PJK adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat
menyebabkan serangan jantung (American Heart Association, 2013).
PJK juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik (IHD),
atau penyakit jantung aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak
ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot
jantung) (Manitoba Centre for Health Policy, 2013).
PJK terjadi ketika zat yang disebut plak menumpuk di arteri yang memasok darah ke
jantung (disebut arteri koroner), penumpukan plak dapat menyebabkan angina,
kondisi ini menyebabkan nyeri dada dan tidak nyaman karena otot jantung tidak
mendapatkan darah yang cukup, seiring waktu, PJK dapat melemahkan otot jantung,
hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia (Centers for Disease Control
and Prevention, 2009).
PJK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung yang
disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung pun
memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh tubuh,
jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan
pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan
darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan pasokan zat makanan dan oksigen, makin besar persentase
penyempitan pembuluh koroner makin berkurang aliran darah ke jantung, akibatnya
timbullah nyeri dada (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan& Kesehatan, 2009)
Sistem kardiovaskular dapat dianggap sebagai sistem transportasi tubuh, sistem ini
memiliki tiga komponen utama yaitu jantung, pembuluh darah dan darah itu sendiri.
Jantung adalah alat pemompa dan pembuluh darah adalah rute pengiriman, darah
dianggap sebagai cairan yang mengandung oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh
dan membawa limbah yang perlu dibuang (Virtual Medical Centre, 2013).
2.2.1 Struktur dan Fungsi Jantung
2.2.1.1 Struktur Jantung
Jantung adalah otot seukuran kepalan tangan dan berbentuk kerucut dengan panjang
12 cm, lebar 9 cm dan tebal 6 cm, terletak di antara dua paru-paru di sebelah kiri dari
tengah dada, memiliki empat ruang yaitu atrium kiri, atrium kanan, ventrikel kiri dan
ventrikel kanan (Virtual Medical Centre, 2013).
2.2.1.2 Fungsi
Jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh (Virtual Medical Centre,
2013).
Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu: intima, media
dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang menyelimuti
lumen arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian dalam sistem
vaskular hampir seluas 700 m dan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki berbagai fungsi,
diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi permukaannya
dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat prostaglandin seperti prostasiklin
yang merupakan suatu vasodilator poten dan penghambat agregasi platelet, rusaknya
lapisan endotel akan memicu terjadinya aterosklerosis sebagaimana yang akan
dijelaskan dibawah ini.
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang ditandai
penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh kedalaman tunika
intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling
sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. Langkah pertama dalam
pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat
terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan
permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat
ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang
selanjutnya dapat merusak pembuluh darah. Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi
inflamasi dan imun, termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit
ke area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian memperburuk
situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi, menstimulasi proses
pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa kimia yang berperan sebagai
chemoattractant (penarik kimia) yang mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan
fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh
aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket
terutama terhadap sel darah putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit
dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang
interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap
melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga
merangsan ploriferasi sel otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di
tunika intima. Selain itu kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima
karena permeabilitas lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan
teradapat lapisan lemak diarteri. Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut,
agregasi trombosit meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian
dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding
pembuluh darah, hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan
deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan
proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit.
Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak
dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan
kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel
miokardium sehingga menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan
energinya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan
terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan
nyeri yang berkaitan dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung
dan sel-sel otot jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka
terjadilah kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark (Corwin, 2009).
PATOFffffffffff
1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan
tercekik.
Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher, bahkan
menembus ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering
dirasakan oleh penderita PJK.
2. Sesak nafas
3. Takikardi
4. Jantung berdebar-debar
5. Cemas
6. Gelisah
7. Pusing kepala yang berkepanjangan
8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas
9. Keringat dingin
10. Lemah
11. Pingsan
12. Bertambah berat dengan aktivitas
Tapi kebanyakan orang yang menderita PJK tidak mengalami beberapa gejala
di atas, tiba-tiba saja jantung bermasalah dan dalam kondisi yang kronis (UPT-Balai
Informasi Teknologi lipi, 2009).
2. Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan
onset
Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan
dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan kondisi lebih
kronis dari pada angina stabil. Angina tidak stabil merupakan bagian dari sindrom
koroner akut, dimana tidak ada pelepasan enzim dan biomarker nekrosis miokard.
Angina dari sindrom koroner akut (SKA) cenderung merasa lebih parah dari angina
stabil, dan biasanya tidak berkurang dengan istirahat beberapa menit atau bahkan
dengan tablet nitrogliserin sublingual. SKA menyebabkan iskemia yang mengancam
kelangsungan hidup otot jantung. Kadang-kadang obstruksi menyebabkan SKA hanya
berlangsung selama waktu yang singkat dan tidak ada nekrosis jantung yang terjadi,
SKA memiliki dua dua bentuk gambaran EKG yantu:
1. Infak Otot Jantung tanpa ST Elevasi (Non STEMI)
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi dan ruptur plak
ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada non
STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh
pada lumen arteri koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis dan patofisiologi
yang mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan keduanya tidak
berbeda. Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis
angina tidak stabil menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan
biomarker jantung.
Bagaaannnnn
1. Disfungsi ventricular
2. Aritmia pasca STEMI
3. Gangguan hemodinamik
4. Ekstrasistol ventrikel
5. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
6. Syok kardiogenik
7. Gagal jantung kongestif
8. Perikarditis
9. Kematian mendadak (Karikaturijo, 2010).
PJK merupakan penyakit tidak menular (noncommunacable disease) yang tidak hanya
menyerang laki-laki saja, namun wanita juga berisiko, meskipun kasusnya tidak
sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur > 65 tahun ditemukan 20 % PJK
pada laki-laki dan 12 % pada wanita (Supriyono, 2008).
Penyakit jantung adalah penyakit negara maju atau negara industri, lebih tepatnya,
penyakit ini disebut sebagai penyakit masyarakat modern, dengan pola hidup modern.
Karena itu penyakit jantung tidak saja monopoli negara maju, tetapi juga di negara
yang sedang berkembang yang menunjukkan kecendrungan peningkatannya sesuai
dengan kecundrungan modernisasi masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena
penyebab penyakit jantung berkaitan dengan keadaan dan perilaku masyarakat maju
misalnya tingginya stres, salah makan dan gaya hidup modern seperti rokok dan
minum alkohol yang berlebihan (Bustam, 2007).
suatu organisme tertentu, namun penularan penyakit ini melalui peniruan gaya hidup
sehingga penyakit ini ada yang menyebut sebagai ‘new communicable disease’.
Menurut WHO (1990), kematian karena PJPD adalah sebesar 12 juta jiwa pertahun,
sehingga dianggap sebagai pembunuh nomor satu umat manusia jika dibandingkan
dengan kematian yang disebabkan oleh penyakit lain seperti diare 5 juta jiwa, kanker
4,8 juta jiwa, dan TBC 3 juta jiwa/tahun. Padahal dikatakan bahwa PJPD ini adalah
suatu prevantable disease (penyakit yang dapat dicegah), di mana 50% kematian dini
dapat dicegah dengan upaya-upaya memodifikasi gaya hidup (Bustam, 2007).
Menurut PERKI (2004), PJPD saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab
kematian di Indonesia. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
yang dilakukan secara berkala oleh departeman kesehatan menunjukkan bahwa PJPD
memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian pada tahun
1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Muttaqin, 2009).
Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau
lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable factors)
dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat
dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi
dan DM. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin,
suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011).
Fakta menyebutkan bahwa faktor keturunan telah lama dikenal memainkan peran
terhadap kejadian PJK, Sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Kristina Sundquist
dari Pusat Penelitian Perawatan Kesehatan Primer di Malmo (Swedia) yang
diterbitkan dalam American Heart Journal. Penelitian ini dimulai pada tahun 1973
sampai 2008, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah 80.214 responden
yang diadopsi pada tahun≤ 1932. Penelitian ini mengungkapkan bahwa individu yang
memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita PJK memiliki risiko 40-
60% terkena PJK jika dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak memiliki
riawayat PJK, meskipun kedua orang tua angkatnya menderita PJK. Kemudian
Profesor Sundquist menyimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko
PJK tidak ditransfer melalui gaya hidup yang tidak sehat dalam keluarga, melainkan
melalui gen. Akan tetapi bukan berarti gaya hidup seseorang bukanlah faktor risiko
terhadap peningkatan kejadian PJK (Medical New Today, 2011).
2.9.1.2 Umur
PJK berkembang semakin bertambahnya umur seseorang, Semakin bertambah usia semakin besar
kemungkinan untuk menderita PJK dan menderita serangan jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko
terkena PJK adalah 49% untuk laki-laki dan 32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81% orang-
orang yang meninggal akibat PJK adalah ≥ 65 tahun. Data statistik ini melaporkan bahwa
bertambahnya usia merupakan faktor risiko yang membuat orang-orang merasa agak
tidak berdaya dalam memerangi PJK (Garko, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delima dkk (2009), dengan menggunakan
studi kasus kontrol dengan tingkat kepercayaan 95% (CI 95%), jumlah responden
661.165 orang, menyebutkan bahwa risiko menderita penyakit jantung cenderung
meningkat dengan bertambahnya umur, risiko cenderung meningkat hingga > 2,2 kali
pada kelompok umur > 55 tahun, 2,49 kali pada kelompok umur > 75 tahun jika
dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun.
2.9.1.3 Jenis Kelamin
American Heart Association (AHA) (2004), melaporkan bahwa 1 dari 3 wanita dewasa menderita
PJPD, sejak tahun 1984 jumlah kematian akibat PJPD pada perempuan lebih tinggi dari pada pada laki-
laki. sekitar tiga juta wanita memiliki riwayat serangan jantung akibat PJK. 38% wanita yang
menderita serangan jantung akan meninggal lebih awal dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan
laki-laki hanya 25%, meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih tua daripada
laki-laki, perempuan mungkin meninggal dalam beberapa minggu setelah menderita PJK. Namun 64%
dari wanita yang meninggal mendadak akibat PJK tidak mengalami gejala sebelumnya. Peningkatan
kejadian PJK pada wanita itu terjadi setelah menopause dan kematian 2-3 kali lebih besar daripada
wanita sebelum menopause. Oleh karena itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap
PJK. Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung pertama akibat PJK adalah usia
65,8 tahun sedangkan usia rata-rata untuk perempuan adalah 70,4 tahun. Risiko PJK meningkat
setelah umur > 40 tahun pada laki-laki yaitu 49% dan perempuan 32%, meskipun
kejadian PJK bagi perempuan lebih lambat 10-20 tahun dari pada laki-laki, namun
pada wanita yang lebih serius mengalami serangan jantung dan kematian mendadak
(Garko dan Michael, 2012).
Studi statistik menunjukkan bahwa ras/etnis memiliki peran penting terhadap kejadian
PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang Asia
memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia (Inggris) dan
Jepang (Asia Timur). Hal ini terjadi karena orang kulit hitam (terutama Afrika)
memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan
hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK (Garko dan
Michael, 2012).
2.9.2.1 Merokok
Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan serangan
jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan cara
menurunkan level kolesterol HDL (Hight density lifid). Semakin banyak merokok
semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti
merokok selama setahun maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan
jantung (Ramandika, 2012).
Menurut Depkes (2007), Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada penyakit
tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah
ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada
tahun 2006, The Global Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang
disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar biasa
merokok dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9% atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama
kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. Data Riskesdas tahun 2007 juga memperlihatkan tingginya
prevalensi penduduk yang merokok. Jumlah perokok aktif umur > 15 tahun adalah 35,4% (65,3% laki-
laki dan 5,6% perempuan), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 %
perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan
kesehatan lingkungan. Merokok dapat merubah metabolisme khususnya dengan
meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu dapat menurunkan HDL.
Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap
terjadinya PJK (Arief, 2011).
Menurut laporan WHO (2002), tingkat merokok di Asia pada laki-laki (sekitar >
40%) jauh lebih tinggi dari pada laki-laki di Barat (30-40%). Sebaliknya, tingkat
merokok di Asia pada perempuan (< 20%) jauh lebih rendah dibandingkan pada
wanita Barat (20-40 %). Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke dan PJK.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Korea dengan
menggunakan metode Prospektive Cohort Study dengan jumlah 648.346 laki-laki
Korea usia ≥10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
rokok yang dihisap perhari semakin tinggi risiko terjadinya PJK dan penyakit
penyakit lain yang ber hubungan dengan PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).
tebeelll
Dari gambar diatas maka dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan linier yang kuat dari peningkatan
risiko stroke iskemik, perdarahan subarachnoid dan MI akibat dari banyaknya jumlah rokok yang
dihisap per hari. Namun merokok tidak berhubungan dengan perdarahan intraserebral. Dalam
penelitian APCSC (Asia Pacific Cohort Studies Collaboration) tahun 2005 dengan desain studi kohort
dan CI 95% membandingkan antara perokok dengan bukan perokok, hasil penelitian tersebut
menunjukkan hasil resiko relatif (RR) 1,32 (1,24 -1.40) untuk stroke dan 1,60 (1,49-
1,72) untuk PJK. Ada hubungan dosis-respons yang jelas antara jumlah rokok dihisap
per hari dengan kejadian stroke dan PJK. Untuk mantan perokok, dibandingkan
dengan perokok saat ini dengan hasil RR 0,84 (0,76-0,92) untuk stroke dan 0,71
(0,64-0,78) untuk PJK, jadi dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa berhenti
merokok memiliki manfaat yang jelas (Hata dan Kiyohara, 2013).
Menurut penelitian Supriyono (2008), dengan design kasus kontol, dari hasil analisisi
bivariat menunjukkan bahwa kebiasaan merokok memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian PJK (p = 0,011), kebiasaan merokok juga berisiko untuk terjadinya
PJK pada usia > 45 tahun sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok
(OR=2,4 ; 95% CI=1,3-4,5).
Ringkasnya, merokok merupakan faktor risiko untuk PJK dan stroke (stroke iskemik)
pada orang Asia. Karena tingkat merokok pada orang Asia jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan orang Barat, berhenti merokok sangat penting untuk
pencegahan PJPD di Asia (Hata dan Kiyohara, 2013).
2.9.2.2 Aktivitas Fisik
Hasil penelitian Febriani (2011), Hariadi dan Ali (2005), menjelaskan bahwa orang
yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga beresiko lebih besar terkena PJK daripada
orang yang mempunyai kebiasaan olahraga, serta olahraga teratur bisa mengurangi
risiko PJK (Salim dan Nurrohmah, 2013).
1. Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja
2. Lari ringan/jogging
3. Push-up
4. Naik turun tangga
5. Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)
6. Berkebun
7. Menimba air
8. Berkebun/bercocok tanam
9. Mencangkul
10. Bermain tenis
11. Bermain bulu tangkis
12. Bermain Sepak bola/basket/ volly
13. Senam aerobik
14. Berenang
15. Bersepeda
16. Latihan beban seperti dumble dan modifikasi lain
17. Mendaki gunung
18. Dan lainnya (Rizki, 2011).
2.9.2.3 Diet
Diet dapat didefenisikan sebagai usaha seseorang dalam mengatur pola makan dan
mengurangi makan untuk mendapatkan berat badan yang ideal.
Diet terbagi 2 yaitu :
1. Diet sehat
2. Diet tidak sehat
Diet tidak sehat terbagi dua macam
a. Makanan Tinggi Lemak
Makan tinggi lemak sangat berhubungan dengan tingginya jumlah kolesterol dalam
darah. Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang
tinggi sehingga kadar kolesterol cenderung tinggi, sedangkan orang Jepang umumnya
berupa nasi, sayur-sayuran dan ikan sehingga orang Jepang rata-rata memiliki kadar
kolesterol rendah sehingga prevaleni PJK lebih rendah di Jepang dari pada Amerika
(Malau, 2011).
b. Kurang Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan
Menurut Reine (2005), Sayuran dan buah-buahan merupakan makanan rendah kalori, kaya serat
vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan (Dewi, 2013). Perilaku makan sehat merupakan perilaku
mengkonsumsi beberapa variasi kelompok makanan yang direkomendasikan yaitu karbohidrat, protein,
lemak, Sayuran dan buah-biahan secara universal (Ogden, 2010). Data frekuensi dan porsi asupan
sayuran dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah
porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi sayuran dan buah-buahan
apabila makan sayur dan atau buah minimal 5 porsi per hari (400 g) selama 7 hari
dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila konsumsi sayuran dan buah-buahan
kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur > 10 tahun kurang
konsumsi sayuran dan buah-buahan sebesar 97,0%. (Riskesdas Sumatera Selatan,
2007).
Riskesdas (2007), menyebutkan bahwa hanya 5,5 % warga Sumatera Utara usia > 10
tahun yang mengonsumsi Sayuran dan buah yang mengandung serat sesuai anjuran
WHO (Starberita Medan, 2012).
Menurut Almatsier (2004), porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan
sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 150 – 200 gram dan porsi buah yang
dianjurkan sehari untuk dewasa adalah sebanyak 200-300 gram (Gustiara, 2012).
Sejak studi meta-analisis diatas dipublikasikan maka Nikolic dkk (2008), melakukan
sebuah studi di Serbia dengan menggunakan metode kasus-kontrol yang terdiri dari
290 responden (67% laki-laki dan 33% perempuan usia 23-79 tahun), dari hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa, subyek yang mengkonsumsi sedikit sayuran (< 1
cawan per minggu p < 0,01) akan mengalami 3 kali kemungkinan lebih tinggi terkena
PJK jika dibandingkan dengan subjek yang mengkonsumsi lebih dari satu cawan
perhari dan untuk buah/jus buah, studi meta-analisis independen menunjukkan bahwa
orang yang mengkonsumsi sedikit buah/jus buah akan mengalami 1,78 kali
terjadinyan PJK (P < 0,05 , < 0.001) jika dibandingkan dengan orang yang banyak
mengkonsumsi buah/jus buah (>1 porsi perhari) (Produse for Better Health Foudatian,
2011).
Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK,
kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh
arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak kemudian
mengalami aterosklerosis (Fuster dkk, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena
abnormal lipoprotein dalam darah, hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL dan
menurunnya HDL (Kumar dkk, 2010).
Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol yang tinggi, sedangkan di
negara-negara Asia, kolesterol total (TC) umumnya lebih rendah dan kejadian PJK juga rendah.
Namun dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol
total pada negara-negara Asia mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir.
Misalnya, studi Hisayama di Japan melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia
(total kolesterol ≥[TC5,]7 mmol/L) meningkat dari 2,8% menjadi 25,8% pada pria
dan dari 6,6% menjadi 41,6% pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan
kolesterol di negara-negara Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan
makanan yang berlemak. Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan
informasi tentang hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang
dilakukan oleh Korean National Health selama 11 tahun yang terdiri dari 787.442
pria dan wanita berusia 30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan
peningkatan kejadian stroke iskemik, MI, stroke hemoragik, seperti pada gambar 2.4.
Gambaaarrr
Gambar diatas menggunakan design meta-analisis study dengan CI 95%, menjelaskan bahwa
peningkatan 1 mmol/L kolesterol maka HR akan menjadi 1,20 (1,16-1,24) untuk stroke iskemik, HR
0,91 (0,87-0,95) untuk stroke hemoragik dan HR 1,48 (1,43-1,53) untuk infark. Penelitian APCSC
dengan design studi kohort selama 5,5 tahun dengan CI 95%, menjelaskan bahwa adanya hubungan TC
(kolesterol total) dengan kejadian PJPD dan menginformasikan bahwa peningkatan≥ 1 mmol/L akan
menyebabkan terjadinya peningkatan risiko PJPD, dengan RR 1,35 (1,26-1,44), stroke iskemik fatal
dan stroke iskemik non fatal dengan RR 1,25 (1,13- 1,40), penurunan risiko stroke hemoragik
fatal RR 0,80 (0,70-0,92 ) (Hata dan Kiyohara, 2013).
Penelitan Hisayama di Jepang (2009), menunjukkan bahwa risiko terkena infark pada
otak nonembolic dan PJK megalami peningkatan pada responden dengan LDL yang
tinggi, tetapi tidak ada hubungan yang jelas dengan kejadian stroke hemoragik.
Penelitan arteriosklerosis yang dilakukan di Jepang pada tahun 2010 dengan
mengunakan longitudinal cohort study melaporkan bahwa non–highdensity
lipoprotein (non- HDL) lebih dapat dipercaya sebagai prediktor untuk peningkatan
terjadinya MI akut dari pada TC, singkatnya, hiperkolesterolemia umumnya
merupakan faktor risiko untuk penyakit aterosklerotik seperti stroke iskemik dan MI
pada orang Asia. Karena prevalensi hiperkolesterolemia telah meningkat di Asia
selama setengah abad terakhir, oleh karena itu pentingnya manajemen kolesterol
untuk mencegah penyakit aterosklerosis di masa depan (Imamura dkk, 2009).
Menurut Yayasan Jantung Indonesia (2003), kadar kolesterol dikatakan tinggi apabila
kadar kolesterol total ≥ 240 mg/L.
1. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl. 2. Kadar kolesterol LDL ≥ 160 mg/dl. 3.
Kadar kolesterol HDL ≤ 55 mg/dl. 4. Kadar trigliserida > 150 mg/dl.
2. 2.9.2.5 Obesitas
3. Obesitas sudah menjadi sebuah epidemi di negara maju, ukuran objektif
obesitas biasanya dinilai dari nilai IMT, dimana ukuran international untuk
2
2
Obesitas memiliki hubungan yang erat dengan tingginya kejadian PJPD.
Obesitas dapat meningkatkan kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan
jantung dan menurunkan kadar HDL yang bersifat kardioprotektif (Nursalim,
2011). Selain itu, seiring meningkatnya obesitas, maka hipertensi juga
meningkat. Obesitas juga dapat menyebabkan disfungsi diastolik dan
berhubungan dengan memburuknya fungsi sistolik (Artham, 2009).
4. Berdasarkan data WHO (2008), prevalensi obesitas pada usia dewasa di
Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5% dan
pada perempuan 6,9%.Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase
penduduk Indonesia yang obesitas hanya 4,7% (±9,8 juta jiwa).Ternyata
hanya dalam 8 tahun, prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua
kali lipat, Sehingga kita perlu mewaspadai peningkatan yang lebih pesat
dikarenakan gaya hidup sekarang yang semakinsedentary(santai dan bermalas-
malasan) sebagai akibat dari kemudahan teknologi. Obesitas merupakan faktor
risiko terhadap kejadian PJPD. Kelebihan berat badan mempengaruhi faktor
resiko penyakit kardiovaskular seperti peningkatan level LDL, trigliserida,
tekanan darah, kadar gula darah dan menurunkan kadar HDL serta
meningkatkan resiko perkembangan PJK, gagal jantung, stroke dan aritmia.
5. Universitas Sumatera Utara
6. Mencapai dan menjaga berat badan yang sehat selama hidup merupakan salah
satu faktor utama untuk menurunkan resiko PJPD. (Dinkes Prov Yogyakarta,
2014).
7. Data dari Framingham (2008), menunjukkan bahwa apabila setiap individu
mempunyai berat badan optimal, maka akan terjadi penurunan kejadian PJK
sebanyak 25% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5%.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia (Malau, 2011).
8. Laporan FAO/WHO/UNU (1985), menyatakan bahwa batasan berat badan
normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di
Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Massa
Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status
gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang
penggunaan IMT berlaku untuk orang yang berumur > 18 tahun (Lutfah,
2013).
9. Adapun rumus perhitungan IMT menurut Lutfah (2013) adalah sebagai
berikut:
10. Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)
11. Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap
PJK, berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan
toleransi
12. glukosa. Pada penelitiannya menunjukkan bahwa penderita yang memiliki
IMT >25 lebih banyak yang menderita PJK dari pada kontrol (Arief, 2011).
2.9.2.6 Hipertensi
13. Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang
menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan
tekanan darah sistolik normal < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80
mmHg (Fuster dkk, 2010). menurut Eighth Joint National Committee (JNC
VIII), tekanan darah dikatakan tinggi apabila tekanan sistolik≥ 140 dan
diastolik ≥ 90 mmHg (Culpeper, 2013).
14. Menurut penelitian Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi
merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK.
Prevalensi hipertensi pada usia dewasa berjumlah 38,3% di Jepang, 27,7% di
Cina, 23,7% di Taiwan, 21,7% di Thailand, 23,8 % di India Utara (urban) dan
30,7% di India Barat (daerah perkotaan). Prevalensi hipertensi di Jepang
tampaknya lebih tinggi dari pada di negara-negara Asia lainnya, tetapi sulit
untuk membuat akurat perbandingan karena metode untuk pengumpulan data
dan pengukuran tekanan darah yang tidak standar antara studi memeriksa
masalah ini. Dalam hal apapun kita dapat menyimpulkan secara kasar bahwa
seperempat atau sepertiga dari populasi orang dewasa di Asia memiliki
hipertensi. Prehipertensi terbukti menjadi faktor predisposisi untuk hipertensi
di masa depan, dan lebih jauh lagi, sudah ada beberapa studi yang telah
menjelaskan hubungan langsung antara prehipertensi dan risiko PJK.
Penelitain APCSC lebih dari 7 tahun dengan jumlah responden yang cukup
besar, mengunakan
studi meta-analisis dari design 44 studi kohort dengan 600.000 responden dari Asia
(Cina, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand) dan
Oceania (Australia dan Selandia Baru) untuk mencari pengaruh tekan darah tinggi
terhadap kejadian stroke dan PJK. Penelitian ini menggunakan kategori tekan darah
normal (TDS (tekanan darah sistolik) < 120 mmHg dan TDD (tekanan darah
diastolik) < 80 mmHg ) , prehipertensi (TDS 120-139 mmHg dan TDD 80-89
mmHg), hipertensi diastolik terisolasi (TDS < 140 mmHg dan DB≥P90 mmHg ),
hipertensi sistolik terisolasi (TDS ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg ) dan hipertensi
sistolik-diastolik (TDS ≥ 140 mmHg dan TTD ≥ 90 mmHg ).
Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh
darah (Malau,2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa laki- laki yang
menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada orang
normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian
Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan
kejadian PJK (Arif, 2011).
Menurut data APCSC yang representatif (2007), prevalensi DM 2,6% di China, 3,1%
di Mongolia, 4,3% di India, 5,1% di Taiwan, 6,4% di Filipina, 6,9% di Malaysia,
5,7% di Indonesia, 8,2% di Singapura, 9,6% di Thailand, 9,7% di Hong Kong dan
10,5% di Korea Selatan. Dalam penelitian Hisayama Study pada penduduk Jepang
dengan total 2.421 responden yang diikuti selama selama 14 tahun untuk
memperkirakan hubungan antara status toleransi glukosa dengan kejadian
peningkatan PJPD. Dalam penelitian tersebut, Status toleransi glukosa ditentukan
dengan kriteria WHO tahun 1998, yaitu:
1. Toleransi glukosa normal (puasa glukosa < 6.1 mmol/L dan 2 jam setelah
makan <
7,8 mmol/L)
2. Gangguan glikemia puasa (6,1-6,9 mmol/L dan 2 jam setelah makan > 7,8
mmol/L)
3. Toleransi glukosa puasa terganggu < 7,0 mmol/L dan 2 hpg 7,8-11,0
mmol/L)
Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis
semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari
penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk
berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari
pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun
terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik
setelah menderita serangan jantung (Martohusodo, 2007).
Penanggulanagan PJK baik dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain belum
memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah yang
paling penting untuk menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi
Pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha
menjaga agar orang tidak menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai
sejak dini, yaitu pada masa remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty
streat atau proses awal aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan
Pencegahan sekunder adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan jantung
dengan segala komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK.
Berhubung aterosklerosis pada arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko seperti stres, tekanan
darah tinggi, DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh dengan mengubah gaya hidup
yang meterialistis, konsumtif dan hedonistis (Kabo, 2008).
Dalam pencegahan PJK ada 4 tingkatan yaitu:
2.10.1 Pencegahan Primordial (Pre Primary Prevention)
Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan PJK sebelum seseorang menderita.
Dilakukan dengan pendekatan komuniti berupa penyuluh faktor risiko PJK terutama
pada kelompok risiko tinggi. Pencegahan primer ditujukan kepada pencegahan
terhadap berkembangnya proses atherosklerosis secara dini (Bustam, 2007).
Untuk mencegah berkembangnya atherosklerosis maka ada hal yang harus dilakukan
yaitu:
1. Diet
Adapun metode diet yang benar adalah:
a. Baca label makanan dan minuman yang dibeli untuk menentukan pilihan
yang terbaik
teh
f. Konsumsi ikan sedikitnya dua kali seminggu.
tekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini diperlukan perubahan
pola hidup (terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan) dan kepatuhan berobat
bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan tingkat ketiga ini ditujukan
untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas
(Bustam, 2007). Untuk menghindari terjadinya penyakit yang lebih parah atau
komplikasi yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan penegakan diagnosa dengan
cepat dan tepat seperti:
2.10.3.1 Riwayat/Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat, tepat dan didasarkan pada
tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada atau rasa
tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA.
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
gejala yang tidak tipikal seperti: rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di
epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan
pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis
(Departemen Kesehatan, 2006)
tabeeellll
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan
kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak terkontrol,
anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi
lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan
gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit
vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan penderita PJK
(Depkes, 2006).
2.10.3.3 Pameriksaan Penunjang/Pemeriksaan Diagnostik PJK
Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan penunjaung
diantaranya:
a. EKG
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan
b.
c.
di sandapan prekordial.
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya
perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis
APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat
mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi
lebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori:
1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai
gelombang Q
2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam (Kulick,
2014).
4. Ekokardiogram
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar
jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari
dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang
bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima
terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner
(Mayo Clinik, 2012).
5. Kateterisasi jantung atau angiografi
Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal
dengan memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke
pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut
kateterisasi jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau
intravena ini dikenal sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini
adalah untuk mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila
ditemukan adanya suatu kelainan (Mayo Clinik, 2012).
6. CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)
Akhmad, D. dkk, 2009. Analisis Regresi Logit Ganda. Program Studi Statistika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Alaeddini, J., 2011. Angina Pectoris. Medscape [serial online] Oct 2011 [cited 2011
Nov 17]. http///: emedicine.medscape.com/article/ 150215-overview# showall.
Tanggal 12 Januari 2014.
Andarmoyo, S. dan Nasriati, R., 2012. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner pada
Kelompok Usia Muda. Universitas Muhammadiyah Ponorogo Fakultas Ilmu
Kesehatan Program Studi D III Keperawatan. Jawa Timur.
Arief, F., 2011. Faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada
Penderita Sindroma Koroner Akut di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
Artham, S.M.; Lavie, C.J.; Milani, R.V. dan Ventura, H.O., 2009. Obesity and
Hypertension, Heart Failure and Coronary Heart Disase- Risk Factor, Paradox, and
Recommendations for Weight Loss. The Ochsner Journal 2009.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC3096264/. Tanggal 8 April 2014.
Ascherio, A.; Rimm, E.B.; Giovannucci, E.L.; Spiegelman, D.; Stampfer, M. dan
Willett, W.C., 2014. Dietary Fat and Risk of Coronary Heart Disease in Men: Cohort
Follow Up Study in the United States. http://www.bmj.com/content/313/ 7049 /84.
Diakses tanggal 08 juni 2014.
Bender, J.R.; Russel, K.S.; Rosenfeld, E.L. dan Chaudry, S., 2011. Oxford American
Handbook of Cardiology. 1st ed. New York: Oxford University Press
Boston University Medical Center, 2013. Effects of Alcohol on Risk Factors for
Cardiovascular Disease. Science Daily. Journal University.
http://www.sciencedaily.com/releases/ 2011/03/110307124820.htm. Tanggal 07
Januari 2014.
British Heart Foundation, 2010. Coronary Heart Disease Statistics. www. Coronary_
Heart_Disease_ Statistics.pdf. Tanggal 17 Desember 2013.
Bustam, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit tidak Menular. Cet. 2. Jakarta: Rineka
Cipta.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Coronary Artery Disease
(CAD). CDC. USA. Available: http://www.cdc.gov/heartdisease/coronary_ ad.htm.
Tanggal 12 Januari 2014.
Damanik, I.G., 2012. Gambaran Konsumsi Sayuran dan Buah pada Siswa SMA
Negeri 1 Pekanbaru. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas sumatera utara. Medan.
Delima; Mihardja, L.dan Siswoy, H., 2009. Prevalensi dan Faktor Diterminan
Penyaki Jantung di Indonesia. journal Vol. 37, No. 3, 2009 : 142 – 15.
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/ index.php/BPK/article /view File/218 2/1103.
Tanggal 10 Januari 2014.
Depkes, 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner Fokus
Sindrom Koroner Akut. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.
Depkes RI, 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik.
Direktorat Pengendalian Penyakit tidak Menular. Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
______ , 2009. Pengendalian Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Berbasis Masyarakat. Edisi I, Cetakan II. Depkes RI. Ditjen P2&PL Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Departement of Veterans’ Affairs Australian Goverment, 2014. Alcohol and Heart
Disease. http://at-ease.dva.gov.au/therightmix/files/2013/01/P01994C_
Alcohol_Heart_Disease. pdf. Tanggal 05 Januari 2014.
Dewi, Y., 2013. Studi Deskriptip: Persepsi Makan Buah dan Sayuran pada Anak
Obesitas dan Orang tua. Jurnal Ilmiah. Vol. 2. No. 1. Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya.
Dinkes Provensi D.I. Yogyakarta, 2014. Obesitas, Faktor Resiko berbagai Penyakit.
Berita dan Artikel Dinas Kesehatan Yogyakarta. http://dinkes.jogjaprov.
go.id/berita/detil_berita /549-obesitas-faktor-resiko-berbagai-penyakit-anda- awas-
bahaya-mengancam. Tanggal 10 Januari 2014.
Ekawati, F.F., 2010. Upaya Mencegah Penyakit Jantung dengan Olahraga. Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Fuster, V.; Walsh, R. dan Harrington, R. 2010. Hurst’s The Heart. ed. 13th. China:
The McGraw-Hill.
Garko, M., 2012. Coronary Heart Disease – Part III: Non-Modifiable Risk Factors.
Health and Wellness Monthly.Article. http://letstalknutrition.com/ coronary- heart-
disease-part-iii-non-modifiable-risk-factors. Tanggal 05 Januari 2014.
Grossman, W., 2013. Non-modifiable Risk Factors. Centre For Prevention Of Heart
and Vascular Disease. University Of California. San Francisco.
http://healthyheart.ucsf.edu/heartdisease-riskfactors.shtml. Tanggal 10 Januari 2014.
Gustaviani, R., 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Sudoyo,
AW.; Setiyohadi B.; Alwi I. dan Simadibrata, MI., (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: FKUI.
Fang, J.; Shaw, K.M. dan Keenan, N.L., 2011. Div for Heart Disease and Stroke
Prevention. National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion
Prevalence of Coronary Heart Disease --- United States, 2006— 2010.
http://www.cdc.gov/ mmwr/preview/ mmwrhtml/mm6040a1.htm (Weekly October
14, 2011 / 60(40);1377-1381). Tanggal 18 Desember 2013.
Hata J. dan Kiyohara Y., 2013. Epidemiology of Stroke and Coronary Artery Disease
in Asia. Circulation Journal Vol.77, August 2013 https://www.jstage.jst.go.
jp/article/circj/77/8/77_CJ-13-0786/_pdf. Tanggal 17 Desember 2013.
Hidayat, A. A., 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta: Selemba Medika.
Imamura, T. dkk, 2009. LDL Cholesterol and The Development of Stroke Subtypes
and Coronary Heart Disease an A General Japanese Population. Article. The
Hisayama Study. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19095987. Tanggal 8 April
2014.
Kardika, I.B.W. dkk, 2013. Preanalitik dan Interpretasi Glukosa untuk Diagnosis
Diabetes Melitus. Jurnal vol 2 no 10. Bagian Patologi Klinik Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar. Bali.
Kasma, 2011. Coronary Artery Disease. Referat Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman. Samarinda.
Kim M.C. dkk, 2011. Definitions of Acute Coronary Syndromes. In V Fuster et al.,
eds., Hurst's the Heart, 13th ed., vol. 2, pp. 1287–1295. New York: McGraw-Hill.
Lawrence J. L. dkk, 2012. Journal of the American College of Cardiology Volume 60,
Issue 25, Supplement, 25 December 2012, Pages S1–S49.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0735109712053715. Tanggal 10
September 2014
Lutfah, N., 2013. Tingkat Pengetahuan tentang Masalah Gizi dan Status Gizi pada
Remaja Putri. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin. Makasar.
Malau, M.A., 2011. Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Tingkat Hipertensi
di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Juni- Desember 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Manitoba Centre for Health Policy (MCHP), 2013. Concept: Coronary Heart Disease
(CHD)/Ischemic Heart Disease (IHD) - Measuring Prevalence. http://mchp-
appserv.cpe.umanitoba.ca/view Concept.php?conceptID=1083. University Of
Manitoba. Canada. Tanggal 30 Desember 2013.
Medical New Today, 2011. Genetics Key Factor in Coronary Heart Disease, Not
Lifestyle. Artcle, 28 August 2011. http://www.medicalnewstoday. com/
articles/233458.php. Tanggal 27 Desember 2013.
Mayo Clinic, 2012. Disease and Condition Coronary Artery Disease Tests and
Diagnosis. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/coronary-artery-
disease/news/CON-20032038. Tanggal 2 Februari 2014.
Muttaqin, A., 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Selemba Medika.
Nasution, N.H., 2012. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang
dirawat Inap di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan Tahun 2010. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nuraeni, D., 2012. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Lemak Jenuh dan Obesitas
Sentral dengan Kolesterol Total pada Dosen dan Karyawan Universitas Siliwangi
Tasikmalaya. Journal Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Nursalim, A. dan Yuniadi, Y., 2011. Paradox Obesitas pada Pasien Gagal Jantung.
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 32, No. 4 • Oktober - Desember 2011 Jurnal
Kardiologi Indonesia. 2011;32:207-8 ISSN 0126/3773. Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular FKUI dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Jakarta.
nd
Blackwell publishing.
Produse for Better Health Foudatian, 2011. Fruits, Vegetables, and Health: A
Scientific Overview. http://www.pbhfoundation.org/pdfs/about/res/pbh_res/
PBH_Health_ Benefit_Review. pdf. Tanggal 30 Desember 2013.
Rahman, M., 2006. Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: FKUI.
Rahmawati, A.C.; Zulaekah, S. dan Rahmawaty, S., 2009. Aktivitas Fisik dan Rasio
Kolesterol (HDL) pada Penderita Penyakit Jantung Koroner di Poliklinik Jantung
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-7621, VOL. 2, NO. 1 ,
JUNI 2009. Prodi Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Ramandika, E.A., 2012. Hubungan Faktor Risiko Mayor Penyakit Jantung Koroner
dengan Skor Pembuluh Darah Koroner dari Hasil Angiografi Koroner di RSUP Dr,
Kariadi Semarang. Program pendidikan Sarjana Kedokteran. Fakultas Kedokteran.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Rizky, M.S., 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi
Kognitif pada Lansia di Kelurahan Darat. Program Magister Kedokteran Klinik-
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Salim, A.Y., dan Nurrohmah, A., 2013. Hubungan Olahraga dengan Penyakit Jantung
Koroner di RSUD Dr Moewardi. Jurnal. Vol. 10 No. 1 Februari 2013. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan (STIKES) Aisyiyah. Surakarta.
Shah S.Z.A.; Devrajani, B.R.; Devrajani, T. dan Bibi, T., 2008. Frequency of
Dyslipidemia in Obese Versus Non- obese in Relation to Body Mass Index (BMI),
Waist Hip Ratio (WHR) and Waist Circumference (WC). Pakistan Journal of Science.
62 (1): 27-31. http:// www. lumhs.edu.pk/faculties/ medicine/medicine/dr.bikha-
research/22.pdf. Tanggal 09 juni 2014.
Starberita Medan, 2012. Hanya 5,5 Persen Warga Sumut Konsonsumsi Buah dan
Sayur. http://www.starberita.com/index.php?option=com_content&view=
article&id=80709:hanya-55-persen-masyarakat-sumut-konsumsi-buah-dan-
sayur&catid=37:medan&Itemid=457. Tanggal 27 Januari 2014.
Tsalissavrina, I.; Wahono, D. dan Handayani, D., 2006. Pengaruh Pemberian Diet
Tinggi Karbohidrat dibandingkan Diet Tinggi Lemak terhadap Kadar Trigliserida dan
HDL Darah. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXII, No.2, Ilmu Gizi Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan & Kesehatan Bandung, 2009. Penyakit
Jantung dan Gaya hidup Sehat. http://www.bit.lipi.go.id/pangan-kesehatan/
documents/artikel_ jantung/penyakit_ jantung. pdf. Tanggal 27 Januari 2014.
org/HIC/Topics/HSmart/riskfact.cfm
World Health Organization (WHO), 2007. WHO Reference 2007 for Child and
Adolescent. WHO, Geneva.
______, 2010. http://www.who.int/bulletin/ volumes/88/2/08-057885/en/. Tanggal 16
Desember 2013.
Yanti, S.D., 2009. Karakteristik Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSU dr.
Pringadi Medan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.
Yusnidar, 2007. Faktor- Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner pada Wanita Usia >
45 Tahun. (Studi Kasus di RSUP Dr. Kariadi Semarang). Program Pasca Sarjana
Universita Diponegoro Semarang.