ASMA
Oleh:
Preseptor:
PADANG
2016
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan
sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif
dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episodik
ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai
oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap
stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang(4).
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi
IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada
malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya(5).
1
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
2
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1):
Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit yang
terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada
kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih
merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR
merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel
yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen)
yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31(1).
3
2.2 Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)
* Serangan singkat
II. Persisten
Ringan
Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
mengganggu aktiviti
dan tidur
III. Persisten
Sedang
Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1 60-80% nilai
seminggu prediksi
* Serangan mengganggu
APE 60-80% nilai terbaik
aktiviti dan tidur
* Variabiliti APE > 30%
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
4
IV. Persisten
Berat
Kontinyu APE 60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai prediksi
Serangan singkat
5
Tahap III: Persisten Sedang
Serangan sering
6
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE > 80% 60 – 80% < 60%
PaO2 > 80 mHg 80-60 < 60 mmHg
mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91 – 95% < 90%
2.3 Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada
asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe
cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
INFLAMASI KRONIK
7
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit
T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara
lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke
arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5
serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel
epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide
synthase, sitokin atau khemokin.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain
IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF.
Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
8
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin
antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag
dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin.
Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling.
9
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal
dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat
dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan
penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang
dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
10
Gambar 5. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
11
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan
saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu
mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk
bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian
dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar
tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya
compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan
interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak
optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas(9).
12
bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan
fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten.
Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas,
kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil
elastis(9).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama
seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat
memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran
nafas(9).
2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batruk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
13
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya
umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak
yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi
paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan
dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka
panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3)(11,12). Tujuan tatalaksana asma anak secara
umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai
dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah(10) :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain
dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada
PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan
tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
14
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat
pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila tujuan telah
tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan – pelan (step
down)(10).
Syarat step up (13):
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.
15
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas
vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast(12).
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan
hipertensi(12).
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung
dan CNS(12).
β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval
20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai
dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
16
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 –
0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena
efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada
serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian
oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14)
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam(12).
17
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6
tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau
rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma
jangka panjang pada anak(12).
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.(14)
18
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation
receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek
samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan
pada gigi dan mulut.
19
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi
salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus,
meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat
memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran
turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.
Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi
Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan
pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
20
Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau
menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
3.7.3. Prevensi dan Intervensi Dini(13)
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara
hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk
anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen
21
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : MJ
Usia : 14 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 23 November 2002
Tanggal di rawat : 6 November 2016
Alamat : Perumahan
Identitas orangtua
Nama : Ayah : Tn. R
Ibu : Ny.TM
Umur : Ayah : 49 tahun.
Ibu : 51 tahun.
Alamat : Perumnas Indarung, Lubuk Kilangan Padang.
Pendidikan terakhir : Ayah : S1
Ibu : S2
Pekerjaan : Ayah : PNS
Ibu : Ibu rumah tangga.
Anamnesis
Alloanamnesis: ibu kandung.
Keluhan utama:
Semakin bertambah sesak sejak 5 jam yang lalu
Riwayat penyakit sekarang:
- Batuk berdahak sejak 4 hari yang lalu, tidak disertai pilek
- Sesak nafas sejak ±12 jam yang lalu, berbunyi menciut, dipengaruhi oleh cahaya dan
makanan
- Sesak semakin bertambah sejak ±5 jam yang lalu. Anak hanya mampu mengucapkan 1-2
kata dan duduk bertopang lengan
- Demam tidak ada, muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada
22
- Riwayat biring susu, alergi makanan atau bersin-bersin di pagi hari tidak ada
- Buang air kecil jumlah dan warna biasa
- BAB jumlah dan konsistensi biasa
- Pasien dirawat dua minggu yang lalu selama dua hari di bangsal anak RSUP dr. M.
Djamil Padang karena Asma. Obat yang diberikan saat pulang Prednison 3x7.5 mg PO
dan ambroxol 3x1 tab
Riwayat Penyakit Dahulu
- Anak telah dikenal asma sejak usia 9 bulan, didiagnosis oleh dokter spesialis anak.
Serangan asma hampir setiap hari dan menganggu aktivitas. Setiap serangan, anak
melakukan nebulisasi sendiri di rumah dengan ventolin 1/3x1/2 respul/kali. Anak
menggunakan sendiri nebulizer sejak usia 5 tahun di rumah.
- Riwayat mendapat obat controller (Seretide) 1.5 tahun yang lalu dari Sp.A, digunakan
selama 6 bulan. Sejak 1 tahun yang lalu, pasien tidak menggunakan obat controller
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Kelahiran
Anak ke 4 dari 4 bersaudara, lahir spontan, ditolong dokter, kehamilan cukup bulan, BBL
2700 g dan PBL 45 cm, langsung menangis.
Riwayat Imunisasi
Bayi
23
Nasi tim : Umur 8 bulan
Nasi lunak : Umur 12 bulan
Nasi biasa : Umur 14 bulan – sekarang
Anak
BB : 45 kg
TB : 153 cm
BB/TB : 107.14%
Status Gizi : Gizi baik
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 12 bulan
Riwayat Lingkungan
Rumah : Permanen
Sumber air minum : Sumur
Jamban : Di dalam rumah
Pekarangan : Ada, luas
Sampah : Dibuang ke tempat sampah
Kesan : Hygene dan sanitasi lingkungan baik.
24
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran : Sadar
Suhu : 37ºC
Berat badan : 45 kg
BB/U : 93.75%%
TB/U : 95.03%%
BB/TB : 107.14%
25
Hidung : nafas cuping hidung ada
Thorak :
Paru
Perkusi : sonor
Jantung
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri pada LMCS RIC V
Abdomen
Perkusi : Timpani
Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik, refleks fisiologis +/+ refleks patologis-/-
Edema (-/-)
26
Pemeriksaan laboratorium
Darah :
HB 14,1 g/dL
HT 43 %
Trombosit 446.000/ mm3
Leukosit 14.090/mm3
Diff. Count 0/11/0/49/37/3
Kesan : Leukositosis
dengan Eosinofilia dan
trombositosis
Diagnosis Kerja
Tatalaksana
O2 2l/I (nasal)
Dexametason 2 amp
Prognosis
27
Quo ad sanationam : dubia ad Bonam
Follow Up
S/ Anak masih tampak sesak napas, drip Muntah tidak ada, demam tidak ada
aminofilin selama 6 jam masih diberikan
BAK ada
O/
P/ O2 2L/menit
Nebulisasi aminofilin
Terapi dilanjutkan
28
Follow up
Demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah dan perdarahan tidak ada
O/
P/ O2 2L/menit
Terapi dilanjutkan
BAB 3
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 4 tahun di bangsal anak RSUD
Adnaan WD Payaumbuh. Pasien mengalami sesak napas yang makin bertambah sejak ±4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas sudah dirasakan sejak ±12 jam yang lalu, berbunyi
menciut, dipengaruhi oleh cuca, debu dan makanan (coklat). Anak hanya mampu
mengucapkan 1-2 kata dan duduk bertopang lengan. Dari gejala tersebut kemungkinan pasien
mengalami asma serangan berat.
Pasien juga mengeluhkan batuk kering tapi tidak disertai pilek, sejak 1 hari yang lalu.
Pasien tidak ada demam oleh karena itu kemungkinan penyakit bronkopnemonia pada pasien
dapat disingkirkan. Pasien juga tidak mengeluhkan sembah pada wajah ataupun tungkai,
sehingga kemungkinan dekompensasi kordis dapat dihilangkan.
Anak telah dikenal asma sejak usia 12 bulan, didiagnosis oleh dokter spesialis anak.
Riwayat mendapat obat hirup ada tetapi orang tua pasien lupa obatnya digunakan hanya
selama 6 bulan. Serangan asma hampir setiap hari dan menganggu aktivitas. Setiap serangan,
anak berobat ke IGD. Sejak 1 tahun yang lalu, pasien tidak menggunakan obat controller.
Ketidakpatuhan penggunaan obat controller tersebut yang diduga dapat menyebabkan
serangan asma yang sering berulang pada pasien ini.
Berdasarkan anamnesis juga didapatkan ibu pasien adalah penderita rhinitis alergi,
sehingga penyakit atopi yang ada pada ibu pasien kemungkinan telah turun secara genetik
kepada pasien, akibatnya besar kemungkinan pasien juga menderita salah satu dari penyakit
atopi. Selain itu, ayah pasien adalah seorang perokok aktif, sehingga pasien rentan mendapat
paparan iritan pada saluran pernafasan yang berasal dari asap rokok ayahnya. Paparan iritan
pada saluran nafas pasien dapat mencetuskan terjadinya serangan asma. Hal tersebut sesuai
dengan patofisiologi asma, dimana apabila allergen ataupun bahan iritan masuk atau terhirup
maka akan ada aktivasi dari sel mast intralumen dan makrofag alveolar, serta mediator
inflamasi lainnya untuk memulai proses inflamasi di bronkus, selanjutnya akan terjadi
oedema pada bronkus. Selain itu, akan terjadi hipersekresi mucus sebagai usaha pembersihan
allergen serta bahan iritan tersebut, ditambah lagi dengan peregangan vagal yang
menyebabkan reflek bronkus dan terjadilah bronkokontriksi. Akibat proses tersebut jalan
napas semakin sempit, terutama saat ekspirasi, dan terjadilah sesak napas disertai bunyi
menciut pada ekspirasi yang memanjang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan frekuensi napas yaitu 34x/menit,
dimana frekuensi napas normal pada anak usia 14 tahun adalah 40x/menit. Pada pemeriksaan
hidung ditemukan napas cuping hidung. Pada dada pasien ditemukan retraksi epigastrium,
serta bunyi wheezing yang positif di kedua lapangan paru pada pemeriksaan auskultasi. Hal
tersebut menggambarkan bahwa pasien sedang mengalami sesak napas berat. Suhu badan
pasien didapati normal. Dari pemeriksaan fisik dapat disimpulkan pada pasien ini terdapat
kelompok gejala klinis dari asma serangan berat, yaitu sesak napas berat ditandai dengan
adanya napas cuping hidung dan retaksi epigastrium serta bunyi wheezing di kedua lapangan
paru.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien belum menunjukkan leukositosis, karena pada
anak umur 4 tahun nilai rentang leukosit normal berupa 5.500-15.500/mm3. Untuk
mengetahui lebih pasti jenis sel yang meningkat perlu dilakukan hitung jenis sel, karena
eosinofilia merupakan salah satu hasil pemeriksaan darah yang paling sering ditemukan pada
pasien asma atau memiliki riwayat alergi. Namun, pada keadaan infeksi cacing, eosinophil
juga dapat meningkat jumlahnya.
Prognosis quo ad vitam dubia ad bonam karena penyakit pada pasien ini bisa
mengancam nyawa jika ditangani dengan cepat dan benar, namun juga bisa mengancam
nyawa jika tidak segera ditangani. Pada quo ad functionam dubia ad bonam karena pada
pasien ini organ-organ vital masih berfungsi dengan baik, namun perlu diobservasi secara
berkala fungsi organ paru pasien. Pada quo ad sanatorium bonam karena asma alergi adalah
penyakit yang tergolong atopi, penyakit ini tidak bisa sembuh sepurna, melainkan hanya bisa
dijaga agar serangan asma jarang terjadi atau tidak muncul sama sekali.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini pertama sekali adalah pemberian O2
2l/menit secara nasal untuk membantu oksigenasi pasien. Selanjutnya pasien diberikan bolus
aminofilin IV diberikan pelan selama 20 menit dan dilanjutkan dengan drip aminofilin 1
ampul sebanyak 16 tpm makro. Aminofilin adalah salah satu golongan methilxanthine yang
memiliki efek bronkodilatasi yang disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine
dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist
inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergic.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.
Dexamethasone IV diberikan pada pasien ini sesuai dengan pedoman penatalaksanaan
asma serangan berat oleh PDPI yaitu Inhalasi agonis beta-2 dan antikolinergik, pemberian
Kortikosteroid IV, Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV.
DAFTAR PUSTAKA