. Pada pipa penyaluran air kotor dari alat plambing yang mungkin menerima
buangan mengandung minyak atau lemak, harus dilengkapi dengan alat
perangkap minyak dan lemak.

g. Pemeliharaan semua alat plambing, harus dilakukan secara berkala untuk


menjamin kebersihan dan bekerjanya alat tersebut dengan baik.

5. Tangki Penyediaan Air Bersih

a. Fungsi tangki penyediaan air bersih adalah untuk menyimpan cadangan air
bersih untuk kebutuhan penghuni, perlengkapan bangunan, penanggulangan
kebakaran dan pengaturan tekanan air.

b. Tangki penyediaan air bersih harus direncanakan dan dipasang untuk


penyediakan air dengan kuantitas dan tekanan yang cukup, tidak
mengganggu struktur bangunan dan memberikan kemudahan pengoperasian
dan pemeliharaan.

c. Konstnuksi dan bahan tanki penyediaan air bersih harus cukup kuat dan tidak
mudah rusak. Bahan tangki dapat berupa beton, baja, fiberglass dan kayu.

d. Apabila tangki penyediaan air bersih menggunakan bahan lapisan untuk


mencegah kebocoran dan karat, bahan tersebut tidak boleh memperburuk
kualitas air bersih.

e. Tangki penyediaan air bersih harus diiengkapi dengan sistem perpipaan dan
perlengkapannya yang terdiri dari pipa masuk dan pipa keluar, pipa peluap,
pipa penguras dan pipa ven, serta dilengkapi dengan 1ubang pemeriksa.
6. Pompa

a. Fungsi pompa air bersih adalah memberikan kapasitas dan tekanan yang
cukup pada sistem penyediaan air bersih atau menyalurkan air ke tanki
penyediaan air bersih. Fungsi pompa air kotor adalah menyalurkan air kotor
ke saluran air kotor umum Kota atau ke bangunan pengolahan air kotor
lainnya.

b. Pemilihan jenis pompa dan motor pompa disesuaikan dengan karakteristik


pompa yang dibutuhkan dan mempunyai effsiensi yang maksimal.

c. Pompa harus dipasang pada lokasi yang mudah untuk pengoperasian dan
pemeliharaannya.

d. Pemasangan pompa harus dilengkapi peralatan peredam getaran yang


dipasang pada dudukan pompa, pipa isap dan pipa keluaran pompa.

e. Pompa harus dilengkapi dengan alat pengukur tekanan dan katup pencegah
aliran balik pada pipa keluaran dan ujung pipa isap pompa.

XI.2 SALURAN AIR HUJAN.

1. Kelengkapan pada Bangunan

a. Setiap bangunan dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem saluran


air hujan.

b. Air hujan harus dialirkan ke sumur resapan dan atau dialirkan ke jaringan air
hujan umum kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. Bila belum tersedia jaringan umum kota ataupun sebab-sebab lain yang dapat
diterima, maka harus dilakukan cara-cara lain yang dibenarkan oleh instansi
yang berwenang

2. Persyaratan Saluran

a. Saluran air hujan dapat merupakan saluran terbuka dan atau saluran tertutup.

b Apabila saluran dibuat tertutup, maka pada tiap perubahan arah aliran harus
dilengkapi dengan lubang pemeriksa, dan pada saluran yang lurus, lubang
pemeriksa harus dibuat dengan jarak tiap 25-100 m, disesuaikan dengan
diameter saluran tersebut dan standar yang berlaku.

c. Kemiringan saluran harus dibuat, sehingga dapat mengalirkan seluruh air


hujan dengan baik agar bebas dari genangan air, dan bila tidak dapat
dilakukan dengan cara gravitasi, maka dapat menggunakan sistem
perpompaan.
d. Bahan saluran dapat berupa PVC, fiberglass, pasangan, tanah liat, beton,
seng, besi dan baja. Khusus untuk bahan seng, besi dan baja harus dilapisi
dengan lapisan tahan karat.

3. Pemeliharaan

Pemeliharaan sistem air hujan harus dilakukan secara berkala untuk mencegah
terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran.

XI.3 PERSAMPAHAN

1. Penempatan pada Bangunan

Setiap bangunan baru dan atau perluasan bangunan harus dilengkapi dengan
fasilitas pewadahan dan atau penampungan sampah sementara yang memadai,
sehingga tidak mengganggu kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

2. Pewadahan

a. Kapasitas pewadahan sampah atau tempat penampungan sementara harus


dihitung berdasarkan jenis bangunan dan jumlah penghuninya, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

b. Tempat pewadahan sampah harus terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah
rusak, mempunyai tutup dan mudah diangkut. Bahan tersebut dapat berupa
kantong plastik, peti kemas fiberglass, peti kemas baja, dan pasangan bata
atau beton.

c. Bentuk pewadahan sampah harus disesuaikan untuk kemudahan


pengangkutan sampah oleh Dinas Kebersihan Kota, atau Pengelola
Pengangkutan Sampah.

3. Sampah Berbahaya

Untuk sampah padat yang dikatagorikan sebagai jenis buangan berbahaya dan
beracun (sampah B3), penempatan dan pembuangannya harus ditangani secara
khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
XII. VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA

XII.1 VENTILASI

1. Kebutahan Ventilasi
Setiap bangunan harus mempunyai:
a. Ventilasi alami sesuai dengan butir XII.1.2 di bawah ini atau
b. Ventilasi mekanis yang memenuhi ketentuan yang berlaku.

2. Ventilasi Alami
a. Penerapan ventilasi alami.
Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau
sarana lain yang dapat dibuka
i. dengan jumlah bukaan berukuran tidak kurang dari 5% dari luas lantai
ruangan yang dibutuhkan untuk di ventilasi;
ii ke arah;
(1) halaman berdinding dengan ukuran yang sesuai, atau daerah yang
terbuka ke atas;
(2) teras terbuka, pelataran parkir, dan yang sejenis;
(3) ruangan bersebelahan yang dimaksud dalam butir b di bawah ini.

b. Ventilasi Dari Ruangan Yang Bersebelahan


Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela, bukaan pintu
ventilasi, atau sarana lainnya dari ruangan yang bersebelahan (termasuk teras
tertutup) jika kedua ruangan tersebut berada dalam satuan hunian yang sama
atau mempunyai teras tertutup yang menjadi satu, dan:
i. Bangunan klas 2, dan hunian tunggal pada bangunan klas 3;
(1) ruang yang di ventilasi bukan kompartemen sanitasi;
(2) jendela, bukaan, pintu atau sarana lainnya yang mempunyai luas
ventilasi tidak kurang dari 5% dari luas lantai ruangan yang
diventilasi;
(3) ruangan bersebelahan dengan jendela, bukaan, pintu atau sarana
lainnya dengan luas ventilasi tidak kurang dari 5% dari luas lantai
lantai kedua ruangan tersebut.
ii. Bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.
(1) jendela, bukaan, pintu atau sarana bukaan lainnya yang
mempunyai luas ventilasi tidak kurang dari 10% dari luas lantai
ruangan yang di ventilasi, dengan jarak tidak lebih dari 3,6 m
diatas lantai;
(2) ruangan bersebelahan yang mempunyai jendela, bukaan, pintu
atau sarana lainnya dengan luas ventilasi tidak kurang dari 10%
luas lantai kedua ruangan tersebut;
(3) Luas ventilasi yang diatur pada butir (1 ) dan (2) dapat direduksi
secukupnya jika tersedia ventilasi alami langsung dari sumber
lainnya.
c. Batasan untuk posisi kakus dan peturasan.
Ruang kakus atau peturasan tidak boleh terbuka langsung ke arah:
i. dapur atau pantry;
ii ruang makan umum atau restoran;
iii. asrama pada bangunan Kelas 3;
iv. ruang yang digunakan sebagai tempat berkumpul (yang tidak berbentuk
pusat penitipan anak, sekolah TK atau panggung terbuka);
v. ruang kerja yang umumnya digunakan oleh lebih dari satu orang.

d. Ruang antara
Jika ruang kakus atau peturasan yang dilarang menurut butir c di atas
terbuka langsung terhadap ruang lainnya:
i. Dalam hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau 3 atau bagian
bangunan kelas 4;
(1) jalan masuk harus melalui ruang antara, koridor atau ruang
lainnya;
(2) ruangan yang ada kakus atau peturasan tersebut harus tersedia
ventilasi pembuangan mekanis;
ii. pada bangunan Kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 (yang bukan merupakan pusat
penitipan anak, sekolah TK atau panggung terbuka);
(1) jalan masuk harus melalui suatu dinding terkurung, koridor atau
ruang lainnya dengan luas tidak kurang dari 1,1 m2 dan pada
setiap pintu jalan masuk harus dipasang alat penutup pintu
otomatis;
(2) ruangan yang ada kakus atau peturasan tersebut harus tersedia
ventilasi pembuangan udara mekanis; dan pintu ke ruangan
tersebut harus terhalang dari penglihatan.

e. Ventilasi ruangan dibawah lantai dasar


Lantai paling bawah suatu bangunan:
i. jika berada dibawah lantai dasar, harus mempunyai jarak melintang
yang cukup untuk ventilasi antara bagian bawah permukaan lantai
dasar dengan permukaan tanah/ halaman;
ii. harus mempunyai penutup yang kedap air diatas muka tanah/halaman
dibawah lantai dasar, atau
iii. harus mempunyai konstruksi lantai yang sesuai.

f. Gedung Parkir
Setiap lantai gedung parkir, kecuali pelataran parkir terbuka harus
mempunyai:
i. sistem ventilasi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
ii. sistem ventilasi alami permanen yang memadai.

g. Pembuangan udara dari dapur


Pada dapur komersial harus tersedia tudung pembuangan gas dapur yang
memenuhi ketentuan yang berlaku, jika:
i. setiap peralatan masak yang mempunyai:
(1) total daya masukan listrik maksimum lebih dari 8 kW; atau
(2) total daya masukan gas lebih dari 29 MJ/jam.
ii. total daya masukan maksimum per m2 luas lantai ruangan yang
mempunyai lebih dari satu alat masak, lebih dari:
(1) 0,5 kW untuk daya listrik; atau
(2) 1,8 MJ/jam untuk daya gas.

3. Ventilasi buatan
a. Penempatan fan harus memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan
juga memungkinkan masuknya udara segar, atau sebaliknya.
b. Sistem Ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami yang memenuhi
syarat tidak memadai.
c. Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja terus
menerus selama ruang tersebut dihuni.
d. Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi
buatan untuk membuang udara kotor dari dalam, dan minimal 2/3 volume
udara ruang harus terdapat pada ketinggian maksimal 0,60 meter diatas
lantai.
e. Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari lebih
satu lantai, gas buang mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu
udara bersih pada lantai lainnya.
f. Besamya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang
dalam bangunan harus sesuai standar yang berlaku.

XII.2 PENGKONDISIAN UDARA

1. Kebutuhan Pengkondisian Udara


Setiap bangunan seperti untuk hunian, kantor, toko, pabrik, rumah sakit, dan
setiap ruang lainnya bila diperlukan dapat mempunyai sistem pengkondisian
udara yang memenuhi ketentuan yang berlaku.

2. Konservasi Energi
a. Pengkondisian udara harus memperhatikan upaya konservasi energi
minimal seperti dinyatakan dalam SK SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
b. Rancangan sistem pengkondisian udara harus dikembangkan sehingga
penggunaan energi yang optimal dapat diperoleh, termasuk dengan
memperhitungkan pemakaian energi per tahunnya, pemilihan peralatan,
serta biaya awal dan biaya umur pemakaian energi.
c. Karakteristik beban bangunan harus dianalisa sehingga memungkinkan
sistem dan peralatan dengan ukuran yang tepat serta dipilih untuk
memperoleh efisiensi yang baik pada beban penuh atau beban paruh.

3. Perhitungan Perkiraan Beban Pendinginan


a. Prosedur
Perhitungan beban pendinginan harus mengikuti prosedur sesuai yang
ditunjukkan dalam SK SNI tentang Tata Cara Perencanaan Teknis
Konservasi Energi pada Bangunan Gedung, dan standar teknis lain
yang berlaku.
b. Dasar perancangan
i. Kondisi Dalam Bangunan
Kondisi dalam bangunan yang memerlukan pengkondisian udara
harus dirancang sesuai penggunaannya.
ii. Kondisi Luar Bangunan
Kondisi rancangan udara luar bangunan mengacu pada SK SNI
tentang Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada
Bangunan Gedung.
iii. Penetapan sistem dan peralatan.
(1) Penetapan sistem dan peralatan pengkondisian udara
(Sistem Fan, sistem pompa dan pemipaan, sistem distribusi
udara, sistem kontrol, isolasi pemipaan, isolasi sistem
distribusi udara) mengacu pada SK SNI yang berlaku.
(2) Semua saluran udara harus direncanakan, dibuat dan
dipasang sesuai ketentuan yang berlaku, atau standar
internasional lain yang diakui oleh instansi yang
berwenang.
(3) Sistem pengkondisian udara pada bangunan klas 8a untuk
ruang operasi, ruang steril dan ruang perawatan bagi pasien
yang berpenyakit menular, tidak dibenarkan
mempergunakan sistem sirkulasi udara yang dapat
menyebabkan penularan penyakit ke bagian lain bangunan.

.
XIII. PENCAHAYAAN

XIII.1 KEBUTUHAN PENCAHAYAAN


1. Kamar, ruangan dan daerah yang dicakup oleh bagian ini meliputi:
a. ruangan didalam bangunan
b. daerah luar bangunan, seperti:
i. pintu masuk
ii. pintu ketuar,
iii. tempat bongkar muat barang, dsb.
c. jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk daerah di udara
terbuka dimana pencahayaan dibutuhkan dan disambungkan dengan listrik
bangunan.
2. Kamar, ruangan, daerah dan peralatan yang tidak termasuk bagian ini,
meliputi:
a. kegiatan diluar bangunan, seperti proses produksi dan penyimpanan.
b. pencahayaan untuk pembuatan film, penyiaran televisi, presentasi audio
visual dan bagian-bagian lain dan fasilitas pertunjukan seperti panggung
di hotel, klub malam, dan diskotek dimana pencahayaan merupakan
bagian penting untuk menghasilkan knalitas tampilan.
c. reflektor khusus untuk medis dan perawatan gigi.
d. fasilitas luar untuk olahraga.
e. pencahayaan untuk pameran seni, gallery, museum dan monumen.
pencahayaan luar untuk monumen publik.
f. pencahayaan khusus laboratorium.
g. pencahayaan didalam bangunan yang digunakan dari jam 22.00 malam
sampai jam 06.00 pagi.
i. pencahayaan darurat yang secara otomatis mati. selama operasi normal.
j. daerah yang mempunyai risiko keamanan tinggi dan diperlukan tambahan
pencahayaan untuk keamanan manusia.
k. ruang kelas yang direncanakan untuk kebutuhan khusus.
1. pencahayaan untuk rambu-rambu.
m. fasilitas pencahayaan untuk display di muka atau jendela toko.
n. pencahayaan di unit pengeboran.

XIII.2 PENCAHAYAAN BUATAN.


1. Energi Yang Dikonsumsi
Energi yang dikonsumsi untuk pencahayaan buatan mempunyai pengaruh
besar pada peningkatan beban listrik dan beban pendinginan bangunan. Sistem
pencahayaan buatan harus dipilih secara fleksibel, efektif dan sesuai dengan
kebutuhan ruangan, sehingga diperoleh konsumsi energi yang masih dapat
dipertanggung jawabkan.
2. Tingkat Iluminasi
Tingkat iluminasi disarankan seperti ditunjukkan pada SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung
3. Konsumsi Energi
Konsumsi energi pencahayaan buatan dapat diminimalkan dengan mengurangi
daya terpasang dan waktu pemakaian. Daya terpasang dapat diminimalkan
dengan penggunaan lampu, balas, dan reflaktor yang efisien. Daerah efisasi
dari lampu yang ada ditunjukkan pada SK SNI tentang Tata Cara Perencanaan
Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
4. Perencanaan Sistem Pencahayaan
Perencanaan sistem pencahayaan adalah dengan monggunakan sumber
pencahayaan yang tepat, jenis reflektor yang efisien, mempunysi karakteristik
distribusi pencahayaan sesuai kebutuhan dan tidak menghasilkan ketidak
nyamanan karena silau atau pantulan. Kebanyakan reflektor yang efisien untuk
lampu fluorecent adalah dari jenis mirror reflector atau prismatic. Reflektor
untuk lampu High Intensity Discharge (HID) menggunakan reflektor
aluminium anodized berkualitas tinggi.
5. Penggunaan Lampu
Penggunaan lampu sesuai kebutuhan dan mempertimbangkan upaya
konservasi energi pada bangunan gedung.
6. Daya Maksimum Yang Diijinkan
Beban pencahayaan total untuk ruang dalam bangunan disarankan tidak
melebihi nilai maksimum seperti ditunjukkan pada SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
7. Daya pencahayaan buatan di luar bangunan.
a. Daya pencahayaan buatan untuk bagian luar bangunan sebaiknya tidak
melebihi nilai seperti ditunjukkan pada SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
b. Untuk fasilitas banyak bangunan, kebutuhan daya pencahayaan luar
bangunan terutama adalah untuk pencahayaan buatan diantara bangunan
tersebut.

XIII.3 PENCAHAYAAN ALAMI


1. Pemanfaatan pencahayaan alami
Pemanfaatan pencahayaan alami yang optimal pada bangunan karena
merupakan cara yang sangat penting untuk mengurangi beban energi
bangunan.
2. Perencanaan pencahayaan alami
Pertimbangan perencanaan pencahayaan alami pada bangunan:
a. Kaca mengurangi kemampuan tahan panas dari dinding. Jika perlu.
kemampuan tahan panas dari kaca ditingkatkan dengan penggunaan tirai
matahari dan atau kaca ganda.
b. Penggunaan sakelar otomatis atau sistem pengendali lainnya agar tingkat
pencahayaan buatan dalam bangunan dapat diatur.
c. Pengendalian silau pada bangunan, baik dari sumber sinar matahari
langsung, langit yang cerah, obyek luar, maupun dari pantulan kaca dan
sebagainya.
3. Penentuan besanya iluminasi
Penentuan besarnya iluminasi mengikuti ketentuan teknis SNI-2396 tentang
Penerangan Alami Siang hari untuk Rumah dan Gedung.
XIII.4 PENGENDALIAAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN.
Semua sistem pencahayaan, kecuali yang diperlukan untak pencahayaan darurat atau
pencahayaan lampu “KELUAR”, harus dilengkapi dengan pengendali manual,
otomatis atau yang terprogram.
1. Pengendali pencahayaan harus dilengkapi sebagai berikut:
a. Semua ruangan yang tertutup dengan dinding bata atau partisi yang
sampai ke plafond harus dilengkapi dengan satu pengendali pencahayaan
manual untuk setiap kamar.
b. Minimal satu sakelar harus dipasang untuk setiap group yang melayani
luasan 30 m atau kurang.
c. Minimal satu sakelar dengan tanda khusus untuk melayani 1100 Watt
yang disambungkan ke beban listrik.
d. Pencahayaan bagian luar tidak diperuntukkan beroperasi 24 jam terus
menerus, dan harus secara manual atau otomatis dimatikan (misalnya
dengan pembatas waktu atau photocell).
e. Kamar tamu hotel harus mempunyai sakelar utama didekat pintu yang
mematikan semua lampu dan stop kontak, kecuali untuk hal-hal lain jika
diperlukan.
f. Apabila dimungkinkan adanya pencahayaan alami, pengendali manual
lokal atau pengendali otomatis seperti sakelar yang dilengkapi dengan
photoelectric atau dimmer otomatis sebaiknya digunakan di ruangan yang
diterangi dengan pencahayaan alami. Pengendali haruss digunakan
sehingga bekerja pada baris pencahayaan yang paralel dengan dinding
luar bangunan.
2. Letak pengendali harus mudah dicapai.
Semua pengendali pencahayaan harus ditempatkan pada tempat yang mudah
dicapai/dibaca untuk orang yang berada atau menggunakan ruang tersebut.
Sakelar pengendali dengan beban yang sama yang tedetak di lebih satu lokasi
harus dinilai sebagai penambahan jumlah pengendali untuk memenuhi
kebutuhan butir 1 di atas, kecuali:
a. Pengendali dipusatkan di lokasi yang berjarak jauh (seperti ruangan lobi
dari kantor, hotel dan rumah sakit, pertokoan, pasar swalayan, gudang dan
koridor yang dibawah pengendalian terpusat).
b. Pengendali otomatis.
c. Pengendali yang diprogram.
d. Pengendali yang memerlukan operator yang terlatih.
e. Pengendali untuk keamanan bahaya dan keselamatan.
XIV. KEBISINGAN DAN GETARAN

XIV. 1. KEBISINGAN

1. Baku Tingkat Kebisingan


a. Salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat
kebisingan yang dihasilkan.
b. Baku tingkat kebisingan untuk kenyamanan dan kesehatan harus
mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

2 Dampak Lingkungan
Bagi usaha atau kegiatan yang mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih
ketat dari ketentuan, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku
tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak
lingkungan atau ditetapkan oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

XIV.2 GETARAN

1. Baku Tingkat Getaran


a. Sala satu dampak dan usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat
getaran yang dihasilkan.
b. Baku tingkat getaran untuk kenyamanan dan kesehatan harus mengikuti
standar teknis yang berlaku.

2. Dampak Lingkungan
Bagi usaha atau kegiatan yang mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat
dari ketentuan, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut, berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan
atau ditetapkan oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
XV. KETENTUAN PENUTUP

XV.1 Persyaratan Teknis Bangunan Gedung seperti telah diuraikan pada Bab-bab
sebelumnya merupakan persyaratan pokok yang ditunjang oleh standar teknis (SNI),
pedoman atau petunjuk teknis yang berlaku dan lebih rinci berkaitan dengan
spesifikasi, tata cara, dan metode uji bangunan, komponen, elemen, serta berbagai
aspek teknis dari bangunan gedung.

XV.2 Persyaratan-persyaratan yang lebih spesifik dan atau yang bersifat alternatif serta
penyesuaian penyesuaian yang diperlukan terhadap Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung diharapkan untuk dikembangkan oleh masing-masing Daerah disesuaikan
dengan kondisi, permasalahan, kebutuhan, dan kesiapan kelembagaan di setiap
Daerah.

MENTERI PEKERJAAN UMUM

ttd.

RACHMADI BAMBANG SUMADHIJO


LAMPIRAN

TABEL V.2.3
PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN

1. KETENTUAN UMUM

KLAS/BAGIAN BANGUNAN PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN

Jalan keluar yang Diisolasi Untuk:


terhadap kebakaran 1. Tangga yang diisolasi terhadap kebakaran, termasuk setiap
jalan penghubung atau ramp yang melayani:
a. Setiap lantai di atas tinggi efektif 25m, atau
b. lebih dari 2 lantai di bawah tanah, atau
c. atrium, atau
d. bangunan klas 9a yang > 2 lantai, dan

2. jalan penghubung atau ramp yang diisolasi terhadap


kebakaran dengan panjang > 60 m ke jalan umum atau ruang
terbuka, harus dilengkapi dengan:
1. Sistem presurisasi otomatis, atau
2. Ramp atau balkon akses yang terbuka sesuai ketentuan butir
Vl.3.

BANGUNAN DENGAN TINGGI EFEKTIF >25 M


Klas. 2, 3, den 4. 1. Harus dilengkapi dengan sistem alarm dan deteksi asap
otomatis.
2. Bila panjang koridor umum > 40 m, harus dibagi dengan
interval < 40 m, dengan konstruksi sesuai ketentuan V.1.3,
kecuali bahan pelapis dan bahan yang tidak mudah terbakar

Klas5,6, 7,8,dan 9b (selain 1. Harus dilengkapi dengan sistem pengendali asap terzona
ruang/tempat parkir) sesuai ketentuan yang berlaku.

Klas 9a 1. Harus dilengkapi dengan sistem alarm dan deteksi asap


otomatis, dan
2. Sistem pengendali asap tezona sesuai ketentuan yang berlaku

BANGUNAN DENGAN TINGGI EFEKTIF < 25 M


Klas 2, 3, den 4 1. Harus dilengkapi dengan alarm dan detekai asap otomatis, dan
2. Apabila tangga yang diwajibkan diisolasi terhadap kebakaran
den bangunan kelas 2 atau 3 juga melayani satu atau lebih
lantai dengan Kas 5, 6, 7 (bukan tempat parkir terbuka), 8,
atau 9b, maka:
a. tangga yang diisolasi terhadap kebakaran, termasuk setiap
Jalan penghubung atau ramp harus dilengkapi dengan sistem
presurisasi udara otomati, atau

b. Klas 5, 6, 7 (bukan tempat parkir terbuka), 8 dan 9b harus


dilengkapi dengan
i. sistem alarm dan deteksi asap otomatis, atau
ii. sistem sprinkler

3. Apabila tangga yang diwajibkan diisolasi terhadap kebakaran


dari bangunan klas 4 juga melayani satu atau lebih lantai
dengan klas 5, 6, 7 (bukan tempat parkir terbuka), 8, atau 9b,
maka:
a. Sistem sesuai butir 2.a. atau 2.b. diatas harus dipasang,
atau
b. Sistem detektor dan alarm asap, kecuali bila alarm dan
detektor tersebut hanya perlu dipasang pada tiap pintu
menuju tangga yang diisolasi terhadap kebakaran untuk
sistem peringatan.
Klas 5, 6, 7, 8, dan 9b (selain Pada bangunan:
ruang/tempat parkir 1. Klas 5 atau 9b (sekolah) dengan ketinggian > 3 lantai, atau
2. Klas 6, 7, 8, atau 9b (selain sekolah) dengan ketinggian > 2
lantai, atau
3. Dengan ketinggian > 2 lantai dan terdiri atas:
a. Klas 5 atau 9b (sekolah) dan
b. Klas 6, 7, 8, atau 9b (selain sekolah)
maka pada setiap tangga yang diwajibkan diisolasi terhadap
kebakaran, termasuk jlan penghubung dan rampnya, harus
dipasang:
1. Sistem presurisasi udara otomatis, atau
2. Sistem pengendali asap terzona, bila bangunan
mempunyai lebih dari satu komprtemen kebakaran, atau
3. Sistem alarm dan deteksi asap otomatis, atau
4. Sistem sprinkler
Klas 9a 1. Sistem alarm dan deteksi asap otomatis, dan
2. Sistem pengolah udara mekanis yang bukan merupakan
bagian dari sistem pengendali asap terzona dapat berhenti
(shut-down) otomatis pada saat aktivitas detekotr asap
bekerja.
3. Bila bangunan >2 lantai, harus dipasang:
a. Sistem pengendali asap terzona, atau
b. Sistem sprinkler
BASEMENT (selain 1. Basement dengan luas > 200 m2 harus dilengkapi dengan:
ruang/tempat parkir) a. Bila < 2 lapis di bawah tanah:
i. Sistem pengendali asap terzona, bila basement
mempunyai lebih daari satu kompartemen kebakaran,
atau
ii. Sistem alarm dan deteksi asap otomatis, atau
iii. Sistem sprinkler, atau
b. Bila > 2 lapis dibawah tanah harus dilengkapi sistem
sprinkler.
2. Basement dengan > 3 lapis di bawah tanah atau terdapat klas
6 atau 9b dengan jumlah penghuni/pengguna yang banyak,
persyaratan khusus dapat digunakan dengan pertimbangan:
a. karakter khusus bangunan
b. fungsi khusus bangunan
c. tipe dan jumlah material khusus yang disimpan, dipajang,
atau digunakan dalam bangunan
d. keragaman klasifikasi bangunan atau kompartemen
kebakaran
Ruang/tempat parkir Ruang/tempat parkir, termasuk ruang parkir dibawah tanah, yang
dilengkapi dengan sisitem ventilasi mekanis sesuai ketentuan:
1. Jenis kipas yang harus tahan suhu tinggi, dan
2. Kabel pengendali dan daya listrik tidak harus yang tahan api
Atrium Bangunan yang memiliki atrium harus dengan kelengkapan
sistem sprinkler, sistem deteksi alarm kebakaran, sistem inter
komunikasi darurat, sistem peringatan kondisi darurat, dan
sistem pengendalian asap sesuai standar teknis yang berlaku

2. KETENTUAN KHUSUS

KLAS/BAGIAN BANGUNAN PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN


Klas 6, Kompartemen Kebakaran > 1. Setiap kompartemen kebakaran,kecuali yang ditetapkan pada
2.000 m2, tidak terdapat selasar butir 2, harus dilengkapi dengan:
terlindung melayani > 1 toko a. sistem pembuangan asap otomatis, atau
b. Bila bangunan 1 lantai, dipasang lubang-lubang ventilasi
asap dan panas yang diaktifkan oleh pendeteksian asap,
atau
c. Bila luas lantai untuk kompartemen kebakaran > 3.500 m2,
dan:
i. bangunan 1 lantai, dipasang sistem alarm dan detektor
asap otomatis, atau
ii. bangunan 2 lantai atau kurang, dipasang sistem
sprinkler
2. Bangunan pertokoan di dalam kompartemen kebakaran tidak
harus mengikuti ketentuan 1, bila:
a. luas bangunan < 2.000m2, dan
b. Bangunan satu lantai dengan pintu masuk utama membuka
ke jalan umum atau ruang terbuka.
Klas 6, Kompartemen kebakaran > 1. Selasar terlindung, toko dengan luas > 1.000m2 yang
2.000 m2, terdapat selasar membuka ke arah selasar terlindung, dan toko (selain pada
terlindung melayani > 1 toko ketentuan 3 ) yang tidak membuka ke arah selasar terlindung,
harus dilengkapi dengan:
a. sistem pembuangan asap otomaatis, atau
b. bila bangunan 1 lantai, dipasang lubang-lubang ventilasi
asap dan panas yang diaktifkan oleh pendeteksian asap,
atau
2. Bila luas lantai untuk kompartemen kebakaran < 3.500 m2
dan bangunan 2 lantaai atau kurang, dipasang sistem sprinkler

3. Bangunan pertokoan di dalam kompartemen kebakaran tidak


harus mengikuti ketentuan 1, bila:
a. luas lantai < 2.000 m2, dan
b. bangunan 1 lantai dengan pintu masuk utama membuka ke
jalan umum atau ruang terbuka
Klas 9b, Bangunan Pertemuan 1. Bangunan klab malam, diskotek, dan sejenis, harus dilengkapi
dengan:
a. sistem pengolah udara mekanis yang bukan merupakan
bagian dari sistem pengendalian asap dapat berhenti
(shut-down) otomaatis pada saat aktivitas detektor asap
bekerja, dan
b. sistem pembuangan asap otomatis, atau lubang-lubang
ventilasi asap dan panas otomatis pada bangunan 1 lantai,
atau sistem sprinkler

2. Bangunan pameran, harus dilengkapi dengan


a. idem 1.a. diatas, dan
b. Bila luas bangunan 2.000-3.500m2
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. Lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis, bila
bangunan 1 lantai, atau
iii. sistem sprinkler, dan
c. Bila luas bangunan > 3.500 m2, dipasang sistem sprinkler
dan
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis,
bilang bangunan 1 lantai

3. Bangunan theater atau tempaat pertemuan/hall umum:


a. pada bangunan sekolah, gereja, atau hall komunitas yang
mempunyai ruang panggung dan belakang panggung,
dengan luas > 300m2 atau
b. Bukan pada bangunan sekolah, gereja, atau hall
komunitas yang mempunyai ruang panggung dan
belakang panggung, dengan luas > 200 m2, atau harus
dilengkapi dengan:
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. Lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis, bila
bangunaan 1 lantai

4. Bangunan theater atau hall umum selain butir 3, termasuk


theater kuliah dan komplek auditorium:
a. sistem pengelola udara mekanis yang bukan meru-pakan
bagian dari sistem pengendalian asap dapat berhenti (shut-
down) otomatis pada saat aktivitas detektor asap bekerja,
dan
b. selain pada bangunan sekolah dengan luas lantai
kompartemen kebakaran > 2.000 m2
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. Lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis, bila
bangunan 1 lantai, atau
iii. bila luas lantai kompartemen kebakaran < 5.000 m2
dan tinggi bangunan 2 lantai atau kurang, digunakan
sistem alarm dan detektor asap otomatis, atau sistem
sprinkler.

5. Bangunan pertemuan lainnya (diluar butir 3 dan 4 diatas):


a. Setiap kompartemen kebakaran dengan luas > 2.000 m2
harus dilengkapi dengan ketentuan seperti butir 4.b diatas
b. Bangunan yang dikecualikan dari ketentuan butir a diatas
adalah:
i. kompleks olahraga (termasuk hall olah raga, ruang
senam, kolam renang dan sejenis) selain dari gedung
olahraga(indoor) dengan jumlah tempat duduk > 1.000
ii. Gereja, Mesjid dan tempat lainnya yang khusus hanya
untuk kegiatan peribadatan.
TIM PENYUSUN PEDOMAN TEKNIS
PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

Pembina
Ir. Rachmadi BS. Menteri Pekerjaan Umum

Pengarah
Drs. Gembong Priyono, MSc Direktur Jenderal Cipta Karya, Dep. PU
Ir. Sunaryo Sumadji, MSc Sekretaris Jenderal Dep. PU
Ir. J. Hendro Moeljono Kepala Balitbang Dep. PU
Ir. Achmad Lanti, M. Eng. Staf Ahli Menteri PU V Bidang Pengembangan
Jasa Konstruksi

Pelaksana
Ir. Aim Abdurachim Idris, MSc Direktur Bina Teknis , DJCK, Dep. PU
Ir. Hari Sidharta, Dipl. H.E. Sekretaris Ditjen Cipta Karya, Dep. PU
Ir. Sutikni Utoro Kepala Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Wibisono Setio Wibowo, MSc Kepala Biro Hukum, Setjen Dep. PU

Kelompok Kerja
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, MSc Dit. Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Antonius Budiono, MCM Dit. Bitnek, DJCK, Dep. PU
Ir G. Eko Djuli Sasongko Dit, Bitnek, DJCK, Dep. PU
Ir. J. L. G. P. Eko Widiatmo Dit. Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Erry Saptaria Achyar, CES Dit, Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Adjar Prajudi, MCM, MSc Dit. Binlak Wilayah Barat, DJCK
Ir. Tulus Rachmat S Dit. Binlak Wilayah Tengah , DJCK
Ir. Achid Winarno Dit. Binlak Wilayah Timur, DJCK
Ir. Renyansih Bagian Hukum, DJCK, Dep. PU
Ny. Sri Hartinah, SH Biro Hukum, Setjen Dep. PU
Ir. HR. Sidjabat Widyaiswara Dep. PU
Ir. Suprapto, MSc Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Ir. Jacob Ruzuar, Dipl. SE Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Ir. Bambang Guritno, MSc, MPA Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU

Ir. Wiedodo Pemerintah DKI Jakarta


Ir. Ridwan Munzir Pemerintah DKI Jakarta
Ir. Sefiawan Kanani Pemerintah DKI Jakarta
Ir. Hari Sasongko Pemerintah DKI Jakarta

Suwarmo S., Dipl.BD.Sc, B.Arch, IAI, FRAIA Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Roestanto Wahidi D., MM, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Harlansyah Soerarso, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Ir. Sukartono Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)


Ir. Sardjono Hadi Sugondo Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Rusdi Marzuki Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)

Ir. H. Diding Muchidin Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik


Lingkungan Indonesia (IATPI)

Ir. Prawoto Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik


Lingkungan Indonesia (IATPI)
Ir. Ariono Suprayogi Ikatan Ahli Sistem Mekanis Indonesia (IASMI)
Ir. Sofyan Nurbambang Ikatan Ahli Sistem Mekanis Indonesia (IASMI)

DR. Ir. Binsar Hariandja Hipunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)


DR. Ir. Drajat Hoedayanto, MEng Hipunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)
DR. Ir. Bambang Budiono Hipunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)

Ir. Bintang Agus Nugroho, IALI Ikatan Ahli Lansekap Indonesia (IALI)

Ir. Bambang Tata Samiadji, MM Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Ir. Daniel Mangindaan Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)


Ir. Soedibyono Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)
Ir. Zaenal Walidin Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)

DR. Ir. Chaidir AM, MSCE Himpunan Ahli Teknik Tanah Indoensia (HATTI)

Ir. Sugeng Triyadi S. MSA, IAI Institut Teknologi Bandung


Ir.M.Prasetiyo,March,MAUD Institut Teknologi Bandung

DR. Ing. Eka Sediadi Rasyad Universitas Trisakti, Jakarta


Ir. A, Hadi Prabowo, MT Universitas Trisakti, Jakarta
Ir. Tulus Widiarso, MT Universitas Trisakti, Jakarta

Disamping itu juga melibatkan peran aktif berbagai nara sumber di bidang tata bangunan
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penyelaras Akhir
Ir. J. Hendro Moeljono
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, MSc
Ir. G. Eko Djuli Sasongko
Studio Taba '98

Direktorat Bina Teknik


Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen P.U.
Jl. Raden Patah l/1 Lantai 7 Wing 1
Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Indonesia
Telepon: (021) 7268203
Faks: (021) 7235223
E-med: bintekctaba@pu.go.id

Anda mungkin juga menyukai