Anda di halaman 1dari 9

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)

1. Definisi
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah suatu sistem
penaggulangan gawat darurat yang melibatkan lintas sektorterkait untuk saling
berkoordinasi guna menjamin kecepatan, kecermatan dan ketepatan pertolongan dalam
upaya menyelamatkan nyawa penderita dan mencegah terjadinya kecacatan. Dalam upaya
mencapai hasil yang maksimal dalam penanganan kasus gawat darurat baik yang sifatnya
gawat darurat sehari-hari (Silent Disaster) maupun gawat darurat korban massal atau
bencana (Disaster) yaitu pada tingkat pelayanan yang prima atau memuaskan di mana
tingkat kematian dan kecacatan dalam suatu kejadian kasus gawat darurat danpat
diminimalisir jumlahnya, maka langkah yang harus ditempuh oleh petugas kesehatan
terutama dokter dan perawat serta dari pihak pemerintah sebagai pendukungnya adalah
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya pada petugas kesehatan,
diadakannya pelatihan penanggulangan gawat darurat sehari dan bencana, dan ketersediaan
fasilitas serta penataan manajemen pengelolaan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) kearah yang lebih baik dan terstandar.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) didasari oleh pengelolaan waktu
(Time Management) yang merupakan bentuk pelaksanaan dari time saving is life saving
(waktu adalah nyawa), yang harus memiliki unsur kecepatan (Quick Response) yang
ditunjang oleh sistem komunikasi dan transportasi yang terstandar (modern dan handal).
Sejak di tempat kejadian menuju pada sarana rujukan untuk mendapatkan pertolongan
spesialistik berdasarkan kebutuhan dan ketepatan yaitu pemberian pertolongan pertama di
tempat kejadian oleh awam dan awam khusus yang terlatih dan oleh tenaga kesehatan
profesional kegawatdaruratan serta dokter sebagai salah satu yang paling dibutuhkan, dan
bila perlu dilakukan rujukan ke rumah sakit.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memiliki dua unsur yang sangat
penting, antara lain:
1) Pra rumah sakit yaitu di tempat kejadian berupa pertolongan pertama penderita gawat
darurat.
2) Rumah sakit yaitu sebagai sarana rujukan bila membutuhkan pelayanan spesialistik.
2. Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
a. Bahwa peningkatan jumlah korban/pasien yang meninggal dan mengalami
kecacatan pada kejadian gawat darurat merupakan dampak dari penanganan
korban/pasien gawat darurat yang kurang optimal;
b. Bahwa untuk mewujudkan peningkatan mutu pelayanan dalam penanganan
korban/pasien gawat darurat diperlukan suatu sistem penanganan
korban/pasien yang dilakukan secara terpadu dan terintegrasi dengan
melibatkan berbagai pihak;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu; (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2016).
3. Komponen Sistem Penanggulangan Gawat Darurat (SPGDT)
System penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) mempunyai beberapa komponen
yaitu :
1) Komponen Utama
Komponen utama Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) terdiri dari tiga
bagian yaUtam
a. Fase Pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes)
1) Penolongan Pertama (first responder) Penolong Pertama (first responder)
adalah orang yang pertama kali menemukan penderita gawat darurat, baik itu
kasus gawat darurat sehari-hari maupun kasus gawat darurat korban massal.
Seorang first responder meliputi orang awam (orang umum disekitar kejadian)
dan orang awam khusus (pemadam kebakaran, TNI, polisi, tim SAR). Keberadaan
seorang first responder ini dapat menentukan keselamatan jiwa korban. Orang-
orang yang ada disekitar kejadian sangat membantu dalam mencari pertolongan
melalui pusat komunikasi. Seorang first responder terlatih dapat melakukan
pertolongan pertama pada korban gawat darurat sebelum bantuan medis
datangn. First responder terlatih minimal harus sudah mengikuti pelatihan Basic
Trauma Cardiac Life Support (BTCLS).
2) Pusat Komunikasi (Emergency Dispatch Communication/Dispatcher)
Pusat komunikasi (Emergency Dispatch Communication/ Dispatcher) merupakan
sarana yang sangat penting dibutuhkan pada fase pra fasyankes. Emergency
Dispatch communication memiliki peran dalam mengumpulkan informasi dari
first responder, mendistribusi informasi kepada tim ambulans dan rumah sakit
dan mengaktifasi unit-unit atau Lembaga yang mempunyai tanggung jawab
ketika terjadi suatu kasus gawat darurat baik itu kasus gawat darurat sehari-hari
maupun kasus gawat darurat massal (disaster), misalnya Public Savety
Community (PSC) BPBD, SAR, Damkar, PMI, polisi dan lalin-lain. Selain itu
Dispatcher berperan juga dalam mencari rumah sakit yang terdekat yang sesuai
dengan kebutuhan korban, sehingga korban dirujuk pada rumah sakit yang
tepat, schingga rumamh sakit dapat mempersiapkan ruangan, peralatan
maupun tenaga medis bagi korban yang akan dirujuk.
3) Emergency Ambulance Ambulance adalah salah satu kendaraan transportasi
yang dapat mengangkat orang sakit atau cedera, dari satu tempat ke tempat lain
guna perawatan medis. Pengertian lain dari ambulance adalah kendaraan yang
digunakan untuk membawa peralatan medis kepada pasien diluar rumah sakit
atau memindahkan pasien ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanut.
Kendaraan ini dilengkapi dengan sirine untuk menembus kemacetan dijalan
raya.
Ambulance berfungsi sebagai kendaraan transportasi pasien dari suatu tempat
ke tempat lain untuk perawatan medis, selain itu juga berfungsi untuk
mendekatkan fasilitas gawat darurat ke penderita, sehingga ambulans yang
digunakan harus minimal memiliki fasilitas untuk melakukan sirkulasi korban
(Basic Ambulance). Korban yang mengalami cedera yang serius ataupun
mengalami serangan jantung sebaiknya menggunakan advanced ambulance
yang memilikki peralatan lebih lengkap (mencakup peralatan untuk intubasi,
monitor jantung, AED/defibrator, dan obat-obatan emergency). Selain fasilitas,
ambulans gawar darurat harus didukung oleh petugas terlatih (dokter, perawat,
supir) dalam penanganan penderita gawat darurat. Pelayanan kegawat
daruratan pra rumah skait mengacu pada protocol yang telah ditentukan. Hal
tersebut merupakan aspek etik legal yang harus dijalankan oleh setiap petugas
ambulans. Protocol tersebut mengacu pada. Standar Operating Prosedure (SOP)
yang telah disusun oleh tim ahli sebagai offline medical direction. Sedangkan
kasus-kasus khusus yang tidak tertuang dalam SOP, petugas lapangan akan
diberikan bimbingan Tindakan dan monitoring langsung dari dokter (online
medical dirction).
b. Fase Intra-Fasilitas Pelayanan Kesehatan, mencakup
1) Ketersediaan Emergency Call Center
Emergency Call Center adalah salah satu atau beberapa nomor telepon yang
dapat dihubungi dalam keadaan darurat oleh masyarakat umum untuk
mendapatkan bantuan dari beragai pihak seperti polisi, pemadam kebakaran
dan peertolongan medis atau pengangkutan (evakuasi) ke rumah sakit.
Keberadaan Emergency Call Center sangat vital dan menjadi jembatan antara fse
pra Fasyankes dan fase Fasyankes. Emergency Call Center mendapatkan
informasi dari pusat komunikasi (Dispatcher), sehingga rumah sakit dapat
dengan cepat mempersiapkan kebutuhan ruangan, tim medis, dan juga
fasilitas/peralatan yang diperlukan.
2) Kualitas Pelayanan Untuk memberikan kualitas pelayanan yang baik, maka
setiap tempat pelayanan kesehayan khususnya rumah sakit harus
memperispakan atau menyediakan sumber daya manusia yang memiliki tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dan terstandar. Kualitas pelayanan
mencakup pelayanan di setiap rungan, baik di IGD, kamar Operasi,
HCU,ICU,ICCU, maupun ruangan perawatan. Masing-masing ruangan harus
terintegrasi satu sama lain, dan memiliki fasilitas yang memadai. Kompetensi
petugas medis harus disesuaikan dnegan kebutuhan pada masing-masing
ruangan.
c. Fase Antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan, mencakup
1) System Rujukan
Di Indonesia system rujukan Kesehatan telah diatur dan dirumuskan dalam
Permenkes No.01 tahun 2012. Sistesm rujukan pelayanan Kesehatan merupakan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan
tanggung jawab timbal balik pelayanan kesehatan secara timbal balik vertical
maupun horizontal. Sederhananya, system rujukan mengatur darimana dan
harus kemana seseorang dengan gangguan Kesehatan tertentu memeriksakan
keadaan sakitnya.
Pelaksanaan system rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat
atau berjenjang, yaitu pelayanan Kesehatan tingkat pertama, kedua, dan ketiga,
dimana dalam pelaksanaanya tidak berdiri sensdiri-sendiri namun berada
disuatu sistem dan saling berhubungan.
Bila suatu fasilitas pelayanan kesehatan tidak mampu untuk menangani korban
gawat darurat karena kurangnya fasilitas ataupun SDM Kesehatan, maka fasilitas
pelayanan kesehtan tersebur harus melakukan rujukan ke rumah sakit yang
memiliki grade lebih tinggi. Fasilitas pelayanan Kesehatan tersebut harus
memiliki system rujukan yang baik sehingga prosesrujukan korban dapat
dilakukan dengan tepat,
Cepat, efektif dan efisien. Hal tersebut tentunya di dukung oleh system
komunikasi yang bagus. Saat ini, system rujukan dirumah sakit sudah dilengkapi
aplikasi yang secara online dapat digunakan dan memudahkan untuk
menghubungi pihak rumah sakit yang akan dituju untuk melakukan rujukan.
Aplikasi rujukan yang dapat digunakan disebut Sistm Rujukan Rumah Sakit
Terintegrasi (SISRUTE) dan dapat diunduh melalui playstore melalui IIP android,
sehingga memudahkan untuk bisa berkomunikasi dengan pihak rumah sakit
yang akan dituju untuk melakukan rujukan.
Adanya Sistem Rujukan Rumah Sakit Terintegrasi (SISRUTE) sangat membantu
petugas Kesehatan dalam melakukan rujukan pasien ke rumah sakit yang lebih
tinggi tingkatannya, misalnya dari rumah sakit tipe C merujuk ke rumah sakit tipe
B atau dari rumah sakit tipe B merujuk ke rumah sakit tipe A.
2) Sistem Transportasi
Setiap rumah sakit diwajibkan memiliki fasilitas berupa mobil ambulance yang
salah satu fungsinya sebagai alat transportasi pasien yang akan dirujuk. Proses
rujukan tentunya memerlukan system transpostasi yang memadai. Penderita
gawat darurat harus di evakuasi dengan menggunakan ambulance yang sesuai
(basic hingga advanced ambulance) dan didukung oleh petugas yang terlatih.
Ketiga fase diatas (fase Fasyankes, Fasyankes, dan atantar Fasyankes) harus
terintegrasi sehingga pertolongan pada penderita gawat darurat dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat. SPGDT yang berjalan dengan baik dapat menurunkan
tingkat kecacatan maupun kematian pada penderita gawat darurat.
1. Komponen penunjang
a. Sistem komunikasi
b. Sistem Transportasi
c. Sistem Pendanaan
2. Kompoen Sumber Daya Manusia Terlatih
a. Multi Disiplin
b. Multi Profesi
c. Multi Sektor
(Nusdin, KEPERAWATAN GAWATDARURAT, 2020).
4. Pertolongan Pertama Pada Pasien Gawat
Darurat Ruang lingkup pelayanan darurat dapat dibagi menjadi empat bagian antara lain
adalah
1) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level I di rumah salit merupakan pelayanan
gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada pasien gawat
darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa, mengurangi
kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk.
2) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level I di rumah sakit merupakan pelayanan
gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada pasien gawat
darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa, mengurangi
kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk, menetapkan diagnosis dan upaya
penanggulangan kasus-asus kegawatdaruratan
3) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level II di rumah sakit: merupakan
pelayanan gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada
pasien gawat darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa,
mengurangi kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk, menetapkan diagnosis
dan upaya penanggulangan kasus-kasus kegawatdaruratan, serta pelayanan
keperawatan gawat darurat spesialistik 4 besar sycsialis seperti Anak, Kebidanan,
Bedah dan Penyakit Dalam).
4) Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Level IV di rumah sakit: merupakan
pelayanan gawat darurat 24 jam yang memberikan pertolongan pertama pada
pasien gawat darurat, menetapkan diagnosis dan upaya penyelamatan jiwa,
mengurangi kecacatan dan kesakitan pasien sebelum dirujuk, menetapkan dingnosis
dan upaya penanggulangan kasus-kasus kegawatdaruratan, serta pelayanan
keperawatan gawat darurat spesialistik (4 besar spesialis sepert Anak Kebidanan,
Bedah dan Penyakit Dalam), ditambah dengan pelayanan keperawatan gawat
darurat sub spesialistik (Nusdin, KEPERAWATAN GAWAT DARURAT, 2020).

Pelayanan Gawat Darurat

Menurut Jainurakhman, Hariyanto, dan Mataputun (2021), Kondisi gawat darurat dapat
terjadi dimana saja, baik pre hospital, in hospital maupun post hospital, oleh karena itu
tujuan dari pertolongan gawat darurat ada tiga yaitu:

1) PreHospital
Rentang kondisi gawat darurat pada pre hospital dapat dilakukan orang awam
khusus ataupun petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan tindakan
penanganan berupa:
a. Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang berisiko
menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang masih menggantung
dan lain-lain.
b. Melakukan triase atau memilih dan menentukan kondisi gawat darurat serta
memberikan pertolongan pertama sebelum petugas kesehatan yang lebih ahli
datang untuk membantu
c. Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara
d. Melakukan evakuasi yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman atau
dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban
e. Mempersiapkan masyarakat awam khusus dan petugas kesehatan melalui pelatihan
siaga terhadap bencana.
2) In Hospital Kondisi gawat darurat in hospital dilakukan tindakan menolong korban
oleh petugas kesehatan. Tujuan pertolongan di rumah sakit adalah:
a. Memberikan pertolongan profesional kepada korban Bencana sesuai dengan
kondisinya.
b. Memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Lanjut (BHL). C.
Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamika yang akurat.
c. Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke masyarakat
setidaknya setara bila dibanding bencana menimpanya.
d. Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban mengenali kondisinya dengan
segala kelebihan yang dimiliki.
3) Post Hospital

Kondisi gawat darurat post hospital hampir semua pihak menyatakan sudah tidak ada
lagi kondisi gawat darurat padahal kondisi gawat darurat ada yang terjadi setelah
diberikan pelayanan di rumah sakit, contohnya korban perkosa. Korban perkosa
mengalami gangguan trauma psikis yang mendalam seperti, merasa tidak berharga,
harga diri rendah, sehingga mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri

Tujuan diberikan pelayanan dalam rentang post hospital adalah:

a. Mengembalikan rasa percaya diri pada korban.


b. Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh dan
berkembang.
c. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi pada orang-orang terdekat dan
masyarakat yang lebih luas.
d. Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan nyata
korban.
e. Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupannya pada masa yang
akan datang (Jainurakhman, 2021).

5. Tujuan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)


1) Tujuan Umum
Mewujudkan Masyarakat Sehat aman dan sejahtera (Safe Community) melalui implementasi
SPGDT.
2) Tujuan Khusus
a) Adanya komando kegiatan sesuai peran masing-masing
b) Tersedianya SDM kesehatan dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan.
c) Tersedianya sarana/fasilitas yang standar.
d) Adanya sistem pembiayaan yang jelas. E) Adanya dasar peraturan yang kondusif.
6. Jenis Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
Sistem Penanggulangan Gawat Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) terdiri dari dua jenis atau
bagian yaitu:
 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu sehari-hari (SPGDT-S)
SPGDT-S adalah suatu bentuk upaya pemberian pelayanan kepada penderita gawat
darurat yang saling terkait yang dilaksanakan di tingkat Pra Rumah Sakit- di Rumah
Sakit-antar Rumah Sakit dan terjalin dalam suatu sistem dan bertujuan agar
korban/pasien tetap hidup.
SPGDT-S meliputi berbagai rangkaian kegiatan sebagai berikut:
a. Pra Rumah Sakit
1) Diketahuinya bahwa ada penderita gawat darurat oleh masyarakat.
2) Penderita gawat darurat itu kemudian dilaporkan ke organisasi pelayanan penderita gawat
darurat untuk mendapatkan pertolongan medik.
3) Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau awam khusus (satpam,
pramuka, polisi, dan lain-lain).
4) Pengiriman penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan dari tempat kejadian ke
rumah sakit (sistem pelayanan ambulan).
b. Dalam Rumah Sakit
1) Pertolongan di unit gawat darurat rumah sakit.
2) Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan).
3) Pertolongan di ICU/ICCU
c.Antar Rumah Sakit
1) Rujukan ke rumah sakit lain (jika diperlukan).
2) Organisasi dan komunikasi
 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana (SPGDT-B)
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana (SPGDT-B) adalah suatu
bentuk pertolongan pelayanan kegawat daruratan yang membutuhkan kerja sama
antar unit pelayanan pra rumah sakit dan rumah sakit dalam bentuk pelayananan
gawat darurat terpadu sebagai khususnya pada terjadinya korban massal yg
memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan sehari-hari.
Adapun tujuan dari Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana
(SPGDT-B) adalah:
a. Untuk menyelamatkan korban sebanyak- banyaknya pada kejadian suatu bencana.
b. Mencegah kematian dan cacat, hingga dapat berfungsi kembali seperti sebelum
kejadian menimpanya dan dapat menjalani hidup kembali dalam masyarakat
sebagaimana mestinya.
c. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih layak
dan memadai.
d. Menanggulangi korban bencana.
7. Dasar Hukum
Dasar hukum pemberian pelayanan kegawatdaruratan diatur dalam Undang-Undang sebagai
berikut :
1. Undang-Undang Nomor 38 tentang keperawatan Tahun 2014 pasal 35
yaitu:
a. Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, perawat dalam
melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai kompetensinya.
b. Pertolongan pertama pada ayat 1 bertujuan untuk menyelamatkan klien dan
mencegah kecacatan lebih lanjut.
c. Keadaan darurat pada ayat 1 merupakan keadaan yang mengancam nyawa atau
kecacatan klien.
d. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud ayat 1 ditetapkan oleh perawat sesuai hasil
evaluasi berdasarkan keilmuannya.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
4. Undang-Undang Keperawatan pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa
dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, perawat
dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan
kompetensinya, ayat (2) mengatakan pertolongan pertama sebagaimana
dimaksud ayat (1) bertujuan untuk menyelamatkan nyawa klien dan
mencegah kecacatan lebih lanjut, ayat (3) menjabarkan lebih lanjut bahwa
keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan klien, dan ayat (4) bahwa
keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
perawat sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144 tahun 2010 tetang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :1045/2006
tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum (Nusdin, KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT, 2020).
8. Persetujuan Pertolongan
Persetujuan yang umumnya diberikan dalam keadaan penderita sadar (normal) yaitu
penderita memberikan isyarat yang mengizinkan tindakan pertolongan dilakukan atas
dirinya, dan dalam gawat darurat. Keadaan lain adalah pada penderita tidak sadar atau anak
kecil yang tidak mampu atau tidak dianggap tidak mampu memberikan persetujuan. Pada
anak juga dapat diminta izin dari orang tua.
1. Kualifikasi Pelaku Pertolongan Pertama: Supaya dapat menjalankan kewajiban tersebut
diatas maka penolong harus memiliki kualifikasi sebagai berikut :
a. Jujur dan bertanggungjawab
b. Berlaku professional
c. Kematangan emosi
d. Kemampuan bersosialisasi
e. Kemampuannya nyata terukur sesuai sertifikat
f. Kondisi fisik baik
g. Mempunyai rasa bangga
2. Bantuan Hidup Dasar (BHD) Bantuan hidup dasar adalah serangkaian intervensi yang
ditujukan untuk memulihkan dan mempertahankan fungsi organ vital pada korban henti
jantung dan henti napas. Bantuan hidup dasar dalam hal ini yaitu Resusitasi Jantung Paru
(RJP) merupakan determinan penting dalam kelangsungan hidup korban henti jantung.
Artinya membutuhkan peningkatan jumlah (LBS) di masyarakat. Bantuan hidup dasar
merupakan dasar untuk menyelamatkan pasien pada kondisi yang mengancam jiwa dimana
penolong perlu segera mengenali tanda-tanda henti jantung dan pernapasan, segera
mengaktifkan sistem tanggap darurat, segera melakukan CPR, dan segera melakukan
defibrilasi menggunakan AED (Automated External defibrilator).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang adalah tingkat pengetahuan.
Pengetahuan adalah hasil dari mengetahui, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga (melihat dan mendengar). Pengetahuan juga sangat erat
kaitannya dengan pendidikan karena pengetahuan diperoleh baik melalui pendidikan formal
maupun informal.
Masa transisi remaja dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang meliputi semua
perkembangan yang telah dialami dalam persiapan memasuki masa dewasa. Perubahan
perkembangan tersebut meliputi aspek fisik, psikis, dan psikososial, mudah termotivasi, dan
cepat belajar. Mereka diharapkan menjadi respon pertama, yaitu yang pertama memberikan
pertolongan dalam suatu kejadian. Ciri-ciri tersebut dapat ditemukan pada remaja di sekolah
menengah dan perguruan tinggi. Namun, tanpa disadari, banyak remaja yang masih awam
dengan bantuan hidup dasar. Hal ini disebabkan kurangnya informasi dan upaya publisitas
tentang bantuan hidup dasar. Selain peran tenaga medis di puskesmas, pertolongan
pertama yang dilakukan oleh masyarakat awam dan remaja di lokasi korban serangan
jantung sangat penting. Pengetahuan bantuan hidup dasar dapat membentuk sikap atau
perilaku membantu.
Apabila terdapat cedera yang mengancam nyawa terindikasi di Survei primer, tindakan ini
harus dilakukan sebelum melanjutkan ke Survei Sekunder, Alat dan tindakan tambahan di
Survei Primer yang harus dipertimbangkan antara lain: Menilai saturasi oksigen dengan
menggunakan pulse oximeter, suhu inti tubuh, jika ada pasang capnograph dan tanda-tanda
vital,pemeriksaan gas darah arteri (terutama yang mengalami gangguan metabolism),
melakukan pemeriksaan FAST (Focused Assessment Sonography For Trauma/FAST atau
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), pasang pipa lambung (NGT/OGT) jika diperlukan,
memasang kateter urin bila diperlukan, perlu dilakukan pemeriksaan apakah terjadi ruptur
uretra dengan tanda dan gejala antara lain: pada laki-laki yaitu adanya edema di skrotum,
prostat melayang, perdarahan pada uretra, pada perempuan yaitu adanya perdarahan pada
uretra, hematoma pada perineum, jika terdapat ruptur uretra maka yang dilakukan adalah
fungsi pada vesika urinaria (blast function), melakukan pemeriksaan rontgen bila ada indikasi
termasuk pada dada dan pelvis. Pertimbangkan apakah penderita cukup dengan fasilitas
yang ada atau memerlukan transfer ke perawatan definitive lain. Survei sekunder
(Secondary Survey) yaitu penilaian sistematis dari kepala hingga ujung kaki dengan
dentifikasi di semua cedera. Survey sekunder dilakukan jika survey primer dan resusitasi
telah lengkap dilakukan. Pemeriksaan tambahan antara lain MIST (Mechanism and time of
injury, Injuries found and suspected, Symptoms and signs, treatment initiated, dan AMPLE
(sign and symptom, Allergies, Medication, Past Medical Problems, Last Meal, Events;
Melakukan pemeriksaan fisik (head to toe atau pemeriksaan persistem/6 B); Perlu dilakukan
transfer ke definitive care (menginformasikan penderita ke unit penerima atau pusat
trauma, pastikan laporan yang diberikan tentang riwayat korban dan tatalaksana awal ditulis
dengan lengkap, pastikan ada komunikasi yang baik dengan petugas Kesehatan lain dan
dengan keluarga terkait informed consent dan discharge planning), sangat diperlukan
kerjasama tim yang baik dalam melakukan initial assessment.
3. Peralatan Dasar Pelaku Pertolongan Pertama
Dalam melakukan tugasnya pelaku pertolongan pertama memerlukan beberapa peralatan
dasar. Peralatan dasar ini dapat dibagi menjadi peralatan perlindungan diri atau yang lebih
dikenal dengan alat pelindungan diri (APD). Berikut adalah beberapa APD, antara lain:
9. Kewajiban Sebagai Pelaku Pertolongan Pertama
Dalam menjalankan tugasnya ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan :
d. Menjaga keselamatan diri, anggota tim, penderita dan orang sekitar.
e. Dapat menjangkau penderita.
f. Dapat mengenali dan mengatasi masalah yang mengancam nyawa.
g. Meminta bantuan/rujukan.
h. Memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat.
i. Membantu pelaku pertolongan pertama lainnya.
j. Ikut menjaga kerahasiaan medis penderita.
k. Melakukan komunikasi dengan petugas lain yang terlibat.
l. Mempersiapkan penderitaan untuk transportasi (Iqlimah & Akbar, 2020)

Anda mungkin juga menyukai