Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi SPGDT
SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri
dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah
Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life
and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus,
petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi(Depkes RI,
2010).
SPGDT adalah suatu sistem berupa koordinasi dari sektor kesehatan yang
didukung oleh sektor lain dan kegiatan kelompok profesional pada keadaan
kedaruratan medis sehari hari dan pelayanan kedaruratan medis pada saat kejadian
bencana. Terdapat hubungan antara jumlah korban meninggal dan cedera yang
dipengaruhi oleh karakteristik keadaan darurat dan bencana.Data epidemiologi
keadaan darurat dan bencana penting diketahui oleh sektor kesehatan untuk
menyiapkan Rumah sakit dan SDM kesehatan yang diperlukan.
SPGDT Merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama
yang bersifat multi sektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multi
disiplin dan multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk
layanan terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun
dalam keadaan bencana dan kejadian luar biasa.
SPGDT : Sistem penanggulangan pasien gadar yang terdiri dari unsur,
pelayanan pra RS, pelayanan di RS dan antar RS. Pelayanan berpedoman
pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang
melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis,
pelayanan ambulans gadar dan sistem komunikasi.
B. Kegiatan Pokok SPGDT
1. Pengembangan SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah sebuah sistem yang
merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai
kegiatan profesi disiplin dan multi profesi untuk menyelenggarakan pelayanan
terpadu penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam
keadaan bencana (DepKes RI, 2006). Sistem ini telah diperkenalkan oleh
Departemen Kesehatan sejak tahun 1985, yang merupakan sistem pelayanan
pasien gawat darurat dari tempat kejadian sampai ke sarana pelayanan
kesehatan,yang berpedoman pada respon cepat yang menekankan padatime saving
is life and limb saving Implementasi SPGDT dapat dibagi dalam Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-Seharihari(SPGDT-S) dan Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-Bencana (SPGDT-B) (DepKes RI,
2006).
2. Pengembangan Sumber Daya Logistik adalah istilah yang dipakai untuk aktivitas
yang mendukung yang dipusatkan dengan menyediakan dan mengirimkan
sumber-sumber usaha penyelamatan. Sumber ini dapat berupa sumber daya
manusia, peralatan, makanan dan air, fasilitas yang meringankan anggota dan
semacamnya (Stone dan Humphries, 2004). Bagian logistik adalah bagian yang
menyediakan barang dan jasa dalam jumlah, mutu dan waktu yang tepat dengan
harga yang sesuai. Logistik menurut bidang pemanfaatannya, barang dan bahan
yang harus disediakan di rumah sakit dapat dikelompokkan menjadi: persediaan
farmasi, persediaan makanan, persediaan logistik umum dan persediaan teknik
(Aditama, 2006)
Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu
organisasi(Gomescit Parsan, 2005). Tersedianya SDM dalam jumlah yang cukup
dengan mutu dan motivasi yang tinggi serta kemampuan antar disiplin, antar
profesi, maupun antar sektor akan menentukan keberhasilan dalam penanganan
keadaan gawat darurat (DepKes RI, 1999).
3. Pengembangan subsistem komunikasi Menurut DepKes RI (2006b), peran
komunikasi pada penanggulangan penderita gawat darurat dilatar belakangi
karena time saving is live and limb saving. Selain itu, kondisi kegawat daruratan
yang mungkin terjadi sehari-hari atau bencana tertentu dapat menimbulkan korban
individu atau korban massal. Pentingnya peran komunikasi dalam
penanggulangan penderita gawat darurat juga dikarenakan adanya peningkatan
kasus gawat darurat dan adanya perubahan epidemiologi penyakit. Potensi
terjadinya bencana yang cukup tinggi (baik bencana alam/akibat ulah manusia)
dan kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, belum semua daerah
memiliki sarana komunikasi dantransportasi yang memadai juga menjadi latar
belakang penting adanya peran komunikasi dalam penanggulangan penderita
gawat darurat. Komunikasi dalam kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-
hari memerlukan sebuah sub sistem komunikasi yang terdiri dari jaring
penyampaian informasi, jaring koordinasi dan jaring pelayanan gawat darurat
sehingga seluruh kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem terpadu. Jaring
komunikasi adalah suatu jejaring atau komando untuk mengkomunikasikan
informasi dalam suatu kejadian bencana. Komunikasi tersebut diharapkan menjadi
penghubung semua fase penanganan gawat darurat sehari-hari dan bencana (pra
RS, intra RS, antar RS, lintas sektor) (DepKes RI, 2006). Tata cara berkomunikasi
adalah singkat, jelas dan benar. Komponen dalam komunikasi mencakup pengirim
berita, penerima berita dan penerus berita (DepKes RI, 2006).
4. Pengembangan subsistem transportasi Evakuasi dan transportasi merupakan salah
satu bagian penting dalam pelayanan gawat darurat. Melalui evakuasi dan
transportasi yang tepat dapat membantu penanganan penderita gawat darurat
dengan baik. Evakuasi adalah transportasi yang terutama ditujukan dari rumah
sakit lapangan menuju ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit
dikarenakan ada bencana yang terjadi pada satu rumah sakit dimana pasien harus
dievakuasikan ke rumah sakit lain (DepKes RI, 2006). Upaya transportasi dibagi
menjadi dua macam, yaitu transportasi untuk penolong dan transportasi untuk
korban. Transportasi untuk penolong dari tim setempat dapat memobilisasi semua
fasilitas kendaraan yang dimiliki instansi kesehatan setempat baik pemerintah
maupun swasta dan untuk tim bantuan diusahakan mendapatkan prioritas fasilitas
transportasi yang ada agar dapat segera sampai ke tempat kejadian. Transportasi
untuk korban dengan menggunakan ambulans yang ada (ambulan darat, laut dan
udara) atau sarana lain yang diperlukan sesuai kebutuhan yang disempurnakan
berdasarkan situasi dan kondisi setempat (DepKes RI, 1999).
5. Latihan -latihan gabungan Pelatihan (drills) penanganan bencana menyediakan
kesempatan untuk pendidikan personel rumah sakit mengenai kesiapsiagaan
bencana. Pelatihan ini membantu kita untuk kreatif dalam memilih alternatif untuk
respon bencana sehingga dapat mempersiapkan lebih baik untuk bencana yang
sesungguhnya (Sheehy, 1992). Departemen Kesehatan RI (1999) menyatakan
bahwa dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Bencana (SPGDB) perlu
dilakukan kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi tersebut dapat dilaksanakan pada
waktu betul-betul terjadi bencana. Namun karena bencana jarang terjadi maka
evaluasi dapat dilakukan pada latihan-latihan yang simulasi bencana, dengan
demikian SPGDB sudah dapat ditingkatkan mutunya jauh sebelum bencana
terjadi. Simulasi dapat digunakan untuk menguji sebuah ketentuanketentuan baik
berupa prosedur tetap (protap) maupun petunjuk pelaksanaan (juklak) atau
petunjuk teknis (juknis). Ketentuan tersebut perlu diuji agar dapat diketahui
apakah semua rancangan dapat diimplementasikan pada kenyataan
yangsebenarnya di lapangan (DepKes RI, 2006).
6. Kerjasama lintas sektor Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu
aktivitas lintas-sektor yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut membentuk suatu
bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggung jawab untuk
mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana
(pencegahan,mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi atau rekonstruksi).
Upaya kesiapsiagaan bencana mempunyai tujuan khusus, yaitu menjamin bahwa
sistem, prosedur dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing
untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga
dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan
(PAHO,2006).
C. Jenis-jenis SPGDT
SPGDT dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. SPGDT-S (Sehari-Hari)
SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait
yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit – di Rumah Sakit – antar Rumah
Sakit dan terjalin dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/pasien tetap hidup.
Meliputi berbagai rangkaian kegiatan sebagai berikut:
a. Pra Rumah Sakit Dengan mendirikan PSC, BSB dan pelayanan ambulans
dan komunikasi. Pelayanan sehari-hari :
1) PSC Didirikan masyarakat untuk kepentingan masyarakat.
Pengorganisasian dibawah Pemda. SDM berbagai unsur tersebut.
ditambah masyarakat yang bergiat dalam upaya pertolongan bagi
masyarakat. Biaya dari masyarakat. Kegiatan menggunakan
perkembangan teknologi, pembinaan untuk memberdayakan
potensi masyarakat, komunikasi untuk keterpaduan kegiatan.
Kegiatan lintas sektor. PSC berfungsi sebagai respons cepat
penangggulangan gadar.
2) BSB. Unit khusus untuk penanganan pra RS, khususnya kesehatan
dalam bencana. Pengorganisasian dijajaran kesehatan (Depkes,
DInkes, RS), petugas medis (perawat, dokter), non medis
(sanitarian, gizi, farmasi dll). Pembiayaan dari instansi yang
ditunjuk dan dimasukkan APBN/APBD.
3) Pelayanan Ambulans. Terpadu dalam koordinasi dengan
memanfaatkan ambulans Puskesmas, klinik, RB, RS, non
kesehatan. Koordinasi melalui pusat pelayanan yang disepakati
bersama untuk mobilisasi ambulans terutama dalam bencana
4) Komunikasi. Terdiri dari jejaring informasi, koordinasi dan
pelayanan gadar hingga seluruh kegiatan berlangsung dalam sistem
terpadu.
5) Pembinaan. Berbagai pelatihan untuk meningkatan kemampuan
dan keterampilan bagi dokter, perawat, awam khusus. Penyuluhan
bagi awam. Pelayanan pada bencana, terutama pada korban massal
6) Koordinasi komando. Melibatkan unit lintas sektor. Kegiatan akan
efektif dan efisien bila dalam koordinasi dan komando yang
disepakati bersama.
7) Eskalasi dan mobilisasi sumber daya. Dilakukan dengan mobilisasi
SDM, fasilitas dan sumber daya lain sebagai pendukung pelayanan
kesehatan bagi korban.
8) Simulasi. Diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui
simulasi apakah dapat diimplementasikan pada keadaan
sebenarnya.
9) Pelaporan, monitoring, evaluasi. Penanganan bencana
didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan sistematika yang
disepakati. Data digunakan untuk monitoring dan evaluasi
keberhasilan atau kegagalan, hingga kegiatan selanjutnya lebih
baik.
b. Dalam Rumah Sakit
 Pertolongan di unit gawat darurat rumah sakit
 Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan)
 Pertolongan di ICU/ICCU
 Perlu sarana, prasarana, BSB, UGD, HCU, ICU, penunjang dll.
 Perlu Hospital Disaster Plan, Untuk akibat bencana dari dalam dan
luar RS.
 Transport intra RS.
Pelatihan, simulasi dan koordinasi adalah kegiatan yang menjamin
peningkatan kemampuan SDM, kontinuitas dan peningkatan
pelayan medis.
c. Antar Rumah Sakit
 Jejaring rujukan dibuat berdasar kemampuan RS dalam kualitas
dan kuantitas.
 Evakuasi. Antar RS dan dari pra RS ke RS.
 Sistem Informasi Manajemen, SIM. Untuk menghadapi
kompleksitas permasalahan dalam pelayanan. Perlu juga dalam
audit pelayanan dan hubungannya dengan penunjang termasuk
keuangan.
 Koordinasi dalam pelayanan terutama rujukan, diperlukan
pemberian informasi keadaan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan sebelum pasien ditranportasi ke RS tujuan.
 Rujukan ke rumah sakit lain (jika diperlukan)
 Organisasi dan komunikasi
2. SPGDT-B (Bencana)
SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit dan Rumah
Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya pada
terjadinya korban massal yg memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan
pelayanan sehari-hari. Bertujuan umum untuk menyelamatkan korban sebanyak
banyaknya.
a. Tujuan Khusus :
 Mencegah kematian dan cacat, hingga dapat hidup dan berfungsi
kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
 Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan
yang lebih memadai.
 Menanggulangi korban bencana.
b. Prinsip mencegah kematian dan kecacatan :
 Kecepatan menemukan penderita.
 Kecepatan meminta pertolongan.
c. Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan :
 Ditempat kejadian.
 Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
 Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.
d. Keberhasilan Penanggulangan Pasien Gawat Darurat Tergantung 4
Kecepatan :
 Kecepatan ditemukan adanya penderita GD
 kecepatan Dan Respon Petugas
 Kemampuan dan Kualitas
 Kecepatan Minta Tolong
D. Pengembangan SPGDT Pengembangan SPGDT-S dan SPGDT-B memerlukan
beberapa hal yang terlibat, diantaranya yaitu:
1) Semua jajaran kesehatan
 Departemen kesehatan
 Direktur RS
 Puskesmas
 Dinas kesehatan
 Kepala IGD
 Dokter, perawat, petugas kesehatan
 Dan unit kesehatan lain (PMI)
2) Jajaran non kesehatan
 Pemerintah daerah tingkat I dan II
 POLRI
 Satuan laksana penanggulangan bencana
 Pemadam kebakaran
 Penyandang dana (Askes, Jasa Raharja, Jamsostek)
 Dan komponen-komponen masyarakat lain
3) Koordinasi
 Kesehatan - non kesehatan
 Antar kesehatan – ABRI, POLRI, swasta, pemerintah
 Intra kesehatan – puskesmas – rumah sakit
E. Perlunya Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Untuk mengurangi dan
menyelamatkan korban bencana, diperlukan cara penanganan yang jelas (efektif,
efisien dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
kesiap-siagaan dan penanggulangan bencana. Tujuan :
1. Didapatkan kesamaan pola pikir / persepsi tentang SPGDT.
2. Diperoleh kesamaan pola tindak dalam penanganan kasus gawat darurat
dalam keadaan sehari-hari maupun bencana.
 Safe Community, (SC) : Keadaan sehat dan aman yang tercipta dari,
oleh dan untuk masyarakat. Pemerintah dan teknokrat merupakan
fasilitator dan pembina.
 PSC (Public Safety Center) : Pusat pelayanan yang menjamin
kebutuhan masyarakat dalam hal-hal kegawat-daruratan, termasuk
pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam waktu singkat dan
dimanapun berada (gabungan dari AGD 118, SAR/PK 113, Polisi
110). Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang
bertujuan untuk mendapatkan respons cepat (quick response)
terutama pelayanan pra RS.
F. Peran Perawat
Maka dari itu diperlukan tindakan promotif dan preventif yang dilakukan perawat
secara mandiri ataupun berkolaborasi dalam mencegah kejadian kecelakaan lalu lintas.
Disini akan membahas mengenai peran perawaat dalam melakukan tindakan promotif dan
preventif terkait kecelakan lalu lintas.

Kegiatan peningkatan kesehatan (promotif) merupakan kegiatan yang bertujuan


untuk memelihara atau memperbaiki tingkat kesehehatan masyarakat saat ini. Pelayanan
perawatan preventif memiliki tujuan untuk melindungi klien dari ancaman kesehatan yang
bersifat actual maupun potensial (Potter & Perry, 2005). Perawatan preventif memiliki tiga
tingkatan yaitu usaha preventif primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer dilakukan
sebelum terjadi masalah kesehatan, penyakit, gangguan fungsi dan diberikan pada klien
yang sehat secara fisik dan mental. Kegiatan ini dilakukan dengna cara menurunkan
kemungkinan terjadinya masalah kesehtan tertentu. Pencegahan sekunder difokuskan pada
individu atau kelompok yang mengalami masalah kesehtan dan berisiko mengalami
keadaan yang lebih buruk (Potter & Perry, 2005). Pencegahan tersier dilakukan ketika
terjadi kecacatan atau ketidakmampuan yang permanen akibat masalah kesehtan atau
penyakit. Kegiatan dilakukan untuk pencegahan komplikasi dan penurunan kondisi
kesehatan (Potter & Perry, 2005). Upaya promotif dan preventif yang menjadi focus utama
keperawatan komunitas tentunya dapat mengaplikasikan peran perawat dalam mencegah
terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Tindakan promotif dan preventif sangat berkaitan erat dalam aplikasinya. Peran
perawat dalam melakukan tindakan promotif dan preventif harus memperhatikan factor
penyebab dari terjadinya kecelakaan. Hal ini akan mempermudah perawat dalam
melakukan intervensi. Perawat dapat melakukan kegiatan ini secara mandiri maupun
berkolaborasi dengan pihak-pihak yang bersangkutan dalam penyelesaian masalah
kecelakaan lalu lintas

Kegiatan promotif dalam menghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas pada


masyarakat berfokus pada memajukan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat..
Contoh tindakan promotif adalah melakukan penyuluhan dan kampanye safety riding dan
responsible riding. Tujuan dilakukannya kampanye adalah agar pengguna jalan raya lebih
memahami dan mematuhi lalu lintas. Dalam melakukan promosi kesehatan kampanye
aman mengemudi lebih baik dilakukan secara interaktif, aktif dan mengangkat tema yang
menarik. Sebagai contoh, perawat dapat memberikan brosur tentang tips mengemudi yang
aman, memasang spanduk dan media interaktif lain bekerja sama dengan pihak kepolisian,
menampilkan akibat dari kecelakaan seperti masalah-masalah kesehatan yang akan muncul
jika terjadi kecelakaan, memberikan souvenir, dll.

Selain kampanye, penyuluhan kesehatan sangatlah penting dilakukan. Sosialisasi


mengaenai keselamatan dan perilaku sehat di jalan raya dilakukan pada siswa dan remaja,
orang tua, guru sekolah, pramuka, pekerja, masyarakat di sebuah desa, ibu PKK dan
kepolisian. Materi mengenai penyuluhan dapat berupa penyebab kecelakaan, upaya
pencegahan dan tindakan atau penanganan saat terjadi kecelakaan. Beberapa hal yang
harus disampaikan saat melakukan penyuluhan adalah penggunaan keselamatan
berkendara motor, kondisi motor, aksesoris motor, perhatian pada lingkungan sekitar, tidak
menjadi penyebab kemacetan, menaati rambu-rambu lalu lintas, kemampuan dan
pengalaman mengemudi, penghindaran penggunaaan obat-obatan yang dapat membuat
penurunan tingkat kesadaran pengemudi,

Kegiatan keperawatan dalam tindakan preventif primer dapat merupa deteksi dini
pada agregat yang mungkin menjadi factor resiko terjadinya kecelakaan. Kegiatan yang
dapat dilakukan yaitu:

a. Peningkatatan pemeriksaan factor risiko kecelakaan lalu lintas


b. Pemeriksaan diagnostic rutin yang berhubungan dengan factor risiko kecelakaan
(pemeriksaan alcohol, amphetamine, tekanan darah dan gula darah) pada
pengendara lalu lintas. Perawat dapat membuat jadwal khusus dengan pihak
kepolisian, dinas kesehatan, dinas perhubungan dalam melakukan upaya ini.
Pemeriksaan rutin akan memberikan dampak lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan tentative seperti hanya saat menjelang mudik lebaran, tahun baru atau
natal.
c. Pelatihan praktis pemakai jalan raya untuk mengatasi kecelakaan lalu lintas.
d. Pembentukan pos gawat darurat terpadu (PGDT) di setiap kabupaten atau kota
secara bertahap.
e. Persiapan sarana rujukan kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi angka fatalitas
korban lakalantas.
f. Pelaksanaan kegiatan Surveillance Injury.
g. Riset tentang kesehatan untuk mencegah kecelakaan dan memudahkan penanganan
korban.
Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan oleh perawat dan berkolaborasi
dengan pihak lain seperti dokter, rumah sakit dan kepolisian adalah sebagai berikut:

a. Emergency Preparedness atau upaya pertolongan medis pada kecelakaan lalu lintas
untuk mencegah cidera pada korban dan menghindari kematian pada korban.
Pertolongan ini penting diketahui oleh orang awam ketika pada tempat kejadian
perkara tidak ada tenaga kesehatan yang tersedia.
b. Peningkatan koordinasi. Peningkatan hubungan dan koordinasi dengan berbagai
pihak yang sering terjun langsung saat terjadi kecelakaan akan mempermudah
penanganan pada korban. Sebagai contoh, perawat harus available saat pihak
kepolisian menghubungi.
c. Mengadvokasi korban pada sarana rujukan yang cepat dan tepat dalam mencegah
terjadinya komplikasi dari korban kecelakaan.
Pencegahan tersier terfokus pada perawatan pasca dampak perawatan
setelah kecelakaan seperti:

1) implementasi penjaminan korban lakalantas serta program rehabilitasi


berbasis masyarakat pada korban pasca kecelakaan
2) Membentuk sarana rehabilitasi fisik berbasis perawatan keluarga pada
korban yang mengalami kecacatan pasca kecelakaan
3) melakukan kunjungan dan pendidikan kesehatan mengenai perawatan yang
sesuai pada keluarga korban kecelakaan.
Perawat juga harus mengetahui tindakan preventif yang dilakukan pihak lain.
Dalam undang- undang RI Indonesia tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan
pasal 226 disebutkan bahwa tindakan preventif yang dilakukan dapat berupa:

1) partisipasi para pemangku kepentingan


2) pemberdayaan masyarakat
3) penegakan hukum
4) kemitraan global.
Semua tindakan keperawatan baik promotif maupun preventif dapat dilakukan
dengan menerapkan strategi intervensi. Strategi yang diterapkan dapat berupa
pemberdayaan, pendidikan kesehatan, proses kelompok atau pun partnership. Dalam kasus
kecelakaan lalu lintas ini, strategi yang tepat dilakukan adalah pemberdayaan, pendidikan
kesehatan dan kemitraan.
Referensi:

Depkes. Kebijakan Kemenkes Dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu


(Spgdt) Dan Bencana.Http://Buk.Depkes.Go.Iddiakses Tanggal 18 November 2013

Seri Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) / General Emergency Life Support
(GELS) : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan Ketiga.
Dirjen Bina Yanmed Depkes RI, 2006. Http://Repository.Ump.Ac.Id/5881/3/Koko
%20Ginanjar%20Saputro%20BAB%20II.Pdf

Potter, P.A & Perry, A.G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process and
Practice. USA: Mosby.
World Health Organization. (1993). Kader Kesehatan Masyarakat. (Terj. dr. Adi Heru S,
M.Sc). Jakarta: EGC
Welas, T. (2010). Undang-Undang Lalu Lintas: UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Yogyakarta: New Merah Putih.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1759-sepuluh-program-prioritas-
kemenkes-tahun-2012.html (diakses tanggal 14 April 2013)
http://www.vnsny.org/home-health-care-and-you/planning/caring-for-yourself/accident-
prevention/ (diakses tanggal 14 April 2013)

Anda mungkin juga menyukai