Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka Terkontaminasi
1. Definisi luka terkontaminasi
Luka didefinisikan rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat

proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ

tertentu (Lazarus et al, 1994 dalam Potter dan Perry,2005).


Luka terkontaminasi mencakup luka terbuka baru, luka akibat kecelakaan,

dan prosedur bedah dengan pelanggaran dalam teknik aseptik, termasuk dalam

kategori ini adalah insisi dimana terdapat inflamasi akut (Brunner & Suddarth,

2002).
Sehingga dapat disimpulkan luka terkontaminasi adalah luka terbuka baru

yang diakibatkan oleh kecelakaan maupun prosedur penyayatan tanpa

menggunakan alat streril.

2. Faktor yang mempengaruhi penanganan luka terkontaminasi

Ada empat faktor yang mempengaruhi penanganan luka terkontaminasi

(Karakata & Bachsinar,1995), yaitu :

a. Lama luka (Golden period) merupakan saat dimana luka masih dapat

ditangani dengan sempurna. Golden period luka terkontaminasi kurang lebih

enam jam. Apabila luka lebih dari enam jam dan timbul tanda-tanda infeksi

maka dianggap luka infeksi.

b. Bentuk anatomi luka merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

penanganan luka, semakin luas luka maka semakin besar kemungkinan

8
masuknya mikroorganisme patogen sehingga diperlukan perawatan yang lebih

serius.

c. Kebersihan luka yaitu membersihkan corpus alienum yang tertinggal di dalam

luka dapat menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan luka

d. Lokasi luka yaitu apabila luka terjadi pada bagian tubuh yang merupakan

organ tubuh penggerak atau pada sendi akan terjadi penyembuhan luka yang

lebih lama dibandingkan dengan luka pada bagian tubuh yang datar.

3. Penyembuhan luka
Penyembuhan luka melibatkan intergrasi proses fisiologis. Tubuh yang

sehat mempunyai kemampuan alami melindungi dan memulihkan dirinya. Proses

penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan

perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Fase

penyembuhan pada semua jenis luka sama, dengan variasinya tergantung pada

lokasi, keparahan, luasnya cedera, dan kemampuan sel dan jaringan melakukan

regenerasi (Potter & Perry, 2005). Prosesnya adalah dengan penggantian sel-sel

yang mati atau rusak oleh sel yang sehat, yang berasal dari sel parenkim maupun

stroma jaringan ikat dari organ yang mengalami trauma (Marison, 2004).

Beragam proses seluler yang saling tumpang tindih dan terus menerus

memberikan kontribusi terhadap pemulihan luka adalah regenerasi sel, proliferatif

sel, dan pembentukan kolagen. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh

tipe luka serta lingkungan ekstrinsik dan intrinsik. Asepsis yang cermat adalah

faktor penting untuk meningkatkan keberhasilan perawatan luka (Smeltzer dan

Bare, 2002).
Luka yang mengalami banyak kehilangan jaringan, maka penyembuhan

luka akan memerlukan waktu yang lebih lama. Inflamasi yang terjadi sering kali

9
bersifat kronik dan jaringan yang rusak lebih banyak dipenuhi oleh jaringan

granulasi yang rapuh dari pada dipenuhi kolagen. Jaringan granulasi merupakan

salah satu bentuk jaringan konektif (penyambung) yang memiliki lebih banyak

suplai darah dari pada kolagen. Luka yang lebih luas akan mempunyai jumlah

jaringan parut penyambung yang lebih luas. Apabila sel epitel dan jaringan

penyambung tidak mampu menutup defek luka, maka akan terjadi kontraksi luka.

Kontraksi luka meliputi pergerakan dermis dan epidermis pada setiap sisi luka.

Kontraksi luka mengakibatkan jaringan di sekitar luka menipis dan ukuran serta

bentuk jaringan parutnya pada akhirnya akan sama dengan garis ketegangan

disekitar daerah yang rusak (Potter, 2005).


a. Prinsip penyembuhan luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (1997)

yaitu (1) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh

luarnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh

pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara

sistemik pada trauma, (4) Aliran darah ked an dari jaringan yang luka, (5)

Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk

mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan (6) penyembuhan normal

ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.

b. Fase penyembuhan luka


Kozier (1995) menyatakan penyembuhan luka melalui tiga fase yaitu

sebagai berikut :
1) Fase Inflamatory
Fase ini terjadi segera setelah luka (hari ke-0) dan berakhir hingga hari ke-

4. Pada fase ini terjadi hemostasis dan fagositosis. Hemostasis berfungsi untuk

menghentikan perdarahan, meliputi proses pembentukan platelet plug yaitu proses

agregasi platelet di daerah luka dan diikuti oleh proses pembentukan fibrin clot

10
(jaringan benang-benang fibrin), pembentukan scab (keropeng) di permukaan

luka, serta migrasi sel epithelial yang semula berada dibawah scab menuju daerah

tepi luka. Ditempat barunya, sel epithelial berfungsi sebagai barier antara tubuh

dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.


Jaringan rusak dan sel mast melepaskan histamine dan mediator lain,

sehingga terjadi vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih untuh

serta peningkatan penyediaan darah ke daerah tersebut, sehingga menjadi

kemerahan dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah meningkat dan cairan

yang kaya akan protein mengalir ke spasium interstisial menyebabkan edema

local dan hilangnya fungsi jaringan sekitar luka.


Sebagai respon terhadap inflamasi sel-sel neutrofil dalam pembuluh darah

mengalami migrasi menuju jaringan ekstraseluler tempat terjadinya luka. Disini

neutrofil diaktivasi, sehingga mampu memfagosit sel-sel mikroorganisme dan sel-

sel debris. Proses ini berlangsung kurang dari 24 jam setelah luka. Selanjutnya

peran neutrofil digantikan oleh makrofag. Makrofag dapat berasal dari jaringan itu

sendiri maupun dari monosit intravaskuler yang bermigrasi melalui mekanisme

yang sama dengan neutrofil menuju ke jaringan ekstraseluler. Disini monosit

berdiferensiasi menjadi makrofag yang juga memiliki fungsi fagositosis.

Makrofag juga mengeluarkan Angiogenesis Factor (AGF) yang mempercepat

proses penyembuhan luka. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses

penyembuhan luka.
2) Fase Proliferation
Fase ini berlangsung hari ke-3 atau ke-4 hingga hari ke-21. Fibroblas

memegang peranan penting dalam proses ini karena kemapuannya mensintesa

kolagen dan proteoglikan. Kolagen adalah substansi protein yang menambah

tegangan permukaan luka, sehingga mengurangi kemungkinan luka akan terbuka.

11
Adanya proses kapilarisasi membuat fibroblas berpindah dari pembuluh darah

menuju daerah luka dengan membawa fibrin. Pada akhir fase ini terbentuk

granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.


3) Fase Maturation
Fase ini dimulai hari ke-21 dan berlanjut selama 1-2 tahun setelah luka.

Kolagen yang ditimbun dalam luka menjalin diri, membuat penyembuhan luka

lebih kuat dan lebih mirip jaringan. Kolagen baru menyatu, menekan pembuluh

darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas luka menjadi rata, tipis, dan

meninggalkan garis putih.

Potter (2005) menyatakan penyembuhan luka melalui tiga tahap yaitu

sebagai berikut :
1) Tahap Defensif (Inflammatory)
Dimulai ketika integritas kulit terganggu dan berlanjut terus selama 4

sampai 6 hari.
(a) Hemostasis : pembuluh darah berkontriksi, menyusun platelet untuk

menghentikan perdarahan. Gumpalan membentuk matrik fibrin. Bentuk scab,

mencegah masuknya organism yang mengakibatkan infeksi.


(b) Respon inflammatory : meningkatkan aliran darah ke luka dan permeabilitas

vaskuler ke plasma mengakibatkan terlokalisirnya kemerahan dan edema.


(c) Sel darah putih sampai ke luka : neutrofil mengakibatkan bakteri dan debris

yang kecil, kemudian mati dalam beberapa hari dan membiarkan eksudasi

enzim, yang kemudian menyerang bakteri atau bercampur dengan perbaikan

jaringan. Monosit menjadi makrofag. Makrofag membersihkan sel debris

melalui phagositosis, membantu proses perbaikan luka melalui perubahan

asam amino dan gula normal.

12
(d) Sel epitel bergerak dari batas luka ke dasar gumpalan atau scab (kira-kira

selama periode 48 jam).


2) Tahap Rekonstruksi (Proliperatif)
(a) Penutupan mulai pada hari ke-3 atau ke-4 dari tahapan defensive dan berlanjut

terus selama 2 hingga 3 minggu.


(b) Fibroblas berfungsi membantu vitamin B dan oksigen serta asam amino

mensintesis kolagen.
(c) Kolagen memberikan penguatan dan integritas struktural pada kulit.
(d) Sel epitel memisahkan hingga menduplikasikan sel yang berbahaya (misalnya

sel mukosa intestinal yang membantu munculnya kolumnar).


3) Tahap Maturasi
Tahap penyembuhan terakhir mungkin berlanjut terus sampai 1 tahun atau lebih

hingga memperkuat jaringan kolagen.

4. Bentuk-bentuk penyembuhan luka


Bentuk penyembuhan luka ada tiga macam yaitu bentuk intentionem

primer, intentionem sekunder, dan bentuk intentionem tersier (Marison,2004).

Berikut ini dijelaskan mengenai masing-masing bentuk penyembuhan luka

tersebut yaitu :

a. Intentionem Primer

Intentionem primer merupakan penyembuhan terhadap luka yang dibuat

secara aseptik dan lapisan luka ditutup dengan jahitan. Sedangkan yang dipakai

menjahit kulit bisa benang sutera hitam, kawat halus atau penjepit dari logam.

Bila tidak infeksi, penyembuhan berlangsung cepat dengan sedikit parut.

Pada hari pertama paska bedah setelah luka disambung dan dijahit, garis

insisi segera terisi dengan bekuan darah. Permukaan bekuan darah mengering dan

menimbulkan kerak yang menutupi luka. Reaksi radang terlihat pada tepi luka.

Pada hari kedua, timbul aktiitas yang terpisah yaitu reepitalisasi

permukaan dan pembentukan jaringan fibrosa yang menghubungkan kedua tepi

13
celah sub epitel. Keduanya sangat tergantung pada anyaman fibrin yang terjadi

pada bekuan darah, karena memberikan kerangka bagi sel epitel, fibroblast dan

tunas kapiler yang bermigrasi. Jalur-jalur tipis sel menonjol di bawah permukaan

kerak, dari tepi epitel menuju ke arah sentral. Dalam waktu 48 jam tonjolan ini

berhubungan satu sama lain dengan demikian luka tertutup oleh sel epitel. Pada

awalnya permukaan epitel hanya terdiri dari selapis sel di bagian tengah insisi.

Tetapi, kemudian proliferasi yang progresif membentuk epitel skuamosa yang

berlapis banyak khas untuk epidermis normal. Folikel rambut, kelenjar keringat

dan kelenjar lemak yang rusak dapat juga mengalami regenerasi. Setelah 2 hari,

fibroblast pada tepi luka mengalami hipertropi.

Pada hari ketiga pasca bedah respon radang akut mulai berkurang dan

neutrofil mulai diganti dengan makrofag yang membersihkan tepi luka dari sel-sel

yang rusak dan pecahan fibrin.

Pada hari kelima, celah insisi biasanya terdiri dari jaringan granulasi yang

kaya pembuluh darah dan longgar. Banyak dijumpai serabut-serabut kolagen di

garis insisi.

Pada akhir minggu pertama, luka tertutup oleh epidermis dengan ketebalan

yang lebih kurang normal, dan celah sub epitel yang telah terisi jaringan ikat kaya

pembuluh darah mulai membentuk serabut-serabut kolagen. Tumpukan kolagen

akan menunjang luka dengan baik dalam 6 sampai 7 hari. (Robbins, 1995).

b. Intentionem Sekunder

Intentionem sekunder merupakan penyembuhan luka dari luka yang tepi-

tepinya tidak dapat dijahit. Sembuhnya luka dengan mengisi celah dimulai dari

14
bawah. Luka terbuka dengan kemungkinan bisa mengikat infeksinya dan sembuh

disertai banyak parut (Robbins, 1995).

c. Intentionem Tersier

Intentionem Tersier merupakan penyembuhan luka dimana luka dijahit

setelah beberapa hari kemudian. Luka banyak mengalami kontaminasi dari pada

intentionem primer. Jaringan parut timbul lebih banyak (Marison,2004: 11).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka


Menurut Kozier (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan

luka antara lain:

a. Usia

Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang

tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu

sintesis dari faktor pembekuan darah.

b. Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien

memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral

seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status

nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk

meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena suplai darah

jaringan adipose tidak adekuat.

c. Infeksi

Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.

15
d. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya

sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit

pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat

karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk

sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang

menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus.

Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan

pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan

vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk

penyembuhan luka.

e. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Sering kali darah pada luka secara

bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat

bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh,

sehingga menghambat proses penyembuhan luka.

f. Benda asing

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan

terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari

serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk

suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).

g. Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah

pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi

16
akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal

yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.

h. Diabetes

Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula

darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan

terjadi penurunan protein-kalori tubuh.

i. Keadaan Luka

Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas

penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.

j. Obat

Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti

neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama

dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka. Beberapa obat yang sering

digunakan yaitu:

1) Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap

cedera

2) Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan

3) Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri

penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan

tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.

6. Komplikasi penyembuhan

Adapun komplikasi dari penyembuhan luka antara lain :

a. Infeksi

17
Luka yang terkontaminasi kuman dapat mengalami infeksi. Infeksi

merupakan pertumbuhan mikroorganisme pada luka yang berhubungan dengan

reaksi jaringan pada banyaknya mikroorganisme patogen serta meningkat dengan

virulensi dan resistensi pasien. Terjadinya infeksi dapat dilihat dengan adanya fase

inflamasi yang memanjang pada penyembuhan luka (Potter dan Perry, 2005).

Infeksi luka dapat memperlambat penyembuhan luka. Pada infeksi tahap awal,

mungkin tidak terdapat tanda-tanda klinis tetapi organism telah memicu memori

imunologis. Dalam hal ini infeksi dikatakan bersifat subklinis. Apabila tampak

tanda dan gejala infeksi seperti nyeri setempat, eritema, edema local, eksudat

berlebih, pus dan bau busuk maka luka dikatakan terinfeksi secara klinis

(Marison, 2004). Tanda dan gejala tersebut dapat diamati pada luka

terkontaminasi.

Reaksi inflamasi merupakan respon tubuh terhadap infeksi. Proses

inflamasi melibatkan peran sel-sel inflamasi seperti : neutrofil, monosit,makrofag.

Sel-sel ini memiliki kemampuan untuk memfagosit mikroorganisme penyebab

infeksi. Mikroorganisme memiliki kemampuan untuk berproliferasi. Keadaan ini

mengakibatkan sel-sel inflamasi memerlukan waktu yang lebih panjang untuk

melakukan aktivitas fagositosis (Bratawidjaja,2004).

b. Hematoma

Hematoma timbul secara dini akibat kegagalan pengendalian pembuluh

darah yang berdarah dan dapat menghilang spontan. Hematoma yang meluas

membutuhkan operasi ulang dan pengendalian perdarahan (Sabiston, 1995).

B. Madu Lebah Madu (Apis cerana)

18
1. Definisi madu lebah
Madu adalah cairan kental yang dihasilkan oleh lebah madu atau tawon

madu (Apis cerana) (Suranto, 2007 dalam Arie Astuti 2009). Madu adalah cairan

manis alami berasal dari nektar tumbuhan yang diproduksi oleh lebah madu.

Lebah madu (Apis cerana) mengumpulkan nektar madu dari sari-sari bunga.

Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar necteriffier dalam

bunga, bentuknya berupa cairan, berasa manis alami dengan aroma lembut. Nektar

mengandung air (50-90%), glukosa, fruktosa, sukrosa, protein, asam amino,

karotin, vitamin dan minyak serta mineral esensial.

2. Kandungan madu lebah


Pengetahuan serta kemajuan di bidang teknologi memungkinkan

dilakukan penelusuran kandungan madu. Kerja sama para penelitian dari berbagai

bidang (kimia pangan, biokimia, biomedik dan farmakologi) telah membuahkan

hasil yang menggembirakan yang dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk

keperluan kesehatan manusia (Puspitasari, 2007).

Kandungan utama madu adalah karbohidrat, khususnya jenis-jenis gula. Di

dalam madu terkandung 38% fruktosa, 31% glukosa, 1% sukrosa, gula lain seperti

maltose dan melezitose sekitar 9%. Di dalam 100 gram madu terdapat karbohidrat

sebesar 84,4 gram, tidak ditemukan lemak, tetapi ada 0,3 gram protein, 0,2 gram

serat, serta air 17,1 gram. Kandungan fruktosa, glukosa, sukrosa, dan maltose

pada madu berasal dari bunga matahari sebanyak 92,9%, sementara yang berasal

dari eukaliptus hanya 75% (Mateo, dkk, 1997 dalam Puspitasari, 2007).

19
Selain itu di dalam madu ditemukan adanya vitamin dan mineral, seperti

vitamin B6, tiamin, niacin, riboflavin, asam pantotenat, kalsium, tembaga, besi,

magnesium, mangan, fosfat, kalium, natrium dan seng (Arain dkk, 2006 dalam

Puspitasari, 2007).

Sejumlah asam amino juga teridentifikasi dalam madu. Yang terbanyak

adalah fenilalanin, glutamine, tyrosin, asam aspartat dan asam glutamate (Perez

dkk, 2007 dalam Arie Astuti, 2009). Sementara efek antibakteri pada madu

disebabkan adanya kandungan zat inhibine yang kemudian diidentifikasi sebagai

Hidrogen Peroksida atau H2O2 (Suranto,2007).

Sejumlah kecil Hidrogen Peroksida (H2O2) pada madu diaktifkan oleh

enzim Glukosa oksidase (Suranto,2007). Hasil aktivitas ini, selanjutnya akan

bekerja bersama mekanisme fagositosis makrofag dalam menghambat aktivitas

mikroorganisme pathogen pada proses penyembuhan luka (Molan PC,1999).

3. Jenis-jenis madu lebah


Menurut Suranto (2007), jenis madu yang dihasilkan oleh lebah madu

(Apis cerana) ada dua yaitu : (1) madu yang bersifat monofloral adalah madu

yang dihasilkan dari satu jenis sari bunga, seperti madu lengkeng, madu kapuk

randu, madu rambutan, yang dihasilkan dari produksi peternakan lebah dan (2)

madu yang bersifat polifloral adalah madu yang dihasilkan dari banyak jenis sari

bunga, biasanya madu ini dihasilkan lebah madu liar. Namun dalam

perkembangannya, telah banyak peternakan lebah yang menghasilkan madu

polifloral karena terbukti memiliki kasiat yang sama baiknya dengan madu jenis

monofloral. Dalam penelitian ini akan digunakan jenis madu polifloral dengan

20
pertimbangan keterbatasan biaya serta ketersediaan dan kemudahan mendapatkan

jenisnya dipasaran.

4. Pemanfaatan madu lebah dalam dunia kesehatan


a. Perawatan luka
Penggunaan madu untuk perawatan luka sudah banyak dilakukan sejak

ribuan tahun yang lalu. Dunia kedokteran modern saat ini telah banyak

membuktikan madu sebagai obat penyembuh luka yang unggul. Sebuah laporan

menunjukkan luka yang dibalut dengan madu menutup pada 90% kasus dan pada

luka bakar derajat ringan penyembuhan luka dengan olesan madu berlangsung

lebih cepat (Suranto,2007).

b. Mengandung antibiotika
Efek antibakteri madu pertama kali dikenal tahun 1892 oleh van Ketel.

Awalnya efek antibakteri ini diduga karena kandungan gula madu tinggi, yaitu

disebut efek osmotik. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya zat

inhibine yang diidentifikasi sebagai Hidrogen peroksida (H2O2) yang berfungsi

sebagai antibakteri.

1). Efek osmotik : kadar gula pada madu lebih tinggi dibandingkan dengan kadar

airnya. Hal ini akan menghambat kehidupan kikroorganisme pathogen.

2). Aktivitas hydrogen peroksida : madu mengandung enzim glukosa oksidase

yang akan bereaksi dengan glukosa bila ada air, dan memproduksi hydrogen

peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida berfungsi sebagai zat inhibine. Efek

21
sampingnya seperti merusak jaringan akan diatasi madu dengan zat antioksidan

dan ezim-enzimnya yang lain.

3). Sifat asam madu : madu bersifat asam dengan pH berkisar 3,2-4,5. Derajat

keasaman ini efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen

yang berkembang biak rata-rata pada pH 7,2-7,4.

4). Faktor fitokomia : pada beberapa jenis madu seperti madu manuka ditemukan

zat antibiotik yang disebut faktor non-peroksida yaitu zat selain hidrogen

peroksida yang memiliki kemampuan untuk membunuh kuman tertentu.

5). Aktivitas fagositosit dan meningkatkan limfosit : madu dapat meningkatkan

pembelahan sel limfosit, artinya memperbanyak sel darah putih tubuh dan

meningkatkan produksi sel monosit yang dapat mengeluarkan sitokin, TNF-alfa,

interleukin 1 dan interleukin 6, yang berperan dalam mengaktifkan respon daya

tahan tubuh terhadap infeksi (Suranto, 2007).

C. Lidah Buaya (Aloe Vera)


1. Definisi aloe vera
Aloe merupakan tanaman Liliaceae yang mempunyai banyak jumlah

spesies yang berbeda, di antara spesies ini hanya satu jenis yang telah lazim

digunakan sebagai tanaman obat sejak ribuan tahun yang lalu yaitu Aloe vera atau

yang sering disebut dengan nama lidah buaya. Sejak tahun 1522 SM dalam

sejarah perawatan luka, di Mesir lidah buaya sudah digunakan untuk meredakan

gangguan kemerahan pada kulit maupun sebagai penyembuh luka yang

terkontaminasi. Tidak hanya itu, lidah buaya digunakan sebagai bahan campuran

22
makanan dan kosmetik, sehingga lidah buaya juga disebut-sebut sebagai

tumbuhan ajaib. (Sulaeman, 2008).

2. Klasifikasi ilmiah lidah buaya (Aloe vera)

Klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari lidah buaya sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Spermatophyta

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Liliflorae

Family : Liliceae

Genus : Aloe

Species : Aloe vera ( Furnawanthi, 2003)

3. Morfologi aloe vera


a. Batang
Tanaman aloe vera berbatang pendek. Batangnya tidak kelihatan karena

tertutup oleh daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui

batang ini akan muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadi anakan. Aloe vera

yang bertangkai panjang juga muncul dari batang melalui celah-celah atau ketiak

daun. Batang aloe vera dapat disetek untuk perbanyakan tanaman. Peremajaan ini

dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian dari sisa

tunggul batang ini akan muncul tunas-tunas baru atau anakan.


b. Daun
Daun tanaman aloe vera berbentuk pita dengan helaian yang memanjang.

Daunnya berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau ke abu-abuan, bersifat

sukulen (banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah dan lendir (gel)

sebagai bahan baku obat. Tanaman lidah buaya tahan terhadap kekeringan karena

di dalam daun banyak tersimpan cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada

23
waktu kekurangan air. Bentuk daunnya menyerupai padang dengan ujung daun

meruncing, permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri lemas di pinggirnya.

Panjang daun dapat mencapai 50 – 75 cm dengan berat 0,5 kg – 1 kg, daun

melingkar rapat di sekeliling batang bersaf-saf.


c. Bunga
Bunga lidah buaya berwarna kuning atau kemerahan berupa pita yang

mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunga berukuran kecil, tersusun dalam

rangkaian benbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter, bunga lidah

buaya biasanya muncul bila ditanam di pegunungan.


d. Akar
Akar tanaman aloe vera berupa akar serabut yang pendek dan berada

dipermukaan tanah. Panjang akar berkisar antara 50 – 100 cm. Untuk

pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan gembur dibagian

atas (Jatnika dan Saptoningsih, 2009)

4. Kandungan kimia aloe vera dan sifat-sifatnya

Tanaman lidah buaya daun dan akarnya mengandung saponin dan flavonoid di

samping itu gelnya mengandung tanin dan polifenol.

a. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang menimbulkan busa jika dikocok

dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel

darah merah. Beberapa saponin bekerja sebagai anti mikroba, saponin memiliki

kemampuan sebagai pembersih sehingga efektif untuk luka terbuka (Robinson,

1995 dalam Rohmawati).

b. Tanin

Tanin tersebar dalam setiap tanaman yang berbatang. Tanin berada dalam jumlah

tertentu, biasanya berada pada bagian yang spesifik tanaman seperti daun, buah,

24
akar dan batang. Tanin merupakan senyawa kompleks, biasanya merupakan

campuran polifenol yang sukar untuk dipisahkan karena tidak dalam bentuk

kristal (Robers, dkk., 1996 dalam Rohmawati). Tanin biasanya berupa senyawa

amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam organik yang polar.

Tanin mempunyai aktivitas antioksidan menghambat pertumbuhan tumor dan

enzim (Harborne, 1987 dalam Rohmawati). Teori lain menyebutkan bahwa tanin

mempunyai daya antiseptik yaitu mencegah kerusakan yang disebabkan bakteri

atau jamur (Claus dan Tyler, 1965 dalam Rohmawati).

c. Polifenol

Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai

antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan

akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi dan plastik. Fungsi

polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ionion

logam. Kelompok tersebut sangat mudah larut dalam air dan lemak serta dapat

bereaksi dengan vitamin C dan E (Hermani dan Rahardjo, 2006 dalam

Rohmawati).
Menurut Henny (1979, dalam Sulaeman, 2008), unsur utama dari cairan

lidah buaya adalah alonin, emodin, resin, gum, dan unsur lainnya seperti minyak

astiri. Dari segi kandungan nutrisi, gel atau lendir lidah buaya mengandung

beberapa mineral seperti Zn, K, Fe, dan vitamin seperti vitamin A dan C.
Daging lidah buaya mengandung lebih dari 200 komponen kimia dan

nutrisi alami yang secara bersinergi dan menghasilkan khasiat tertentu. Berikut ini

merupakan komponen kimia yang terkandung dalam lidah buaya.

Tabel 1 : Komponen Kimia Lidah Buaya Berdasarkan Manfaatnya

Zat Manfaat
1 2

25
Lignin Memiliki kemampuan penyerapan yang
tinggi yang memudahkan peresapan gel
ke kulit sehingga mampu melindungi
kulit dari dehidrasi dan menjaga
kelembapan kulit

Saponin Memiliki kemampuan membersihkan


(aseptik), sebagai bahan pencuci yang
sangat baik

Komplek antharaquinon aloin, Bahan laksatif, penghilang rasa sakit,


barbaloin, iso-barbaloin, anthranol, aloe mengurangi racun, senyawa antibakteri,
emodin, anthracene, aloetic acid, asam mempunyai kandungan antibiotik
sinamat, asam krisophanat, eteral oil,
dan resistanol

Kalium dan natrium Memelihara kekencangan muka dan


otot tubuh, regulasi dan metabolism
tubuh dan penting dalam pengaturan
impuls saraf

Kalsium Membantu pembentukan dan regenerasi


tulang

Seng (Zn) Bermanfaat bagi kesehatan saluran air


kencing

Asam folat Bermanfaat bagi kesehatan kulit dan


rambut

Vitamin A Berfungsi untuk oksigenasi jaringan


tubuh, terutama kulit dan kuku

Vitamin B1, B2, B6, niacinamida, dan Berfungsi untuk menjalankan fungsi
kolin tubuh secara normal dan sehat

Enzim oksidase, amilase, katalase, Mengatur berbagai proses kimia dalam


lipase, dan protease tubuh, menyembuhkan luka dalam dan
luar

Enzim protease bekerja sama dengan Penghilang rasa nyeri saat luka
glukomannan

Asam krisofan Mendorong penyembuhan kulit yang


mengalami kerusakan

Mono dan polisakarida (sesulosa, Memenuhi kebutuhan metabolisme


glukosa, mannose, dan aldopentosa) tubuh, berfungsi untuk memproduksi
mukopolisakarida

26
Sumber : Jatnika dan Saptoningsih (2009)

Lidah buaya mengandung saponin yang mempunyai kemampuan

membunuh kuman, serta senyawa antrakuinon dan kuinon sebagai antibiotik dan

penghilang rasa sakit. Lidah buaya juga merangsang pertumbuhan sel baru dalam

kulit. Dalam gel lidah buaya terkandung lignin yang mampu menembus dan

meresap ke dalam kulit, sehingga gel akan menahan kehilangan cairan tubuh dari

permukaan kulit. Adapun manfaat lain dari lidah buaya adalah untuk mengobati

cacingan, susah buang air besar, sembelit, penyubur rambut, luka bakar atau

tersiram air panas, jerawat, noda hitam, batuk, diabetes, radang tenggorokan,

menurunkan kolesterol dan mengobati (Sulaeman, 2008).


Cairan bening seperti gel diperoleh dengan membelah batang lidah buaya.

Gel ini mengandung zat anti bakteri dan anti jamur yang dapat menstimulasi

fibroblas yaitu sel-sel kulit yang berfungsi menyembuhkan luka. Selain kedua zat

tersebut, gel lidah buaya juga mengandung salisilat, zat peredam sakit, dan anti

bengkak seperti yang terdapat dalam aspirin (Sulaeman, 2008).


Daging lidah buaya memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap, di

antaranya Zn, K, Fe, Vitamin A, asam folat, dan kolin. Sementara itu, lendir lidah

buaya mengandung vitamin B1, B2, B6, B12, C, E, inositol, dan asam folat.

Kandungan lidah buaya, di antaranya kalsium, fosfor, besi, natrium, magnesium,

mangan, tembaga, dan seng. Berdasarkan penelitian, enzim yang dimiliki lidah

buaya antara lain amilase, katalase, selulosa, karboksipeptidase, karboksihelolase,

fosfatase, lipase, nukleotidase, alkaline, dan proteolitase (Furnawanthi, 2003).

5. Gel lidah buaya sebagai anti bakteri bagi tubuh

Pada tahun 1977 dilaporkan dalam Drugs and Cosmetic Journal bahwa

rahasia keampuhan lidah buaya terletak pada kandungan zat nutrisinya (terutama

27
glukomannan) yang bekerja sama dengan asam-asam amino esensial dan

sekunder, enzim oksidase, katalase dan lipase terutama enzim- enzim pemecah

protein (protease). Gel lidah buaya mengandung gugus glikosida yang merupakan

gugus aminoglikosida yang bersifat antibiotik. Senyawa ini akan berdifusi pada

dinding sel bakteri dan proses ini berlangsung lama dan terus menerus dalam

suasana aerob. Setelah masuk ke dalam sel, kemudian diteruskan pada ribosom

yang menghasilkan protein, sehingga akan menimbulkan gangguan pada proses

sintesa protein dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan

protein sel bakteri. Saponin dapat menimbulkan reaksi saponifikasi. Senyawa ini

akan menyebabkan kerusakan struktur lemak membran bakteri sehingga dinding

sel bakteri akan ruptur dan lisis kemudian mati. Sedangkan acemannan

merupakan senyawa karbohidrat yang akan mengaktifkan makrofag sehingga

menyebabkan terjadinya fagositosis (Sulaeman,2008).

6. Sifat gel lidah buaya


Berikut ini beberapa sifat dari gel lidah buaya berdasarkan hasil penelitian

antara lain:
a. Antiseptik : pembersih alami dan mengobati luka dengan cepat
b. Antipuritik : penghilang rasa gatal
c. Anestetik : pereda rasa sakit
d. Antipiretik : penurun rasa panas
e. Antijamur, antivirus, dan antibakteri yang berasal dari kandungan saponin
f. Anti-inflamasi : berasal dari asam lemak; mengurangi radang dan rasa sakit,

sekaligus mempercepat penyembuhan dan meningkatkan aliran darah pada

bagian yang terluka.


Selain itu, lidah buaya mengandung senyawa lignin dan polisakarida yang

berguna sebagai media pembawa zat-zat nutrisi yang diperlukan oleh kulit.

28
Ditunjang juga oleh karakteristik lidah buaya yang memiliki tingkat keasaman

(pH) yang normal, hampir sama dengan pH kulit manusia sehingga memberikan

kemampuan untuk menembus kulit secara baik. Gel lidah buaya juga memiliki

kandungan asam amino dan enzim yang masing-masing berfungsi untuk

membantu perkembangan sel-sel baru dengan kecepatan luar biasa dan

menghilangkan sel-sel yang telah mati dari epidermis (Jatnika dan Saptoningsih,

2009 ).

7. Manfaat gel lidah buaya dalam dunia kesehatan


a. Gel lidah buaya berkhasiat untuk membantu mengatasi ruam dan terbakar

sinar matahari serta bermanfaat untuk menenangkan sekaligus mendinginkan

kulit yang terbakar matahari dan untuk menghambat sinar UV yang merusak

kulit.
b. Untuk menyembuhkan dan merangsang pembaharuan sel-sel kulit yang mati.
c. Gel daun lidah buaya berkhasiat untuk menyejukkan kulit serta berfungsi

sebagai emollient serta berguna untuk menahan hilangnya cairan dari

permukaan kulit sehingga kulit tidak cepat kering dan selalu terasa lembap.
d. Berfungsi sebagai pembersih sekaligus antiseptik, dan berfungsi sebagai

antibiotik.
e. Membantu merangsang pernapasan kulit serta memacu pertumbuhan sel-sel

kulit.
f. Selain untuk menghaluskan dan membersihkan kulit, lidah buaya juga dapat

menyembuhkan dan mengeluarkan racun/kotoran dari dalam kulit.


g. Bahan yang terkandung dalam gel lidah buaya dapat membantu menunda

penuaan kulit, meremajakan kulit serta menunda timbulnya kerutan pada

wajah.
h. Gel lidah buaya berkhasiat untuk menyuburkan rambut.
i. Gel lidah buaya dapat digunakan untuk meredakan dan mengobati rasa gatal

serta dapat digunakan sebagai obat kulit yang mengalami luka atau luka bakar

29
dan mengatasi bengkak atau noda bekas gigitan serangga, juga membunuh

bakteri dan jamur.


j. Bahan yang terkandung dalam gel lidah buaya bersifat anti-inflammatory yang

dapat membantu mempercepat penyembuhan dan mendinginkan serta

menghaluskan kulit (Furnawanthi, 2003).

8. Cara pemakaian
a. Potong satu pelepah lidah buaya dari batangnya
b. Cuci bersih dan kupas, kemudian potong secara melintang sampai

mendapatkan gel atau cairan kehijauan


c. Tempelkan gel pada luka hingga menutupi luka, lalu bungkus dengan

perban supaya tidak berkontaminasi dengan udara dan panas (Hembing

Wijayakusuma,1999)

Gambar 2: Tanaman Lidah Buaya Di Pekarangan Peneliti

30

Anda mungkin juga menyukai