Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)

1. Pengertian

SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat

yang terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah

Sakit dan antar Rumah Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat

yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan

pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis,

pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi (Depkes RI,

2010).

2. Kegiatan pokok

a. Pengembangan SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat

Terpadu)

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah

sebuah sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi

sektor) dan didukung berbagai kegiatan profesi disiplin dan multi

profesi untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu penderita gawat

darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan

bencana (DepKes RI, 2006).

Sistem ini telah diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan sejak

tahun 1985, yang merupakan sistem pelayanan pasien gawat darurat

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
dari tempat kejadian sampai ke sarana pelayanan kesehatan, yang

berpedoman pada respon cepat yang menekankan pada time saving is

life and limb saving. Implementasi SPGDT dapat dibagi dalam Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-Sehari-hari (SPGDT-S) dan

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-Bencana (SPGDT-B)

(DepKes RI, 2006a).

b. Pengembangan Sumber Daya

Logistik adalah istilah yang dipakai untuk aktivitas yang

mendukung yang dipusatkan dengan menyediakan dan mengirimkan

sumber-sumber usaha penyelamatan. Sumber ini dapat berupa sumber

daya manusia, peralatan, makanan dan air, fasilitas yang meringankan

anggota dan semacamnya (Stone dan Humphries, 2004).

Bagian logistik adalah bagian yang menyediakan barang dan jasa

dalam jumlah, mutu dan waktu yang tepat dengan harga yang sesuai.

Logistik menurut bidang pemanfaatannya, barang dan bahan yang

harus disediakan di rumah sakit dapat dikelompokkan menjadi:

persediaan farmasi, persediaan makanan, persediaan logistik umum

dan persediaan teknik (Aditama, 2006). Sumber daya manusia (SDM)

adalah faktor sentral dalam suatu organisasi(Gomes cit Parsan, 2005).

Tersedianya SDM dalam jumlah yang cukup dengan mutu dan

motivasi yang tinggi serta kemampuan antar disiplin, antar profesi,

maupun antar sektor akan menentukan keberhasilan dalam penanganan

keadaan gawat darurat (DepKes RI, 1999).

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
SDM ini dapat dilihat dari pengetahuan dan tingkat

pendidikannya. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang

melakukan penginderaan terhadap sesuatu obyek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (penglihatan) dan telinga

(pendengaran). Pengetahuan juga dapat diperoleh melalui pendidikan,

pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media massa

maupun lingkungan (Notoadmodjo, 2003).

Menurut Dinas Kesehatan DIY (2005), sumber daya manusia

yang perlu standarisasi pada UGD, meliputi: (1)Jenis petugas (medis,

paramedis, administrasi, penunjang, dll); (2)Tingkat kemampuan

(spesialisasi, ketrampilan khusus); (3)Keberadaan (stand by, on call);

(4)Jumlah petugas (perbandingan antara jumlah pasien dan beban

kerja). Kriteria sumber daya manusia untuk UGD di rumah sakit tipe A

adalah: dokter sub spesialis untuk semua jenis on call (<30menit),

dokter spesialis untuk semua jenis on site , dokter PPDS/+GELS on

site 24jam, dokter umum on site 24 jam kerja bergilir 5 orang, perawat

kepala S1 (jam kerja) dan DIII (diluar jam kerja) semuanya sudah

PPGD+BLS, perawat on site 24 jam 26 orang bergilir, non medis total

minimal 28 orang, serta triage dokter umum PPGD terlatih 2 orang dan

perawat.

Fasilitas yang disediakan harus dapat menjamin efektivitas bagi

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
pelayanan kepada masyarakat termasuk pelayanan unit gawat darurat

di RS dengan waktu pelayanan 24 jam. Sarana dan prasarana, peralatan

dan obat yang disiapkan sesuai dengan standar yang ditetapkan

Departemen Kesehatan serta adanya subsistem pendukung baik

subsistem komunikasi, transportasi termasuk pelayanan ambulans dan

subsistem keselamatan kerja (DepKes RI, 2006b).

Fasilitas dan peralatan yang perlu standarisasi pada UGD menurut

Dinas Kesehatan DIY (2005), meliputi: (1)Gedung/bangunan (luas,

jenis ruangan dan susunannya, akses dari dan ke UGD, hubungan

dengan unit kerja lain); (2)Peralatan, meliputi Ambulans Gawat

Darurat (AGD), peralatan diagnostik, terapi dan perawatan. Kriteria

fasilitas dan peralatan untuk UGD di rumah sakit tipe A adalah sebagai

berikut: mempunyai luas gedung >2000 m3 dengan terdapat bangunan

disekitar UGD yang dapat digunakan jika terjadi musibah massal,

akses dari dan ke UGD dapat menampung >5 AGD, akses khusus ke

UGD dangan 2 jalur AGD sejajar, lokasi dekat jalan raya, mudah

dicapai dari dalam RS, terdapat berbagai macam jenis ruangan yang

lengkap, hubungan dengan unit lain mudah, terdapat konsultan,

peralatan medis di agnostik umum lengkap dengan jumlah memadai,

peralatan medis diagnostik utama lengkap yang terdapat 2-4 troley,

peralatan non medis yang memadai serta sarana pendukung semua

lengkap.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c. Pengembangan subsistem komunikasi.

Menurut DepKes RI (2006b), peran komunikasi pada

penanggulangan penderita gawat darurat dilatarbelakangi karena time

saving is live and limb saving. Selain itu, kondisi kegawat daruratan

yang mungkin terjadi sehari-hari atau bencana tertentu dapat

menimbulkan korban individu atau korban massal. Pentingnya peran

komunikasi dalam penanggulangan penderita gawat darurat juga

dikarenakan adanya peningkatan kasus gawat darurat dan adanya

perubahan epidemiologi penyakit. Potensi terjadinya bencana yang

cukup tinggi (baik bencana alam/akibat ulah manusia) dan kondisi

geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, belum semua daerah

memiliki sarana komunikasi dan transportasi yang memadai juga

menjadi latar belakang penting adanya peran komunikasi dalam

penanggulangan penderita gawat darurat.

Komunikasi dalam kegiatan pelayanan kasus gawat darurat

sehari-hari memerlukan sebuah sub sistem komunikasi yang terdiri

dari jaring penyampaian informasi, jaring koordinasi dan jaring

pelayanan gawat darurat sehingga seluruh kegiatan dapat berlangsung

dalam satu sistem terpadu. Jaring komunikasi adalah suatu jejaring

atau komando untuk mengkomunikasikan informasi dalam suatu

kejadian bencana. Komunikasi tersebut diharapkan menjadi

penghubung semua fase penanganan gawat darurat sehari-hari dan

bencana (pra RS, intra RS, antar RS, lintas sektor) (DepKes RI,

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
2006b).

Tata cara berkomunikasi adalah singkat, jelas dan benar.

Komponen dalam komunikasi mencakup pengirim berita, penerima

berita dan penerus berita (DepKes RI, 2006b).

d. Pengembangan subsistem transportasi

Evakuasi dan transportasi merupakan salah satu bagian penting

dalam pelayanan gawat darurat. Melalui evakuasi dan transportasi

yang tepat dapat membantu penanganan penderita gawat darurat

dengan baik. Evakuasi adalah transportasi yang terutama ditujukan

dari rumah sakit lapangan menuju ke rumah sakit rujukan atau

transportasi antar rumah sakit dikarenakan ada bencana yang terjadi

pada satu rumah sakit dimana pasien harus dievakuasikan ke rumah

sakit lain (DepKes RI, 2006b).

Upaya transportasi dibagi menjadi dua macam, yaitu transportasi

untuk penolong dan transportasi untuk korban. Transportasi untuk

penolong dari tim setempat dapat memobilisasi semua fasilitas

kendaraan yang dimiliki instansi kesehatan setempat baik pemerintah

maupun swasta dan untuk tim bantuan diusahakan mendapatkan

prioritas fasilitas transportasi yang ada agar dapat segera sampai ke

tempat kejadian. Transportasi untuk korban dengan menggunakan

ambulans yang ada (ambulan darat, laut dan udara) atau sarana lain

yang diperlukan sesuai kebutuhan yang disempurnakan berdasarkan

situasi dan kondisi setempat (DepKes RI, 1999).

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
e. Latihan-latihan gabungan

Pelatihan (drills) penanganan bencana menyediakan kesempatan

untuk pendidikan personel rumah sakit mengenai kesiapsiagaan

bencana. Pelatihan ini membantu kita untuk kreatif dalam memilih

alternatif untuk respon bencana sehingga dapat mempersiapkan lebih

baik untuk bencana yang sesungguhnya (Sheehy, 1992). Departemen

Kesehatan RI (1999) menyatakan bahwa dalam Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Bencana (SPGDB) perlu dilakukan

kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi tersebut dapat dilaksanakan pada

waktu betul-betul terjadi bencana. Namun karena bencana jarang

terjadi maka evaluasi dapat dilakukan pada latihan-latihan yang

simulasi bencana, dengan demikian SPGDB sudah dapat ditingkatkan

mutu nya jauh sebelum bencana terjadi.

Simulasi dapat digunakan untuk menguji sebuah ketentuan-

ketentuan baik berupa prosedur tetap (protap) maupun petunjuk

pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis). Ketentuan terse but

perlu diuji agar dapat diketahui apakah semua rancangan dapat

diimplementasikan pada kenyataan yang sebenarnya di lapangan

(DepKes RI, 2006).

Menurut Dinas Kesehatan DIY (2005) standarisasi pendidikan dan

pelatihan di UGD, meliputi: (1)Pelatihan Dasar, yaitu Basic Life

Support (BLS), Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD) dan

General Emergency Life Support (GELS); (2)Pelatihan Lanjut, yaitu

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
First Responder, Instruktur PPGD dan Acute Trauma Life Support

(ATLS), Acute Cardiac Life Support (ACLS) dan Pediatric Advanced

Life Support (PALS). Kriteria pendidikan dan pelatihan untuk UGD di

rumah sakit tipe A adalah: mampu melakukan pelatihan BLS awam,

BLS/PPGD paramedis, BLS/GELS medis; jumlah pelatihan yang

dilakukan dalam setahun >2 kali; jadwal pelatihan terencana dan

didokumentasikan; serta mengadakan pelatihan penanganan musibah

massal terjadwal, teratur dan ada dokumentasi.

f. Kerjasama lintas sektor

Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas

lintas-sektor yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut membentuk suatu

bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggung

jawab untuk mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan

bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi

atau rekonstruksi). Upaya kesiapsiagaan bencana mempunyai tujuan

khusus, yaitu menjamin bahwa sistem, prosedur dan sumber daya yang

tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan bantuan

yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga dapat

mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan

(PAHO, 2006).

Kerjasama dapat dilakukan antara pihak rumah sakit dengan

pihak kepolisian, pemadam kebakaran, rescue team (tim SAR), Badan

Meteorologi dan Geofisika (BMG), mengadakan pelatihan gabungan

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
dengan tim bantuan medis mahasiswa dan pihak-pihak lain yang

terkait dalam penanggulangan bencana.

B. Merujuk Penderita

1. Pengertian

Rujukan adalah penyerahan tanggung jawab dari satu pelayanan

kesehatan ke pelayanan kesehatan yang lain. Sistem rujukan upaya

kesehatan adalah suatu system jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang

memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbale-

balik atas masalah yang timbul, baik secara vertical maupun horizontal ke

fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional, dan tidak

dibatasi oleh wilayah administrasi (Syafrudin & Hamidah, 2009).

2. Faktor Merujuk Penderita

Menururt Pusponegoro, dkk (2012), saat merujuk penderita

tergantung dari banyak faktor, yaitu:

b. Jarak rumah sakit yang akan dituju

c. Keberadaan tenaga terampil yang akan mendampingi penderita

d. Kemampuan rumah sakit yang menangani penderita (kebutuhan

sumber daya manusia dan peralatan)

3. Cara Rujukan dan cara transport

a. Dokter yang merujuk

Dokter harus memahami cara pemilihan transport, perawatan

sepanjang perjalanan, berkomunikasi dengan dokter yang akan

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
menerima rujukan. Proses merusuk yang harus dipahami adalah pasien

saat dirujuk dalam kondisi stabil.

b. Dokter yang menerima perujukan

Dokter harus menyakini bahwa rumah sakitnya mampu menerima

penderita dan memang bersedia menerima rujukan (Pusponegoro, dkk,

2012).

4. Peran Perawat Dalam Merujuk Pasien

Peran perawat dalam merujuk pasien sebagai berikut:

a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan

b. Peran sebagai advokat klien

c. Peran edukator

d. Peran koordinator

e. Peran kolaborator

f. Peran Konsultan

g. Peran Pembaharuan

C. Cidera Kepala

1. Definisi Cidera Kepala

Cidera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)

yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan

struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat,

2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,

yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,

dkk 2006 dalam Mallinaidu, 2010).

2. Fisiologi Organ Kepala

a. Tengkorak

Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008 dalam

Trimaningsih, 2012) merupakan struktur tulang yang menutupi dan

melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang

kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.

Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan

etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam

membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus

frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, 10

oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

b. Meningen

Pearce, Evelyn C. (2008 dalam Trimaningsih, 2012) otak dan

sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi

syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan

sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil

benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3

lapisan yaitu:

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
1) Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu

lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan

selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat

erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat

pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang

potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan

arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada

cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah

atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural.

Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini

dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang

besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya

pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2)

rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan

ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan

permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari

tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami

cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media

fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin

dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk

mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan

penyumbatan sumber perdarahan.

2) Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus

pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam

dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini

dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium

subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi

oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya

disebabkan akibat cedera kepala.

3) Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia

mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus

otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.

Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan

epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c. Otak

Menurut Ganong, (2002 dalam Trimaningsih, 2012); price, (2005

dalam Trimaningsih, 2012), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:

1) Cerebrum

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian,

hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi

dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal

dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang

berbeda, yaitu:

a) Lobus frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama

mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis,

memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus

frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.

daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab

terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang

berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis

bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik

yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu

sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang

nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas

yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bias

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping

lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah

teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang,

kasar dan kejam.

b) Lobus parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan

kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi

umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa

berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu

mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan

posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan

lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang

berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan

ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita

dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau

bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang

sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau

jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau

dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan

sehari-hari lainnya.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c) Lobus temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja

terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka

panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan

gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali

serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus

temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan

akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri

menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari

luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam

mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus

temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami

perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan

gairah seksual.

d) Lobus Oksipital

Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini

otomatis 16akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu

penglihatan.

2) Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri

posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
yaitu; merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag

jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah

mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan

mengintegrasikan input sensori.

3) Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula

oblomata. Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons

dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur

sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan

penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan

medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan

juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik

dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari

batang otak, terdapat pusatpusat otonom yang mengatur fungsi-

fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah,

tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.

4) Saraf-Saraf Otak

Suzanne C Smeltzer, (2001 dalam Trimaningsih, 2012)

Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai

batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan

nervus yaitu:

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi,

membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung

ke otak.

b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan

ke otak.

c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak

bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati

untuk melayani otot siliaris dan otot iris.

d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf

pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf

penggerak mata.

e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai

tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf

ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:

(1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit

kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir

kelopak mata dan bola mata.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
(2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas,

bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus

maksilaris.

(3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)

mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya

mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.

f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya

sebagai saraf penggoyang sisi mata

g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut

motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga

mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom

(parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai

mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.

h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa

rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.

Fungsinya sebagai saraf pendengar.

i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring,

tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa

ke otak.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung

saraf-saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring,

paru-paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar

pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.

k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan

muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan

l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf

lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung.

3. Penyebab Cidera Kepala

Cedera kepala terjadi paling umum setelah kecelakaan sepeda

motor, jatuh di rumah atau kerja, tindak kekerasan, olah raga dan cedera

rekreasi Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis

kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda

tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi,

kecepatan rendah), jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan benda

tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.

4. Jenis Cidera Kepala

Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana

terjadi trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala

bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen

tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain

and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup

adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba

sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.

Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah

menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, 2006 dalam Mallinaidu,

2010). Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut;

a. fraktur

Menurut American Accreditation Health Care Commission,

terdapat 4 jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline

fracture, depressed fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap

fraktur adalah sebagai berikut:

1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus

tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’.

3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada

tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural

(Duldner, 2008 dalam Mallinaidu, 2010).

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu

terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis

kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit

dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat

(Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare, 2004

dalam Mallinaidu, 2010). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan

fraktur basis krani yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari

rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada

orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga

menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis

kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004

dalam Mallinaidu, 2010).

Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang

maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar setelah

tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan

kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004 dalam Mallinaidu, 2010).

b. Luka memar (kontosio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan

dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke

jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna

merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan

tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal,

temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan

atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada

kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah

tingkat kesadaran (Corrigan, 2004 dalam Mallinaidu, 2010).

c. Laserasi (luka robek atau koyak)

Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda

tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan

oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan

teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit

dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada

tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada

penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

d. Abrasi

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.

Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak

sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena

banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

e. Avulsi

Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit

terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.

Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan

(Mallinaidu, 2010).

5. Tingkatan Cidera Kepala

Tipe dan Tingkatan Cedera Kepala.

a. Cedera kepala ringan :

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
1) Klien bangun dan mungkin bisa berorientasi

2) GCS (13-15)

3) Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit

4) Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom.

b. Cedera kepala sedang

1) Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk

mengikuti perintah sederhana

2) GCS (9-12)

3) Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam

4) Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan

c. Cedera kepala berat

1) Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena

gangguan kesadaran

2) GCS (3-8)

3) Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam

4) Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial

(Mallinaidu, 2010).

6. Patofisiologi

Menurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat

mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim

otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan

biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan

permeabilitas faskuler.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu

cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer

merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung

saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera

kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi

segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal )

local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang

terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative

tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa

disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.

Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer,

misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral

menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah

di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan

durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang

antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah

berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.

7. Penanganan Cidera Kepala

Penganan cidera kepala yang dilakukan sebagai berikut

(Trimaningsih, 2012):

a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

c. Pemberian analgetik.

d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,

glukosa 40% atau gliserol.

e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidazole.

f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan

makanan lunak.

g. Pembedahan.

D. Trauma Skor

1. Pengertian

Trauma skor adalah salah satu skor fisiologis yang lebih umum.

Menggunakan 3 parameter sebagai berikut: (1) skala Glasgow koma

(GCS), (2) (SBP) tekanan darah sistolik dan (3) frekuensi

pernafasan(RR).Skor bernilai dari 0-4. RTS memiliki 2 bentuk tergantung

pada penggunaannya. Ketika digunakan, RTS ditentukan dengan

menambahkan masing-masing nilai-nilai kode bersama-sama (Mallinaidu,

2010).

2. Faktor Trauma Skor Pada Cidera Kepala

Faktor-faktor yang memperburuk prognosis adalah :

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
a. Terlambatnya penanganan awal dan resusitasi.

b. Pengangkutan/transport yang tidak adekuat.

c. Dikirim ke RS yang tidak adekuat.

d. Tindakan bedah yang terlambat.

e. Disertai dengan cedera multipel yang lain.

Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat

mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan

morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan awal ini termasuk pada

penatalaksanaan segera ditempat kejadian dan proses transport penderita

secara benar ke fasilitas lain yang lebih lengkap. Jadi tujuannya tidak saja

untuk menolong jiwa pada penderita cedera kepala tetapi mencegah

terjadinya sequele seminimal mungkin (Mallinaidu, 2010).

3. Kategori Trauma Skor

Skor bernilai dari 0-4. RTS memiliki 2 bentuk tergantung pada

penggunaannya. Ketika digunakan di Triase, RTS ditentukan dengan

menambahkan masing-masing nilai-nilai kodebersama-sama. Dengan

demikian, RTS berkisar dari 0-12 dan dengan mudah dihitung (Mallinaidu,

2010).

Table 2.1. Kategori Trauma Skor

Kode Nilai GCS SBP (mmHg) RR (breath/menit)


0 3 0 0
1 4-5 <50 <5
2 6-8 50-75 5-9
3 9-12 76-90 <10
4 13-15 >90 10-30

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
E. Kerangka Teori

Jarak tempuh rujukan menurut Pusponegoro, dkk (2012) merupakan

salah satu faktor pertimbangan dalam merujuk pasien, hal ini karena jarak

tempuh dapat mempengaruhi kondisi pasien. Jarak tempuh yang jauh dengan

pasien yang mengalami cidera kepala akan mempersempit kesempatan pasien

untuk tertolong, oleh karena itu dalam merujuk pasien cidera kepala harus

memahami letak geografis, penguasaan informasi jalan yang terdekat menuju

rumah sakit rujukan, serta mengetahui refrensi rumah sakit yang tepat untuk

merujuk yaitu memiliki keyakinan bahwa rumha sakit rujukan mampu

menangani pasien cidera kepala. Perubahan kondisi pasien cidera kepala yang

dinilai dengan tekanan darah sistolik (TDS), Frekuensi nafas, dan skala Glasgow

koma (GCS) yang hasil akhir dinilai sebagai trauma skor.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Kerangla teori

Kegawatan Penyakit Dalam: Kegawatan Kasus Bedah:


1. MCI 1. Tumor/kanker
2. Asma 2. Sesar
3. Ganguan Nafas 3. Fraktur
4. Serangan jantung 4. Usus Buntu
5. DM 5. Cidera Kepala
6. Stroke 6. dll
7. dll

Instalasi Gawat Darurat


Penilaian Skor Trauma:
1. Nilai tekanan darah sistolik
(TDS)
2. Frekuensi nafas,
3. Skala Glasgow koma (GCS)

Faktor: Fasilitas Keselamatan:


1. Terlambatnya penanganan awal 1. Jarak tempuh Rujukan
dan resusitasi. 2. Keterampilan Tenaga Medis
2. Pengangkutan/transport yang 3. Kondisi Jalan
tidak adekuat. 4. Jenis Transport
3. Dikirim ke RS yang tidak
adekuat.
4. Tindakan bedah yang terlambat.
5. Disertai dengan cedera multipel
yang lain.

Gambar 2.3 Kerangka Teori

Sumber: Pusponegoro, dkk (2012)

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
F. Kerangka Konsep

Pasien cidera kepala yang tidak mampu ditangani oleh pelayanan

kesehatan pertama paling dekat dengan terjadinya kecelakaan yang

mengakibatkan pasien cidera kepala akan mempertimbangkan jarak tempuh

rumah sakit yang paling dekat untuk merujuk, karena jika jarak tempuh terlalu

jauh akan mempengaruhi kondisi pasien yang dinilai berdasarkan trauma

skornya.

Pasien cidera
kepala

Penilaian TS Penilaian TS
pre hispital hispital

Jarak Tempuh

Transportasi

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian teorisasi tersebut di atas dapat diambil hipotesis

penelitian yaitu “Terdapat hubungan yang positif antara jarak tempuh rujukan

dengan trauma skor pasien cidera kepala di RSU Siaga Medika Banyumas”.

Hubungan Antara Jarak..., Koko Ginanjar Saputro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015

Anda mungkin juga menyukai