Anda di halaman 1dari 6

ADENOMIOSIS

A. Level SKDI :1
B. Sistem :Reproduksi
C. Perbandingan Usia :-
D. Perbandingan Jenis Kelamin :-
E. Definisi & Klasifikasi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi
jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan
pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium
hipertrofik dan hiperplastik. Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang
dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma
endometrium pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman
menjadi penting sebab batas JZ seringkali ireguler, dan adenomiosis harus
dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis minimal. Ada dua cara
membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus
adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik
tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan
dalam dan lapisan permukaan.
Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis
sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ
sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun.
Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial
berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <⅓,
<⅔ atau >⅔. Dan ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas
dengan intensitas sinyal rendah pada semua sekuens MRI.
Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika
ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah
endomyometrial junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut
adenomiosis jika jarak antara batas bawah endometrium dengan daerah
miometrium yang terkena + 2,5 mm. Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai
invasi minimal kelenjar endometrium < 2 mm di bawah stratum basalis
endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari
sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap
mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara
endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total
ketebalan miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan
kedalaman penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:
Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)
Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium
Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)
Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau
endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) &
berat (>10).
F. Faktor Risiko
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara
lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium,
riwayat abortus spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat
partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea,
endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan
kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.
Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
adenomiosis. Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan parous
dan hampir 80 persen berkembang pada wanita di usia empat puluhan dan lima
puluhan
G. Diagnosis
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen bedah,
meskipun salah satu bentuk dapat diduga secara klinis. Dengan demikian,
dilaporkan insiden di spesimen histerektomi bervariasi tergantung pada kriteria
histologis serta tingkat sectioning, tetapi berkisar antara 20 sampai 60 persen
Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara
dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12
minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis
klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis.
Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat.
Hal ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut
juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD)
maupun endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan
secara histologis setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam
tehnik pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat
akurasi yang tinggi.
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang
dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan
diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti
leiomioma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala
klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada
pasien dengan pengobatan konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan
pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG
transabdominal, USG transvaginal dan MRI.
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit
dengan kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium.
HSG memiliki sensitivitas yang rendah.
Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang
membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik
di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada
2001 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%,
sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG
transabdominal memiliki kapasitas diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis
terutama pada wanita yang terdapat fibroid.
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG
transvaginal yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik.
Kriteria diagnostik dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur
miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal
dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium.
Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi
86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana
kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista
miometrium. MRI merupakan modalitas pencitraan yang paling akurat untuk
evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal ini karena kemampuannya dalam
diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat anatomi internal uterus yang
normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk,
kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah
miometrium dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12
mm.
Sonografi
Karena sonografi transabdominal tidak konsisten mengidentifikasi perubahan
miometrium pada adenomiosis, pencitraan dengan TVS lebih disukai, dan
pencitraan MR mungkin lebih banyak mendapat pujian.
H. Gambaran Klinis
Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala.
keparahan mereka berkorelasi dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik dan
luasnya invasi Biasanya terdapat gejala Menorrhagia dan dismenore.
Menorrhagia mungkin akibat dari peningkatan dan vaskularisasi abnormal dari
lapisan endometrium. Dismenore diduga disebabkan oleh peningkatan produksi
prostaglandin ditemukan dalam jaringan adenomyotic dibandingkan dengan
miometrium normal (Koike, 1992). Mungkin 10 persen mengeluhkan
dispareunia. Karena adenomiosis biasanya berkembang pada wanita parous tua
di 40-an dan 50-an, infertilitas bukanlah keluhan umum.
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah
studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari
spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas.
Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran
uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain.
Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau
terus-menerus.
Tabel 2.1 Presentasi klinis adenomiosis

Gejala Klinis Adenomiosis


1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal atau
MRI;

bersama dengan patologi yg lain)


2. Perdarahan uterus abnormal

Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses adenomiosis

(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat)

Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan
adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar


adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari kelenjar
adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan hubungannya dengan
perdarahan banyak menentukan pilihan strategi penatalaksanaannya. McCausland
menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi endometrium, kedalaman penetrasi
adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak
yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi
endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan
perdarahan banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah
konvensional yaitu histerektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998;


4: 312-322.
2. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.
3. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility.
Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.
4. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.
5. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
6. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed. 2007.
London : Blackwell Science, Ltd.
7. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and Uncommon
Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound
Med 2006; 25:617–627.
8. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6
pp.1275–1279, 1997.
9. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott
Williams & Wilkins.
10. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell
Science, Ltd.

Anda mungkin juga menyukai