Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


Dosen Pengampu : UBABUDIN
Mata Kuliah : Agama Islam

Disusun Oleh:
NURUL MI’RAJ : 4201507001
RIDWAN : 4201507018

PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI PANGAN


JURUSAN AGRIBISNIS
POLITEKNIK NEGERI SAMBAS
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin, segala puji dan syukur bagi Allah ta’ala yang
senantiasa memberikan begitu banyak kenikmatan serta kesehatan sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat dalam rangka
untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Agama Islam. Diharapkan dengan
adanya makalah tentang Kepemimpinan Dalam Islam ini mampu memberikan
pengajaran tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang benar menurut
agama islam.
Kami sebagai penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.Namun sebagai manusia yang
tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan penyusunan di masa mendatang.
Kami berharap makalah ini dapat digunakan dengan baik dan memberikan
manfaat bagi pembacanya.

Sambas, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I. Pendahuluan............................................................................................ 1
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................... 3


A. Definisi Kepemimpinan
B. Kepemimpinan Dalam Islam
C. Gaya Kepemimpinan Dalam Islam
D. Konsep Kepemimpinan Dalam Islam
E. Ciri-Ciri Pemmimpin
F. Sifat-Sifat pemimpin
G. Tugas-Tugas Para Pemimpin
H. Bentuk-Bentuk Kepemimpinan Negara Menurut Islam
I. Kriteria Pemimpin Ideal

BAB III. PENUTUP............................................................................................26


A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Alloh Swt. ke muka bumi ini sebagai
khalifah (pemimpin), oleh sebab itu manusia tidak terlepas dari perannya
sebagai pemimpin yang merupakan peran sentral dalam setiap upaya
pembinaan. Hal ini telah banyak dibuktikan dan dapat dilihat dalam gerak
langkah setiap organisasi. Peran kepemimpinan begitu menentukan bahkan
seringkali menjadi ukuran dalam mencari sebab-sebab jatuh bangunnya suatu
organisasi.
Pemimpin dan kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling
berkaitan. Kepemimpinan merupakan cerminan dari perilaku seorang
pemimpin. Pemimpin merupakan seseorang yang diberi kedudukan tertentu
dan bertindak sesuai kedudukannya tersebut. Sedangkan kepemimpinan adalah
suatu peranan yang dapat mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan dalam Islam pada dasarnya aktivitas menuntun,
memotivasi, membimbing, dan mengarahkan agar manusia beriman kepada
Allah swt, dengan tidak hanya mengerjakan perbuatan atau bertingkah laku
yang diridhai Allah swt. Kepemimpinan Islam tercermin sebagaimana ajaran
Islam dapat memberi corak dan arah kepada pemimpin itu, dengan
kepemimpinannya dapat mengubah sikap mental yang selama ini hinggap
menghambat dan mengidap pada sekelompok orang atau masyarakat.
Seperti yang kita ketahui sekarang ini banyak sekali seorang
pemimpin yang tidak benar dalam melakukan tugasnya. Bukan hanya menurut
agama islam, akan tetapi dilihat dari sudut pandang yang lain juga sama.
Banyak sekali pemimpin yang menyalah gunakan tugasnya sebagai pemimpin.
Berdasarkan hal tersebut, kami melakukan penulisan dan penyusunan makalah
tentang kepemimpinan dalam islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepemimpinan yang baik dan benar menurut islam
2. Bagiamana konsep kepemimpinan menurut islam.
3. Bagaimana ciri-ciri seorang pemimpin yang baik dan benar menurut agama
islam.
4. Bagaimana sifat-sifat seorang pemimpin yang baik dan benar menurut
islam.
5. Bagaimana bentuk-bentuk kepemimpinan Negara menurut islam.
6. Bagaimana kriteria seorang pemimipin yang ideal.
7. Apa saja tugas-tugas seorang pemimpin.

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Defnisis Kepemimpinan
Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan. Tetapi bagi kita,
secara mendasar leadership berarti mempengaruhi orang. Ini merupakan
definisi yang luas dan termasuk didalamnya bermacam-macam perilaku yang
diperlukan untuk mempengaruhi orang lain. Sebagian besar prespektif
leadership memandang pemimpin sebagai sumber pengaruh. Pemimpin dalam
memimpin pada dasarnya mempengaruhi dan para pengikutnya mengikuti.
Kepemimpinan yaitu proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh
pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah,
pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan
hidayah dan pemberian petunjuk kebenaran. Kepemimpinan merupakan
tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman, yang artinya:

“dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya)


dan janji mereka, dan orang-orang yang memlihara sholatnya.” (QS.Al-
Mukminun; 8-9).
Kepemimpinan yang efektif harus memberikan pengarahan terhadap
usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Tanpa
kepemimpinan atau bimbingan, hubungan antara tujuan perseorangan dan
tujuan organisasi mungkin menjadi renggang (lemah). Keadaan ini
menimbulkan situasi dimana perseorangan bekerja untuk mencapai tujuan
pribadinya. Sementara itu keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam
pencapaian sasaran-sasarannya.
Kepemimpinan adalah pengaruh yang efektif. Kepemimpinan adalah
meyakinkan orang lain untuk memperbaiki minta-minta mereka sendiri dan dia
mau menerima tujuan-tujuan dari satu kelompok seperti miliknya sendiri.
Dengan demikian kepemimpinan dapat dikatakan sebagai peranan dan
juga suatu proses untuk mempengaruhi orang lain. Pemimpin adalah anggota
dari suatu perkumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat
bertindak sesuai dengan kedudukannya. Seorang pemimpin adalah juga

3
seesorang dalam suatu perkumpulan yang diharapkan dapat menggunakan
pengaruhnya untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok. Sehingga
dapatlah dikatakan bahwa seorang pemimpin yang jujur ialah seorang yang
memimpin dan bukan seorang yang menggunakan kedudukan untuk
memimpin.
Selain itu kepemimpinan juga adalah kemampuan untuk menjalankan
pekerjaan melalui orang lain dengan mendapatkan kepercayaan dan kerja sama.
Hampir semua aspek pekerjaan dipengaruhi dan tergantung pada
kepemimpinan. Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi efektivitas
kepemimpinan yang meliputi latar belakang pemimpin tersebut, pengalaman,
harapan terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, kecenderungan umum
industri dan norma-norma sosial.

B. Kepemimpinan Dalam Islam


Allah menjanjikan anugerah kepemimpinan bagi orang-orang yang
beriman, justru karena merekalah yang seharusnya memimpin yang dapat
mengurus umat dengan sebaik-baiknya. Orang-orang yang beriman berhak
menjadi pemimpin karena mereka memiliki dasar moral (akhlak yang dapat
memelihara amanah kepengurusan umat). Dengan dasar takwa kepada Allah
mereka dapat memutar roda pemerintahan dan memegang kendali
kepengurusan dengan baik dan bertanggung jawab.
Dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang
berarti wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah SAW sama artinya
yang terkandung dalam perkataan “amir” atau pengusaha. Oleh karena itu
kedua istilah dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pemimpin formal. Selain
kata khalifah disebut juga Ulil Amri yang satu akar dengan kata amir
sebagaimana di atas. Kata Ulil Amri berarti pemimpin tertinggi dalam
masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat
59 yang Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

4
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS.An-Nisa;59).
Setiap kepemimpinan selalu menggunakan power atau kekuatan.
Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain. Kemampuan pemimpin untuk membina hubungan
baik, komunikasi dan interaksi dengan para bawahan dan seluruh elemen
perusahaan. Kemampuan adalah persyaratan mutlak bagi seorang pemimpin
dalam membina komunikasi untuk menjalankan perusahaan sehingga akan
terjadi kesatuan pemahaman. Selain itu dengan kemampuan kepemimpinan
akan memungkinkan seseorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya
agar mereka mau menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dengan jujur,
amanah, ikhlas, dan profesional.
Dalam Islam sendiri di dalam sejarah mengalami pasang surut pada
sistem kepemimpinannya. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman
pemimpinnya terhadap masa depan mengenai bagaimana mengatur strategi
dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh umat dalam segala posisi
kehidupan untuk menentukan langkah sejarah. Untuk itu kepemimpinan
sangatlah mempengaruhi bagi kesejahteraan umat, apakah akan mencapai suatu
kejayaan atau bahkan suatu kemunduran. Karena bukan rahasia umum lagi
bahwa Islam pernah mencapai suatu masa kejayaan ketika abad-abad
perkembangan awal Islam.
Dalam Islam seseorang yang menjadi pemimpin haruslah memenuhi
enam persyaratan, yaitu:
1. Mempunyai kekuatan, kekuatan yang dimaksudkan disini adalah
kemampuan dan kapasitas serta kecerdasan dalam menunaikan tugas-tugas.
2. Amanah, yakni kejujuran, dan kontrol yang baik.
3. Adanya kepekaan nurani yang dengannya diukur hak-hak yang ada.
4. Profesional, hendaknya dia menunaikan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan padanya dengan tekun dan profesional.
5. Tidak mengambil kesempatan dari posisi atau jabatan yang sedang
didudukinya.
6. Menempatkan orang yang paling cocok dan pantas pada satu-satu jabatan.

C. Gaya Kepemimpinan Dalam Islam

5
Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak
gerik yang bagus kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Gaya
kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seseorang pemimpin,
baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Dalam islam
gaya kepemimpinan ialah sebagai berikut:
1. Pencari kegembiraan.
Mereka adalah orang-orang pengambil resiko ketika marah menjadi
agresif atau pasif, adalah pendiri atau pencipta, memiliki artikulasi verbal
dan banyak bicara, antusias, termotivasi dan lain sebagainya.
2. Pencari rinci atau detail.
Mereka menanyakan bagaimana, akan menanyakan detail secara
spesifik, mengukur kompetensi anda dengan seberapa banyak waktu yang
anda gunakan dalam proyek, sensitive dan akurat, perfeksionis,
berkonsentrasi pada detail, pengambil keputusan yang hati-hati.
3. Pencari hasil
Mereka bertanya tentang apa dan kapan, membuat pernyataan,
memberitahukan orang lain tentang apa yang harus dilakukan, tidak
mentolelir kesalahan, tidak memiliki perasaan pada orang lain,
menyepelekan saran dari orang lain, berani menghadapi resiko.
4. Pencari Keharmonisan
Mereka bertanya mengapa, mempertahankan hubungan, tipe
pembimbing atau tipe keibuan, memiliki masalah-masalah dunia,
konsentrasi pada tugas, pendengar yang baik, tak suka konflik interpersonal
takut akan ketidakamanan dan takut salah.

Berkaitan dengan gaya kepemimpinan diatas tentu yang terbaik


bilamana kita dapat mengikuti sunatullah, sebagaimana firman Allah SWT.
surat Al-Baqarah (2) ayat 119, yang artinya: “sesungguhnya kami telah
mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggung
jawaban) tentang penghuni-penghuni neraka”. (Al-Baqarah (2): 119).

D. Konsep Kepimimpinan Dalam Islam


Dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah. Kata
dasar khalifah pada dasarnya bermakna pengganti atau wakil. Pemakaian

6
khalifah setelah nabi Muhammad wafat terutama bagi keempat
Khulafaurrasyidin menyentuh juga maksud yang terkandung di dalam
perkataan amir (jamaknya umara) yang berarti penguasa. Imam dan khalifah
adalah dua istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pemimpin. Kata
imam terambil dari kata amma, yaummu, yang berarti menuju, menumpu dan
meneladani. Jika diperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang
pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat,
maka kita hanya akan menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai
sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan
mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata.
Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi,
prosesotoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi
baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori manajemen,
fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning and
decision maker), pengorganisasian (organization), kepemimpinan dan motivasi
(leading and motivation), pengawasan (controlling), dan lain lain.
Secara fakta historis tentang usaha-usaha Nabi dalam membentuk
masyarakat islami di Mekkah, Rasulullah menggunakan proses evolusi sosio
kultural. Nabi tidak langsung mengubah Mekkah secara cepat, tetapi secara
bertahap-tahap yang membutuhkan waktu yang lama yaitu 13 tahun pada
periode Mekkah, tahap kedua mengubah paradigm berpikir, dan selanjutnya
merubah pola gerakan yaitu setelah mempunyai kekuatan di Negeri Yastrib
(Madinah) selama 10 tahun.
Setelah berhijrah ke madinah, pembinaan kekuatan begitu efektif
mengubah segalanya. Semua potensi kekuatan penduduk madinah oleh nabi
dipersatukan dalam satu kesepakatan yang sering disebut Piagam Madinah.
Dari sekedar pemimpin agama ketika masih di Mekkah, setelah di kota
Madinah Nabi sekaligus tampil menjadi pemimpin negara. Konsolidasi
membuahkan sukses besar. Peperangan antara Nabi dan para penentangnya di
Mekkah selalu membuahkan hasil gemilang. Puncaknya adalah dengan
berhasil direbutnya Mekkah oleh Nabi dalam peristiwa yang disebut “Fathu
Mekkah”.

7
Pada peristiwa, yang boleh para penulis Barat sering disebut
“Revolusi Mekkah”ini, semua penentang Nabi diberi amnesti (pengampunan)
sehingga terjadilah konversi besar-besaran para penduduk Mekkah ke dalam
Islam tanpa sedikit pun terjadi insiden.
Seluruh Jazirah Arab berhasil masuk ke dalam pangkuan Islam pada
waktu Nabi Muhammad saw masih hidup dan memimpin kaum Muslimin yang
berbasis di Madinah. Sepeninggalnya, satu demi satu wilayah di luar Jazirah
Arab seperti Mesir, Syam (sebutanbagi Suriah ketika itu), Irak, Persia, dan
Palestina, yang menjadi bagian dari Persiadan Byzantium, tunduk ke dalam
pangkuaanya. Para pemimpin penerus Nabi bernama Khulafaur Rasyidin kian
mambuat wilayah Islam bertambah meluas. Bahkan, penguasa setelah mereka
berhasil menambah perluasan wilayah itu sampai ke Afrika Utara dandaratan
Eropa.
Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para
sahabatnya dalam membangun masyarakatnya mengundang kekaguman
banyak orang, terutama para penulis sejarah, baik dari Timur maupun Barat.
Bahkan, seorang penulis Barat bernama Michael H Hart pernah
mencengangkan dunia setelah menerbitkan bukunya yang berjudul Seratus
Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah di New York, Amerika Serikat.
Dikatakan mencengangkan karena secara tidak terduga, nama yang
ditempatkan sebagai tokoh peringkat pertama sebagai orang yang paling
berpengaruh dalam sejarah adalah Nabi Muhammad.
Menagapa Nabi Muhammad? Hart beragumen, “Karena saya percaya
Muhammad punya pengaruh pribadi lebih besar dalam hal pembinaan agama
Islam daripada Nabi Isa terhadap agama Kristen.” Lebih jauh, ia menulis,
“dialah Nabi Muhammad satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukse-
sukse luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup
duniawi.”
Marshall GS Hodgson dalam karyanya, The Venture of Islam, juga
menyatakan, “Muhammad telah menciptakan pemerintahan lokal yang baru
yang didirikan atas dasar pandangan kenabiannya. Namun, segera setelah itu,
pemerintahan tersebut mencapai dimensi internasional yang berjangkauan

8
jauh. Dengan cepat ia telah menjadi kekuatan yang bersaing di Arab bukan
hanya dengan kaum Quraisy, melainkan juga dengan Kekaisaran Byzantium
dan Kekaisaran Sassaniyah. Peperangan-peperangan telah menciptakan
Kekaisaran Arab. Ini merupakan prestasi-prestasi yang hebat sekali.”
Karen Armstrong, seorang penulis sejarah Islam kontemporer dan
mantan seorang biarawati. Dalam salah satu bukunya, ia pernah menulis,
“Muhammad adalah seorang manusia yang kompleks, penuh kasih, yang
kadang-kadang melakukan hal-hal yang sulit kita terima, tetapi memiliki
tatanan yang jenius dan besar, serta telah menemukan sebuah agama dan
tradisi budaya yang tidak didasarkan pada pedang. Dan nama “Islam”-nya
berarti kedamaian dan rekonsiliasi.” Dalam hal ini Yusuf Qardhawi
mengatakan, “Madinah merupakan basis negara Islam yang baru, yang di
kepalai oleh Rasulullah, maka beliau menjadi komandan dan pemimpin bagi
mereka sebagaimna sebagaimana Nabi dan Rasul Allah kepada mereka.”
At-Tabary dalam tafsirnya mengemukakan bahwa kata imam
mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja kata imam
digunakan untuk keteladanan. Karena ia diperoleh dari kata yang mengandung
arti depan, berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata belakang. Kita
dapat berkata bahwa Al-Qur’an menggunakan kedua istilah ini. Untuk
menggambarkan ciri seorang pemimpin, sekali di depan menjadi panutan atau
Ing ngarso sun tulodo dan dalam arti lain di belakang untuk mendorong
sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya,
atau tut wuri handayani. Rasulullah saw. bersabda tentang tangung jawab
pemimpin:
Ibn Umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah saw.
Bersabda;“setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung
jawaban atas ke-pemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggung jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara
rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya.
Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara
barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan

9
kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab)
dari hal hal yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist di atas di kuatkan lagi dalam al–Quran dalam surah Al-An’am
ayat 165. Allah berfirman yang artinya;
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaanNyadan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-An’am ayat 165.
Hadari Nawawi mengungkapkan bahwa dalam ayat di atas Allah
mensyaratkan bahwa pemimpin setiap manusia dalam masyarakat berbeda
tingkatannya menurut tingkatan keimanannya. Para pemimpin dituntut
kepemimpinanya di bawah ridha Allah serta bertanggung jawab dalam
mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, ketertiban dan
kesejahteraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

E. Ciri – Ciri Pemimpin


Pada dasarnya seorang pemimpin haruslah memiliki bobot
kepemimpinan dengan sifat-sifat positif dan kelebihan-kelebihan tertentu.
1. Beriman dan bertakwa (Q.S. 25 Al-Furqan: 72-74).
2. Kelebihan Jasmani (Q.S. 2 Al-Baqarah 247)
3. Terampil dan berpengetahuan (H.R. Bukhari)
4. Kelenihan Batin (Q.S. 3 Ali Imran 159.)
5. Keberanian (Q.S. 3 Ali Imran 173)
6. Adil dan Jujur (Q.S 4 An-nisa 53)
7. Bijaksana (Q.S. An-Nahl 38)
8. Demokratis (Q.S. 42 Asy Syura 38)
9. Penyantun (Q.S. 15 Al Hijr 88)
10. Paham Keadaan umat (H.R. Bukhari dan Muslim)
11. Ikhlas dan rela berkorban.
12. Qanaah (kesederhanaan).
13. Istiqomah (Q.S. 46 Al Ahqaf: 13)
14. Aqhlaqul karimah (sifat-sifat mulia)
Rasulullah SAW. dalam sabdanya menyatakan bahwa pemimpin suatu
kelompok adalah pelayan pada kelompok tersebut. Sehingga sebagai seorang
pemimpin hendaklah dapat dan mampu melayani serta menolak orang lain
untuk maju dengan ikhlas. Beberapa ciri penting yang menggambarkan
kepemimpinan islam adalah sebagai berikut:

10
1. Setia. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah
SWT.
2. Terikat pada tujuan. Seorang pemimpin ketika diberi amanah sebagai
pemimpin dalam melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan
kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup tujuan islam yang
lebih luas.
3. Menjunjung tinggi Syariah dan Akhlak Islam. Seorang pemimpin yang baik
bilamana ia merasa terikat dengan peraturan islam, dan boleh menjadi
pemimpin selama ia tidak menyimpang dari syariah. Waktu ia
melaksanakan tugasnya ia harus patuh kepada adab-adab islam, khususnya
ketika berhadapan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tidak
sepaham.
4. Memegang Teguh Amanah. Seorang pemimpin ketika menerima kekuasaan
menganggap sebagai amanah dari Allah SWT. yang disertai oleh tanggung
jawab. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk
Allah SWT dan selalu menunjukkan sikap baik kepada orang yang
dipimpinnya.
5. Tidak sombong. Menyadari bahwa diri kita ini adalah kecil, karena yang
besar dan Maha Besar hanya Allah SWT. sehingga hanya Allah-lah yang
boleh sombong. Sehingga kerendahan hati dalam memimpin merupakan
salah satu ciri kepemimpinan yang patut dikembangkan.
6. Dispilin, konsisten dan konsekuen. Merupakan ciri kepemimpinan dalam
islam dalam segala tindakan, perbuatan seorang pemimpin. Sebagai
perwujudan seorang pemimpin yang professional akan memegang teguh
terhadap janji, ucapan dan perbuatan yang dilakukan, karena ia menyadari
bahwa Allah SWT. mengetahui semua yang ia lakukan bagaimana pun ia
berusaha untuk menyembunyikannya.
F. Sifat-Sifat Pemimpin
Sebelum disebutkan sifat-sifat pemimpin, perlu disampaikan disini
apa yang pernah disampaikan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-
Syar’iyyah:“Setiap orang yang memegang satu urusan dari kaum muslimin,
baik yang telah disebutkan atau lainnya, wajib menempatkan orang-orang
yang paling baik (mampu) pada bidang tersebut pada bidang-bidang yang ada

11
di bawahnya.” Hal ini berdasarkan pada hadits riwayat Imam al-
Hakim:“Barang siapa memegang satu urusan kaum muslimin, kemudian ia
mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) padahal dia mendapatkan orang
yang lebih maslahat (untuk jabatan itu), maka berarti dia telah mengkhianati
Alloh dan Rasul-Nya”.
Mengenai sifat-sifat atau syarat-syarat pemimpin tertinggi umat Islam
banyak sekali uraian para ulama. Misalnya dapat disebutkan disini apa yang
disampaikan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya “al-Ahkamal-
Shulthaniyah” bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang adil, mampu
berijtihad, sehat jiwa dan sehat badan, mengutamakan kemaslahatan rakyat,
berani dan berjuang untuk memerangi lawan, dan berasal dari keturunan
Quraisy.
Sedangkan Imam Ghazali dalam kitabnya “al-Iqtishad fi al-I‟tiqad”
menulis syarat-syarat pemimpin sebagai berikut:
1. Mampu mengurusi keperluan orang banyak dan membawa mereka kepada
petunjuk ilahi.
2. Berilmu dan wara‟
3. Memenuhi syarat-syarat qadli.
4. Keturunan Quraisy.
Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa seorang pemimpin haruslah
seorang yang berilmu, adil, kecukupan, sehat jiwa dan badan yang
dapatmempengaruhi dalam berpikir dan berbuat. Mengenai syarat yang kelima,
yaitu berasal dari keturunan Quraisy, para ulama berbeda pendapat.
Kesemuanya itu merupakan syarat-syarat bagi pemimpin tertinggi
umat Islam. Demikian pula para pemimpin di bawahnya, tentunya juga
memiliki syarat-syarat semacam itu, tetapi tingkat di bawahnya ditambah
dengan keahlian masing-masing bidang.

G. Tugas-Tugas Para Pemimpin


Mereka yang mendapat anugrah “menguasai wilayah” diberiberbagai
tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat al-Hajj ayat 41:
“Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka
bumi, mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan
kepadayang ma‟ruf dan mencegah yang mungkar, dan kepada Alloh
kesudahansegala urusan (al-Hajj: 41)”.

12
”Mendirikan sholat” adalah lambang hubungan baik dengan Allah,
sedangkan “menunaikan zakat” adalah lambang perhatian yang ditujukan
kepada masyarakat lemah. “Amar ma‟ruf” mencakup segala macam kebajikan,
adat istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang nabi
„an al munkar adalah lawan dari amr ma‟ruf.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa dituntut
untuk selalu melakukan musyawaroh, yakni bertukar pikiran dengan siapa yang
dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua. Mereka juga dituntut
untuk memanfaatkan semua potensi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai
hasil maksimal yang diharapkan.

H. Bentuk – Bentuk Kepemimpinan Negara Menurut Islam


Negara merupakan satu perangkat instrumental bagi pelaksanaan tata
pemerintahan. Hal ini telah disadari oleh umat Islam, tatkala Islam mulai
mengalami perkembangan, baik itu dalam hal jumlah kaum Muslimin maupun
pada sektor wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas. Hal tersebut cukup
memberi satu alasan penting untuk menumbuhkan kesadaran dikalangan umat
Islam tentang perlunya penataan sistem ketatanegaraan yang lebih rapih dan
terkordinasi.
Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang
menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai
satu-satunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap
rancangan tersebut. Konsep ini telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW,
sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik
Ketatanegaraan. Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan
landasan sebuah negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam pada masa
pemerintahan Islam waktu itu.
Kata Negara merupakan pemakaian istilah dari ketata bahasaan
Indonesia yang memiliki arti: pertama, organisasi disuatu wilayah yang
mempunyai kekusaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh seluruh rakyat; kedua,
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif,

13
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.
Sementara itu istilah ‘negara’ dalam ilmu politik dapat berarti agency
(alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat. Secara ringkas negara adalah suatu wilayah yang didalamnya
terdapat kesatuan penduduk yang diperintah oleh sekelompok orang
(yang berkuasa) untuk mencapai suatu kedaulatan. Sedangkan dalam khasanah
keilmuan Islam, definisi istilah ‘negara’ dapat diartikan sebagai; Daulah,
Khilafah, Hukumah, Imamah dan Kesultanan.
1. Daulah
Istilah Daulah berasal dari bahasa Arab ‘daulah’ yang memilki
makna: bergilir, beredar, dan berputar (rotate, alternate, take turns, or
accurriodically). Kata ini dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang
menetap pada wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan
yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan. Artinya bahwa, kekuasaan
yang ada dalam sistem ‘daulah’ disini, berjalan secara bergilir, sesuai
dengan keinginan dan kehendak rakyat sebagai penentu (yang berkehendak)
dalam memberikan kepercayaan kepada penguasa, untuk menjalankan roda
pemerintahan. Jadi rakyat dalam hal ini berada “di dalam” mekanisme
kontrol terhadap kinerja yang dilakukan pemerintah (penguasa).
Menurut Olaf Schumann, istilah Daulah dapat diartikan sebagai
“dinasti” atau “Wangsa” yang berarti suatu sistem kekuasaan yang
berpuncak pada seorang pribadi yang didukung oleh keluarganya atau clan-
nya. Jelas, dalam konsep ini, kekuasaan pemerintahan telah dipegang oleh
sekelompok clan yang telah berkuasa secara turun temurun yang dalam
konteks modern, istilah ini diartikan sebagai sebuah konsep negara dan
konsep utama dikalangan diskursus Islamis kontemporer.
Sebaliknya, Azra mengatakan bahwa daulah tidak sama dengan
konsep kedaulatan (soveregnity) atau bukan negara (Nation State) dalam
pengertian modern. Kedua pendapat ini, tentunya memiliki perbedaan
terhadap konteks yang hendak dituju. Pendapat pertama ingin menunjukkan

14
bahwa daulah mempunyai persamaan dengan definisi negara atau bangsa
(nation state).
Sedangkan Azumardi Azra mengartikan daulah sebagai kerajaan
Islam di nusantara, merupakan kekuatan mutlak raja (penguasa) yang
bersumber dari kualitas sakral sang raja dengan kekuatan ghaib yang
menjaganya dan dengan keabadian kekuasaannya. Dalam khasanah
keilmuan Islam, istilah ini untuk pertama kalinya digunakan dalam politik
Islam ketika kekhalifahan dinasti ’Abbasiyah memimpin kekuasaan
pemerintahan pada pertengahan abad kedelapan. Pada masa tersebut, kata
Daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan,
dan dinasti.
Lebih lanjut, M. Din Samsuddin menyebutkan bahwa berpangkal
pada penisbatannya dengan kekuasaan Abbasiyah serta kemudian
Utsmaniyyah, maka kata Daulah mengalami transformasi makna menjadi
“negara” atau “kekuasaan Negara.” Sehingga untuk menunjukkan konsep
negara atau negara-bangsa, pemikiran politik Islam mengajukan kata
Daulah, seperti yang terdapat dalam istilah din wa daulah yang mempunyai
arti “agama dan Negara.”

2. Khilafah
Didalam sejarah pemerintahan Islam, istilah ini muncul setelah
pemerintahan kenabian dengan wafatnya beliau pada tahun 632 M. Istilah
khilafah ini mengandung arti “perwakilan”, “penggantian” atau “jabatan
khalifah.” Istilah ini berasal dari behasa Arab, “khalf” yang berarti “wakil”,
“pengganti”, dan “penguasa.”
Lain halnya dengan perspektif politik Sunni, khilafah menurut
mereka didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan
pemberian legitimasi (bay’ah). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin
Islam, cara yang digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang
ditetapkan oleh elit politik. Setelah itu baru dibai’ah oleh rakyatnya
demikian, menurut Harun Nasution, bukanlah dalam artian suatu bentuk

15
kerajaan, tetapi lebih cenderung pada republik. Dalam arti, seorang kepala
negara dipilih dan tidak tetap mempunyai sifat turun-temurun.
Sedangkan menurut Bernard Lewis, istilah khalifa muncul untuk
pertama kalinya di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6
Masehi. Pada waktu itu kata Khalifa ditujukan kepada raja muda atau letnan
yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada ditempat lain.
Dalam Islam sendiri, istilah ini telah digunakan ketika Abu Bakar diangkat
menjadi khalifah pertama Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW.Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakar menyebut dirinya sebagai
Khalifah Rasul Allah”, dalam pengertian “Pengganti Rasulullah.” Karena
itu, penggunaan istilah Khalifah erat hubungannya dengan tugas kenabian
yang tujuannya meneruskan misi-misi Rasul, sebagai salah satu syi’ar
dakwah
Sejauh ini terdapat tiga teori tentang dasar-dasar pembentukan
khilafah. Pertama, pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan
Syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli Fiqh Sunni, antara lain, Abu
Hasan Al-Ashari, berpendapat bahwa khilafah itu wajib, karena wahyu dan
Ijma’ para sahabat. Pendapat Kedua, antara lain dikemukakan oleh al-
Mawardi mengatakan bahwa mendirikan khilafah hukumnya farhu kifayah
atau wajib kolektif berdasarkan Ijma.’ Ketiga, adalah pendapat kaum
Mu’tazillah mengatakan bahwa, pembentukan khilafah ini memang wajib
tetapi dengan pertimbangan akal.
Pada fase selanjutnya, konsep khilafah ini memiliki perluasan makna
yang akhirnya menjadi kontroversi di sebagian pemikir-pemikir Muslim
pada waktu itu. Pendapat ini mengataan bahwa, Islam itu tidak ada
kaitannya sedikitpun dengan kekhilafahan, artinya kehilafahan itu bukanlah
satu sistem yang Islamis, atau bercorak keagamaan sampai dengan
kekhilafahan al-Khulafa al-Rashidin. Ia hanyalah sistem duniawiah yang
sepenuhnya berbeda dan bertentangan dengan agama, serta memiliki tujuan-
tujuan yang bersifat duniawiah untuk mempertahankan kerajaan,
penaklukan dan kolonialisasi, serta sama sekali bukanlah bertujuan
merealisasikan tujuan-tujuan agama. Inilah yang menjadi tarik ulur

16
dikalangan cendekiawan Muslim saat itu. Propaganda-propaganda ganjil
dan aneh itu ternyata terlahir dari seorang Non-Muslim. Jadi sudah hampir
dapat dipastikan pokok-pokok pikiran yang ada didalamnya benar-benar
bertentangan dengan pandangan seluruh ulama Islam sejak awal sampai saat
ini. Hal itu disebabkan karena seiring dengan wafatnya Rasulullah, maka
tidak bisa tidak harus ada seseorang yang menggantikannya sebagai seorang
pemimpin dan mengemban amanatnya dalam memelihara agama,
memelihara kelestariannya, melaksanakan syri’at-nya, melindungi umatnya,
dan menyampaikan risalahnya sampai keseluruh dunia.
3. Hukumah
Secara terminolgi, istilah hukumah bermakna “pemerintah”. Istilah
ini tidak sama dengan istilah daulah (negara). Selain itu dalam uraian beliau
selanjutnya, istilah ini juga berbeda dengan konsep khilafah dan Imamah.
Sebab kedua konsep ini, seperti telah dijelaskan diatas, lebih berhubungan
dengan format politik dan kekuasan. Sedangkan hukumah lebih
berhubungan dengan sistem pemerintahan yang akan dijalankan.
Menurut Bernard Lewis, kata tersebut beberapa waktu yang lalu saja
digunakan dalam pengertian “pemerintahan”, yaitu kira-kira pada abad ke-
19. Lebih lanjut, menurut Lewis, kata hukuma sendiri telah digunalkan sejak
masa kuno. Akar kata h-k-m dalam bahasa Arab dan bahasa semit lainnya
mengungkapakan gagasan-gagasan pokok yang saling berkaitan, yaitu
pengadilan dan kebijaksanaan. Pada masa abad pertengahan, melalui
perkembangan yang alamiah sifatnya, ruang lingkup arti dari akar kata itu
dari berbagai turunannya diperluas sehingga mencakup wewenang politik
serta hukum, dan hukuma acapkali digunakan untuk menunjukkan jabatan
atau fungsi kegubernuran, atau bahkan ruang lingkup masa jabatan seorang
gubernur. Dalam bahasa Muhammad Said al-Ashmawy, hukuma berkenaan
dengan administrasi masalah publik, khususnya urusan eksekutif. Dalam
konteks ini, urusan hukumah mengandung teori yang disampaikan oleh
ideology Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb yang dikenal dengan teori
hakimiyah, yaitu: teori tentang kekuasaan dan kedaulatan ilahi (divine
sovereignity).

17
Menurut Said Agil, konsep negara seperti hakimiyyah merupakan
produk dari pemahaman yang sangat harfiah terhadap al-Qur’an, Konsepsi
tersebut menuntut adanya suatu pemerintahan Ilahi, yang dalam format
kelembagaan negara akan berbentuk negara teokratis.
4. Imamah
Di samping istilah diatas, kata imamah juga sering dipergunakan
dalam menyebutkan maksud ‘negara’ dalam kajian keislaman. Munawir
Sjadzali, dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa imam
adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Dengan demikian, menurut
Munawir, Mawardi memberikan juga bagi agama kepada jabatan kepala
negara disamping payung politik.
Adapaun Taqiyyudin an-Nabhani menyamakan antara imamah
dengan khilafah. Karena menurutnya, khilafah adalah kepemimpinan umum
bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
Syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
Sebagai mana telah diketahui bahwa konsep pemikiran tentang imamah ini
lebih banyak berkembang dikalangan Syi’ah daripada dalam lingkungan
Sunni. Disini dijelaskan bahwa dalam lingkungan Syi’ah, Imama
mnekankan dua rukun, yaitu: kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian
‘ismah. Istilah ini untuk pertama kali dalam pemikiran politik islam muncul
setelah Nabi wafat pada tahun 632 M.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini berkembang menjadi
pemimpin dalam shalat, dan dari sana kemudian berkembang menjadi
pemimpin religiopolitik (religious-politik leadership) seluruh komunitas
muslim, dengan mengemban tugas seperti yang telah ditetapkan dalam
Syari’at islam yang diembankan kepadanya, yaitu pemimpin komunitas
tersebut dan memenuhi perintah-perintah-Nya.
5. Kesultanan
Istilah kesultanan sebenarnya bukan lagi merupakan istilah baru
dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Kata ini, menurut Lewis,
berkalikali ditemukan dalam Al-Qur’an dengan arti “kekuasaan”, “bukti”,
dan yang lebih khusus lagi istilah ini dapat berarti “kekuasaan yang efektif”.

18
Lebih lanjut, Lewis mengatakan bahwa seorang penulis dari scribal,
‘Abdul Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum
menggunakan istilah sultan untuk “pengatur” atau “pemerintah.” Di
Indonesia sendiri penggunaan istilah kesultanan ini sering digunakan oleh
raja-raja Islam yang memerintah di Nusantara. Ketika seorang raja telah
memeluk agama Islam, maka kata sultan dipakai dibelakang namanya.
Karena itu tidak mengherankan jika pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan
Islam, seperti Samudera Pasai misalnya, banyak gelar yang digunakan oleh
penguasa-penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub
yang berjaya di Timur Tengah sepanjang abad-abad XII.
Dari uraian-uraian yang telah di paparkan diatas, tampak bahwa
penggunaan istilah “negara” dalam sejarah perkembangannya, telah banyak
digunakan dikalangan umat Islam, dengan berbagai macam corak, baik di
Indonesia maupun didunia Islam lainnya. Hal ini mengindikasikan
bahwasanya konsep “Negara Islam” sebenarnya telah mendapat sebuah
legitimasi oleh pemimpin-pemimpin umat dalam berbagai bentuknya, serta
menepis anggapan yang mengatakan bahwa Negara Islam tidak ada dalam
khasanah keilmuan Islam. Meskipun secara de jure tidak ada istilah Negara
Islam ataupun konsep tentang Negara itu sendiri, namun perlu diingat
bahwa Islam telah mengenal sejumlah istilah yang sinonim dengan negara,
seperti yang telah diterangkan diatas. Sehinggga fakta inilah yang menepis
anggapan yang mengatakan bahwa Islam tidak mengenal istilah negara
ataupun konsep Negara Islam, seperti yang sering dipropagandakan oleh
sebagian kaum Liberalis.

I. Kriteria Pemimpin Ideal


Sebuah hal yang lumrah ketika seseorang menjadi pemimpin atau
kepala negara mempunyai suatu keinginan menguasai segala hal. Hal ini
menurut al-Ghazali merupakan suatu penyakit dan harus segera diobati, karena
ini akan menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat dan negara, bahkan akan

19
mengancam kedamaian dunia. Penyakit yang akan menghampiri para kepala
negara adalah nafsu ingin berkuasa. Hal ini timbul ketika dirinya (kepala
negara) merasa maha kuasa.
Al-Ghazali membagi empat macam keinginan atau nafsu untuk
berkuasa. Pertama, ingin kebesaran penaklukan, yaitu keinginan hendak
menjadi besar dan menaklukkan, baik dengan ilmu pengetahuan maupun
dengan kekuatan. Kedua, nafsu berkuasa, yaitu keinginan hendak menguasai
dan menundukkan orang lain di bawah kekuasaannya. Ketiga, nafsu hak
pengistimewaan. Suatu keinginan supaya dianggap dan mempunyai hak-hak
istimewa di dalam segala hal. Keempat, adalah nafsu maha kuasa, yaitu
berkeinginan untuk menguasai segalanya atau segalanya di bawah
kekuasaannya.
Empat hal di atas menurut al-Ghazali adalah suatu ancaman yang akan
menghampiri bagi moral para kepala negara atau pemegang kekuasaan yang
berakibat menjadikan mereka otoriter dan totaliter. Seorang kepala negara akan
maksimal dalam memimpin suatu pemerintahannya bila dibantu oleh menteri
yang cerdas, jujur teguh dan dapat dipercaya dan pandai mengatur urusan
negara, beserta saran yang telah diberikan oleh kepala negara. Seorang kepala
negara dalam bekerja dengan para menterinya harus memperhatikan beberapa
hal: Pertama, jika terlihat kesalahan dan kekhilafan dari sang menteri, maka ia
tidak boleh langsung menindaknya. Kedua, jika sang kepala negara merasa
puas dengan pelayanan yang diberikan sang menteri dan ia telah bekerja secara
maksimal dalam pemerintahannya, maka harta dan kekayaannya tidak boleh
diungkit-ungkit. Ketiga, jika ia mengajukan sebuah permohonan, maka sang
kepala negara mesti segera memenuhinya, dan tidak boleh menunda-nundanya.
Ada tiga hal juga yang harus dicegah untuk para menteri. Pertama,
jika menterinya senang melihat kepala negaranya, maka sang kepala negara
tidak boleh melarangnya. Kedua, seorang kepala negara tidak boleh
memperdengarkan kepada menterinya kata-kata yang dapat merusak. Ketiga,
seorang kepala negara tidak boleh menyimpan rahasia kepada menterinya,
karena menteri yang saleh dapat menjaga rahasia kepala negara, dan cakap

20
dalam mengatur segala urusan negara, membangun wilayah, meningkatkan
income dan keindahan negara, serta meningkatkan wibawa dan pengaruh.
Seorang kepala negara mesti menyadari bahwa kekalnya sebuah
kekuasaan adalah karena menteri, sedangkan kekalnya dunia karena ada kepala
negara. Ia juga tak selayaknya memberikan perhatian pada hal-hal di luar
kebaikan. Ia menyadari bahwa suatu yang pertama sekali diperlukan manusia
adalah pemimpin atau kepala negara.
Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang kepala negara yang baik
dalam proses kepemimpinannya harus lah berjalan mulus. Dalam kitab Al-Tibr
al- Masbuk fi Nashihat al-Muluk dengan mengangkat dialog raja Bahram
dengan rakyatnya. Raja Bahram pernah ditanya, "Berapa hal yang diperlukan
seorang penguasa sehingga kepemimpinannya menjadi sempurna dan negara
pun maju dan sejahtera?" Jawabnya, "Seorang penguasa memerlukan enam
hal sebagai partner”. Pertama, menteri yang soleh, agar sang raja dapat
menjelaskan sesuatu yang rahasia. Kedua, merenungkan pendapatnya serta
mengatur Negara bersamanya. Ketiga, Kuda yang bagus yang dapat
menyelamatkannya dalam keadaan genting. Keempat, pedang yang tajam dan
senjata yang ampuh. Kelima, istri baik (cantik) yang dapat menyenangkan
hatinya dan menghilangkan kesusahannya. Keenam, juru masak (koki) yang
bijaksana ialah seorang yang jika memegang sesuatu ia dapat mengaturnya
dengan baik. Dalam kitab ini al-Ghazali juga mengutip buku dari pesan-pesan
Aristoteles "Segala persoalan yang diselesaikan melalui tangan orang lain
tanpa kekerasan dan pertempuran, masih lebih baik dibanding persoalan dan
dapat kamu selesaikan sendiri dengan kekerasan.
Para menteri dalam menjalankan tugas mesti mengikuti urutan (tartib)
pertimbangan berikut: Pertama, jika mereka memungkinkan melakukan perang
bukan dengan senjata, tetapi dengan ide dan pemikiran, maka mereka mesti
melakukan perang dalam bentuk ini. Kedua, jika mereka mengalami kesulitan
dalam menangani pelbagai persoalan dengan khilafah dan pengaturan tertentu,
maka mereka mesti mencari terobosan dan khilafah lain, misalnya, dengan
memberikan dana (harta), kenang-kenangan, dan hadiah. Ketiga, jika seorang
pasukan lari dari medan juang, maka mereka mesti memberi maaf kepada

21
satuan perang tersebut. Mereka tidak boleh tergesa-gesa membunuh prajurit itu.
Sebab melakukan pembunuhan terhadap orang hidup sangatlah mudah, sedang
menghidupkan orang-orang yang sudah mati merupakan suatu kemustahilan.
Dan manusia disebut manusia sesungguhnya, manakala ia telah mencapai usia
40 tahun. Dan dari setiap seratus orang akan ada seorang yang dapat
memberikan pengkhidmatan kepada raja dengan baik. Keempat, jika seorang
pasukan perang tertawan tentara musuh, maka seorang menteri mesti menebus
atau membelinya agar semua prajurit mendengar apa yang ia lakukan, sehingga
mempertebal keberanian dan semangat juang mereka dalam bertempur. Ia
harus pula memperhatikan kesejahteraan pasukan perang, dan setiap orang
mesti dihargai sesuai dengan pangkat dan kadarnya.
Seorang pemimpin (kepala Negara) memiliki tugas dan tanggung
jawab yang berat dan mulia. Oleh karena itu seorang pemimpin (kepala
Negara) menurut al-Ghazali harus memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Tanggung jawab. Hal yang harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah
batas dan kadar kekuasaan serta menyadari kemungkinan buruk kekuasaan
untuk sesegera mungkin mengevaluasi.
2. Menerima pesan ulama. Seorang pimpinan mesti senang bergaul dengan
para ulama' dan menerima nasehat mereka. Tapi ia perlu waspada akan
ulama' alsu' (ulama' culas), yang hanya menginginkan kekayaan duniawi.
3. Berlaku baik kepada bawahan. Secara garis besar dapat dikemukakan di
sini bahwa seorang pimpinan (kepala negara) yang punya minat dan tekad
untuk menegakkan keadilan, ia mesti mengatur dan mengarahkan para
petugas dan pegawainya kepada keadilan. Ia mesti menjaga mengawasi
keadaan mereka, keluarga dan anak-anak mereka, juga rumah dan tempat
kediaman. Namun pengawasan ini tidak akan efektif, kecuali sang
pimpinan telah lebih dulu berlaku adil dan memelihara dirinya. Misalnya,
tekanan emosi dan amarahnya tidak mengalahkan rasionalitas dan
agamanya. Demikian pula rasionalitas dan agamanya tidak tunduk kepada
emosi dan amarahnya, akan tetapi emosi dan amarahnya tunduk pada rasio
dan agama.

22
4. Rendah hati dan penyantun. Janganlah berhati takabur dan bersikap
sombong. Kepala negara haruslah merasakan dirinya sama dengan para
rakyat biasa di dalam segala hal.
5. Tidak mementingkan diri sendiri. Segala persoalan dan kejadian akan
dilaporkan kepada anda. Menanggapi hal ini, anda mesti mengandaikan
diri anda sebagai salah seorang rakyat biasa dan orang lain sebagai
pemimpin anda. Segala hal yang tidak anda sukai untuk diri anda sendiri,
maka ia juga tidak disukai oleh seorang pun dari kalangan umat islam. Jika
anda menyukai sesuatu untuk mereka yang tidak anda sukai untuk anda
sendiri, sungguh anda telah berkhianat dan menipu rakyat anda.
6. Loyalitas tinggi. Tidak sepatutnya baginda mencemooh orang-orang yang
menunggu di depan pintu baginda untuk suatu keperluan. Waspadalah anda
dari kemungkinan buruk ini. Jika seorang telah datang kepada anda untuk
suatu kepentingan, maka janganlah anda menyibukkan diri dengan ibadah
ibadah sunnah sebab memenuhi kebutuhan dan kepentingan umat islam
jauh lebih utama dibanding ibadah sunnah.
7. Hidup sederhana. Seorang kepala negara harus dapat mengendalikan
dorongan hawa nafsu seperti mengenakan pakaian mewah dan makanan
yang lezat-lezat. Semesti bersikap qona’ah (menerima apa adanya) dalam
segala hal. Karena tidak ada keadilan tanpa sifat qonaah.
8. Lemah lembut. Jauhilah sifat-sifat yang kasar dan keras, selama sifat lunak
lembut dan bijaksana masih dapat di lakukan.
9. Cinta rakyat. Hendaklah kepala negra berusaha untuk membuat rakyat
senang dan rela, sesuai dengan tuntutan dan kehendak agama. Nabi pernah
bersabda kepada sahabatnya: "sebaik-baik umatku adalah orang-orang
yang mencintaimu dan kau pun mencintai mereka. Dan seburuk-buruk
umatku adalah orang-orang yang membenci kalian, dan kalian pun
membenci mereka. Mereka mengutuk kalian dan kalian pun turut
mengutuk mereka".
10. Tulus dan ikhlas. Setiap penguasa dilarang mencari kesenangan seseorang
dengan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebab
seseorang yang benci atau murka karena ada sesuatu yang berlawanan
dengan syara', maka kemurkaannya tidak dipandang bahaya. Umar ibnu

23
khattab pernah berkata, "suatu hari, hampir separuh penduduk berada
dalam kebencian. Dan tentu saja orang yang dituntut untuk menyerahkan
hak orang lain darinya akan murka, sementara dalam satu kasus tidak
mungkin memenangkan kedua-duanya (kedua belah pihak yang sedang
terlibat sengketa). Orang yang paling bodoh adalah orang yang
meninggalkan ridha allah, hanya karena mencari ridha manusia”.
Suatu hal yang luar biasa apa yang diidealkan oleh al-Ghazali dalam
menata sistem pemerintahan, tampaklah bahwa segala bentuk corak kekuasaan
mestinya bertumpu pada ajaran yang sangat fundamental, yaitu terwujudnya
keadilan selaras dengan kualitas moral yang baik bagi seorang pemimpinnya,
tetapi apakah adil dan moral pemimpin yang baik itu? Maka dikatakan bahwa;
yang adil dan moral pemimpin yang baik itu kemuliaan agama, juga buat
pemimpin dan kebijaksanaan sekalian manusia. Karena adil adalah hikmah dari
Allah dan perbuatan adil dari penguasa adalah suatu hal yang didambakan oleh
seluruh rakyatnya. Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan
ditentukan oleh perbuatan dan keinginan murni untuk menciptakan keadilan
dari sang pemimpin. Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan
kekuasaan itu tidak ada. Yang ada hanyalah tirani.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepimimpinan merupakan proses mempengauhi atau memberi contoh
oleh pemimpin kepada para pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan
organisasi. Seorang pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang dapat
mengarahkan pengikutnya kepada jalan yang benar yaitu jalan Allah SWT.
Dalam memilih seorang pemimpin, hendaknya pilihlah yang mempunyai
kekuatan, ketaatan dalam beribadah, dan dapat dipercaya serta memiliki ciri-
ciri seorang pemimpin yang baik menurut islam.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 2016. Kepemimpinan dalam Perspektif Islam. Ilmu Ushuluddin. Vol 3,


No 1

Diana, W, S. 2017. Kepemimpinan Dalam Masyarakat Islam.


http://dianaws12.blogspot.com/2017/04/kepemimpinan-dalam-masyarakat-
islam.html?m=1 Diakses 21 November 2018

Dra.Tuti Munfaridah, M.S.I. Kepemimpinan Dalam Islam (Analisa pemikiran al-


Ghazali)

25
Ma'ruf, H. 2017. Makalah Konsep Kepemimpinan Dalam Islam.
https://makalahkalian.blogspot.com/2017/01/makalah-konsep-
kepemimpinan-dalam-islam.html?m=1 Diakses 21 November 2018

Masniati. 2015. Kepemimpinan Dalam Islam. Jurnal Al-Qadāu. Vol. 2, No. 1

Sakdiah. 2016. Karakteristik Kepemimpinan Dalam Islam (Kajian Historis


Filosofis) Sifat-Sifat Rasulullah. Jurnal Al-Bayan, vol.22 No.33

Sidiq, U. 2014. Kepemimpinan Dalam Islam: Kajian Tematik Dalam Al-Quran


Dan Hadits. Dialogia, Vol. 12, No. 1

Subhan, M. 2013. Kepemimpinan Islami Dalam Peningkatan Mutu Lembaga


Pendidikan Islam. Tadris. Vol. 8, No. 1

26

Anda mungkin juga menyukai