PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Penurunan Kesadaran ?
2. Apa fisiologi dari Penurunan Kesadaran ?
3. Apa Patofisiologi dari Penurunan Kesadaran ?
4. Sebutkan apa saja dari Penurunan Kesadaran ?
5. Bagaimana cara menilai kesadaran secara kuantitatif ?
6. Apa Etiologi dari Penurunan Kesadaran ?
7. Bagaimana pemeriksaan umum pada kasus Penurunan Kesadaran ?
8. Bagaimana pemeriksaan neurologis pada Kasus Penurunan Kesadaran ?
9. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Penurunan Kesadaran ?
10. Bagaimana caranya membedakan sebab metabolik dengan struktural dari
Penurunan Kesadaran ?
11. Apa saja penatalaksaan dari Penurunan Kesadaran ?
12. Apa prognosis dari Penurunan Kesadaran ?
2
1.4 Manfaat
Dengan dibuatnya makalah ini, semoga bisa Mahasiswa mampu menjelaskan
kembali tentang penjelasan dari Penurunan Kesadaran.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Terdapat beberapa definisi yang menggambarkan arti dari
kesadaran. Menurut Posner dkk Kesadaran adalah suatu keadaan yang
menggambarkan sejauh mana seseorang siaga atau mengetahui
keadaan yang terjadi pada dirinya dan juga lingkungan di sekitarnya.
Menurut para psikolog definisi dari kesadaran itu sendiri adalah
kesiagaan yang terus menerus terhadap seluruh rangsangan yang
meliputi perasaan, tingkah laku, emosi, kemauan dan impuls. Beberapa
aspek yang penting dalam kesiagaan atau awareness adalah fungsi
mental yaitu proses kognitif yang berhubungan dengan kejadian saat
ini dan pengalaman terdahulu. Para klinisi yang mengedepankan
penilaian kesadaran pada hal yang objektif seperti kelakuan dan respon
pasien terhadap stimulus daripada apa yang dikatakan oleh pasien
menambahkan definisi kesadaran yaitu suatu keadaan yang
menggambarkan sejauh mana seseorang siaga terhadap diri dan
lingkungannya dan sejauh mana responsivitas seseorang terhadap
stimulus eksternal (nyeri, sentuhan) dengan kebutuhan internal (makan,
minum). Pada ilmu medis terdapat batasan yang jelas antara tingkat
kesadaran dengan isi dari kesadaran tersebut. Tingkat kesadaran
digambarkan dengan ekspresi wajah, terbuka atau tidaknya mata,
adanya kontak mata dan postur tubuh, contoh tingkat kesadaran adalah
kompos mentis, sedangkan isi dari kesadaran contohnya adalah
kualitas berpikir dan koherensi antara pemikiran dengan tingkah laku.
Akan tetapi istilah-istilah seperti kesadaran, tingkat kesadaran seperti
kompos mentis, delirium dan koma masih ambigu saat digunakan
karena tidak semua klinisi dan ilmuwan berpendapat sama.
4
2.2 Fisiologi kesadaran
Gambar 1
Ascending Reticular Activating System (ARAS)
Keadaan sadar dan siaga ditentukan oleh adanya stimulus.
Stimulus yang membangkitkan kesadaran dapat berasal darimanapun
seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan lainnya.
Ada 2 komponen yang dibutuhkan agar keadaan sadar dapat
dipertahankan, yang pertama adalah stimulus dan juga ARAS
(Ascending Reticular Activating System). ARAS adalah suatu jaras
yang menghubungkan antara formatio reticularis di batang otak
dengan seluruh bagian dari kedua korteks hemisfer serebri, meskipun
arahnya yang ascending jaras ini terpisah dari jaras sensorik lainnya,
penamaan “reticular” sendiri yang berarti “jaring” menunjukan bahwa
ARAS merupakan jaras yang tidak searah dan seperti halnya jaring,
bercabang-cabang menerima impuls dari berbagai reseptor sensorik.
Formatio reticularis adalah kumpulan nukleus neuron yang terletak di
pertengahan pons dan memanjang sampai ke otak tengah. Pada zaman
perang dunia ke 1, terjadi sebuah epidemik dari penyakit ensefalitis
lethargica dimana pasien dapat tidur sampai 20 jam per hari, kemudian
5
pada autopsi ditemukan adanya lesi pada batang otak di batang otak
dekat dengan otak tengah. Bukti lain bahwa formatio reticularis
dibutuhkan dalam mempertahankan kesadaran adalah eksperimen yang
dilakukan oleh Moruzzi dan Magoun. Pada eksperimen tersebut
dilakukan diseksi pada dua ekor kucing, pada kucing pertama
dilakukan diseksi di daerah kaudal medula oblongata, pada kucing
kedua dilakukan diseksi di daerah di antara pons dengan otak tengah.
Hasilnya adalah penurunan kesadaran terjadi pada kucing kedua. Hal
ini menunjukan bahwa terdapat suatu sistem kesadaran pada daerah
batang otak tersebut.
Jaras dari ARAS antara formatio reticularis dengan korteks serebri
dihubungkan oleh bagian medial dari thalamus, setelah singgah di
thalamus, jaras ini akan menyebar ke seluruh korteks di kedua hemisfer
serebri. Fungsi dari ARAS sendiri adalah mempertahankan impuls
yang terus menerus agar korteks serebri tetap aktif dan memberikan
respon terhadap stimulus tersebut sehingga seorang individu terlihat
“sadar”.
6
gangguan dari penghantaran impuls, dimana jika hal ini terjadi pada
jaras ARAS impuls dari formatio reticularis ke korteks serebri akan
berhenti sehingga menyebabkan penurunan kesadaran. Hal yang sama
berlaku pada proses yang terjadi pada penekanan ARAS oleh tumor
yang akhirnya akan menyebabkan gangguan perfusi. Hipoglikemia
juga dapat mengakibatkan pembengkakan sel karena tidak tersedianya
energi bagi pompa Na+-K+. Keadaan hiponatremia dapat menyebabkan
influx cairan ekstrasel yang menyebabkan pembengkakan sel
sedangkan hipernatremia dapat menyebabkan keluarnya cairan
intrasel sehingga terjadi pengerutan sel saraf yang juga akan
menggangu hantaran impuls dari ARAS dan berakibat pada penurunan
kesadaran.
7
2.4 Klasifikasi penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran akut2
o Clouding of consciousness (somnolen) Keadaan
dimana terjadi sedikit penurunan kesadaran yang
ditandai dengan inatensi dan pasien tampak mengantuk.
o Confusion Pada keadaan ini pasien tampak
terdisorientasi, kebingungan dan kesulitan dalam
memahami dan mengikuti instruksi yang diberikan
o Delirium gangguan kesadaran akut yang ditandai
dengan kegelisahan, ilusi, halusinasi dan inkoherensi
antara pikiran dengan perkataan.
o Obtundation pasien tampak apatis dengan keadaan
sekitar dan cenderung tertidur, masih dapat
dibangunkan akan tetapi akan cepat kembali pada
keadaan tidur.
o Stupor kondisi dimana pasien mengalami tidur yang
dalam atau tidak merespon, respon hanya timbul pada
stimulan yang kuat dan terus menerus. Dalam keadaan
ini dapat ditemukan gangguan kognitif.
o Koma Pasien sama sekali tidak merespon terhadap
rangsangan apapun yang diberikan.
o Locked-in syndrome pasien tidak dapat meneruskan
impuls eferen sehingga tampak kelumpuhan pada
keempat ektremitas dan saraf cranial perifer. Pasien
masih sadar akan tetapi tidak bisa merespon. Biasanya
pemeriksa akan meminta pasien untuk menjawab
pertanyaan tertutup (ya atau tidak) dengan kedipan
mata.
8
Penurunan kesadaran kronis
o Dementia kelainan mental yang kronis, progresif dan
persisten yang disebabkan oleh proses penyakit pada
otak atau cedera pada otak yang ditandai dengan gejala
kelainan memori, kemampuan pemecahan masalah dan
perubahan kepribadian.
o Hypersomnia keadaan dimana pasien tampak tidur
secara normal namun saat terbangun, kesadaran tampak
menurun/tidak sadar penuh.
o Abulia keadaan dimana pasien kehilangan keinginan
dan motivasi (lack of will) dan merespon secara lambat
terhadap rangsangan verbal.
o Akinetic mutism Kelainan kesadaran kronis yang
ditandai dengan ppasien yang imobil (akinetic) dan
diam, tidak mengeluarkan perkataan (mutism).
o The minimally conscious state (MCS)
Keadaan dimana terdapat penurunan kesadaran yang
drastis/berat tetapi pasien dapat mengenali diri sendiri
dan keadaaan sekitar. Keadaan ini biasanya timbul pada
pasien yang mengalami perbaikan dari keadaan koma
atau perburukan dari kelainan neurologis yang
progresif.
o Vegetative state (VS)
Bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien yang
mengalami penurunan kesadaran,meskipun tampak
mata pasien terbuka, namun pasien tetap dalam keadaan
koma. Pada keadaan ini regulasi pada batang otak
dipertahankan oleh fungsi kardiopulmoner dan saraf
otonom, tidak seperti pada pasien koma dimana
hemisfer cerebri dan batang otak mengalami kegagalan
fungsi. Keadaan ini dapat mengalami perbaikan namun
9
dapat juga menetap (persistent vegetative state).
Dikatakan persisten vegetative state jika keadaan
vegetative menetap selama lebih dari 30 hari.
o Brain death didefinisikan sebagai hilangnya seluruh
fungsi otak yang sifatnya ireversibel, termasuk fungsi
yang paling penting yaitu untuk mempertahankan
sirkulasi dan homeostasis.
o Penilaian AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unresponsive)
Tenaga kesehatan yang bekerja di ruangan gawat
darurat biasanya lebih memilih menggunakan penilaian
AVPU karena lebih cepat. Penilaian AVPU adalah
sebagai berikut:
A: Alert atau sadar penuh
V: Verbal, hanya sadar saat dirangsang dengan suara
P: Pain. Sadar saat dirangsang nyeri
U: Unresponsive, tidak sadarkan diri dengan stimulus
apapun
2.5 Cara menilai kesadaran secara kuantitatif
Glasgow Coma Scale (GCS)
GCS adalah suatu cara untuk mengukur kesadaran
seseorang secara objektif dan kuantitatif berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/
Mata(E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V).
Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi
15 (Compos mentis atau sadar penuh)
10
Pemeriksaan derajat kesadaran GCS
Eye:
E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 membuka mata dengan rangsang suara
E4 membuka mata spontan
Motorik:
M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat
(confused)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan kurang dari
8 menandakan koma
11
o Supratentorial: ditandai adanya gejala fokal yang terjadi
lebih dulu dan menonjol sebelum terjadinya penurunan
kesadaran
o Infra tentorial: koma terjadi lebih dahulu akibat
penekanan batang otak, dapat terjadi gangguan pada
pola pernafasan dan refleks batang otak seperti reflek
pupil, refleks kornea, doll eye movement (respon
okulosefalik) dan respon okulovestibular
12
Tabel 1
Klasifikasi etiologi penurunan kesadaran
13
Menentukan ada atau tidaknya gejala-gejala fokal yang ada
pada pasien yang menandakan kerusakan pada jaras, korteks
maupun batang otak.
Seperti penanganan kasus berat lainnya, sebelum mencari
kemungkinan etiologi, seorang dokter atau tenaga medis harus yakin
bahwa tidak ada kondisi yang mengancam nyawa pada pasien, oleh
karena itu penting dilakukan primary survey yang meliputi Airway,
Breathing, Circulation (ABC).
Airway: Apakah ada tanda-tanda sumbatan jalan nafas seperti
snoring, gargling, stridor yang menandakan sumbatan parsial
jalan nafas atau bahkan hilangnya suara nafas yang
menandakan obstruksi total dari jalan napas.
Breathing: Apakah pasien masih bernafas, jika ya, nilai juga
pola dan frekuensi nafas dari pasien apakah ada tachypnoe,
apnoe, atau pola pernafasan yang abnormal seperti cheyne
stoke respiration.
Circulation: Menentukan apakah terjadi hipoperfusi atau syok
pada pasien dengan cara meraba nadi a. Radialis atau a. Karotis
komunis, dinilai frekuensi nadi (tachykardia, bradikardia) dan
pola nya apakah reguler atau tidak
14
padahal merupakan kelainan fokal seperti afasia dan hemiparese dan
bukan kelainan global seperti yang terjadi pada penurunan kesadaran.
Saat mewawancara pasien pada penurunan kesadaran, untuk
menilai kesadaran dapat dipakai berbagai skala penilaian, berikut
diberikan contoh cara menilai kesadaran menggunakan Grady Coma
Scale yang belum sering dibahas. Saat pemeriksa memanggil nama
pasien perhatikan apakah pasien tampak kebingungan, mengantuk atau
acuh tak acuh. Pasien yang merespon saat namanya dipanggil,
contohnya dengan membuka mata, kemudian tidak tertidur lagi ketika
tidak distimulasi, dapat dikatakan pasien tersebut ada dalam keadaan
Grade I coma. Pada pasien yang ada dalam penurunan kesadaran yang
lebih jauh lagi contohnya pada pasien yang tidak merespon saat
namanya dipanggil dapat dicoba rangsangan dengan light pain atau
nyeri ringan dengan menusukan secara halus jarum kecil pada dinding
dada pasien, jika dengan cara ini pasien sadar maka dikatakan, pasien
ada dalam tingkat kesadaran Grade II coma.
Jika dengan stimulasi suara dan light pain pasien belum juga bisa
dibangunkan maka dapat dicoba dengan rangsang nyeri yang dalam
atau deep pain. Cara untuk merangsang nyeri secara dalam dapat
dilakukan dengan menarik atau memuntir puting susu dari pasien atau
dengan cara memberikan penekanan pada sternum. Menurut salah satu
sumber, masalah yang ditimbulkan dengan menarik puting lebih ringan
dibandingkan dengan nyeri periosteal kronik atau perdarahan subungual
yang dapat terjadi dengan penekanan sternum. Pasien yang sadar
setelah diberikan stimulus nyeri dalam dikatakan ada dalam keadaan
Grade III coma.
Respon pasien terhadap rangsangan nyeri dalam belum tentu
berupa kesadaran spontan. Dapat keluar postur yang abnormal seperti
dekortikasi dan deserebrasi. Kedua posisi ini ditandai dengan sendi
lutut yang terekstensi dan rotasi internal dan fleksi plantar dari
ekstremitas bawah. Ekstremitas atas pada pasien dengan posisi
15
dekortikasi ditandai dengan aduksi pada bahu dan fleksi pada sendi
sikut, pergelangan tangan dan MCP, sedangkan ekstremitas atas pada
pasien dengan kelainan deserebrasi ditandai dengan adanya aduksi pada
sendi bahu, ekstensi dan rotasi internal pada sendi sikut. Jika pasien
menunjukan postur seperti ini setelah diberikan rangsang nyeri maka
pasien dikatakan ada pada kesadaran Grade IV coma.
Jika setelah diberikan rangsangan nyeri dalam, pasien tidak
merespon dan ada dalam keadaan lemah flaccid maka dapat dikatakan
pasien ada dalam keadaan Grade V coma.
Setelah melakukan pemeriksaan tingkat kesadaran, yang
berikutnya harus dilakukan adalah mencari kemungkinan penyebab
terjadinya penurunan kesadaran tersebut. Tahap ini dimulai dengan
anamnesis, biasanya dengan aloanamnesis jika pasien tidak bisa diajak
berinteraksi. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami cedera kepala
sebelumnya, perlu juga ditanya mengenai penyakit metabolik yang
dimiliki oleh pasien seperti diabetes melitus, hipertensi, gangguan
fungsi paru, ginjal dan hepar. Dapat ditanyakan juga apakah pada saat
pasien ditemukan tidak sadar ada obat-obatan atau zat yang berbahaya
bila dikonsumsi di sekitar pasien untuk menyingkirkan kemungkinan
intoksikasi. Gejala-gejala penyerta seperti apakah ada kelemahan pada
separuh badan, nyeri kepala, mual muntah dan gangguan penglihatan
perlu ditanyakan untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan pada
serebrovaskuler dan adanya peningkatan TIK. Setelah anamnesis
dilakukan, pemeriksaan fisik secara terarah perlu dilakukan. Dimulai
dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yang dapat mengarahkan
diagnosis pada infeksi (jika suhu meningkat), hipertensi, peningkatan
TIK (bradikardia dan hipertensi). Inspeksi dilakukan dari kepala, dicar
apakah ada bekas luka atau jejas pada kulit kepala, wajah dan leher.
Apakah ada ekimosis pada daerah periorbita, retroaurikuler atau
perdarahan pada membrana timpani yang mengarahkan diagnosis pada
fraktur basis kranii. Pada mata pasien dilakukan inspeksi juga apakah
16
ada konjungtiva anemis, sklera yang ikterik, pupil yang anisokor,
miosis atau dilatasi sempurna yang tidak berespon terhadap rangsang
cahaya. Dengan funduskopi dapat dicari papiledema sebagai tanda
peningkatan TIK dan juga perdarahan intraokular misalnya karena
diabetes dan hipertensi yang sudah lama. Pada bibir dan kuku dicari
tanda hipoksia seperti pucat atau sianosis yang mengarahkan diagnosis
pada anemia dan penyakit paru. Pada leher dicari tanda seperti kaku
kuduk akibat meningitis, namun perlu diperhatikan jika sebelumnya
terjadi trauma kepala maka pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan.
Gambar 3
Kelainan pada pemeriksaan pupil dan kemungkinan letak lesi
17
3. Pemeriksaan respon okulosefalik (doll eye movement) atau
respon okulovestibuler. Respon okulovestibuler dapat dites
dengan dua cara, yaitu doll eye manuver dan respon kalori.
Pada doll eye movement, pergerakan kepala akan menimbulkan
rangsangan pada nervus VIII. Untuk menjaga keseimbangan
saat pergerakan kepala, maka nervus VIII dan nervus yang
mengatur otot eksternal bola mata berusaha agar bayangan
yang dibentuk di retina stabil dan berada pada sentral retina,
sehingga timbulah eksitasi dan inhibisi dari otot bola mata
eksternal yang menyebabkan pergerakan bola mata ke satu arah
(konjugat). Pada tes kalori, hasil normal didapat bila
pergerakan bola mata secara konjugat ke sisi dimana air
dimasukan ke dalam liang telinga.
Gambar 4
Tes refleks okulosefalik
18
4. Pemeriksaan refleks kornea: reflek dalam menutup kelopak
mata dan elevasi kedua bola mata (Bell’s Phenomenon)
menandakan jaras reflek dari nervus trigeminal menuju
tegmentum batang otak lalu kembali ke nervus oculomotor dan
facial masih dalam keadaaan intak/baik
5. Pemeriksaan nervus kranialis mulai dari Nervus I sampai
dengan Nervus XII.
6. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal, pada kasus cedera
kepala dan servikal, kaku kuduk jangan dilakukan bila belum
ada foto rontgen cervical. Dapat dilakukan tanda rangsang
meningeal lain
7. Pemeriksaan pola pernafasan, pada kasus pasien koma pola
pernafasan menjadi penting untuk diamati karena dari pola
pernafasan yang abnormal dapat diketahui letak dari lesi di
cerebral atau batang otak. Beberapa contoh kelainan pada pola
pernafasan adalah:
Pola Cheyne-Stokes
Pola ini digambarkan dengan pernafasan yang
hyperventilation dan diselingi dengan periode apneu.
Pola pernafasan ini bisa terjadi pada kasus koma dengan
letak lesi pada supratentorial serebeli yang melibatkan
kedua hemisfer serebri atau penurunan kesadaran
karena penyebab metabolik.
Pola Central Neurogenic Hyperventilation
Pola ini digambarkan dengan pernafasan yang cepat,
konstan dan reguler. Pola pernafasan ini menunjukan
adanya lesi di daerah otak tengah bawah – pons bagian
atas
Apneustic breathing
Mempunyai karakteristik fase inspirasi dan ekspirasi
yang panjang kemudian diikuti dengan fase apneu.
19
Pola pernafasan ini menunjukan adanya lesi pada pons
bagian tengah sampai pons bagian bawah.
Cluster breathing
Mempunyai karakteristik adanya sebuah kelompk atau
cluster pernafasan dan disela dengan jeda yang ireguler
di antaranya. Menunjukan adanya lesi di bagian medulla
oblongata atau pons bawah
Ataxic breathing
Pola pernafasan yang tidak beraturan, dapat berupa
pernafasan dangkal, dalam diselingi jeda yang acak dan
ireguler. Frekuensi pernafasan lambat. Menunjukan lesi
pada medulla oblongata
Gambar 5
Pola pernafasan dan letak lesi
(Disadur dari: Nursing Management: Acute intracranial problem)
20
8. Pemeriksaan motorik pada
penderita yang mengalami
penurunan kesadaran dilakukan
secara kualitatif dan hasilnya
berupa kesan apakah terdapat
parese atau tidak
9. Pemeriksaan reflek fisiologik
10. Pemeriksaan refleks patologis
21
Pemeriksaan fisik neurologi bertujuan untuk mencari tanda-tanda
lateralisasi, tanda fokal dan gejala lain seperti hemiparese, pupil
yang anisokor, papiledema, hambatan pada gerakan bola mata,
parese nervus fasialis, tanda rangsang meningeal dan temuan-
temuan lainnya. Pemeriksaan laboratorium misalnya analisa gas
darah dapat mendiagnosis adanya proses koma karena asidosis
metabolik, laboratorium fungsi ginjal yaitu ureum dan kreatinin
dapat mendiagnosis koma karena uremia, dan masih banyak lagi
pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan imaging seperti
CT Scan dapat mendiagnosis secara visualisasi langsung sebagian
besar proses yang terjadi di dalam otak. Pemeriksaan CSF juga
dapat mendeteksi adanya infeksi virus atau bakteri misalnya pada
meningitis akut atau mendeteksi perdarahan pada perdarahan sub
arachnoid. Berikut adalah tiga kelompok besar mengenai etiologi
dari koma.
22
arteri basilaris tanda babinski hiperdens, CSF yang
bilateral, hilangnya normal
respon okuosefalik
Koma tanpa tanda Meningitis Demam, kaku kuduk, Edema serebri,
fokal dan lateralisasi, bakterial akut tanda kernig, nyeri meningeal enhancement,
tapi ada tanda kepala protein yang meningkat
rangsang meningeal dan glukosa menurun
pada LCS
23
asterixis (flapping kuning dengan kadar
tremor) protein normal atau
sedikit meningkat; enzim
transaminase meningkat
Tabel 2
2.11 Penatalaksanaan
Penurunan kesadaran , apapun penyebabnya seringkali fatal
karena penurunan kesadaran menunjukan adanya penyakit yang
serius dan seringkali, saat pasien dengan penurunan kesadaran
datang ke dokter sudah terjadi kerusakan otak yang ireversibel
misalnya karena hipoglikemia atau hipoksia. Tujuan utama seorang
dokter dalam penanganan penurunan kesadaran adalah mendeteksi
penyebabnya kemudian menghilangkan penyebab tersebut untuk
mencegah sequelae lebih jauh lagi. Tatalaksana penurunan
kesadaran, dapat dirangkum menjadi langkah-langkah berikut:
1. Jika terdapat nafas yang dangkal dan mengorok, berarti ada
penyumbatan jalan nafas. Pasien harus segera ditempatkan
dalam posisi miring agar tidak terjadi aspirasi. Lendir yang
menyumbat harus segera di hilangkan dengan cara
suctioning. Tanda-tanda vital pasien dipantau dengan
24
monitor. Bila ada alat yang memadai pasien sebaiknya
diintubasi untuk menjaga patensi jalan nafas.
2. Manajemen syok berupa resusitasi dengan 2 liter cairan
kristaloid jika terjadi syok derajat berat (3-4) harus
didahulukan sebelum dilakukan pemeriksaan diagnostik
lain.
3. Pasang akses intravena untuk memasukan obat dan
mengambil sampel darah untuk mengecek kadar gula darah,
zat-zat toksik pada kasus overdosis, fungsi ginjal dan fungsi
hati. Jika terjadi intoksikasi narkotika, dapat diberikan
naloxone 0,5 mg, jika terjadi hipoglikemia dapat diberikan
D40 sebanyak 50 ml, diikuti dengan infus D5.
4. Jika curiga adanya peningkatan TIK segera periksa CT scan
cito.
5. Jika terdapat tanda peningkatan TIK dan dikonfirmasi oleh
CT scan, segera berikan mannitol 25-50 g IV bolus
dilarutkan dengan konsentrasi 20%, diberikan secara
intravena selama 10-20 menit sambil dilakukan
hiperventilasi. Dapat diulang pemberian manitol sebanyak
0,25-0,5 g/KgBB IV bolus tiap 4-6jam. Setelah terapi boleh
dilakukan pemeriksaan CT scan ulang.
6. Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan jika dicurigai adanya
meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Tetapi, jika
terdapat CT scan lebih baik dilakukan pemeriksaan CT scan
untuk menyingkirkan massa atau perdarahan yang
menimbulkan efek tekanan. Perdarahan subarakhnoid juga
dapat didiagnosis dengan CT scan.
7. Dapat dilakukan bilas lambung dengan NaCl dapat menjadi
alat diagnosis dan terapi untuk kasus-kasus intoksikasi obat
yang masuk melalui saluran pencernaan. Obat-obatan
seperti salisilat, opiat dan antikolinergik yang menimbulkan
25
atoni gaster dapat diamil sampelnya bahkan beberapa jam
setelah kejadian. Obat untuk menetralisir asam lambung
dapat diberikan untuk mencegah perdarahan lambung dari
stress ucer.
8. Pasang kateter urin agar tidak terjadi retensi urin, dan agar
pasien tidak buang air di tempat tidur. Dapat juga dipasang
kombinasi NGT dan ETT untuk mencegah aspirasi. NGT
juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya cairan
lambung yang hitam akibat perdarahan
9. Jika pasien dapat bergerak dan
memberontak sebaiknya kaki dan
tangan pasien diikat di tempat
tidur.
10. Berikan lubrikan mata agar tidak kering, jaga oral hygiene
untuk mencegah aspirasi.
2.12 Prognosis
1. Penyembuhan dari koma akibat metabolik lebih baik jika
dibandingkan dengan kelainan struktural.
2. Pada pasien stroke yang mengalami koma kebanyakan akan
meninggal. Kecuali jika dilakukan kraniotomi atau etiologinya
adalah hidrosefalus yang disebabkan SAH
3. Jika satu hari setelah onset koma bentuk apapun, jika tidak ada
reflek pupil, kornea atau okulovestibular prognosis akan buruk
baik secara kehidupan maupun fungsi.
4. Setelah 1-3 hari setelah onset koma didapati reflek kornea
negatif, pasien tidak mau buka mata, dan atonia keempat
ekstremitas merupakan penunjuk akan terjadi outcome yang
buruk secara ad vitam maupun fungsionam.
26
BAB III
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s PRINCIPLE OF
NEUROLOGY. New York: Mc Graw Hill Education. 2014.p.357-380
2. Posner BJ, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford: OXFORD University Press. 2007.p.4-34, 40-
78,
3. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC;
2013.p.342
4. Parvizi J, Damasio A. Counsciousness and Brainstem. Cognition 79
(2001) 135±159
5. Lindsay KW, Bone I, Fuller G. Neurology an Neurosurgery Illustrated 5th
ed. London: Elsevier.2010.p.85
6. Walker HK, Hall WD, Hurst JW.Clinical Method: The History, Physical
and Laboratory Examination, 3rd edition. Boston: Butterworths; 2000
28