Anda di halaman 1dari 4

BAB 2

JUN HANYALAH ORANG YANG TERLAU PERCAYA DIRI

Hari ini aku gagal memenuhi keterlambatanku yang ke-50. Aku harus pergi sekolah
sepagi mungkin untuk jadwal piketku di kelas. Meskipun ini bukanlah hal yang buruk
bagiku. Akan tetapi, aku merasakan kekalahan. Keterlambatan sangat dibutuhkan
bagi setiap orang. Bagaimanapun, ultraman tidak akan menjadi penyelamat Tokyo
andai saja dia tidak terlambat. Keadilan bisa ditegakkan karena adanya keterlambatan.
Hari ini, aku gagal menegakkan keadilan.

Seperti biasa, pagi ini aku mengerjakan tugas piketku dengan sempurna. Berkat
kebiasaanku mengerjakkan semua pekerjaan rumah, hal semacam menyapu dan
mengepel lantai adalah keahlianku sepenuhnya. Bahkan seorang wanita mungkin
akan iri denganku saat ini.

Setelah kelas bersih tanpa debu sedikitpun, bel pagi segera berbunyi. Pelajaran pun
dimulai seperti biasa. Jam pertama adalah Bahasa Inggris. Dilanjutkan matematika
pada jam kedua. Benar-benar seperti biasa, membosankan.

Aku sangat menikmati keberadaanku di kelas. Formasi tempat duduk yang sempura
bagi seorang pemimpi sepertiku[1]. Meja yang berdempetan dengan dinding dan murid
bertubuh kingkong yang duduk di depanku. Seorang guru yang selalu duduk
dimejanya tidak akan sadar bahwa aku sedang tidur dengan nyenyak. Kali ini aku
percaya bahwa tuhan sangatlah adil.

Tidak ada yang menyadari esensiku dalam ruangan ini. Seperti itulah kutukan yang
diberikan kepada seorang penyendiri. Meskipun lebih tepat bila disebut mukjizat
daripada disebut kutukan.

Tidak disangka bel istirahat berbunyi lebih cepat dari biasanya. Semua ini pasti ada
hubungannya dengan ketidaktertarikanku untuk pergi ke ruang BK. Meskipun aku
membenci jam pelajaran matematika, tetapi aku akan memilih belajar trigonometri
seharian penuh daripada harus datang ke ruang BK 10 menit.

Aku memutuskan untuk tidak pergi ke ruang BK hari ini. Itulah keputusankku. Kenapa
aku harus menukar waktu istirahatku yang paling berharga hanya untuk pergi ke
ruang BK. Mungkin lebih baik jika aku pergi membeli sebungkus roti dan Nescafe di
kantin. Aku akan menikmati 30 menit berharga ini di atap gedung sambil
memandangi pegunungan. Luar biasa.
“Mas yori! Setelah makan siang, ke ruangan ibu ya.”

“Eh..”

Aku yakin baru beberapa langkah saja meninggalkan kelas. Kenapa tiba-tiba suara
yang begitu dingin bertiup di telingaku. Sejak kapan Ibu Nunik Nurhayati berada di
belakangku. Jangan katakan kalau dia menungguku di depan kelas. Tidak mungkin.

“Kamu juga boleh makan siang di ruangan ibu. Oh iya, ibu hari ini bawa kue loh. Mas
yori mau? Sudah lama ibu gak makan siang bareng murid-murid.”

“heheh.. makasi bu, tapi saya mau ke kan-“

“Mau ke kantin kan? Ibu titip teh, boleh?

“Anu..”

“Nanti uangnya ibu ganti”

“I.. iya..”

Kenapa orang ini tiba-tiba menjadi semangat. Disamping itu, kenapa juga aku harus
makan siang bersama seorang guru perempuan. Bukankah itu memalukan. Aku
sedikit mengerti kenapa anda tidak segera menikah, Bu. Seberapa sukanya anda
kepadaku!

Aku terus memikirkan hal-hal aneh sepanjang perjalan menuju ke kantin. Aku tidak
percaya seandainya Ibu Nunik Nurhayati benar-benar menyukaiku. Tidak mungkin,
tidak mungkin! Sudah jelas dia adalah guruku dan dia 10 tahun lebih tua dariku. Tidak
mungkin berhubungan dengan gurumu sediri. Tolonglah sadar akan posisimu saat ini,
Yori!

Sambil menepis semua pikiran aneh itu, beberapa benda yang kuinginkan telah kubeli.
Tentu aku tidak lupa dengan tehnya. Uang yang seharusnya aku gunakan untuk
membeli sebunkus roti, kini aku gunakan untuk membeli sebotol teh. . Aku harap
beliau benar-benar mengganti uangku. Lebih baik bila dia benar-benar memberikanku
kue yang dikatakanya tadi.

Perut yang semakin lapar mendorongku untuk segera menuju ke ruang BK. Disaat
seperti ini, perut memang tidak bisa diandalkan.

“Permisi”
Tidak ada yang menjawab. Aku tidak melihat sosok Ibu Nunik Nurhayati di dalam
ruangannya. Hanya seorang gadis berseragam sama sepertiku duduk di kursi yang
kemarin aku tempati. Mungkinkah ini seseorang yang dikatakannya kemarin? Aku
sedikit percaya bila gadis ini bisa merubahku. Dari penampilannya aku sudah yakin
bahwa dialah sang penyelamat masa muda ku yang suram. Mungkin aku harus masuk
dan menyapanya terlebih dahulu. Bukankah aku baru saja bilang ‘permisi’? mungkin
aku harus menyapanya dengan lebih keren.

“Yo..”

“…”

“Anu.. bu nunik ga ada ya. Haha..” Gawat. Lagi-lagi aku grogi. bodoh

Dia benar-benar mengabaikanku. Sial. Kenapa juga aku harus mengatakan sesuatu
yang sudah jelas jawabannya. Bodoh. Persetan dengan basa-basi.

Berduaa dengan seorang gadis dalam suatu ruangan mengingatkanku akan kenangan
suramku di SMP dulu. Dengan rasa malu, aku segera menempati kursi di dekat rak
buku. Ruangan ini sepertinya memiliki perpustakaan mini. Untuk melupakan kejadian
tadi aku segera mengambi acakl majalah yang ada di rak buku dan mebukanya.

Sekali-kali aku melihat kearah gadis itu. Dia benar-benar tidak memperdulikan
kehadiranku. Sepertinya, dia tidak tertarik denganku. Setidaknya sekali-kali lihatlah
ke arahku atau katakana sesuatu. Apa dia takut kehilangan keanggunannya hanya
karna berbicaara denganku. Lagi pula, kenapa kau tidak terganggu sedikitpun ketika
kau hanya berdua dengan laki-laki di sebuah ruangan. Apa bungkusan kotak yang ada
ditanganmu lebih menarik daripada lelaki di dekatmu ini.

Mungkin aku harus membuang harapanku untuk berkenalan dengan gadis ini. Tidak
seharusnya gadis yang rambutnya terlihat begitu hitam panjang dan terawatt ini
menerima sapaan dari jones kuper sepertiku. Seperti aku harus menurahkan
perasaanku kepada kucing-kucing ini. Aku ternyata mengambil majalah kucing.

Melepas kecanggungan itu, akhirnya sosok yang kutunggu muncul.

“Aduuh.. maaf ya put bu yati dipanggil kepala sekolah. Biasa lah?”

“gak pa pa kog bu yati. Ini bu pesenannya”

“Makasi ya. Maaf loh ngrepotin. Putrid uda makan?

Anda mungkin juga menyukai