1. Definisi
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah suatu sistem
penaggulangan gawat darurat yang melibatkan lintas sektorterkait untuk saling
berkoordinasi guna menjamin kecepatan, kecermatan dan ketepatan pertolongan dalam
upaya menyelamatkan nyawa penderita dan mencegah terjadinya kecacatan. Dalam upaya
mencapai hasil yang maksimal dalam penanganan kasus gawat darurat baik yang sifatnya
gawat darurat sehari-hari (Silent Disaster) maupun gawat darurat korban massal atau
bencana (Disaster) yaitu pada tingkat pelayanan yang prima atau memuaskan di mana
tingkat kematian dan kecacatan dalam suatu kejadian kasus gawat darurat danpat
diminimalisir jumlahnya, maka langkah yang harus ditempuh oleh petugas kesehatan
terutama dokter dan perawat serta dari pihak pemerintah sebagai pendukungnya adalah
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya pada petugas kesehatan,
diadakannya pelatihan penanggulangan gawat darurat sehari dan bencana, dan ketersediaan
fasilitas serta penataan manajemen pengelolaan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) kearah yang lebih baik dan terstandar.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) didasari oleh pengelolaan waktu
(Time Management) yang merupakan bentuk pelaksanaan dari time saving is life saving
(waktu adalah nyawa), yang harus memiliki unsur kecepatan (Quick Response) yang
ditunjang oleh sistem komunikasi dan transportasi yang terstandar (modern dan handal).
Sejak di tempat kejadian menuju pada sarana rujukan untuk mendapatkan pertolongan
spesialistik berdasarkan kebutuhan dan ketepatan yaitu pemberian pertolongan pertama di
tempat kejadian oleh awam dan awam khusus yang terlatih dan oleh tenaga kesehatan
profesional kegawatdaruratan serta dokter sebagai salah satu yang paling dibutuhkan, dan
bila perlu dilakukan rujukan ke rumah sakit.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memiliki dua unsur yang sangat
penting, antara lain:
1) Pra rumah sakit yaitu di tempat kejadian berupa pertolongan pertama penderita gawat
darurat.
2) Rumah sakit yaitu sebagai sarana rujukan bila membutuhkan pelayanan spesialistik.
2. Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
a. Bahwa peningkatan jumlah korban/pasien yang meninggal dan mengalami
kecacatan pada kejadian gawat darurat merupakan dampak dari penanganan
korban/pasien gawat darurat yang kurang optimal;
b. Bahwa untuk mewujudkan peningkatan mutu pelayanan dalam penanganan
korban/pasien gawat darurat diperlukan suatu sistem penanganan
korban/pasien yang dilakukan secara terpadu dan terintegrasi dengan
melibatkan berbagai pihak;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu; (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2016).
3. Komponen Sistem Penanggulangan Gawat Darurat (SPGDT)
System penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) mempunyai beberapa komponen
yaitu :
1) Komponen Utama
Komponen utama Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) terdiri dari tiga
bagian yaUtam
a. Fase Pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes)
1) Penolongan Pertama (first responder) Penolong Pertama (first responder)
adalah orang yang pertama kali menemukan penderita gawat darurat, baik itu
kasus gawat darurat sehari-hari maupun kasus gawat darurat korban massal.
Seorang first responder meliputi orang awam (orang umum disekitar kejadian)
dan orang awam khusus (pemadam kebakaran, TNI, polisi, tim SAR). Keberadaan
seorang first responder ini dapat menentukan keselamatan jiwa korban. Orang-
orang yang ada disekitar kejadian sangat membantu dalam mencari pertolongan
melalui pusat komunikasi. Seorang first responder terlatih dapat melakukan
pertolongan pertama pada korban gawat darurat sebelum bantuan medis
datangn. First responder terlatih minimal harus sudah mengikuti pelatihan Basic
Trauma Cardiac Life Support (BTCLS).
2) Pusat Komunikasi (Emergency Dispatch Communication/Dispatcher)
Pusat komunikasi (Emergency Dispatch Communication/ Dispatcher) merupakan
sarana yang sangat penting dibutuhkan pada fase pra fasyankes. Emergency
Dispatch communication memiliki peran dalam mengumpulkan informasi dari
first responder, mendistribusi informasi kepada tim ambulans dan rumah sakit
dan mengaktifasi unit-unit atau Lembaga yang mempunyai tanggung jawab
ketika terjadi suatu kasus gawat darurat baik itu kasus gawat darurat sehari-hari
maupun kasus gawat darurat massal (disaster), misalnya Public Savety
Community (PSC) BPBD, SAR, Damkar, PMI, polisi dan lalin-lain. Selain itu
Dispatcher berperan juga dalam mencari rumah sakit yang terdekat yang sesuai
dengan kebutuhan korban, sehingga korban dirujuk pada rumah sakit yang
tepat, schingga rumamh sakit dapat mempersiapkan ruangan, peralatan
maupun tenaga medis bagi korban yang akan dirujuk.
3) Emergency Ambulance Ambulance adalah salah satu kendaraan transportasi
yang dapat mengangkat orang sakit atau cedera, dari satu tempat ke tempat lain
guna perawatan medis. Pengertian lain dari ambulance adalah kendaraan yang
digunakan untuk membawa peralatan medis kepada pasien diluar rumah sakit
atau memindahkan pasien ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanut.
Kendaraan ini dilengkapi dengan sirine untuk menembus kemacetan dijalan
raya.
Ambulance berfungsi sebagai kendaraan transportasi pasien dari suatu tempat
ke tempat lain untuk perawatan medis, selain itu juga berfungsi untuk
mendekatkan fasilitas gawat darurat ke penderita, sehingga ambulans yang
digunakan harus minimal memiliki fasilitas untuk melakukan sirkulasi korban
(Basic Ambulance). Korban yang mengalami cedera yang serius ataupun
mengalami serangan jantung sebaiknya menggunakan advanced ambulance
yang memilikki peralatan lebih lengkap (mencakup peralatan untuk intubasi,
monitor jantung, AED/defibrator, dan obat-obatan emergency). Selain fasilitas,
ambulans gawar darurat harus didukung oleh petugas terlatih (dokter, perawat,
supir) dalam penanganan penderita gawat darurat. Pelayanan kegawat
daruratan pra rumah skait mengacu pada protocol yang telah ditentukan. Hal
tersebut merupakan aspek etik legal yang harus dijalankan oleh setiap petugas
ambulans. Protocol tersebut mengacu pada. Standar Operating Prosedure (SOP)
yang telah disusun oleh tim ahli sebagai offline medical direction. Sedangkan
kasus-kasus khusus yang tidak tertuang dalam SOP, petugas lapangan akan
diberikan bimbingan Tindakan dan monitoring langsung dari dokter (online
medical dirction).
b. Fase Intra-Fasilitas Pelayanan Kesehatan, mencakup
1) Ketersediaan Emergency Call Center
Emergency Call Center adalah salah satu atau beberapa nomor telepon yang
dapat dihubungi dalam keadaan darurat oleh masyarakat umum untuk
mendapatkan bantuan dari beragai pihak seperti polisi, pemadam kebakaran
dan peertolongan medis atau pengangkutan (evakuasi) ke rumah sakit.
Keberadaan Emergency Call Center sangat vital dan menjadi jembatan antara fse
pra Fasyankes dan fase Fasyankes. Emergency Call Center mendapatkan
informasi dari pusat komunikasi (Dispatcher), sehingga rumah sakit dapat
dengan cepat mempersiapkan kebutuhan ruangan, tim medis, dan juga
fasilitas/peralatan yang diperlukan.
2) Kualitas Pelayanan Untuk memberikan kualitas pelayanan yang baik, maka
setiap tempat pelayanan kesehayan khususnya rumah sakit harus
memperispakan atau menyediakan sumber daya manusia yang memiliki tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dan terstandar. Kualitas pelayanan
mencakup pelayanan di setiap rungan, baik di IGD, kamar Operasi,
HCU,ICU,ICCU, maupun ruangan perawatan. Masing-masing ruangan harus
terintegrasi satu sama lain, dan memiliki fasilitas yang memadai. Kompetensi
petugas medis harus disesuaikan dnegan kebutuhan pada masing-masing
ruangan.
c. Fase Antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan, mencakup
1) System Rujukan
Di Indonesia system rujukan Kesehatan telah diatur dan dirumuskan dalam
Permenkes No.01 tahun 2012. Sistesm rujukan pelayanan Kesehatan merupakan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan
tanggung jawab timbal balik pelayanan kesehatan secara timbal balik vertical
maupun horizontal. Sederhananya, system rujukan mengatur darimana dan
harus kemana seseorang dengan gangguan Kesehatan tertentu memeriksakan
keadaan sakitnya.
Pelaksanaan system rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat
atau berjenjang, yaitu pelayanan Kesehatan tingkat pertama, kedua, dan ketiga,
dimana dalam pelaksanaanya tidak berdiri sensdiri-sendiri namun berada
disuatu sistem dan saling berhubungan.
Bila suatu fasilitas pelayanan kesehatan tidak mampu untuk menangani korban
gawat darurat karena kurangnya fasilitas ataupun SDM Kesehatan, maka fasilitas
pelayanan kesehtan tersebur harus melakukan rujukan ke rumah sakit yang
memiliki grade lebih tinggi. Fasilitas pelayanan Kesehatan tersebut harus
memiliki system rujukan yang baik sehingga prosesrujukan korban dapat
dilakukan dengan tepat,
Cepat, efektif dan efisien. Hal tersebut tentunya di dukung oleh system
komunikasi yang bagus. Saat ini, system rujukan dirumah sakit sudah dilengkapi
aplikasi yang secara online dapat digunakan dan memudahkan untuk
menghubungi pihak rumah sakit yang akan dituju untuk melakukan rujukan.
Aplikasi rujukan yang dapat digunakan disebut Sistm Rujukan Rumah Sakit
Terintegrasi (SISRUTE) dan dapat diunduh melalui playstore melalui IIP android,
sehingga memudahkan untuk bisa berkomunikasi dengan pihak rumah sakit
yang akan dituju untuk melakukan rujukan.
Adanya Sistem Rujukan Rumah Sakit Terintegrasi (SISRUTE) sangat membantu
petugas Kesehatan dalam melakukan rujukan pasien ke rumah sakit yang lebih
tinggi tingkatannya, misalnya dari rumah sakit tipe C merujuk ke rumah sakit tipe
B atau dari rumah sakit tipe B merujuk ke rumah sakit tipe A.
2) Sistem Transportasi
Setiap rumah sakit diwajibkan memiliki fasilitas berupa mobil ambulance yang
salah satu fungsinya sebagai alat transportasi pasien yang akan dirujuk. Proses
rujukan tentunya memerlukan system transpostasi yang memadai. Penderita
gawat darurat harus di evakuasi dengan menggunakan ambulance yang sesuai
(basic hingga advanced ambulance) dan didukung oleh petugas yang terlatih.
Ketiga fase diatas (fase Fasyankes, Fasyankes, dan atantar Fasyankes) harus
terintegrasi sehingga pertolongan pada penderita gawat darurat dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat. SPGDT yang berjalan dengan baik dapat menurunkan
tingkat kecacatan maupun kematian pada penderita gawat darurat.
1. Komponen penunjang
a. Sistem komunikasi
b. Sistem Transportasi
c. Sistem Pendanaan
2. Kompoen Sumber Daya Manusia Terlatih
a. Multi Disiplin
b. Multi Profesi
c. Multi Sektor
(Nusdin, KEPERAWATAN GAWATDARURAT, 2020).
4. Pertolongan Pertama Pada Pasien Gawat
Darurat Ruang lingkup pelayanan darurat dapat dibagi menjadi empat bagian antara lain
adalah
1) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level I di rumah salit merupakan pelayanan
gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada pasien gawat
darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa, mengurangi
kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk.
2) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level I di rumah sakit merupakan pelayanan
gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada pasien gawat
darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa, mengurangi
kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk, menetapkan diagnosis dan upaya
penanggulangan kasus-asus kegawatdaruratan
3) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level II di rumah sakit: merupakan
pelayanan gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada
pasien gawat darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa,
mengurangi kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk, menetapkan diagnosis
dan upaya penanggulangan kasus-kasus kegawatdaruratan, serta pelayanan
keperawatan gawat darurat spesialistik 4 besar sycsialis seperti Anak, Kebidanan,
Bedah dan Penyakit Dalam).
4) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level IV di rumah sakit: merupakan
pelayanan gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada
pasien gawat darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa,
mengurangi kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk, menetapkan dingnosis
dan upaya penanggulangan kasus-kasus kegawatdaruratan, serta pelayanan
keperawatan gawat darurat spesialistik (4 besar spesialis sepert Anak Kebidanan,
Bedah dan Penyakit Dalam), ditambah dengan pelayanan keperawatan gawat
darurat sub spesialistik (Nusdin, KEPERAWATAN GAWAT DARURAT, 2020).
Menurut Jainurakhman, Hariyanto, dan Mataputun (2021), Kondisi gawat darurat dapat
terjadi dimana saja, baik pre hospital, in hospital maupun post hospital, oleh karena itu
tujuan dari pertolongan gawat darurat ada tiga yaitu:
1) PreHospital
Rentang kondisi gawat darurat pada pre hospital dapat dilakukan orang awam
khusus ataupun petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan tindakan
penanganan berupa:
a. Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang berisiko
menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang masih menggantung
dan lain-lain.
b. Melakukan triase atau memilih dan menentukan kondisi gawat darurat serta
memberikan pertolongan pertama sebelum petugas kesehatan yang lebih ahli
datang untuk membantu
c. Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara
d. Melakukan evakuasi yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman atau
dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban
e. Mempersiapkan masyarakat awam khusus dan petugas kesehatan melalui pelatihan
siaga terhadap bencana.
2) In Hospital Kondisi gawat darurat in hospital dilakukan tindakan menolong korban
oleh petugas kesehatan. Tujuan pertolongan di rumah sakit adalah:
a. Memberikan pertolongan profesional kepada korban Bencana sesuai dengan
kondisinya.
b. Memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Lanjut (BHL). C.
Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamika yang akurat.
c. Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke masyarakat
setidaknya setara bila dibanding bencana menimpanya.
d. Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban mengenali kondisinya dengan
segala kelebihan yang dimiliki.
3) Post Hospital
Kondisi gawat darurat post hospital hampir semua pihak menyatakan sudah tidak ada
lagi kondisi gawat darurat padahal kondisi gawat darurat ada yang terjadi setelah
diberikan pelayanan di rumah sakit, contohnya korban perkosa. Korban perkosa
mengalami gangguan trauma psikis yang mendalam seperti, merasa tidak berharga,
harga diri rendah, sehingga mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri