Anda di halaman 1dari 41

SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT

DARURAT TERPADU
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan konsep Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memadukan penanganan gawat darurat
mulai dari tingkat pra rumah sakit sampai tingkat rumah sakit dan rujukan antara rumah sakit
dengan pendekatan lintas program dan multisektoral. Penanggulangan gawat darurat
menekankan respon cepat dan tepat dengan prinsip Time Saving is Life and Limb Saving.
Merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama yang bersifat multi
sektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multi disiplin dan multi profesi
untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan terpadu bagi penderita gawat
darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan bencana dan kejadian luar
biasa.
Didalam memberikan pelayanan medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem yaitu : sistem
pelayanan pra rumah sakit, sistem pelayanan pelayanan di rumah sakit dan sistem pelayanan
antar rumah sakit. Ketiga sub sistem ini tidak dapat di pisahkan satu sama lain, dan bersifat
saling terkait dalam pelaksanaan sistem.
Prinsip SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat, dan tepat, dimana
tujuannya adalah untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah kecacatan (time saving is life and
limb saving) terutama ini dilakukan sebelum dirujuk ke rumah sakit yang dituju.
SISTEM PELAYANAN MEDIK PRA RUMAH SAKIT
1. Public Safety Center
Didalam penyelenggaraan sistem pelayanan pra rumah sakit harus membentuk atau
mendirikan pusat pelayanan yang bersifat umum dan bersifat emergency dimana bentuknya
adalah suatu unit kerja yang disebut Public Safety Center (PSC), ini merupakan suatu unit
kerja yang memberi pelayanan umum terutama yang bersifat emergency bisa merupakan
UPT Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, yang sehari-harinya secara operasional dipimpin
oleh seorang direktur. Selain itu pelayanan pra rumah sakit bisa dilakukan pula dengan
membentuk satuan khusus yang bertugas dalam penanganan bencana dimana disaat ini sering
disebut dengan Brigade Siaga Bencana (BSB), pelayanan ambulans, dan komunikasi. Dalam
pelaksanaan Public Service Center dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kepentingan
masyarakat, dimana pengorganisasiannya dibawah pemerintah daerah, sedangkan sumber
daya manusianya terdiri dari berbagai unsur, seperti unsur kesehatan, unsur pemadam
kebakaran, unsur kepolisian, unsur linmas serta masyarakat sendiri yang bergerak dalam
bidang upaya pertolongan pertama, sehingga memiliki fungsi tanggap cepat dalam
penganggulangan tanggap darurat.
2. Brigade Siaga Bencana (BSB)
Merupakan suatu unit khusus yang disiapkan dalam penanganan pra rumah sakit khususnya
yang berkaitan dengan pelayana kesehatan dalam penanganan bencana. Pengorganisasian
dibentuk oleh jajaran kesehatan baik di tingkat pusat maupun daerah (depkes, dinkes, rumah
sakit) petugas medis baik dokter maupun perawat juga petugas non medis baik sanitarian gizi,
farmasi dan lain-lain. Pembiayaan didapat dari instansi yang ditunjuk dan dimasukkan
anggaran rutin APBN maupun APBD.
3. Pelayanan Ambulans
Kegiatan pelayanan terpadu didalam satu koordinasi yang memberdayakan ambulans milik
puskesmas, klinik swasta, rumah bersalin, rumah sakit pemerintah maupun swasta, institusi
kesehatan swasta maupun pemerintah (PT. Jasa Marga, Jasa Raharja, Polisi, PMI, Yayasan
dan lain-lain). Dari semua komponen ini akan dikoordinasikan melalui pusat pelayanan yang
disepakati bersama antara pemerintah dengan non pemerintah dalam rangka melaksanakan
mobilisasi ambulans terutama bila terjadi korban massal.
4. Komunikasi
Didalam melaksanakan kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari memerlukan
sebuah sistem komunikasi dimana sifatnya adalah pembentukan jejaring penyampaian
informasi jejaring koordinasi maupun jejaring pelayanan gawat darurat sehingg seluruh
kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem yang terpadu terkoordinasi menjadi satu
kesatuan kegiatan.
PELAYANAN PADA KEADAAN BENCANA
Pelayanan dalam keadaan bencana yang menyebabkan korban massal memerlukan hal-hal
khusus yang harus dilakukan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dan diselenggarakan adalah :
1. Koordinasi dan Komando
Dalam keadaan bencana diperlukan pola kegiatan yang melibatkan unit-unit kegiatan lintas
sektoral yang mana kegiatan ini akan menjadi efektif dan efisien bila berada didalam suatu
komandio dan satu koordinasi yang sudah disepakati oleh semua unsur yang terlibat.
2. Eskalasi dan Mobilisasi Sumber Daya
Kegiatan ini merupakan penanganan bencana yang mengakibatkan korban massal yang harus
melakukan eskalasi atau berbagai peningkatan. Ini dapat dilakukan dengan melakukan
mobilisasi sumber daya manusia, mobilisasi fasilitas dan sarana serta mobilisasi semua
pendukung pelayanan kesehatan bagi korban.
3. Simulasi
Diperlukan ketentuan yang harus ada yaitu prosedur tetap (protap), petunjuk pelaksana
(juklak) dan petunjuk tekhnis (juknis) operasional yang harus dilaksanakan oleh petugas yang
merupakan standar pelayanan. Ketentuan tersebut perlu dikaji melalui simulasi agar dapat
diketahui apakah semua sistem dapat diimplementasikan pada kenyataan dilapangan.
4. Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi
Penanganan bencana perlu dilakukan kegiatan pendokumentasian, dalam bentuk pelaporan
baik yang bersifat manual maupun digital dan diakumulasi menjadi satu data yang digunakan
untuk melakukan monitoring maupun evaluasi, apakah yang bersifat keberhasilan ataupun
kegagalan, sehingga kegiatan selanjutnya akan lebih baik.
SISTEM PELAYANAN MEDIK DI RUMAH SAKIT
Harus diperhatian penyediaan saran, prasarana yang harus ada di UGD, ICU,kamar jenazah,
unit-unit pemeriksaan penunjang, seperti radiologi, laboratorium, klinik, farmasi, gizi, ruang
rawat inap, dan lain-lain.
1. HOSPITAL DISASTER PLAN
Rumah sakit harus membuat suatu perencanaan untuk menghadapi kejadian bencana yang
disebut Hospital Disaster Plan baik bersifat yang kejadiannya didalam rumah sakit maupun
eksternal rumah sakit.
2. UNIT GAWAT DARURAT (UGD)
Di dalan UGD harus ada organisasi yang baik dan lengkap baik pembiayaan, SDM yang
terlatih, sarana dengan standar yang baik, sarana medis maupun non medis dan mengikuti
teknologi pelayanan medis. Prinsip utama dalam pelayanan di UGD adalah respone time baik
standar nasional maupun standar internasional.
3. BRIGADE SIAGA BENCANA RS (BSB RS)
Didalam rumah sakit juga harus di bentuk Brigade Siaga Bencana dimana ini merupakan
satuan tugas khusu yang mempunyai tugas memberikan pelayanan medis pada saat-saat
terjadi bencana baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dimana sifat kejadian ini
menyebabkan korban massal.
4. HIGH CARE UNIT (HCU)
Suatu bentuk pelayanan rumah sakit bagi pasien yang sudah stabil baik respirasi
hemodinamik maupun tingkat kesadarannya, tetapi masih memerlukan pengobatan perawatan
dan pengawasan secara ketat dan terus menerus, HCU ini harus ada baik di rumah sakit tipe
C dan tipe B.
5. INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
Merupakan suatu bentuk pelayanan di rumah sakit multi disiplin. Bersifat khusus untuk
menghindari ancaman kematian dan memerlukan berbagai alat bantu untuk memperbaiki
fungsi vital dan memerlukan sarana tekhnologi yang canggih dan pembiyaan yang cukup
besar.
6. KAMAR JENAZAH
Pelayanan bagi pasien yang sudah meninggal dunia, baik yang meninggal di rumah sakit
maupun luar rumah sakit, dalam keadaan normal sehari-hari ataupun bencana. Pada saat
kejadian massal di perlukan pengorganisasian yang bersifat komplek dimana akan di lakukan
pengidentifikasian korban baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal dan memerluikan
SDM yang khusus selain berhubungan dengan hal-hal aspek legalitas.
SISTEM PELAYANAN MEDIK ANTAR RUMAH SAKIT
Berbentuk jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan baik dari segi kualitas maupun kuantitas, untuk menerima pasien dan
ini sangat berhubungan dengan kemampuan SDM, ketersediaan fasilitas medis didalam
sistem ambulans.
1. Evakuasi
Bentuk layanan transportasi yang ditujukan dari pos komando, rumah sakit lapangan menuju
ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit, baik dikarenakan adanya bencana
yang terjadi di rumah sakit, dimana pasien harus di evakuasi ke rumah sakit lain. Pelaksanaan
evakuasi tetap harus menggunakan sarana yan terstandar memenuhi kriteria-kriteria yang
suah ditentukan berdasarkan standar pelayanan rumah sakit.
2. Syarat syarat evakuasi
Korban berada dalam keadaan paling stabil dan memungkinkan untuk di evakuasi
Korban telah disiapkan/diberi peralatan yang memadai untuk transportasi.
Fasilitas kesehatan penerima telah di beritahu dan siap menerima korban.
Kendaraan dan pengawalan yang dipergunakan merupakan yang paling layak tersedia.
3. Beberapa bentuk evakuasi
Evakuasi darat, dimana para korban harus secara cepat dipindahkan, karena lingkungan yang
membahayakan, keadaan yang mengancam jiwa, membutuhkan pertolongan segera, maupun
bila terdapat sejumlah pasien dengan ancaman jiwa yang memerlukan pertolongan.
Evakuasi segera, korban harus segera dilakukan penanganan, karena adanya acaman bagi
jiwanya dan tidak bisa dilakukan dilapangan, misal pasien syok, pasien stres dilingkungan
kejadian dan lain-lain. Juga dilaukan pad pasien-pasien yang berada di linkungan yang
mengakibatkan kondisi pasien cepat menurun akibat hujan, suhu dingin ataupun panas.
Evakuasi biasa, dimana korban biasanya tidak mengalami ancaman jiwa, tetapi masih perlu
pertolongan di rumah sakit, dimana pasien akan di evakuasi bila sudah dalam keadaan baik
atau stabil dan sudah memungkinkan bisa dipindahkan, ini khususnya pada pasien-pasien
patah tulang.
4. Kontrol lalu lintas
Untuk memfasilitasi pengamanan evakuasi, harus dilakukan control lalu lintas oleh
kepolisian, untuk memastikan jalur lalulintas antar rumah sakit dan pos medis maupun pos
komando. Pos medis dapat menyampaikan kepada pos komando agar penderita dapat
dilakukan evakuasi bila sudah dalam keadaan stabil. Maka kontrol lalu lintas harus seiring
dengan proses evakuasi itu sendiri.

Keberhasilan Penanggulangan Pasien Gawat Darurat Tergantung 4 Kecepatan :
1. Kecepatan ditemukan adanya penderita GD
2. kecepatan Dan Respon Petugas
3. Kemampuan dan Kualitas
4. Kecepatan Minta Tolong
Kemungkinan yang terjadi jika terlambat melakukan resusitasi
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Koordinasi Lintas Unit


0- 4 Menit
Mati Klinis
Kerusakan Sel-sel otak tidak diharapkan
4-8 menit Mungkin sudah terjadi Kerusakan Sel-Sel Otak
8-10 menit
Mati
Biologis
Sudah Mulai terjadi Kerusakan Otak
>10 menit
Hampir Dipastikan terjadi Kerusakan sel-sel
Otak










PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang menantang,
dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan
untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit
hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat
trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late,
karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak
adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak memadai),
cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat
regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang
dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan).
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan
pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-masing. Yang akan
dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam mengelola korban bencana
disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang
komando bila dianggap diperlukan perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera melebihi kemampuan
sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan perawatan adekuat secara cepat dalam
usaha meminimalkan kecacadan atau kematian (korban massal), dengan terjadinya gangguan
tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana kompleks bila disertai ancaman keamanan).
Bencana mungkin disebabkan oleh ulah manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan
bencana memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional dan
nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum dan masyarakat. Kesiapan rumah
sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik harus disertakan dalam mempersiapkan
perencanaan bencana. Secara nasional kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari
maupun dalam bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT S/B) yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi
kedalam subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali biasanya
ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga pada penegak
hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan. Kelompok lain bisa
membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan komunikasi antar instansi harus
sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan bencana yang berhasil.
Tingkat respons atas bencana.
Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim gawat darurat
dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim gawat
darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi antar
instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat darurat dan
penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi.
Diperlukan koordinasi luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan
ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab
ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang
sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial harus dilakukan
oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus
menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik,
lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera, usia, dan
keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat,
tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu
kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi
traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan
tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien
berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai hingga
berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan
jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien
cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam
keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa
secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat
bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta
tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-
abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar
berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang
berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien
mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa
shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau
tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala
(cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa
gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat
(Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang
berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu
kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan
kekelompok sesuai.
Triase Sistim METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi
ditempat.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental
(RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan
kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau
tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara
cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau
apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.
Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan sebagai
bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan
Utama sesuai keadaan.
PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE
Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat pelayanan, pasien
dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila
jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma
Algoritma Sistem START :

Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ;
Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar dengan paling
sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim Medik
mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara cepat
menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan
tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai petugas
triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan dan
jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang memadai (Rapid
Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan bencana serta
mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya
kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban kelompok
merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan
persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan triase)
mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan kemudian
mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode merah
dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta transportasi yang
sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan rumah
sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas
hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS
rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke RS utama.
(Jangan pindahkan bencana ke RS).
PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter sekitar
lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya. Perimeter
seluas mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan memudahkan
kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
Jalur untuk Transport Korban
Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi bencana yang
disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan korban ke
perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan Utama. Tidak seorangpun diizinkan
melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan atau memindahkan
pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas
antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau
berbahaya.
Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua kegiatan dalam
keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila
petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh penolong atau
korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko lebih
lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan hidup,
untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.

PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi,
survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak
dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada awal proses. Bila
tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei primer. Kondisi pengancam
jiwa diutamakan.

Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation and
hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat.
Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat
penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau
krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa
tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada
yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya defek
yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan
torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan
eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar,
pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia
adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara perifer di ekstremitas
atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan
tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik. Tentukan
adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya,
kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan
dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau
hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan cedera
kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian metilprednisolon bila
masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi
tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka
seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan pencegahan
hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat,
selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor
memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk
dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley
kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major, prostat
terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral sebelum
kateterisasi.
RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF
Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan
sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif serta
tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital,
merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta memberikan
resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk
mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin.
Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak terkontrol
dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi adalah tanda
vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak
ada bukti disfungsi end-organ. Parameter (kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah
arteri) bisa membantu.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi.
Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi
tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi
dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas pra
RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan
medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme
cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi
fisiologis pasien secara umum.
Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum jari atau pipa dalam setiap lubang mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap bagian
tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap dari
kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun penilaian awal.
Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei primer
dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa pasien keruang radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas darah
arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh oksimeter
denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam
perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan
ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk
penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan
kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter
koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya kurang berguna
saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.
PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam pengelolaan
bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana dan berpegang pada
SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik dalam keadaan bencana atau
sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki pengetahuan sempurna dalam peran
khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas harus
berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar lebih
terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life Support
(GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan Ketiga.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I. Jakarta :
Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penaanganan
Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan. Tahun
2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American College of
Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.
Kehalaman utama.

tips mengevakuasi korban
Setiap TIM SAR pasti memiliki keahlian sendiri dalam mengaevakuasi korban. Bagi yang
belum, pelajarilah cara-cara berikut.
Untuk itulah diperlukan Standar / Panduan penanganan dan evakuasi korban yang berlaku
bagi seluruh personel dan unit kesehatan di seluruh Kongo guna menghadapi kemungkinan
terjadinya korban pertempuran, bencana alam maupun wabah penyakit.

Triage
Triage adalah pengelompokan pasien atau korban berdasarkan kondisi klinis korban,
dengan tujuan untuk menentukan prioritas penanganan dan evakuasi korban. Hal ini untuk
optimalisasi penggunaan sumber-sumber daya medis yang terbatas saat kejadian dan
memastikan sebanyak mungkin korban dapat diselamatkan dalam keadaan korban masal.
Triage umumnya dilakukan oleh dokter atau paramedik yang berpengalaman. Kegiatan
Triage ini terus dilakukan karena kondisi pasien dapat memburuk, terutama selama evakuasi.
Haruslah terus dimonitor sampai tiba di fasilitas medis, juga sebelum dievakuasi untuk
penanganan lebih lanjut.
a.Klasifikasi.
Berbagai klasifikasi Triage yang berbeda telah dipergunakan oleh organisasi - organisasi
pelayanan kesehatan nasional dan internasional. Pengelompokan pasien atau korban
tergantung pada urgensi penanganan dan evakuasi, juga mempertimbangkan prognosisnya.
Beberapa sistem berdasarkan pada skore trauma sedangkan sistem yang lain berdasarkan
pertimbangan klinis. Sangatlah penting bagi unit unit kesehatan untuk terbiasa dengan
klasifikasi triage dan pemasangan label di dalam daerah misi PBB.
b. Triage Categories.
PBB merekomendasikan menggunakan 4-category triage berdasarkan kondisi pasien dan
urgensinya untuk penanganan.
1. Prioritas 1 (MERAH: Segera).
Kategori ini merupakan prioritas tertinggi untuk penanganan atau evakuasi, seperti
tindakan resusitasi segera untuk memastikan penyelamatan korban atau pasien. Contoh
obstruksi jalan nafas, kegawatan pernapasan, syok dan trauma parah. Pasien pasien pada
katagori pertama dapat meninggal dalam 2 jam atau lebih cepat jika tidak ada penanganan
yang tepat.
2. Prioritas 2 (KUNING: Mendesak).
Ini meliputi kasus yang memerlukan tindakan segera, terutama kasus bedah,
direkomendasikan untuk evakuasi ke fasilitas bedah dalam 6 jam dari kejadian. Contoh
meliputi trauma abdomen, trauma dada tertutup tanpa ancaman asfiksia, trauma ekstremitas
dan patah tulang, trauma kepala tertutup, trauma mata dan luka bakar derajad sedang.
3. Prioritas 3 (HIJAU: Tunda atau Evaluasi).
Penanganan tidak terlalu mendesak dan dapat ditunda jika ada korban lain lebih
memerlukan penanganan atau evakuasi. Contoh meliputi fraktur simple tertutup, trauma dada
tertutup.
4. Prioritas 4 (HITAM: Ada harapan atau meninggal).
Kategori ini mengacu pada korban korban dengan trauma atau penyakit yang sangat
serius sehingga kecil kemungkinan selamat atau meninggal saat datang (dead on arrival).
Dengan adanya keterbatasan sumber-sumber daya medis yang ada, karena parahnya kondisi
pasien, beberapa kasus prioritasnya lebih rendah untuk evakuasi atau penanganan. Contoh
seperti mati batang otak dan penyakit terminal.

Penanganan dan kebijakan Evakuasi(Evacuation Policy or Holding Policy)
a. Kemampuan suatu fasilitas medis ditentukan oleh tingkat dukungan medis yang diberikan.
Pada level yang lebih rendah, penekanannya pada resusitasi dan stabilisasi korban selanjutnya
untuk dievakuasi ke level yang lebih tinggi. Pada cedera yang parah, tindakan definitif jarang
dilakukan di level yang rendah dan diupayakan untuk segera dievakuasi.
b. Pengorganisasi sumber-sumber daya medis di dalam daerah Misi PBB ditentukan oleh
kemampuan terapi dan evakuasi masing - masing level. Harus diantisipasi juga akan adanya
kesulitan atau keterlambatan dalam evakuasi, level ini harus meningkatkan kemampuan
terapinya. Holding Policy (juga dikenal sebagai Evacuation Policy / kebijakan evakuasi) di
dalam Misi adalah sebagai keseimbangan antara kemampuan terapi setiap level dengan
ketersediaan sarana evakuasi. Hal ini dicapai dengan cara menentukan waktu maksimum
seorang pasien dapat dirawat pada masing masing level.
Kebijakan evakuasi ini ditentukan oleh:
1. Keterbatasan evakuasi disebabkan oleh tidak tersedianya sarana evakuasi,
keterbatasan operasional, cuaca atau topografi.
2. Kebutuhan akan sumber-sumber daya medis, misal ketika diperkirakan ada banyak
pasien maka waktu evakuasi diperpendek.
3. Ketersediaan sarana medis, misal sedikitnya fasilitas maka waktu evakuasi juga relatif
singkat.




Evakuasi dan repatriasi Medis
a. Tanggung jawab perencanaan dan penetapan
suatu sistem evakuasi medis yang efektif terletak pada staf perencanaan di DPKO, serta staf
medis dan administrasi di dalam daerah Misi. Force Medical Officer (FmedO)
mengkoordinasikan semua aktivitas evakuasi di dalam daerah Misi, dengan dukungan dari
administrasi dalam Misi dan panduan dari Medical Services Division (MSD). Rincian
rencana evakuasi harus dimasukkan dalam setiap Missions Standard Operating Procedures
(SOP). Terdapat tiga kategori rujukan pasien atau korban yaitu:
1. Evakuasi Korban (Casevac). Evakuasi korban dari lokasi kejadian ke fasilitas medis
terdekat, idealnya dilakukan dalam 1 jam dari kejadian.
2. Evakuasi Medis (Medevac). Evakuasi korban antara dua fasilitas medis, baik di dalam
daerah Misi (in - teater) atau ke luar daerah Misi (out-of-theatre). Korban dapat baik
kembali ke tugas (Return to duty / RTD) dalam batasan waktu yang telah ditetapkan,
atau direpatriasi / dipulangkan.
3. Repatriasi Medis. Pengembalian seorang pasien atau korban ke negara asalnya karena
alasan medis.
b. Planning Determinants
Faktor faktor yang menentukan perencanaan.
1. Mission Holding Policy. Seperti yang di atas, Mission Holding Policy harus
ditetapkan sejak awal suatu operasi, dimana ditentukan waktu maksimum (dalam hari)
seorang pasien dapat dirawat pada setiap tingkat perawatan medik. Ini pada gilirannya
akan menentukan kemampuan penanganan dan kapasitas yang diperlukan pada setiap
level serta perlengkapan evakuasi pendukung yang diperlukan.
2. Fitness for Evacuation. Kondisi klinis pasien adalah ukuran utama dalam menentukan
waktu dan cara evakuasi antar level perawatan.
3. Evacuation Time to Medical Facillity. Evakuasi harus dilakukan dalam satu waktu
yang tepat, yang memungkinkan tindakan life or limb-saving secepat mungkin.
Direkomendasikan bahwa evakuasi korban ke fasilitas level 2 atau 3 harus tidak lebih
dari 4 jam dari waktu kejadian.
4. Evakuasi udara. Meskipun tidak selalu mungkin, idealnya evakuasi medis dilakukan
dengan helikopter khusus, tindakan awal oleh Forward Medical Team yang
dilengkapi dengan peralatan dan suplai life-support. Jika tidak ada level 2 dan atau 3
di dalam daerah Misi, maka helikopter atau pesawat terbang sayap tetap harus
disediakan untuk Medevac ke berbagai fasilitas medis.
c. Evakuasi Medis (Medevac)
Medevac akan dilaksanakan jika fasilitas medis setempat tidak mampu memberikan terapi
yang diperlukan. Kebijakan dan tata cara Medevac adalah sebagai berikut:
1. Staf Internasional, Personil Militer dan sipil dapat dievakuasi dengan biaya dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan perawatan dan tindakan lebih lanjut.
Staf lokal, keluarga dan anak-anak mereka dapat dievakuasi dalam situasi darurat atau
jika kondisi mengancam nyawa.
2. Dalam situasi darurat, Chief of the Misin atau Force Commander dapat secara
langsung menyetujui evakuasi medis, setelah konsultasi dengan FMedO dan Chief
Administration Officer (CAO). Tidak diperlukan persetujuan lebih dulu dari Markas
Besar PBB di dalam daerah Misi .
3. Evakuasi dapat melalui darat maupun udara dan menuju ke fasilitas medis terdekat
dengan selalu memperhatikan kondisi penyakit atau luka-luka dan jenis terapi yang
diperlukan .Kendaraan untuk transportasi harus diberi tanda dengan jelas yaitu Palang
Merah atau Bulan Sabit Merah.
4. Pengobatan sebelum dan selama evakuasi penting untuk didokumentasikan dengan
baik dan disertakan bersama pasien ke fasilitas medis selanjutnya. Sebaiknya pasien
didampingi oleh dokter atau perawat yang merawat pasien tersebut.
5. Untuk persalinan, macam-macam penyakit psikiatris yang memerlukan penyembuhan
lebih lama, sebaiknya dievakuasi ke tempat untuk cuti atau repatriasi kepada negara
asal.
6. Jika suatu negara lebih menyukai evakuasi personilnya sendiri yang bertentangan
dengan pendapat petugas medis yang berwenang atau FMedO, maka evakuasi ini
menjadi tanggung jawab negara dan biaya dari negara yang bersangkutan.
7. Pada kasus bukan gawat darurat, harus ada persetujuan Markas Besar PBB terlebih
dahulu sebelum dilakukan Medevac. Pada kasus gawat darurat, hal ini tidak
diperlukan, walaupun demikian Markas PBB diberitahukan segera setelah Medevac
8. Setelah mempunyai sertifikat kesehatan dari dokter pemeriksa, salinan sertifikat
kesehatan harus disampaikan kepada direktur, MSD, yang selanjutnya akan
menyetujui atau menolak kembali ke tempat tugas. Pada kasus penyakit atau luka-
luka serius, pasien tidak kembali ke tempat tugas dengan biaya PBB. Hal ini tidak
berlaku pada kasus bukan gawat darurat.
d. Repatriasi Medis
Repatriasi Medis apakah evakuasi pasien atau korban kembali ke negara asal atau Negara
orang tuanya. Kebijakan dan tata cara mengenai repatriasi adalah sebagai berikut:
1. Repatriasi dengan alasan medis berlaku bagi semua personil yang tidak mampu lagi
kembali bertugas di darah misi, atau yang memerlukan penanganan yang tidak
tersedia di dalam daerah Misi. Secara umum, 30 hari adalah waktu yang ditetapkan
dalam Holding Policy.
2. Repatriasi Medis adalah tanggung jawab FMedO, dengan berkoordinasi dengan
Komandan Kontingen nasional serta Chief Administration Officer (CAO). Pada
pasien yang direpatriasi maka perawatan medik lebih lanjut adalah satu tanggung
jawab Negara yang bersangkutan.
3. Personil Militer yang datang ke daerah Misi dalam kondisi tidak layak untuk bertugas
akan dipulangkan segera dengan biaya dari Negara pengirim pasukan. Jika repatriasi
diperlukan pada kondisi medis kronis yang didiagnosa atau sedang dalam terapi pada
saat menjalankan tugas dalam misi, maka biaya repatriasi sudah disiapkan untuk
Negara pengirim pasien.
4. Wanita hamil direpatriasi pada akhir bulan kelima kehamilan.
5. Semua personil dengan gejala klinis atau tanda tanda AIDS harus segera
direpatriasi.
6. Otorisasi repatriasi harus diperoleh dari direktur, Medical Services Division / Divisi
Layanan Medis. Rekomendasi tertulis harus disampaikan oleh FMedO atau dokter
yang berwenang, tanpa menghiraukan apakah biaya harus ditanggung oleh PBB,
pemerintah atau pribadi yang bersangkutan. Jika sudah disetujui, maka CAO akan
memproses untuk menyusun repatriasi oleh Misi atau kontingen dengan biaya yang
paling ekonomis.
7. Jika mungkin, rotasi reguler atau penerbangan rutin dapat digunakan untuk repatriasi.
Pembayaran uang saku perjalanan dan biaya terminal dapat disetujui jika kasusnya
menjadi tanggungan PBB, dan uang saku bagasi adalah sesuai dengan rotasi personil.
Jika memerlukan pendamping, maka ini dibatasi tanpa uang saku.
8. Untuk kasus yang memerlukan repatriasi medis segera, pesawat terbang militer atau
sipil dapat disewa. PBB sejak 1989 bekerja sama dengan pemerintah Swiss dalam
layanan ambulance udara untuk operasi operasi pemeliharaan perdamaian. Layanan
ini disediakan oleh La Garde Aerienne Suisse de Sauvetage (REGA). REGA juga
menyediakan personnel dan perlengkapan medis selama evakuasi.
9. Manajemen korban massal dan bencana








BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Di Rumah Sakit banyak terjadi pemandangan yang sering kita lihat
seperti pengangkatan pasien yang darurat atau kiritis, karena itu
pengangkatan penderita membutuhkan cara-cara tersendiri. Setiap hari
banyak penderita diangkat dan dipindahkan dan banyak pula petugas
paramedik/penolong yang cedera karena salah mengangkat.
Keadaan dan cuaca yang menyertai penderita beraneka ragam dan
tidak ada satu rumus pasti bagaimana mengangkat dan memindahkan
penderita saat mengangkat dan memindahkan penderita.
Tranportasi bukanlah sekedar mengantar pasien ke rumah sakit.
Serangkaian tugas harus dilakukan sejak pasien dimasukkan ke dalam
ambulans hingga diambil alih oleh pihak rumah sakit.
Pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit, pasti akan
mengalamai proses pemindahan dari ruang perawatan ke ruang lain
seperti untuk keperluan medical check up, ruang operasi, dll. Hal ini akan
mengakibatkan resiko low back point baik bagi pasien maupun bagi
perawat. Bila pasien akan melakukan operasi biasanya akan dipindahkan
ke ruang transit sebelum masuk ke ruang operasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian transportasi pada pasien ?
2. Bagaimana teknik pemindahan pada pasien ?
3. Bagaimana Jenis-jenis transportasi pasien ?
4. Apa yang dimaksud dengan transportasi pasien rujukan ?
1.3 TUJUAN
1. Mendeskripsikan pengertian transportasi pada pasien
2. Mendeskripsikan teknik pemindahan pada pasien
3. Mendeskripsikan Jenis-jenis transportasi pasien
4. Mendeskripsikan transportasi pasien rujukan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Transportasi Pasien
Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk mengangkut
penderita/korban dari lokasi bencana ke sarana kesehatan yang memadai
dengan aman tanpa memperberat keadaan penderita ke sarana kesehatan yang
memadai.
Seperti contohnya alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan
korban dari lokasi bencana ke RS atau dari RS yang satu ke RS yang lainnya.
Pada setiap alat transportasi minimal terdiri dari 2 orang para medik dan 1
pengemudi (bila memungkinkan ada 1 orang dokter). Prosedur untuk transport
pasien antaralain yaitu :
Prosedur Transport Pasien :
1. Lakukan pemeriksaan menyeluruh.
Pastikan bahwa pasien yang sadar bisa bernafas tanpa kesulitan setelah
diletakan di atas usungan. Jika pasien tidak sadar dan menggunakan alat
bantu jalan nafas (airway).
2. Amankan posisi tandu di dalam ambulans.
Pastikan selalu bahwa pasien dalam posisI aman selama perjalanan ke
rumah sakit.
3. Posisikan dan amankan pasien.
Selama pemindahan ke ambulans, pasien harus diamankan dengan kuat
ke usungan.
4. Pastikan pasien terikat dengan baik dengan tandu. Tali ikat keamanan
digunakan ketika pasien siap untuk dipindahkan ke ambulans, sesuaikan
kekencangan tali pengikat sehingga dapat menahan pasien dengan aman.
5. Persiapkan jika timbul komplikasi pernafasan dan jantung.
Jika kondisi pasien cenderung berkembang ke arah henti jantung,
letakkan spinal board pendek atau papan RJP di bawah matras sebelum
ambulans dijalankan.
6. Melonggarkan pakaian yang ketat.
7. Periksa perbannya.
8. Periksa bidainya.
9. Naikkan keluarga atau teman dekat yang harus menemani pasien
10. Naikkan barang-barang pribadi.
11. Tenangkan pasien.

2.2 Teknik Pemindahan Pada Pasien
Teknik pemindahan pada klien termasuk dalam transport pasien,
seperti pemindahan pasien dari satu tempat ke tempat lain, baik
menggunakan alat transport seperti ambulance, dan branker yang
berguna sebagai pengangkut pasien gawat darurat.
1. Pemindahan klien dari tempat tidur ke brankar
Memindahkan klien dri tempat tidur ke brankar oleh perawat
membutuhkan bantuan klien. Pada pemindahan klien ke brankar
menggunakan penarik atau kain yang ditarik untuk memindahkan klien
dari tempat tidur ke branker. Brankar dan tempat tidur ditempatkan
berdampingan sehingga klien dapat dipindahkan dengan cepat dan
mudah dengan menggunakan kain pengangkat. Pemindahan pada klien
membutuhkan tiga orang pengangkat
2. Pemindahan klien dari tempat tidur ke kursi
Perawat menjelaskan prosedur terlebih dahulu pada klien sebelum
pemindahan. Kursi ditempatkan dekat dengan tempat tidur dengan
punggung kursi sejajar dengan bagian kepala tempat tidur. Emindahan
yang aman adalah prioritas pertama, ketika memindahkan klien dari
tempat tidur ke kursi roda perawat harus menggunakan mekanika tubuh
yang tepat.
3. Pemindahan pasien ke posisi lateral atau prone di tempat tidur
a. Pindahkan pasien dari ke posisi yang berlawanan
b. Letakan tangan pasien yang dekat dengan perawat ke dada dan tangan
yang jauh ari perawat, sedikit kedapan badan pasien
c. Letakan kaki pasien yang terjauh dengan perawat menyilang di atas kaki
yang terdekat
d. Tempatkan diri perawat sedekat mungkin dengan pasien
e. Tempatkan tangan perawat di bokong dan bantu pasien
f. Tarik badan pasien
g. Beri bantal pada tempat yang diperlukan.
2.3 Jenis-Jenis dari Transportasi Pasien
Transportasi pasien pada umumnya terbagi atas dua : Transportasi gawat
darurat dan kritis .


a. Transportasi Gawat Darurat :
Setelah penderita diletakan diatas tandu (atau Long Spine Board bila
diduga patah tulang belakang) penderita dapat diangkut ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan dilakukan Survey Primer, Resusitasi jika perlu.
Mekanikan saat mengangkat tubuh gawat darurat
Tulang yang paling kuat ditubuh manusia adalah tulang panjang dan
yang paling kuat diantaranya adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang
beraksi pada tutlang tersebut juga paling kuat.
Dengan demikian maka pengangkatan harus dilakukan dengan tenaga
terutama pada paha dan bukan dengan membungkuk angkatlah dengan
paha, bukan dengan punggung.
Panduan dalam mengangkat penderita gawat darurat
1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita. Nilai beban yang akan
2. diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu jangan dipaksakan
3. Ke-dua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sedikit
sebelahnya
4. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat
5. Tangan yang memegang menghadap kedepan
6. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa
jarak maksimal tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
7. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
8. Panduan diatas berlaku juga saat menarik atau mendorong penderita
b. Transportasi Pasien Kritis :
Definisi: pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada
satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan
monitoring dan terapi.
Transport intra hospital pasien kritis harus mengikuti beberapa
aturan, yaitu:

1. Koordinasi sebelum transport
Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah siap
untuk menerima pasien tersebut serta membuat rencana terapi
Dokter yang bertugas harus menemani pasien dan komunikasi
antar dokter dan perawat juga harus terjalin mengenai situasi
medis pasien
Tuliskan dalam rekam medis kejadian yang berlangsung selama
transport dan evaluasi kondisi pasien

2. Profesional beserta dengan pasien: 2 profesional (dokter atau perawat)
harus menemani pasien dalam kondisi serius.
Salah satu profesional adalah perawat yang bertugas, dengan
pengalaman CPRatau khusus terlatih pada transport pasien kondisi
kritis
Profesioanl kedua dapat dokter atau perawat. Seorang dokter harus
menemanipasien dengan instabilitas fisiologik dan pasien yang
membutuhkan urgent action

3. Peralatan untuk menunjang pasien
Transport monitor
Blood presure reader
Sumber oksigen dengan kapasitas prediksi transport, dengan
tambahan cadangan30 menit
Ventilator portable, dengan kemampuan untuk menentukan
volume/menit, pressure FiO2 of 100% and PEEP with disconnection
alarm and high airway pressure alarm.
Mesin suction dengan kateter suction
Obat untuk resusitasi: adrenalin, lignocaine, atropine dan sodium
bicarbonat
Cairan intravena dan infus obat dengan syringe atau pompa infus
dengan baterai
Pengobatan tambahan sesuai dengan resep obat pasien tersebut
4. Monitoring selama transport.
Tingkat monitoring dibagi sebagai berikut: Level 1=wajib,level
2=Rekomendasi kuat, level 3=ideal
Monitoring kontinu: EKG, pulse oximetry (level 1)
Monitoring intermiten: Tekanan darah, nadi , respiratory rate (level
1 pada pasien pediatri, Level 2 pada pasien lain).

2.4 Transport Pasien Rujukan
Rujukan adalah penyerahan tanggung jawab dari satu pelayanan
kesehatan ken pelayanan kesehatan lainnya.
System rujukan upaya kesehatan adalah suatu system jaringan
fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadnya
penyerangan tanggung jawab secara timbale-balik atas masalah yang
timbul, baik secara vertical maupun horizontal ke fasilitas pelayanan yang
lebih kompeten, terjangkau, rasional, da tidak dibatasi oleh wilayah
administrasi.
Tujuan Rujukan
Tujuan system rujukan adalah agar pasien mendapatkan
pertolongan pada fasilitas pelayanan keseshatan yang lebih mampu
sehinngga jiwanya dapat terselamtkan, dengan demikian dapat
meningkatkan AKI dan AKB
Cara Merujuk
Langkah-langkah rujukan adalah :
1. Menentukan kegawat daruratan penderita
a) Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih ditemukan penderita
yang tidak dapat ditangani sendiri oleh keluarga atau kader/dukun bayi,
maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat,oleh
karena itu mereka belum tentu dapat menerapkan ke tingkat
kegawatdaruratan.
b) Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembatu dan puskesmas.
Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang
ditemui, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, mereka harus
menentukan kasus manayang boleh ditangani sendiri dan kasus mana
yang harus dirujuk.
2. Menentukan tempat rujukan
Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan
yang mempunyai kewenangan dan terdekat termasuk fasilitas pelayanan
swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita.
3. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
4. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju
a. Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk.
b. Meminta petunjuk apa yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan
dan selama dalam
perjalanan ke tempat rujukan.
c. Meminta petunjuk dan cara penangan untuk menolong penderita bila
penderita tidak mungkin dikirim.
5. Persiapan penderita (BAKSOKUDA)
6. Pengiriman Penderita
7. Tindak lanjut penderita :
a) Untuk penderita yang telah dikembalikan
b) Harus kunjungan rumah, penderita yang memerlukan tindakan
lanjut tapi tidak melapor
Jalur Rujukan
Alur rujukan kasus kegawat daruratan :
1. Dari Kader
Dapat langsung merujuk ke :
a. Puskesmas pembantu
b. Pondok bersalin atau bidan di desa
c. Puskesmas rawat inap
d. Rumah sakit swasta / RS pemerintah
2. Dari Posyandu
Dapat langsung merujuk ke :
a) Puskesmas pembantu
b) Pondok bersalin atau bidan di desa













BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk mengangkut
penderita/korban dari lokasi bencana ke sarana kesehatan yang memadai
dengan aman tanpa memperberat keadaan penderita ke sarana
kesehatan yang memadai.
Transportasi pasien dapat dibedakan menjadi dua, transport pasien
untuk gawat darurat dan kritis.
3.2 Saran
Transport pasien sangat penting bagi prioritas keselamatan pasien
menuju rumah sakit atau sarana yang lebih memadai. Oleh karena itu
transport pasien berperan penting dalam mengutamakan keselamatan
pasien.

REFERENSI
Perry & Potter . 2006 . Fundamental Keperawatan Volume II .
Indonesia : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Suparmi Yulia, dkk . 2008 . Panduan Praktik Keperawatan .
Indonesia : PT Citra Aji Parama
Perry, Petterson, Potter . 2005 . Keterampilan Prosedur Dasar .
Indonesia : Penerbit Buku Kedokteran EGC
John A. Boswick, Ir., MD . Perawatan Gawat Darurat . Indonesia :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
PEMINDAHAN DAN PENGANGKUTAN PASIEN

Oleh: Triyo Rachmadi,S.Kep.

A. Pendahuluan
Manusia bukan kambing, karena itu pengangkatan penderita membutuhkan cara-
cara tersendiri. Setiap penderita diangkat dan dipindahkan, dan banyak pula petugas
kesehatan yang melakukan pemindahan penderita menderita cedera karena salah
mengangkat, mungkin karena tidak tahu, tetapi mungkin pula karena sikap acuh.
Keadaan cuaca yang menyertai penderita beraneka ragam, dan tidak ada satu rumus pasti
bagaimana mengangkat dan memmindahkan penderita. Tulisan ini bertujuan
memberikan garis-garis besar yang harus diperhatikan pada saat mengangkat dan
memindahkan penderita.
B. Mekanika tubuh pada saat pengangkatan
Tulang yang paling kuat ditubuh manusia adalah tulang panjang, dan yang paling
kuat diantaranya adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang yang beraksi pada tulang
tulang tersebut juga paling kuat.
Dengan demikian maka pengangkatan harus dilakukan dengan tenaga terutama pada
paha, dan bukan dengan membungkuk.
Angkatlah dengan paha, bukan dengan punggung
Diantara kelompok otot, maka kelompok fleksor lebih kuat dibandingkan kelompok
ekstensor. Dengan demikian pada saat mengangkat tandu, tangan harus menghadap ke
depan, dan bukan kebelakang. Semakin dekat akan kesumbu tubuh, semakin ringan
pengangkatan. Dengan demikian maka usahakan agar tubuh sedekat mungkin kebeban
(tandu dan sebagainya) yang akan diangkat. Kaki menjadi tumpuan utama saat
mengangkat. Jarak antara kedua kaki yang paling baik saat mengangkat adalah berjarak
sebahu kita. Kenali kemampuan diri sendiri bila merasa tidak mampu, mintalah
pertolongan petugas lain, dan jangan memaksakan mengangkat karena akan
membahayakan penderita, pasangan dan kita sendiri.
C. Panduan Dalam Pengangkatan Penderita
1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita. Nilailah beban yang akan
diangkat secara bersama, dan bila merasa tidak mampu, jangan paksakan, selalu
komunikasi secara teratur dengan pasangan kita
2. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sebelahnya
3. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat, punggung harus selalu dijaga
lurus
4. Tangan yang memegang menghadap kedepan. Jarak antara kedua tangan yang
memegang (misalnya tandu) minimal 30 cm
5. Tubuh sedekat mungkin kebeban yang harus diangkat. Bila terpaksa, jarak maksimal
tangan kita ketubuh kita adalah 50 cm
6. Tangan memutar tubuh saaat mengangkat
7. Panduan diatas juga berlaku saat menarik atau mendorong penderita
E. Panduan Untuk Memindahkan Penderita
Pemindahan penderita dapat secara :
a. Emergensi
b. Non emergensi
Pemindahan penderita dalam keadaan emergensi contohnya adalah :
1. Ada api, atau bahaya api atau ledakan
2. Ketidak mampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain pada TKP (benda jatuh dan
sebagainya)
3. Usaha mencapai penderita lain yang urgen
4. Ingin RJP penderita, yang tidak mungkin dilakukan ditempat tersebut
Apapun cara pemindahan penderita, selalu ingat kemungkinan pada patah tulang
leher (vertikal) bila penderita trauma.
1. Pemindahan emergensi
a. Tarikan baju
Kedua tangan penderita harus diikat untuk mencegah naik kearah kepala waktu
baju ditarik. Bila tidak sempat, masukkan kedua tangan dalam celananya sendiri.
b. Tarikan selimut
Penderita ditaruh dalam selimut, yang kemudian ditarik
c. Tarikan lengan
Dari belakang penderita, kedua lengan paramedik masuk dibawah ketiak
penderita, memegang
d. Ekstrikasi cepat
Dilakukan pada penderita dalam kendaraan yang harus dikeluarkan secara cepat.
2. Pemindahan Non-emergensi
Dalam keadaan ini dapat dilakukan urutan pekerjaan normal, seperti kontrol TKP,
survai lingkungan, stabilisasi kendaraan dan sebagainya.
a. Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
Oleh 2 atau 3 petugas, harus diingat bahwa cara ini tidak boleh dilakukan bila ada
kemungkinan fraktur servikal. Prinsip pengangkatan tetap harus diindahkan.
b. Pemindahan dan pengangkatan memakai seperei
Sering dilakukan dirumah sakit. Juga tidak boleh dilakukan bila ada dugaan
fraktur vertikal.
F. Perlengkapan Untuk Pemindahan Penderitan
1. Brankar (Wheeled Stretcher)
Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Penderita selalu diselimuti
b. Kepada penderita/keluarga selalu diterangkan tujuan perjalanan
c. Penderita sedapat mungkin selalu dilakukan strapping (fiksasi) sebelum
pemindahan
d. Brankar berjalan dengan kaki penderita didepan kepala, kepala dibelakang, supaya
penderita dapat melihat arah perjalanan brankar. Posisi ini dibalik bila akan naik
tangga (jarang terjadi).
Sewaktu dalam ambulan menjadi terbalik, kepala didepan (dekat pengemudi)
supaya paramedik dapat bekerja (bila perlu intubasi dan sebagainya)
Pada wanita inpartu, posisi dalam ambulan boleh dibalik, supaya paramedik dapat
membentu partus.
e. Jangan sekali-kali meninggalkan penderita sendirian diatas brankar. Penderita
mungkin berusaha membalik, yang berakibat terbaliknya brankar
f. Selalu berjalan berhati-hati
2. Tandu sekop (scoop stretcher, orthopaedic strether)
Alat yang sangat bermanfaat untuk pemindahan penderita. bila ada dugaan fraktur
vertikal, maka alat yang dipilih adalah LSB (long spine board). Harus diingat bahwa
tandu sekop bukan alat transportasi dan hanya alat pemindah. Waktu proses
pengangkatan, sebaiknya 4 petugas, masing-masing satu pada sisi tandu sekop,
karena kemungkinan akan melengkung (alat ini mahal harganya, karena terbuat dari
logam khusus).
3. Long spine board
Sebenarnya bukan alat pemindahan, tetapi alat fiksasi. Sekali penderita di fiksasi atas
LSB ini. Tidaka akan diturunkan lagi, sampai terbukti tidak ada fraktur vertikal,
karena itu harus terbuat dari bahan yang tidak akan mengganggu pemeriksaan ronsen.
Pemindahan penderita ke atas LSB memerlukan tehnik khusus yaitu memakai log
roll setelah penderita diatas LSB selalu dilakukan Strapping, lalu LSB diletakkan
diatas stretcher.
4. Short spine board dan KED (Kendrick extrication device)
Lebih merupakan alat ekstrikasi. Setelah selesai ekstriksi, tetap penderita harus
diletakkan pada alat pemindah yang lain.



















AMBULANCE


Emergency Ambulance (Ambulans Gawat Darurat) adalah unit transportasi medis
yang didesain khusus yang berbeda dengan moda transportasi lainnya. Ambulans gawat
darurat didesain agar dapat menangani pasien gawat darurat, memberikan pertolongan
pertama dan melakukan perawatan intensif selama dalam perjalanan menuju rumah sakit
rujukan. Ambulans gawat darurat juga harus memenuhi aspek hygiene dan
ergonomic.Selain itu ambulans gawat darurat juga harus dilengkapi dengan peralatan yang
lengkap dan dioperasikan oleh petugas yang professional di bidang pelayanan gawat
darurat.

Kebutuhan akan ambulans gawat darurat menjadi sangat penting sebagai pilar
utama dalam rantai pelayanan kesehatan dan emergency respons plan baik di rumah sakit
maupun public service/.perusahaan. Ambulans gawat darurat merupakan sarana pelayanan
medis darurat diluar rumah sakit (pra hospital) dengan kata lain sarana kesehatan (gawat
darurat) menghampiri pasien/korban bukan pasien / korban yang menghampiri sarana
kesehatanan. Dengan demikian respons time pertolongan darurat dapat terlaksana secara
cepat dan tepat, dan terhindar dari keterlambatan.

Pada kejadian kecelakaan transportasi, industri,
rumah tangga, Serangan jantung, dan kegawat daruratan medis lain memerlukan pelayanan
Ambulans Gawat Darurat yang memiliki peralatan memadai, petugas yang professional dan
kecepatan dalam merespons setiap keadaan darurat. Selain itu Evakuasi pasien kritis antar
rumah sakit baik didalam maupun antar kota juga tidak lepas dari kebutuhan akan
pelayanan Ambulans Gawat Darurat.

Dalam rangka mengembangkan pelayanan pra rumah sakit tersebut Pro Emergency
menyelenggarakan pelayanan Ambulans Gawat Darurat yang dilengkapi peralatan gawat
darurat (Emergency kit) yang lengkap dan dioperasikan oleh petugas yang terlatih.

Tujuan
1. Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan gawat darurat kepada pasien/ korban atau
kegiatan yang beresiko timbulnya kecelakaan/gawat darurat medik.
2. Mengurangi angka kematian dan kecacatan penderita dengan kasus gawat darurat medik /
trauma.
3. Meningkatkan bentuk pelayanan Ambulans Gawat Darurat yang profesional.


Bentuk Pelayanan
Pelayanan ambulans meliputi :
1. Evakuasi medis di dalam dan luar kota
2. Evakuasi medis luar negeri
3. Evakuasi medis darat dan udara
4. Menyelenggarakan pelayanan stand by di perusahaan ataupun acara acara / event
organizer, seperti :
- stand by perusahaaan minyak / pegeboran
- stand by klinik perusahaan
- stand by acara pernikahan
- stand by acara konser musik
- stand by acara olahraga
- stand by acara family gathering
- dan lain - lain

II. Sumber Daya Manusia
Dokter / Perawat yang berpengalaman dengan kompetensi penanganan kasus kegawatdaruratan yang
memiliki sertifikat BLS, BTLS, BCLS, ATLS, ACLS


III. Daftar Peralatan Ambulans ( Emergency Kit )
I. Di DALAM BOX EMERGENCY
A. Airway
- Laringoscope
- Oropharyngeal airway
- Nasopharyngeal airway
- Endo Tracheal Tube
- Mouth Gage
- Magil Forcep
- Tounge spatle
- Suction Canule
- Xylocain jelly

B. Breathing

- Aminophiline
- Cylocard 100 mg
- Neurobion 5000
- Lidocain 2 %
- Diazepam
- Valium 10 mg
- Nitrogliserin sublingual

E. Lain lain
- Gunting perban
- Pincet anatomis
- Bag valve mask
- Nasal Canule
- Simple mask
- Rebreathing mask
- Non Rebreathing mask
- Conector Canule ( kanul bagging )
- Pocket mask

C. Circulation
- Infus set
- IV catheter
- Cairan infus
- Spuit
- Tensimeter
- Stetoscope
- Poley catheter
- Urine bag
- Karet stuing
- Kasa steril
- Perban gulung 5,10 cm
- Balut cepat
- Mitela
- Elastik perban
- Aluminium foil

D. Emergency Drugs & Disinfectant
- Adrenalin / Epineprin
- Sulfas atropin 0.25 mg
- Kalmethason
- Buscopan
- Dextrose 40 %
- Lasik

- pincet cirurgis
- Artery clem
- Plester
- Penlight
- Elektroda EKG
- Thermometer
- Gastric tube
- Neck Collar

II. DI LUAR BOX EMERGENCY

- Tabung oksigen 1 m3
- Tabung oksigen m3 ( portable )
- Regulator / Flowmeter oksigen
- Safety belt
- Spalk / bidai
- Scoope strecher
- Long spine board
- Urinal / pispot
- Neirbeken
- Head immobilizer
- Kendrick extrication device
- Electric Suction
- Manual Suction
- Handscoen
- Masker
- Alat tenun

III. Optional
- Pulse oksimeter
- Defibrilator
- AED
- Ventilator fortable
- Tensimeter digital








Search..

All News
Suggest URL
Submit News
RSS Posts
Contact Us
Advertise
AMBULANCE 118
Do you want to share?

Do you like this story?
YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
Di Indonesia, banyak penderita cedera, keracunan, serangan
jantung atau kegawat-daruratan yang lain yang meninggal di rumah atau dalam perjalanan ke rumah
sakit karena penatalaksanaan yang tidak memadai. Padahal angka kematian di rumah atau dalam
perjalanan ke rumah sakit dapat dikurangi jika ada pelayanan gawat darurat yang dapat segera
menghampiri penderita, dan dalam perjalanan penderita kemudian didampingi oleh paramedik dan
ambulans yang memadai. Oleh karena itu masyarakat perlu mengerti fungsi ambulans dan mudah
mendapatkan ambulans.
Harus segera dimaklumi, bahwa pada hakekatnya pelayanan gawat darurat yang seharusnya pergi ke
penderita, dan bukan penderita yang dibawa ke pelayanan gawat darurat. Ini mengandung
konsekuensi, bahwa ambulans yang datang ke penderita, dan kemudian membawanya ke rumah
sakit, haruslah merupakan suatu Unit Gawat Darurat berjalan, sebaiknya dengan perlengkapan
gawat darurat yang lengkap, dan petugas medik yang ber-keterampilan dalam penanganan gawat
darurat.
Transportasi penderita gawat darurat dari tempat kejadian ke rumah sakit sampai sekarang masih
dilakukan dengan bermacam-macam kendaraan, hanya sebagian kecil saja dilakukan dengan
ambulan. Dan ambulannya bukan ambulan yang memenuhi syarat tetapi ambulan biasa. Bila ada
bencana dengan sendirinya para korban akan diangkut dengan segala macam kendaraan tanpa
koordinasi yang baik. Dalam keadaan bencana ambulan-ambulan 118 dapat segera tiba di tempat
dan berfungsi sebagai rs lapangan.

Syarat penderita
Seorang penderita gawat darurat dapat ditransportasikan bila penderita tersebut siap (memenuhi
syarat) untuk ditransportasikan, yaitu:
Gangguan pernafasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi resusitasi : bila diperlukan,
perdarahan dihentikan, luka ditutup, patah tulang di fiksasi dan selama transportasi (perjalanan)
harus di monitor :
a. Kesadaran
b. Pernafasan
c. Tekanan darah dan denyut nadi
d. Daerah perlukaan
3. Prinsip transportasi Pre Hospital
Untuk mengangkat penderita gawat darurat dengan cepat & aman ke rs / sarana kesehatan yang
memadai, tercepat & terdekat.
a. Panduan mengangkat penderita
Kenali kemampuan diri dan kemampuan team work
Nilai beban yang diangkat,jika tidak mampu jangan dipaksa
Selalu komunikasi, depan komando
Ke-dua kaki berjarak sebahu, satu kaki sedikit kedepan
Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
Tangan yang memegang menghadap ke depan (jarak +30 cm)
Tubuh sedekat mungkin ke beban (+ 50 cm)
Jangan memutar tubuh saat mengangkat
Panduan tersebut juga berlaku saat menarik/mendorong

b. Pemindahan emergency :
Tarikan baju
Tarikan selimut
Tarikan lengan
Ekstrikasi cepat (perhatikan kemungkinan terdapat fraktur servical)
4. Panduan memindahkan penderita (secara emergency, non emergency)
a. Contoh pemindahan emergency adalah :
Ada api, bahaya api atau ledakan
Ketidakmampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain
Usaha mencapai penderita lain yang lebih urgen
Rjp penderita tidak mungkin dilakukan di tkp tersebut
Catatan : apapun cara pemindahan penderita selalu ingat kemnungkinan patah tulang leher
(servical) jika penderita trauma
b. Pemindahan non emergency :
Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
Pengangkatan dan pemindahan memakai sperei
(tidak boleh dilakukan jika terdapat dugaan fraktur servical)
c. Mengangkat dan mengangkut korban dengan satu atau dua penolong :
Penderita sadar dengan cara :
human crutch satu / dua penolong, yaitu dengan cara dipapah dengan dirangkul dari samping
Penderita sadar tidak mampu berjalan
Untuk satu penolong dengan cara :
piggy back yaitu di gendong, dan cradel yaitu di bopong, serta drag yaitu diseret
Untuk dua penolong dengan cara :
two hended seat yaitu ditandu dengan kedua lengan penolong, atau fore and aft carry yaitu
berjongkok di belakang penderita.
Penderita tidak sadar
Untuk satu penolong dengan cara:
cradel atau drag
Untuk dua penolong dengan cara :
fore and aft carry
5. Syarat alat transportasi
Syarat alat transportasi yang dimaksud disini adalah :
a. Jenis ambulans di dinas ambulans gawat darurat 118
AGD 118 Basic
Mampu menanggulangi gangguan A (airway), B (breathing), C (circulation) dalam batas-batas
Bantuan Hidup Dasar. Juga dilengkapi dengan alat-alat ekstrikasi, fiksasi, stabilisasi dan transportasi
AGD 118 Paramedik
Dilengkapi dengan semua alat/obat untuk semua jenis kegawat-daruratan medik dan petugasnya
harus ada Paramedik III.
AGD 118 Sepeda Motor
Tentu saja motor ini bukan alat evakuasi, namun lebih bersifat membawa UGD ke penderita.
Peralatannya seperti AGD 118 Paramedik dan awaknya harus Paramedik III

b. AGD 118 harus mampu:
Idealnya sampai di tempat pasien dalam waktu 6-8 menit agar dapat mencegah kematian karena
sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti jantung atau perdarahan masif (to save life and limb)
Berkomunikasi dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulans lainnya
Melakukan pertolongan pada persalinan
Melakukan transportasi pasien dari tempat kejadian ke RS atau dari RS ke Rs
Menjadi rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana.
c. Alat-alat medis
Alat alat medis yang diperlukan adalah : resusitasi : manual, otomatik, laringgoskop, pipa endo /
nasotracheal, o2, alat hisap, obat-obat, infus, untuk resusitasi-stabilisasi : balut, bidai, tandu (vakum
matras), ecg transmitter , incubator, untuk bayi, alat-alat untuk persalinan
Alat-alat medis ini dapat disederhanakan sesuai dengan kondisi local. Tiap ambulan 118 dapat
berfungsi untuk penderita gawat darurat sehari-hari maupun sebagai rs lapangan dalam keadaan
bencana, karena diperlengkapi dengan tenda sehingga dapat menampung 8 10 penderita , alat
hisap : 1 manual- 1 otomatik dengan o2- 1 dengan mesin, botol infus sehingga kalau ada 10
ambulan 118, 200 penderita dapat segera dipasang infus. Dan 2 x 10 20 tenaga perawat ccn
d. Personal
Ketenagaan pada ambulans sebaiknya jangan awam murni karena dapat mengakibatkan cedera
lebih lanjut. Dalam satu ambulans sebaiknya ada 2 petugas yang berakreditasi:
First Responder/Penanggap Pertama
Orang awam yang telah mendapatkan pelatihan gawat darurat lengkap (bukan P3K)
Paramedik dasar (paramedik I).
Tenaga perawat yang sudah mendapatkan pelatihan gawat darurat dasar. Perawat biasa
pengetahuannya tidak cukup untuk dapat membantu penderita gawat darurat.
Paramedik lanjutan (paramedik II dan III)
Paramedik dasar yang telah mendapat pengetahuan dan keterampilan gawat darurat lanjutan.
Pengetahuan medis paramedik III seharusnya sama dengan pengetahuan seorang dokter emergensi,
dengan tingkat kompetensi yang sedikit lebih rendah. Sebagai contoh adalah krikotirotomi jarum
yang masih dapat dilakukan paramedik III, namun krikotirotomi surgikal hanya dapat dilakukan
seorang dokter.
e. Lingkaran tugas paramedik
Pada dasarnya tugas di ambulans adalah lingkaran tugas yang terdiri atas persiapan respons -
kontrol TKP - akses - penilaian awal keadaan penderita dan resusitasi ekstrikasi evakuasi
transportasi ke rumah sakit yang sesuai, lalu kembali ke persiapan.
Persiapan
Fase persiapan dimulai saat mulai bertugas atau kembali ke markas setelah menolong penderita
Respons
Pengemudi harus dapat mengemudi dalam berbagai cuaca. Cara mengemudi harus dengan cara
defensif (defensive driving). Rotator selalu dinyalakan, sirene hanya dalam keadaan terpaksa.
Mengemudi tanpa mengikuti protokol, akan mengakibatkan cedera lebih lanjut, baik pada diri
sendiri, lingkungan maupun penderita.
Kontrol TKP
Diperlukan pengetahuan mengenai daerah bahaya, harus diketahui cara parkir, serta kontrol
lingkungan.
Akses ke penderita
Masuk ke dalam rumah atau ke dalam mobil yang hancur, tetap harus memakai prosedur yang baku.
Penilaian keadaan penderita dan pertolongan darurat
Hal ini sedapatnya dilakukan sebelum melakukan ekstrikasi ataupun evakuasi.
Ekstrikasi
Mengeluarkan penderita dari jepitan memerlukan keahlian tersendiri. Penderita mungkin berada di
jalan raya, dalam mobil, dalam sumur, dalam air ataupun dalam medan sulit lainnya. Setiap jenis
ekstrikasi memerlukan pengetahuan tersendiri, agar tidak menimbulkan cedera lebih lanjut.
Evakuasi dan transportasi penderita
6. Cara transportasi
Sebagian besar penderita gawat darurat di bawa ke rumah sakit dengan menggunakan kendaraan
darat yaitu ambulan. Tujuan dari transportasi ini adalah memindahkan penderita dengan cepat
tetapi aman, sehingga tidak menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syock pada penderita. Jadi
semua kendaraan yang membawa penderita gawat darurat harus berjalan perlahan-lahan dan
mentaati semua peraturan lalu lintas.
Bagi petugas ambulan 118 berlaku :
Waktu berangkat mengambil penderita, ambulan jalan paling cepat 60 km/jam. Lampu merah
(rorator) dinyalakan, sirine kalau perlu di bunyikan Waktu kembali kecepatan maksimum 40
km/jam, lampu merah (rorator) dinyalakan dan sirine tidak boleh dibunyikan Semua peraturan
lalu lintas tidak boleh dilanggar








DAFTAR PUSTAKA
Grant HD et al, in Emergency Care, 7th.ed. , Prentice Hall, 1996
McSwain NE; Pre-Hospital Care; in Feliciano, Moore & Mattox (eds);Textbook of trauma; 3rd ed.;
pp107-121; 1996
Soedarmo S. Operasionalisasi ambulans, AGD 118, 2003
Pusponegoro AD. Pertolongan penderita trauma pra-rumah sakit. Jakarta: Ambulans Gawat Darurat
118;2001.
Panduan Gawat darurat, Departemen Kesehatan RI, 2001
METODE TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI AMBULANCE PRO HEALTH, for better life.htm
WWW.SHOCK.COM

Anda mungkin juga menyukai