Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

ASMA

Oleh:

Denada F. Leona - 1210312125

Preseptor:

dr. Gustina Lubis Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2016
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan
sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif
dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episodik
ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai
oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap
stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang(4).
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi
IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada
malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya(5).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko(1,6)


Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

1
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan


dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial. Beberapa literatur
menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma
harus dibedakan antara penderita asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap
bronkodilator dan metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak
ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB adalah
latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable maximum heart rate.(7)

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya


kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha lebih untuk
menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana
terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya
proinflamatory mediator berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada
akhirnya menyebabkan terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB
atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,
atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)
 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok.
 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen dalam
rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari, asap
rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering,
olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis,
dan gastroesofageal refluks).

2
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1):

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma

Faktor Lingkungan

Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)

Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit yang
terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada
kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih
merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR
merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel
yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen)
yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31(1).

3
2.2 Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru


I. Intermiten

Bulanan APE  80%


* Gejala < 1x/minggu *  2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi

* Tanpa gejala di luar APE  80% nilai terbaik

serangan * Variabiliti APE < 20%

* Serangan singkat

II. Persisten
Ringan
Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi

tetapi < 1x/ hari APE  80% nilai terbaik

* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%

mengganggu aktiviti

dan tidur

III. Persisten
Sedang
Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1 60-80% nilai
seminggu prediksi
* Serangan mengganggu
APE 60-80% nilai terbaik
aktiviti dan tidur
* Variabiliti APE > 30%
*Membutuhkan

bronkodilator

setiap hari

4
IV. Persisten
Berat
Kontinyu APE  60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1  60% nilai prediksi

* Sering kambuh APE  60% nilai terbaik

* Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%

Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian


Tahap I Tahap 2 Tahap 3
Intermiten Persisten Persisten sedang
Gejala dan Faal paru dalam Ringan
Pengobatan

Tahap I : Intermiten Intermiten Persisten Persisten Sedang


Ringan
Gejala < 1x/ mgg

Serangan singkat

Gejala malam < 2x/ bln

Faal paru normal di luar serangan

Tahap II : Persisten Ringan Persisten Persisten Persisten Berat


Ringan Sedang
Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ hari

Gejala malam >2x/bln, tetapi


<1x/mgg

Faal paru normal di luar serangan

5
Tahap III: Persisten Sedang

Gejala setiap hari Persisten Persisten Berat Persisten Berat


Sedang
Serangan mempengaruhi aktiviti dan
tidur

Gejala malam > 1x/mgg

60%<VEP1<80% nilai prediksi

60%<APE<80% nilai terbaik


Tahap IV: Persisten Berat

Gejala terus menerus Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat

Serangan sering

Gejala malam sering

VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau

APE ≤ 60% nilai terbaik

Tabel 3. Klasifikasi berat serangan asma akut

Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan


Tanda Ringan Sedang Berat Mengancam jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat

Posisi Dapat tidur Duduk Duduk


terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa Kata demi kata
kata
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,
gelisah kesadaran menurun
Frekuensi napas <20/ menit 20-30/ menit > 30/menit
Nadi < 100 100 –120 > 120 Bradikardia
Pulsus paradoksus - + / - 10 – 20 + -
mmHg
10 mmHg > 25 mmHg Kelelahan otot
Otot Bantu Napas - + + Torakoabdominal
dan retraksi paradoksal
suprasternal

6
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE > 80% 60 – 80% < 60%
PaO2 > 80 mHg 80-60 < 60 mmHg
mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91 – 95% < 90%

2.3 Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada
asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.

INFLAMASI AKUT

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe
cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

Reaksi Fase Lambat

Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

INFLAMASI KRONIK

7
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit
T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.

Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara
lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke
arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5
serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.

Epitel

Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel
epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide
synthase, sitokin atau khemokin.

Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih


diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

EOSINOFIL

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain
IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF.
Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

8
Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin
antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma

Makrofag

Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag
dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin.
Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling.

9
AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal
dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat
dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan
penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang
dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :

• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas

• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

• Penebalan membran reticular basal

• Pembuluh darah meningkat

• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

• Perubahan struktur parenkim

• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

10
Gambar 5. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

2.5 Patofisiologi Asma

2.5.1 Obstruksi saluran respiratori


Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin
D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh
saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos,
pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul
pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket
pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris
seluler(9).

11
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan
saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu
mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk
bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian
dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar
tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya
compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan
interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak
optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas(9).

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap
kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas
yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut(9).
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian
histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced
Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat
dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease
(COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti
histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya(9).
2.5.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini
disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot
polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat
bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos
dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(9).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis
pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan

12
bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan
fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten.
Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas,
kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil
elastis(9).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama
seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat
memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran
nafas(9).

2.5.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran
nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma
kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan
volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari
sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan
sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan
DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis(9).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme
terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi
hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus
lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas
jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang
diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil
elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).

2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batruk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari

13
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya
umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak
yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi
paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan
dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka
panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3)(11,12). Tujuan tatalaksana asma anak secara
umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai
dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah(10) :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain
dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada
PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan
tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tujuan tatalaksana saat serangan (5):


- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.

14
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat
pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila tujuan telah
tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan – pelan (step
down)(10).
Syarat step up (13):
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.

Syarat step down (13):


1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil yang
masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat
diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA

2.7.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka
obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian
pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan
pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu(10).

Obat – obat Pereda (Reliever)(12)


1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist

15
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas
vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast(12).
 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan
hipertensi(12).
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung
dan CNS(12).
 β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval
20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai
dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.

16
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 –
0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena
efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada
serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian
oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14)

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam(12).

17
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6
tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau
rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma
jangka panjang pada anak(12).

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai


perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di
pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari
diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari(12).

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.(14)

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru


lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1
mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam(12).
Obat – obat Pengontrol(3,13)
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones, dan
long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan

18
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation
receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek
samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan
pada gigi dan mulut.

2. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan
sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
3. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi
teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping
muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis
inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

2.7.2 Terapi Suportif(12)


a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur
dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen

19
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi
salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus,
meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat
memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran
turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.
Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi
Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan
pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

3.7.2. Cara Pemberian Obat(10)

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih
baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

20
Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau
menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
3.7.3. Prevensi dan Intervensi Dini(13)
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara
hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk
anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen

21
BAB 2

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : MJ
Usia : 14 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 23 November 2002
Tanggal di rawat : 6 November 2016
Alamat : Perumahan

Identitas orangtua
Nama : Ayah : Tn. R
Ibu : Ny.TM
Umur : Ayah : 49 tahun.
Ibu : 51 tahun.
Alamat : Perumnas Indarung, Lubuk Kilangan Padang.
Pendidikan terakhir : Ayah : S1
Ibu : S2
Pekerjaan : Ayah : PNS
Ibu : Ibu rumah tangga.

Anamnesis
Alloanamnesis: ibu kandung.
Keluhan utama:
Semakin bertambah sesak sejak 5 jam yang lalu
Riwayat penyakit sekarang:
- Batuk berdahak sejak 4 hari yang lalu, tidak disertai pilek
- Sesak nafas sejak ±12 jam yang lalu, berbunyi menciut, dipengaruhi oleh cahaya dan
makanan
- Sesak semakin bertambah sejak ±5 jam yang lalu. Anak hanya mampu mengucapkan 1-2
kata dan duduk bertopang lengan
- Demam tidak ada, muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada

22
- Riwayat biring susu, alergi makanan atau bersin-bersin di pagi hari tidak ada
- Buang air kecil jumlah dan warna biasa
- BAB jumlah dan konsistensi biasa
- Pasien dirawat dua minggu yang lalu selama dua hari di bangsal anak RSUP dr. M.
Djamil Padang karena Asma. Obat yang diberikan saat pulang Prednison 3x7.5 mg PO
dan ambroxol 3x1 tab
Riwayat Penyakit Dahulu

- Anak telah dikenal asma sejak usia 9 bulan, didiagnosis oleh dokter spesialis anak.
Serangan asma hampir setiap hari dan menganggu aktivitas. Setiap serangan, anak
melakukan nebulisasi sendiri di rumah dengan ventolin 1/3x1/2 respul/kali. Anak
menggunakan sendiri nebulizer sejak usia 5 tahun di rumah.
- Riwayat mendapat obat controller (Seretide) 1.5 tahun yang lalu dari Sp.A, digunakan
selama 6 bulan. Sejak 1 tahun yang lalu, pasien tidak menggunakan obat controller
Riwayat Penyakit Keluarga

- Ibu kandung memiliki riwayat asma brakial dan rhinitis alergi


- Ayah kandung merupakan perokok aktif

Riwayat Kelahiran

Anak ke 4 dari 4 bersaudara, lahir spontan, ditolong dokter, kehamilan cukup bulan, BBL
2700 g dan PBL 45 cm, langsung menangis.

Riwayat Imunisasi

 BCG : 1 bulan, skar (+)


 Hepatitis B : Lahir, 1 bulan, 7 bulan
 Polio : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan
 DPT : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan
 Campak : 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Makanan dan Minuman

Bayi

 ASI : Sejak lahir sampai umur 1 tahun


 MP-ASI : Umur 6 bulan

23
 Nasi tim : Umur 8 bulan
 Nasi lunak : Umur 12 bulan
 Nasi biasa : Umur 14 bulan – sekarang

Anak

 Makanan utama: 3x sehari


 Daging : 2x seminggu
 Ayam : 2x seminggu
 Ikan : 2x seminggu
 Telur : 3x seminggu
 Sayur mayur : 3-4x seminggu

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

 BB : 45 kg
 TB : 153 cm
 BB/TB : 107.14%
 Status Gizi : Gizi baik
 Tengkurap : 4 bulan
 Duduk : 6 bulan
 Berdiri : 10 bulan
 Berjalan : 12 bulan
 Bicara : 12 bulan

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal

Riwayat Lingkungan

 Rumah : Permanen
 Sumber air minum : Sumur
 Jamban : Di dalam rumah
 Pekarangan : Ada, luas
 Sampah : Dibuang ke tempat sampah
Kesan : Hygene dan sanitasi lingkungan baik.

24
PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Sakit Berat

Kesadaran : Sadar

Frekuensi nadi : 90 x/menit, reguler, kuat angkat

Frekuensi nafas : 34x /menit

Suhu : 37ºC

Berat badan : 45 kg

Tinggi badan : 153 cm

BB/U : 93.75%%

TB/U : 95.03%%

BB/TB : 107.14%

Status Gizi : Baik

Sianosis : Tidak ada

Edema : Tidak ada

Anemis : Tidak ada

Ikterus : Tidak ada

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali baik di keempat ekstrimitas

KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : Bentuk bulat, simetris

Rambut : Hitam, tidak mudah rontok

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik,

pupil isokor, diameter 2mm/2mm, reflek cahaya +/+ normal

Telinga : tidak ditemukan kelainan

25
Hidung : nafas cuping hidung ada

Tenggorok : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

Mulut : mukosa mulut dan bibir basah

Thorak :

Paru

Inspeksi : normochest, retraksi epigastrium

Palpasi : fremitus ki=ka

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, ronki -/- wheezing +/+

Jantung

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus teraba pada 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri pada LMCS RIC V

Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Punggung : Tidak ditemukan kelainan

Alat kelamin : Tidak ditemukan kelainan, Status Pubertas A2M3P2

Anus : Ada. Colok dubur tidak dilakukan

Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik, refleks fisiologis +/+ refleks patologis-/-

Edema (-/-)

26
Pemeriksaan laboratorium
Darah :
HB 14,1 g/dL
HT 43 %
Trombosit 446.000/ mm3
Leukosit 14.090/mm3
Diff. Count 0/11/0/49/37/3

Sel patologis : Eritrosit berinti 3/100


leukosit

Kesan : Leukositosis
dengan Eosinofilia dan
trombositosis

Diagnosis Kerja

Asma persisten berat, serangan berat

Tatalaksana

O2 2l/I (nasal)

IVFD D5% 20 tts/menit

IVFD Aminofilin 6 mg/kgBB ( 1 amp : 240 mg/10cc) dilarutkan dalam 50 cc D5%


bolus dalam 20 menit

Drip aminofilin dalam D5% 28 tts/menit

Dexametason 2 amp

Ambroxol 22.5 mg PO diberikan 3 kali sehari (dosis : 0.5 mg/kgBB/kali)

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad Bonam

Quo ad functionam : dubia ad Bonam

27
Quo ad sanationam : dubia ad Bonam

Follow Up

6 November 2016, jam 07.00

S/ Anak masih tampak sesak napas, drip Muntah tidak ada, demam tidak ada
aminofilin selama 6 jam masih diberikan
BAK ada

O/

KU Kes N (x/menit) Nf (x/menit) T(ºC)


Berat Sadar 92 34 37
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thoraks : normochest, retraksi epigastrium (+),

Pulmo : vesikuler, rhonki (-/-) wheezing (+/+)

Abd : distensi (-), BU(+)N

Ext : akral hangat, CRT <2 detik

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali baik di keempat ekstrimitas.

A/ Asma Persisten Berat, Serangan Berat

P/ O2 2L/menit

Nebulisasi aminofilin

Terapi dilanjutkan

28
Follow up

7 November 2016, 07.00

S/ Anak masih tampak sesak, berkurang dari sebelumnya

Demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah dan perdarahan tidak ada

Intake diberikan peroral, toleransi baik.

Buang air kecil ada

O/

KU Kes N (x/menit) Nf (x/menit) T(ºC)


Berat Sadar 106 32 36.7
Mata : Konjungtiva hiperemis, sklera tidak ikterik mata tampak sembab, sekret kekuningan
di kedua mata, air mata (+), mata cekung (-)

Cor : Irama teratur, bising (-)

Thoraks : retraksi (+) vesikuler

Pulmo : rhonki (-/-) wheezing (+/+)

Abd : distensi (-), BU(+)N

Ext : akral hangat, CRT <2 detik

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali baik di keempat ekstrimitas.

A/ Asma persisten berat, serangan berat

P/ O2 2L/menit

Terapi dilanjutkan
BAB 3

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 4 tahun di bangsal anak RSUD
Adnaan WD Payaumbuh. Pasien mengalami sesak napas yang makin bertambah sejak ±4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas sudah dirasakan sejak ±12 jam yang lalu, berbunyi
menciut, dipengaruhi oleh cuca, debu dan makanan (coklat). Anak hanya mampu
mengucapkan 1-2 kata dan duduk bertopang lengan. Dari gejala tersebut kemungkinan pasien
mengalami asma serangan berat.
Pasien juga mengeluhkan batuk kering tapi tidak disertai pilek, sejak 1 hari yang lalu.
Pasien tidak ada demam oleh karena itu kemungkinan penyakit bronkopnemonia pada pasien
dapat disingkirkan. Pasien juga tidak mengeluhkan sembah pada wajah ataupun tungkai,
sehingga kemungkinan dekompensasi kordis dapat dihilangkan.
Anak telah dikenal asma sejak usia 12 bulan, didiagnosis oleh dokter spesialis anak.
Riwayat mendapat obat hirup ada tetapi orang tua pasien lupa obatnya digunakan hanya
selama 6 bulan. Serangan asma hampir setiap hari dan menganggu aktivitas. Setiap serangan,
anak berobat ke IGD. Sejak 1 tahun yang lalu, pasien tidak menggunakan obat controller.
Ketidakpatuhan penggunaan obat controller tersebut yang diduga dapat menyebabkan
serangan asma yang sering berulang pada pasien ini.
Berdasarkan anamnesis juga didapatkan ibu pasien adalah penderita rhinitis alergi,
sehingga penyakit atopi yang ada pada ibu pasien kemungkinan telah turun secara genetik
kepada pasien, akibatnya besar kemungkinan pasien juga menderita salah satu dari penyakit
atopi. Selain itu, ayah pasien adalah seorang perokok aktif, sehingga pasien rentan mendapat
paparan iritan pada saluran pernafasan yang berasal dari asap rokok ayahnya. Paparan iritan
pada saluran nafas pasien dapat mencetuskan terjadinya serangan asma. Hal tersebut sesuai
dengan patofisiologi asma, dimana apabila allergen ataupun bahan iritan masuk atau terhirup
maka akan ada aktivasi dari sel mast intralumen dan makrofag alveolar, serta mediator
inflamasi lainnya untuk memulai proses inflamasi di bronkus, selanjutnya akan terjadi
oedema pada bronkus. Selain itu, akan terjadi hipersekresi mucus sebagai usaha pembersihan
allergen serta bahan iritan tersebut, ditambah lagi dengan peregangan vagal yang
menyebabkan reflek bronkus dan terjadilah bronkokontriksi. Akibat proses tersebut jalan
napas semakin sempit, terutama saat ekspirasi, dan terjadilah sesak napas disertai bunyi
menciut pada ekspirasi yang memanjang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan frekuensi napas yaitu 34x/menit,
dimana frekuensi napas normal pada anak usia 14 tahun adalah 40x/menit. Pada pemeriksaan
hidung ditemukan napas cuping hidung. Pada dada pasien ditemukan retraksi epigastrium,
serta bunyi wheezing yang positif di kedua lapangan paru pada pemeriksaan auskultasi. Hal
tersebut menggambarkan bahwa pasien sedang mengalami sesak napas berat. Suhu badan
pasien didapati normal. Dari pemeriksaan fisik dapat disimpulkan pada pasien ini terdapat
kelompok gejala klinis dari asma serangan berat, yaitu sesak napas berat ditandai dengan
adanya napas cuping hidung dan retaksi epigastrium serta bunyi wheezing di kedua lapangan
paru.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien belum menunjukkan leukositosis, karena pada
anak umur 4 tahun nilai rentang leukosit normal berupa 5.500-15.500/mm3. Untuk
mengetahui lebih pasti jenis sel yang meningkat perlu dilakukan hitung jenis sel, karena
eosinofilia merupakan salah satu hasil pemeriksaan darah yang paling sering ditemukan pada
pasien asma atau memiliki riwayat alergi. Namun, pada keadaan infeksi cacing, eosinophil
juga dapat meningkat jumlahnya.

Prognosis quo ad vitam dubia ad bonam karena penyakit pada pasien ini bisa
mengancam nyawa jika ditangani dengan cepat dan benar, namun juga bisa mengancam
nyawa jika tidak segera ditangani. Pada quo ad functionam dubia ad bonam karena pada
pasien ini organ-organ vital masih berfungsi dengan baik, namun perlu diobservasi secara
berkala fungsi organ paru pasien. Pada quo ad sanatorium bonam karena asma alergi adalah
penyakit yang tergolong atopi, penyakit ini tidak bisa sembuh sepurna, melainkan hanya bisa
dijaga agar serangan asma jarang terjadi atau tidak muncul sama sekali.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini pertama sekali adalah pemberian O2
2l/menit secara nasal untuk membantu oksigenasi pasien. Selanjutnya pasien diberikan bolus
aminofilin IV diberikan pelan selama 20 menit dan dilanjutkan dengan drip aminofilin 1
ampul sebanyak 16 tpm makro. Aminofilin adalah salah satu golongan methilxanthine yang
memiliki efek bronkodilatasi yang disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine
dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist
inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergic.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.
Dexamethasone IV diberikan pada pasien ini sesuai dengan pedoman penatalaksanaan
asma serangan berat oleh PDPI yaitu Inhalasi agonis beta-2 dan antikolinergik, pemberian
Kortikosteroid IV, Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV.
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s Delgado,
Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-
induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa,
Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI ; 2008. h.98-104.
10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas
Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K,
dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.

Anda mungkin juga menyukai