Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di
otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
seseorang menderita kelumpulhan atau kematian. Stroke adalah defisit neurologis yang
mempunyai serangan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari
cardiovascular disease (CVD) (Batticaca, 2008).
Stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi penyebab kesakitan dan
kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita
stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan (Batticaca, 2008)..
Berdasarkan hasil wawancara Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (berdasarkan
jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes dan gejala) prevalensi stroke
meningkat dari 8,3 per 1000 populasi penduduk(2007) menjadi 12,1 per1000 populasi
penduduk. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar
7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per
mil. Jadi, sebanyak 57,9 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes. Prevalensi
penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring
peningkatan umur responden. Prevalensi stroke sama banyak pada laki-laki dan
perempuan (Riskesdas, 2013).
Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang melaporkan data PTM tahun 2013
sebanyak 31 kabupaten/kota (88,57%). Kasus tertinggi Penyakit Tidak Menular pada
tahun 2013 adalah kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah. Dari total 1.069.263
kasus yang dilaporkan sebesar 69,51% (743.204 kasus) adalah penyakit jantung dan
pembuluh darah (Balitbang Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan Riset kesehatan dasar tahun 2013, terdapat peningkatan prevalensi stroke
di Jawa tengah dari tahun 2007 yaitu dari 7,7 per 1000 populasi penduduk menjadi 12,3
per 1000 populasi penduduk di tahun 2013. Presentasi penyakit stroke non hemoragik di
Jawa Tengah telah meningkat dari tahun 2012 yaitu sebanyak 23.257 menjadi 28.772 di
tahun 2013 (Balitbang Kemenkes RI, 2013).
Salah satu manifestasi umum stroke adalah kehilangan motorik. Stroke adalah
penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik. Karena neuron atas melintas, gangguan kontrol motor voluter pada
1
salah satu sisi tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron motor pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling umum adalah hemiparesisa (paralisis pada
salah satu bagian tubuh). Bila stroke menyerang bagian kiri otak, terjadi hemiparesisa
kanan. Bila yang terserang adalah bagian kanan otak, yang terjadi adalah hemiparesis kiri
dan yang lebih ringan disebut hemiperesis kiri (Triwibowo, 2013).
Salah satu tindakan mandiri perawat guna mengatasi masalah kelemahan otot pada
ekstremitas atas pasien stroke non hemorrhagic adalah dengan melakukan Range of
Motion Spherical Grip. Menurut penelitian yang dilakukan Sukmaningrum (2011) Range
of Motion Spherical Grip dapat mengaktifkan gerakan volunter dimana gerakan volunter
terjadi adanya transfer impuls elektrik dari girus presentalis ke korda spinalis melalui
neurotransmiter yang mencapai ke otot dan menstimulasi otot sehingga menyebabkan
pergerakan.
Hasil penelitian Sukmaningrum dkk. pada 2012, mengenai efektivitas range of motion
aktif-asistif spherical grip terhadap peningkatan kekuatan otot ekstermitas atas pada
pasien stroke menunjukkan adanya peningkatan kekuatan otot antara sebelum dan
sesudah latihan ROM aktif-asistif: spherical grip. Hasil penelitian menunjukkan kekuatan
otot responden paling banyak sebelum dilakukan intervensi yaitu 3 (dapat melawan gaya
berat tidak dapat melawan tahan), sementara kekuatan otot responden paling banyak
setelah dilakukan intervensi adalah 5 (kekuatan normal).
Hasil penelitian lain oleh Olviani, dkk pada tahun 2017 mengenai pengaruh latihan
range of motion aktif-asistif (spherical grip) terhadap peningkatan kekuatan otot
ekstermitas atas pada pasien stroke juga menunjukan ada pengaruh range of motion
terhadap kekuatan ekstermitas atas pada pasien stroke. Hasil penelitian menunjukkan
pada pengukuran sebelum diberikan intervensi didapatkan skala kekuatan otot 3 (dapat
mengadakan gerakan melawan gaya berat) sebanyak 30 orang (100%), sementara sesudah
diberikan intervensi didapatkan skala kekuatan otot 4 (dapat melawan gaya dan mengatasi
tahanan) sebanyak 25 orang dan 5 orang yang tidak mengalami peningkatan dari 30
orang.
Hasil studi pendahuluan di Ruang Mawar RSUD Ambarawa menunjukkan terdapat
dua orang yang mengalami hemiparesis pada tanggal 24 Agustus 2018. Berdasarkan latar
belakang tersebut kelompok ingin mencoba mengimplementasikan range of motion
spherical grip di Ruang Mawar RSUD Ambarawa.

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui manajemen dan penatalaksanaan serta penanganan secara
farmakologi dan non farmakologi pada pasien hemiparesis.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kekuatan otot ekstermitas atas pada pasien yang mengalami
hemiparesis sebelum diberikan range of motion spherical grip di Ruang Mawar
RSUD Ambarawa.
b. Untuk mengetahui kekuatan otot ekstermitas pada pasien yang mengalami
hemiparesis setelah diberikan range of motion spherical grip di Ruang Mawar
RSUD Ambarawa.
c. Untuk mengetahui adakah peningkatan kekuatan otot ekstermitas atas pada pasien
yang mengalami hemiparesis sebelum dan sesudah diberikan range of motion
spherical grip di Ruang Mawar RSUD Ambarawa.

C. Manfaat
Memberikan masukan bagi institusi maupun mahasiswa praktik dalam menerapkan
intervensi baru yaitu range of motion spherical grip pada pasien yang mengalami
hemiparesis untuk meningkatkan kekuatan otot dan juga sebagai bagian dari penerapan
Evidence Based Practice (EBP) dalam asuhan keperawatan.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Stroke
a. Definisi
Stroke merupakan suatu penyakit menurunnya fungsi syaraf secara akut
yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara mendadak
dan cepat yang menimbulkan gejala dan tanda sesuai dengan daerah otak yang
terganggu (Dinkes Jateng, 2011).
Menurut Christenseen & Kockrow (2005), stroke diartikan sebagai suatu
kondisi abnormal dari pembuluh darah pada otak atau adanya pembentukan
embolus atau trombus yang menghambat aliran darah pada pembuluh darah
arteri. Kondisi ini menyebabkan iskemik jaringan otak yang seharusnya secara
normal diperdarahi oleh pembuluh darah yang rusak tersebut.
Jadi dapat disimpulkan stroke adalah kerusakan jaringan otak atau
perubahan neurologi yang disebabkan oleh berkurangnya atau terhentinya suplay
darah secara tiba-tiba ke otak.

b. Klasifikasi
Klasifikasi stroke menurut (Lewis SL dkk, 2014) yaitu:
Secara garis besar stroke dibagi menjadi 2 golongan yaitu stroke yang
terjadi karena pembuluh darah di otak pecah yang diakibatkan tidak kuat
menahan tekanan yang terlalu tinggi yang disebut stroke hemoragik dan stroke
yang paling banyak dijumpai yaitu stroke non hemoragik, disebut stroke non
hemoragik karena tidak ditemukannya perdarahan otak.
1) Stroke Hemorrhagic
Stroke yang terjadi akibat lesi vaskuler berupa rupture dan terjadi perdarahan
intra serebrum atau subarachnoid, Kasus ini terjadi sekitar 15-20% dari
semua kasus stroke. Stroke hemoragik dibagi menjadi dua yaitu:
a) Stroke hemoragik intraserebrum

4
Perdarahan intraserebrum kedalam jaringan otak akibat cidera vaskuler
yang dipicu oleh hipertensi dan rupture salah satu dari banyak arteri
kecil yang menembus jauh kedalam jaringan otak.
b) Stroke hemoragik subarachnoid
Perdarahan subarachnoid yang disebabkan karena rupture aneurisma
vaskuler dan trauma kepal. Perdarahan terjadi secara masif dan
ekstravasasi kedalam ruang subarachnoid.
2) Stroke non hemorrhagic
Stroke non hemorrhagic atau stroke iskemik terjadi akibat penutupan aliran
darah kesebagian otak tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik
pada daerah iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa
perubahan fungsi dan bentuk sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan
integritas susunan sel yang selanjutnya terjadi kematian neuron.
c. Manifestasi Klinis
Menurut Anies (2006) tanda dan gejala stroke tergantung bagian otak yang
terkena. Beberapa tanda dan gejala stroke pada umumnya, antara lain:
1) Kesemutan pada satu sisi badan, mati rasa
2) Lemas, salah satu sisi badan lumpuh misalnya pada bagian tubuh kanan atau
kiri
3) Pada bagian mulut biasnaya terjadi kemiringan pada bagian lidah
4) Terjadi gangguan saat menelan makanan atau minuman biasanya sering
tersedak
5) Gangguan bicara, atau saat bicara kata-katanya sulit dimengerti
6) Tidak mampu membaca atau menulis
7) Kesulitan saat berjalan atau berjalan tidak seimbang
8) Kemampuan intelektual menjadi menurun
9) Gangguan pada fungsi indra misalnya gangguan mata seperti pandangan
menjadi tidak terlihat atau gelap dan gangguan pendengaran.
Kelainan neurologis yang terjadi akibat serangan stroke bisa lebih berat
atau lebih luas, berhubungan dengan koma atau stupor dan sifatnya menetap.
Selain itu, stroke bisa menyebabkan depresi atau ketidakmampuan untuk
mengendalikan emosi (Auryn, Virzara 2009, h 65).

5
Stroke juga menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah yang tersumbat), ukuran area perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak
yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pada stroke iskemik, gejala
utamanya yang timbul adalah defisit neurologis secara mendadak atau sumbatan.
Kondisi tersebut didahului gejala prodormal, terjadi pada waktu istirahat atau
bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun kecuali bila embolus cukup
besar (Smeltzer et al, 2013).
Stroke akibat PIS (pendarahan intraserebral) mempunyai gejala prodormal
yang tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan seringkali
terjadi pada siang hari, saat beraktivitas atau emosi (marah). Mual dan muntah
sering terdapat permulaan serangan. Hemiparasis/hemiparesis biasanya terjadi
pada permulaan serangan, kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma
(60% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara setengah jam s.d 2 jam, dan
12% terjadi setelah 2 jam, sampai 19 hari). Pada pasien PSA (pendarahan
subaraknoid) gejala prodrormal berupa nyeri kepala hebat dan akut, kesadaran
sering terganggu & sangat bervariasi, ada gejala/tanda rangsangan maningeal,
oedema pupil dapat terjadi bila ada subhialoid karena pecahnya aneurisma pada
arteri komunikans anterior atau arteri karotis internal (Smeltzer et al, 2013).
Sedangkan menurut Widyanto dan Triwibowo (2013) manifestasi yang
umum terjadi pada penderita stroke antara lain:
1) Kehilangan motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron atas melintas,
gangguan kontrol motor voluter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukan
kerusakan pada neuron motor pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motor paling umum adalah hemiparesisa (paralisis pada salah satu bagian
tubuh). Bila stroke menyerang bagian kiri otak, terjadi hemiparesisa kanan.
Bila yang terserang adalah bagian kanan otak, yang terjadi adalah
hemiparesis kiri dan yang lebih ringan disebut hemiperesis kiri.

6
2) Kehilangan komunikasi
Disfungsia bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan sebagai berikut:
a) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti (bicara pelo atau cedal) yang disebabkan oleh paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
b) Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang
terutama ekspresi atau reseptif.
c) Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya) seperti dilihat ketika penderita stroke mengambil sisir dan
berusaha menyisir rambutnya.
3) Gangguan persepsi
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan:
a) Disfungsi persepsi visual
Terjadi karena gangguan jarak sensori primer diantara mata dan korteks
visual.
b) Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan gangguan dua atau
lebih objek dalam area spasial). Sering terjadi pada klien hemiparesisa
kiri. Penderita mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan
karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian ke bagian tubuh.
4) Kehilangan sensori
Kehilangan sensori dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin
berat dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimulus visual dan auditorius.
5) Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori,
atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi
ini dapat dibuktikan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan penderita
menghadapi masalah frustasi. Masalah psikologik lain juga umunya terjadi
dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan frustasi, dendam
dan kurang berkerja sama.

7
6) Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke, klien dapat mengalami inkonensia urinarius sememtara
karena konfunsi dan ketidakmampuan mengungkapkan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motorik dan postrural. setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan
kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. kontrol
sfingter urinarius esksternal hilang atau berkurang.selama periode ini
dilakukan kateterisasi secara intermitten dengan teknik steril.
d. Patofisiologi Gangguan Motorik pada Stroke
Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua kombinasi
sel saraf , salah satunya terdapat pada korteks motorik, serabut – serabutnya
berada tepat pada traktus piramida yaitu penyilangan traktus piramida, dan serat
lainnya berada pada ujung anterior medula spinalis, serat – seratnya berjalan
menuju otot. Yang pertama disebut sebagai neuron motorik atas (Upper Motor
Neuron) dan yang terakhir disebut neuron motorik bawah (Lower Motor Neuron).
Setiap saraf motorik yang menggerakkan setiap otot merupakan komposisi
gabungan ribuan saraf – saraf motorik bawah.
Jarak motorik dari otot ke medula spinalis dan juga dari serebrum ke
batang otak dibentuk oleh Upper Motor Neuron (UMN). UMN mulai di dalam
korteks pada sisi yang berlawanan di otak, menurun melalui kapsul internal,
menyilang ke sisi berlawanan di dalam batang otak, menurun melalui traktus
kortikospinal dan ujungnya berakhir pada sinaps LMN. LMN menerima impuls di
bagian ujung saraf posterior dan berjalan menuju sambungan mioneural. Berbeda
dengan UMN, LMN berakhir di dalam otot. Ciri – ciri klinik lesi pada UMN
diantaranya adalah kehilangan kontrol volunter, peningkatan tonus otot,
spastisitas otot, tidak ada atropi otot, reflek hiperaktif dan abnormal. Sedangkan
ciri-ciri LMN adalah kehilangan kontrol volunter, penurunan tonus otot, paralisis
flaksid otot, atropi otot, tidak ada atau penurunan reflek. Rangkaian sel saraf
berjalan dari otak melalui batang otak keluar menuju otot yang disebut motor
pathway.
Fungsi otot yang normal membutuhkan hubungan yang lengkap
disepanjang semua motor pathway. Adanya kerusakan pada ujungnya
menurunkan kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan-pergerakan otot. Hal
ini menurunkan efesiensi disebabkan kelemahan, juga disebut paresis.
8
Kehilangan hubungan yang komplit menghalangi adanya keinginan untuk
bergerak lebih banyak. Ketiadaan kontrol ini disebut paralisis. Batas antara
kelemahan dan paralisis tidak absolut. Keadaan yang menyebabkan kelemahan
mungkin berkembang menjadi kelumpuhan. Pada tangan yang lain, kekuatan
mungkin memperbaiki lumpuhnya anggota badan. Regenerasi saraf untuk tumbuh
kembali melalui satu jalan yang mana kekuatan dapat kembali untuk otot yang
lumpuh. Paralisis lebih banyak disebabkan perubahan sifat otot. Lumpuh otot
membuat otot lemah, lembek dan tanpa kesehatan yang cukup, kejang, mengetat,
dan tanpa sifat yang normal ketika otot digerakkan (Mardjono, 2008)
e. Penatalaksanaan Kelumpuhan pada Stroke
1) Penatalaksanaan Kolaboratif
Penatalaksanaan kolaboratif kelumpuhan pada pasien stroke antara lain
dengan pemberian obat neuroprotektif untuk mempengaruhi kekuatan otot
pasien stroke. Penderita stroke biasanya diberikan obat tersebut. Obat
neuroprotektif berfungsi untuk menghambat pembentukan zat toksin. Jika zat
toksin tidak dihambat dapat mengakibatkan rusaknya sel yang ireversibel
(Eka, 2005). Obat neuroprotektif memperbaiki cidera otak dengan cara
mencegah otak mengalami iskemik sehingga tidak mengakibatkan infark
(Iskandar, 2016).
2) Penatalaksanaan Mandiri
Salah satu tindakan mandiri perawat guna mengatasi masalah
kelemahan otot pada ekstremitas atas pasien stroke non hemorrhagic adalah
dengan melakukan Range of Motion Spherical Grip. Menurut penelitian yang
dilakukan Sukmaningrum (2011) Range of Motion Spherical Grip dapat
mengaktifkan gerakan volunter dimana gerakan volunter terjadi adanya
transfer impuls elektrik dari girus presentalis ke korda spinalis melalui
neurotransmiter yang mencapai ke otot dan menstimulasi otot sehingga
menyebabkan pergerakan.
. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Isti Wahyuningsih (2013)
ROM Spherical Grib bagi penderita stroke non hemorrhagic bermanfaat
untuk meningkatkan kemandirian klien dikarenakan dengan latihan gerak
maka otot akan bermobilisasi. Mobilisasi otot dapat mencegah kekakuan
otot, melancarkan sirkulasi darah, dan meningkatkan masa otot. Apabila
dilakukan secara rutin maka toleransi otot untuk melakukan gerakan akan
9
meningkat (Irdawati, 2012). Menurut Muhamad Irfan (2010) latihan rentang
gerak juga bermanfaat untuk memperbaiki tonus otot maupun refleks tendon
yang mengalami kelemahan apabila dilakukan secara rutin akan merangsang
otot-otot disekitarnya untuk berkontraksi sehingga terjadi peningkatan
kekuatan otot..

2. Range of Motion Spherical Grip

Gambar 2.1 ROM Spherical Grip


a. Definisi
Spherical Grip adalah latihan yang menstimulasi gerak pada tangan dapat
berupa berupa latihan fungsi menggenggam. Latihan ini dilakukan memalui 3
tahap yaitu membuka tangan, menutup jari-jari, untuk menggenggam objek dan
mengatur kekuatan genggaman.
Latihan ini adalah latihan fungsional tangan dengan cara menggenggam
sebuah benda berbentuk bulat seperti bola karet pada telapak tangan (Irfan, 2010).
Berdasarkan uraian diatas untuk membantu pemulihan ekstremitas atas
maka diperlakukan teknik untuk merangsang tangan seperti latihan Spherical
Grip (Wahyudin, 2008).
b. Teknik Pemberian Spherical Grip
Prosedur pemberian Spherical Grip menurut (Irfan, 2010):
1) Berikan bola berbahan karet
2) Lakukan koreksi pada jari-jari agar menggenggam sempurna
3) Posisikan Wrist Joint 45 derajat
4) Berikan instruksi untuk menggenggam (menggenggam kuat) selama 5 detik
kemudian rileks.
5) Lakukan selama 10 menit sebanyak 7 kali pengulangan.

10
c. Pengaruh Spherical Grip terhadap Peningkatan Kekuatan Otot
Pada latihan Spherical Grip diharapkan agar terjadi peningkatan mobilitas
pada daerah pergelangan tangan (wrist joint) serta stabilitas pada daerah
punggung tangan (metacarpophalageal join) dan jari-jari (phalangs). Banyak
dijumpai pada insan stroke dimana ketidakmampuan fungsi lengan (prehension)
diakibatkan oleh adanya instabilitas dari pergelangan tangan serta hiperekstensi
dari sendi metacarpophalageal. Hal ini terjadi akibat kesalahan penanganan dan
atau penguluran yang berlebihan pada jari-jari yang dilakukan oleh insan stroke
sendiri. Perlu diketahui bahwa, fungsional jari-jari dimungkinkan jika terdapat
stabilitas yang baik pada pergelangan tangan serta mobilitas yang baik pada jari-
jari. Optimlisasi fungsi tangan hanya dapat dilakukan jika tangan berbentuk
lumbrikal (Lesmana, 2013)
Dengan adanya perbaikan dari tonus postural melalui stimulasi berupa
tekanan pada persendian akan merangsang otot-otot disekitar sendi untuk
berkontraksi mempertahankan posisi. Dari sisi aktif efferent dari muscle spindle
dan gologitendon akan meningkat sehingga informasi akan sampai pada saraf
pusat dan munculah proses fasilitasi dan inhibisi, serta reduksi dari kemampuan
otot dan sendi dalam melakukan gerakan yang disadari (Victoria, 2014).
3. Kekuatan Otot
a. Definisi
Kekuatan Otot adalah kemampuan otot untuk berkontraksi dan
meghasilkan gaya. Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi kekuatan otot seperti
operasi, cidera, atau penyakit tertentu. Malas berolahraga juga dapat menurunkan
kekuatan otot yang dapat membuat seseorag rentan mengalami cidera saat
beraktifitas (Carpenito, 2009).
Menurut Ginsberg (2008), kekuatan otot secara klinis dapat dinilai dengan
mengklasifikasikan kemampuan pasien untuk mengkontraksikan otot volunter
melawan gravitasi dan melawan tahanan pemeriksa. Skala yang sering dipakai
adalah Medical Research Council Scale, menggunakan rentang skore 0-5 adalah
sebagai berikut:

11
Tabel 2.1 Skala Kekuatan Otot
Nilai Kekuatan Otot
0 tidak ada kontraksi
1 tampak kedutan otot dan sedikit kontraksi
2 gerakan aktif yang terbatas sedikit kontraksi
3 gerakan aktif dapat melawan gravitasi
4 gerakan aktif dapat melawan gravitasi dan tahanan pemeriksan
5 kekuatan normal

b. Mekanisme Kekuatan Otot


Kekuatan otot diatur oleh saraf somatik melalui jalur saraf aferen dan
eferen. Saraf aferen dari saraf sistem perifer bertanggung jawab untuk
menyampaikan informasi sensorik ke otak, terutama dari organ-organ indera
seperti kulit. Pada otot-otot spindel menyampaikan informasi tentang derajat
panjang otot dan peregangan ke sistem saraf pusat untuk membantu dalam
mempertahankan postur sendi. Beberapa gerakan dan posisi tubuh merupakan
informasi umpan balik dari propioception. Otak kecil berfungsi untuk
memperhalus suatu gerakan. Saraf eferen dari sitem perifer bertanggung jawab
untuk menyampaikan perintah ke otot dan kelenjar untuk suatu gerakan tertentu.
Sinyal dari otak akan menggerakkan otot-otot sadar maupun tidak sadar. Otot-
otot superfisial, otot-otot wajah dan otot internal yang diatur oleh korteks motor
utama dari otak, sinyalnya melalui ulkus anterior sentral yang membagi lobus
frontal dan perietal.
Selain itu, otot bereaksi terhadap suatu rangsangan reflek yang sinyalnya
tidak selalu sampai ke otak. Dalam hal ini, sinyal dari serat aferen tidak mencapai
otak, tapi menghasilkan gerakan reflektif oleh koneksi langsung dengan saraf
eferen di tulang belakang. Namun, sebagiab aktivitas otot sadar merupakan hasil
dari interaksi kompleks antara berbagai wilayah di otak. Saraf yang
mengendalikan otot-otot tulang pada manusia adalah sekelompok neuron
spanjang korteks motorik primer. Perintah dari otak melaluai basal ganglia akan
dimodifikasi oleh sinyal dari serebrum disampaikan melalui saluranpiramidal ke
medula spinalis sampai ke ujung saraf motorik atas pada otot.

12
Sistem ekstrapiramidal berkontraksi dalam umpan balik yang akan
mempengaruhi reaksi otot dan respon. Otot yang lebih dalam seperti keadaan
postur tubuh dikendalikan oleh batang otak dan basal ganglia. Mekanisme
kontraksi otot adalah sebagai berikut: suatu potensial aksi berjalan disepanjang
saraf motorik sampai ke ujungnya pada serat otot. Pada setiap ujung, saraf
menyekrsi substansi neurotransmitter yaitu asetilkolin yang bekerja pada srat otot
untuk membuka banyak saluran bergerbang melalui molekul protein dalam
membran serat otot.
Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium
untuk mengalir kebagian dalam membran serat otot pada titik terminal saraf yang
akan menimbulkan potensial aksi. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi
menbran serat otot dan menyebabkan reticulum sarkoplasma melepas sejumlah
besar ion kalsium sehingga menimbulkan kekuatan motorik antara filamen aktin
dan myosin secara bersamaan akan menghasilkan proses kontraksi. Setelah satu
detik ion kasium dipompa kembali ke dalam reticulum sarkoplasma tempat ion-
ion ini disimpan sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi. Pengeluaran
ion kalsium dari myofibril akan menyebabkan kontraksi berhenti.
Kekuatan otot dalam bergerak dan mengangkat benda merupakan hasil
kerjasana dari tiga faktor yaitu: kekuatan fisiologis (ukuran otot, luas penampang,
tersedianya crossbridging, tanggapan untuk latihan), kekuatan neurologis
(seberapa kuat atau lemahnya sinyal yang disampaikan ke otot untuk
berkontraksi), dan kekuatan mekanik (kekuatan otot pada sudut tuas, saat lengan
memanjang, dan kemampuan sendiri). Kekuatan setiap otot yang bekerja pada
tulang, tergantung pada panjang, kecepatan memendek, luas penampang
sarkomer, aktin dan myosin (Guyton, 2001)
c. Jenis-jenis Kelumpuhan
Menurut Suyono (2002) adapun jenis-jenis kelumpuhan adalah sebagai berikut:
 Plegia adalah kekuatan otot yang hilang sama sekali
 Paresis adalah kekuatan otot yang berkurang
1. Hemiplegia adalah kekuatan otot yang hilang sama sekali pada separuh
tubuh.
2. Hemiparesis adalah kekuatan otot yang berkurang pada separuh tubuh.

13
3. Monoplegia adalah kekuatan otot yang hilang sama sekali pada satu anggota
tubuh.
4. Monoparesis adalah kekuatan otot yang berkurang pada satu anggota tubuh.
5. Paraplegia adalah kekuatan otot yang hilang sama sekali pada kedua anggota
bawah.
6. Paraparesis adalah kekuatan otot yang berkurang pada kedua anggota bawah.
7. Tetraplegia adalah kekuatan otot yang hilang sama sekali pada keempat
anggota tubuh.
8. Tetraparesis adalah kekuatan otot yang berkurang pada keempat anggota
tubuh.

14
BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Waktu
Pelaksanaan desain inovatif ROM Spherical Grib untuk penanganan Hemiparesis pada
pasien stroke yang dilakukan pada praktik Keperawatan Medikal Bedah (KMB).

B. Sasaran
1. Identitas Klien
a. Nama : Tn. M
b. Umur : 53 tahun
c. Alamat : Bergas Pringapus, Kab. Semarang
d. Pendidikan : SLTA
e. Pekerjaan : Wiraswasta
f. Tanggal masuk : 25 November 2018
g. Diagnosa medis : SNH
h. Nomor register : 157705-2018
2. Identitas Penanggungjawab
a. Nama : Ny. U
b. Umur : 51 tahun
c. Alamat : Bergas Pringapus, Kab. Semarang
d. Pendidikan : SLTP
e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
f. Hubungan : Istri

C. Tempat
Pelaksanaan dilakukan di Ruang Mawar RSUD Ambarawa

15
D. Pengelolaan Pasien
1. Data Pengkajian Fokus
NO TANGAL DATA FOKUS MASALAH ETIOLOGI
25 DS:
1.
November  Keluarga klien mengatakan Hambatan Penurunan
2018 pasien mengalami mobilitas kekuatan otot
kelemahan pada anggota fisik
gerak sebelah kanan (00085)
 Keluarga klien mengatakan
klien tidak mampu
melakukan ADL secara
mandiri dikarenakan lemah
pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien
tidak mampu untuk duduk
secara mandiri
DO:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 198/115
mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas
kanan 1/1, kiri 3/3
 Tingkat ketergantungan : 5
(ketergantungan berat)
 ADL klien tampak dibantu
oleh keluarga sepenuhnya
 Klien tampak terbaring
lemah di tempat tidur

16
2. Implementasi
Waktu Diagnosa
Implementasi TTD
Tgl/jam Keperawatan
25
November
Hambatan Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
2018
09.40 WIB mobilitas fisik
1. Menentukan kesiapan pasien terlihat
b.d penurunan dalam aktivitas atau protokol latihan
kekuatan otot 2. Menyediakan latihan,jika diinginkan
3. Melatih pasien secara visual untuk
melihat pergerakan tubuh yang sakit
ketika melakukan ADL
4. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
5. Memberikan dukungan positifterhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
6. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh
Terapi latihan : mobilitas sendi

1. Menentukan batasan pergerakan sendi


dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan
26 Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
Hambatan
November
2018 mobilitas fisik 1. Menentukan kesiapan pasien terlihat
09.00 dalam aktivitas atau protokol latihan
b.d penurunan
2. Menyediakan latihan,jika diinginkan

17
kekuatan otot 3. Melatih pasien secara visual untuk
melihat pergerakan tubuh yang sakit
ketika melakukan ADL
4. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
5. Memberikan dukungan positif terhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
6. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh

Terapi latihan : mobilitas sendi

1. Menentukan batasan pergerakan sendi


dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan
27 Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
Hambatan
November
2018 mobilitas fisik 1. Menyediakan latihan,jika diinginkan
09.00 2. Melatih pasien secara visual untuk
b.d penurunan
melihat pergerakan tubuh yang sakit
kekuatan otot ketika melakukan ADL
3. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
4. Memberikan dukungan positif terhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
5. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan

18
pergerakan tubuh

Terapi latihan : mobilitas sendi

1. Menentukan batasan pergerakan sendi


dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan
28 Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
Hambatan
November
09.30 mobilitas fisik 1. Menyediakan latihan,jika diinginkan
2. Melatih pasien secara visual untuk
b.d penurunan
melihat pergerakan tubuh yang sakit
kekuatan otot ketika melakukan ADL
3. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
4. Memberikan dukungan positif terhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
5. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh

Terapi latihan : mobilitas sendi

1. Menentukan batasan pergerakan sendi


dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga

19
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan
29 Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
Hambatan
November
2018 mobilitas fisik 1. Menyediakan latihan,jika diinginkan
09.00 2. Melatih pasien secara visual untuk
b.d penurunan
melihat pergerakan tubuh yang sakit
kekuatan otot ketika melakukan ADL
3. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
4. Memberikan dukungan positif terhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
5. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh

Terapi latihan : mobilitas sendi

1. Menentukan batasan pergerakan sendi


dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan
30 Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
November
Hambatan 1. Menyediakan latihan,jika diinginkan
2018
09.00 mobilitas fisik 2. Melatih pasien secara visual untuk
b.d penurunan melihat pergerakan tubuh yang sakit
ketika melakukan ADL

20
kekuatan otot 3. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
4. Memberikan dukungan positif terhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
5. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh

Terapi latihan : mobilitas sendi

1. Menentukan batasan pergerakan sendi


dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan
31 Terapi Latihan : Kontrol otot (0226)
Hambatan
November
2018 mobilitas fisik 1. Menyediakan latihan,jika diinginkan
10.00 2. Melatih pasien secara visual untuk
b.d penurunan
melihat pergerakan tubuh yang sakit
kekuatan otot ketika melakukan ADL
3. Membantu pasien membuat protokol
latihan (meningkatkan ) kekuatan
,ketahan dan kelenturan
4. Memberikan dukungan positif terhadap
usaha pasien dalam latihan dan aktivitas
fisik
5. Mengevaluasi perkembanagn pasien
terhadap peningkatan restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh

Terapi latihan : mobilitas sendi

21
1. Menentukan batasan pergerakan sendi
dan efeknya terhadap fungsi sendi
2. Melakukan latihan ROM pasif atau ROM
dengan bantuan, sesuai indikasi (ROM
Sphirical Grib)
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
sebuah program latihan

3. Catatan Perkembangan
Hari/Tang Diagnosa Evaluasi ( SOAP) TTD
gal Keperawatan
25 Hambatan S:
November
mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
2018
mengalami kelemahan pada anggota gerak
13.30 WIB b.d penurunan
sebelah kanan masih sulit digerakan
kekuatan otot  Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien tidak mampu
untuk duduk secara mandiri

O:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 198/115 mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 1/1, kiri 5/5
 Tingkat ketergantungan : 5 (ketergantungan
berat)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

22
26 Hambatan S:
November
mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
2018
mengalami kelemahan pada anggota gerak
11.30 WIB b.d penurunan
sebelah kanan dan setelah dibantu latihan
kekuatan otot selama 2 hari klien sudah mulai bergerak
sedikit -sedikit
 Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
DO:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 190/115 mmHg
HR : 90x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 98%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 1/1, kiri 5/5
 Tingkat ketergantungan : 5 (ketergantungan
berat)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

27 Hambatan S:
November
mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
2018
mengalami kelemahan pada anggota gerak
b.d penurunan
sebelah kanan masih sulit digerakan
kekuatan otot  Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien tidak mampu
untuk duduk secara mandiri

O:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 198/115 mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 1/1, kiri 5/5

23
 Tingkat ketergantungan : 4 (ketergantungan
sedang)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

28 Hambatan S:
November
mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
2018
mengalami kelemahan pada anggota gerak
b.d penurunan
sebelah kanan masih sulit digerakan
kekuatan otot  Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien masih mampu
untuk duduk secara mandiri dan harus di
bantu oleh orang lain

O:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 188/110mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 2/1, kiri 5/5
 Tingkat ketergantungan : 4 (ketergantungan
sedang)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
 Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

29
Hambatan S:
November
2018 mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
mengalami kelemahan pada anggota gerak
b.d penurunan
sebelah kanan masih sulit digerakan
kekuatan otot  Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien masih mampu
untuk duduk secara mandiri dan harus di
bantu oleh orang lain

24
O:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 178/100 mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 2/2, kiri 3/3
 Tingkat ketergantungan : 4 (ketergantungan
sedang)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
 Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
30 Hambatan S:
November
mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
2018
mengalami kelemahan pada anggota gerak
b.d penurunan
sebelah kanan masih sulit digerakan
kekuatan otot  Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien masih mampu
untuk duduk secara mandiri dan harus di
bantu oleh orang lain
O:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 198/115 mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 2/2, kiri 5/5
 Tingkat ketergantungan : 4 (ketergantungan
sedang)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
 Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
31 Hambatan S:
November
mobilitas fisik  Keluarga klien mengatakan pasien
2018
mengalami kelemahan pada anggota gerak
b.d penurunan
sebelah kanan masih sulit digerakan

25
kekuatan otot  Keluarga klien mengatakan klien tidak
mampu melakukan ADL secara mandiri
dikarenakan lemah pada anggota gerak kanan
 Keluarga mengatakan klien masih mampu
untuk duduk secara mandiri dan harus di
bantu oleh orang lain

O:
 Keadaan umum lemah
 Kesadaran compos mentis
 Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 178/115 mmHg
HR : 93x/m
RR : 22x/m
Temp : 36,80C
SPO2 : 97%
 Kekuatan otot ektremitas kanan 3/1, kiri 5/5
 Tingkat ketergantungan : 4 (ketergantungan
sedang)
 ADL klien tampak dibantu oleh keluarga
sepenuhnya
 Klien tampak terbaring lemah di tempat tidur
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

26
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisa Kasus
Pada saat dilakukan pangkajian pada tanggal 25 November 2018, didapatkan data
pasien Tn. M berjenis kelamin laki-laki, umur 53 tahun dengan diagnosa medis Stroke
Non Haemoragic. Keluhan utama yang ditemukan pada saat pengkajian yaitu keluarga
klien mengatakan tangan dan kaki kanan klien lemah, tidak dapat digerakkan, tidak dapat
berbicara seperti biasa, serta klien tampak lemah.
Sesuai dengan teori, Stroke merupakan suatu penyakit menurunnya fungsi syaraf
secara akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara
mendadak dan cepat yang menimbulkan gejala dan tanda sesuai dengan daerah otak yang
terganggu. Stroke non hemorrhagic terjadi akibat penutupan aliran darah kesebagian otak
tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemik. Perubahan ini
dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi dan bentuk sel yang diikuti dengan
kerusakan fungsi dan integritas susunan sel yang selanjutnya terjadi kematian neuron
(Dinkes Jateng, 2011).
Tanda dan gejala stroke tergantung bagian otak yang terkena. Beberapa tanda dan
gejala stroke pada umumnya, antara lain : kesemutan pada satu sisi badan, mati rasa,
lemas, salah satu sisi badan lumpuh misalnya pada bagian tubuh kanan atau kiri, pada
bagian mulut biasnaya terjadi kemiringan, terjadi gangguan saat menelan makanan atau
minuman biasanya sering tersedak, gangguan bicara, atau saat bicara kata-katanya sulit
dimengerti, kesulitan saat berjalan atau berjalan tidak seimbang, kemampuan intelektual
menjadi menurun. Kelainan neurologis yang terjadi akibat serangan stroke bisa lebih
berat atau lebih luas, berhubungan dengan koma atau stupor dan sifatnya menetap. Selain
itu, stroke bisa menyebabkan depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi
(Auryn, Virzara 2009).

27
B. Analisa Intervensi Keperawatan
Berdasarkan hasil pangkajian yang telah dilakukan, maka ditemukan beberapa
diagnosa keperawatan pada Tn. M yang muncul, yaitu hambatan mobilitas fisik. Perawat
sebagai pemberi asuhan keperawatan melalui tindakan mandiri dan kolaboratif
memfasilitasi pasien untuk menyelesaikan masalah. Diagnosa keperawatan klien yang
muncul pada pasien stroke non haemoragic yaitu hambatan mobilitas fisik yang dapat
diberikan intervensi seperti kontrol otot, serta mobilitas sendi (NANDA, 2014; NIC,
2015).
Dalam memberkan intervensi keperawatan perawat perlu melakukan tindakan
mandiri, salah satunya dengan tindakan non farmakologi seperti melakukan latihan
spherical grip yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah hambatan mobilitas
fisik. Spherical Grip ini dilakukan selama 10 menit sebanyak 2x sehari dalam waktu
hingga 7 hari. Kekuatan otot klien sebelum dilakukan latihan spherical grip yakni
berskala 1, dan kekuatan otot setelah dilakukan latihan spherical grip yakni berskala 3.
Hal ini tampak perbedaan kekuatan otot antara sebelum intervensi dan setelah intervensi.
Spherical Grip adalah latihan yang menstimulasi gerak pada tangan dapat berupa
berupa latihan fungsi menggenggam. Latihan ini dilakukan memalui 3 tahap yaitu
membuka tangan, menutup jari-jari, untuk menggenggam objek dan mengatur kekuatan
genggaman. Latihan ini adalah latihan fungsional tangan dengan cara menggenggam
sebuah benda berbentuk bulat seperti bola pada telapak tangan (Irfan, 2010).
Berdasarkan uraian diatas untuk membantu pemulihan ekstremitas atas maka
diperlakukan teknik untuk merangsang tangan seperti latihan Spherical Grip (Wahyudin,
2008).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Olviani (2017) tentang pengaruh latihan range
of motion (ROM) aktif-asistif (Spherical grip) terhadap peningkatan kekuatan otot
ekstremitas atas pada pasien dengan stroke RSUD Banjarmasin, latihan spherical grip
dilakukan selama 10 menit, sebanyak 2x sehari hingga 7 hari berturut-turut terjadi
peningkatan kekuatan otot dari skala 1 menjadi skala 4 (yaitu dapat melawan gaya dan
mengatasi tahanan. Sukmanigrum (2016) juga melakukan penelitian yang serupa yakni
efektifitas range of motion (ROM) aktif-asistif spherical grip terhadap peningkatan
kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien dengan stroke, latihan dilakukan 2x sehari
selama 7 hari berturut-turut terjadi peningkatan kekuatan otot dari skala 1 menjadi 4.
Pemberian latihan gerak pada masa ini sangat efektif karena masih dalam masa
golden period. Rehabilitasi pasca stroke berupa latihan ROM spherical grip
28
menggenggam bola dimulai sedini mungkin dengan cepat, tepat, berkala, dan
berkesinambungan dapat membantu memulihkan fisik yang lebihh cepat dan optimal.
Berdasarkan hasil intervensi yang telah dilakukan pada Tn. M maka dapat disimpulkan
bahwa Spherical Grip efektif dan dapat diterapkan pada pasien dengan masalah stroke
non haemoragic.

C. Rancangan Ide-ide Baru


Rancangan ide-ide baru yang bisa dilaukan pada masalah hambatan mobilitas fisik
pada klien dengan stroke adalah cylindrical grip, spherical grip, dan lateral prehension
grip,teknik latihan ini dapat membantu klien dengan stroke untuk meningkatkan
kekuatan otot klien pada ektremitas yang mengalami hemiparase atau kelemahan akibat
stroke.

29
BAB V

EVALUASI KEGIATAN

A. Hasil Lembar Observasi


Kekuatan otot sebelum diberikan intervensi (ROM Sphirical Grib) dan 7 hari sesudah
diberi intervensi (ROM Sphirical Grib) pada ekstermitas inferior dextra.
No Hari / Tanggal Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Kekuatan otot Kekuatan Otot

Pre Post
1 Minggu, Hari ke- 1 (pagi) 1 1
25 November 2018 Hari ke- 1 (sore) 1 1
2 Senin, Hari ke- 2 (pagi) 1 1
26 November 2018 Hari ke- 2 (sore) 1 1
3 Selasa, Hari ke- 3 (pagi) 1 1
27 November 2018 Hari ke- 3 (sore) 1 1
4 Rabu, Hari ke- 4 (pagi) 1 2
28 November 2018 Hari ke- 4 (sore) 1 2
5 Kamis, Hari ke- 5 (pagi) 1 2
29 November 2018 Hari ke- 5 (sore) 1 2
6 Jumat, Hari ke- 6 (pagi) 1 2
30 November 2018 Hari ke- 6 (sore) 1 2
7 Sabtu, Hari ke- 7 (pagi) 1 3
25 November 2018 Hari ke- 7 (sore) 1 3

B. Faktor Pendukung
1. Pasien dan keluarga memberikan respon yang baik terhadap ROM Sphirical Grib
untuk meningkatkan kekuatan otot pada ekstermitas inferior dextra
2. Pasien kooperatif
C. Faktor Penghambat
1. Tidak ada factor penghambat selama dilakukan tindakan ROM

30
31
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Spherical Grip adalah latihan yang menstimulasi gerak pada tangan dapat berupa
berupa latihan fungsi menggenggam. Latihan ini dilakukan memalui 3 tahap yaitu
membuka tangan, menutup jari-jari, untuk menggenggam objek dan mengatur kekuatan
genggaman. Dengan adanya perbaikan dari tonus postural melalui stimulasi berupa
tekanan pada persendian akan merangsang otot-otot disekitar sendi untuk berkontraksi
mempertahankan posisi. Dari sisi aktif efferent dari muscle spindle dan gologitendon akan
meningkat sehingga informasi akan sampai pada saraf pusat dan munculah proses
fasilitasi dan inhibisi, serta reduksi dari kemampuan otot dan sendi dalam melakukan
gerakan yang disadari.

B. Saran
ROM Spherical Grip sangat cocok diaplikasikan di lahan Rumah Sakit Prosedur ini
berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien stroke yang mengalami
hemiparesis. Tindakan ini bisa digunakan untuk intervensi keperawatan terbaru.

32
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika
Balitbang Kemenkes RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS, Balitbang Kemenkes
RI, Jakarta
Balitbang Kemenkes RI, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013,
Balitbang Kemenkes RI, Jakarta
Olviani, Y., & Rahmawati, I. (2017). Pengaruh Latihan Range of Motion ( Rom ) Aktif-
Asistif ( Spherical Grip ) Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Ataspada
Pasien Stroke Di Ruang Rawat Inap Penyakit Syaraf ( Seruni ) Rsud Ulin
Banjarmasin. Dinamika Kesehatan, 8(1), 250–257.
Sukmaningrum, F. (2012). Efektivitas Range of Motion ( Rom ) Aktif-Asistif : Spherical Grip
Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada Pasien Stroke, 014, 2.

33

Anda mungkin juga menyukai