Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

PERKIRAAN DAN ANTISIPASI


TERHADAP MASYARAKAT MASA DEPAN

Pendidikan selalu bertumpu pada suatu wawasan kesejaarahan, yakni pengalaman-


pengalaman masa lampau, kenyataan, dan kebutuhan mendesak masa kini, dan aspirasi serta
harapan masa depan. Melalui pendidikan setiap masyarakat akan melestarikan nilai-nilai luhur
sosial kebudayaannya yang telah terukir dengn indahnya dalam sejarah bangsa tersebut.
Serentak dengan itu, melalui pendidikan juga diharapkan dapat ditumbuhkan kemampuan
untuk menghadapi tuntutan objektif masa kini, baik tuntutan dari dalam maupun dari luar
masyarakat yang bersangkutan. Dan akhirnya, mellaui pendidikan akan ditetapkan langkah-
langkah yang dipilih masa kini sebagai upaya mewujudkan aspirasi dan harapan di masa depan.
Dalam UU―RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 telah
ditetapkan antara lain bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang.” Penekanan pada bagian akhir tersebutlah yang mnyebabkan pendidikan itu dilukiskan
sebagai merumuskan masa depan. Oleh karena itu, di samping dimensi horizontal, pendidikan
haruslah memperhatikan dengan sungguh-sungguh dimensi vertikal, terutama keterkaitan
antara program pendidikan yang dilaksanakan sekarang ini dengan kehidupan peserta didik di
masa depan. Peserta didik yang masuk di Lembaga-Lembaga pendiidkan, termasuk mahasiswa
yang sedang membacapaparan ini, akan menempati kedudukannya serta mamainkan
peranannya kelak pada awal abad ke-21 yang akan datang. Oleh karena itu, keterkaitan
program pendidikan dengan prognosis masyarakat masa depan perlu mendapat perhatian
dengan semestinya (Hameyer, 1979: 67-68; Sulo Lipu La Sulo, 1990: 28-29).
Setelah mempelajari bab IV ini Anda diharapkan dapat :
1. Memahami beberapa kemungkinan keadaan masyarakat di masa depan, serta peranan
faktor-faktor globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), arus
komunikasi yang semakin padat dan cepat, serta kebutuhan yang meningkat dalam
layanan professional terhadap masyarakat di masa depan tersebut.
2. Memahami berbagai upaya pendidikan untuk mengantisipasi masa depan, baik yang
berkenaan dengan penyiapaan manusia maupun yang berkenaan dengan perubahan
sosiokultural, serta pengembangan sarana pendidikan untuk mendukung upaya-upaya
yang sedang atau akan dilaksanakan.

Bagi mahasiswa calon tenaga kependidikan, utamanya guru, kajian tentang masyarakat
masa depan tersebut berdampak ganda, yakni untuk dirinya sendiri serta pada gilirannya kelak
untuk siswa-siswanya. Pembahasan pada bab IV ini dimulai dengan paparan tentang perkiraan
masyarakat masa depan, dan akan diikuti dengan kajian tentang upaya pendidikan untuk
mengantisipasinya. Sebagai suatu perkiraan, papapran ini mungkin saja meleset atau
menyimpang, oleh karena itu, isi paparannya perlu dikaji dan diuji dengan kenyataan-
kenyataan yang berlaku pada saat paparan ini dibaca. Dengan demikian, segala kekurangan dan
kesalahan dalam perkiraan itu dapat segera diperbaiki.
A. Perkiraan Masyarakat Masa Depan
Pendidikan selalu berlangsung dalam suatu latar kemasyarakatan dan kebudayaan
tertentu. Demikian pula di Indonesia, pendidikan nasional dilaksanakan berdasarkan latar
kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia. Seperti telah dipaparkan pada bab III,
masyarakat Indonesia dan kebudayaan nasional merupakan landasan Sistem Pendidikan
Nasional. Landasan sosio-kultural merupakan salah satu dasar utama dalam menentukan
arah dalam program-program pendidikan, baik program pendidikan sekolah maupun
program pendidikan luar sekolah. Dari sisi lain, pendidikan merupakan pilar utama dalam
pelestarian dan pengembangan kebudayaan setiap masyarakat. Di dalam penjelasan UU No.
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Dalam kehidupan
suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin
perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.” Mellaui upaya
pendidikan, kebudayaan dapat diwariskan dan dipelihara oleh setiap generasi bangsa.
Serentak dengan itu, upaya pendidikan diarahkan pula untuk mengembangkan kebudayaan
itu.
Demi pemahamn dan karena adanya saling pengaruh antara pendidikan dan latar sosio-
kultural, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian kebudayaan. Dalam
pembahasan ini, kebudayaan dimaksudkan dalam arti luas yakni “keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil
budi dan karyanya itu” (Koentjaningrat, 1974: 19). Kebudayaan itu dapat :
(1) Berwujud ideal yakni ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma, peraturan, dan
sebagainya.
(2) Berwujud kelakuan yakni kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
(3) Berwujud fisik yakni benda-benda hasil karya manusia (Koentjaningrat, 1974: 15-
22).
Berbagai wujud kebudayaan itu selalu mengalami perubahan dan perkembangan
sesuai dengan perubahan dan kemajuan manusia dan masyarakat pendukung kebudayaan
itu. Pengertian kebudayaan yang begitu luas tersebut seringkali dipecah lagi dalam unsur-
unsurnya, dan sering dipandang sebagai unsur-unsur universal dari kebudayaan, yakni:
(a) Sistem Religi dan upacara keagamaan.
(b) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
(c) Sistem Pengetahuan.
(d) Bahasa
(e) Kesenian
(f) Sistem mata pencarian.
(g) Sistem teknologi dan peralatan
Unsur-unsur tersebut diurutkan mulai dari yang umumnya sukar berubah atau kena
pengaruh dari kebudayaan lain sampai yang paling mudah atau berubah atau diganti
dengan unsur serupa dari kebudayaan lain (Koentjaningrat, 1974: 11-13). Perlu juga
dikemukakan bahwa perubahan pada salah satu dari unsur-unsur tersebut akan mempunyai
dampak pada keseluruhan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya sekarang ini semakin mengalami
percepatan serta meliputi seluruh aspekkehidupan dan penghidupan manusia. Percepatan
perubahan itu terutama karena percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
utamanya teknologi informasi. Sejarah telah mencatat bahwa perubahan dari masyarakat
pertanian ke masyarakat industri relatif lebih lama dibandingkan dengan perubahan
masyarakat industri ke masyarakat informasi. Bahkan di berbagai negara berkembang,
termasuk Indonesia, masih berada dalam masa transisi dari masyarakat pertanian ke
masyarakat industri serta segera diiringi perubahan ke masyarakat informasi (Dirjen
Pembinaan Pers dan Grafika, 1992: 6). Perubahan yng cepat tersebut mempunyai beberapa
karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di masa depan.
Beberapa di antaranya yang dibahas selanjutnya adalah:
(1) Kecenderungan globalisasi yang makin kuat.
(2) Perkembangan iptek yang makin cepat.
(3) Perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat.
(4) Kebutuhan/tuntutan peningkatan layanan professional dalam berbagai segi
kehidupan manusia. Keseluruhan hal itu telah mulai tampak pengaruhnya masa kini,
serta diperkirakan akan makin penting peranannya di masa depan.
Pemahaman tentang keadaan masyrakat masa depan tersebut akan sangat penting
sebagai latar depan segala kebijakan dan upaya pendidikan masa kini dan masa yang akan
datang. Seperti yang dikemukakan Moh. Ansyar (1992: 6): “Zaman kita, yang oleh Alvin
Toffler disebut gelombang ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut Zmana Pasca-
industri, memerlukan suatu pendidikan yang berbeda dengan pendidikan pada zaman
sebelumnya.” Kajian masyarakat masa depan itu semakin penting jika diingat bahwa
pendiidkan selalu merupakan penyiapan peseta didik bagi peranannya di masa yang akan
datang. Dengan demikian, pendidikan seharusnya selalu mengantisipasi keadaaan
masyarakat masa depan.
1. Kecenderungan Globalisasi

Istilah globalisasi (asal kata: global yang berarti secara umumnya, utuhnya,
kebulatannya) bermakna bumi sebagai suatu keutuhan seakan-akan tanpa tapal batas
administrasi negara, dunia menjadi amat transparan, serta saling ketergantungan antarbangsa
di dunia semakin besar; dengan kata lain: Menjadikan dunia sebagai satu keutuhan, satu
kesatuan. Suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu negara tertentu akan tersebar dengan cepat
ke seluruh pelosok dunia, dari perkotaan sampai pedesaan, serta akan mempunyai pengaruh
terhadap manusia da masyarakat di mana pun di dunia ini. Dunia seakan-akan menjadi sempit
dan tak menghiraukan lagi batas-batsa negara.
Gelombang globalisasi sedang menerpa seluruh aspek kehidupan dan penghidupan
manusia, menyusup ke dalam seluruh unsur kebudayaan dengan dampak yang berbeda-beda.
Menurut Emil Salim (1990; 8-9) terdapat empat bidang kekuatan gelombangglobalisasi yang
paling kuat dan menonjol aya dobraknya, yakni bidang-bidang iptek, ekonomi, lingkungan
hidup, dan bidang pendidikan. Beberapa kecenderungan globalisasi dari keempat bidang
tersebut sebgai berikut:
a. Bidang iptek yang mengalami perkembangan yang semakin dipercepat, utamanya
dengan penggunaan berbagai teknologi canggih seperti komputer dan satelit. Kekuatan
pertama gelombang globalisasi ini membuat bumi seakan-akan menjadi sempit dan
transparan. Dalam waktu yang singkat dapat dihimpun informasi global yang terinci dan
teliti dalam berbagia bidang, umpamanya kekayaan alam, laut, hutan, dan sebagainya
melalui penginderaan jarak jauh tanpa mengenal batas negara. Globalisasi iptek tersebut
memberi orientasi baru dalam bersikap dan berpikir serta berbicara tanpa bats negara.
b. Bidang ekonomi yang mengarah pada ekonomi regional dan atau ekonomi global tanpa
mengenal batas-batas negara. Di berbagai dunia telah berkembang kolompok-kelompok
ekonomi regional, seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (untuk Eropa Barat), Area
Perdagangan Bebas Amerika Utara atau NAFTA (untuk Amerika Serikat, Kanda dan
Meksiko), Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area atau AFTAuntuk
ASEAN). Gejala lain adalah makin meluasnya perusahaan multinasional sebagai
perusahaan raksasa yang kakinya tertanam kuat di berbagai negara. Globalisasi ekonomi
telah menyebabkan negara hanya bertapal batas politik saja, sedang dari segi ekonomi
semakin kabur. Peristiwa ekonomi di suatu tempat pada negra tertentu akan memberi
dampak kepada hampir seluruh dunia. Globalisasi ekonomi tersebut menyebabkan
Kenichi Ohmac memberi judul “The Borderles World” (dunia tanpa tapal batas) pada
bukunya (1990, dari Dedi Supriadi. 1990: 60).
c. Bidang lingkungan hidup telah menjadi pembicaraan dalam berbagai pertemuan
internasional, yang mencapai puncaknya pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi,
atau nama resminya: Konfrensi PBB mengenai Lingkunga Hidup dan Pembangunan
(UNCED), pada awal Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Kerusakan lingkungan hidup
di suatu tempat akan memberi dampak negatif ke berbagai negara di sekitarnya, bahkan
mengancam keselamatan planet bumi. Oleh karena itu, diperlukan wawasan dan
kebijakan yang tepat dalam bidang pembangunan yang menjamin kelestarian dan
keselamatan lingkungan hidup, atau pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesr di dunia berkewajiban
menjaga kelestarian “paru-paru dunia” itu apabila mau memanfaatkan kekayaan itu
untuk kemakmuran rakyatnya. Seperti diketahui, Indonesia telah menetapkan kebijakan
pemanfaatan sebagian kecil hutan tropis itu dengan “tebang pilih tanam Indonesia”, atau
program reboisasi denganhutan tanaman industri. Demikian pulamasalah pencemaran
lingkungan seperti air, udara dan sebagainya akan membawa dampak ke daerah atau ke
negara sekitarnya.
d. Bidang pendidikan dalam kaitannya dengan identitas bangsa, termasuk budaya nasional
dan budaya-budaya nusantar. Di samping terpaan tentang gagasan-gagasan dalam
pendidikan, globalisasi terjadi pula secara langsung menerpa setiap individu manusia
melalui buku, radiio, televisi dan media lainnya. Sebagai contoh: penggunaan antena
parabola memberi peluang masuknya film dan sinetron langsung ke rumah dan peristiwa
di berbagai penjuru dunia secara langsung dapat dilihat di rumah setiap orang pada saat
ataupun sesaat setelah peristiwa terjadi melalui siaran langsung televisi. Ha itu akan
mempengaruhi wawasan, pikiran, dan bahkan perilaku manusia; selanjutnya bahkan
mungkin tercipta suatu “budaya dunia” (Refleksi, 1990: 3)
Di samping keempat bidang tersebut, kecenderungan globalisasi juga tampak dalam
bidang politik, hukum dan hak-hak asasi manusia, paham demokrasi, dan sebagainya. Suatu
peristiwa yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan mendapat sorotan orang dari berbagai
penjuru di dunia. Sebagai contoh, pelaksanaan pemilihan umum di suatu negara akan
dipantau secara langsung oleh berbagai negara lain dengan mengirim para peninjau, baik
menjelang maupun pada saat pelaksaana pemungutan suara. Kecenderungan globalisasi
tersebut merupak suatu gejala yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, banyak gagasan
dalam menghadapi globalisasi itu yang menekankan perlunya berpikir dan berwawasan
global namun harus tetap menyesuaikan keputusan dan tindakan dengan keadaan nyat di
sekitarnya. Semboyan yang makin luas diterima adalah “think glbally but act locally”
(Mochtar Buchori, 1990: 17). Untuk latar Indonesia yang bhineka tunggal ika, hal itu tidak
hanya mempertimbangkan aspek nasional tetapi juga aspek lokal di daerah yang
bersangkutan.
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Perkembangan iptek yang makin cepat dalam era globalisasi merupakan salah satu ciri
utama dari masyarakat masa depan. Perkembangan iptek pada akhir abad ke-20 ini sangat
mengesankan, utamanya dalam transportasi, telekomunikasi dan informatika, genetika,
biologi molekul serta bioteknologi dan sebagainya. Dan hampir dapat dipatikan bahwa
perkembangan yang makin cepat itu akan berlanjut dalam abad ke-21 yang akan datang, dan
demikian puladengan limpahannya akan bersifat global. Globalisasi perkembangan iptek
tersebut dapat berdampak positif ataupun negatif, tergantung pada kesiapan bangsa dan
kondisi sosial-budayanya untuk menerima limpahan informasi/teknologi itu. Segi positifnya
antara lain memudahkan untuk mengikuti perkembangan iptek yang terjadi di dunia,
menguasai dan menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan segi
negatif akan timbul apabila kondisi soisal-budaya belum siap menerima limpahan itu
(Pratiwi Sudarsono, 1990: 14-15)
Percepatan perkembangan iptek tersebut terkait dengan landasan ontologis,
epistemologis, dan aksioogis (Filsafat ilmu, 1981: 9-15). Segi landasan ontologis, objek
telahaan ialah berupa pengalaman atau segenap wujud yang dijangkau lewat alat indera telah
mengalami perkembangan yang pesat karena didapatkannya peranti (device) yang
membantu alat indera tersebut. Seperti diketahui, dalam penelitian telah digunakan mulai
dari nano teknologi untuk meneliti DNA (Deoxyribonucleic acid) sehubungan dengan
struktur dan fungsi gen dengan peralatan yang berukuran nanometer (Pratiwi Sudarsono,
1990: 16), sampai dengan teleskop raksasa Nouut Polomar (diamater lensa: 200 inchi) untuk
mengamati Bima Sakti yang berbintang sekitar seratus miliar (100.000.000.000) buah.
Ataupun penjelajahan angkasa luar oleh pesawat tak berawak mampu mendekati/mendarat
di planet tata surya serta mengirimkan gambar seperti permukaan Mars oleh Viking, cincin
Yupiter oleh Voyager 1 dan 2, dan sebagainya (Soendjojo Dirdjosoemarto dan
Abdurachman, 1990: 394 dan 458-464). Demikian pula halnya dengan peranti alat indera
lainnya, selain untuk mata seperti tersebut di atas, telaah/sedang dikembangkan berbagai
peranti untuk membantunya. Iptek membantu mengembangkan peranti yang dapat
mengatasi berbagai kekurangan atau keterbatasan alat indera, dan pada gilirannya, peranti
itu sangat membantu mengembangkan iptek itu sendiri.
Selanjutnya, dari segi landasan epistemologis, cara yang dipakai untuk memperoleh
pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan tersebut telah mengalmai perkembangan yang
pesat. Berabad-abad lamanya orang berpegang sepenuhnya pada metode dedukasi ala
Aristoteles. Pada permulaan abad ke tujuh belas, Francis bacon memlopori metode induktif
yang menekankan bukti-bukti empiris sebagai batu uji kebenaran. Tentang hal tersebut
Bertrand Russel (1953) melukiskan secara humoris tetapi tepat sebagai berikut: “Untuk
manusia modern yang terdidik, seakan-akan suatu hal yang biasa bahwa kebenaran suatu
fakta harus ditentukan oleh pengamatan, dan tidak berdasarkan pada konsultasi dengan
seorang ahli.” Walaupun begitu, hal ini benar-benar adalah suatu konsepsi modern, sesuatu
yang hampir tidak pernah dilakukan sebelum abad ketujuh belas. Aristoteles bersikeras
bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit dari laki-laki; dan meskipun dia pernah
kawin dua kali, tak pernah terlitas dalam pikirannya untuk menguji pendapatnya dengan
mengamati mulut isterinya (dari Mouly, 1963: 87-88). Meskipun pendekatan induktif
merupakan loncatan penting akan tetapi belum memadai. “Sekarang kita sadari dengan
sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori dtang secara
induktif dari pengalaman”, demikian pendapat Einstein (1963, dari Mouly, 1963: 90). Oleh
karena itu, sejak Charles Darwin memelopori penggabungan metode deduktif dan metode
induktif, dan denganpengajuan hipotesis, maka sekarang dikenal sebagai dasar hipotetiko-
dedukto-verivikatif dalam metode ilmiah (Filsafat ilmu, 1981: 15 dan 156), ataupun Model
Induktif-Hipotetiko-Deduktif dalam proses penelitian (Raka Joni, 1984: 6). Perkembangan
ilmu yang terakhir ini ialah penyusunan suatu teori atau ilmu teoritis sebagai kerangka
pemikiran yang menjelaskan gejala dan hubungan yang diperoleh dalam pengujian empiris,
dan selanjutnya dapat meramalkan dan menentukan cara mengontrol hal-hal itu. “Tahap
yang maju ini kelihatannya akan mampu dicapai dalam ilmu-ilmu alam dibandingkan
dengan ilmu-ilmu sosial” (Mouly, 1963: 96).
Dan akhirnya landasan aksiologis atau untuk apa iptek itu dipergunakan, yang
mempersoalkan tentang penggunaan ipek tersebut

Anda mungkin juga menyukai