Anda di halaman 1dari 184

PANDUAN PELAYANAN

ASUHAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH KABUPATEN
LAMPIRAN : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN BULELENG
NOMOR : 445/184.225/2018
TANGGAL : 2 JANUARI 2018
TENTANG : PANDUAN PELAYANAN ASUHAN PASIEN DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN
BULELENG

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................…i

BAB I Definisi............................................................................................1

BAB II Ruang Lingkup ............................................................................11

BAB III Tatalaksana ................................................................................22

BAB V Dokumentasi..............................................................................159

i
ii
BAB I

DEFINISI PELAYANAN ASUHAN PASIEN

A. PELAYANAN YANG SERAGAM

Pemberian pelayanan yang seragam adalah memberikan kualitas

pelayanan kesehatan yang sama kepada setiap pasien atau individu yang

berkunjung ke RSUD Kab. Buleleng tidak tergantung pada hari setiap

minggu guna untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai

kebutuhannya yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki oleh

RSUD Kab. Buleleng.

B. PENGINTEGRASIAN DAN KOORDINASI ASUHAN PASIEN

1. Pasien adalah tiap individu yang sedang memerlukan evaluasi

diagnostic atau konsultasi medik untuk memperoleh pengobatan dan

atau tindakan medik/operatif dibawah kewenangan RSUD Kabupaten

Buleleng.

2. Patient Center Care artinya pasien adalah pusat pelayanan, pasien

adalah bagian dari Tim

3. Koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-

tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah

(departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk

mencapai tujuan organisasi secara efisien (Handoko,2003:195)

4. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) merupakan tim interdisiplin ,

diposisikan disekitar pasien, tugas mandiri, delegatif, kolaboratif,

kompetensi memadai, sama penting/setara ada kontribusi profesinya.

5. Pelayanan terintegrasi dalam arti manajemen dan pelayanan

kesehatan sehingga pasien dapat menerima semua aspek pelayanan

dari aspek pencegahan, aspek kuratif, rehabilitatif, paliatif termasuk

anestesi, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif dan atau

kombinasi

6. PPA adalah pemberia asuhan seperti dokter, perawat, apoteker,

rebilitasi medis, ahli gizi, terapis dan praktisi penunjang lainnya.

7. DPJP adalah dokter yang memberikan asuhan medis paripurna.

8. DPJP sebagai Clinical Leader adalah orang yang melakukan

koordinasi, review, sintesis, interpretasi asuhan komprehensif

1
9. Penyelenggaraan Pelayanan Profesi adalah kegiatan perencanaan,

implementasi dan evaluasi pelayanan didasari kaidah dan etika

profesi, disiplin dan mutu.

10. Case Manager adalah seorang yang berperan membantu melakukan

koordinasi pada tim terhadap permasalahan pasien dengan kasus

kompleks dari saat dirawat sampai keluar rumah sakit.

11. Rapat Tim adalah pelaksanaan rapat yang membahas tentang

penanganan dan perawatan bersama terhadap pasien yang dirawat.

C. RENCANA ASUHAN PASIEN

1. Perencanaan atau plan of care adalah pernyataan tertulis yang berisi

tentang prioritas rencana pengobatan, prosedur, asuhan keperawatan,

dan asuhan lain untuk memenuhi kebutuhan pasien.

2. Plan of Care Medis adalah pernyataan tertulis yang berisi tentang

rencana medis atau pengobatan yang akan diberikan kepada pasien.

3. Profesional Pemberi Asuhan merupakan Tim Interdisiplin, diposisikan

di sekitar pasien, tugas mandiri, delegatif, kolaboratif, kompetensi

memadai, sama penting / setara pd kontribusi profesinya dalam

memenuhi kebutuhan pasien.

4. Penilaian berbasis Informasi, Analisis informasi, dan Rekomendasi

/Plan of Care (IAR) adalah semua informasi yang ditemukan pada saat

melakukan anamnesa, kemudian dilakukan analisa adakah

kesenjangannya dengan standar normal yang dijadikan Rekomendasi

untuk rencana perawatan dan pengobatan yang dibutuhkan oleh

pasien tersebut.

5. Proses Keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan

pada praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien

pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan

metodologi proses keperawatan

D. PASIEN BERISIKO TINGGI DAN PELAYANAN BERISIKO TINGGI

1. Pasien risiko tinggi adalah pasien yang digolongkan berisiko tinggi

oleh karena umur, kondisi atau kebutuhan bersifat kitis, pasien yang

ketakutan, bingung atau koma mereka tidak dapat menyampaikan

pendapatnya, tidak mengerti/ mampu memahami proses asuhan, dan

tidak dapat ikut memberikan keputusan tentang asuhannya.


2
2. Pelayanan Berisiko Tinggi

Pelayanan berisiko tinggi adalah pelayanan/tindakan yang

memerlukan peralatan yang komplek, yang diperlukan untuk

pengobatan penyakit yang dapat mengancam jiwa, sifat pengobatan,

potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat

berisiko tinggi. Dimana dalam pelaksanaannya harus mendapatkan

persetujuan dari pasien dan keluarga dengan menanda-tangani

informed consent.

E. PELAYANAN EWS

1. Early Warning System (EWS) adalah sistem peringatan dini yang dapat

diartikan sebagai rangkaian sistem komunikasi informasi yang

dimulai dari deteksi awal, dan pengambilan keputusan selanjutnya.

Diteksi dini merupakan gambaran dan isyarat terjadinya gangguan

fungsi tubuh yang buruk atau ketidakstabilitas fisik pasien sehingga

dapat menjadi kode dan atau mempersiapkan kejadian buruk dan

meminimalkan dampaknya, penilaian untuk mengukur peringatan

dini ini menggunakan Early Warning Score.

2. Modified Early Warning Score (MEWS) adalah sebuah pendekatan

sistematis yang menggunakan skoring untuk mengidentifikasi

perubahan kondisi seseorang sekaligus menentukan langkah

selanjutnya yang harus dikerjakan. Penilaian ini dilakukan pada

orang dewasa (berusia lebih dari 18 tahun), tidak untuk anak-anak

dan ibu hamil. Sistem ini dikembangkan oleh Royal College of

Physicians, the Royal College of Nursing, the National Outreach Forum

and NHS Training for Innovatio, London tahun 2012.

3. Pediatric Early Warning System (PEWS) adalah penggunaan skor

peringatan dini dan penerapan perubahan kompleks yang diperlukan

untuk pengenalan dini terhadap pasien anak yang berumur dibawah

18 tahun di rumah sakit.

4. Early Warning Observation Score Chart Obstetrik (EWOSCO) adalah

penggunaan skor peringatan dini dan penerapan perubahan kompleks

yang diperlukan untuk pengenalan dini terhadap pasien hamil.

F. PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH

3
1. Pelayanan darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang

memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan

kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersil

2. Pelayanan tranfusi darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang

meliputi perencanaan, pengerahan, dan pelestarian donor darah,

penyediaan darah, pendistribusian darah, dan tindakan medis

pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan.

G. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU HIDUP DAN ATAU KOMA

1. Pasien dengan alat bantu napas adalah pasien dengan kondisi

tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigennya sehingga

memerlukan alat bantu nafas baik invasive maupun non invasive.

2. Alat bantu napas non invasive adalah upaya pembebasan jalan napas

tanpa menggunakan alat dan pemenuhan oksigenasi dengan

menggunakan nasal, binasal, masker, dan non rebreathing oksigen.

3. Alat bantu napas invasive (Ventilasi mekanik) adalah ventilasi yang

sebagian atau seluruhnya dilaksnanakan dengan bantuan mekanis.

4. Intubasi adalah suatu tindakan memasukkan pipa jalan napas

buatan kedalam trachea melalui hidung atau mulut.

5. Ekstubasi adalah tindakan yang dilakukan untuk melepas pipa jalan

napas buatan (ETT) dari trachea.

6. Pasien koma adalah suatu keadaan penurunan kesadaranyang paling

berat, ditandai dengan kondisi penurunan kesadaran yang tidak

menghasilkan reaksi sama sekali terhadap rangsangan dari luar (GCS

V1E1M1)

H. PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR

1. Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit (Infeksi) tertentu

yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

2. Penyakit infeksi merupakan suatu keadaan dimana ditemukan

adanya agen infeksi (organisme) yang sisertai respon imun dan gejala

klinik.

4
3. Infeksi merupakan suatu kadaan diaman ditemukannya adaya agen

infeksi (organisme) dimana terdapat respon imun, tetapi tidak disertai

gejala klinik.

4. Penyakit menular melalui trnsmisis udara(airbone diseases) adalah

infeksi mikroorganisme yang ditularkan melalui parikel udara yang

lebih kecil dari 5 µm.

5. Penyakit menular melalui aliran tubuh (droplet) adalah infeksi yang

disebarkan melalui butiran cairan yang lebih besar (>5 µm).

6. Penyakit menular melalui kontak (kontaka langsung maupun tidak

langsung) infeksi yang didapat melalui pasien yang diketahui atau

dicurigai terinfeksi dengan oraganism epidemis seperti spesies-

spesies yang kebal berbagai oabat atau spesies Enterococcus yang

kebal Vancomycin (VRE).

7. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport

agen infeksi dari reservoir ke penderita (yang Suspectibel).

8. Tuberculosis Paru (TB Paru) adalah penyakit menular pada jaringan

paru akibat infeksi Mikobakterium Tuberkulosis.

I. PASIEN DENGAN IMUNITAS MENURUN (IMMUNO-COMPROMISSE)

1. Pasien yang dimaksud dengan pasien immunitas menurun adalah:

2. Pasien dengan Neutrophenia dengan Absoulute Neutrofil Count (ANC)

≤ 500 x 106 sel/L.

3. Pasien HIV yang sudah tertangani infeksi oportunistiknya dengan CD4

< 200 sel/unit.

J. PANDUAN PELAYANAN HAEMODIALISA

1. Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana kotoran dibuang dari

dalam darah melalui ginjal buatan (mesin hemodialisa). Prosedur ini

digunakan untuk mengatasi keadaan dimana ginjal tidak mampu

membuang kotoran tubuh (Des & Pearle, dalam Ratnawati, 2011).

2. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien

dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka

pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan

5
penyakit ginjal stadium terminal (end stage renal disease) yang

membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Bruner &

Suddart, 2002).

3. Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang

berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa

metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien gagal ginjal

K. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT PENGIKAT (RESTRAINT)

1. Pelayanan pasien

Adalah penyediaan jasa oleh Rumah Sakit kepada orang sakit yang

dirawat di Rumah Sakit yang bertujuan untuk mengurangi atau

menyembuhkan keluhan yang berhubungan dengan kesehatan orang

sakit tersebut.

2. Restraint

Adalah suatu metode/cara pembatasan/restriksi yang

disengaja terhadap gerakan/perilaku seseorang. Dalam hal ini,

‘perilaku’ yang dimaksudkan adalah tindakan yang direncanakan,

bukan suatu tindakan yang tidak disadari/tidak disengaja/sebagai

suatu refleks.

L. PERLINDUNGAN TERHADAP KEKERASAN FISIK

Perlindunngan terhadap kekerasan fisik adalah suatu usaha yang

merupakan tanggung jawab rumah sakit dalam melindungi pasien dari

penganiayaan fisik yang diberikan pada saat pasien berada dilingkungan

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng.

M. ASUHAN GIZI

1. Asuhan Gizi

Asuhan gizi adalah serangkaian proses kegiatan pelayanan gizi yang

berkesinambungan dan bertujuan untuk memecahkan masalah gizi,

meliputi kegiatan pengkajian gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi

melalui pemenuhan kebutuhan zat gizi klien secara optimal, baik

6
berupa pemberian makanan maupun konseling gizi, serta monitoring

dan evaluasi kepada klien/pasien rawat inap dan rawat jalan.

Asuhan gizi merupakan sarana dalam upaya pemenuhan zat gizi

pasien. Pelayanan gizi rawat inap sering disebut juga dengan terapi

gizi medik. Pelayanan kesehatan paripurna seorang paien, baik rawat

inap maupun rawat jalan, secara teoritis memerlukan tiga jenis

asuhan (CARE) yang pada pelaksanaannya dikenal sebagai

pelayanan (SERVICES). Ketiga jenis asuhan tersebut adalah Asuhan

Medik, Asuhan Keperawatan dan Asuhan Gizi.

2. Skrining Gizi

Skrining gizi adalah proses mengetahui dan mengidentifikasi

karakteristik individu yang mengalami kekurangan gizi atau yang

beresiko terhadap permasalahan gizi, Proses sederhanan dan cepat

untuk mengidentifikasi permasalahan gizi

3. Pengkajian Gizi

Pengkajian gizi adalah kegiatan mengumpulkan, mengintegrasikan

dan menganalisis data untuk identifikasi masalah gizi yang terkait

dengan aspek asuhan zat gizi dan makanan, aspek klinis dan aspek

perilaku-lingkungan serta penyebabnya

4. Diagnosis Gizi

Diagnosis gizi adalah kegiatan mengidentifikasi dan memberi nama

masalah gizi yang aktual, dan atau berisiko menyebabkan masalah

gizi yang merupakan tanggung jawab dietisien untuk menanganinya

secara mandiri. Diagnosis gizi diuraikan atas komponen masalah gizi

(Problem), penyebab masalah (Etiology), serta tanda dan gejala

adanya masalah (Signs & Symptoms).

5. Intervensi Gizi

Intervensi adalah serangkaian aktivitas spesifik dan berkaitan

dengan penggunaan bahan untuk menanggulangi masalah. Aktivias

ini merupakan tindakan yang terencana secara khusus, dengan

tujuan untuk mengatasi masalah gizi terkait perilaku; kondisi

lingkungan; atau status kesehatan individu, kelompok, atau

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi klien.

6. Monitoring dan Evaluasi

Kegiatan monitoring dan evaluasi gizi dilakukan untuk mengetahui

respon pasien/klien terhadap intervensi dan tingkat


7
keberhasilannya. Aktivitas ini bukan sekedar kegiatan ‘mengamati’

apa yang terjadi saja tetapi membutuhkan komitmen yang kuat

untuk melakukan pengukuran, pencatatan hasil sesuai indikator

yang selaras dengan diagnosis gizi dan intervensi gizi.

7. Konseling Gizi

Konseling gizi adalah serangkaian kegiatan sebagai proses

komunikasi 2 (dua) arah untuk menanamkan dan meningkatkan

pengertian, sikap, dan perilaku sehingga membantu klien/pasien

mengenali dan mengatasi masalah gizi melalui pengaturan makanan

dan minuman. Konseling gizi dilaksanakan oleh ahli gizi/dietisien.

8. Dietisien

Dietisien adalah seorang yang mempunyai pendidikan gizi

khususnya dietetik dan mendapat sertifikasi dari Persatuan Ahli Gizi

Indonesia (PERSAGI), bekerja untuk menerapkan prinsip prinsip gizi

dalam pemberian makanan kepada individu atau kelompok,

merencanakan menu dan diet khusus, serta mengawasi

penyelenggaraan dan penyajian makanan.

9. Pasien

Pasien adalah seseorang yang mempunyai masalah kesehatan dan

gizi, dan atau sedang menjalani pengobatan di pelayanan kesehatan

rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat inap, berkeinginan

melakukan tindakan pencegahan penyakit, melakukan perubahan

perilaku serta meningkatkan status gizi. Pasien dapat datang karena

keinginan sendiri maupun dirujuk dari dokter yang merawat.

10. Food model adalah bahan makanan atau makanan contoh yang

terbuat dari bahan sintestis atau asli yang diawetkan dengan ukuran

dan satuan tertentu sesuai dengan satuan penukar yang digunakan

untuk konseling gizi kepada pasien rawat inap maupun pengunjung

rawat jalan.

11. Panduan Pelayanan Gizi Penyelenggaraan Makanan adalah:

Kumpulan ketentuan yang menjadi dasar ( pegangan, petunjuk)

disamping syarat- syarat yang lain, untuk menentukan atau

melaksanakan sesuatu dalan pelayanan gizi.

12. Penyelenggaraan makanan RS merupakan rangkaian kegiatan mulai

dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan,

perencanaan anggaran belaanja, pengadaan bahan makanan,


8
penerimaan dan penyimpanan, pemasakan bahan makanan,

distribusi dan pencatatan, pelaporan serta evaluasi.

13. Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang

dilakukan melalui pendekatan edukatif

14. Pendekatan edukatif diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang

dilakukan secara sistematik, terencana, terarah dengan serta aktif

individu maupun kelompok masyarakat, untuk memecahkan

masalah masyarakat dengan faktor sosial, ekonomi, budaya

setempat

15. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan

dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga

masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan

bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan

kesehatan.

16. Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan

kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk

mencapai suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok atau

masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana

caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara

perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan

17. Dietisien adalah seseorang yang memiliki pendidikan gizi,

khususnya dietetik, yang bekerja untuk menerapkan prinsip-prinsip

gizi dalam pemberian makan kepada individu atau kelompok,

merencanakan menu, dan diet khusus, serta mengawasi

penyelenggaraan dan penyajian makanan

18. Konselor gizi adalah ahli gizi yang bekerja untuk membantu orang

lain (klien) mengenali, mengatasi masalah gizi yang dihadapi, dan

mendorong klien untuk mencari dan memilih cara pemecahan

masalah gizi secara mudah sehingga dapat dilaksanakan oleh klien

secara efektif dan efisien. Konseling biasanya dilakukan lebih privat,

berupa komunikasi dua arah antara konselor dan klien yang

bertujuan untuk memberikan terapi diet yang sesuai dengan kondisi

pasien dalam upaya perubahan sikap dan perilaku terhadap

makanan

19. Penyuluh Gizi adalah seseorang yang memberikan penyuluhan gizi

yang merupakan suatu upaya menjelaskan, menggunakan, memilih,


9
dan mengolah bahan makanan untuk meningkatkan pengetahuan,

sikap, dan perilaku perorangan atau masyarakat dalam

mengonsumsi makanan sehingga meningkatkan kesehatan dan

gizinya

20. Penyusunan anggaran belanja makanan adalah suatu kegiatan

penyusunan anggaran biaya yang diperlukan untuk pengadaan

bahan makanan bagi konsumen/pasien yang dilayani.

21. Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang

akan diolah untuk memenuhi selera konsumen/pasien dan

kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang

22. Perhitungan kebutuhan bahan makanan adalah: kegiatan

penyusunan kebutuhan bahan makanan yang diperlukan untuk

pengadaan bahan makanan.

23. Pemesanan adalah penyusunan permintaan (order) bahan makanan

berdasarkan menu atau pedoman menu dan rata-rata jumlah

konsumen atau pasien yang dilayani

24. Penyimpanan bahan makanan adalah: suatu tata cara menyimpan,

memelihara keamanan bahan makanan kering maupun basah agar

mutu serta keamanan bahan makanan tersebut dapat dijaga dengan

baik.

N. MANAJEMEN NYERI

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan

adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi. atau

pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah

terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of

Pain)

2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,

memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedcra atau

penyakit. Lamanya nyeri kurang dari 6 minggu

3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan dalam periode waktu yang

lanjut. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun sudah

terjadi proses- penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui

penyebabnya yang'pasti. Lamanya nyeri lebih dari 6 minggu

4. Nyeri membandel adalah nyeri membandel yang disebabkan oleh

karena keganasan /kanker atau penyakit kronis.


10
5. Manajemen nyeri intervensi (MNI) adalah disiplin kedokteran yang

ditujukan untuk diagnosis dan pengobatan gangguan nyeri yang

terkait. Menggunakan pendekatan multidisiplin di mana tim

profesional perawatan kesehatan bekerja sama untuk menyediakan

berbagai perawatan dan layanan untuk pasien yang menderita sakit

kronis dan / atau akut. Tujuan dari MNI adalah untuk meringankan,

mengurangi, atau mengelola rasa sakit dan meningkatkan kualitas

keseluruhan hidup pasien melalui teknik minimal invasif yang

dirancang khusus untuk mendiagnosa dan mengobati kondisi yang

sakit.

6. Tim pengelola pelayanan nyeri dipimpin oleh dokter anestesiologi dan

terapi intensif konsultan nyeri atau dokter anestesiologi dan terapi

intensif yang membidangi nyeri dengan anggota dokter anestesiologi

dan terapi intensif lainnya, DPJP dan perawat yang membidangi

pelayanan nyeri.

O. PELAYANAN PASIEN TAHAP TERMINAL

1. Kondisi terminal adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera

atau penyakit dimana terjadi kerusakan organ multiple yang dengan

pengetahuan dan teknologi kesehatan terkini tak mungkin lagi dapat

dilakukan perbaikan,sehingga akan menyebabkan kematian dalam

rentang waktu yang singkat. Pengaplikasian terapi untuk

memperpanjang/mempertahankan hidup hanya akan berefek dan

memperlama proses penderitaan pasien.

2. Pasien tahap terminal adalah pasien dengan kondisi terminal yang

makin lama makin memburuK

3. Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas

spontan)ditambah henti sirkulasi (jantung)total dengan semua

aktivitas otak terhenti,tetapi tidak ieversibel

4. Mati biologis adalah proses mati atau rusaknya semua

jaringan ,dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah

kira –kira satu jam tanpa sirkulasi ,diikuti oleh jantung,ginjal ,paru

dan hati.

5. Mati batang otak adalah keadaan dimana terjadi kerusakan seluruh

isi saraf/neuron intrakranial yang tak dapat pulih termasuk batang

otak dan cerebelum


11
6. Witholding life support adalah penundaan bantuan hidup

7. Withdrowing life support adalah penghentian bantuan hidup

8. Mengelola akhir kehidupan adalah pelayanan tindakan penghentian

bantuan hidup atau penundaan bantuan hidup

9. Donasi organ adalah tindakan memberikan organ tubuh dari donor

kepada resipien

10. Perawatan paliatif adalah upaya medik untuk meningkatkan atau

mempertahankan kualitas hidup pasien dalam kondisi terminal

BAB II

RUANG LINGKUP PELAYANAN ASUHAN PASIEN

A. PEMBERIAN PELAYANAN YANG SERAGAM UNTUK SEMUA PASIEN

1. Akses untuk asuhan dan pengobatan, yang memadai, tidak

tergantung atas kemampuan pasien untuk membayar atau sumber

pembiayaan di ruangan pada Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Buleleng

2. Akses untuk asuhan dan pengobatan yang memadai dan diberikan

oleh Profesional Penanggungjawab Asuhan (PPA) yang kompeten

tidak bergantung pada hari setiap minggu atau waktunya setiap hari

(3 shiff, 24 jam dan 7 hari);

3. Penggunaan alokasi sumber daya yang sama, untuk memenuhi

kebutuhan pasien pada populasi yang sama;

4. Pemberian asuhan yang diberikan kepada pasien sama di semua

unit pelayanan di rumah sakit;

5. Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama menerima

asuhan keperawatan yang setara di seluruh rumah sakit.

B. PENGINTEGRASIAN DAN KOORDINASI ASUHAN PASIEN

12
Ruang lingkup pengintegrasian dan koordinasi asuhan pasien meliputi

semua area perawatan pasien baik di Instalasi rawat jalan, Gawat

Darurat dan Rawat Inap yang dilakukan oleh semua Profesional Pemberi

Asuhan.

Pelaksanaan Asuhan Pasien Terintegrasi pusatnya adalah pasien dan

mencakup elemen antara lain sebagai berikut:

a. Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga

b. DPJP sebagai ketua tim PPA (Clinical Tim Leader)

c. PPA bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi

interprofesional antara lain memakai Panduan Praktek Klinis (PPK),

Panduan Asuhan PPA lainnya disertai Alur Klinis Terintegrasi

/Clinical Pathway, dan Catatan Perkembangan Pasien

Terintegrasi/CPPT.

d. Perencanaan Pemulangan Pasien/Discharge Planning terintegrasi

e. Asuhan Gizi terintegrasi

f. Manajer Pelayanan Pasien/ Case Manajer

Adapun upaya untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan

pelayanan melalui :

1. Pengkajian Medis Dan Keperawatan Rawat Jalan Terintegrasi

2. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

3. Rapat Tim

4. Case Manager

C. RENCANA ASUHAN

1. Pengkajian/asesmen Awal

Semua pasien yang datang ke rumah sakit yang memerlukan

perawatan/ pengobatan dirawat jalan dan di gawat darurat

dilakukan pengkajian/asesmen awal lengkap. Penilaian awal

mencakup evaluasi factor fisik, psikologis, social, ekonomi termasuk

pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Pengkajian awal

terdokumentasi pada form pengkajian awal medis dan form

pengkajian awal keperawatan.

Pengkajian awal medis dan keperawatan diselesaikan dalam

kerangka waktu 24 jam setelah pasien masuk rawat inap. Pengkajian

awal rawat jalan diselesaikan dalam waktu 60 menit. Pengkajian

13
awal Gawat darurat dalam waktu 6 jam sudah harus diputuskan

apakah pasien dinyatakan rawat jalan atau rawat inap.

2. Rencana Asuhan ( Plan Of Care)

Rencana asuhan medis dan rencana asuhan keperawatan pasien

bersifat individual dan berdasarkan data asesmen awal pasien.

Rencana asuhan direncanakan oleh Profesional Pemberi Pelayanan

(PPA) dengan membuat rencana yang terukur berbasis Informasi,

Analisis, dan Rencana Pelayanan (IAR) pada form Pengkajian Awal

Medis Dan Keperawatan. Rencana asuhan berisi target terukur bisa

berupa perkiraan waktu, target perawatan dan atau kriteria

pemulangan pasien.

Ruang lingkup rencana asuhan (Plan of care) ada 2 yaitu Rencana

asuhan Medis dan Rencana asuhan Keperawatan

3. Rencana Asuhan Medis

Rencana asuhan medis adalah rencana asuhan perawatan dan

pengobatan yang akan diberikan kepada pasien berdasarkan data

hasil Pengkajian Awal Medis. Rencana asuhan dibuat oleh DPJP atau

yang mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) dan sesuai dengan

kewenangan klinisnya.

4. Rencana Keperawatan

Rencana asuhan keperawatan adalah rencana yang dibuat oleh

perawat berdasarkan kebutuhan pasien. Data didapatkan dari hasil

analisa Pengkajian Awal Perawatan. Pengkajian keperawatan

dilakukan oleh Perawat Primer.

5. Rencana Asuhan Gizi

Rencana kerja yang akan dilakukan oleh ahli Gizi atau dokter Gizi

Klinik berdasarkan hasil dari Skrining nutrisi yang dilakukan pada

pasien. Skrining awal gizi dilakukan oleh perawatat, bila ada

masalah seperti keluhan makan/minum atau penurunan berat

badan akan dilakukan penilaian lebih lanjut oleh ahli gizi dan dokter

gizi klinik

D. TATA CARA PEMBERIAN INSTRUKSI DALAM PELAYANAN ASUHAN PASIEN

14
1. Instalasi Gawat Darurat

2. Instalasi Rawat Inap

3. Instalasi intensif

E. PASIEN BERISIKO TINGGI DAN PELAYANAN BERISIKO TINGGI

1. Pasien Berisiko Tinggi

Yang termasuk pasien dengan Berisiko tinggi adalah sebagai berikut :

 Pasien emergensi;

 Pasien dengan penyakit menular;

 Pasien koma;

 Pasien dengan alat bantuan hidup dasar;

 Pasien “immuno-suppressed”;

 Pasien dialisis;

 Pasien dengan restrain;

 Pasien dengan risiko bunuh diri;

 Populasi pasien rentan, lansia, anak-anak, dan pasien berisiko

tindak kekerasan atau diterlantarkan; dan

 Pasien risiko tinggi lainnya.

2. Pelayanan berisiko Tinggi

Yang termasuk pelayanan berisiko tinggi seperti :

 Pelayanan pasien dengan penyakit menular;

 Pelayanan pasien yang menerima dialisis;

F. PELAYANAN EARLY WARNING SYSTEM (EWS)

1. Instalasi Rawat Inap

2. Instalasi Maternal dan Perinatal

a. Ruang Nifas

b. Ruang Perinatologi

3. Instalasi Gawat Darurat (IGD)

4. Instakasi Rawat Intensif

5. Perawat

G. PELAYANAN RESUSITASI

Memberikan bantuan resusitasi kepada setiap orang/pasien yang

mengalami ancaman/henti napas dan henti jantung yang berada di seluruh

15
lingkungan RSUD Kabupaten Buleleng dengan mengaktifkan Blue

Code/Resus Call

H. PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH

Pelayanan darah dan produk darah meliputi hal-hal di bawah ini:

1) Pemberian persetujuan (informed consent);

2) Pengadaan darah;

3) Identifikasi pasien;

4) Pemberian darah;

5) Monitoring pasien;

6) Identifikasi dan respons terhadap reaksi transfuse.

I. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU HIDUP DAN ATAU KOMA

Ruang lingkup pelayanan pasien dengan alat bantu napas

1. Pasien alat bantu napas non invasive seperti :

a. Menaruh sumber oksigen di dekat wajah bayi

b. Kanula nasal

c. Kateter nasal

d. Kateter nasofaring

e. Sungkup muka (masker)

f. Sungkup kepala (headbox)

g. Nasal prong (CPAP)

2. Pasien dengan alat bantu napas invasive

a. Pipa endotrakeal (Ventilator Mekanik)

3. Indikasi pasien dengan alat bantu ventilator

a. Dewasa :

Untuk pasien yang memerlukan ventilasi mekanik mengacu pada

parameter mekanik dan parameter kimia pernapasan.

Parameter mekanik meliputi :

1) Frekuensi napas > 35 x/mnt

2) Volume tidal < 5 ml/kg BB

3) Kapasitas Vital <15 ml/kg BB

4) Kekuatan inspirasi maksimum dlm cm H2O < 25

5) Oksigenasi PaO2 < 60 mmHg

6) P (A-aDO2) >350

16
7) Ventilasi PaCO2 >60 mmHg

b. Anak / Neonatus

1) Gejala klinis bayi apnea atau gagal napas berat

2) Kebutuhan oksigen (F1O2 > 60%)

3) Bayi dengan usia kehamilan < 25 minggu

4) Hasil analisa gas darah menunjukkan hipoksia daan

asidosis berat

 PO2 < 50 mmHg

 PCO2 > 60 mmHg

 PH < 7,25

4. Tempat Pelayanan

a. Pasien dengan alat bantu napas non invasive di rawat di seluruh

ruang rawat inap, ruang intermediate dan di IGD sesuai dengan

berat ringannya prognosis.

b. Pasien dengan alat bantu napas mekanik di rawat di Ruang rawat

inap intensif (NICU, PICU, HCU, ICU dan ICCU) sesuai dengan

kebijakan dan prosedur.

Pelayanan Pasien Koma

1. Pelayanan pasien koma meliputi

a. Pasien koma disebabkan oleh kelainan intracranial seperti

pasien dengan cedera kepala sedang smapai berat, tumor otak,

stroke hemorhhagic sampai kematian batang otak.

b. Pasien koma disebabkan oleh karena ekstrakranial seperti

pasien dengan koma diabeticum, hiponatremia, hypokalemia.

2. Tempat pelayanan pasien koma :

Tempat pelayanan pasien koma dengan koma memerlukan

perawatan intensif di rawat di intensif yaiutu untuk pasien

neonates di NICU, intensif dewasa di ICU. Untuk pasien koma tanpa

gangguan ventilasi dan sirkulasi di rawat di ruang observasi yaitu

ruang intermediate.

J. PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR

A. Pelayanan Pasien Dengan Penyakit Menular


17
Ruang lingkup pelayanan pasien dibedakan sebagai berikut :

1. Penyakit menular melalui udara (airborne disease) tiga jenis

penyakit yang ditularkan melalui cara ini adalah tuberculosis

paru-paru (TBC), chicken-pox, dan measles.

2. Penyakit menular melalui droplet yaitu influenza dan respiratory

syncytial virus.

3. Penyakit meular melalui kontak (kontak langsung maupun kontak

tidak langsung) seperti spesies-spesies yang kebal berbagai obat

atau spesies Enterococcus yang kebal Vancomycin (VRE).

4. Penyakit menular melalui vehikulum (makanan, air/minuman,

darah).

5. Penyakit menular melalui vector (biasanya serangga dan binatang

pengerat).

Tempat Perawatan:

1. Rawat Jalan/poliklinik

2. Rawat Inap

B. Pelayanan Pasien Dengan Immuno-Compromisse dibedakan sebagai

berikut:

1. Pasien Imunokompromis ringan – sedang

a. Pasien yang menerima terapi imunosupresan (kemoterapi)

dosis tinggi, pulse high dose Steroid 10-30mg/kgBB/kali)

b. Pasien dengan Neutropenia ANC 500 x 106/L sel

2. Pasien Imunokompromis berat yaitu

a. Pasien dengan Neutropenia ANC < 500 x 106/L sel

b. Pasien HIV yang sudah tertangani Infeksi Opportunistiknya

dengan CD4 kurang dari normal.

Tempat Pelayanan :

1. Rawat Jalan/Poliklinik

2. Rawat inap

K. PELAYANAN HEMODIALISA

Pelayanan tindakan hemodialisa akan dilakukan di unit pelayanan


hemodialisa yang berada di rumah sakit RSUD Kabupaten Buleleng,

dimana tempat tersebut berada di dekat ICU/HCU, OK, ruang bersalin dan

18
laboratorium dan ruang bayi. Di dalam Unit hemodialisa kami mempunyai

22 buah mesin terdiri dari 14 mesin Fresenius dan 8 mesin nipro. Satu

buah mesin untuk pasien infeksiu. Keunggulan dari hemodialisa yang kami

miliki selain dapat melakukan tindakan hemodialisa konvesional, juga

dapat melakukan tindakan Hemodialisa SLEED. Dimana HD SLEED

dikerjakan pada pasien dengan kondisi tidak stabil.

L. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT PENGIKAT (RESTRAINT)

Pelayanan pasien dengan alat pengikat (Restraint) dilakukan oleh staf

medis kepada seluruh pasien Rawat Inap RSUD Kabupaten Buleleng

mulai dari Instalasi Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap, hingga Unit

Perawatan Intensif.

M. PERLINDUNGAN TERHADAP KEKERASAN FISIK

Ruang lingkup kegiatan meliputi :

1. Rumah sakit menetapkan kelompok beresiko yang mendapat

perlindungan terhadap kekerasan fisik yaitu:

a. Pasien Bayi
b. Pasien anak-anak

c. Orang tua/ manula

d. Orang cacat

e. Pasien koma

f. Pasien dengan gangguan mental dan emosional

g. Pasien yang kurang mampu dalam melindungi dirinya.

2. Melakukan identifikasi terhadap para pengunjung rumah sakit seperti:

a. Penunggu pasien

b. Tamu seperti Medrep/detailer, pekerja proyek dll

c. Pengunjung tanpa identitas

3. Pemantauan lokasi terpencil atau lokasi terisolasi

N. ASUHAN GIZI

Tim asuhan gizi merupakan tim fungsional yang mengkoordinasikan

penyelenggaraan asuhan gizi mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi. Tim ini dipimpin oleh seorang dokter dengan

anggota yang terdiri dari dakter, nutrisionis atau dietsien, perawat dan

tenaga kesehatan lainnya. Tim asuhan gizi bertugas menyelenggarakan

19
pelayanan gizi paripurna kepada klien/pasien, terutama yang

membutuhkan terapi gizi, termasuk pelayanan gizi pada pasien rawat jalan.

Salah satu upaya untuk pemantapan pelaksanaan asuhan gizi, dapat

dibentuk suatu panitia/komite asuhan gizi oleh pimpinan Rumah Sakit

yang terdiri dari unsur pengelola rumah sakit dan kelompok professional

yang terkait dengan pengelolaan dan pelaksanaan asuhan gizi. Secara garis

besar panitia/komite ini mempunyai tugas membantu pimpinan rumah

sakit sebagai pemerhati masalah gizi pasien dan memberikan masukan

untuk penyempurnaan pelaksanaan asuhan gizi. Sedangkan untuk

pelaksanaan asuhan gizi dibentuk Tim Asuhan Gizi di masing-masing unit

pelayanan. Agar kegiatan asuhan gizi berjalan dengan optimal, maka perlu

dukungan pimpinan rumah sakit, komite medik dan staf serta adanya

koordinasi dan komunikasi antar anggota tim.

Jadi ruang lingkup kegiatan pokok asuhan gizi di rumah sakit terdiri dari :

1) Asuhan gizi pasien rawat jalan

2) Asuhan gizi pasien rawat inap

Ruang lingkup konseling gizi meliputi:

1) Konseling gizi pasien rawat jalan

2) Konseling gizi pasien rawat inap

Ruang lingkup panduan kegiatan pokok pelayanan gizi Penyelenggaraan

Makanan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng

1. Perencanaan Anggaran Belanja Makanan

2. Perencanaan Menu

3. Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan.

4. Pemesanan Bahan Makanan

5. Penerimaan Bahan Makanan

6. Penyimpanan Bahan Makanan

7. Penyaluran Bahan Makanan

8. Persiapan Bahan Makanan

9. Pengolahan Bahan Makanan

10. Penyimpanan Makanan

11. Pendistribusian Makanan

12. Kesehatan Bahan Makanan dan Makanan

13. Kesehatan Penjamah Makanan

14. Keselamatan Kerja di ruang persiapan dan pengolahan dan

pendistribusian makanan
20
15. Keselamatan kerja di ruang distribusi makanan

16. Pengontrolan Fasilitas

17. Monitoring Penyiapan, penyimpanan Dan Distribusi Makanan.

O. MANAJEMEN NYERI

a. Assesment nyeri

b. Farmakologi Obat Analgesik

c. Manajemen Nyeri Akut

d. Manajemen efek samping:

e. Manajemen nyeri intervensi

P. PELAYANAN PASIEN TAHAP TERMINAL

Ruang lingkup Pelayanan pasien tahap terminal ini berlaku untuk semua

stap dan unit pelayanan di RSUD Singaraja terutama diruang ICU dan

diruang perawatan. Adapun penyakit yang menyebabkan seseorang dalam

kondisi terminal/mengancam hidup,antara lain :

1. Penyakit Kronis seperti :TBC,SIROSIS HEPATIS,PENYAKIT GINJAL


KRONIK dan Gagal Jantung

2. Keganasan seperti Ca

3. Kecelakaan /trauma seperti trauma organ vital

Banyak masalah yang melingkupi kondisi terminal pasien ,yaitu mulai dari

titik yang aktual dimana pasien dinyatakan kritis sampai diputuskan

meninggal dunia atau mati.Seseroang dinyatakan meninggal/mati apabila

fungsi jantung dan paru berhenti,kematian sistemik atau kematian sistem

tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit,dan otak merupakan organ

besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang

ireversibel,selanjutnya organ-organ lain akan mati.respon pasien dalam

kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,psikologis,

sosial yang dialami ,sehingga dampak yang ditimbulkan tiap individu juga

berbeda. Menurut Elisabeth Kubler –Ross,M.D,ada 5 fase menjelang

kematian,yaitu :

a. Denial (fase penyangkalan /pengingkaran diri)

Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia menderita penyakit yang

parah dan tidak dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan

bahkan mungkin mengingkarinya.Penyangkalan ini merupakan

21
mekanisme pertahanan yang acapkali ditemukan pada hampir setiap

pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang

keadaan dirinya

b. Anger (fase kemarahan )

Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa

iaakan meninggal.Masanya tiba dimana ia mengakui,bahwa kematian

memang sudah dekat.Tetapi kesadaran ini sering kali disertai dengan

munculnya ketakutan dan kemarahan.Kemarahan ini sering

diekpresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari kesalahan pada

pelayanan dirumah sakit atau dirumah.Umumnya pemberi pelayanan

tidak menyadari ,bahwa tingkah laku pasien sebagai ekspresi dari

frustasi yang dialaminya.Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah

pengertian,bukan argumentasi-argumentasi dari orang-orang yang

tersinggung oleh karena kemarahannya.

c. Bargaining(fase tawar menawar )

Ini adalah fase dimana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup

sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya.Merekan bisa

menjanjikan macam-macam hal kepada Tuhan ,Tuhan kalau engkau

menyatakan kasihMu,dan keajaiban kesembuhan-Mu,maka aku akan

mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayani-Mu

d. Depresion (fase depresi )

Setelah ternyata penyakitnya makin parah ,tibalah fase

depresi.Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa

harapan

e. Acceptance (fase menerima/pasrah )

Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan

yang ia alami.Pada umumnya,setelah jangka waktu tertentu mereka

akan dapat menerima kenyataan ,bahwa kematian sudah dekat.Mereka

mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik

lagi dengan berita dan persoalan-persoalan disekitarnya

Pasien dalam kondisi terminal akan mengalami berbagai masalah

fisik,psikologis,maupun sosio-spiritual,antara lain :

a. Problem oksigenasi :

 Nafas tidak teratur Pernafasan cepat atau lambat

 Pernafasan cheyne stoke

 Sirkulasi perifer menurun


22
 Perubahan mental

 Agitasi/gelisah

 Tekanan darah menurun

 Hypoksia

 Akumulasi sekret

 Nadi ireguler

b. Problem eliminasi :

 Konstipasi

Medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltik, kurang diet

serat dan asupan makanan juga mempengaruhi

konstipasi,inkontinensial fekal terjadi oleh karena pengobatan

atau kondisi penyakit (mis ca colon )

 Retensi urin

Inkontinensia urine terjadi akibatpenurunan kesadaran atau

kondisi penyakit misalnya :trauma medula spinalis ,gagal ginjal

c. Problem nutrisi dan cairan:

 Asupan makanan dan cairan menurun

 Peristaltik menurun

 Distensi abdomen

 Kehilangan berat badan

 Bibir kering dan pecah-pecah

 Lidah kering dan membengkak

 Mual/muntah

d. Problem suhu :

 Ektremitas dingin(terjadi karena asupan cairan menurun )

e. Problem sensori :

 Penglihatan menjadi kabur

 Reflek berkedip menghilang mendekati kematian

 Pendengaran menurun

 Kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun

f. Problem nyeri :

23
 Ambang nyeri menurun,pengobatan nyeri dilakukan secara

intravena.Pasien harus selalu didampingi untuk menurunkan

kecemasan dan meningkatkan kenyamanan

g. Problem kulit dan mobilitas

Sering kali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit sehingga

pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.

h. Problem psikologis

Pasien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon

emosi,perasaan marah dan putus asa.

i. Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif bertujuan mencapai Quality of life dan quality of

death. Perawatan paliatif menyangkit psikologis ,spiritual ,fisik, keadaan

sosial.

24
BAB III

TATALAKSANA PELAYANAN ASUHAN PASIEN

A. TATALAKSANA PEMBERIAN PELAYANAN YANG SERAGAM

1. Pelayanan Rawat jalan/Poliklinik

a. Berikan pelayanan poliklinik menurut waktu yang telah berlaku oleh

semua petugas di instalasi rawat jalan

b. Berikan salam dan perkenalkan diri oleh DPJP dan perawat jaga

kepada setiap pasien.

c. Lakukan assesmen oleh DPJP kepada setiap pasien

d. Berikan informasi dan edukasi mengenai hasil assesmen, tindakan

dan pengobatan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan pasien.

e. Lakukan dokumentasi oleh DPJP dan perawat jaga pada rekam

medic rawat jalan

2. Pelayanan Gawat Darurat

a. Berikan pelayanan 24 jam kepada pasien oleh dokter dan perawat

yang kompeten

b. Berikan salam dan memperkenalkan diri oleh dokter dan perawat

jaga IGD kepada pasien atau keluarga

c. Lakukan system triage ATS (Australian Triage Scale) oleh dokter atau

perawat jaga yang terlatih

d. Lakukan assesmen awal oleh dokter jaga dan perawat jaga IGD

e. Berikan informasi dan edukasi mengenai hasil assesman, tindakan

dan pengobatan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan pasien

f. Lakukan dokumentasi oleh dokter jaga/DPJP dan perawat jaga IGD

pada rekam medic IGD

3. Pelayanan Rawat Inap

a. Berikan salam dan memperkenalkan diri oleh perawat jaga ruangan

dan DPJP

b. Lakukan serah terima pasien dengan metoda SBAR

c. Lakukan assesmen ulang oleh perawat jaga ruangan dan DPJP

25
d. Lakukan kunjungan/visite oleh DPJP setiap jam kerja

e. Berikan asuhan keperawatan selama 24 jam oleh perawat jaga

f. Berikan informasi dan edukasi mengenai hasil assesmen, tindakan

dan pengobatan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan pasien.

g. Lakukan dokumentasi oleh DPJP dan perawat jaga ruangan pada

rekam medic rawat inap

4. Pelayanan Anastesi dan Bedah

a. Berikan salam dan memperkenalkan diri oleh dokter anastesi dan

dokter bedah

b. Dokter anastesi melakukan assesmen sebelum melaksanakan

pembiusan.

c. Berikan informasi dan edukasi tentang hasil assesmen serta

tindakan pembiusan (pra-intra-post)

d. Dokter bedah memberikan informasi tentang tindakan pembedahan

yang dilakukan (pra-intra-post)

e. Lakukan dokumentasi oleh dokter anastesi dan dokter bedah pada

rekam medis anastesi dan bedah.

B. PELAYANAN DAN ASUHAN TERINTEGRASI

1. Pengkajian Awal Medis dan Keperawatan Rawat Jalan

Adalah suatu tindakan pengkajian awal medis dan keperawatan yang

terintegrasi yang berisi data pasien pada saat pasien pertama kali datang

di poliklinik rawat jalan dengan suatu masalah kesehatan yang

dilakukan oleh dokter dan perawat secara terintegrasi.

Pengkajia awal berisi minimum asesmen yang berbasis Informasi,

Analisis dan Rencana (IAR).

Informasi (I) dikumpulkan melalui Anamnesa, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan lain dan pemeriksaan penunjang.

Analisis (A) : Informasi yang telah terkumpul kemudian dilakukan

analisis sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa masalah

pasien, kondisi pasien dan Diagnosis. Dari sini akan dibuatkan rencana

kerja sesuai kebutuhan pasien.

Rencana Pelayanan/ Plan Of Care adalah upaya yang akan dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan pasien. Rencana yang dibuat oleh PPA

akan direview oleh DPJP sebagai Clinical Leader.

26
Selanjutnya rencana diimplmentasikan dan didokumentasikan dalam

Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT).

2. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)

Implementasi dari perencanaan terdokumentasi dalam CPPT yang diisi

oleh semua profesi yang terlibat langsung terhadap pasien seperti

dokter, perawat, Ahli Gizi dan Farmasi. Hasil penilaian pasien yang

dilakukan oleh dokter, perawat atau profesi lainnya yang terlibat

terhadap asuhan pasien tercatat secara berurutan sesuai dengan waktu

pemeriksaan dengan urutan : 1) tanggal, 2) jam dan 3) profesi.

Catatan perkembangan pasien ditulis sesuai dengan hasil penilaian

yang dibuat dalam format SOAP [(S (Subyektif), O (Obyektif), A

(assessment), P (Planing)] yang dibuat berurutan. Dalam Point Planing

berisi goal yang terukur. Semua Planing yang dibuat oleh Profesional

Pemberian Asuhan dijadikan masukan bagi DPJP yang menjadi Clinical

Leader untuk dijadikan perencanaan perawatan/pengobatan pasien

selanjutnya,

Untuk Instruksi/perintah baik perintah terapi, diagnostik dan

pemeriksaan penunjang ditulis dalam kolom Instruksi. Dalam kolom

instruksi berisi operasional variable yang langsung bisa dilaksanakan.

Kemudian di tulis nama dan tanda tangan profesi yang melakukan

penilaian.

Panduan pengisian Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)

adalah sebagai berikut:

a. Lakukan pengisian form terintegrasi oleh PPA (Profesional Pemberi

Asuhan) yaitu dokter, perawat dan petugas kesehatan lain yang

terlibat dalam perawatan pasien

b. Isi form terintegrasi dengan menulis identitas pada tempat yang

tersedia

c. Isi kolom “Tgl, jam” dengan angka sesuai dengan tanggal dan jam

pencatatan penlaian pasien

d. Isi kolom “Profesional Pemberi Asuhan” dengan bidang keahlian dari

masing-masing PPA, contoh : dokter, perawat, fisiotherapi

e. Catat secara berurutan hasil penialaian pasien yang dilakukan oleh

DPJP, perawat, atau petugas yang terlibat sesuai dengan waktu

pemeriksaan

27
f. Perkembangan tiap pasien dievaluasi berkala dan dibuat

notasi/catatan oleh DPJP sesuai dengan kebutuhan dan diverifikasi

harian oleh DPJP

g. Hasil penilaian dicatat dalam format S (subyektif), O (obyektif), A

(assesmen), dan P (Planning) yang dibuat secara berurutan ke

bawah.

h. Jika DPJP utama konsul ke bagian lain ditulis di form catatan

perkembangan terintegrasi

i. Apoteker membuat SOAP di CPPT apabila terdapat masalah terkait

obat yang terjadi pada pasien

j. Isi kolom nama dan tandatangan dengan jelas oleh PPA

3. Rapat Tim

Rapat Tim adalah pelaksanaan rapat yang membahas tentang

penanganan dan perawatan bersama terhadap pasien yang dirawat.

Kriteria pasien dilakukan rapat Tim :

a. Pasien yang memerlukan koordinasi lintas Instalasi / SMF / kasus

multidisiplin / Length Of Stay (LOS) lebih dari 7 hari atau melebihi

hari rawat sesuai Clinical Pathway

b. Dirawat oleh 3 dokter atau lebih wajib dilakukan pembahasan

kasus dengan SMF terkait.

c. Bila dalam waktu lebih dari 2x24 jam belum bisa ditegakkan

diagnosis pasti

Prosedur :

a) DPJP Utama berkoordinasi dengan kepala ruangan tempat pasien

dirawat untuk dilakukan rapat tim atau kepala ruangan

berkoordinasi dengan DPJP Utama kalau pasien tersebut

memerlukan rapat tim medis.

b) Kepala Ruangan melaporkan hasil koordinasi ke Kepala Instalasi,

bidang Pelayanan Medis dan Komite Medik untuk menentukan

waktu, tempat dan dokter yang diundang.

c) Rapat tim dilaksanakan setelah semua yang diundang lengkap

hadir disertai dengan perwakilan dari Instalasi atau bidang

Pelayanan Medis

d) Rapat tim medis dipimpin oleh DPJP Utama

28
e) Jika hasil rapat tim memutuskan adanya perubahan DPJP maka

untuk selanjutnya DPJP yang baru bertanggung jawab untuk

memimpin tim

f) Kesimpulan dari rapat tim medis ditulis di Catatan Perkembangan

PasienTerintegrasi oleh DPJP Utama dan ditandatangani oleh

DPJP Utama.

g) Hasil kesimpulan rapat tim medis diinformasikan kepada pasien

atau keluarganya untuk meminta persetujuan tentang program

yang akan dilakukan selanjutnya. Kesimpulan Rapat Tim

didokumentasikan dalam form CPPT oleh DPJP Utama.

4. Case Manager

Pasien yang membutuhkan koordinasi seorang Case Manager / MPP:

a. Pasien yang memiliki masalah multipel, kompleks

b. Pasien dirawat dalam waktu lama (diluar periode yang

direkomendasikan)

c. Pasien dirawat dalam jangka waktu lama untuk suatu alasan

d. Pasien yang membutuhkan perawatan intensif untuk rehabilitasi

dan perawatan komunitas

e. Pasien yang masih membutuhkan perawatan di RS tetapi RS tidak

memiliki biaya perawatan dan RS tidak memiliki kemampuan

membantu dengan system yang berlaku.

Tugas Case Manager :

1. Mengidentifikasi pasien-pasien yang membutuhkan koordinasi

case manager.

2. Mengkoordinasikan pelayanan pasien dengan DPJP maupun

Bagian/Instalasi/ Unit terkait dengan rencana maupun tindakan

medis /keperawatan

3. Memberikan informasi kepada pasien/keluarga mengenai

perkembangan pelayanan kesehatannya.

4. Turut serta dalam rapat tim pelayanan pasien

5. Membuat laporan perkembangan pasien

6. Melakukan koordinasi dengan Ka. Ruangan, Ka. UPP. Ka.

Instalasi, Ka. Bid. Pelayanan medis dan keperawatan, maupun

bagian Perbendaharaan dan Mobilisasi Dana.

29
Pelaksanaan Asuhan Pasien Terintegrasi pusatnya adalah pasien dan

mencakup elemen sebagai berikut:

1. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga.

2. DPJP sebagai Ketua tim PPA (Clinical Leader);

3. PPA bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional,

antara lain memakai Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan

PPA lainnya disertai Alur Klinis terintegrasi/Clinical Pathway, dan

Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi/CPPT;

4. Perencanaan Pemulangan Pasien/Discharge Planning terintegrasi;

5. Asuhan Gizi Terintegrasi

C. TATALAKSANA PEMBUATAN RENCANA ASUHAN PASIEN

1. Mengintegrasikan dan Mengkoordinasikan Asuhan Setiap Pasien

Rencana pelayanan yang diberikan kepada setiap pasien

diintegrasikan dan dikoordinasikan diantar berbagai unit kerja dan

pelayanan oleh DPJP sebagai clinical leader

2. Pengkajian Awal

a. Perencanaan yang teliti diperlukan untuk merencanankan

perawatan/ pengobatan kepada pasien untuk mendapatkan

hasil yang optimal. Proses perencanaan menggunakan data dari

Pengkajian Awal medis dan Keperawatan yang berbasis

Informasi, Analisis dan Rencana pelayanan (IAR).

Dari hasil pengkajian berupa anamesa, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan lainnya didapatkan

Informasi (I) tentang pasien tersebut. Dari data yang terkumpul

dilakukan Analisis informasi (A) didapatkan problem list,

diagnosis yang dijadikan data untuk mengidentifikasi

kebutuhan pelayanan pasien.

Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dirumuskan Rencana

Asuhan (R)/ Plan of Care yang terukur untuk memenuhi

kebutuhana pasien, yang dilakukan oleh semua Profesional

Pemberi Asuhan (PPA).

b. Pengkajian Ulang

Bila pasien diputuskan untuk rawat inap, maka diruang rawat

inap pasien akan dilakukan pengkajian ulang dengan

30
menggunakan Form Pengkajian Keperawatan Rawat Inap dan

Pengkajian Rawat Inap dari masing-masing SMF yang berbasis :

Informasi, Analisis dan Rencana Asuhan (IAR) yang dilakukan

oleh semua Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Pasien rawat

inap akan dilakukan pengkajian ulang bila ada perubahan

kondisi dan dicatat dalam form CPPT

3. Rencana Asuhan (Care Plan)

Ruang lingkup rencana asuhan (care Plan) ada 2 yaitu Rencana asuhan

Medis dan Rencana asuhan Keperawatan

a. Rencana Asuhan Medis

Rencana asuhan medis adalah rencana medis dan pengobatan

yang akan diberikan kepada pasien. Rencana Kerja Medis (Care

Plan Medis) dibuat oleh DPJP atau dokter yang mempunyai Surat

Ijin Praktek (SIP) dan sesuai dengan kewenangan klinisnya, yang

memeriksa pasien tersebut. Hasil pengkajian tersebut diverifikasi

oleh DPJP. Rencana Asuhan Medis terdokumentasi pada Form

Pengkajian Awal Medis dan pada rawat Inap Pada Form Pengkajian

Rawat Inap dari masing-masing SMF.

Rencana Kerja Dokter (Care Plan Medis) terdiri dari a) masalah, b)

Rencana Intervensi c) Target terukur bisa berupa: 1) perkiraan

waktu, 2) target perawatan dan atau 3)kriteria pemulangan pasien.

Contoh dari target yang terukur dan realistic sebagai berikut:

 Kondisi pasien kembali dengan fungsi (out put) jantung stabil

melalui detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah

berada di kisaran normal;

 Pasien dapat menunjukkan mampu memberi sendiri suntikan

insulin sebelum pasien pulang keluar dari rumah sakit;

 Pasien mampu berjalan dengan “walker” (alat bantu untuk

berjalan) menuju ruang tamu dan kedua kakinya mampu

menanggung beban berat badan.

b. Rencana Keperawatan

Rencana asuhan keperawatan adalah rencana yang dibuat oleh

perawat. Rencana Asuhan Keperawatan terdokumentasi dalam

form Rencana Keperatawan yang terdiri dari: a) Diagnosa

Keperawatan, b) Tujuan, c) Rencana Intervensi d) Rencana

31
Evaluasi. Rencana keperawatan berisi target yang terukur berupa:

a) Pasien, b) Perubahan kondisi atau perilaku dan c) Waktu.

Rencana asuhan dari masing-masing PPA pada masing-masing

pasien direview dan diverifikasi oleh DPJP dengan mencatat

kemajuannya dalam CPPT.

4. Implementasi

Implementasi adalah pelaksaan asuhan keperawatan, prosedur dan

sesuai dengan rencana yang telah dibuat oleh PPA. Dalam implementasi

semua PPA melakukan kolaborasi antar Profesi dan melibatkan pasien

dan keluarga setiap rencana yang akan dilakukan. Bukti ini

terdokumentasi dalam Catatan Informasi dan Edukasi Terintegrasi dan

Informed Consent. Implementasi tindakan termonitoring dalam form

Monitoring seperti Form monitoring pemberian darah dan produk darah.

5. Evaluasi

a. Evaluasi Rencana Asuhan Medis

Kemajuan pasien atas pengobatan/pelayanan di catat dalam Form

Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi. Bila pasien rawat inap

mengalami perubahan kondisi/ perburukan kondisi, maka akan

dilakukan asesmen ulang pada Form CPPT. Hasil asesmen ulang akan

di analisa dan di lakukan review terhadap rencana yang sudah ada

atau dibuatkan rencana yang baru sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan pasien. Rencana baru akan terdokumentasi pada Form

CPPT pada kolam SOAP pada point P (Planning).

b. Evaluasi Rencana Keperawatan

Evaluasi kemajuan keperawatan dilakukan sesuai dengan target

waktu dari rencana. Pada Form Rencana Keperawatan di tulis tgl/jam

evaluasi sesuai dengan target waktu rencana.

Bila kondisi pasien belum mengalami perbaikan, maka rencana

keperawatan akan dilanjutkan sesuai kebutuhan pasien. Bila masalah

keperawatan sudah teratasi, maka pada Form Catatan Perkembangan

Pasien Terintegrasi (CPPT) akan didokumentasikan pada Assesment

(A): Masalah Teratasi. Kemudian dilakukan pengkajian ulang untuk

menentukan apakah ada masalah lain pada pasien tersebut.


6. Kegiatan Asuhan Gizi

a. Skrining Gizi

32
Pasien baru masuk dilakukan skrining gizi oleh perawat dalam

waktu 1x24 jam, dari hasil skrinning gizi bila berisiko sedang dan

tinggi akan dilakukan pengkajian lebih lanjut oleh ahli gizi, hasil

pengkajian yang berisiko tinggi di rujuk ke dokter gizi klinik.

b. Pengkajian Gizi

Pengkajian yang dilakukan meliputi pengukuran antropometri,

melihat pemeriksaan biokimia yang terkait gizi, kondisi fisik dan

klinis serta mengkajian pola makan di rumah dan asupan sehari

makanan yang diberikan di awal perawatan. Dari hasil pengkajian

dibuatkan diagnose gizi untuk menentukan prioritas Perencanaan

Terapi Nutrisi yang dibutuhkan pasien.

c. Perencanaan Gizi

Perencanaan Terapi Nutrisi disesuaikan dengan terapi diet yang

sudah ditetapkan oleh dokter DPJP dan dokter Gizi klinik. Setelah

Terapi Nutrisi ditetapkan, ahli gizi menterjemahkan kedalam bahan

makanan dan dipesankan ke Instalasi Gizi.

d. Implementasi

Pemberian nutrisi untuk parenteral disediakan oleh farmasi

sedangkan untuk nutrisi enteral dan makanan di sediakan oleh

Instalasi gizi. Pemberian makanan didistribusikan ke pasien oleh

pramusaji dengan menggunakan etiket diet.

e. Monitoring dan evaluasi

Setelah pasien mendapatkan nutrisi, dilakukan monitoring dan

evalausi terhadap perkembangan kondisi pasien, status gizi, hasil

pemeriksaan biokimia dan memonitoring asupan makanan.

Pemantauan dilakukan denagn mengamati sisa makanan dengan

menggunakan metode Comstoke. Pemantauan dilakukan setiap 3

hari kecualia pasien kritis dan Gizi buruk dilakukan setiap hari.

Hasil kegiatan asuhan gizi di tulis dalam Form Asuhan Gizi pada

Rekam Medik pasien

A. TATA LAKSANA PEMBERIAN INSTRUKSI

1. Semua pemberian instruksi adalah tangguang jawab DPJP atau dokter


jaga jika dalam keadaan gawat darurat

2. Setiap pemberian instruksi atau resep obat harus dilakukan secara

tertulis, kecuali dalam keadaan gawat darurat dapat diberikan instruksi


33
kepada perawat atau dokter jaga melalui telepon. Dokter jaga atau

perawat yang menerima instruksi tersebut akan menuliskannya di

rekam medis dan akan dibacakan ulang untuk pengecekan. Catatan

instruksi tersebut harus diparaf oleh DPJP pada keesokan harinya.

3. Untuk pasien baru yang belum diperiksa sendiri oleh DPJP, maka

pemberian instruksi melalui telepon hanya boleh diberikan kepada

dokter jaga yang memeriksa pasien tersebut.

4. Instruksi untuk pemeriksaan laboratorium dan diagnostic imaging harus

disertai dengan indikasi klinis apabila meminta hasilnya berupa

interpretasi, kecuali dalam keadaan khusus seperti di Unit Gawat

Darurat dan Unit Intensif.

5. Instruksi diberikan hanya oleh mereka yang kompeten dan berwenang

B. TATALAKSANA PASIEN BERISIKO TINGGI DAN PELAYANAN BERISIKO

TINGGI

1. Pengkajian /Asesmen

Untuk pasien dengan risiko tinggi akan dilakukan pengkajian sesuai

dengan jenis kasus dari masing-masing SMF dengan form pengkajian

tersendiri, seperti pengkajian pasien anak, pasien dewasa. Pengkajian

ulang akan dilakukan bila terjadi perubahan kondisi pasien.

2. Ruang Perawatan

Untuk ruang perawatan pasien risiko dan pelayanan berisiko tinggi di

alokasikan sesuai dengan usia dan kasusnya.

a. Untuk pasien anak akan di tempatkan di Ruang anak (Ruang

Sakura)

b. Pasien Kebidanan di rawat di Ruang Melati 2

c. Pasien menular dewasa di rawat di Ruang Lely 1

d. Pasien Neonatus/ perinatologi di rawat di Ruang NICU

e. Pelayanan dengan alat bantu napas dan koma dirawat di Ruang

Intensif (NICU, ICU dan ruang Intermeddiate)

3. Informed Consent

Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan/ diagnostik yang berisiko

tinggi dokter akan memberikan informasi, edukasi pasien dan keluarga


pada Form catatan Edukasi dan Informasi terintegrasi. Bila pasien dan

keluarga sudah paham, akan dilanjuti menanda tangani persetujuan

tindakan form Informed Consent (IC) Tindakan Kedokteran


34
4. Pelaksanaan dan Monitoring

Semua pelayanan dengan risiko tinggi mempunyai form monitoring

selama pelaksanaan pelayanan. Seperti Form observasi pasien di UGD,

Form monitoring 24 jam perawatan intensif, Form monitoring pemberian

darah dan produk darah, Form monitoring dialysis, form monitoring

pasien dengan restrain.

5. Kualifikasi Staf

Untuk tempat pelayanan pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi,

asuhan medis dan keperawatan diberikan oleh dokter dan perawat yang

terlatih dengan bukti sertifikat pelatihan.

6. Persiapan Petugas

Petugas menggunakan APD selama pelaksanaan prosedur sesuai dengan

kebijakan dan standar yang di rekomendasikan oleh PPI RSUD

Kabupaten Buleleng

7. Screening Pasien Untuk Menghindari risiko

Rumah sakit melakukan screening untuk mencegah terjadinya risiko

sampingan/efek samping sebagai akibat pelaksanaan suatu prosedur

seperti:

1) Fibrilasi Ventrikal, Ventrikel Tachycardi, 2) Gagal Napas, 3) Reaksi

allergi transfusi, 4) koma, tertular penyakit, 5) Gangguan Hemodinamik,

6) Luka, DVT, Jatuh, dekubitus, 7) Febril Neutropenia, dan 8)

Ekstravasasi.

Dengan monitoring pasien secara ketat baik dalam pelaksanaan

prosedur maupun dalam pemberian asuhan keperawatan.

8. Upaya Untuk Mengurangi RIsiko

Untuk mencegah terjadi komplikasi baik pada pasien risiko tinggi

ataupun akibat dari pelayanan risiko tinggi, maka upaya yang dilakukan

RSUD Kabupaten Buleleng adalah:

1) Bila pasien berisiko jatuh, lakukan asesmen jatuh yang

terdokumentasi dalam Form Pengkajian Risiko Jatuh dan pastikan

bed Rail selalu dalam keadaan terpasang

2) Bila pasien berisiko terjadi dekubitus lakukan pengkajian skin

integritas, Form Pengkajian dekubitus dan pasien dilakukan miring

kiri/miring kanan setiap 2 jam

9. Pembuangan limbah/ sampah pelayanan

35
Untuk pembuangan sampah sisa pelayanan di atur sesuai dengan jenis

sampahnya seperti bahan/ kasa yang kontak dengan cairan tubuh

pasien di buang di sampah medis dengan tas warna kuning, dan

sampah tajam di buang di sharp box.

10. Penanganan Pajanan/Paparan

Bila terjadi paparan/ pajanan pada petugas di masing-masing

ruangan sudah di sediakan spill kit.

C. TATA LAKSANA EARLY WARNING SYSTEM (EWS).

1. Modified Early Warning Score

1) MEWS digunakan pada pasien dewasa (berusia 18 tahun atau

lebih)

2) MEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen penyakit

akut, mendeteksi penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis

yang tepat waktu dan sesuai.

3) MEWS tidak digunakan pada:

a. Pasien berusia kurang dari 18 tahun

b. Pasien hamil

4) MEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesment prehospital

pada kondisi akut oleh first responder seperti pelayanan

ambulans, pelayanan kesehatan primer, Puskesmas untuk

mengoptimalkan komunikasi kondisi pasien sebelum diterima

rumah sakit tujuan.

Parameter Fisiologis yg dimonitor:

a. Respirasi Rate

Yang dihitung respirasi dari pasien

 Jika ≤ 8 diberi nilai 2

 Jika 9-16 diberi nilai 0

 Jika 17-20 diberi nilai 1

 Jika 21-29 diberi nilai 2

 Jika ≥ 30 diberi nilai 3

Cara penulisan

(Respirasi pasien/nilai MEWS)

Contoh: 20/1

b. Saturasi Oksigen

36
Menggunakan pulse oximetri (Alat yang ampuh untuk

mengintegrasikanfungsi jantung dan paru)

 Jika ≥94%diberi nilai 0

 Jika 90-93 % diberi nilai 1

 Jika 85-89% diberi nilai 2

 Jika ≤84 % diberi nilai 3

Cara penulisan: {nilai oximetri/nilai MEWS)

Contoh: 90/1

c. Tekanan darah sistolik

Menggunakan tensimeter, fokuskan pada sistolik

 Jika ≥200 diberi nilai 2

 Jika 70-80 diberi nilai 2

 Jika 81-100 diberi nilai 1

 Jika 101 – 199 diberi nilai 0

 Jika ≤70 diberi nilai 3

Cara penulisan

(sistolik/diastolic/nilai MEWS)

Contoh: 120/80/0

d. Heart Rate

Yang dihitung denyut nadi/menit

 Jika ≤ 40 diberi nilai 2

 Jika 41-50 diberi nilai 1

 Jika 51-100 diberi nilai 0

 Jika 101-110 diberi nilai 1

 Jika 111-129 diberi nilai 2

 Jika ≥ 130 diberi nilai 3

Cara penulisan

(denyut nadi /nilai MEWS)

Contoh: 105/1

e. Tingkat Kesadaran

Dinilai dgn APVU

Indikator penting dari tingkat keparahan akutnya penyakit

 Jika Agitasi diberi nilai 2

 Jika sadar baik diberi nilai 0

 Jika rangsangan suara = 1

 Jika rangsangan nyeri = 2


37
 Jika tidak ada respon = 3

Cara penulisan

(Tingkat kesadaran/nilai MEWS)

Contoh: Respon rangsang suara/1

f. Temperatur/suhu

Menggunakan thermometer (0C)

Penanda sensitive keparahan, akut penyakit dan gangguan

fisiologis

 Jika ≤ 35 diberi nilai 2

 Jika 35,1-36 diberi nilai 1

 Jika 36,1-37,5 diberi nilai 0

 Jika 37.6-38.1 diberi nilai 1

 Jika ≥ 38.2 diberi nilai 2

Cara penulisan

(Suhu/nilai MEWS)

Contoh: 36,5/0

Modified Early Warning Score (MEWS) Parameter

MONITORING PERBURUKAN Nama:


Tgl Lahir: L/P
KONDISI DEWASA DENGAN No RM
MEWS (MODIFIED EARLY

38
WARNING SCORE)

Ruangan :
KATAGORI SCORE
3 2 1 0 1 2 3
RR ≤8x/ - 9-16 17-20 21-29 ≥30

mnt
O2 Saturasi ≥94% 90-93% 85-89% ≤84%
Systolik BP ≤70 71-80 81-100 101- ≥200

199
Heart Rate ˂40 40-50 51-100 101-110 111- >129

(HR) 129
Tingkat Bingun Beresp Sadar Berespo Beresp Tidak

kesadaran g/ on baik n on beresp

(AVPU) agitasi dengan dengan dengan on

suara suara nyeri


Temperatur ≤35 c 35,1-36 36,1- 37,6- ≥38,2 c

e c 37,5 c 38,1 c

Petunjuk Penanganan Pasien Dengan Perburukan Kondisi Sesuai Dengan Total Score MEWS
Skor Klasifikasi Tindakan
1-3 Rendah Perawat monitoring menggunakan form

MEWS setiap 4 jam


4-5 Sedang  Ka. Tim akan melapor ke dokter jaga

ruangan

 Perawat monitoring kondisi pasien

menggunakan form MEWS setiap 1 jam

 Dokter jaga ruangan harus datang

dalam waktu kurang dari 15 menit dan

melakukan review-penanganan terhadap

kondisi pasien dalam waktu maksimal 4

jam

 Bila kondisi membaik dan score turun,

penanganan disesuaikan dengan kriteria

selanjutnya.
6-7 Tinggi  Ka. Tim akan melapor ke dokter jaga

ruangan

39
 Monitoring menggunakan MEWS

dilakukan setiap 30 menit

 Dokter jaga wajib hadir dalam waktu

kurang dari 10 menit dan langsung

melakukan penanganan terhadap

pasien dalam waktu maksimal 30

menit

 Bila setelah 30 menit tidak ada

perbaikan, dokter jaga menghubungi

DPJP
8  Dokter jaga mengaktifkan Code Blue dan

melakukan penanganan pasien bersama

tim code blue RSUD Kabupaten

Buleleng.

2. Pediatric Early Warning Score (PEWS)

a. PEWS digunakan pada pasien anak/ pediatrik ( berusia saat lahir-18

tahun)

b. PEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen pengakit akut,

mendeteksi penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis yang

tepat waktu dan sesuai.

c. PEWS tidak digunakan pada:

a) Pasien dewasa lebih dari 18 tahun

b) Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan misalnya TOF

(Tetralogi of Fallot).

d. PEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesmen prehospital

pada kondisi akut oleh first responder seperti pelayanan ambulans,

pelayanan kesehatan primer, Puskesmas untuk mengoptimalkan

komunikasi kondisi pasien sebelum diterima rumah sakit tujuan.

40
e. Table Parameter Pediatrik Early Warning Score

Paramet Item yang Usia Score


0 1 2 3
er dipantau
Respiras Pernapas 0-˂3 bln 30-50 25-29 66-70 20-24

i an
51-65 >71
3-˂12 20-44 15-19 50-55 10-14

bln
45-49 >55
1-˂5 thn 20-34 15-19 40-50 15-19
35-39 >50
12-18 16-18 11-15 30-35 6-10

thn
26-29 >35
Usaha 0-18 Tidak Ada Retraksi Retraksi

napas ada sedikit agak dalam,

retraksi retraksi dalam,tra trakeal

keal tug tug,

grunting
Oksigen 0-18 Tanpa 30% 40% 50%

terapi O2 +FiO2 +FiO2 +FiO2

atau ≥4L/ atau ≥6L/ atau

mnt mnt ≥8L/mnt


Kardiova Nadi 0-˂3 bln 100- 90-99 80=89 60-79

skuler (x/mnt) 149


150-159 160-169 >170
3-˂12 90-159 80-89 70-79 60-69

bln
160-169 170-180 >180
1-˂5 thn 90-139 80-89 150-160 60-69
140-149 >160
12-18 55-99 100-109 45-55 35-45

thn
110-119 >120
Capillary 0-18 thn Pink Pucat Abu-abu Abu-abu

refil time CRT 1- CRT 3 dtk CRT 4 dtk CRT ≥5

(CRT) 2 dtk dtk

Kesadar 0-18 thn Sadar Lemah Gelisah, Letargi,

an/ baik banyak berespon unrespon


41
Behavior (alert) tidur, dengan sive

respon nyeri

dengan (pain)

suara

Petunjuk Penanganan Pasien Dengan Perburukan Kondisi Sesuai Dengan Total Score
PEWS
Skor Klasifikasi Tindakan
0-2 Observasi PEWS secara rutin setiap pergantian

shif
3 Rendah  Perawat melapor kepada Ka.tim/ senior

nurse

 Senior nurse harus mereview pasien dan

menghubungi dokter jaga untuk

mendiskusikan apakah diperlukan penilaian

oleh DPJP

 Pasien diobservasi setiap 4 jam sampai PEWS

normal (0-2)
4 Sedang  Perawat melapor ke dokter jaga ruangan

 Dokter melakukan review terhadap kondisi

pasien dalam 30 menit

 Dokter jaga melapor pada DPJP

 Pasien diobservasi setiap 30 menit sampai

PEWS normal
≥5 Tinggi  Perawat/dokter mengaktifkan emergency

system atau menghubungi code blue

 Penanganan pasien dilakukan oleh dokter

jaga ruangan atau hubungi DPJP

 Pasien diobservasi setiap 5 menit

 Kemudian pasien dipindahkan ke ruang

intensif anak

f.Nilai normal tanda-tanda vital


Usia Heart Rate Respiratory Rate
Bayi baru lahir (lahir-1 bulan) 100- 180 40-60
Infant (1-12 bulan) 100-180 35-40
Todler (13 bulan-3 tahun) 70-110 25-30
Preschool (4-6 tahun) 70-110 21-23
School Age 70-110 19-21
Dolescent (13-19 tahun) 55-90 16-18
42
3. Early Warning Observation Score Chart Obstetrik

a. EWOSCO digunakan pada pasien hamil

b. Parameter fiosiologis yang dimonitor adalah respirasi rate, saturasi

oksigen, tekanan darah sistolik, heart rate, tingkat kesadaran,

temperature/suhu, produksi urine dan atau tanpa kateter

c. Parameter EWOSCO

Parameter Score
3 2 1 0 1 2 3
Temperatu ≤35 35.1- 36.1 38- ≥38.

re 36 - 38.4 5

37.9
TD sistolik ≤80 81-90 91- 141 151-199 ≥20

139 - 0

150
Heart Rate ≤40 41-59 60-75 76- 105 111-129 ≥13

104 - 0

110
RR ≤5 6-9 10-14 15- 20- 25-30 ≥30

19 24
Urine ˂10 ˂100 ml/ ˂50

Output ml/jam 4 jam ml/2

(UO) jam
UO tanpa 10 jam 8 jam Bladder

kateter tanpa tanpa kosong

urine urine
Kesadaran unconfiu confused voice alert agitasi

s
Saturasi ˂88 88-89 90-94 >95

O2

d. Petunjuk Penanganan Pasien Dengan Perburukan Kondisi Sesuai

Dengan Total Score EWOSCO

a) Bila didapatkan total skor 0-3: resiko deteriosasi kecil pasien

dirawat di ruang biasa, pemantauan setiap shif jaga (6-8 jam)

b) Bila didapatkan total skor 4-5: resiko deteriosasi sedang dirawat

di ODHU dipantau setiap jam dengan EWOSCO

c) Bila didapatkan total score ≥6: resiko deteriosasi berat, rawat

ICU
43
D. PELAYANAN RESUSITASI

1. Setiap kegawatdaruratan henti napas dan atau henti jantung pada

pasien yang memungkinkan untuk dapat ditolong ditangani dengan

mengaktifkan “Blue Code dan Resus Call”.

2. Petugas medis (perawat, dokter, residen, spesialis) penemu pertama

pasien ancaman gangguan napas dan sirkulasi dapat melakukan

tindakan bantuan hidup dasar (BHD), kemudian petugas lainnya

mengaktifkan “Blue Code”

3. Untuk pasien rawat inap perlu diperhatikan label pada pasien, bila

ada label ungu di atas status pasien tidak perlu mengaktifkan Blue

Code/Resus Call dan bila tidak ada label ungu di atas status pasien,

segera aktifkan Blue Code/Resus Call dengan menghubungi ke

Sentral Blue Code melalui ekstensi 515 (satpam) dan menyampaikan

lokasi kejadian dengan memanggil Tim Reaksi Cepat Blue Code

(TRCBC) melalui pengeras suara ke seluruh lingkungan RSUD Kab.

Buleleng (Poliklinik, Ruangan Rawat Inap, IGD, unit penunjang dan

manajemen “Code Blue Ruang……Kamar…..”

4. TRCBC terdiri dari:

a. Dokter anastesi sebagai ketua dan anggota TRCBC

b. Perawat1, Perawat 2 dan Perawat 3 sebagai anggota TRCBC

5. Perawat, dokter, karyawan atau satuan pengamanan di lokasi

kejadian secara simultan melakukan:

a. Mengamankan Circulation, Airway, Breathing

b. Mengisolasi lingkungan pasien.

6. TRCBC datang ke lokasi kejadian

7. Penanganan dan tanggungjawab pasien diambil alih oleh TRCBC

8. Setelah pasien dinyatakan stabil oleh dokter anastesi (TRCBC),

selanjutnya DPJP mengkonsulkan pasien tersebut untuk di rawat di

ruang Intensif, dilakukan tindakan operasi atau di rujuk ke Rumah

sakit lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku

9. Bila pasien meninggal, pasien ditangani untuk perawatan jenasah

oleh perawat ruangan dan selanjutnya dikirim ke kamar jenazah.

E. PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH


44
1. Sistem Golongan Darah Manusia

Karl Landsteiner pada tahun 1900 mengumumkan penemuannya

tentang golongan-golongan darah manusia. Golongan darah yang

ditemukan Karl Landsteiner merupakan kunci bagi terlaksananya

transfusi darah hingga saat ini.

Ditemukan dua macam antigen pada sel darah merah manusia,

yang diberi nama antigen A dan antigen B. Dari kedua macam

antigen ini kemudian dapat di tetapkan bahwa golongan darah

manusia dapat dibagi menjadi 4 macam. Masing masing golongan

darah itu ialah: A,B,O, dan AB. Golongan darah ini merupakan

dasar pokok bagi terlaksananya transfuse darah.

Penemuan golongan darah di atas dilandasi oleh dua macam factor

yang ditemukan oleh Landsteiner, factor yang dimaksud adalah:

a. Factor yang ditemukan pada permukaan luar sel darah merah

manusia, factor ini dinamakan Antigen, yaitu merupakan

factor yang menentukan golongan darah manusia.

b. Factor zat anti (antibody) yang terdapat di dalam

plasma/serum darah, factor ini merupakan zat yang dapat

menghancurkan antigen, bilamana dicampurkan dengan

antigen yang merupakan lawannya.

Antibody golongan darah yang ditemukan dalam hubungan ini ialah

antibody yang bersifat alamiah (natural), yang berada di dalam

tubuh tanpa mengalami rangsangan dari luar. Antibody ini

dinamakan Natural Antibody atau disebut juga Naturally Occuring

Anti Body.

Di dalam serum/plasma darah manusia ditemukan dua macam zat

anti masing-masing antibody B dan antibody A. Antibody B

merupakan lawan antigen B dan antibody A merupakan lawan

antigen A.

a. Seseorang yang golongan darahnya A, pada sel darah merahnya

didapatkan antigen A dan dalam plasmanya terdapat antibody

B.

b. Seseorang yang golongan darahnya B, pada sel darah merahnya

didapatkan antigen B dan dalam plasmanya terdapat antibody A

c. Seseorang yang golongan darahnya O, pada sel darah merahnya

tidak didapatkan baik antigen A maupun antigen B (kososng),


45
sebaliknya didalam plasmanya terdapat kedua zat antibody

yaitu antibody A dan antibody B.

d. Seseorang yang golongan darahnya AB, pada sel darah

merahnya didapatkan antigen A dan antigen B, tetapi di dalam

plasmanya tidak ditemukan antibody A maupun antibody B.

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dikemukakan aspek klinis

system golongan darah ABO dalam tranfusi yaitu:

a. Ketidakcocokan pada system golongan darah ABO. Misalnya

pemberian darah golongan A kepada penderita golongan O dapat

menimbulkan reaksi tranfusi yang hebat dan menimbulkan

kematian karena ketidakcocokan pada system-sistem golongan

darah lain.

b. Tranfusi iso agglutinin. Misalnya plasma golongan O diberikan

kepada penderita golongan A dapat menyebabkan reaksi tranfusi

yang hebat, kadang-kadang dapat menimbulkan kematian juga.

Berdasarkan keterangan di atas, maka tranfusi yang sngat ideal

adalah tranfusi yang dilaksanakan dengan pemberian darah kepada

penderita dengan system golongan darah ABO yang sama antara

penderita dan donornya dan menghindari pemberian golongan darah

O untuk golongan-golongan lain, karena ketidakcocokan pada

system-system golongan darah lain dapat menimbulkan reaksi

transfusi yang hebat bahkan dapat menyebabkan kematian

pasiennn,seperti contoh kasus yang telah dikemukakan

sebelumnya,yaitu menstransfusikan golongan darah B kepada pasien

yang bergolongan darah O. Oleh karena itu ,dalam pemberian

transfusi darah petugas di rumah sakit harus berhati-hati baik

sebelum melakukan transfusi maupun pada saat memberikan

transfusi darah jangan sampai terjadi kesalahan memberikan

golongan darah yang tidak cocok dengan darah pasien karena

apabila hal ini terjadi akan berakibat fatal bagi pasien.

2. Penyimpanan Darah Untuk Tansfusi

Dalam setiap tindakan transfusi darah perlu diusahakan mencari darah

yang cocok/compatible supaya tidak terjadi penolakan (rejektion) dari

resipien, yang dalam hal transfusi biasa disebut reaksi

transfusi/hemolytic. Mencari darah yang cocok ini adalah tugas utama

dari setiap laboratorium transfusi. Teknis pelaksanaannya berbeda, dari


46
yang sederhana sampai yang teliti/lengkap. Semakin lengkap

pemeriksaannya, semakin aman transfusi dilakukan. Kebutuhan akan

transfusi darah ini semakin hari semakin meningkat diseluruh dunia,

oleh karena itu diperlukan penyimpanan darah agar setiap waktu darah

itu tersedia atau disebut Bank Darah.

Bank Darah adalah tempat pelayanan, penyimpanan, dan

pengamanan darah d irumah sakit. Penyimpanan darah (Bloodstorage)

dilakukan dengan:

a. Zat Pengawet :yaitu bahan yang diperlukan supaya darah jika

darah tercampur dengan zat itu darah tidak membeku dan tidak

terjadi hemolysiZat ini disebut Antikoagulant.

b. Temperatur/suhu Ruangan penyimpanan darah

Dalam tubuh yang normal penghancuran dan peremajaan sel

darah merahberjalan terus,umur eritrosit dalam tubuh ialah 120

hari,sehingga setiap hari kurang lebih 1%eritrosit musnah dan

dibentuk yang baru.Dalam keadaan yang tidak alamiahseperti

dalam plasti bag,maka equilibrium tersebut tidak ada,yang ada

hanya penghancuran sel-sel tanpa ada peremajaan ,dan juga

karena kondisi-kondisi lain yang tidak sama,maka penghancuran

terjadi lebih cepat sehingga mengakibatkan terjadinya Blood

Storage.Untuk mencegah terjadinya Blood Storage adalah dengan

menyimpan darah pada suhu rendah (4°Celcius), sehingga

metabolisme diperlambat, disamping pemberian cadangan kalori

yakni Dextrose. Suhu maksimum untuk menyimpan darah

10°Celcius, diatas suhu tersebut perusakan eritrosit berlangsung

cepat. Suhu 0°Celcius merusak karena terjadi pembekuan air yang

dapat merusak Cell Membran (kecuali dengan proses tertentu).

Alat pendingin yang optimal yaitu special blood refrigerator

yang dilengkapi dengan termometer pencatat suhu

optimis ,alarm,kipas,dan sebagainya serta biasanya mempunyai

double door.

Dengan demikian, berdasarkan keterangan diatas, supaya

darah yang berada diluar tubuh manusia tidak rusak, maka darah

harus disimpan dalam suatu alat khusus sehingga dapat

digunakan untuk transfusi

3. Bahaya-Bahaya Transfusi Darah


47
Beberapa bahaya transfusi darah yang dapat merugikan pasien dapat

dibagi menjadi 3 macam,yaitu:Analisa Hukum Terhadap Pemberian

Transfusi Darah DiRumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang No 44

Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

a. Reaksi Hemolitik (ditandai dengan penghancuran sel darah

merah/eritrosit dengan adanya HB Uria dan Icterus )antara lain

1) Golongan darah yang tidak cocok :

a) Reaksi hemolitik akut(acute reaktion),pada umumnya terjadi

segera pada waktu transfusi sedang berlangsung dan 50 cc

darah dari golongan yang tidak cocok sudah dapat

menimbulkan reaksi.Gejala yang timbul :

 Rasa panas sepanjang vena lengan menjalar ke ketiak.

 Nyeri pinggang yang khas

 Nyeri tertekan pada dada

 Sakit kepala, temperatur agak naik

b) Reaksi hemolitik terlambat (delayed reaction), pada

umumnya terjadi pada penderita yang sering menerima

transfusi (multitransfusi) atau pernah melahirkan. Reaksi

terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah transfusi.

Gejala hampir sama, tetapi yang jelas adalah sakit kepala

dan sakit pinggang

2) Bukan karena ketidakcocokan golongan darah. Reaksi ini

dapat disebabkan karena faktor faktor

a) Transfusi diberikan bersama –sama dengan larutan

hypotonis,misalnya Dextrose 5% sehingga eritrosit yang

masuk langsung hemolisis.

b) Pemberian darah yang sudah hemolisis karena:

 Pemanasan mendadak dimasukkan dalam air panas

melebihi temperatur tubuh.

 Frozen Blood karena salah penyimpanan (-4°Celcius)

eritrosit bengkak dan hancur

 Kontaminasi bakteri yang mencemarkan eritrosit sebagai

makanannya.

c) Transfusi dengan tetesan cepat, kadang –kadang dipompa

hingga eritrosit hancur dalam jarum giving set yang kecil

48
d) Kesalahan petugas rumah sakit /BDRS karena salah

memberikan cap golongan darah, label pada labu darah

tertukar, salah mengambil labu darah karena nama

hampir sama. Pada keadaan ini tidak ada free Hb,tidak

ada methemealbumin hanya bilirubinaemia.

b. Reaksi non Hemolitik

a) Reaksi alergi disebabkan karena pemindahan alergin donor pada

penderita atau reaksi penderita pada plasma donor

b) Febris disebabkan karena pembuatan larutan anticoagulan dan set

yang kurang steril atau reaksi antibody terhadap leukosit dan

trombosit. Gejala terjadi pada waktu transfusi : panas, menggigil,

sakit kepala, nyeri seluruh badan

c) Reaksi kontaminasi bakteri: terjadi pada waktu pengambilan darah

atau terlalu lama dalam suhu kamar gram negative, dapat berbiak

pada 4°Celcius atau akibat menyuntikkan sesuatu dalam labu

darah. Gejala: terjadi pada waktu transfusi atau beberapa hari

sesudahnya, panas tinggi, nyeri kepala, menggigil, vomit, nyeri

perut, buang air darah.

d) Reaksi overloading: Akibat massive transfusi yaitu lebih dari 1,5

liter dalam waktu singkat dengan tetesan cepat atau dapat pula

terjadi pada waktu pemberian satu labu bagi penderita dengan

penyakit jantung.

e) Cardiac Arrest: terjadi tiba-tiba dapat disebabkan karena:

 Pemberian ice-cold blood yang segera dimasukkan dalam

tubuh penderita tanpa kesempatan adaptasi dengan suhu

kamar dahulu dan diberikan dengan tetesan cepat.

 Karena keracunan kaliaum, bila darah yang dipakai telah

disimpan lebih dari satu minggu, sehingga kadar kalium darah

tersebut sudah meninggi dan pemberian transfusi masih cepat.

 Keracunan citras, volume citras yang ditransfusikan banyak

dalam satu waktu dan ada gangguan fungsi hati biasanya

gejala disertai adanya tremor dan gangguan ECG.

f) Acidosis

Pada penderita dengan kadar normal, pemberian darah yang

berumur lebih dari satu minggu dalam ACD, hampir tidak

menimbulkan pengaruh apa –apa, tetapi untuk penderita yang


49
sudah mempunyai tendensi untuk Acidosis seperti penyakit ginjal

dan rehidrasi, maka pemberian darah semacam ini akan

memperburuk keadaan, karena kadar lacticacid meningkat akibat

metabolisme eri yang menyebabkan penurunan PH.

g) Keracunan kalium

Penyimpangan lebih dari 10 hari menyebabkan kadar meningka

karena ion exchange dengan natrium. Bahayanya, karena dapat

terjadi cardiac Arret dan memperburuk kondisi penderita dengan

gangguan ginjal

h) Keracunan citras

Akibat massive transfusi lebih 2 liter pada penderita dengan

gangguan hati dan terjadi hypocalcemia karena citras mengikat Ca+

+ darah.

i) Emboli darah

Karena kesalahan teknik terjadi hypotensi hingga syncope dan

cyanosis.

c. Reaksi penularan penyakit terutama yang dapat ditularkan melalui

transfusi adalah penyakit: Hepatitis, Malaria, Syphilis

Atas dasar keterangan diatas, transfusi darah dapat menimbulkan

macam-macam reaksi, baik reaksi ringan maupun berat. Yang ringan hanya

berasa panas atau menggigil, yang berat dapat menimbulkan kurang air

seni atau sama sekali tidak ada air seninya, atau bahkan sampai meninggal

dunia. Setiap transfusi yang menimbulkan reaksi-reaksi segera harus

dihentikan dan penyebabnya perlu diselidiki. Reaksi transfusi darah

mungkin dikarenakan incompatibility antara antigen golongan darah dan

antibodynya.

Kewajiban rumah sakit dalam pemberian transfusi darah berdasarkan

Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Upaya pelayanan

kesehatan dirumah sakit dimulai dari hubungan dasar antara dokter

dengan pasien dalam bentuk perjanjian terapeutik. Meskipun demikian,

pasien memiliki kemungkinan untuk mengadakan perjanjian terapeutik

dengan rumah sakit dalam bentuk perawatan sekaligus pelayanan medik.

Kegiatan pelayanan medik oleh tenaga medik dan kegiatan perawatan di

rumah sakit pada umumnya dilakukan scara bersama-sama. Dengan

demikian hubungan antara rumah sakit dan pasien adalah hubungan di

dalam perawatan dan hubungan dalam pelayanan medik. Oleh karena


50
hubungan antara rumah sakit dan pasien merupakan suatu hubungan

hukum, maka timbul hak dan kewajiban dari kedua belah pihak.

Adapun kewajiban rumah sakit adalah memberikan pelayanan yang baik

kepada pasiennya (duty of care). Salah satu kewajiban dari rumah sakit

adalah harus menyediakan peralatan medik yang baik. Bukan berarti

rumah sakit harus menyediakan segala peralatan medik yang baru

ditemukan, tetapi rumah sakit harus menyediakan peralatan standar medik

yang secara umum diperlukan dan menjaga agar peralatan tersebut selalu

tersedia dalam keadaan baik dan siap pakai.

Di indonesia, kewajiban rumah sakit untuk memiliki peralatan medik

diatur didalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang

Rumah Sakit, yang berbunyi: ’Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan

lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian ,dan

peralatan.’

Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Paal 7 ayat 1 Undang-Undang

No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit harus sesuai dengan ketentuan

yang dicantumkan didalam Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No 44 Tahun

2009 Tentang Rumah Sakit yang berbunyi sebagai berikut: ’Persyaratan

peralatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan

medis dan non medis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan

mutu,keamanan, dan keselamatan dan layak pakai.’

Analisis umum terhadap pemberian transfusi darah di rumah sakit

berdasarka Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit oleh

Sri Ratna Suminar indikasi yang tepat,disamping pemantauan dan tindakan

penanggulangan reaksi transfusi yang mungkin terjadi.

Keamanan merupakan salah satu hak pasien sebagai mana disebutkan

didalam Pasal 32 hurup(n)Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang

Rumah Sakit,yang berbunyi ”Setiap pasien mempunyai hak memperoleh

keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah

sakit. ’Apabila dihubungankan dengan transfusi darah, setiap kegiatan

pelayanan transfusi darah harus dikerjakan sesuai standar prosedur

operasional (SPO), dan ketersediaan darah aman di rumah sakit merupakan

salah satu standar pelayanan minimal rumah sakit yang berarti setiap

rumah sakit harus memiliki stok darah aman 24 jam. Ini berarti rumah

sakit harus mempunyai bank Darah Rumah Sakit (BDRS) atau Unit

Transfusi Darah Rumah Sakit (UTDRS) serta menajemen pelayanan


51
transfusi. Standar Prosedur Operasional ini melindungi pasien agar tidak

dirugikan dari segi mutu /kualitas darah, sehingga pelayanan transfusi

darah aman sampai ke pasien, dan pasien terhindar dari resiko tertular

infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD) bahkan terhindar dari

kematian.

Namun kenyataanya, tidak jarang darah yang akan ditransfusikan telah

rusak sebelum dipakai. Hal ini disebabkan pada saat pendistribusian darah

tidak aman.Sistem yang berjalan saat ini adalah keluarga pasien mencari

sendiri darah yang dibutuhkan ke utd PMI.Darah yang telah diuji silang

serasi dengan darah pasien dibawa sendiri oleh keluarga pasien.Proses

seperti ini mempunyai berbagai dampak yang membahayakan pasien karena

distribusi darah dari UTD PMI kerumah sakit yang dilakukan keluarga

pasien biasanya tidak memenuhi syarat distribusi,hal ini dapat

menyebabkan darah yang ditransfusikan adalah darah yang telah

rusak/lisis atau terkontaminasi kuman/bakteri,hal ini sangat merugikan

pasien.Padahal seperti halnya suatu obat yang diberikan kepada

pasien,darah yang ditransfusikan harus memenuhi persyaratan

keamanan,sehingga tidak mengancam keselamatan pasien.

Pelayanan darah yang berkualitas adalah pelayanan darah dengan

sistem distribusi tertutup dengan metode rantai dingin sesuai standar, yaitu

pelayanan dilakukan oleh petugas kesehatan dan UTD dengan

memperhatikan suhu penyimpanan darah saat didistribusikan

Dalam sistem distribusi tertutup ini, darah dari donor sukarela maupun

pengganti yang telah melalui proses seleksi, disadap kedalam kantong

darah, dilakukan uji saring terhadap IMLTD (Infeksi Menular Lewat

Transfusi Darah) dan pengolahan darah sesuai dengan standar prosedur

operasional oleh UTD. Darah yang telah dinyatakan memenuhi kriteria

aman, disimpan dalam Blood Bank Refrigerator, dan dalam periode dan

jumlah tertentu didistribusikan dengan rantai dingin ke BDRS dan

disimpan di Blood Bank Refrigenerator BDRS sebagai stok dirumah sakit

untuk rencana aksi pelayanan transfusi darah yang aman memenuhi

kebutuhan pasien.

Sistem distribusi tertutup ini keluarga pasien tidak lagi dilibatkan

sebagai pelaksana distribusi. Sistem distribusi tertutup dengan rantai

dingin, dilakukan dengan langkah –langkah sebagai berikut:

52
1. Unit Tansfusi Darah (UTD) : melakukan rekrutmen Donor Darah

Sukarela (DDS) baik langsung maupun melalui mobil unit. Sebelum

penyadapan darah dilakukan seleksi donor. Hasil penyadapan darah

diuji saring dan pemisahan komponen. Selanjutnya darah disimpan

untuk kemudian didistribusikan ke Bank Darah Rumah Sakit (BDRS)

melalui petugas kesehatan sesuai dengan prediksi kebutuhan darah di

BDRS.

2. Banyaknya darah yang perlu disiapkan oleh UTD sesuai prediksi

kebutuhan rumah sakit yang dilayani dan dilakukan dengan

manajemen donor yang baik.

3. Distribusi dari UTD K BDRS sepenuhnya dilakukan oleh petugas

secara berkala sesuai prediksi kebutuhan rumah sakit pada kurun

waktu tertentu.

4. Bank Darah Rumah Sakit membuat prediksi kebutuhan yang

disampaikan kepada UTD sebagai salah satu mekanisme kerja sama

antara UTD dan BDRS berdasarkan nota kesepakatan.

5. Bank darah rumah sakit : melakukan stok darah serta melakukan uji

cocok serasi (crossmatch) terlebih dahulu sebelum darah diserahkan

kepada petugas ruangan untuk dilakukan tindakan medis transfusi

darah kepada resipien.

Dengan adanya jaminan terhadap kwalitas darah tersebut berarti pasien

akan terlindungi kesehatannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29

ayat (1)hurup b Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

yang berbunyi: ’Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberika

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif

dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar

pelayanan rumah sakit’ Untuk selanjutnya, berdasarkan Pasal 13 Undang-

Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, ditentukan bahwa:

’Setiap tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit harus bekerja sesuai

dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur

operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan

mengutamakan keselamatan pasien’.

Analisa hukum terhadap pemberian transfusi darah di rumah sakit


berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,

harus selalu dimina dan diawasi, karena setiap penyimpangan pelaksaan

tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk


53
sanksi. Di rumah sakit, petugas yang biasanya memberikan transfusi

kepada pasien adalah perawat. Perawat merupakan perpanjangan tangan

oleh dokter yang diberi kewenangan oleh dokter untuk melakukan tindakan

memasukan darah kedalam tubuh pasien (transfusi). Di rumah sakit

kesalahan transfusi biasanya disebabkan oleh kesalahan perawat,

sebagaimana kasus-kasus yang telah ditemukan sebelumnya. Sehubungan

dengan itu, sebelum perawat memasukan darah ketubuh pasien,perawat

wajib memeriksa ulang nama dan golongan darah pasien agar tidak terjadi

kesalahan pemberian transfusi darah.

Dalam proses transfusi darah menurut American Association of Blood

Bank(AABB):”The responsibility for accurately identifying atransfusion

component rest whit both the transfusion service personal who issue the blood

and the clinicalrepresentatives who receive it.”artinya (Tanggung jawab atas

pengidentifikasian komponen transfusi secara akurat terletak baik pada

petugas pelayanan transfusi yang mengeluarkan darah dan representatif

klinis yang menerimanya)

Transfusionis yang mengatur darah menunjukakan titik terakhir dimana

kesalahan pengidentifikasian dapat diketahui sebelum pasien menerima

komponen darah. Transfusionis harus memeriksa seluruh informasi

identifikasi dengan segera sebelum memulai transfusi dan mencatat pada

formulir transfusi bahwa informasi tersebut telah diperiksa dan diketahui

benar. Setiap ketidaksesuaian harus diperbaiki sebelum transfusi dimulai.

Identifikasi yang dilakukan antara lain:

1. Identifikasi resipian

Nama dan nomor identifikasi pasien pada pita identifikasi harus sama

dengan nama pada formulir transfusi serta label yang tertempel pada

unit. Sangat diperlukan sekali untuk pasien menyebutkan namanya,

jika pasien tersebut sanggup melakukannya.

2. Identifikasi unit

Nomor identifikasi unit pada container darah, formulir transfusi, dan

lebel yang tertempel pada unit (jika berbeda dari yang sebelumnya)

harus sama dan sesuai

3. ABO dan D

54
Tipe ABO dan D pada label primer unit darah harus sesuai dengan yang

tercatat pada formulir transfusi. Penerima donor tipe ABO dan D harus

dicatat pada formulir transfusi serta label kontainer harus sama.

4. Daluwarsa

Tanggal daluwarsa unit donor harus diperiksa benar tidaknya sebelum

dimasukkan

5. Kecocokan

Interpretasi uji kecocokan (jika dilakkukan) harus dicatat pada formulir

transfusi dan pada lebel yang tertera pada unit ( jika tidak sama ). Jika

darah dikeluarkan sebelum uji kecocokan dilaksanakan, maka hal ini

harus ditunjukan dengan jelas

6. Instruksi dokter

Darah atau komponen harus dicek ulang terhadap instruksi tertulis

dokter untuk melakukan verifikasi bahwa komponen dan jumlah yang

tepat yang diberikan pada pasien. Seluruh identifikasi yang tertera pada

kontainer harus tetap tertempel hingga transfusi berakhir, dengan

demikian, dalam proses pemberian transfusi darah harus diperhatikan

standar prosedur operasional (SPO) yang harus diikuti secara konsisten.

Sebelum perawat memasukkan darah ketubuh resipien, maka perawat

tersebut harus memeriksa ulang nama dan golongan darah resipian

sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian transfusi. Kasus salah

menstranfusikan labu darah kepada pasien merupakan kelalaian

perawat dan rumah sakit harus bertanggung jawab, karena rumah sakit

berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang No.44 Tahun 2009 Tentang

Rumah Sakit, bertanggung jawab secara hukum terhadap semua

kerugian yang ditimbulkan atas kelalian yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan dirumah sakit.

F. TATALAKSANA PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU NAPAS DAN

ATAU KOMA

1. Tatalaksan pasien dengan alat bantu napas

a. Membuka jalan napas

b. Bebaskan jalan napas

Tujuannya: agar jalan napas bebas dari sumbatan (karena

lidah, posisi, lender, benda asing, dsb) sehingga dengan

demikian O2 dapat lewat dengan lancer.


55
Caranya:

 Mengatur posisi

 Memasang alat bantu napas dengan alat:

a. Pasang pipa orofaringeal (guidel)

b. Pasang pipa nasofaringeal

c. Pasang pipa endotracheal (Intubasi)

 Membuka jalan napas dengan operatif

a. Krikotirotomi

b. Trakheostomi

c. Prosedur pemasangan tube (Intubasi)

Persiapan;

1. Persiapan pasien :

a. Pasien disiapkan

b. Keluarga dijelaskan tentang prosedur yang akan

dilaksanakan dan menandatangani informed consent.

2. Persiapan Alat :

a. Laryngoscope

b. Mandrin, Oropharingeal tube (Gudel)

c. ETT sesuai dengan kebutuhan

d. Stetoskop

e. Ambubag / manula resuscitator

f. Sarung tangan

g. Suction set

h. Oksigen set

i. Xyllocain jelly, xyllocain spray

j. Obat-obat emergency

k. Masker,plester

l. Spuit 10 cc

m. EKG monitorset

Prosedur Kerja

1. Perawat mencuci tangan

2. Trolly emergency di dorong ke dekat pasien

3. Memperbaiki posisi pasien terlentang dengan posisi agak

ekstensi

4. Memasang EKG monitor untuk dapat memonitoring keadaan

umum pasien selama pemasangan


56
5. Dokter memakai masker dan sarung tangan serta berdiri di

atas sisi kepala pasien, siap untuk melakukan pemasangan

tube.

6. Perawat I : memberikan alat yang diperlukan dokter secara

berurutan

7. Perawat II : berdiri di sebelah kanan dokter dan melakukan

pengisapan secret serta siap membantu dokter untuk

melakukan intubasi

8. Perawat I masih tetap berdiri disebelah pasien serta bersiap-

siap untuk melakukan bantuan pernapasan setiap kali

diperlukan.

9. Setelah perasat intubasi selesai perawat I langsung

mengambil alih pernapasan (memompa dengan ambubag)

kemudian perawat II mengisi cup dengan udara, agar udara

inspirasi dapat masuk ke dalam paru-paru sepenuhnya

(sebagai fiksasi)

10. Mendengarkan bunyi udara yang dipompakan dengan

menggunakan stetoskop.

11. Memfiksasi tube dengan plester kemudian menghubungkan

tube dengan ventilator yang telah disiapkan.

12. Merapikan pasien dan alat-alat

13. Perawat mencuci tangan

2. Prosedur Ventilator pada pasien neonatus

a. Surat persetujuan tindakan medic dari orang tua pasien

b. Ventilator lengkap yang siap pakai dan diletakkan dismaping

incubator sisi kiri kepala pasien.

c. Siapkan air viva (ambubag), set pengisap sekresi lengkap dan

siap pakai

d. Penetapan pemasangan ventilator oleh dokter

1) Pada pasien dengan pernafasan kendali

Artinya pasien bernafas dengan ventilator mekanik yang bekerja

secara otomatis,terus menerus dimana usaha pernafasan pasien

ditiadakan atau tidak ada.Dengan cara memberi obat sedasi atau

relaxan atas instruksi dokter.

Model awal yang diset di ventilator antara lain:

a. A/C= Assisted Control atai IPPV=Intermitent Positif Presure


57
Ventilation

• Frekuensi pernafasan (RR) 60 x/menit

• Flow rate (kecepatan aliran gas) 8-10 ltr

• FıOᴤ sesuai kebutuhan 100 %

• PIP=Peak Inspirasi Pressure 12-18 cm HᴤO

• PEEP=Positif End Expiratory Presure 5-10 cmmHᴤO

b I:E =1:1

c Mengisap sekresi

• Memulai dan membaca settingan ventilator

• Menghubungakan ventilator ke pasien dengan memakai

konektor

• Evaluasi /monitoring sistem cardiovaskuler dan pernafasan

• Pemeriksaan thorak foto dan AGD 1 jam setelah terpasang

ventilator

• Evaluasi setting ventilator selanjutnya sesuai dengan

klinis,AGD dan thorak foto

3. Prosedur CPAP Pada Neonatus

a. Mulailah CPAP segera setelah bayi lahir sesuai dengan indikasi

b. Pada saat datang dari ruang bersalin

• Neonatus harus segera ditimbang, dikeringkan, dan

ditempatkan ditempat tidur dengan penghangat dan probe servo

dipasang pada kulit diatas hati

• Pulse-oximeter harus dipasang (lebih disukai pada lengan

kanan)

c Membantu neonatus pada CPAP

• Neonatus dengan CPAP nasal harus menjalani pemeriksaan

sistem setiap 2-4 jam

• Gastrointestinal: amati keberadaan kembung pada

perut ,linkaran usus yang terlibat dan auskultasi bunyi usus

d Jaga agar ujung peralatan CPAP tidak mengenai nasal septum

dalam keadaan apapun

e Isap rongga hidung,mulut, faring dan perut setiap 2-4 jam dan

sesuai dengan kebutuhan

• Meningkatkan upaya respirasi, meningkatkan kebutuhan

akan O2 dan episode–episode apnea/bradikardi mungkin

merupakan indikasi untuk dilakukannya pengisapan.


58
Perhatikan jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk

mengencerkan sekresi kental yang telah mengering, gunakan

beberapa tetes larutan salin steril 0,9 %

f Pemeriksaan integritas seluruh sistem CPAP

• Apakah mesin pencampur telah dipasang pada presentase

yang sesuai?

• Apakah flow meter telah diset pada kecepatan 5 dan

7liter/mt?

• Apakah humidifier berisi air dalam jumlah benar?

• Apakah suhu gas yang dihisap telah sesuai?

• Apakah selang korugasi tidak berisi air ?

• Apakah ujung selang pada botol outlet berada pada

ketinggian 5 cm dan untuk asam asetat pada ketinggian 0

cm?

• Apakah botol outlet mengeluarkan gelembung?

4. Prosedur Kerja Ventilator

a. Mesin ventilator lengkap dengan sirkuit dan humidifier

b. Sambungkan konektor oksigen pindah kepanel sentral.

c. Sambungkan kabel listrik ke sumber listrik

d. Hidupkan ventilator dengan menekan tombol hitam dibelakang

tengah kiri mesin

e. Setelah hidup pada layar akan timbul mode ventilator ,kemudian

kita pilih sesuai kebutuhan pasien dengan cara memutar tombol

• Volum Cycle (IPPV)

• Tidak Volum

• RR (respirasi rate)

• FiOᴤ

• I:E ratio

• PEEP

• Presure Cycle (BIPAP)

• P. Inspiration

• RR( respirasi rate)

• FiOᴤ

• PEEP

• Hidupkan Humidifier

f. Atur alarm unit sesuai kebutuhan,besarnya 20% batas atas dan


59
bawah dari volume semenit yang dihasilkan

g. Lakukan pengecekan dengan menggunakan tes lung

h. Hubungkan ventilator ke ETT (OTT/NTT) melalui konektor yang

disiapkan

i. Evaluasi 5-10 menit keadaan penderita setelah dihubungkan ke

ventilator

5. Prosedur Pemasangan Ventilator

Persiapan

a. Ventilator Galileo

b. Breathing set sesuai umur pasien

 Adult (dewasa)

 Pediatric ( anak-anak )

 Infant /Neonate (bayi )

c. Tes lung sesuai umur pasien

• 2 L untuk dewasa

• 0,5 L untuk anak-anak

• Neonatus lung model untuk bayi

Pelaksanaan

1. Kenalilah bentuk dan asesoris Galileo

2. Pasang semua breathing set dengan benar

3. Pasang selang Oᴤ dan AIR ke outlet dinding atau kompresor

4. Pasang kabel power ke sumber listrik

5. Nyalakan unit dengan menekan switch ON/OFF

6. Tekan star pada menu START VENTILATION

7. Lakukan kalibrasi tightness test dan flow sensor

8. Sebelum dipasang ke pasien,lakukan test menggunakan

balon test (test lung 0 dengan setting sebagai berikut:

a) Untuk breathing set dewasa gunakan test lung 2 L

Control Default setting Monitored Expectid range

parameter
Mode A/C ((S) CMV ) - -
- - Exp Min Vol 1,8 to 3,0 l/min
Rate 25 b/min F Total 24 to 26 b/min
Vt 100 ml VTE 70 to 110 ml
PEEP/CPAP 5 cmHᴤO PEEP/CPAP 4.0 to 6.5 cmHᴤO
Oxygen 50 % Oxygen 47 to 53 % (jika

oxygen cell aktif)

60
b) Untuk brathing set anak-anak gunakan test lung 0.5 L

Control Default setting Monitored Expectid range

parameter
Mode A/C ((S) CMV ) - -
- - Exp Min Vol 6.0 to 7.9 l/min
Rate 15 b/min F Total 14 to 16 b/min
Vt 500 ml VTE 400 to 525 ml
PEEP/CPAP 5 cmHᴤO PEEP/CPAP 4.0 to 6.5 cmHᴤO
Oxygen 50 % Oxygen 47 to 53 % (jika

oxygen cell aktif)


c) Untuk breathing set bayi gunakan Neonatal lung model

Control Default setting Monitored parameter Expectid range


Mode A/C ((S) CMV ) - -
- - Exp Min Vol 6.0 to 7.9 l/min
Rate 15 b/min F Total 14 to 16 b/min
Vt 500 ml VTE 400 to 525 ml
PEEP/CPAP 5 cmHᴤO PEEP/CPAP 4.0 to 6.5

cmHᴤO
Oxygen 50 % Oxygen 47 to 53 % (jika

oxygen cell aktif

6. Tindakan Ekstubasi

1) Persiapan

a. Persiapan mental

Menjelaskan pada pasien dan atau keluarga tentang tindakan

yang akan dilakukan

b. Persiapan fisik :

• Pasien dapat bernafas secara adekuat

• Memberikan posisi yang nyaman pada pasien

c. Persiapan Administrasi : Informed Consent

d. Emergency trolley yang berisi:

• Laringoscope

• Spuit 20 cc

• Sarung Tangan

• Obat-obatan yang diperlukan

• Suction set

• Oᴤ set

61
2) Pelaksanaan

1. Perawat mencuci tangan

2. Meletakkan troly emergency ke dekat tempat tidur pasien

3. Memberi tahu pasien tindakan yang akan dilakukan

4. Melakukan tindakan sekresi sampai bersih

5. Melakukan tindakan astrup

6. Memberi terapi sesuia instruksi dokter (± ½ jam sebelum extubasi)

7. Dokter memasang laringoscope

8. Suction kateter dimasukkan kedalam tube hisap sekresi sambil

memutar,kempiskan cuff

9. Dokter menarik tube perlahan –lahan sambil melihat daerah pita

suara memakai laryngoscope

10. Setelah extubasi selesai Oᴤmasker dengan konsentrasi tinggi (±5-

8 liter ) dan menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam

11. Observasi tanda-tanda vital dan suara pernafasan pasien

12. Merapikan alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya

13. Perawat mencuci tangan

7. Penatalaksanaan Pasien Dengan Koma

1) Primary Survey

a. Lakukan penilaian DRABCDᴤ

 Danger: Nilai bahaya yang dapat mengancam pasien atau

penolong, lakukan universal precution untuk penolong dan

pastikan pasien berada pada posisi yang aman dan bebas

dari benda atau barang berbahaya (posisi pasien ditempat

tidur, serpihan kaca, darah, dll )

 Response: Nilai respon pasien dengan mnemonic AVPU

(Alert, response to verbal command, respose to pain, dan

unresponsive). Pasien koma adalah pasien yang berada pada

kondisi unresponsive

 Panggil bantuan dengan mengaktifkan Resus Call atau Blue

Code

 Pasang monitor: EKG, pulse oxymetri, dan non invasive

blood presure (NIBP )sembari melakukan penilaian ABC

 Airway : Nilai keadekuatan respirasi airway dengan menilai

potensi jalan nafas,jika tersumbat lakukan jaw thrust


62
dengan mengasumsikan pasien memiliki cedera cervical

 Breathing : Nilai keadekuatan respirasi dengan look listen

dan feel

 Circulation : Cek pulsasi A.Carotis Interna ,apabila tidak

teraba lanjutkan dengan algoritma cardiac arrest.Apabila

teraba lanjutkan pengelolaan pasien koma dan pasang IV

line ukuran besar jika dimungkinkan (16 G atau 18 G ) dan

lakukan pengambilan sampel darah

 Disability: Nilai derajat kesadaran dengan Gaslow Coma

skale

 Exposure: Expose pasien secara menyeluruh untuk melihat

kemungkinan trauma

2) Secondary survey

1. Nilai ulang DRABC dan lakukan pemasangan Endo Trakheal

Tube oleh tenaga kesehatan yang kompeten jika didapatkan :

a. GCS <8

b. Ketiadaan reflex muntah atau menelan

c. Inadekuat respirasi oleh sebab mekanik maupun funsional

d. Sebab lain yang memerlukan proteksi jalan nafas dan alat

bantu respirasi

2 Drug /Disability:

Sembari melakukan investigasi mendalam dengan

mengumpulkan informasi dari penolong, keluarga, atau rujukan

dan rekam medis untuk mencari etiologi koma, dapat diberikan

DONT

a. Dextrose : 50 ml cairan D40W dapat diberikan intravena

bolus dalam 5 menit, jika kadar gula darah didapatkan lebih

rendah dari pada normal atau nilai basal pasien (BS <50 mg/

dl )

b. Oxygen : berikan oksigen dengan sungkup muka (face mask)

minimal 6 ltr per menit

c. Naloxon : jika dicurigai gambaran intoksikasi opioid

(bradipnea, miosis, anamnesa )berikan 0.4 mg iv dapat

diulang setiap 10-15 menit jika didapatkan perbaikan klinis

dapat diulang hingga 10 mg

d. Thiamin :100 mg iv thiamin dapat diberikan sebelum


63
pemberian dextrose pada pasien yang dicurigai coma

hopoglikemia

3. Lakukan pemeriksaan kadar gula darah dengan glukose stick

4. Periksa sampel darah yang telah diambil sebagai bahan

penunjang untuk mendapatkan etiologi :

a. Kimia darah (Bun SC, SGOT/ SGPT.B

b. Darah lengkap (Haemoglobin, Hematocrite, Platelet, WBC )

c. Analisa gas darah

d.Urine lengkap sembari melakukan pemasangan foley catheter

5. Lakukan pemeriksaan peninjang lain sesuai dengan anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan laboratorium

a. CT Scan

b. Thorax foto

c. Dll

6. Penegakan diagnosa dan terapi lanjut dilakukan dengan melibatkan

multidisiplin dengan DPJP bidang terkait

7. Penanganan lanjutan disesuaikan dengan etiologi dan pathogenesis

koma

8. Setelah didapatkan diagnosa dan kegawat daruratan diatasi dapat

dilakukan penilaianapakah pasien memerlukan perawatan intensif

atau tidak dengan dikonsulkan kebagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif

8. Prosedur Penanganan Pasien Dengan Koma Hypoglikeamia

Penegakan diagnosis dengan

a. Anamnesi

b. Pemeriksaan fisik umum

 Tanda vital :tekanan darah ,nadi ,suhu ,respirasi (tipe

pernafasan ),ada tidaknya aritmia

 Bau nafas

 Kulit

 Kepala

 Leher

 Thorak,abdomen dan ekstremitas

c. Pemeriksaan neurologis

 Derajat kesadaran :secara kuantitatif dinilai dengan GCS


64
 Pemeriksaan brainstem reflex :perhatikan posisi bola

mata ,refleks pupil ,refleks kornea ,refleks gerak bola

mata.Bila ditemukan refleks cahaya pupil anisokor besar

kemungkinan etiologi struktural

 Pemeriksaan refleks motoriknya :adakah kelumpuhan

sesisi /hemiparesis,reflek patologis ,refleks fisiologis ,refleks

movement seperti deserebrasi /dekortikasi

d. Pemeriksaan penunjang (Laboratorium, head CT Scan, MRI)

Kadar Glukosa Darah, Fungsi ginjal, Fungsi hati, C-Peptide,

HbA1C

e. Terapi dan tindakan

 Bagi pasien dengan kesadaran yang baik dan kooperatif

diberikan makanan yang mengandung glukosa secara oral

(jus buah, gula, tablet glukosa atau larutan yang setara

dengan 15-20 gram karbohidrat

 Penderita dengan penurunan kesadaran diberikan glukosa

intravena (50 ml 50 % dektrose atau glukosa dilanjutkan

dengan infus dektrose 5 % atau 10 %) atau suntikan

glukosa intravena.

 Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk

pengawasannya (24-72 jam) atau lebih, terutama pada

pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan

terapi obat hipoglikemik oral kerja panjang

G. PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR DAN IMUNITAS

MENURUN (IMMUNO-COMPROMISSE)

1. Pasien Dengan Penyakit Menular

a. Penyakit Menular Melalui Udara (Airbone Disease)

1) Penatalaksanaan Penjaringan Pasien Suspect TB

a) Pasien dengan gejala sebagaimana di bawah ini harus

dianggap sebagai seorang suspect pasien TB :

 Batuk terus menerus >2 minggu

 Batuk berdahak, kadang bisa disertai darah

 Dapat disertai: demam meriang > 1 bulan, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise,

berkeringat malam.
65
 Pasien yang kontak erat dengan pasien TB

 Pasien dengan gejala Tb ekstra paru (sesuai organ

yang diserang : pembesaran kelenjar limfe multiple,

gibbus, skrofuloderma, dll)

2) Pelaksana pelayanan kesehatan (staf medis dokter/staf

perawat) apabila menemukan pasien dengan gejala

sebagaimana tersebut di atas:

a) Di Poliklinik Rawat Jalan :

 Catat data identitas suspect pasien TB pada form

TB-06, kolom 1 s.d kolom 6

 Buatkan lembar permintaan pemeriksaan dahak S-

P-S (form TB-05), untuk penegakan diagnosis.

 Buatkan lembar permintaan pemeriksaan

penunjang lainnya, sesuai indikasi (foto

thorak/histo-patologi/patologi-anatomi,dll)

 Dilakukan konseling dan edukasi mengenai :

pentingnya dilakukan 3x pemeriksaan Dahak dan

cara mengeluarkan dahak yang benar

 Dan pasien dipersilahkan ke laboratorium /

radiologi

 Setelah diperoleh hasil pemeriksaan dahak S-P-S,

maka data hasil pemeriksaan dahak di catat pada

form TB-06, kolom 8 s.d 14

 Melengkapi catatan rekam medik pasien.

b) Di Ruang Rawat Inap

 Catat data identitas suspect pasien TB pada form

TB-06, kolom 1 s,d kolom 6.

 Buatkan lembar permintan pemeriksaan dahak S-P-

S (form TB-05), untuk penegakan diagnosis

 Buatkan lembar permintaan pemeriksaan

penunjang lainnya, sesuai indikasi (foto

thorak/histo-patologi/patologi-anatomi,dll)

 Suspect pasien TB di beri pot dahak, dan dibantu

untuk mengeluarkan yang benar, S-P-S

 Pot dahak S-P-S suspect pasien TB diserahkan ke

laboratorium
66
 Setelah diperoleh hasil pemeriksaan dahak S-P-S,

maka data hasil pemeriksaan dahak di catat pada

form TB-06, kolom 8 s.d 14.

 Melengkapi catatan rekam medik pasien

 Pada saat pasien pulang dari rawat inap, dianjurkan

untuk control rawat jalan di klinik rawat jalan SMF

terkait.

3) Suspect pasien TB selanjutnya dilakukan penegakan

diagnosis oleh dokter Penanggung Jawab Pasien tersebut.

4) Yang termasuk pasien dengan airbone diseases dan harus

di rawat di ruang isolasi Lely 1 adalah :

a. Pasien TB Paru BTA positif(sekurang-kurangnya

2dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif, 1

spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

thoraks menunjukkan TB, 1 atau lebih specimen

dahak hasilnya BTA positif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya BTA negative dan

tidak ada perbaikan setelah pemberian Antibiotika

Non OAT) dan hasil pemeriksaan Gen Expert

menunjukkan MTB Detected Low, MTB Detected Very

Low, MTB Detected Medium, MTB Detected High,

MTB Detected Very High

b. Pasien TB Paru BTA negative dengan kriteria paling

tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative, foto

thoraks abnormal dan menunjukkan gambaran TB,

tidak ada perbaikan setelah pemberian Antibiotika

Non OAT,, atau ditentukan (pertimbangan) oleh

dokter untuk mendapatkan pengobatan TB.

c. Pasien TB ekstra paru dengan luka terbuka atau

disertai keluar pus.

d. Pasien suspesct TB ditempatkan di ruangan tersendiri

(tidak boleh digabung dengan pasien TB BTA positif).

Bila keadaan tidak memungkinkan ditempatkan dalam

kamar tersendiri, pasien dapat ditempatkan bersama

pasien lain dengan kasus yang sama dengan jarak

minimal satu meter.


67
e. Pasien suspect TB yang sudah ditegakkan diagnosanya

sebagai TB positif (hasil BTA positif atau hasil BTA

negative dengan hasil foto rontgen dada positif),

ditempatkan di ruang pasien TB BTA positif dan akan

dievaluasi setelah 2 minggu pengobatan. Bila keadaan

tidak memungkinkan ditempatkan dalam kamar

tersendiri, pasien dapat ditempatkan bersama pasien

lain dengan kasus yang sama (aibone disease) dengan

jarak > 1 meter.

f. Apabila pasien suspect TB dinyatakan tidak menderita

TB (sesuai keadaan klinis, foto ronsen dada dan hasil

BTA/sputum), pasien dikeluarkan dari ruang isolasi

dan dapat dirawat di ruang perawatan biasa.

g. Pasien TB (BTA positif) yang sudah dinyatakan tidak

infeksius (sudah mendapatkan pengobatan TB sacara

efektif minimal 2 minggu dengan tanda klinis

membaik), dirawat di ruang perawatan biasa`

h. Pasien TB MDR dan suspect TB MDR ditempatkan

tersendiri (tidak dicampur dengan pasien TB BTA

positif dan atau pasien suspect TB).

i. Pasien dengan airbone diseases tetapi tidak perlu di

rawat di Lely 1 adalah pasien TB positif setalah minum

OAT >2 minggu dengan teratur dan benar serta

terjadi/terdapat perbaikan klinis.

j. Pasien bukan airbone diseases dan tidak perlu di

rawat di ruang Lely 1 adalah pasien TB ekstra paru

seperti TB kelenjar getah bening, Pleuritis Eksudatif

Unilateral dan Bilateral, Tb Tulang dan Tulang

Belakang, TB Sendi, Tb Kelenjar Adrenal, TB Otak

(Meningitis TB). TB Milier, TB Usus, TB Perikarditis,

TB peritonitis, TB Saluran Kemih dan Alat Kelamin.

5) Alat Pelindung Diri (APD)

APD dengan masker particular N-95

6) Pemindahan pasien :

Batasi pemindahan dan transportasi pasien. Bila memang

dibutuhkan pemindahan dan transportasi, perkecil


68
penyebaran droplet dengan memakaian masker

bedah/medic pada pasien bila memungkinkan.

b. Penyakit menular melalui droplet (droplet)

Sebagai tambahan kewaspadaan standar terapkan droplet atau

sederajat, untuk pasien-pasien yang diketahui atau dicurigai

terinfeksi mikroorganisme yang ditularkan melalui cairan yang

butirannya lebih besar atau sma dengan dari 5 µm, yang dapat

menyebar saat pasien batuk, bersin, berbicara, atau saat dilakukan

prosedur teradapnya.

Penatalaksanaan:

1) Pasien dengan droplet diseases bisa ditempatkan di semua

ruangan perawatan dengan kamar tersendiri, khusus untuk

pasien rabies/suspect rabies di rawat di ruang isolasi

2) Untuk pasien non rabies bila tidak tersedia kamar tersendiri,

pasien dapat ditempatkan dalam kamar bersama dengan

pasien yang terinfeksi dengan mikroorganisme yang sama. Bila

tidak memungkinkan diempatkan dengan pasien kasus yang

sama, maka tempatkan pasien bersama dengan pasien dengan

kasus yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi

dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira >1 m) dengan pasien

lainnya dan pengunjung. Tidak dibutuhkan penanganan udara

dan ventilsai yang khusus, dan pintu boleh tetap terbuka.

3) Gunakan APD yang sesuai dengan kewaspadaan droplet seprti

topi, masker bedah, google, sarung tangan gaun untuk pasien

rabies, serta masker bedah dan atau sarung tangan untuk

pasien droplet non rabies.

c. Penyakit menular melalui kontak

Kewaspadaan kontak (contact precautions) atau yang sederajat,

untuk pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi atau

terkolonisasi dengan mikroorhganisme yang dapat disebarkan

melalui kontak langsung dengan pasien (sentuhan tangan atau

kulit ke kulit, yang dapat terjadi saat melakukan sentuhan kulit

pasien dalam keadaan kering)) atau kontak tak langsung

(bersentuhan) dengan permukaan lingkungan atau peralatan pasien

dalam lingkungan pasien.

69
1) Pasien yang dimaksud dengan menular dengan cara kontak

adalah pasien terinfeksi dan terkolonisasi kuman MRSA, ESBL,

VRE, Multi drug resistant organism (MDRO), atau pasien

menular degan cara kontak lainnya misalnya HIV/AIDS,

penyakit/gangguan kulit, dll.

2) Pasien terinfeksi dan terkolonisasi kuman MRSA, ESBL, VRE,

Multi drug organism (MDRO) ditempatkan di ruang isolasi

sedangkan pasien menular dengan cara kontak lainnya

misalnya HIV/AIDS dan penyakit gangguan kulit bisa

ditempatkan di semua ruang perawatan dan diupayakan kamar

tersendiri.

3) Bila ruang isolasi penuh, pasien bisa ditempatkan di semua

ruang perawatan dan ditempatkan pasien di kamar tersendiri.

Beri tanda pada status pasien bahwa pasien sedang diterapkan

“Kewaspadaan Kontak”

4) Bla tidak tersedia kamar tersendiri seperti pada poin d :

Tempatkan pasien dalam kamar bersama dengan pasien yang

terinfeksi dengan mikroorganisme yang sama (kohorting)

misalnya pasien MRSA, dikelompokkan dengan pasien MRSA,

pasien ESBL dikelompokkan dengan pasien ESBL, dll.

APD yang digunakan harus diganti ketika

berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya.

5) Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien kasus

yang sama seperti pada point e :

Tempatkan pasien bersama dengan pasien jenis kasus yang lain

(kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan jarak

sedikitnya 3 kaki (kira-kira >1 m) dengan pasien lainnya,

misalnya pasien MRSA digabung dengan pasien ESBL, dll.

APD yang digunakan harus diganti ketika

berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya

Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop, tensimeter,

thermometer, dll, tidak digunakan bersama dengan pasien

lainnya. Bila penggunaan bersama tidak dapat dihindari, maka

bersihkan dan desinfeksi peralatan tersebut dengan alcohol 70%

sebelum digunakan oleh pasien lain.

70
6) Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien kasus

yang berbeda seperti point f :

Tempatkan pasien bersama dengan pasien dengan kasus yang

lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan

jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira > 1 m) dengan pasien lainnya,

misalnya pasien MRSA digabung dengan pasien non infeksius,

tetapi ditempatkan di pojok/jauh dari pintau masuk dan paling

akhir mendapat perlakuan/intervensi.

Gunakan APD yang sesuai dengan kepwaspadaan kontak untuk

pasien tersebut da APD yang digunakan harus diganti ketika

berpindah/melakukan intevensi pada pasien lainnya,

Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop, tensimeter,

thermometer, dll, tidak digunakan bersama dengan pasien

lainnya. Bila penggunaan bersama tidak dapat dihindari, maka

bersihkan dan desinfeksi peralatan tersebut dengan alcohol 70%

sebelum digunakan oleh pasien lain.

7) Penatalaksanaan

 APD yang digunakan adalah sarung tangan dan gaun

lengan panjang.

 Bila ruang isolasi penuh, pasien bisa ditempatkan di

semua ruang perawatan dan tempatkan pasien di kamar

tersendiri. Beri tanda pada status pasien bahwa pasien

sedang diterapkan “Kewaspadaan Kontak”.

 Bila tidak tersedia kamar tersendiri seperti pada point 2:

tempatkan pasien dalam kamar bersama dengan pasien

terinfeksi dengan mikroorganisme yang sma

(kohorting)misalnya pasien MRSA dikelompokkan dengan

pasien MRSA, pasien ESBL dikelompokkan dengan

pasien ESBL, dll.

 APD yang digunakan harus diganti ketika

berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya.

 Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien

kasus yang sama seperti pada point 3 :

Tempatkan pasien bersama dengan pasien jenis kasus

yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi

dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira >1 m) dengan


71
pasien lainnya, misalnya pasien MRSA digabung dengan

pasien ESBL, dll. APD yang digunakan harus diganti

ketika berpindah/melakukan intervensi pada pasien

lainnya.

 Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop,

tensimeter, thermometer, dll, tidak digunakan bersama

dengan pasien lainnya. Bila penggunaan bersama tidak

dapat dihindari, maka bersihkan dan desinfeksi

peralatan tersebut dengan alcohol 70% sebelum

digunakan oleh pasien lain.

 Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien

kasus yang berbeda seperti point 4 :

Tempatkan pasien bersama dengan pasien dengan kasus

yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi

dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira > 1 m) dengan

pasien lainnya, misalnya pasien MRSA digabung dengan

pasien non infeksius, tetapi ditempatkan di pojok/jauh

dari pintau masuk dan paling akhir mendapat

perlakuan/intervensi. Gunakan APD yang sesuai dengan

kepwaspadaan kontak untuk pasien tersebut da APD

yang digunakan harus diganti ketika

berpindah/melakukan intevensi pada pasien lainnya.

Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop,

tensimeter, thermometer, dll, tidak digunakan bersama

dengan pasien lainnya. Bila penggunaan bersama tidak

dapat dihindari, maka bersihkan dan desinfeksi

peralatan tersebut dengan alcohol 70% sebelum

digunakan oleh pasien lainnya.

2. Pasien dengan Imunitas Menurun (Immuno-compromisse)

Pasien yang dimaksud dengan pasien immunitas menurun adalah:

a. Pasien dengan Neutrophenia dengan Absoulute Neutrofil Count

(ANC) ≤ 500 x 106 sel/L.

b. Pasien HIV yang sudah tertangani infeksi oportunistiknya

dengan CD4 < 200 sel/unit.

Penatalaksanaan:

72
1) Gunakan APD seperti topi, masker bedah, gaun lengan

panjant, sarung tangan dan sandal khusus sebelum masuk

ke kamar pasien

2) Tidak boleh ada pengunjung tetapi dapat dibantu oleh satu

orang penunggu yang tidak boleh keluar masuk kecuali

karena keperluan khusus dan atas seijin petugas. Penunggu

sebelum masuk ke kamar pasien harus mandi dengan larutan

Chlorhexidine 2-4% selanjutnya memakai APD yang

dipersayaratkan (topi, masker bedah, gaun dan sandal

khusus yang disediakan rumah sakit).

H. TATA LAKSANA PELAYANAN HEMODIALISIS

Konsep pelayanan hemodialysis dilakukan secara:

1. Komprehensif

2. Pelayanan dilakukan sesuai standar pasien safety

3. Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan

4. Semua tindakan harus di dokumentasikan dengan baik

5. Harus ada monitor evaluasi

a. Prosedur Pelayanan Hemodialisis

Tindakan Hemodialisis (HD pertama) dilakukan setelah melalui

pemeriksaan, konsultasi dengan konsultan atau dokter spesialis

penyakit dalam (Sp.PD) yang bersertifikat HD.

Sebelum melakukan tindakan hemodialisis pasien harus sudah

melakukan cek laboraturium yaitu Darah Lengkap, Elektrolit,

Albumin, Fungsi Ginjal, Hepatitis B dan Hepatitis C serta HIV dan

sudah berkordinasi dengan dokter konsultan HD. pasien yang

melakukan hemodialisia harus dengan keadaan umum baik. Dan

bila hasil laboratorium positif hepatitis B, C dan HIV maka pasien

hemodialisa akan di layani di Rumah Sakit yang sesuai dengan

pasien infeksius di tempat mesin infeksius.

Setiap tindakan yang akan dilakukan terdiri dari :

- Pastikan ada peresepan dari dokter Interne bersertifikat HD

- Persiapan pelaksanaan hemodialysis 30 menit

- Pelaksanaan hemodialysis selama 5 jam

73
- Evaluasi pasca hemodialysis 30 menit

Sehingga setiap pelaksanaan hemodialysis diperlukan waktu mulai

dari persiapan sampai dengan waktu pasca hemodialysis minimal 6

jam. Tindakan hemodialysis harus memberikan pelayanan sesuai

standart profesi dan memperhatikan hak pasien termasuk

membuat informed consent.

b. Prosedur Pelayanan Traveling Dialisis

Traveling Dialisis adalah suatu bentuk tindakan dalam

melayani pasien asing atau local yang melakukan perjalanan keluar

dari daerah pasien berasal sehingga mendapatkan kepastian jadwal

hemodialisa sebelum pasien datang ke unit hemodialisa yang baru.

Pasien atau keluarga pasien bisa mendapatkan informasi pelayanan

HD di RSUD Buleleng dengan mengirim e-mail

rsud.buleleng@yahoo.co.id atau bisa juga dengan no telp/fax (0362)

22046 / 29629 ditujukan ke pada dokter bagian Hemodialisa.

Pasien dan dokter sudah sepakat untuk melakukan dialysis di

RSUD Buleleng maka pasien akan mengirimkan data traveling dan


data medis melalui email, setelah itu pasien akan di hubungi

kembali oleh petugas untuk memastikan jadwal tindakan

hemodialisa yg akan dilakukan. Setelah itu dokter akan mengisi

formulir asuransi bila ada.

c. Alur Pasien Dalam Pelayanan Hemodialisis

Pasien hemodialysis dapat berasal dari :

1. Poli

2. IGD

3. Rawat Inap (termasuk ruangan intensif)

4. Rujukan Rumah Sakit lain

5. Travelling

d. Pengendalian Limbah

Mengikuti pengendalian limbah di rumah sakit

I. TATA LAKSANA PELAYANAN RESTRAINT

Restraint terdiri dari berbagai jenis, antara lain:

1. Pembatasan Fisik

74
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien,

menggerakkan pasien, atau mencegah pergerakan pasien.

b. Pemegangan fisik: biasanya staf memegangi pasien dengan

tujuan untuk melakukan suatu pemeriksaan fisik/tes rutin.

Namun, pasien berhak menolak prosedur ini. Apabila terpaksa

memberikan obat tanpa persetujuan pasien, dipilih metode yang

paling kurang bersifat reaktif/sedikit mungkin menggunakan

pemaksaan. Pada beberapa keadaan, dimana pasien setuju

untuk menjalani prosedur/ medikasi tetapi tidak dapat berdiam

diri/tenang untuk disuntik/menjalani prosedur, staf boleh

memegangi pasien dengan tujuan prosedur/ pemberian

medikasi berjalan dengan lancar dan aman. Hal ini bukan

merupakan restraint.

2. Pembatasan Mekanis

Yaitu melibatkan penggunaan suatu alat, misalnya penggunaan

pembatas di sisi kiri dan kanan tempat tidur (bedrails) untuk

mencegah pasien jatuh/turun dari tempat tidur. Namun perlu

diperhatikan bahwa penggunaan bedrails dianggap berisiko terjebak

di antara kasur dan bedrails dengan kemungkinan mengalami cedera

yang lebih berat dibandingkan tanpa penggunaan bedrails. Jadi,

penggunaan bedrails harus mempunyai keuntungan yang

melebihi resikonya. Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu

turun dari tempat tidur, penggunaan side rails bukan merupakan

restraint karena penggunaan side rails tidak berdampak pada

kebebasan bergerak pasien.

3. Pembatasan Kimia

Yaitu melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien.

Obat-obatan dianggap sebagai suatu restraint hanya jika

penggunaan obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan standar

terapi pasien dan penggunaan obat-obatan ini hanya ditujukan

untuk mengontrol perilaku pasien/membatasi kebebasan

bergerak pasien. Kriteria untuk menentukan suatu

penggunaan obat dan kombinasinya tidak tergolong restraint adalah:

a. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah

disetujui oleh Food and Drug Administraion (FDA) dan sesuai

indikasinya.
75
b. Penggunaan obat mengikuti/sesuai dengan standar praktik

kedokteran yang berlaku.

c. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien

didasarkan pada gejala pasien, keadaan umum pasien, dan

pengetahuan klinis/dokter yang merawat pasien.

d. Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu

pasien mencapai kondisi fungsionalnya secara efektif dan

efisien.

e. Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan

kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan

sekitarnya secara efektif, maka obat tersebut tidak

digunakan sebagai terapi standar untuk pasien.

f. Tidak diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat

sebagai restraint) untuk tujuan kenyamanan staf, untuk

mendisiplinkan pasien, atau sebagai metode untuk

pembalasan dendam. Dalam observasi restraint, perlu

diperhatikan efek samping penggunaan obat dipantau secara rutin

dan ketat.

Adapun indikasi pasien yang membutuhkan tindakan restraint, yaitu :

1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya

sendiri dan atau orang lain.

2. Tahanan pemerintah (yang legal/sah secara hukum) yang dirawat

di rumah sakit.

3. Pasien yang membutuhkan tata laksana emergensi (segera)

yang berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien.

4. Restraint digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak

restriktif tidak berhasil/tidak efektif untuk melindungi pasien, staf,

atau orang lain dari ancaman bahaya.

Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun

disesuaikan dengan setiap perilaku individu dimana terdapat

pertimbangan mengenai perlunya menggunakan restraint atau tidak.

Keputusan penggunaan restraint ini tidak didasarkan pada

diagnosis, tetapi melalui asesmen pada setiap individu secara

komprehensif. Asesmen ini digunakan untuk menentukan apakah

penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki resiko yang lebih

besar daripada resiko akibat penggunaan restraint. Asesmen


76
komprehensif ini harus meliputi pemeriksaan fisik untuk

mengidentifikasi masalah medis yang dapat menyebabkan timbulnya

perubahan perilaku pasien. Misalnya: peningkatan suhu tubuh,

hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, interaksi obat,

dan efek samping obat dapat dapat menimbulkan kondisi

delirium, agitasi, dan perilaku yang agresif. Penanganan masalah

medis ini dapat mengeleminasi atau meminimalisasi kebutuhan akan

restraint. Dalam banyak kasus, restraint dapat dihindari dengan

melakukan perubahan yang positif terhadap pemberian/penyediaan

pelayanan kesehatan dan menyediakan dukungan pada pasien baik

secara fisik maupun psikologis. Perlu dicatat bahwa pasien yang

berkapasitas mental baik dapat meminta sesuatu, seperti penggunaan

sabuk/ikat pengaman atau bedrails untuk meningkatkan rasa aman

mereka. Meskipun hal ini mungkin tidak sejalan dengan rekomendasi

perawat, pilihan pasien haruslah dihormati dan diikutsertakan

dalam penyusunan/pembuatan rencana keperawatan pasien dan

asesmen risiko. Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan

(consent), perawat seyogianya selalu menjelaskan tindakan yang

akan dilakukan, berikut membantu pasien untuk memahami dan

menyetujui tindakan tersebut. Suatu studi menyarankan bahwa

penggunaan restraint pasien yang delirium sekalipun, pasien tersebut

akan sangat menghargai dan mengingat penjelasan perawat mengenai

kondisi pasien dan alasan pasien dilakukan restraint, terutama

untuk meyakinkan bahwa tindakan tersebut ditujukan untuk

keselamatan pasien.

Salah satu cara untuk membantu tenaga kesehatan

menghindari penggunaan restraint adalah dengan menyediakan

lingkungan perawatan yang berkesan positif. Berikut adalah beberapa

cara untuk menyediakan lingkungan yang positif:

1. Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang

mempunyai kebutuhan dukungan psikologis

2. Tingkat kebebasan dan risiko perawatan dirumah

3. Pencegahan kekerasan dan agresi

4. Pencegahan ide/tindakan bunuh diri dan melukai diri sendiri

5. Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (ICU)

6. Pemenuhan kebutuhan pasien dimensia di ruang rawat RS


77
7. Pencegahan dan penanganan delirium

8. Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuhan

keperawatan

9. Pencegahan risiko jatuh

Namun perlu diperhatikan beberapa dampak negatif daripada

penggunaan restraint, antara lain:

1. Dampak fisik

a) Atrofi otot

b) Hilangnya/berkurangnya densitas tulang

c) Ulkus decubitus

d) Infeksi nosocomial

e) Strangulasi

f) Penurunan fungsional tubuh

g) Stress kardiak

2. Dampak Psikologi

a) Depresi

b) Penurunan fungsi kognitif

c) Isolasi emosional

d) Kebingungan ( confusion ) dan agitasi

Apabila pasien telah ditentukan membutuhkan tindakan restraint maka

diperlukan persetujuan (Informed Consent). Persetujuan merupakan

salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang memberikan

kekuasaan yang sah terhadap tata laksana atau keperawatan. Dasar

persetujuan yang sah identik dengan persyaratan profesional

bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum melakukan suatu

tindakan/prosedur. Perlu diingat bahwa restraint tidak boleh digunakan

semata-mata untuk mengurangi beban kerja. Pemilik/pemegang

kekuasaan tidak boleh menempatkan perawat dalam posisi dimana

mereka terpaksa melakukan restraint karena kurangnya staf yang

bertugas atau kurangnya sumber daya untuk menyediakan perawatan

yang aman dan berkualitas. Unsur ‘kenyamanan’ bukanlah alasan yang

dapat diterima untuk melakukan restrain terhadap pasien.

1. Restraint tidak boleh dianggap sebagai pengganti pemantauan

pasien.

2. Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan

restraint, diperlukan skrining pada individu secara komprehensif


78
untuk menentukan kebutuhan akan restraint berikut jenis yang

dipilih. Apabila skrining menyatakan bahwa diperlukan restraint

maka dilanjutkan dengan asesmen restrain.

3. Jika dalam asesmen terdapat suatu kondisi medis yang

mengindikasikan perlunya intervensi untuk melindungi pasien dari

ancaman bahaya, sebaiknya menggunakan metode yang paling

tidak restriktif tetapi efektif.

4. Dalam menggunakan restraint, harus mempertimbangkan antara

resiko yang dapat timbul akibat penggunaan restraint dengan

resiko yang dapat timbul akibat perilaku pasien.

5. Permintaan keluarga/pasien untuk menggunakan restraint (yang

dianggap menguntungkan) bukanlah suatu hal yang dapat

mendasari diaplikasikannya restraint. Permintaan ini haruslah

mempertimbangkan kondisi pasien dan asesmen pasien.

6. Jika telah diputuskan bahwa restraint diperlukan, dokter harus

menentukan jenis restraint apa yang dipilih dan dapat memenuhi

kebutuhan pasien dengan resiko yang paling kecil dan pilihan yang

paling menguntungkan untuk pasien.

7. Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan

penggunaan restraint dan jenisnya. Dituliskan juga bahwa restraint

yang digunakan merupakan intervensi yang paling tidak restriktif

namun efektif untuk melindungi pasien dan penggunaan restraint

diputuskan berdasarkan asesmen per-individu.

8. Selama penggunaan restraint, pasien harus dipastikan memperoleh

asesmen, pemantauan, tata laksana, dan perawatan sesuai dengan

kebutuhan pasien

9. Prosedur yang harus diobservasi sebelum dan setelah aplikasi

restraint:

a. Inspeksi tempat tidur, tempat duduk, restraint, dan

peralatan lainnya yang akan digunakan selama proses

restraint mengenai keamanan penggunaannya

b. Jelaskan kepada pasien mengenai alasan penggunaan restraint

c. Semua obyek/benda yang berpotensi membahayakan

(seperti sepatu, perhiasan, selendang, ikat pinggang, tali

sepatu, korek api) harus disingkirkan sebelum restraint

diaplikasikan
79
d. Setelah aplikasi restraint, pasien diobservasi oleh staf

e. Kebutuhan pasien, seperti makan, minum, mandi, dan

penggunaan toilet akan tetap dipenuhi

f. Secara berkala, perawat akan menilai tanda vital pasien, posisi

tubuh pasien, keamanan restraint, dan kenyamanan pasien

g. Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan

mengenai perilaku pasien

h. Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf

yang mengaplikasikan restraint, staf yang bertugas memantau,

menilai, atau memberikan pelayanan kepada pasien) memiliki

pengetahuan dan memperoleh pelatihan mengenai :

 Teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi, kejadian-kejadian yang

membutuhkan restraint

 Cara untuk memilih intervensi apa yang paling

tidak bersifat restriktif tapi efektif, berdasarkan pada

asesmen kondisi medis/perilaku pasien

 Cara mengaplikasikan restraint dengan aman

 Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik

yang mengindikasikan bahwa restraint/isolasi tidak

lagi diperlukan

 Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien

yang mengalami restraint/isolasi, termasuk status

respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital

 Teknik melakukan resusitasi jantung paru

Cara mengevaluasi pengenai Pelayanan Pasien dengan Restraint adalah:

1. Mengumpulkan data mengenai penggunaan restraint dalam

kurun waktu yang spesifik (misalnya 3 bulan) untuk

melihat pola penggunaan restraint di unit-unit tertentu,

setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya.

2. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan

restraint meningkat di akhir pekan, saat hari libur, saat

malam hari, saat jam pergantian jaga tertentu memiliki

kecenderungan di satu unit tertentu daripada unit lainnya.

3. Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan

restraint yang tidak sesuai dengan kepentingan/kebutuhan pasien,


80
tetapi lebih kepada aspek kenyamanan, kurangnya staf, atau

kurangnya staf yang berpengalaman/terlatih

4. Jadwal piket perawat diperlukan untuk melihat apakah terdapat

pengaruh meningkatnya penggunaan restraint di tingkat staf

5. Melakukan wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani

restraint. Apakah alasan digunakannya restraint ini dijelaskan

kepada pasien dengan kata-kata yang dapat dimengerti?

Adapun Standar Prosedur Operasional untuk melakukan tindakan

restrain pada pasien:

1. Perawat berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk

menghentikan perilakunya.

2. Perawat mengulangi penjelasan jika tidak menghentikan

perilakunya akan dilakukan pengikatan dengan bahasan yang

sopan.

3. Staf yang akan melakukan pengikatan harus sudah berada di

tempat.

4. Perawat mengobservasi tanda-tanda vital tiap 60 menit setelah

dilakukan restraint.

5. Perawat menempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat staf.

6. Perawat mendokumentasikan observasi ke dalam formulir Rekam

Medis Observasi Pasien Restraint.

7. Pengikatan fisik dapat dilakukan tanpa instruksi dokter, namun

sesegera mungkin (<1 jam) perawat melaporkan kepada dokter

untuk legalitas

8. Fiksasi kimia dilakukan segera setelah fiksasi fisik,

disesuaikan dengan kondisi pasien.

9. Pilihan fiksasi kimia dikonsulkan ke dokter penanggung jawab

pasien atau dokter anestesi.

J. TATA LAKSANA PELAYANAN KHUSUS (PERLINDUNGAN TERHADAP

KEKERASAN FISIK)

1. Identifikasi pasien beresiko terhadap kekerasan fisik dilakukan oleh

unit terdepan rumah sakit (Instalasi Gawat Darurat)

2. Perlindungan terhadap bayi dan anak-anak dari kekerasan fisik

dengan menempatkan pasien bayi dan anak-anak di lokasi/ruang

81
khusus untuk bayi dan khusus untuk anak-anak dengan

pembatasan pengunjung

3. Pemantauan dengan memasang CCTV pada ruang yang beresiko

terjadi tindak kekerasan antara lain : Ruang Bayi, Ruang anak-anak,

Ruang Geriatri, dan Instalasi Gawat Darurat.

4. Daftar pengunjung yang diperkenankan masuk ke ruang bayi

adalah:

a. Petugas Rumah Sakit yang terdiri dari

1. Dokter yang merawat pasien (DPJP)

2. Peserta didik (residen PPDS, dokter muda, mahasiswa

keperawatan /kebidanan)

3. Petugas rumah sakit yang berhubungan dengan pasien

(petugas laboratorium, rehabilitasi medis, petugas kebersihan

dll.)

4. Semua petugas yang disebutkan diatas wajib memakai tanda

pengenal yang dikeluarkan resmi oleh Rumah sakit dan seijin

penanggung jawab ruangan bayi

b. Ibu Bayi

Ibu bayi wajib menggunakan gelang identitas dengan nomor RM

yang sama dengan bayinya dan atau foto diri ukuran 5R

1. Melakukan pemantauan dengan CCTV yang dilakukan oleh

Instalasi keamanan dan ketertiban lingkungan

2. Bayi bayi yang akan keluar dari ruangan untuk dilakukan

pemeriksaan penunjang hanya boleh dilakukan oleh petugas

dengan identitas khusus

3. Perlindungan terhadap orang tua/lansia dari kekerasan fisik

dengan menempatkan pasien orang tua/manula di

lokasi/ruangan khusus untuk orang tua/manula dengan

pembatasan pengunjung dan akses masuk keruangan

4. Untuk menjaga keamanan pasien setiap penunggu pasien

diberikan kartu tunggu dan pembesuk menunjukkan identitas

serta mendapatkan ijin dari pasien/penunggu pasien

5. Instalasi keamanan dan ketertiban Lingkungan RSUD Kab.

Buleleng melaksanakan penjagaan khusus terkait

perlindungan dari ancaman kekerasan fisik terhadap pasien

82
yang tidak bisa melindungi dirinya dan atas permintaan

petugas yang merawat pasien dan atau keluarga pasien

6. Petugas instalasi Keamanan dan Ketertiban Lingkungan RSUD

Kabupaten Buleleng melakukan pemeriksaan terhadap para

pengunjung /tamu RSUD Kabupaten Buleleng yang tidak

memiliki Identitas saat berada di lingkungan rumah sakit

diluar jam berkunjung

7. Penanganan terhadap kejadian kekerasan fisik terhadap pasien

dengan mengaktifkan “Black Code” di pimpin oleh petugas

Instalasi Keamanan dan Ketertiban Lingkungan

K. TATA LAKSANA MAKANAN DAN TERAPI GIZI

1. Penyelenggaraan Makanan

a. Bentuk Penyelenggaraan Makanan di RSUD Kabupaten Buleleng

Bentuk Penyelenggaraan makanan merupakan bagian dari

kegiatan Instalasi Gizi RSUD Kabupaten Buleleng sebagai unit

pelayanan gizi rumah sakit. Bentuk penyelenggaraan makanan

yang dilakukan oleh RSUD Kabupaten Buleleng untuk

menyelenggarakan makanan pasien saat ini adalah dengan system

Swakelola, dimana Instalasi Gizi sebagai unit pelayanan gizi

bertanggung jawab untuk melaksanakan semua kegiatan

penyelenggaraan makanan mulai dari perencanaan, pelaksanaan

dan evaluasi.

b. Alur Penyelenggaraan Makanan

ALUR PENYELENGGARAAN MAKANAN

Pelayanan Perencanaan Pengadaan Penerimaan &


makanan menu bahan penyimpanan
pasien

83
Penyajian Persiapan &
makanan di pengolahan
Distribusi makanan
ruang makanan

c. Mekanisme Kerja Penyelenggaraan Makanan Di Rumah Sakit

Umum Daerah Kabupaten Buleleng

1) Perencanaan Anggaran Belanja Makanan

Langkah Perencanaan Anggaran Belanja Makanan Pasien dan

Pegawai: ( SPO No : 440/0016/PP/RSUD/2014 )

Pelaksanaan

Setiap akhir tahun dibuat rekapitulasi pengeluaran Instalasi

Gizi dalam satu tahun untuk membuat laporan tahunan, dan

sebagai bahan untuk membuat perencanaan anggaran tahun

berikutnya.

2) Menyusun Perencanaan Menu

Menu yang digunakan di RSUD Kabupaten Buleleng adalah

siklus menu 10 hari, menu ini tersedia secara regular baik

untuk menu makanan biasa maupun menu khusus seperti

menu diet penderita DM, DH, RG.

Langkah Perencanaan Menu: (SPO No:

440/0017/PP/RSUD/2014)

Pelaksanaan

Penyusunan menu pasien baik itu snack maupun makanan

akan direncanakan dan diganti secara periodik

a) Menu snack diganti setiap setahun

b) Menu makanan dievaluasi setiap tahun dan diganti setiap

3 tahun sekali

3) Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan

Langkah Perencanaan Kebutuhan Bahan Makanan: (SPO No:

440/0018/PP/RSUD/2014)

Pelaksanaan

Perhitungan kebutuhan bahan makanan pasien dan pegawai

sesuai dengan menu harian dan kebutuhan pada saat itu.

4) Pemesanan Bahan Makanan

84
Langkah Pemesanan bahan Makanan: (SPO No:

440/0020/PP/RSUD/2014 )

Pelaksanaan

Pemesanan bahan makanan basah untuk pasien dilakukan setiap

hari berdasarkan jumlah pasien dan menu yang berlaku,

sedangkan untuk bahan makanan kering dilakukan setiap

sepuluh hari sekali. Pemesanan bahan makanan untuk pegawai

sesuai dengan jadwal dan kebutuhan pegawai yang dilayani

seperti: pegawai dinas malam dipesan setiap hari, petugas khusus

dipesan setiap bulan sekali.Semua BON pemesanan bahan

makanan dikirim kerekanan.

5) Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan

Langkah Penerimaan Bahan Makanan: (SPO No :

440/0028/PP/RSUD/2014 )

Pelaksanaan

Bahan makanan basah maupun kering yang datang, diterima dan

diperiksa sesuai dengan BON pemesanan bahan makanan baik

jumlah dan sfesifikasi bahan makanan yang telah ditentukan.

Langkah Penyimpanan Bahan Makanan: (SPO No: 440/0029/PP/

RSUD/2014)

Penyaluran Bahan makanan (SPO No: 440/0027/PP/RSUD/2014)

(persiapan, pemasakan, pendistribusian dll). Dalam penyaluran

bahan makanan dari logistic memakai system FIFO

Persiapan Makanan

Langkah Persiapan Bahan Makanan sesuai SPO No:

440/0021/PP/RSUD/2014

Pengolahan Bahan Makanan

Langkah Pengolahan Makanan sesuai (SPO No:

4400022/PP/RSUD/2014)

Pendistribusian Makanan

Langkah-langkah pendistribusian makanan pasien sesuai dengan

SPO No: 440/0023/PP/RSUD/2014)

Kesehatan Bahan Makanan dan Makanan sesuai SPO No:

445/………/PP/RSUD/2014)

2. Tujuan Asuhan gizi

85
Tujuan utama Asuhan Gizi adalah memenuhi kebutuhan zat gizi

pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada pasien

yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Untuk

mencapai tujuan tersebut diperlukan kerjasama tim yang terdiri dari

unsur terkait untuk melaksanakan urutan kegiatan yang

dikelompokkan menjadi 4 kegiatan, yaitu:

1) Pengkajian gizi (Nutrition Assessment);

2) Membuat diagnosis masalah gizi (Nutrition Diagnosis);

3) Intervensi gizi (Nutrition Intervention) dengan: Menentukan

kebutuhan terapi gizi. Dalam pelaksanaan asuhan gizi, penentuan

terapi gizi pasien perlu mempertimbangkan tiga macam kebutuhan

yaitu penggantian (replacement), pemeliharaan (maintenance) dan

penambahan akibat kehilangan (loss) yang berkelanjutan dan untuk

pemulihan jaringan dengan berpedoman kepada tepat zat gizi (bahan

makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta

tepat dosis dan waktu. Memilih dan mempersiapkan

bahan/makanan/formula khusus (oral, enternal dan parenteral)

sesuai kebutuhan. Melaksanakan pemberian makanan

4) Membuat monitoring dan evaluasi gizi (Nutrition Monitoring and

Evaluation). Dengan demikian, jika metoda pemecahan masalah yang

sistematis ini dilaksanakan secara konsisten, maka Asuhan Gizi

dapat meningkatkan profesionalisme dietisien secara efektif sebagai

pemberi pelayanan asuhan gizi, melalui cara berpikir dan membuat

keputusan secara kritis dalam upaya menangani masalah gizi,

sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang berkualitas, aman, dan

efektif.

3. Prinsip Asuhan Gizi

1) Asuhan Gizi Rawat Jalan

a. Tujuan

Memberikan pelayanan kepada klien/pasien rawat jalan atau

kerlompok dengan membantu mencari solusi masalah gizinya

melalui nasihat gizi mengenai jumlah asupan makanan yang

sesuai, jenis diet yang tepat, jadwal makan dan cara makan,

jenis diet dengan kondisi kesehatannya.

b. Sasaran

- Pasien dan keluarganya.


86
- Kelompok pasien dengan masalah gizi yang sama

- Individu pasien yang datang atau dirujuk

- Kelompok masyarakat rumah sakit yang dirancang secara

periodik oleh rumah sakit.

2) Mekanisme Kegiatan

Pelayanan gizi rawat jalan meliputi kegiatan konseling individual

seperti pelayanan konseling gizi dan dietetik, pelayanan gizi

geriatrik, pelayanan gizi pasien HIV/AIDS, pelayanan gizi pasien

TB, pelayanan/ konseling gizi bayi, anak, ibu hamil dan menyusui

di unit rawat jalan / klinik gizi, pelayanan konseling gizi pasien

check up di poli medical check up (MCU), sedangkan pelayanan

konseling gizi permintaan khusus dapat dilakukan di poli

perjanjian (Poli Lukas).

Pelayanan penyuluhan berkelompok seperti seperti : pemberian

edukasi di kelompok pasien diabetes, pasien hemodialisa, ibu

hamil dan menyusui, pasien jantung koroner, pasien HIV/AIDS

(ODHA), pasien TB, pasien kanker, dll.

Mekanisme pasien berkunjung untuk mendapatkan asuhan gizi di

rawat jalan berupa konseling gizi untuk pasien dan keluarganya

serta penyuluhan gizi untuk kelompok adalah sebagai berikut :

a. Konseling Gizi

 Pasien yang datang periksa di poliklinik- poliklinik rawat

jalan dilakukan skrining gizi awal oleh perawat.

 Pasien Malnutrisi dan kondisi khusus dikirim ke Dietisien

 Pasien datang ke ruang konseling gizi dengan membawa

surat rujukan dokter dari poliklinik yang ada di rumah sakit

(sudah tercatat dalam Rekam Medik Elektronik) atau

membawa surat rujukan dari luar rumah sakit, maupun

pasien datang atas inisiatif sendiri ke poli gizi.

 Dietisien melakukan pencatatan data pasien dalam buku

registrasi.

 Dietisien melakukan asesmen gizi dimulai dengan

pengukuran antropometri pada pasien yang belum ada data

tinggi badan (TB), berat badan (BB).

 Dietisien melanjutkan asesmen/ pengkajian gizi berupa

anamnesa riwayat makan, riwayat personal, membaca hasil


87
pemeriksaan laboratorium dan fisik klinis (bila ada).

Kemudian menganalisa semua data asesmen gizi.

 Dietisien menetapkan diagnosa gizi.

 Dietisien memberikan intervensi gizi berupa edukasi dan

konseling dengan langkah menyiapkan dan mengisi leaflet/

brosur diet sesuai penyakit dan kebutuhan gizi pasien serta

menjelaskna tujuan diet, jadwal, jenis, jumlah bahan

makanan sehari menggunakan alat peraga food model,

menjelaskan tentang makanan yang dianjurkan dan tidak

dianjurkan, cara pemasakan dan lain – lain yang

disesuaikan dengan pola makan dan keinginan serta

kemampuan pasien.

 Dietisien menganjurkan pasien untuk kunjungan ulang,

untuk mengetahui keberhasilan intervensi (monev)

dilakukan monitoring dan evaluasi gizi.

 Pencatatan hasil konseling gizi dengan format ADIME

(Assesmen, Diagnosis, Intervensi, Monitoring dan Evaluasi)

dimasukkan dalam rekam medik pasien (RM elektronik) atau

disampaikan ke dokter melalui pasien untuk pasien di luar

rumah sakit dan diarsipkan di ruang konseling.

Pasien Rawat Jalan

Poliklinik Poliklinik Poliklinik Poliklinik Poliklinik

Skrining Gizi awal


oleh Perawat

Pasien Malnutrisi & Kondisi


Khusus dikirim ke Dietisien

Konseling Gizi
oleh Dietisien

88
3) Penyuluhan Gizi

a) Persiapan penyuluhan

 Menentukan materi sesuai kebutuhan.

 Membuat sasaran/ outline materi yang akan disajikan.

 Merencanakan media yang akan digunakan.

 Pengumuman jadwal dan tempat penyuluhan.

 Persiapan ruangan dan alat bantu/ media yang dibutuhkan.

b) Pelaksanaan penyuluhan

 Peserta mengisi daftar hadir (absensi)

 Dietisien menyampaikan materi penyuluhan.

 Tanya jawab.

c) Evaluasi dan laporan pelaksanaan penyuluhan

 Evaluasi penyuluhan dengan tanya jawab materi penyuluhan

atau dapat juga dengan menyebarkan kuesioner penyuluhan.

 Membuat laporan kegiatan penyuluhan dengan mencatat pada

buku kegiatan penyuluhan.

4) Asuhan Gizi Rawat Inap

a. Tujuan

Memberikan pelayanan gizi kepada pasien rawat inap agar

memperoleh asupan makanan yang sesuai kondisi

kesehatannya dalam upaya mempercepat proses penyembuhan,

mempertahankan dan meningkatkan status gizi.

b. Sasaran

Pasien dan keluarganya.

c. Mekanisme Kegiatan

Mekanisme pelayanan gizi rawat inap adalah sebagai berikut :

1. Skrining Gizi

 Tahapan pelayanan gizi rawat inap diawali dengan

skrining/ penapisan gizi oleh perawat ruangan dan

penetapan order diet awal (preskripsi diet awal) oleh

dokter. Skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi

pasien/klien yang beresiko, tidak beresiko malnutrisi

atau kondisi khusus. Kondisi khusus yang dimaksud

adalah pasien dengan kelainan metabolik, hemodialisis,


89
anak, geriatrik, kanker dengan kemoterapi/radiasi, luka

bakar, pasien dengan imunitas menurun, HIV/AIDS,

sakit kritis dan sebagainya.

 Skrining awal dilakukan pada pasien baru 1 x 24 jam

setelah pasien masuk RS.

 Metode skrining sebaiknya singkat, cepat dan

disesuaikan dengan kondisi dan kesepakatan di masing –

masing rumah sakit. Metode skrining awal yang

disepakati oleh bagian keperawatan adalah dengan

menggunakan metode Malnutrition Screening Tools (MST)

untuk pasien dewasa.

 Bila hasil skrining gizi menunjukkan pasien beresiko

malnutrisi, maka dilakukan pengkajian/asesmen gizi

lanjut dengan menggunakan formulir skrining gizi lanjut

dewasa maupun anak.

 Setelah itu dilanjutkan dengan langkah – langkah proses

asuhan gizi terstandar (PAGT) oleh Dietisien.

 Pasien dengan status gizi baik atau tidak beresiko

malnutrisi, dianjurkan dilakukan skrining ulang setelah

1 minggu. Jika hasil skrining ulang beresiko malnutrisi

maka dilakukan proses asuhan gizi terstandar.

 Pasien sakit kritis atau kasus sulit yang beresiko

gangguan gizi berat akan lebih baik bila ditangani secara

tim. Bila rumah sakit mempunyai Tim Asuhan Gizi/

Nutrition Suport Tim (NST)/ Tim Terapi Gizi (TTG)/ Tim

Dukungan Gizi/ Panitia Asuhan Gizi maka berdasarkan

pertimbangan DPJP pasien tersebut dirujuk kepada tim.

2. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)

Proses Asuhan Gizi Terstandar dilakukan pada pasien yang

beresiko kurang gizi, sudah mengalami kurang gizi dan atau

kondisi khusus dengan penyakit tertentu, proses ini

merupakan serangkaian kegiatan yang berulang (siklus)

sebagai berikut :

90
Langkah PAGT terdiri dari :

a. Assesmen/ Pengkajian Gizi

Asesmen gizi dikelompokkan dalam 5 kategori yaitu : 1) Pengukuran

dan Pengkajian data antropometri; 2) Data biokimia, tes medis dan

prosedur (termasuk data laboratorium); 3) Pemeriksaan Fisik Klinis;

4) Anamnesis Riwayat Gizi; 5) Riwayat Personal

1) Pengumpulan dan Pengkajian Data Antropometri

Pengumpulan dan pengkajian data antropometri merupakan hasil

pengukuran fisik pada individu. Pengukuran yang umum

dilakukan antara lain tinggi badan/panjang badan, berat badan,

tinggi lutut, lingkar lengan atas, tebal lemak, lingkar pinggang,

lingkar panggul. Kecepatan pertumbuhan dan kecepatan

perubahan berat badan juga termasuk data yang dinilai dalam

aspek ini. Dengan mengaitkan dua ukuran akan didapat indeks

yang dapat member informasi mengenai kondisi status gizi seperti

IMT untuk dewasa dan BB/TB untuk anak, dll.

Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk menginterpretasikan

status gizi seseorang yaitu dengan membandingkan hasil

pengukuran dengan standar yang ada atau memasukkan beberapa

hasil pengukuran ini ke dalam rumus penilaian status gizi

tertentu.

a. Data Antrometri Dewasa

 Bila pasien dapat ditimbang pengukuran antropometri yang

dilakukan adalah pengukuran tinggi badan (TB), dan berat

badan (BB).

91
 Bila pasien tidak dapat ditimbang pengukuran antropometri

yang dilakukan adalah pengukuran rentang lengan (RL), dan

Lingkar Lengan Atas (LLA)

 Pada pasien dengan obesitas dan ascites dilakukan

pengukuran antropometri lingkar pinggang (LiPi)

 Pada pasien dengan oedem extremitas bawah dan ascites,

pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran Lingkar

Lengan Atas (LLA).

 Pada pasien dengan oedem anasarka (seluruh tubuh),

pengukuran antropometri tidak bisa dilakukan. Status gizi

dengan menggunakan data biokimia.

b. Data Antropometri Anak – anak

 Bila pasien dapat ditimbang pengukuran antropometri

yang dilakukan adalah pengukuran panjang badan (PB)

bila anak yang tidak dapat berdiri dan atau tinggi badan

(TB) bila anak dapat berdiri, serta berat badan (BB).

 Bila pasien tidak dapat ditimbang pengukuran

antropometri yang dilakukan adalah pengukuran

Lingkar Lengan Atas (LLA).

 Pada pasien anak dengan oedem extremitas bawah dan

ascites, pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran

Lingkar Lengan Atas (LLA).

 Pada pasien anak dengan oedem anasarka (seluruh

tubuh), pengukuran antropometri tidak bisa dilakukan.

Status gizi dengan menggunakan data biokimia.

c. Pengukuran Berat Badan

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan

gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif

terhadap perubahan-perubahan yang mendadak. Berat

badan adalah parameter antropometri yang sangat labil.

Oleh sebab itu, berat badan harus selalu dimonitor agar

memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi

yang preventif sedini mungkin guna mengatasi

kecenderungan penurunan atau penambahan berat badan

yang tidak dikehendaki. Berat badan harus selalu dievaluasi

dalam konteks riwayat berat badan yang meliputi gaya


92
hidup maupun status berat badan yang terakhir. Penentuan

berat badan dilakukan dengan cara menimbang.

d. Pengukuran Berat Badan pada Orang Normal

 Timbangan Injak Otomatis/Tidak Otomatis untuk

Remaja dan Dewasa

Timbangan injak biasa digunakan untuk mengetahui

berat badan pada orang normal remaja dan dewasa.

 Timbangan Otomatis/Tidak Otomatis untuk Bayi

Pada timbangan bayi, bayi harus diletakkan dalam

papan sehingga berat badan dapat seimbang di setiap

sisi dari tengah papan. Saat bayi dalam keadaan diam,

berat badan dapat dibaca hingga 10 gram.

 Timbangan yang Lengkap dengan Pengukur Tinggi Badan

(TB)

e. Pengukuran Berat Badan pada Kondisi Khusus

 Pengukuran Berat Badan dalam Kondisi Tirah Baring

atau dengan Keadaan Edema

Dalam kondisi tertentu, pengukuran berat badan yang

actual mungkin tidak dapat dilakukan. Sebagai contoh,

pasien yang tidak dapat duduk atau berdiri sehingga

terus berada dalam posisi berbaring sementara

timbangan tempat tidur (bed scale) tidak tersedia.

Contoh lain, pasien dengan edema atau ascites sehingga

tidak dapat ditentukan berapa berat badan sebenarnya.

 Perkiraan Berat Badan

Pada semua keadaan seperti yang disebutkan di atas,

rumus dalam tabel berikut dapat digunakan untuk

memperkirakan berat badan ideal berdasarkan

panjang badan pasien.

93
Tabel 1. Memperkirakan Berat Badan Berdasarkan Panjang Badan The
Hamwi Method
Bangun Laki-Laki Wanita

Tubuh
Sedang 48 kg untuk 152 cm yang 45,4 kg untuk 152 cm

pertama; selanjutnya yang pertama; selanjutnya

tambahkan 2,7 kg untuk tambahan 2,3 kg untuk

setiap 2,5 cm tambahan; setiap 2,5 cm tambahan,

kurangi 1,13 kg untuk kurangi 1m13 kg untuk

setiap cm bila TB < 152 setiap cm bila TB < 152

cm cm
Kecil Kurangi 10% Kurangi 10%
Besar Tambahkan 10% Tambahkan 10%

Cara Menentukan Bangun Tubuh

Bangun tubuh dapat ditentukan hanya dengan cara langsung

mengamati pasien. Namun untuk lebih meyakinkan, penentuan

kerangka tubuh dapat berdasarkan lingkar pergelangan tangan, yaitu

sebagai berikut:

Rumus:

Tabel 2. Penentuan Kerangka Tubuh


Kerangka Tubuh Laki- Perempuan

laki
Kecil > >11,0

10,4
Sedang 9,6 – 10,1 – 11,0

10,4
Besar < 9,6 < 10,1

 Berat Badan Koreksi


Pada pasien yang mengalami oedema atau ascites, hitung BB

sebenarnya menggunakan BB Koreksi, yaitu:


94
Rumus:

BB Koreksi = BB Saat ini – Koreksi oedema/ascites

Tabel 3. Koreksi BB pada Oedema dan Ascites

Tingkatan Oedema Ascites


Ringan -1 kg -2,2 kg

(Bengkak pada tangan atau 10%

kaki)
Sedang -5 kg -6 kg

(Bengkak pada wajah dan atau

tangan atau kaki) 20%


Berat -14 kg -10 kg

(Bengkak pada wajah, 30%

tangan, dan kaki)

a. Untuk kondisi Amputasi

Persentase berat badan total berdasarkan bagian tubuh, yaitu:


Tabel 4. Persentase Berat Badan Berdasarkan Bagian Tubuh
Bagian Tubuh Presentase
Bagian lengan 6,5
Lengan atas 3,5

Lengan bawah 2,3

Tangan 0,8

Bagian kaki 18,5

Kaki bagian 11,6

atas 5,3

Kaki bagian 1,8

bawah

Kaki
Sumber: Rosalind S Gibson, 2005

Jika pasien mengalami amputasi, keadaan pasien tersebut dapat

dihitung pada berat bagian yang diamputasi. Persentase berat badan

dapat diketahui berdasarkan pada bagian tubuh yang teramputasi.

95
f. Pengukuran Tinggi Badan

Tinggi/panjang badan merupakan salah satu parameter yang dapat

melihat keadaan status gizi sekarang dan keadaan yang telah lalu.

Pertumbuhan tinggi/panjang badan tidak seperti berat badan,

relative kurang sensitif pada masalah kekurangan gizi dalam waktu

singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi/panjang badan

akan nampak dalam waktu yang relative lama.

1) Pengukuran Panjang Badan dan Tinggi Badan (untuk Keadaan

Sehat)

 Pengukuran ini digunakan untuk mengukur panjang badan

bagi anak yang berusia < 2 tahun dan panjang badan ≤ 50

cm serta menggunakan alat pengukur panjang badan.

Menggunakan alat pengukur panjang badan yang terbuat

dari papan kayu yang dikenal dengan nama Length Board

 Pengukuran Tinggi Badan

Pengukuran ini digunakan untuk mengukur tinggi badan

bagi anak yang telah dapat berdiri tanpa bantuan, berusia ≥

2 tahun dan tinggi ≥ 80 cm. Pengukuran tinggi badan

dilakukan dengan alat pengukur tinggi (microtoise) yang

mempunyai ketelitian 0,1 cm. Konversi dari panjang badan

ke tinggi badan (dengan mengurangi 0,7 cm) atau dari tinggi

badan ke panjang badan (dengan menambahkan 0,7 cm).

2) Pengukuran Estimasi Tinggi Badan (untuk Kondisi Khusus)

 Perkiraan Tinggi Badan dengan Pendekatan Tinggi Lutut

Pengukuran ini digunakan sebagai salah satu cara untuk

mengetahui tinggi badan dari subjek, terutama subjek

yang tidak dapat berdiri, kaki yang diukur adalah kaki

sebelah kiri. Alat yang digunakan yaitu caliper, meteran/

medline.

Rumus Estimasi Tinggi Badan Berdasarkan Tinggi Lutut:

 Perkiraan Tinggi Badan dengan Pendekatan Panjang

Rentang Tangan Kanan dan Tangan Kiri (Arm Span)

96
Pengukuran ini digunakan sebagai salah satu cara untuk

mengetahui tinggi badan dari subjek terutama yang tidak

dapat berdiri. Alat yang digunakan adalah Steel Tape.

Rumus Estimasi Tinggi Badan berdasarkan Arm Span:

 TB Anak Perempuan (cm)

- Usia < 10 tahun

- Usia ≥ 10 tahun

 TB Anak Laki-Laki (cm)

- Usia < 12 tahun

- Usia ≥ 12 tahun

 Perkiraan Tinggi Badan dengan Pendekatan Panjang

Rentang Tangan kanan (Demispan)

Pengukuran ini digunakan sebagai salah satu cara untuk

mengetahui tinggi badan dari subjek terutama yang tidak

berdiri. Alat yang digunakan adalah meteran/medline.

Tabel 5. Estimasi Tinggi Badan menggunakan Demispan

Height (m) Height (m)


Demispan Men 16-
Men > 54 Women 16- Women >
(cm) 54
years 54 years 54 years
years
66 1,54 1,50 1,48 1,46
67 1,55 1,51 1,49 1,47
68 1,56 1,53 1,50 1,49
69 1,58 1,54 1,52 1,50
70 1,59 1,55 1,53 1,51
71 1,60 1,56 1,54 1,52
72 1,62 1,57 1,56 1,54
73 1,63 1,59 1,57 1,55
74 1,64 1,60 1,58 1,56
Dst

4. Indikator Pertumbuhan

1) Indeks Antropometri

a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

97
Indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah

satu cara pegukuran status gizi. Berat badan menurut umur

tidak sensitive untuk mengetahui apakah seseorang

mengalami kekurangan gizi masa lalu atau masa kini. Berat

badan menurut umur merefleksikan status gizi masa lalu

maupun masa kini.

b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan

Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping

memberikan gambaran status gizi masa lampau juga lebih

erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.

c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi

badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan

akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan

kecepatan tertentu. Jelliffe pada tahun 1966 telah

memperkenalkan indeks ini untuk mengidentifikasi status

gizi Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk

menilai status gizi saat ini (sekarang). Indeks BB/TB adalah

merupakan indeks yang independen terhadap umur.

d. Indeks Massa Tubuh

1) IMT Anak (IMT/U)

IMT/U adalah indicator yang terutama bermanfaat untuk

penapisan kelebihan berat badan dan kegemukan.

Biasanya IMT tidak meningkat dengan bertambahnya

umur seperti yang terjadi pada berat badan dan tinggi

badan, tetapi pada bayi peningkatan IMT naik secara

tajam karena terjadi peningkatan berat badan secara

cepat relative terhadap panjang badan pada 6 bulan

pertama kehidupan. IMT menurun pada bayi setelah 6

bulan dan tetap stabil pada umur 2-5 tahun.

Indicator IMT/U hampir sama dengan BB/PB atau

BB/TB. Ketika melakukan interpretasi risiko kelebihan

berat badan, perlu mempertimbangkan berat badan

orang tua. Jika seorang anak mempunyai orang tua yang

obes, maka akan meningkatkan risiko terjadinya


98
kelebihan berat badan pada anak. Anak yang

mempunyai salah satu orang tua yang obesitas,

kemungkinan 40% untuk menjadi kelebihan berat

badan. Jika kedua orang tuanya obes, kemudian

meningkat sampai 70%. Perlu diketahui bahwa anak

yang pendek pun dapat mengalami kelebihan berat

badan atau obesitas.

2) IMT Dewasa

Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan

bahwa batasan berat badan normal orang dewasa

ditemukan berdasakan nilai Body Mass Index (BMI). Di

Indonesia istilah Body Mass Index diterjemahkan

menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat

yang sederhana untuk memantau status gizi orang

dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan

dan kelebihan berat badan maka mempertahankan berat

abdan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai

usia harapan hidup lebih panjang.

Rumus perhitungan IMT:

Untuk kepentingan Indonesia, ambang batas dimodifikasi lagi

berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa

negara berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan ambang

batas IMT untuk Indonesia adalah seperti Tabel 6.

Tabel 6. Kategori Ambang Batas IMT untuk Perawakan Rendah

IMT
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 22,9
Overweight 23,0 – 25,0
Obesity I 25,1 – 26,9
Obesity II 27,0 – 29,9
Extreme ≥ 30,0

Obesity

99
3) Kategori Status Gizi Berdasarkan Cara Perhitungan Z-Score

Z-Score merupakan indeks antropometri yang digunakan secara

internasioal untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan,

yang diekspresikan sebagai standar deviasi (SD) populasi

rujukan.

Untuk pengukuran z-score pada populasi yang distribusinya

normal. Umumnya digunakan pada indikator panjang atau tinggi

badan anak. Dengan rumus sebagai berikut:

Untuk populasi yang distribusinya tidak normal:

Rumus di atas M, L, dan S adalah nilai dari populasi referensi. Rumus

ini juga disebut rumus LMS, biasanya untuk menghitung Z-socre BB/U,

BB/PB, BB/TB, dan IMT/U.


Keterangan:

M = nilai angka median referensi yang diperoleh dari estimasi

rata-rata populasi

L = nilai angka yang diperlukan untuk mentransformasikan

data dalam rangka untuk mengurangi kemencengan kurva

S = koefisien variansi

Atau

 Jika Nilai Individu Subjek < Nilai Median

 Jika Nilai Individu Subjek > Nilai Median

100
Berikut ini adalah kategori status gizi berdasarkan Z-score (Tabel 7):

Tabel 7. Kategori Status Gizi berdasarkan Z-score

Indikator Pertumbuhan
Z-Score PB/U atau BB/PB atau
BB/U IMT/U
TB/U BB/TB
Sangat Sangat
Lihat Catatan
Di atas 3 Gemuk Gemuk
1 Lihat Catatan
(Obes) (Obes)
2
Gemuk Gemuk
Di atas 2
(Overweight) (Overweight)
Risiko Risiko

Gemuk Gemuk
Di atas 1
(Lihat Cat. (Lihat Cat.

3) 3)
0 (Angka

Median)
Di bawah

-1
Pendek

Di bawah (Stunted) BB Kurang Kurus Kurus

-2 Lihat Catatan (Underweight) (Wasted) (Wasted)

4
Sangat

Pendek BB Sangat Sangat Sangat

Dibawah - (Severe Kurang Kurus Kurus

3 stunted) (Severe (Severe (Severe

Lihat Catatan Underweight) Wasted) Wasted)

4
Catatan:

1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya

tidak menjadi masalah kecuali anak yang sangat tinggi mungkin

mengalami gangguan endokrin seperti adanya tumor yang

memproduksi hormone pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika

diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang tinggi

sekali menurut umunya, sedangkan tinggi orang tua normal);

2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada kategori ini, kemungkinan

mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak

ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB atau IMT/U;

101
3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila

kecenderungannya menuju garis Z-score +2 berarti risiko lebih pasti;

4. Anak yang pendek atau sangat pendek kemungkinan akan menjadi

gemuk bila mendapatkan intervensi gizi yang salah.

Untuk menarik kesimpulan mengenai status gizi seseorang harus

menyimpulkan dari ketiga indikator yang telah diukur. Cara pertama

adalah melihat indikator yang bermasalah.

4) Berat BadanTerhadap Panjang Badan

Ini merupakan cara cepat menentukan status gizi bayi dan balita. Biasa

digunakan pada lomba balita sehat karena waktu yang disediakan tidak

banyak dalam menentukan status gizi balita. Dengan cara mengukur

panjang badan balita, menimbang berat badan balita, kemudian berat

badan diberi nilai dengan melihat tabel berat terhadap panjang badan

berikut ini:

Tabel 8. Berat Terhadap Panjang Badan

Berat Badan (kg)


Panjang
Kurang Lebih
(cm) Antara
dari dari
60 cm 5,1 5,1 – 6,84 6,84
61 cm 5,4 5,4 – 7,20 7,20
62 cm 5,7 5,7 – 7,56 7,56
63 cm 5,9 5,9 – 7,92 7,92
64 cm 6,2 6,2 – 8,28 8,28
65 cm 6,5 6,5 – 8,64 8,64
66 cm 6,8 6,8 – 9,00 9,00
67 cm 7,0 7,0 – 9,36 9,36
68 cm 7,3 7,3 – 9,72 9,72
7,6 –
69 cm 7,6 10,08
10,08
7,8 –
70 cm 7,8 10,44
10,44
8,1 –
71 cm 8,1 10,80
10,80
8,3 –
72 cm 8,3 11,04
11,04
8,5 –
73 cm 8,5 11,40
11,40
74 cm 8,7 8,7 – 11,64

102
11,64
8,9 –
75 cm 8,9 11,88
11,88
9,2 –
76 cm 9,2 12,24
12,24
9,4 –
77 cm 9,4 12,48
12,48
9,5 –
78 cm 9,5 12,72
12,72
9,7 –
79 cm 9,7 12,96
12,96
9,9 –
80 cm 9,9 13,20
13,20
10,1 –
81 cm 10,1 13,44
13,44
10,3 –
82 cm 10,3 13,68
13,68
10,4 –
83 cm 10,4 13,92
13,92
10,6 –
84 cm 10,6 14,16
14,16
10,8 –
85 cm 10,8 14,40
14,40
11,0 –
86 cm 11,0 14,64
14,64
11,2 –
87 cm 11,2 14,18
14,18
11,3 –
88 cm 11,3 15,12
15,12
11,5 –
89 cm 11,5 15,36
15,36
11,8 –
90 cm 11,8 15,72
15,72
12,1 –
91 cm 12,1 16,08
16,08
12,2 –
92 cm 12,2 16,32
16,32
12,4 –
93 cm 12,4 16,56
16,56
12,6 –
94 cm 12,6 16,80
16,80
12,9 –
95 cm 12,9 17,16
17,16
103
5) BBR (Berat Badan Relatif)

Rumus:

Tabel 9. Klasifikasi Status Gizi Menurut BBR

Undernutrition < 80%


Kurus (Underweight) < 90%
Normal 90 – 110%
Gemuk (Overweight) > 110%
Obesitas ≥ 120%

6) ABW (Adjusted Body Weight) : Berat Badan Idaman

Rumus: ABW = BBI + [0,25 x (BBA – BBI)]

g. Pengukuran Komposisi Tubuh Dengan Menggunakan Metode


Lingkar

1) Lingkar Lengan Atas

Pengukuran lingkar lengan atas dapat memberikan gambaran

tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak kulit. Lingkar

lengan atas biasanya digunakan untuk mengidentifikasi adanya

malnutrisi pada anak-anak. Pada ibu hamil lignkar lengan atas

digunakan untuk memprediksi kemungkinan bayi yang

dilahirkannya memiliki berat badan lahir yang rendah.

Pengukuran LLA menggunakan suatu pita pengukur dari fiber

glass atau sejenis kertas tertentu berlapis plastic. Ambang batas

(Cut of Points):

Klasifikasi:

 Gizi Baik : > 85%

 Gizi Kurang : 70,1 – 84,9%

 Gizi Buruk : < 70%

2) Lingkar Pinggang
104
Tujuan pengukuran lingkar pinggan dan pinggul adalah untuk

mengetahui bahwa Anda berisiko tinggi terkena penyakit diabetes

tipe 2, kolesterol tinggi yang tak terkontrol, tekanan darah tinggi,

dan penyakit jantung. Ukuran lingkar pinggang yang aman untuk

pria adalah kurang dari 90 cm, sedangkan wanita, kurang dari

80 cm. Lebih dari angka itu, artinya perut Anda kelebihan lemak.

Tabel 10. Klasifikasi Risiko Kesehatan dengan Lingkar Pinggang

Risk of Obesity-Associated Metabolic Complications


Substantially
Increased
Increased
≥ 94 cm (≥ ≥ 102 cm (≥ 40

Men 37 inches) inches)


80 cm (≥ ≥ 88 cm (≥ 35

Women 32 inches) inches)

h. Indikator Pengukuran Komposisi Tubuh

1) Lingkar Lengan Atas (Mid Arm Circumference)

a. Rumus

Umur 3 bulan sampai 5 tahun (Standard Deviation (z-score))

b. Cut-off points
Z-SCORE
Status Gizi Z-Score
Gizi buruk < -3 SD
Gizi < -2 SD ‒ ≥

kurang -3SD
≥ -2 SD ‒ ≤

Gizi baik +2 SD
> +2 SD ‒ ≤

Overweight +3 SD
Obesitas > +3 SD

PERSENTILE
Status
Persentiles
Gizi
Gizi ≥ 85%

105
Baik
Gizi ≥ 70 ‒ <

Kurang 85%
Gizi

Buruk < 70%

c. Referensi standar

Tabel 11. Persentil LILA

Persentile 50% (cm)


Usia (Tahun)
Laki-laki Perempuan
1- 1.9 15.9 15.6
2- 2.9 16.2 16.0
3- 3.9 16.7 16.7
4- 4.9 17.1 16.9
5- 5.9 17.5 17.3
6- 6.9 17.9 17.6
7- 7.9 18.7 18.3
8- 8.9 19.0 19.5
9- 9.9 20.0 20.0
10 -
21.0 21.0
10.9
11 -
22.3 22.4
11.9
12 -
23.2 23.7
12.9
13 -
24.7 25.2
13.9
14 -
25.3 25.2
14.9
15 -
26.4 25.4
15.9
16 -
27.8 25.8
16.9
17 -
28.5 36.4
17.9
18 -
29.7 25.8
18.9
19 -
30.8 26.5
24.9
25 -
31.9 27.7
34.9
35 -
32.6 29.0
44.9
45 - 32.2 29.9

106
54.9
55 -
31.7 30.3
64.9
65 -
30.7 29.9
74.9

2) Lingkar Pinggang (Waist Circumference)


Cut-off Point:
Laki-laki Perempuan
≥ 102
≥ 88 cm
Risiko cm

Bila diketahui LLA (Hasil Pengukuran), bisa untuk menentukan

Estimasi IMT (Powell – Tuck dan Hennessy, 2003)

Estimasi IMT (Wanita) : (1,1 x LLA) – 6,7

Estimasi IMT (Pria) : (1,1 x LLA) – 4,7

Dari Estimasi IMT, bisa diketahui Estimasi Berat Badannya (BB)

Dari Pengukuran Tinggi Lutut (TL), dapat untuk menentukan

Estimasi Tinggi Badan (Food and Nutrition Research Institute, 2008)

TB Estimasi (wanita ) : 89,68 + (1,53 x TL) – (0,17 x Umur)

TB Estimasi (Pria) : 96,5 + (1,38 x TL) – (0,08 x Umur)

5. Pengumpulan dan Pengkajian Data Biokimia

Pengumpulan dan pengkajian data biokimia meliputi hasil pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan yang berkaitan dengan status gizi, status

metabolik dan gambaran fungsi organ yang berpengaruh terhadap

timbulnya masalah gizi. Pengambilan kesimpulan dari data laboratorium

terkait masalah gizi harus selaras dengan data asesmen gizi lainnya

seperti riwayat gizi yang lengkap, termasuk penggunaan suplemen,

pemeriksaan fisik dan sebagainya. Disamping itu proses penyakit,

tindakan, pengobatan, prosedur dan status hidrasi (cairan) dapat

mempengaruhi perubahan kimiawi darah dan urin, sehingga hal ini

perlu menjadi pertimbangan. Hasil analisis darah, urin memberikan

107
informasi yang bermanfaat mengenai status gizi, dan mempunyai

peranan dalam menegakkan diagnosis gizi dan intervensi gizi.

Berikut ini adalah parameter biokimia yang sering digunakan, diurut

berdasarkan abjad.

1. Albumin rendah/hipoalbuminemia (Normal = 3,5 – 5,5 mg/dL),

kemungkinan karena defisiensi protein, katabolisme, gagal hati.

2. Asam folat serum rendah (Normal = 4 – 20 μg/mL), kemungkinang/mL), kemungkinan

defisiensi asam folat, atau vitamin B12.

3. Blood Urea Nitrogen (BUN) tinggi atau Ureum tinggi (Normal = 8-20

mg/dL), kemungkinan penyakit ginjal kronik.

4. CHI (Creatinin Height Index) urin rendah (Normal = 1 -2 mg/dL),

kemungkinan defisiensi protein/malnutrisi.

5. Fe (zat besi) serum rendah (Normal = 50 – 180 μg/mL), kemungkinang/dL), kemungkinan

defisiensi Fe, inflamasi. Fe (zat besi) serum tinggi, kemungkinan

pemberian zat besi berlebih.

6. Glukosa darah tinggi/hiperglikemia (Normal = 80 – 120 mg/dL),

kemungkinan perubahan metabolism karbohidrat, kelebihan intake

energi, kanke, diabetes mellitus, infuse dekstrosa yang berlebihan,

infeksi, respon stress, penggunan obat-obatan. Glukosa darah

rendah/hipoglikemia, asupan makanan kurang baik enteral, oral,

maupun parenteral.

7. Hematokrit (Ht) rendah (Normal = laki-laki 47-54%, wanita = 42-54%),

kemungkinan defisiensi asam folat, Fe, vitamin B12, anemia,

perdarahan, overhidrasi. Hematokrit (Ht) tinggi, kemungkinan dehidrasi.

8. Hemoglobin rendah (Normal = laki-laki 14,0 – 17,5 mg/dL, wanita 13,0 –

15,5 mg/dL), kemungkinan defisiensi protein, Fe, anemia, atau

perdarahan.

9. Kalsium (Ca) serum rendah/hipokalsemia (Normal = 8,5 – 10,5 mg/dL),

kemungkinan defisiensi Ca, Magnesium, kadar serum albumin rendah.

Kalsium (Ca) serum tinggi/hiperkalsemia kemungkinan asupan kalsium

dan vitamin D berlebih.

10. Keseimbangan nitrogen negative (< 0 mg/hari), kemungkinan defisiensi

protein, asupan energi tidak memadai. Keseimbangan nitrogen positif (+

3-5 mg/hari), kemungkinan asupan protein memadai terjadi anabolisme

11. Kalium darah rendah/hipokalemia (Normal = 3,5 – 5,0 mEq/dL),

kemungkinan asupan kalium rendah, diare, keadaan dilusi, terapi


108
insulin dosis tinggi, obat-obatan diuretic dan steroid, sindrom refeeding

yaitu khususnya pada pemberian dekstrosa yang meningkat. Kalium

darah tinggi/hiperkalemia, kemungkinan karena asupan kalium yang

tinggi pada klien degan terapi pengganti HD pada gagal ginjal.

12. Natrium serum tinggi/hipernatremia (Normal = 135 – 145 mEq/dL),

kemungkinan deficit volume cairan, pemberian natrium yang berlebih,

kehilangan cairan air. Natrium serum rendah/hiponatremia,

kemungkinan kelebihan cairan, kehilangan natrium lewat saluran cerna,

pasien dengan makanan luteral dengan formula susu rendah natrium

untuk waktu yang lama.

13. Pre albumin rendah (Normal = 10 – 40 mg/dL), kemungkinan defisiensi

protein, katabolisme. Pre albumin tinggi, kemungkinan anabolisme.

1) Pengumpulan dan Pengkajian Data Klinis dan Data Fisik

Pengumpulan dan pengkajian data pemeriksaan fisik dan klinis

dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan klinis yang berkaitan

dengan gangguan gizi atau dapat menimbulkan masalah gizi.

Pemeriksaan fisik terkait gizi merupakan kombinasi dari tanda – tanda

vital dan antropometri yang dapat dikumpulkan dari catatan medik

pasien serta wawancara.

Pengumpulan dan pengkajian data pemeriksaan fisik dan klinis meliputi

kondisi kesehatan gigi dan mulut, penampilan fisik secara umum

misalnya kurus, gemuk, tubuh pendek, ada oedema, ascites, masa otot

yang hilang, lemak tubuh yang menumpuk, dan lain-lain.

1. Tanda-tanda klinis pada berat badan; penurunan berat badan

kemungkinan defisiensi zat gizi, penurunan berat badan secara akut

kemungkinan defisiensi cairan. Peningkatan berat badan kemungkinan

kelebihan asupan zat gizi.

2. Tanda-tanda klinis pada rambut; rambut pudar, kering, mudah patah

kemungkinan defisiensi protein, rambut mudah dicabut tanpa rasa

sakit kemungkinan defisiensi protein, rambut rontok kemungkinan

defisiensi protein, seng, biotin, yodium. Hilangnya pigmen rambut pada

sekeliling kepala, kemungkinan defisiensi protein dan tembaga.

3. Tanda-tanda klinis pada leher; pembesaran tiroid kemungkinan

defisiensi iodium.

109
4. Tanda-tanda klinis pada mata; xerosis (kekeringan) pada konjungtiva

dan kornea kemungkinan defisiensi vitamin A, konjungtiva pucat

kemungkinan defisiensi zat besi, sclera biru kemungkinan defisiensi

zat besi, vaskularisasi kornea, kemungkinan defisiensi vitamin B2.

5. Tanda-tanda klinis pada mulut; dental caries kemungkinan kelebihan

asupan karbohidrat dan defisiensi fluor, keilosis atau stomatitis

angular (lesi pada sudut mulut) kemnugkinan defisiensi vitamin B2,

glositis (lidah merah dan sakit) kemungkinan defisiensi niasin, asam

folat, vitamin B kompleks, gingivitis (peradangan pada gusi)

kemungkinan defisiensi vitamin C, hipogeusia, disgeusia (rasa

pengecapan berkurang) kemungkinan defisiensi Zn, atrofi papilla lidah

kemungkinan defisiensi zat besi, vitamin B, pertumbuhan gigi

terhambat kemungkinan defisiensi energi.

6. Tanda-tanda klinis pada kulit; kulit kering, bersisik kemungkinan

defisiensi vitaminA, Zn, asam lemak essensial; hyperkeratosis

folikularis (menyerupai bulu roma berdiri) kemungkinan defisiensi

vitamin A, asam lemak essensial, vitamin B; lesi eksematosa

kemungkinan defisiensi Zn; petekia ekimosis, kemungkinan defisiensi

vitamin C dan K, sebore nasolabialis (berminyak, bersisik pada daerah

di antara hidung dan bibir atas) kemungkinan defisiensi niasin,

vitamin B2, vitamin B6, kulit lebih gelap dan mengelupas pada bagian

yang terkena matahari kemungkinan defisiensi niasin, penyembuhan

luka yang lambat kemungkinan defisiensi protein, Zn, dan vitamin C.

7. Tanda-tanda klinis kuku; koilonikia (kuku berbentuk sendok)

kemungkinan defisiensi Fe, kuku rapuh, mudah pecah, kemungkinan

defisiensi protein.

8. Tanda-tanda klinis pada ekstremitas, otot rangka; kehilangan massa

otot kemungkinan defisiensi energi, edema kemungkinan defisiensi

protein dan vitamin B1 serta kemungkinan kelebihan intake cairan.

2) Pengkajian/Anamnesa Data Riwayat Gizi

Gambaran asupan makanan dapat digali melalui anamnesa kualitatif

dan kuantitatif. Anamnesa riwayat gizi secara kualitatif dilakukan untuk

memperoleh gambaran kebiasaan makan/ pola makan sehari

berdasarkan frekuensi penggunaan bahan makanan, digunakan

Formulir Food Frequency (FFQ). Anamnesa secara kuantitatif dilakukan

untuk mendapatkan gambaran asupan zat gizi sehari melalui “recall


110
makanan 24 jam dengan alat bantu ‘food model’ dan digunakan

Formulir Food Recall. Kemudian dilakukan analisa zat gizi yang

merujuk kepada daftar makanan penukar, atau daftar komposisi zat gizi

makanan. Hasilnya dapat diketahui berapa besar pencapaian asupan

energi dan zat gizi seseorang terhadap angka kebutuhan atau angka

kecukupan energi dan zat gizi tertentu.

Anamnesa riwayat gizi adalah data meliputi asupan makanan termasuk

komposisi, pola makan, diet saat ini dan data lain yang terkait. Selain

itu diperlukan data kepedulian pasien terhadap gizi dan kesehatan,

aktivitas fisik dan olah raga dan ketersediaan makanan di lingkungan

klien, seperti tertera pada label berikut:

Tabel 12 . Aspek-aspek yang dikaji dalam riwayat gizi

Asupan  Komposisi dan kecukupan gizi

makanan  Pola makan termasuk makanan

selingan

 Suasana saat makan

 Daya terima terhadap makanan/zat

gizi

 Diet yang sedang dijalani


Kesadaran  Pengetahuan dan kepercayaan

terhadap gizi terhadap rekomendasi diet

dan  Kemandirian melaksanakan diet

kesehatan  Edukasi &konseling gizi yg sudah

didapat dari masa lalu


Aktivitas  Pola kegiatan sehari-hari

fisik  Waktu yang dihabiskan untuk

bersantai, dsb

 Intensitas, frekuensi, dan kebiasaan

melakukan olahraga
Ketersediaan  Kemampuan merencanakan menu

makanan  Daya beli

 Kemampuan/keterbatasan

menyiapkan makanan

 Pemilihan makanan, sanitasi, dan

higiene makanan

 Pemanfaatn program makanan

111
 Ketidakamanan makanan/pangan

3) Riwayat Personal

Pengumpulan dan pengkajian data riwayat personal (riwayat pasien)

meliputi empat area yaitu riwayat obat dan suplemen yang dikonsumsi,

sosial budaya, riwayat penyakit dan data umum pasien, sebagai

berikut :

Tabel 13 . Aspek-aspek yang dikaji dalam riwayat personal (riwayat

pasien)

Riwayat obat  Obat yang digunakan baik

dan suplemen berdasarkan resep maupun obat

yang bebas yang berkaitan dengan

dikonsumsi masalah gizi

 Suplemen gizi yang dikonsumsi


Sosial Budaya  Status sosial ekonomi, budaya,

kepercayaa, agama

 Situasi rumah

 Dukungan pelayanan kesehatan

dan sosial

 Akses sosial / hubungan sosial.


Riwayat  Keluhan utama yang berkaitan

Penyakit dengan masalah gizi

 Riwayat penyakit dulu dan

sekarang

 Riwayat pembedahan

 Penyakit kronik atau resiko

komplikasi

 Riwayat penyakit keluarga

 Status kesehatan mental/emosi

 Kemampuan kognitif, seperti

pasien stroke
Data umum  Umur

pasien  Pekerjaan

 Peranan dalam keluarga

 Tingkat pendidikan

112
A. DIAGNOSA GIZI

Pada langkah ini dicari pola dan hubungan antar data yang terkumpul

dan kemungkinan penyebabnya. Kemudian memilah masalah gizi yang

spesifik dan menyatakan masalah gizi secara singkat dan jelas

menggunakan terminologi yang ada.

Penulisan diagnosa gizi terstruktur dengan konsep PES atau Problem

(masalah) Etiologi (penyebab) dan Sign/ Symptoms (tanda dan gejala).

Diagnosis gizi dikelompokkan menjadi tiga domain, yaitu :

1) Domain Asupan

Masalah aktual atau problem gizi utama yang berkaitan dengan

ketidaksesuaian asupan energi, zat gizi, dan cairan dibandingkan

kebutuhannya, yang didapat melalu oral, enteral maupun parenteral.

Termasuk di antaranya adalah asupan substansi bioaktif seperti

suplemen zat gizi, makanan fungsional dan alkohol. Domain asupan

terdiri dari 5 kelas dan beberapa sub kelas dengan pengertiannya

sebagai berikut :

Tabel 14 . Kelas Domain Asupan

Kelas Pengertian
Keseimbangan energi Perubahan aktual atau perkiraan

perubahan menyangkut keseimbangan

energi
Asupan makanan Perkiraan asupan makanan dan

melalui oral atau minuman atau aktual melalui oral, atau

dukungan gizi (enteral dukungan gizi dibandingkan dengan

atau parenteral) kebutuhan gizi pasien


Asupan cairan Perkiraan asupan cairan atau aktual

dibandingkan dengan kebutuhan pasie


Asupan zat-zat bioaktif Asupan zat bioaktif yang aktual atau

yang diamati, meliputi komponen dan

kandungan makanan fungsional baik

tunggal maupun majemuk; suplemen

diet; alkohol
Asupan zat gizi Perkiraan asupan atau asupan aktual zat
gizi tertentu, baik tunggal maupun

kelompok, dibandingkan dengan

113
kebutuhan pasien

Contoh :

Asupan protein yang kurang (P) berkaitan dengan perubahan indera

perasa dan nafsu makan (E) ditandai dengan asupan protein rata – rata

sehari kurang dari 40% kebutuhan (S).

2) Domain Klinis

Domain ini menjelaskan mengenai kondisi fisik atau klinis yang

berdampak pada timbulnya masalah gizi. Kondisi yang dimaksud adalah

perubahan fungsi mekanis atau fisik (misalnya gangguan menelan,

mengunyah, gangguan gastrointestinal, dan sebagainya); perubaha

kapasitas dalam metabolisme zat gizi yang berkaitan dengan

pembedahan atau obat-obatan; perubahan berat badan dibandingkan

dengan berat badan biasanya atau yang dikehendaki.

Domain klinis terbagi, menjadi 3 kelas sebagaimana pada tabel berikut:

Tabel 15. Kelas Domain Klinis

Kelas Pengertian
Fungsional Perubahan fungsi fisik dan mekanis yang

mengganggu atau menghambat proses makan,

pencernaan, dan penyerapan zat gizi


Biokimia Perubahan kemampuan metabolisme zat-zat gizi

akibat obat-obatan, operasi atau seperti yang

ditunjukkan dari perubahan nilai-nilai

laboratorium
Berat Perubahan Berat Badan (BB) atau status BB yang

badan kronis dibandingkan dengan BB biasany atau BB

idaman
Contoh :

Kesulitan menyusui (P) berkaitan dengan kurangnya dukungan keluarga

(E) ditandai dengan penggunaan susu formula bayi tambahan (S).

3) Domain Perilaku / Lingkungan

Masalah gizi yang berkaitan kondisi lingkungan seperti pengetahuan,

perilaku, budaya, ketersediaan makanan di rumah tangga, dan lainnya

dapat mempengaruhi asupan zat gizi. Termasuk di dalamnya masalah

yang berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan; aktivitas fisik

114
dan fungsi; keamanan makanan dan akses makanan. Domain Perilaku

lingkungan mempunyai 3 kelas sebagai berikut:

Tabel 16. Kelas Domain Perilaku Lingkungan

Kelas Pengertian
Pengetahuan Pengetahuan dan kepercayaan aktual

& sebagaimana yang dilaporkan, diamati atau

Kepercayaan tercatat
Aktivitas dan Masalah-masalah yang berkaitan dengan

fungsi fisik aktivitas fisik, perawatan mandiri dan kualitas

hidup aktual sebagaimana yang dilaporkan,

diamati, atau tercatat


Keamanan Masalah-masalah aktual yang berkaitan dengan

dan akses akses dan keamanan makanan

makanan

Contoh :

Kurangnya pengetahuan tentang makanan dan gizi (P) berkaitan dengan

mendapat informasi yang salah dari lingkungannya mengenai anjuran

diet yang dijalaninya (E) ditandai dengan memilih bahan makanan/

makanan yang tidak dianjurkan dan aktivitas fisik yang tidak sesuai

anjuran (S).

B. INTERVENSI GIZI

Terdapat dua komponen intervensi gizi yaitu perencanaan intervensi dan

implementasi.

1) Perencanaan Intervensi

Intervensi gizi dibuat merujuk pada diagnosis gizi yang ditegakkan.

Tetapkan tujuan dan prioritas intervensi berdasarkan masalah gizinya

(Problem), rancang strategi intervensi berdasarkan penyebab

masalahnya (Etiologi) atau bila penyebab tidak dapat diintervensi maka

strategi intervensi ditujukan untuk mengurangi Gejala/ Tanda ((Sign/

Symtoms).

Tentukan pula jadwal dan frekuensi asuhan. Output dari intervensi ini

adalah tujuan yang terukur, preskripsi diet dan strategi pelaksanaan


(implementasi).

Perencanaan intervensi meliputi :


115
a) Penetapan tujuan intervensi

Penetapan tujuan harus dapat diukur, dicapai dan ditentukan

waktunya.

b) Preskripsi diet

Preskripsi diet secara singkat menggambarkan rekomendasi mengenai

kebutuhan energi dan zat gizi individual, jenis diet, bentuk makanan,

komposisi zat gizi, frekuensi makan.

i) Perhitungan Kebutuhan Zat Gizi

Penentuan kebutuhan zat gizi yang diberikan kepada pasien/ klien atas

dasar diagnosis gizi, kondisi pasien dan jenis penyakitnya.

ii) Jenis Diet

Pada umumnya pasien masuk ke ruang rawat sudah dibuatkan

permintaan makanan berdasarkan pesanan / order diet awal dari dokter

jaga / penanggungjawab pelayanan (DPJP). Dietisien bersama tim atau

secara mandiri akan menetapkan jenis diet berdasarkan diagnosis gizi.

Bila jenis diet yang ditentukan sesuai dengan diet order maka diet

tersebut diteruskan dengan dilengkapi dengan rancangan diet. Bila diet

tidak sesuai akan dilakukan usulan perubahan jenis diet dengan

mendiskusikan terlebih dahulu bersama DPJP.

iii) Modifikasi Diet

Modifikasi diet merupakan pengubahan dari makanan biasa (normal).

Pengubahan dapat berupa perubahan dalam konsistensi;

meningkatkan/ menurunkan nilai energi; menambah/ mengurangi jenis

bahan makanan atau zat gizi yang dikonsumsi; membatasi jenis atau

kandungan makanan tertentu; menyesuaikan komposisi zat gizi (protein,

lemak, KH, cairan dan zat gizi lain); mengubah jumlah, frekuensi

makanan dan rute makanan. Makanan di rumah sakit berbentuk

makanan biasa, lunak, saring dan cair.

iv) Jadwal Pemberian

Jadwal pemberian diet / makanan dituliskan sesuai dengan pola makan

sebagai contoh

Makan Pagi : 500 kcal; Makan Siang : 600 kcal, Makan Sore/ Malam :

600 kcal; Selingan pagi : 200 kcal; Selingan sore : 200 kcal.

v) Jalur Makanan

116
Jalur makanan yang diberikan dapat melalui oral dan enteral atau

parenteral.

2) Implementasi Intervensi

Implementasi adalah bagian kegiatan intervensi gizi dimana dietisien

melaksanakan dan mengkomunikasikan rencana asuhan kepada pasien

dan tenaga kesehatan atau tenaga lain yang terkait. Suatu intervensi gizi

harus menggambarkan dengan jelas : “apa, dimana, kapan, dan

bagaimana” intervensi itu dilakukan. Kegiatan ini juga termasuk

pengumpulan data kembali, dimana data tersebut dapat menunjukkan

respons pasien dan perlu atau tidaknya modifikasi intervensi gizi.

Untuk kepentingan dokumentasi dan persepsi yang sama, intervensi

dikelompokkan menjadi 4 domain yaitu pemberian makanan atau zat

gizi, edukasi gizi, konseling gizi, dan koordinasi pelayanan gizi. Setiap

kelompok mempunyai terminologinya masing – masing.

Langkah-langkah dalam melakukan intervensi gizi meliputi :

1. Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi

Berdasarkan diagnosis gizi, dilakukan perhitungan kebutuhan energi

dan zat gizi klien, menetapkan preskripsi diet, menetapkan pedoman

makan, menetapkan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan,

merencanakan menu sesuai kebutuhan klien dan preskripsi gizi,

menyiapkan materi dan media sesuai masalah.

1) Perhitungan Kebutuhan Energi

Perhitungan kebutuhan energi adalah suatu perhitungan jumlah energi

yang dibutuhkan seseorang dengan berbagai kegiatan selama 24 jam

untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Ada beberapa cara

untuk menetapkan perkiraan kebutuhan energi seseorang. Cara yang

dipilih disesuaikan dengan kebutuhan klien berdasarkan penyakit yang

diderita. Hal penting yang perlu dilakukan adalah memonitor dan

mengevaluasi apakah konsumsinya sudah seimbang.

a) Harris dan Benedict


117
Merupakan cara banyak digunakan untuk menetapkan kebutuhan

energi seseorang, dengan menghitung Basal Energi Expenditure (BEE)

dan faktor koreksi.

Rumus untuk menghitung kebutuhan BEE untuk laki-laki dan

perempuan dibedakan :

Laki-laki :

Wanita :

Faktor koreksi BEE untuk berbagai tingkat stress adalah :

Stress ringan : 1,3 x BEE

Stress sedang : 1,5 x BEE

Stress berat : 2,0 x BEE

Kanker : 1,6 x BEE

b) Basal Metabolisme Rate (BMR) dan Aktivitas

Untuk menghitung perkiraan BMR seseorang digunakan berat badan

sebenarnya. Secara umum BMR wanita adalah 0,9 kkal/kgBB/jam dan

untuk laki-laki adalah 1,0 kkal/kgBB/jam.

Selain BMR, kebutuhan energi dipengaruhi oleh tingkat aktivitas dan

Specific Dynamic Action (SDA). Aktivitas tubuh pada umumnya

dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

Aktivitas sangat ringan : 20% x BMR

Aktivitas ringan : 30% x BMR

Aktivitas sedang : 40% x BMR

Aktivitas berat : 50% x BMR

SDA atau Specific Dynamic Action dari intake makanan adalah

pengeluaran energi dari efek makanan yaitu 10% dari total energi

makanan.
118
c) Kebutuhan Energi berdasarkan per kg BB dan ditambah dengan

energi untuk aktivitas

Energi basal yang dibutuhkan per kg berat badan berkisar 25 untuk

wanita dan 30 kkal/kgBB untuk pria, lalu ditambah dengan berbagai

koreksi 25%. Rumus ini sering digunakan untuk klien dengan diabtes

mellitus.

d) Kebutuhan Energi berdasarkan per kg BB ideal yaitu 35

kkal/kgBB/hari

Rumus ini sering digunakan untuk klien dengan penyakit ginjal/

2) Perhitungan Kebutuhan Protein

Berdasarkan proporsi energi dari protein yaitu diperkirakan sekitar 10-

15% dari total energi.

Berdasarkan per kg BB ideal per hari :

Tingkat kecukupan yang dianjurkan: 0,8 g/kg BBI/hari

Keadaan stress ringan : 1 – 1,2 g/kg BBI/hari

Keadaan stress sedang : 1,5 – 1,75 g/kg BBI/hari

Keadaan stress berat : 1,5 – 2,0 g/kg BBI/hari

Gagal ginjal akut : 0,7 – 1,2 g/kg BBI/hari

Gagal ginjal akut dengan dialysis : 1,5 – 2,0 g/kg BBI/hari

Gagal ginjal kronis dengan hemodialisis : 1,1 – 1,4 g/kg BBI/hari

Gagal ginjal kronis peritoneal dialysis : 1,1 – 1,4 g/kg BBI/hari

Penyakit hati dengan ensefalopati : 0,6 – 0,7 g/kg BBI/hari

Hepatitis : 1,0 – 1,5 g/kg BBI/hari

Stroke : 1 – 1,25 g/kg BBI/hari

Sakit kritis : 1,5 – 2 g/kg BBI/hari

(termasuk luka bakar, sepsis, cedera kepala)

Penyakit paru : 1,2 – 1,5 g/kg BBI/hari

119
3) Perhitungan Kebutuhan Lemak

 Berdasarkan proporsi energi dari lemak yaitu diperkirakan

sekitar 20-25% dari total energi dengan rasio lemak tidak

jenuh : lemak jenuh = 2 : 1

 Dalam keadaan tertentu seperti : kadar trigliserida > 400

mg/dL, pemberian lemak sangat minimal. Keadaan penyakit

paru obstruktif, pemberian lemak mencapai 30-40% dari total

energi.

4) Perhitungan Kebutuhan Karbohidrat

Perhitungan kebutuhan karbohidrat didasarkan kepada sisa dari total

energi setelah dikurangi energi dari protein dan lemak, diperkirakan

berkisar 55-65% dari total energi.

5) Perhitungan Kebutuhan Vitamin dan Mineral

Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral didasarkan kepada angka

kecukupan gizi yang dianjurkan. Namun untuk kondisi tertentu vitamin

dan mineral diberikan dalam jumlah yang lebih tinggi atau leih rendah

dibandingkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

6) Perhitungan Kebutuhan Cairan

 Seorang dewasa biasanya membutuhkan cairan antara 1,5-2

liter per hari

 Berdasarkan kepada berat badan yaitu :

Dewasa muda = 35 – 40 ml/kgBB yang diinginkan per hari

Manula = 25 – 30 ml/kgBB yang diinginkan per hari

 Pada kondisi penyakit tertentu yang membutuhkan

pembatasan cairan makan perhitungan cairan berdasarkan

penghitungan balans cairan yaitu :

Balans cairan = asupan (intake) – keluaran (output)

Asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (500 ml)

2. Preskripsi Diet

Preskripsi Diet atau disebut dengan batasan pengaturan makanan

mencakup kebutuhan energi dan zat gizi serta zat-zat makanan lainnya

merupakan aspek utama dalam asuhan gizi klien. Preskripsi Diet


120
disusun berdasarkan diagnosis penyakit dan gizi yang dibuat oleh

dokter dan ahli gizi. Preskripsi Diet memberikan arah khusus kepada

klien untuk merubah perilaku makannya sehingga mendapatkan

kesehatan yang optimal.

1. Pedoman makan mencakup cara pemberian makan, bentuk dan porsi

makan serta cara mengolah makanan.

2. Penyusunan menu satu hari meliputi 3 kali makanan utama yaitu pagi,

siang, dan malam serta 2 kali snack yaitu di antara waktu makan pagi

dan siang serta di antara waktu makan siang dan malam. Menu yang

dipilih disesuaikan dengan preskripsi diet dan pedoman makan.

3. Melakukan Konseling Gizi

Konselor menginformasikan status gizi, data biokimia dan data klinis

yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan gizi klien serta

menginformasikan kebiasaan makan dan asupan energi dan zat gizi

klien serta hasil diagnosis gizi. Jelaskan tujuan dan prinsip diet yang

dianjurkan.

Konselor dan klien mendiskusikan:

1. Perubahan pola makan mengikuti perencanaan menu yang disiapkan

meliputi porsi makan 1 hari, distribusi porsi makan di setiap waktu

makan, penggunaan daftar bahan makanan penukar, contoh menu serta

makanan yang boleh dan yang tidak boleh dikonsumsi. Agar klien lebih

memahami maka jelaskan anjuran diet dengan menggunakan media

leaflet, poster, dan “food model” serta alat peraga lainnya dengan tepat.

2. Hambatan dan alternatif perubahan pola makan yang dapat dilakukan

oleh klien.

3. Pola perubahan perilaku berkaitan dengan pola aktivitas dan gaya hidup

yang dapat dilakukan oleh klien.

4. Catatan medis atau konseling gizi lainnya.

4. Memperoleh Komitmen

Konseling tidak akan berhasil tanpa adanya kesediaan dan komitmen

dari klien. Komitmen untuk melakukan perubahan bukan hal mudah.

Proses untuk melakukan perubahan kebiasaan makan merupakan

proses yang tidak menyenangkan, sehingga konselor harus membantu

klien untuk mengatasinya. Berikan dukungan dan bangun rasa percaya

diri klien dalam membuat keputusan, untuk melakukan perubahan diet


121
sesuai dengan anjuran yang disepakati bersama. Yakinkan bahwa klien

mampu melakukan diet tersebut dan buat kesepakatan untuk

melakukan kunjungan ulang.

C. MONITORING DAN EVALUASI GIZI

Kegiatan monitoring dan evaluasi gizi dilakukan untuk mengetahui

respon pasien/ klien terhadap intervensi dan tingkat keberhasilannya.

Tiga langkah kegiatan monitoring dan evaluasi gizi, yaitu :

1) Monitoring perkembangan yaitu kegiatan mengamati perkembangan

kondisi pasien/ klien yang bertujuan untuk melihat hasil yang terjadi

sesuai yang diharapkan oleh klien maupun tim. Kegiatan yang

berkaitan dengan monitor perkembangan antara lain :

a) Mengecek pemahaman dan ketaatan diet pasien/ klien

b) Mengecek asupan makan pasien/ klien

c) Menentukan apakah intervensi dilaksanakan sesuai dengan

rencana/ preskripsi diet.

d) Menentukan apakah status gizi pasien/ klien tetap atau berubah.

e) Mengidentifikasi hasil lain baik yang positif maupun negatif.

f) Mengumpulkan informasi yang menunjukkan alasan tidak adanya

perkembangan dari kondisi pasien/ klien.

2) Mengukur hasil. Kegiatan ini adalah mengukur perkembangan/

perubahan yang terjadi sebagai respon terhadap intervensi gizi.

Parameter yang harus diukur berdasarkan tanda dan gejala dari

diagnosa gizi.

3) Evaluasi hasil.

Berdasarkan ketiga tahapan kegiatan di atas akan didapatkan 4 jenis

hasil, yaitu :

a) Dampak perilaku dan lingkungan terkait gizi yaitu tingkat

pemahaman, perilaku, akses dan kemampuan yang mungkin

mempunyai pengaruh pada asupan makanan dan zat gizi.

b) Dampak asupan makanan dan zat gizi merupakan asupan makanan

dan atau zat gizi dari berbagai sumber, misalnya makanan,

minuman, suplemen, dan melalui rute enteral maupun parenteral.


c) Dampak terhadap tanda dan gejala fisik yang terkait gizi yaitu

pengukuran yang terkait dengan antropometri, biokimia, dan

parameter pemeriksaan fisik/ klinis.


122
d) Dampak terhadap pasien/ klien terhadap intervensi gizi yang

diberikan pada kualitas hidupnya.

4) Pencatatan Pelaporan

Pencatatan dan laporan kegiatan asuhan gizi merupakan bentuk

pengawasan dan pengendalian mutu pelayanan dan komunikasi.

Terdapat berbagai cara dalam dokumentasi antara lain Subjective

Objective Assessment Planing (SOAP) dan Assessment Diagnosis

Intervensi Monitoring dan Evaluasi (ADIME). Format ADIME merupakan

model yang sesuai dengan langakah PAGT.

Pencatatan dan pelaporan asuhan gizi dimasukkan dalam formulir 4C

dan catatan perkembangan terintegrasi.

Tabel 17. Ringkasan Aspek – Aspek Yang Dikaji Dalam PAGT

Asesmen Gizi a) Semua data yang berkaitan dengan pengambilan

keputusan, antara lain riwayat gizi, riwayat personal,

hasil laboratorium, antropometri, hasil pemeriksaan

fisik klinis, diet order dan perkiraan kebutuhan zat

gizi.

b) Yang dicatat hanya yang berhubungan dengan

masalah gizi saja.


Diagnosis Gizi a) Pernyataan diagnosis gizi dengan format PES

b) Pasien mungkin mempunyai banyak diagnosis gizi,

lakukan kajian yang mendalam sehingga diagnosis

gizi benar – benar berkaitan dan dapat dilakukan

intervensi gizi.
Intervensi Gizi a) Rekomendasi diet atau rencana yang akan

dilakukan sehubungan dengan diagnosis gizi.

b) Rekomendasi makanan/ suplemen atau perubahan

diet yang diberikan.

c) Edukasi gizi.

d) Konseling gizi.

e) Koordinasi asuhan gizi.


Monitoring dan a) Indikator yang akan dimonitor untuk menentukan

Evaluasi Gizi keberhasilan intervensi.

b) Umumnya berdasarkan gejala dan tanda dari

123
diagnosis gizi antara lain
Monitoring :

Pada kunjungan ulang mengkaji :

 Asupan total Energi, persentase asupan KH,

Protein, Lemak dari Total Energi, dan asupan zat

gizi terkait diagnosis gizi pasien.

Contoh formulir monitoring asupan makanan

dapat dilihat pada lampiran.

 Riwayat diet dan perubahan BB/ status gizi.

 Biokimia : Kadar gula darah, ureum, lipida darah,

elektrolit, Hb, dll.

 Kepatuhan terhadap anjuran gizi.

 Memilih makanan dan pola makanan


Evaluasi :

1. Dampak perilaku dan lingkungan terkait

gizi yaitu tingkat pemahaman, perilaku,

akses, dan kemampuan yang mungkin

mempunyai pengaruh pada asupan

makanan dan zat gizi.

2. Dampak asupan makanan dan zat gizi

merupakan asupan makanan dan atau

zat gizi dari berbagai sumber, misalnya

makanan, minuman, suplemen, dan

melalui rute oral, enteral maupun

parenteral.

3. Dampak terhadap tanda dan gejala fisik

yang terkait gizi. Pengukuran yang terkait

dengan antropometri, biokimia dan

parameter pemeriksaan fisik/ klinis.

4. Dampak terhadap pasien/ klien terkait

gizi pengukuran yang terkait dengan

persepsi pasien/ klien terhadap intervensi

yang diberikan dan dampak pada kualitas

hidupnya.

A. Langkah – Langkah Asuhan Gizi


124
- Pasien baru dilakukan skrening awal oleh perawat, dengan menilai

status nutrisi menggunakan metode MST ( Malnutrition Skrening Tools)

untuk pasien dewasa dan Skrining untuk pasien anak 1 – 18 tahun

dengan menggunakan Strong Kids. Skrining ini bertujuan untuk

mengidentifikasi dan penatalaksanakan pasien dewasa dan anak yang

mengalami gizi buruk, kurang gizi.

- Bila pasien setelah diskrening awal oleh perawat hasilnya beresiko,

maka perawat akan memberitahukan ke ahli gizi dan akan dilakukan

skrening lanjutan.

- Asuhan gizi dilakukan pada pasien yang beresiko dan berdasarkan

informasi dari ruang rawat inap dan rawat jalan.

- Ahli gizi mengkaji hasil skrining gizi perawat dan order diet awal dari

dokter.

- Ahli gizi melakukan asesmen/ pengkajian gizi lanjut pada pasien yang

beresiko malnutrisi, malnutrisi atau kondisi khusus meliputi

pengumpulan, analisa dan interpretasi data riwayat gizi, riwayat

personal; pengukuran antropometri; hasil laboratorium terkait gizi dan

hasil pemeriksaan fisik terkait gizi.

- Ahli gizi mengidentifikasi masalah / diagnosis gizi berdasarkan hasil

asesmen dan menetapkan prioritas diagnosis gizi.

- Ahli gizi merancang intervensi gizi dengan menetapkan tujuan dan

preskripsi diet yang lebih terperinci untuk penetapan diet definitive serta

merencanakan edukasi / konseling.

- Pasien yang tidak beresiko diberikan diet makanan biasa.

- Makanan atau nutrisi yang sesuai untuk pasien, tersedia secara reguler.

- Pasien yang beresiko malnutrisi/ sudah malnutrisi atau kondisi khusus

diberikan diet makanan khusus sesuai dengan kondisi penyakit pasien

(dilakukan langkah – langkah asuhan gizi terstandar/ PAGT).

- Ahli gizi melakukan koordinasi dengan dokter terkait dengan diet

definitive.

- Ahli gizi melakukan koordinasi dengan dokter, perawat, farmasi, atau

tenaga kesehatan lainnya dalam pelaksanaan intervensi gizi.

- Ahli gizi memberikan penyuluhan, motivasi dan konseling gizi pada

klien/ pasien dan keluarganya, termasuk menginformasikan pada

pasien tentang program intervensi gizi.

125
- Ahli gizi menginformasikan program intervensi gizi kepada

dokter/perawat, pengatur gizi di ruang rawat inap.

- Perawat di ruang rawat inap menulis / mencatat diet pasien dan

membuat daftar permintaan makan pasien.

- Pesanan makanan pasien didasarkan atas status gizi dan kebutuhan

pasien.

- Ada bermacam variasi pilihan makanan bagi pasien konsisten dengan

kondisi dan pelayanannya.

- Pramusaji mempersiapkan makanan sesuai buku pesanan

makanan/diet pasien serta memasukkan ke dalam trolley.

- Pramusaji membawa makanan dalam trolley ke ruang rawat inap dan

menyajikan makanan ke pasien dan memastikan pasien menerima

makanan sesuai dengan terapi dietnya.

- Ahli gizi melakukan monitoring respon pasien terhadap intervensi gizi.

- Respon pasien terhadap terapi gizi dicatat dalam rekam medis

terintegrasi.

- Ahli gizi melakukan evaluasi proses maupun dampak asuhan gizi.

- Ahli gizi menginformasikan dan mendiskusikan hasil monitoring dan

evaluasi kepada dokter atau perawat.

- Ahli gizi mencatat dan melaporkan hasil asuhan gizi kepada dokter pada

catatan perkembangan terintegrasi.

- Ahli gizi melakukan assesmen gizi ulang (reassesmen) apabila tujuan

belum tercapai.

- Ahli gizi mengikuti ronde pasien bersama tim kesehatan bila diperlukan

dan pada kasus khusus.

- Ahli gizi berpartisipasi aktif dalam pertemuan atau diskusi dengan

dokter, perawat, anggota tim asuhan gizi lainnya, klien/pasien dan

keluarganya dalam rangka evaluasi keberhasilan pelayanan gizi

A. Tujuan Konseling Gizi

Konseling gizi bertujuan untuk membantu pasien dalam upaya merubah

perilaku yang berkaitan dengan gizi sehingga meningkatkan status gizi

dan kesehatan klien.

B. Sasaran

Konseling gizi dapat diberikan kepada :


126
1. Pasien yang mempunyai masalah kesehatan yang terkait dengan gizi.

2. Pasien yang igin melakukan tindakan pencegahan.

3. Pasien yang ingin mempertahankan dan mencapai status gizi optimal.

C. Manfaat konseling gizi :

1. Membantu pasien untuk mengenali masalah kesehatan dan gizi yang

dihadapi.

2. Membantu pasien memahami penyebab terjadinya masalah.

3. Membantu pasien untuk mencari alternatif pemecahan masalah.

4. Membantu pasien untuk memilih cara pemecahan masalah yang paling

sesuai baginya.

5. Membantu proses penyembuhan penyakit melalui perbaikan gizi pasien.

D. Keterampilan komunikasi dalam konseling gizi :

1. Keterampilan mendengar dan mempelajari.

2. Keterampilan membangun kepercayaan diri dan memberi dukungan.

E. Langkah-langkah Konseling Gizi

127
Alur Konseling Gizi

Langkah 1
MEMBANGUN DASAR-DASAR KONSELING
Salam, perkenalkan diri, mengenal pasien, membangun hubungan, jelaskan tujuan

Langkah 2
MENGGALI PERMASALAHAN
Mengumpulkan data-data untuk dasar diagnosa dari semua aspek dengan metode
Assesment

Langkah 3
MEMILIH SOLUSI
Memilih alternative solusi, menggali alternative penyebab masalah gizi dengan
menegakkan Diagnosa

INTERVENSI

Langkah 4 Langkah 5
MEMILIH RENCANA MEMPEROLEH KOMITMEN
Bekerjasama dengan pasien untuk melihat Komitmen untuk melaksanakan perlakuan
alternatif dalam memilih upaya diet dan perubahan diet khusus, membuat rencana yang
perilaku yang dapat diimplementasikan realistis dan dapat diterapkan
Menjelaskan tujuan, prinsip diet, dan ukuran
porsi makan

Langkah 6
MONITORING DAN EVALUAS
Ulangi dan tanyakan kembali apakah kesimpulan dari konseling
dapat dipahami oleh pasien
Pada kunjungan berikutnya lihat proses dan dampak

1. Membangun dasar-dasar konseling

Bila pasien datang ke klinik gizi di rawat jalan, gunakan keterampilan

komunikasi, sambutlah pasien dengan baik, ramah, berdiri serta

berikan salam kepada pasien. Persilahkan pasien untuk duduk dan buat

pasien merasa nyaman.Beri waktu pasien untuk menceritakan identitas

dirinya, catat bila belum ada dalam status, perkenalkan diri sebagai

konselor atau ahli gizi.Bila ahli gizi yang mendatangi pasien/klien di

ruang rawat inap, perkenalkan diri sebagai konselor atau ahli gizi.

Ciptakan hubungan yang baik antara ahli gizi dan pasien dan jelaskan

tujuan dari konseling gizi yang akan diberikan.

2. Menggali permasalahan

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi atau data

lengkap dan sesuai dalam upaya mengidentifikasi masalah gizi yang

terkait dengan masalah asupan energy dan zat gizi atau faktor lain yang

dapat menimbulkan masalah gizi.

128
Data pasien yang harus dikumpulkan dan dikaji sehingga diperoleh

kesimpulan tentang masalah gizi klien adalah :

a. Pengumpulan dan Pengkajian Data Antropometri.

Pengukuran yang umum dilakukan adalah tinggi badan/panjang badan,

berat badan, lingkar lengan atas, rentang lengan, lingkar perut.

b. Pengumpulan dan Pengkajian Data Biokimia

Pengumpulan dan pengkajian data biokimia meliputi hasil pemeriksaan

laboratorium yang berkaitan dengan keadaan gizi baik hasil analisa

darah maupun analisa urin.

c. Pengumpulan dan Pengkajian Data Klinis dan Data Fisik.

Pengumpulan dan pengkajian data klinis dan fisik meliputi tanda-tanda

klinis pada berat badan dan penampilan fisik secara umum.

d. Pengkajian Riwayat makan.

Mengkaji data riwayat makan yaitu mengkaji kebiasaan makan pasien

secara kualitatif dan kuantitatif, ada tidaknya alergi terhadap makanan,

dan ada tidaknya pantangan makan.

e. Pengkajian Riwayat Personal.

Mengkaji riwayat personal meliputi keadaan sosial ekonomi dan pola

aktivitas pasien atau klien, riwayat penyakit pasien atau klien, riwayat

penyakit keluarga yang berkaitan dengan penyakit pasien atau klien,

dan masalah psikologi yang berkaitan dengan masalah gizi pasien atau

klien.

3. Memilih solusi dengan menegakkan diagnosis gizi.

Ada 3 bagian diagnosis gizi, yaitu :

a. Masalah / problem, yaitu perubahan menjadi tidak normal,

kegagalan, ketidakefektifan, penurunan atau peningkatan

kebutuhan, resiko munculnya gangguan gizi.

b. Etiologi (penyebab), yaitu faktor-faktor yang berperan dalam

timbulnya masalah gizi.

c. Gejala dan tanda (Sign/symptoms). Tanda merupakan identitas

obyektif perubahan status kesehatan, sedangkan gejala merupakan

identitas subyektif yang dinyatakan secara verbal.

4. Intervensi memilih rencana.

Langkah-langkah dalam melakukan intervensi meliputi :


129
a. Menghitung kebutuhan energi dan zat gizi.

b. Menyusun preskripsi diet yang meliputi pengaturan makan sesuai

kebutuhan pasien dan diagnosis gizi, cara pemberian makan, bentuk

makanan, cara mengolah makanan, penyusunan menu 1 hari.

c. Melakukan konseling gizi dengan media food model, leaflet diet. Ahli

gizi menginformasikan :

 Status gizi, data biokimia dan data klinis yang berkaitan

dengan masalah kesehatan dan gizi pasien serta

menginformasikan kebiasaan makan dan asupan energi dan

zat gizi serta diagnosis gizi.

 Tujuan dan prinsip diet yang dianjurkan.

 Jadwal pemberian makan sehari

 Jumlah makanan yang diberikan dalam sehari

 Jenis makanan yang dianjurkan, dibatasi dan tidak

dianjurkan.

 Bahan makanan penukar.

 Cara pengolahan makanan sesuai diet.

 Contoh menu makanan.

 mendiskusikan dengan pasien atau klien tentang perubahan

pola makan, hambatan dan alternatif perubahan pola makan,

pola perubahan perilaku yang berkaitan dengan aktivitas dan

gaya hidup, catatan medis, dan masalah gizi lain yang

berkaitan.

5. Memperoleh komitmen.

Ahli Gizi memberikan dukungan dan membangun percaya diri pasien

dalam membuat keputusan untuk melakukan perubahan diet sesuai

dengan anjuran yang disepakati bersama.Ahli gizi harus meyakinkan

pasien bahwa pasien mampu melakukan diet dan buat kesepakatan

untuk konseling atau kunjungan ulang.

6. Monitoring dan evaluasi.

Komponen monitoring dan evaluasi gizi ada 4 langkah, yaitu ;

a. Monitoring perkembangan, antara lain :

1) Mengecek pemahaman dan ketaatan diet pasien

2) Menentukan apakah intervensi dilaksanakan sesuai rencana diet.

3) Menentukan status gizi tetap atau berubah.

4) Mengidentifikasikan hasil lain


130
5) Mengumpulkan informasi yang menunjukkan alasan tidak adanya

perkembangan kondisi pasien.

b. Mengukur hasil.

Mengukur hasil intervensi sesuai dengan apa yang diukur berdasarkan

tanda dan gejala dari diagnosis gizi.

c. Evaluasi hasil.

Evaluasi hasil konseling gizi terbagi menjadi 2 tahap yaitu :

1) Evaluasi proses, untuk melihat tingkat partisipasi pasien,

kesesuaian isi materi, metode yang dipilih, waktu yang digunakan

sehingga tujuan konseling tercapai.

2) Evaluasi dampak, untuk melihat keberhasilan ahli gizi dalam

pelaksanaan konseling misalnya pasien melakukan kunjungan

ulang, ketepatan asupan gizi, perubahan berat badan, perubahan

nilai biokimia, perubahan perilaku terhadap makanan dan

kesehatan.

L. MANAJEMEN NYERI

1) Asesmen Nyeri

1. Anamnesis

a. Riwayat penyakit sekarang

1) Onset nyeri: akut atau kronik, traumatic atau non

traumatic.

2) Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul,

nyeri tajam, rasa terbakar tidak nyaman, kesemutan,

neuralgia.

3) Pola penjalaran / penyebaran nyeri

4) Durasi dan lokasi nyeri

5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal,

kesemutan, mual/muntah, atau gangguan

keseimbangan kintrol motoric

6) Faktor yang memperberat dan memperingan

7) Kronisitas

8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya,

termasuk respon terapi

9) Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri/ luka


131
10) Penggunaan alat bantu

11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan

aktivitas hidup dasar (activity of daily living)

12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi

pembedahan, seperti adanya fraktur yang tidak stabil,

gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan

dengan sindrom kauda ekuins.

b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu

c. Riwayat psikososial

1) Riwayat konsumsi alcohol, merokok, atau narkotika

2) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien

3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi

menimbulkan eksaserbasi nyeri

4) Pembatasan/retriksi partisipasi pasien dalam aktivitas

social, yang berpotensi menimbulkan stress. Pertimbangkan

juga aktivitas penggantinya.

5) Masalah psikiatri dapat menimbulkan pengaruh negative

terhadap motivasi dan kooperasi psien dengan program

penanganan / manajemen nyeri kedepannya. Pada pasien

dengan masalah psikiatri diperlukan dukungan

psikoterapi / psikofarmaka.

6) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat

menimbulkan stress bagi pasien dan keluarga.

d. Riwayat Pekerjaan

Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin seperti

mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar

merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri

punggung.

e. Obat-obatan dan alergi

1) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan

obat-obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.

2) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk

mengurangi nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14%

populasi di AS mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36%

mengkonsumsi vitamin)

132
3) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat,

durasi, efektifitas dan efek samping.

f. Riwayat keluarga

Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetic.

g. Asesmen system organ yang komprehensif

1) Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner,

gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria,

endokrin dan musculoskeletal

2) Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam

hari, keringat malam dan sebagainya.

2. Asesmen nyeri

a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale

1) Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anakn berusia

> 9 tahun yang dapat menggunakan angka untuk

melambangkjan intensitas nyeri yang dirasakannya.

2) Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri

yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka 0-10.

a) 0 = tidak nyeri

b) 1-3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-

hari)

c) 4-6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas

sehari-hari)

d) 7-19 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas

sehari-hari)

Numeric Rating Scale

b. Wong Baker FACES Pain Scale

133
1) Indikasi: pada pasien (dewasa dan anak>3tahun) yang tidak

dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka,

gunakan asesmen

2) Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih

gambar mana paling sesuai dengan yang ia rasakan.

Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri

a) 0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri

b) 2-3 = sedikit nyeri

c) 4-5 = cukup nyeri

d) 6-7 = lumayan nyeri

e) 8-9 = sangat nyeri

f) 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

c. Comfort scale

1) Indikasi : pasien bayi, anak dan dewasa di ruang intensif /

kamar operasi/ ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai

menggunakan pain Numeric Rating Scale dan Wong Baker

Faces scale

2) Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori

memiliki skor 1-5 dengan skor total 9-45.

a) Kewaspadaan

b) Ketenangan

c) Distress pernafasan

d) Menangis

e) Pergerakan

f) Tonus otot

g) Tegangan wajah

h) Tekanan darah basal


134
i) Denyut jantung basal

3) Comfort scale

Kategori Skor Tanggal /

waktu

Kewaspadaan 1. Tidur pulas / nyenyak

2. Tidur kursng nyenyak

3. Gelisah

4. Sadar sepenuhnya dan

waspada

5. Nipper alert
Ketenangan 1. Tenang

2. Agak cemas

3. Cemas

4. Sangat cemas

5. Panic

Distress 1. Tidak ada respirasi

pernafasan spontan dan tidak ada


batuk

2. Respirasi spontan

dengan sedikit / tidak

ada respon terhadap

ventilasi

3. Kadang-kadang batuk

atau terdapat tahanan

terhadap ventilasi

4. Sering batuk, terdapat

tahanan / perlawanan

terhadap ventilator

5. Melawan secara aktif

terhadap ventilator,

batuk terus menerus /

tersedak
Menangis 1. Bernafas dengan tenang,

tidak menangis

2. Terisak-isak

135
3. Meraung

4. Menangis

5. berteriak
Pergerakan 1. tidak ada pergerakan

2. kadang-kadang bergerak

perlahan

3. Sering bergerak perlahan

4. Pergerakan aktif /

gelisah

5. Pergerakan aktif

termasuk badan dan

kepala
Tonus otot 1. Otot relaks sepenuhnya

tidak ada tonus otot 2-

penurunan tonus otot 3

– tonus otot normal – 4 –

peningkatan tonus otot

dan fleksi jari tangan

dan kaki 5 – kekakuan


otot ekstrim dan fleksi

jari tangan dan kaki


Tegangan wajah 1. Otot wajah relaks

sepenuhnya

2. Tonus otot wajah

normal, tidak terlihat

tegangan otot wajah yang

nyata

3. Tegangan beberapa otot

wajah yang terlihat

nyata

4. Tegangan hampir di

seluruh otot wajah

5. Seluruh otot wajah

tegang, meringis
Tekanan darah 1. Tekanan darah di bawah

basal batas norml

2. Tekanan darah berada di


136
atas normal secara

konsisten

3. Peningkatan tekanan

darah sesekali ≥ 15% di

atas batas normal (1-3)

kali dalam observasi

selama 2

4. Seringnya peningkatan

tekanan darah ≥ 15% di

atas batas normal (1-3)

kali dalam observasi

selama 2

5. Peningkatan tekanan

darah terus-menerus ≥

15%
Denyut jantung 1. Denyut jantung di bawah

basal batas normal

2. Denyut jantung berada

di bawah batas normal

secara konsisten

3. Peningkatan denyut

jantung sesekali ≥ 15%

di atas batas normal (1-3

kali dalam observasi

selama 2 menit)

4. Seringnya peningkatan

denyut jantung ≥ 15% di

atas batas normal (>3

kali dalam observasi

selama 2 menit)

5. Peningkatan denyut

jantung terus menerus

>15%
Skor total

d. NPAT ( Neonatal Pain Assesment Toll)

137
1) Indikasi : metode yang bisa digunakan untuk menilai derajat

nyeri pada neonates

2) Interpretasi :

a) Skor <5 : pemberian kenyamanan keperawatan meliputi

reposisi, selimuti, mengusap lembut telapak kaki,

berbicara dengan bayi, ganti popok, tawarkan makanan

atau minuman

b) Skor > 5 : parasetamol 10 mg/kg BB/kali, aman untuk

neonatus, skor > 10 : kenyamanan keperawatan,

narkotik dengan resiko yang mungkin terjadi adalah

apnea diperlukan perawatan intensif dan dikonsulkan ke

bagian unit penanganan nyeri

c) Berikut ini adalah tabel NPAT

FISIK
Postur/tonus 2 Fleksi dan atau Tangan mengepal,

kaku/tegang punggung tegak,

tungkai aduksi, kepala

dan bahu posisi tetap


1 Ekstensi Jari-jari melebar,

punggung kaku,

tungkai abduksi, bahu

terangkat dari tempat

tidur
Pola tidur 2 Agitasi atau lemas Bangun dengan

terkejut, mudah

terbangun, rewel,

menggeliat, tidak ada

siklus bangun yang

jelas, mata terbuka.


0 relaks Tidur REM, mata

tertutup
Ekspresi 2 Meringis Garis kerutan alis

wajah dalam, mata tertutup,

mata dilatasi
1 Mengernyitan Garis kerutan ringan,

dahi mata tertutup


Tangis 2 ya Ketika terganggu, tidak

berhenti setelah
138
digendong, keras,

merengek
Warna 2 Pucat, kehitaman,

berkeringat di telapak

tangan
0 Perfusi baik, merah

muda
FISIOLOGIS
Laju nafas 2 Apneu Saat istirahat dalam

ngendongan
1 Takypneu Saat istirahat
Denyut 2 Fluktuasi Lebih dari normal
1 takikardia Saat istirahat
jantung
Saturasi 2 Desaturasi Dengan atau tanpa

gendong
Tekanan 2 Hipertensi Saat istirahat

darah
Persepsi perawat
2 Ya Menurut saya bayi

mengalami nyeri
0 Tidak Nyeri hanya perasaan

saya
e. FLACC

Indikasi : digunakan untuk menilai nyeri pada pasien usia 1

bulan – 6 tahun atau pada pasien yang tidak mampu

berkomunikasi untuk menyampaikan rasa nyerinya. Skala ini

juga efektif digunkan pada pasien dewasa yang dirawat di ICU

dengan intubasi sehingga tidak mampu berbicara.

Katagori Parameter
0 1 2
Face (wajah) Tersenyum/ Terkadang Sering

tidak ada meringis/ cemberut,

ekspresi khusus menarik diri mengatupkan

rahang
Leg (kaki) Gerakan Tidak tenang/ Kaki

normal/ tegang menendang/

relaksasi menarik diri


Activity Tidur posisi Gerakan Punggung

(aktifitas) normal, bebas menggeliat, melengkung,

bergerak berguling, kaku kaku,

menghentak
139
Cry (menangis) Tidak menangis Mengerang/ Menangis

(terjaga/tidur) merengek terus

menerus,

terisak,

menjerit
Consolability Bersuara normal Tenang bila Sulit untuk

(konsolabilitas) dipeluk/ diajak menenangkan

berbicara
Total skor

f. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi

sedasi sedang, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat

pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tbuh atau verbal

akan rasa nyeri.

g. Assesmen ulang nyeri : dilakukan pada pasien yang dirawat

lebih dari beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri,

sebagai berikut:

1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali

melakukan pemeriksaan fisik pada pasien

2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah

tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang

sadar/ bangun), pasien yang mengalami prosedur

menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien

pulang dari rumah sakit.

3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung),

lakukan asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian

nitrat atau obat-obat intravena.

4) Pada nyeri akut / kronik lakukan asesmen ulang tiap 15

menit -,1 jam setelah pemberian obat nyeri.

5) Bila skor nyeri < 4 (nyeri ringan), nyeri dievaluasi setiap 15

menit, setiap intervensi obat injeksi atau setiap 1 jam

setelah intervensi obat oral/lainnya dan dievaluasi kembali

setiap 8 jam atau setiap pertukaran shift. Bila skor nyeri

meningkat menjadi 4-6 maka ikuti prosedur penanganan

nyeri derajat 4-6. Evaluasi nyeri dihentikan bila skor nyeri 0

(nol)

140
6) Bila skor nyeri 4-6 (nyeri sedang), nyeri dievaluasi setiap 15

menit setelah intervensi obat injeksi atau setiap 1 jam

setelah intervensi obat oral/lainnya dan dievaluasi kembali

setiap 3 jam. Evaluasi nyeri dihentikan bila skor nyeri 0

(nol).

7) Bila skor nyeri >7 (nyeri berat), evalusi nyeri dilakukan

setiap 1 jam dan evaluasi nyeri dihentikan bila skor nyeri 0

(nol).

8) Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba,

terutama bila sampai menimbulkan perubahan tanda vital,

merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang

baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri

neuropatik.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan umum

1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh

2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien

3) Periksa apakah terjadi lesi / luka di kulit seperti jaringan

parut akibat operasi, hiperpigmentasi, ulerasi, tanda bekas

jarum suntik

4) Perhatikan juga adanya ketidak segarisan tulang

(malalignment), atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema

5) Status mental

a) Nilai orientasi pasien

b) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek,

dan segera

c) Nilai kemampuan kognitif

d) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala

depresi, tidak ada harapan atau cemas.

6) Pemeriksaan sendi

a) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan

b) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi: perhatikan

adanya keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah

meringis atau asimetris.

141
c) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat

abnormal / dikeluhkan oleh pasien (saat menilai

pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut

wajah meringis, atau asimetris.

d) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri

e) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi

adanya cedera ligament.

7) Pemeriksaan motoric

1) Nilai dan catat kekuatan motoric pasien dengan

menggunakan kriteria dibawah ini :

Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu

melawan tahanan kuat


4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser kekiri dan

kanan tetapi tidak mampu melawan

gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi),

tidak menghasilkan pergerakan


0 Tidak terdapat kontraksi otot

8) Pemeriksaan sensorik

Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, Nyeri (tusukan

jarum pin prick), getaran dan suhu.

9) Pemeriksaan neurologis lainnya

a) Evaluasi nervus kranial I-XII, terutama jika pasien

mengeluh nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala

b) Periksa reflex otot, nilai danya asimetris dan klonus.

Untuk mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi >4

otot

Reflex Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1

142
c) Nilai adanya reflex Babinski dan Hoffman (hasil positif

menunjukkan lesi upper motor neuron)

d) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi deficit

serebelum dengan melakukan tes dismetrik (tes

pergerakan jari-ke hidung, gerakan tumit ke tibia), tes

disdiadodkokinesia, tes keseimbangan (Romberg dan

Romberg modifikasi).

b. Pemeriksaan khusus

Terdapat 5 tanda non organic pada pasien dengan gejala nyeri

tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa

pasien dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami

hipokondriasis, hysteria, dan depresi.

Kelima tanda ini adalah:

1) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik

2) Gangguan sensorik atau motoric non anatomic

3) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)

4) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes /

pemeriksaan nyeri

5) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah)

saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda

(distraksi)

4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)

a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien

b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus

yang terkena

c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang

berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan atau

terapi obat.

d. Membantu menegakkan diagnose

e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien

dan respon terhadap terapi

f. Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono / poli neuropati,

radikulopati.

5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif

a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran

b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan


143
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)

d. Pemeriksaan sensasi persepsi

6. Pemeriksaan radiologi

a. Indikasi:

1) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degenerative

tulang belakang

2) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang

belakang, penyakit inflamatori dan penyakit vascular

3) Pasien dengan deficit neurologis motoric, kolon, kandung

kemih atau ereksi

4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang

5) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu

b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan

karakteristik nyeri

1) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang

( fraktur, ketidaksegarisan vertebra, spondilolitesis,

spondilolisis, neoplasma)

2) MRI: gold standar dalam mengevaluasi tulang belakang

( herniasi diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi

runag diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,infeksi)

3) Ct-scan: evaluasi trauma tulang belakang herniasi diskus,

stenosis spinal

4) Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi

perubahan metabolism tulang (mendeteksi osteomyelitis

dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal, keganasan

primer, metastasis tulang)

c. Asesmen psikologi

1) Nilai mood pasien apakah dalam kondisi cemas, ketakutan

dan depresi

2) Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan

3) Nilai adanya dukungan social, interaksi social

2) Farmakologi Obat Analgesik

1. Lidokain temple (lidocaine patch)

a. Berisi lidokain 5% (700 mg)

144
b. Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal

ntriumneuronal

c. Memberikan efek analgesic yang cukup baik ke jaringan local,

tanpa adanya efek anaestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga

tidak ada efek samping sistemik

d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia

pasca herpetic, neuropati diabetic, neuralgia pasca pembedahan),

nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis

e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya

lidokain

f. Dosis dan cara penggunaan: dap[at memekai hingga 3 patches di

area yang paling nyeri (kulit harus intak<, tidak boleh ada luka

terbuka), dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam.

2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)

a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%

b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak

dan pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor

superfisial, dan sebagai pre medikasi untuk anestesi infiltrasi.

c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal

natrium saraf sensorik

d. Onset kerjanya bergaantung pada jumlah krim yang diberikan.

Efek anestesi local pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan

ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kasa

dilepas

e. Kontraindikasi: methemoglob, iriemia idiopatik atau konginetal

f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal

pada kulit dan tutuplah dengan kasa oklusif

3. Parasetamol

a. Efek analgesic untuk nyeri ringan – sedang dan anti piretik. Dapat

dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesic

yang lebih besar.

b. Dosis 10mg/kg BB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk

dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.

4. Anti inflamasi non steroid (OAINS)

a. Menurunkan prostaglandin perifer dengan jalan menghambat

aktivitas cyclooksigenase. Menurunnya prostaglandin perifer ini


145
akan menurunkan respon inflamasi pada trauma pembedahan

sehingga menurunkan nosisefsi dan persepsi nyeri.

b. Mempunyai efek analgesic pada nyeri akut dan kronik dengan

intensitas ringan - sedang, antipiretik.

c. Kontraindikasi: pasien dengan triad Franklin (polip hidung,

angioedema dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi

anafilaktoid.

d. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi

renal, mengganggu agregasi platelet, dan aseptic meningitis.

5. Guidelines dosis OAID dengan penghambat spesifik COX-2

OAID / Cara Nyeri akut Nyeri akut Nyeri kronik

penghambat pemberian post operasi dismenorea, (RA, OA,

spesifik COX-2 myalgia, ankylosing

nyeri gigi spondylitis/

gout, dll
Aspirin Oral N/A 0.3-0.9 4-6 gr/hr

setiap 4-6

jam
Diklofenak Oral, 75-150 75-100

supositoria mg/hr mg/hr


Ibuprofen Oral 1.2-1.8 g/hr 1.2-1.8 g/hr
Ketoprofen IM
Dexketoprofen IM, IV
Naproxen Oral 500 mg 500-1000

loading dose, mg/hr

kemudian 1-2x/

250 mg/6-8 hari

jam
Ketorolac IM, IV 30-60mg

dosis bolus

tambahkan

15-30 mg/6

jam
Acetaminophe Oral 0.5-1 g/4-6

n jam
Celecoxib Oral 50-400 mg/ 2x200 mg/

hari hari
Refecoxib Oral 50 mg loading

dose
146
Parecoxib IM, IV 20-40 mg

sodium loading dose


Valdecoxib Oral 20-40 mg 20-40 10-20 g/hari

loading dose mg/hari

6. Efek analgesic dan antidepresan

a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan

serotonin sehingga meningkatkan efek neurotransmiter tersebut

dan m eningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif

b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasac

herpetic, cedera saraf perifer, nyeri sentral)

c. Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine,

despiramin: efek antinosiseptif perifer / dosis : 50-300 mg sekali

sehari

7. Anti konvulsan

a. Karbamazepim efektif untuk nyeri neuropati. Efek samping:

somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400-1800 mg/hari

(2-3 kali perhari), mulai dengan dosis kecil 2x100 mgh,

ditingkatkan hingga dosis efektif.

b. Gabapentin: merupakan obat pilihan utama dalam mengobati

nyeri neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan

baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).

8. Antagonis kanal natrium

a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca operasi

b. Lidokain: dosis 2mg/kg BB selama 20 menit, lain dilanjutkan

dengan 1-3 mg/kg BB/jam titrasi

c. Prokain: 4-6,5 mg/kg BB/hari

9. Antagonis kanal kalsium

a. Ziconotide: merupakan antagonis kanal kalsium yang paling

efektif sebagai analgesic. Dosis: 1-3µg/ hari. Efek samping:pusing,

mual nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek

samping ini bergantung dosis dan reversible jika dosis dikurangi

atau obat dihentikan.

b. Nimodipin, verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala

kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang

menggunakan eskalasi dosis morfin.

147
10. Tramadol

a. Merupakan analgesic yang lebih poten dari OAINS oral, dengan

efek samping yang lebih sedikit/ringan. Berefek sinergistik dengan

medikasi GAINS.

b. Indikasi: efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang

(nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawah, neuropati

DM, fibromyalgia, neuralgia pasca herpetic, nyeri pasca operasi.

c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.

d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan oral

e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg/hari. Dosis maksimal 400

mg dalam 24 jam

f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi,

terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat

toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko

tinggi jatuh.

g. Jadwal titrasi tramadol

Protocol Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasi

kan untuk
Titrasi 10 4x50 mg  2x 50 mg selama 3

hari selama 3 hari

hari  Naikkan menjadi

3x50 mg selama 3

hari

 lanjutkan dengan

4x50 mg

 Dapat dinaikkan

sampai tercapai

efek analgesic yang

diinginkan
Titrasi 16 4 x 25 mg  25 g selama 3 hari

hari selama 3  Naikkan menjadi 3

hari x 25 mg selama 3

hari

 Naikkan menjadi 4

x 25 mg selama 4

148
hari

 Naikkan menjadi 2

x 50 mg selama 3

hari

 Naikkan menjadi 4

x 50 mg

 dapat dinaikkan

sampai tercapai

efek analgesic yang

diinginkan

11. Opioid

a. Merupakan analgesic poten (tergantung dosis) dan efeknya dapat

ditiadakan oleh nalokson

b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, petidin, fentanyl,

sulfentanil

c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi

d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk

penatalaksanaan nyeri akut

e. Efek

1) Depresi pernafasan, dapat terjadi pada:

a) Overdosis: pemberian dosis besar, akumulasi akibat

pemberian secara infus, opioid long acting

b) Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepine, antihistamin,

antiemetic tertentu)

c) Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia,

uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan

intracranial

d) Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas

intermitten

e) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dipanatu dengan

menggunakan skors sedasi, yaitu:

 0 : sadar penuh

 1 : sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah

dibangunkan

149
 2 : sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,

mudah dibangunkan

 3 : sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan

 S : tidur normal

2) System Saraf Pusat

a) Euphoria, halusinasi, miosis, kekakuan otot

b) Pemakai MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan

koma

3) Toksisitas metabolit

a) Petidin (norpetidin) menimbulakn tremor, twitching,

mioklonus multifocal, kejang

b) Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk

penatalaksanaan nyeri pasca bedah

c) Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi

ginjal, terutama pada pasien usia >70 tahun

4) Efek kardiovaskular:

a) Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume

intravascular; serta level aktivitas simpatetik

b) Morfin menimbulkan vasodilatasi

c) Petidin menimbulkan takikardi

5) Gastrointestinal: mual, muntah. Terapi untuk mual dan

muntah: hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat,

hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan

pasien, obat antiemetic

Perbandingan Obat-obatan Anti emetic

Kategori Metoklopram Droperido Ondansetr Proklorperazi

id l, on n, fenotiazin

butirofeno

n
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis 8-24 6

rendah)

24 (dosis

tinggi)
Efek samping:

 Estrapiramid ++ ++ - +

150
al - +

 Anti- - + - +

kolinergik

 Sedasi + +
Dosis (Mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 Tiap H- Tiap 4-6 jam

jam 2jam
Jalur pemberian Oral, IV, IM IV, IM Oral, IV Oral, IM

f. Pemberian Oral:

1) Sama efektifnya dengan pemberian parenteral pada dosis yang

sesuai

2) Digunakan segera setelah pasien dpat mentoleransi medikasi

oral

g. Injeksi intramuscular

1) Merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan

2) Namun injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas

penyerapannya tidak dapat diandalkan

3) Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin

h. Injeksi subkutan

i. Injeksi Intravena

1) Pilihan parenteral utama setelah pembedahan major

2) Dpat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus menerus

(melaui Infus)

3) Terdapat risiko depresi pernafasan pada pemberian yang tidak

sesuai dosis

j. Injeksi supraspinal:

1) Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal

gray(PAG)

2) Mekanisme kerja: memblok reseptor nosiseptif di otak

3) Opioid intraserebroventikular digunakan sebagai pereda nyeri

pada pasien kanker

k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):

1) Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di

neuron kornu dorsalis spinal


2) Sangat efektif sebagai analgesic

3) Harus dipantau dengan ketat


151
l. Injeksi perifer:

1) Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer

menimbulkan efek anestesi local (pada konsentrasi tinggi)

2) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi

3) Manajemen Nyeri Intervensi

Menurut American Society of Interventional Pain Physicion (ASIIP),

manajemen nyeri intervensi (MNI) adalah disiplin kedokteran yang

ditujukan untuk diagnosis dan pengobtan gangguan nyeri yang terkait.

MNI menggunakan pendekatan multidisiplin dimana tim professional

perawatan kesehatan bekerjasama untuk menyediakan berbagai

perawatan dan layanan untuk pasien yang menderita sakit kronis dan

atau akut. Tujuan dari MNI adalah untuk meringankan, mengurangi

atau mengelola rasa sakit dan meningkatkan kualitas keseluruhan

hidup pasien melalui teknik minimal invasive yang dirancang khusus

untuk mendiagnosa dan mengobati kondisi menyakitkan. MNI juga

berusaha untuk membantu pasien kembali ke kegiatan sehari-hari

mereka dengan cepat dan tanpa ketergantungan pada obat-obatan.

Tindakan yang sering dilakukan pada manajemen nyri intervensi adalah

sebagai berikut:

 PCA/PCEA/ Continous intravenous analgesia

 Selektif blok saraf tepi

 Prosedur facet joint

 Stimulasi saraf tulang belakang

 Suntikan epidural

 Prosedur dengan radio frekuensi

 Cryoablasio

 Caudal Steroid Injection

 Discography

 Intradiscal Electrothermal Therapy

 Intrathecal Pump Implant

 Lumbar Epidural Steroid Injection

 Radiofrequency Rhizotomy (Lumbar Radiofrequncy Neurotomy)

 Lumbar Sympatetic Block

 Lumbar Transforaminal Epidural Steroid Injection

 Medial Branch Nerve Block


152
 Sacroiliac Joint Steroid Injection

 Spinal Cord Stimulator Implant

 Stellate ganglion Block

1. Secara umum pasien yang membutuhkaan pelayanan nyeri

intervensi bisa dikelompokkan kedalam 4 grup

a. Gangguan sendi degenerative perifer (degenerative peripheral

joint disorders)

1) OA pada lutut, hip, sendi acromioclavicular, patella-

femoral joint (PFJ), tibio-femoral joint (TFJ)

2) Gaangguan rematik inflamasi (Inflammatory

rheumatological disorders) RA, juvenile idiopathic

arthritis, crystal induced arthritis (CIA), inflammatory soft

tissue (plantar fascia, de Quervvain’s tenosynovial sheath

trigger finger), carpal tunnel syndrome (CTS)

3) Non infectious and non inflammatory soft tissue

rheumatism (STR). Idiopathic, endocrinopathy, OA pada

lutut, lesi soft tissue yang disebabkan karena trauma dan

overuse pada siku, de Quervan’s tenosynovial sheath,

plantar fascia, tendon bicipital dan pinggang bawah,

lumbat ligamentous sprain, frozen shoulder (adhesive

capsulitis), tennis elbow, compressive neuropathy, dan

plantar fasciitis, dll

4) Radicular and referred lower back pain (LBP)

Sumber terjadinya referred LBP adalah facet arthropathy,

lumbar sacralisasi membentuk pseudoarthritis dengan

sacrum, dan arthropati sacroiliaca

5) Radikuler LBP bisa dibagi dalam 2 kelompok,

dermatomal dan non dermatomal.

a. Dermatomal radiculopathy : lumbar spinal stenosis

yang disebabkan oleh penyakit diskus degenerasi,

PLID, spondylodiscitis, dan fraktur columna vertebfra

b. Non dermatomal radicular LBP : piriformis syndrome

2. Obat dan prosedur

Obat yang digunakan untuk manajemen nyeri intervensi

adalah derivative glukokortikoid (triamsinolon atau

methylprednisolone) dan suntikan local lidokain. Dosis steroid


153
berkisar 20-160 mg, dengan dosis maksimum 160 mg

diberikan dalam lumbal suntikan epidural interlaminari dan

minimum 20 mg dalam intralesi (IL) prosedur. Selama

intraartikular (I/A) injeksi, sendi-sendi besar, sendi menengah,

dan sendi kecil menerima 40-80 mg, 20-40 mg, dan 20 mg,

masing-masing. Seiring dengan suntikan steroid, 1% lidokain

digunakan dalam rasio 2:1

3. Manajemen nyeri akut

a. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu

b. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga

pemeriksaan penunjang.

c. Tentukan mekanisme nyeri;

1) Nyeri somatic:

a) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang

menyebabkan pelepasan zat kimia dari sel yang

cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui

nosiseptor kulit.

b) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik,

dan nyeri bersifat tajam, menusuk atau seperti

ditikam.

c) Contoh nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur dan

dislokasi.

2) Nyeri visceral:

a) Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic

sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri

yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul,

seperti ditekan benda berat.

b) Penyebab: iskemi, nekrosis, inflamasi, peregangan

ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga/

lumen

c) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual,

muntah, hipotensi, bradikardia dan berkeringat.

3) Nyeri neuropatik:

a) Berasal dari cedera jaringan saraf

154
b) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan,

alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia. Gejala

nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat

cedera ( sementar pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami

pada tempat cedera)

c) Biasnya dialami oleh pasien diabetes, multiple

sclerosis, herniasi didkus, AIDS, pasien yang

menjalani kemoterapi.

d. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya

1) Manajemen nyeri non farmakologi

a) Relaksasi

b) Distraksi

c) Hipnotis

d) Akupunktur

2) Manajemen nyeri farmakologi : gunakan step ladder

a) OAINS efektif untuk nyeri ringan, sedangkan opioid

efektif untuk nyeri sedang-berat

b) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah

(langkah 1 dan 2) dengan pemberian intermitten ( pro

renata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan

kebutuhan pasien.

c) Jika langkah 1 d1n 2 kurang efektif atau nyeri

menjadi sedang – berat, dapat ditingkatkan menjadi

langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesic

dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1 atau

lakukan pendekatan manajemen nyeri intervensi).

d) Penggunaan opioid harus dititrasi, opioid yang standar

adalah morfin, petidin dan fentanyl.

e) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS,

dapat diberikan opioid ringan

f) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan

pengurangan dosis secara bertahap

3) Modalitas analgesic

a) Intrvena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid

155
b) Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin,

anxiolytic, kortikosteroid, anestesi local, OAINS,

opioid, tramadol

c) Rektal (supositoria): paracetamol, aspirin, opioid,

fenotiazin

d) Topical : lidokain patch, EMLA

e) Subkutan: opioid, anestesi local, dll

e. Manajemen efek samping

1) Opioid

a) Mual dan muntah: antiemetic

b) Konstipasi: berikan stimulant buang air, hindari

laksatif yang mengandung serat karena dapat

menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut

c) Gatal: perimbangkan untuk mengganti opioid jenis

lain, dapat juga mengguriakan antihistamin

d) Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid

atau berikan benzodiazepine untuk mengatasi

mioklonus

e) Depresi pernafasan akibat opioid: berikan nalokson

(campur 0,4 mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga

total volume tercapai 10 ml). berikan 0,02 mg (0,5 ml)

bolus setiap menit hingga kecepatan pernafasan

meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi

opioid jangka panjang

2) OAINS

a) Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump

inhibitor)

b) Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan

untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek

terhadap agregasi platelet.

f. Manajemen nyeri intervensi

1) PCA (patient control analgesia)

2) PCEA (patient control epidural analgesia)

3) ILA (intratekal labour analgesia0

4) ELA (epidural labour analgesia)

5) WELA (walking epidural analgesia)


156
6) Blok epidural kaudal, limbal, thorakal dan servikal

7) Aplikasi musculoskeletal, spine dan joint injeksi

8) Blok saraf perifer intermitten atau continuous


Severe
Pain
Pain
Score

Moderate
Pain STRONG OPIOIDS ±
Pain adjuvant
Manajemen nyeri
Score 5-6 intervensi : MADERATE
TO Severe pain.
Mild Pain
Pain
Score ≤ 4
OAINS NON-
OPIOIDS WEAK OPIOIDS for
Regular PRN mild to moderate pain
Paracetamol NSAIDS
(if
no
t
pr
es
cri
Step 1 be Step 2
d
Step 3
re
Follow-up /gu asesmen ulang
lar
y)
a. Asesmen eg ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur
.
b. Panduan Lo umum:
w

i. Pemberian parenteral: 30 menit


do
ii. Pemberian
se
ib
oral: 60 menit
up
iii. Intervensi
ro non-farmakologi: 30-60 menit
fe
n
g. Follow up/asesmen ulang

1)
int Aasesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang
ali
ty
teratur

2) Panduan umum :

- Pemberian parenteral: 30 menit

- Pemberian oral : 60 menit

- Intervensi non farmakologi: 30-60 menit

h. Pencegahan

Edukasi pasien :

1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien,

serta tatalaksananya
2) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan

manfaatnya untuk pasien

157
i. Berikut adalah algoritme assesmen dan manajemen nyeri

akut

j. Algoritme assesmen nyeri akut

Pasien mengeluh nyeri

Anamnesis dan pemeriksaan


fisik

Asesmen
nyeri

Apakah etiologi ya Prioritas utama : identifikasi


nyeri bersifat dan atasi etiologi nyeri
reversibel

Apakah nyeri Lihat manajemen nyeri


ya
berlangsung >6 minggu kronik
Konsul ke team unit nyeri

Tentukan mekanisme nyeri


(pasien dapat mengalami >jenis
nyeri)

Nyeri visceral : Nyeri somatic: Nyeri neuropatik:


Difus, nyeri tumpul, Bersifat tajam, Bersifat menjalar,
seperti ditekan menusuk, terlokalisir, rasa terbakar,
benda berat seperti ditikam kesemutan, tidak
spesifik
Nyeri visceral : Nyeri somatic: Nyeri neuropatik:
Steroid Parasetamol Bersifat menjalar,
OAINS Cold packs rasa terbakar,
Opioid OAINS kesemutan, tidak
Opioid spesifik
Anestesi topikal

Pilih alternative
terapi yang lain Edukasi pasien
Manajemen non farmakologi
Tida Manajemen farmakologi
k Manajemen intervensi ke team unit
Konsul tim unit Nyeri > 6
nyeri minggu? nyeri
Ya Konsultasi untuk atasi etiologi jika
ya
Kembali ke Mekanisme Analgesic adekuat
kotak ketentuan nyeri sesuai ?
mekanisme nyeri ya
Tidak

Manajemen Efek samping


efek samping pengobatan
ya
Tida
k
Tida
k 158
Follow up

4. Manajemen nyeri kronik

a. Lakukan asesmen nyeri:

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat

manajemen nyeri sebelumnya)

2) Pemeriksaan penunjang: radiologi

3) Asesmen fungsional:

a) Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan /

disabilitas

b) Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien

c) Nilai efektivitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan

4) Tentukan mekanisme nyeri:

Manajemen bergantung pada jenis/klasifikasi nyerinya. Pasien sering

mengalami >1 jenis nyeri. Terbagi menjadi 4 jenis:

a) Nyeri neuropatik

Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi system somatosensorik. Contoh

neuropaty DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpetic

Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri

sesuai dengan persarafannya, baal, kesemutan dan alodinia.

Fibromyalgia: gatal, kaku dan nyeri yang difus pada musculoskeletal

(bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan

b) Nyeri otot

Nyeri otot tersering adalah nyeri miofasial mengenai otot leher, bahu,

lengan, punggung bawah, panggul dan ekstremitas bawah.nyeri

dirasakan akibat disfungsi pada satu atau lebih jenis ototy, berakibat

kelemahan, keterbatasan gerak. Biasanya muncul akibat aktivitas

pekerjaan yang repetitive. Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot

dengan fisioterapi. Identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat

(postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan)

c) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif)

Contoh : arthritis,infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca operasi

159
 Karakteristik: pembengkakan, kemerahan,

panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat

cedera/luka

 Tatalaksana: manajemen proses inflamasi

dengan antibiotic/antirematic, OAINS,

kortikosteroid.

d) Nyeri mekanis/kompresi;

Merupakan nyeri nosiseptif, diperberat dengan aktivitas dan nyeri

berkurang dengan istirahat. Contoh nyeri punggung dan leher (berkaitan

dengan strain/sprain ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis

dengan fraktur kompresi, fraktur.

Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi

e) Nyeri kronik:

Nyeri yang persisiten/berlangsung >6 minggu

5) Asesmen lainnya:

Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri

(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat

penganiayaan secara seksual/fisik, verbal, gangguan tidur.

6) Masalah pekerjaan dan disabilitas

a) Faktor yang mempengaruhi:

1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk

2) Penyakit lain yang memperburuk/memicu nyeri kronik pasien

b) Hambatan terhadap tatalaksana:

1) Hambatan komunikasi/bahasa

2) Faktor financial

3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas

kesehatan

4) Kepatuhan pasien yang buruk

5) Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman

b. Manajemen nyeri kronik

1) Prinsip level 1

a) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komperehensif (buat

tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen

stress, kurangi nyeri)

b) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk

meningkatkan fungsi
160
c) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan prilaku kognitif

dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan

meningkatkan fungsi

 Beritahukan pada pasien bahwa nyeri kronik adalah

masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering

termasuk manajemen stress, latihan fisik, terpi relaksasi

dan sebagainya.

 Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen

nyerinya

 Ajaklah pasien untuk berpartisispasi aktif dalam

manajemen nyeri

 Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol

 Jadwalkan kontrol pasien secara rutin jangan biarkan

penjadwalan untuk kontrol dipengaruhi oleh peningakatan

level nyeri pasien

 Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan

kepada pasien

 Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap

 Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri

d) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan

pasien)

2) Manajemen level 1 : menggunakan pendekatan standar dalam

penatalaksanaan nyeri kronik termasuk non farmakologi, farmakologi

dan intervensi dengan atau tanpa pelengkap / tambahan

a) Nyeri neuropati

 Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri : kontrol

gula darah pada pasien DM, pembedahan, kemoterapi,

radioterapi untuk pasien tumor dengan kompresi saraf,

kontrol infeksi (antibiotic)

 Terapi simptomatik:

 Antidepresan trisiklik (amitriptilin)

 Antikonvulsan (gabapentin, karbamazepin)

 Obat topical (lidocain patch 5% krim anestesi)

 OAINS, kortikosteroid, opioid (fentanyl patch)

 Manajemen nyeri intervensi

161
 Analgesi regional: blok simpati, blok epidural

intratekal, infus epidural/ intra tekal

 Prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan

radiofrekuensi, dll

 Terapi lainnya ; hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi

tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku

kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman

karena nyeri kronis)

 Terapi berbasis stimulai akupuntue stimulasi spinal,

pijat

 Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu,

latihan mobilisasi, metode ergonomic

b) Nyeri otot

 Lakukan skrining terhadap patologi medis yang sering,

faktor psikososial yang dapat menghambat pemulihan

 Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari

latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap

 Rehabilitasi fisik:

 Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular,

fleksisbilitas, keseimbangan

 Mekanik

 Pijat, terapi akuatik

 Manajemen prilaku

 Stress / depresi

 Teknik relaksasi

 Perilaku kognitif

 Ketergantungan obat

 Manajemen amarah

 Terapi obat

 Analgesic dan sedasi

 Anti depresan

 Opioid jarang dibutuhkan

 Nyeri inflamasi

 Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya

 Obat anti inflamasi utamanya OAINS, kortikosteroid

 Nyeri mekanis / kompresi


162
 Penyebab yang sering: tumor, kista yang

menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitive

dengan nyeri, dislokasi dan fraktur

 Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan

atau stabilisasi, bidai dan lat bantu

 Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat

digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain

diaplikasikan

3) Manajemen level 1 lainnya

a) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri non

neuropatik

b) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aaplikasi terapi

opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non kanker

c) Manajemen nyeri intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator

spinal, infus intratekal, injeksi intra sendi, injeksi epidural

d) Terapi pelengkap/tambahan akupunktur, herbal

Skor DIRE (diagnosis, intractability, risk, efficacy)

Skor Faktor Penjelasan


Diagnosis 1=kondisi kronik ringan dengan

temuan objektif minimal atau tidak

adanya diagnosis medis yang pasti,

misalnya : fibromyalgia, migraine,

nyeri punggung tidak spesifik

2=kondisi progresif perlahan dengan

nyeri sedang atau kondisi nyeri

sedang menetap dengan temuan

objektif medium. Misalnya nyeri

punggun g dengan perubahab

degenerative medium, nyeri

neuropatik

3= kondisi lanjut dengan nyeri berat

dan temuan objektif nyata. Misalnya

penyakit iskemik vascular berat,

neuropati lanjut, stenosis spinal berat


Intractability 1=pemberian terapi minimal dan

(keterlibatan) pasien terlibat secara minimal dalam

163
manajemen nyeri

2=beberapa terapi telah dilakukan

tetapi pasien tidak terlibat

sepenuhnya dalam manajemen nyeri

atau terdapat hambatan (finansial,

transportasi, penyakit medis)

3=pasien terlibat sepenuhnya dalam

manajemen nyeri tetapi respon terapi

tidak adekuat
Risiko (R) R=jumlah skor P+K+R+D
Psikologi 1=disfungsi kepribadian yang berat

atau gangguan jiwa yang

mempengaruhi terapi, misalnya

gangguan kepribadian, gangguan afek

berat

2=gangguan jiwa / kepribadian

medium/sedang, misalnya depresi,

gangguan, cemas

3=komunikasi baik, tidak ada

disfungsi kepribadian atau gangguan

jiwa yang signifikan


Kesehatan 1=penggunaan obat akhir-akhir ini,

alcohol berlebihan, penyalahgunaan

obat

2=medikasi untuk mengatasi stress,

atau riwayat remisi psikofarmaka

3=tidak ada riwayat penggunaan obat-

obatan
Reliabilitas 1=banyak masalah:penyalahgunaan

obat, bolos kerja / jadwal kontrol,

komplians buruk

2=terkadang mengalami kesulitan

dalam komplians, tetapi secara

keseluruhan dapat diandalkan

3=sangat dapat diandalkan (medikasi,

jadwal kontrol dan terapi)


Dukungan sosial 1=hidup kacau, dukungan keluarga

164
minimal, sedikit teman dekat,

kehilangan peran dalam kehidupan

normal

2=kurangnya hubungan dengan oral

dan kurang berperan dalam social

3=keluarga mendudkung, hubungan

dekat, terlibat dalam kerja/sekolah,

tidak ada isolasi sosial


Efikasi 1=fungsi buruk atau pengurangan

nyeri minimal meski dengan dosis

obat sedang-tinggi penggunaan

2=fungsi meningkat tetapi kurang

efisien (tidak menggunakan opioid

dosis sedang-tinggi)

3=perbaikan nyeri signifikan, fungsi

dan kualitas hidup tercapai dengan

dosis yang stabil


Skor total =D+I+R+E

Keterangan:

Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

4) Manajemen level 2

a) Meliputi rujukan ke tim unit nyeri dan atau multidisiplin dalam

manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai

ganti stimulator spinal atau infus intra tekal)

b) Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif

/manajemen level 1

c) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada

perbaikan dengan manajemen nyeri level 1

Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:

Algoritma Asesmen Nyeri Kronik

Asesmen
Pasien mengeluh
Nyeri inflamasi
lainnya
nyeri  Arthropati
 Masalah
Nyeri neuropatik inflamasi Nyeri mekanis / kompresi
pekerjaan dan
Perifer(sindrom nyeri (rheumatoid  Nyeri punggung bawah
disabilitas
regional kompleks, Asesmen arthritis)
nyeri  Nyeri leher
 Asesmen
neuropaty HIV, gangguan  Infeksi
Anamnesis
psikologi 165
 Nyeri musculoskeletal
dan
metabolic)  Nyeri
Pemeriksaan
spiritual pasca (bahu, siku)
Nyeri otot /
Sentral (Parkinson, multiple fisik operasi  Nyeri visceral
musculoskeletal  Faktor
Apakah etiologi yang Atasi etiologi nyeri
sclerosis, meilopati,nyeri Apakah  Cedera jaringan
nyeri
Pemeriksaan Pantau dan
Tentukan
nyeri miofasial  mekanisme
mempengaruhi
dapat dikoreksi nyeri sesuai indikasi
pasca stroke, sindrom kronik?
danfungsi
hambatan observasi
/diatasi
Prinsip level I
 Buatlah rencana dan tetapkan tujuan
 Rehabilitasi fisikm dengan tujuan fungsional
 Manajemen psikososial dengan tujuan
fungsional

Manajemen level Manajemen level manajemen level I manajemen level I


I I nyeri inflamasi nyeri
Nyeri neuropatik Nyeri otot-tulang mekanis/kompresi
/
intervensi

tambahan
Farmakol

Manajem

Pelengka
Prinsip level
1 lainnya

ogi

en

5) MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK


Layanan primer untuk
a) Prevalensi nyerimengukur
yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala
pencapaian
tujuan dan meninjau
kronik, trauma, sakit perut,
ulang dan faktor psikologi
rencana
perawatan
b) System nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang

berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat


Tujuan terpenuhi? Telah melakukan Manajemen level
c) Neonatus
 Fungsi lebih sensitive manajemen
terhadap stimulus
level nyeri
2
 Kenyamanan 1 dengan adekuat? Rujuk ke tim
d) Pemberian analgesic:
 hambatan interdisiplin
(1) “by the ladder”: pemberian analgesic secar bertahap sesuai

denga level nyeri anak (ringan, sedang, berat)


Rencana 166
perawatan
selanjutnya oleh
Asesmen hasil
(a) Awalnya berikan analgesic ringan-sedang (level 1)

(b) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesic level 1,

naiklah nke level 2 (pemberian analgesic yang lebih poten)

(c) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian

parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesic adjuvant

(d) Analgesic adjuvant

 Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk

nyeri tetapi dapt berefek analgesic dalam kondisi tertentu

 Pada anak dengan nyeri neuropatik dapat diberikan

analgesic adjuvant sebagai level 1

 Analgesic adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk

mengatasi nyeri neuropatik. Kategori;

- Anlgesik multi-tujuan: antidepresan, agonis sdrenergik

alfa 2, kortikosteroid, anestesi topical

- Analgesic untuk nyeri neuropatik : antidepresan,

antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal

- Analgesic untuk nyeri musculoskeletal : relaksan otot,

benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.

(2) “by the lock”: mengacu pada waktu pemberian analgesic

Pemberian harusla teratur, misalnya setiap 4-6 jam

(disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan

nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri

pasien benar-benar intermitten dan tidak dapat diprediksi.

(3) “by the child”: mengacu pada pemberian analgesic yang sesuai

dengan kondisi masing-masing individu.

(a) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur

(b) Sesuaikan dosis analgesic jika perlu

(4) “by the mouth”: mengacu pada jalur pemberian oral.

(a) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana,

tidak invasive, dan efektive, biasanya per oral

(b) Karena pasien tajut denga jarum suntik, pasien dapat

menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri, atau tidak

memerlukan pengobatan

(c) Untuk mendapatkan efek analgesic yang tepat dan

langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur

yang paling efisien.


167
(d) Opioid kurang poten jika diberikan peroral

(e) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular

karena nyeri dan absorpsi obat tidak dapat diandalkan

(f) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan

IM< IV dan subcutan intermiten, yaitu tidak nyeri,

mencegah terjadi penundaan / keterlambatan pemberian

obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak

(g) Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian peroral dan opioid

parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang

memuaskan, adanya muntah hebat, (tidak dapat

memberikan obat per oral)

(5) Analgesic dan anastesi regional: epidural atau spinal

(a) Sangat berguna untuk anak denga nyeri kanker stadium

lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif

(b) Harus dipantau dengan baik

(c) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan

obat-obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan

akurat mengenai tanda vital / skor nyeri

(6) Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multiple,

dapat melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik

(a) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh

(b) Pemeriksaan penunjang yang sesuai

(c) Evaluasi faktor yang mempengaruhi

(d) Program terapi; kombinasi terapi obat dan non obat

(kognitif, fisik dan perilaku)

(e) Lakukan pendekatan multidisiplin

Berikut adalah label obat-obatan non opioid yang sering digunakan

untuk anak:

Obat-obatan non-opioid

Obat Dosis Keterangan


Parasetamol 10-15 mg/kg BB oral, Efek antiinflamasi kecil, efek

setiap 4-6 jam gastrointestinal dan hematologi

minimal
Ibuprofen 5-10 mg/kg BB oral, Efek antiinflamasi, hati-hati

setiap 6-8 jam pada pasien dengan gangguan

hepar / renal, riwayat

168
perdarahan gastrointestinal

atau hipertensi
Naproksen 10-20mg/kg BB/hari, Efek antiinflamasi, hati-hati

oral, terbagi dalam 2 dosis pada pasien dengan disfungsi

renal, dosis maksimal 1gr/hari


Diklofenak 1mg/kg BB oral, setiap 8- Efek antiinflamasi. Efek

12 jam samping sama dengan

ibuprofen dan naproksen.

Dosis maksimal 50 mg/hari

e) Panduan penggunaan opioid pada anak:

(1) Pilih rute yang paling sesuai, untuk pemberian jangka panjang

pilihlah jalur oral

(2) Pada pemberian infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja

singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam

kontinu prm

(3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam,

naikkan dosis infus IV per jam kontinu sejumlah : total dosis

opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternative

lainnya adlah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%

(4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya

(5) Jika efek analgesic tidak adekuat dan tidak ada toksisitas,

tingkatkan dosis sebesar 50%

(6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien

yang menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan tapering-off

(untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50%

selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika

dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/kg BB/hari),

opioid dapat dihentikan.

(7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena

dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks,

dan kejang

f) Terpi alternative/ tambahan

(1) Konseling

(2) Manipulasi shiropractic

169
(3) Herbal

(4) Terapi non obat

(a) Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat

dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non

obat u ntuk anak

(b) Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal

lain seperti music, cahaya, warna, mainan, permen,

computer, permainan, film, dsb.

(c) Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang

dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang

dapat menurunkan nyeri.

(d) Terapi relaksasi: dapat berupa mengepal dan mengendurkan

jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik nafas

dalam.

Terapi non obat

Kognitif Perilaku Fisik


 Informasi  latihan  pijat

 Pilihan dan  terapi  fisioterapi

kontrol relaksasi  stimulasi termal

 Hypnosis  umpan balik  stimulasi sensorik

 Psikoterapi positif  akupuntur

 informasi  modifikasi  THNS (transciitcineous

gaya hidup electrical nerve

stimulation)

g) Algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatric

Asessmen nyeri pada anak

 Nilai karakteristik nyeri


 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme
nosiseptif dan neuropatik, kajilah faktor yang
mempengaruhi nyeri pada anak

Diagnosis penyebab primer dan sekunder


 Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini
 Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
 Pikirkan faktor emosional, kognitif dan perilaku

170
Pilih terapi yang sesuai

Obat Non Obat


 Analgesik  kognitif
 Analgesik  fisik
adjuvant  perilaku
 anestesi

Implementasi rencana manajemen nyeri


 Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang
mempengaruhi nyeri kepada orang tua dan anak
 Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
 Evaluasi efektivitas rencana mnajemen nyeri
 Revisi rencana jika diperlukan

6) MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)

a) Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia

≥ 65 tahun

b) Pada lansia prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali

lipatnya dibandingkan dewasa muda

c) Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah

arthritis, kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpetic,

reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative

d) Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama/penyangga

tubuh, punggung, tungkai bawah dan kaki

e) Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:

(1) Kurangnya pelatihan untuk dokjter mengenai manajemen nyeri

pada geriatric

(2) Asesmen nyeri yang tidak adekuat

(3) Keengganan dokter untuk meresepkan opioid

f) Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat

diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale seperti di

bawah ini

Functional Pain Scale

Skala Keterangan

nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit
171
terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat

menggunakan telepon, menonton TV, atau

membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat mengunakan

telepon, menonton TV, atau membaca)


5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara

karena nyeri)
(skor normal/yang diinginkan: 0-2)

g) Manajemen non farmakologi

(1) Terapi termal: pemberian perbandingan atau pemanasan di

area nosiseptif untuk menginduksi pelepasan opioid endogen

(2) Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan

akupuntur

(3) Blok saraf dan rafliasi area tumor

(4) Intervensi medis pelengkap/tambahan atau alternatif : terapi

relaksasi, umpan balik positif, hypnosis

(5) Fisioterapi dan terapi okupasi

h) Manajemen farmakologi (tekanan pada keamanan pasien)

(1) Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan

trisikliik, amitriptilin, ansiolitik

(2) Opioid:

(a) Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut

(jangka pendek)

(b) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent

untuk mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol)

(c) Berikan opioid jangka pendek

(d) Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesic yang

lebih baik daripada pemberian intermiten

(e) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan

(f) Jika efek analgesic masih kurang adekuat, dapat menaikkan

opioid sebesar 50-100% dari dosis semula

i) Analgesic adjuvant

(1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan

resolusi nyeri

(2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin,fenitoin, gabapentin,

tramadol, mexiletin: efektif untuk nyeri neuropatik


172
(3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal. Gabapentin:

neuralgia pasca herpetic 1-3x 100/mg sehari dan dapat

ditingkatkan menjadi 300 mg/hari

(4) Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insiden

perdarahan gastrointestinal meningkat hamper dua kali lipat

pada pasien >65 tahun

(5) Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan,

termasuk absorpsi, distribusi, metabolism dan eleminasi

(6) Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis

analgesic. Absorbs sering tidak teratur karena adanya

penundaan waktu transit atau sindrom mal absorbs

(7) Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia

(8) Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh

yang lebih singkat

(9) Lakukan monitoring ketat jika meningkatkan ayau mengubah

dosis pengobatan

(10) Efek samping penggunaan opioid yang paling sering

dialami : konstipasi

(11) Penyebab tersering munculnya efek samping obat:

polifarmasi (missal pasien mengkonsumsi analgesic,

antidepresan dan sedasi secara rutin harian)

(12) Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis

rendah, lalu naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang

diinginkan

j) Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:

(1) Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat

mengarah ke depresi karena pasien frustasi dengan

ketebatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan

fungsional

(2) Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat

menurunkan imunitas tubuh

(3) Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab

munculnya agitasi dan gelisah

(4) Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih

banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan

delirium.
173
k) Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunkan (dihindari) pada

lansia:

(1) OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang

panjang dan efek samping gastrointestinal besar)

(2) Opioid: pentazocin, butorphanol (merupakan campuran

antagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek

psikotomimetik pada lansia): metadon, levorphanol (waktu

paruh panjang)

(3) Propoxyphene:neurotoxik

(4) Antidepresan: tertiary amine tricyclic (efek samping

antikolinergik)

(5) Semua pasien yang mengkonsumsi opioid sebelumnya harus

diberikan kombinasi preparat senna dan obat pencahar feses

(bulking agent)

l) Pemilihan analgesic: menggunalasis 3 step ladder WHO 9sama

dengan manajemen pada nyeri akut)

(1) Nyeri ringan-sedang : analgesic non opioid

(2) Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan

OAINS dan analgesic adjuvant

(3) Nyeri berat: opioid poten ± adjuvant dan manajemen nyeri

intervensi

m) Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesic ini adalah

penyesuaian dosis dan hati-hati dalam memberikan obat

kombinasi

M. PELAYANAN PASIEN TERMINAL

Pelayanan pasien tahap terminal merupakan hal berbeda dengan

pelayanan pasien pada umumnya,baik dari segi tata laksana,

pengobatan maupun asuhan yang diberikan.pengobatan yang diberikan

tidak dapat menghilangkan penyebab,namun hanya memberikan rasa

nyaman,gejala-gejala yang diberikan lebih minimal,sehinggasehingga

siap untuk menghadapi tahap akhir kehidupan.

Asuhan yang diberikan perawat bersifat khusus karena pasien

tahap terminal memiliki kebutuhan yang khusus pula,yang mana

kerjasama dan dukungan dari keluarga turut mempengaruhi

keberhasilan pelayanan.Banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan


174
pelayanan pasien tahap terminal,untuk itu pengkajian sesaat pasien

dating sangatlah penting,dengan menggali informasi klinik yang lengkap

meliputi :

1. Anamnesi dan atau alloanamnesis yang lengkap. Informasi yang

digali adalah keluhan kesehatan sekarang, dahulu dan riwayat

penyakit yang ada pada keluarga. Alloanamnesis dilakukan pada

keluarga terdekat yang serumah dengan pasien.

2. Pemeriksaan fisik secara lengkap dari kepala sampai kaki untuk

mengidentifikasikan kelainan –kelainan yang ada, terutama pada

organ organ vital, yang jika tidak segera dilakukan penanganan

segera akan berakibat fatal.

3. Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang di peroleh dari hasil

anamnesa dn pemeriksaan fisik lengkap.

Dari hasil pemeriksaan diatas dokter dan perawat mampu

mengidentifikasi masalah masalah kesehatan yang ada dan rencana

asuhan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.

Ada beberapa factor yang harus dikaji oleh dokter dan perawat untuk

dapat memberikan pelayanan yang bermutu pada pasien dengan kondisi

terminal yaitu:

a. Factor fisik

Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain: perubahan pada

pengelihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eleminasi dan tanda vital

serta nyeri. Pasien mungkin mengalami berbagai gejala fisik selama

berbulan bulan sebelum terjadi kematian, sehingga perawat harus

cepat mengatasinya dan memberikan kenyamanan pada pasien.

b. Faktor psikologis

Perubahan psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal.

Perawat harus bias mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien

terminal, ekspresi wajah apakah sedih, depresi atau marah.

c. Faktor Sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi

terminal, karena saat ini pasien cenderung menarik diri,muda

tersinggung,tidak ingin berkomunikasi dan sering bertanya tentang

kondisi penyakitnya.

d. Factor Spiritual

175
Sejalan dengan memburuknya kondisi pasien perawat membuat

diagnose yang relevan dengan kebutuhan dasar seperti perubahan

rasa nyaman, eleminasi, pernafasan tidak efektif dan perubahan

sensori.

Gejala dan Tanda


Berikut beberapa gejala yang dialami pasien tahap terminal disertai cara
memberikan kenyamanan sebagai satu rangkaian pelayanan pada pasien kondisi terminal
GEJALA CARA MEMBERIKAN KENYAMANAN
Penurunan Keadaan awal yang harus di waspadai

kesadaran dan segera menghubugi dokter untuk

(ngantuk) menanyakan instruksi


Menjadi tidak Banyak pasien masih bias mendengar

responsive setelah mereka tidak lagi dapat berbicara

sehingga perawatharus berbicara seolah-

olah pasien dapat mendengar


Hilangnya nafsu Biarkan pasien memilih apa dan kapan

makanpenurunan harus makan atau minum.Sediaan es, air

kebutuhan atau jusdapat menyegarkanjika pasien

pangan dan masih dapat menelan. Jaga mulut pasien


cairan agar tetap lembabdengan produk

sepertiswab gliserin atau ilp balm


Kebingungan Bicaralah dengan tenang untuk

tentang waktu membantu mengembalikan

tempat dan orang orientasipasien.Perlahan mengingatkan

terkasih pasien tentang tanggal, waktu dan orang

yang bersama mereka


Kehilangan Jaga agar pasien bersih ,kering dn

control kandung senyaman mungkin, Pasian dapat

kemih atau usus menggunakan kateter atau popok


Akral dingin Hangatkan pasien dengan menggunakan

selimuttapi hindari selimut listrikatau

alat pemanas yang dapat menyebabkan

luka bakar
Rasa nyeri Identifikasi nyeri dan tentukan skala

meningkat atau nyerinya, segera hubungi dokter yang

tidak berkurang merawat untuk segera memberi instruksi

dengan untuk mengurangi rasa nyeri

pemberian terapi

176
sebelumnya
Nafas sesak tidak Pernafasan mungkin lebih mudahjika

teratur, dangkal tubuh pasien di baringkan kesamping

atau bising nafas dan bantal di letakkandibawah kepala

dan di belakang punggung

Beberapa perubahan fisik saat kematian telah mendekat:

1. Pasien kurang responsif

2. Fungsi tubuh melambat

3. Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja

BAB IV

DOKUMENTASI

A. PELAYANAN YANG SERAGAN

177
Semua pemberian asuhan yang seragam, pelaksanaan dan evaluasi asuhan

keperawatan/ pengobatan terdokumentasi dalam Form :

1. Pengkajian Awal medis

2. Pengkajian Awal Perawat

3. Pengkajian Rawat Inap Medis

4. Pengkajian Rawat Inap Perawat

5. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

B. ASUHAN TERINTEGRASI

Bukti pelayanan yang diterima oleh pasien dikoordinasikan dan

diintegrasikan terdokumentasi dalam formulir sebagai berikut :

1. Form Pengkajian Awal Medis dan Keperawatan Rawat Jalan

2. Pengkajian Tahap Terminal

3. Pengkajian Medis dan Keperawatan Obstetri Rawat Jalan

4. Pengkajian Medis dan Keperawatan Obstetri Gawat Darurat

5. Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

C. RENCANA ASUHAN

Semua Rencana asuhan, pelaksanaan dan evaluasi asuhan keperawatan/

pengobatan terdokumentasi dalam Form :

1. Pengkajian Awal medis

2. Pengkajian Awal Perawat

3. Pengkajian Rawat Inap Medis

4. Pengkajian Rawat Inap Perawat

5. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

6. Pengkajian Asuhan Gizi

7. Monitoring dan Evaluasi Asupan Gizi

8. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

9. Assesment Gawat Darurat

D. PASIEN RESIKO TINGGI DAN PELAYANAN RESIKO TINGGI

Untuk semua pasien dengan risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi,

dokumentasi asuhan medis dan keperawatan yang telah diberikan

terdokumentasi dalam formulir dibawah ini meliputi :

1. Pengkajian Awal medis dan keperawatan gawat darurat

2. Triage

3. Pengkajian Keperawatan Intensif


178
4. Kriteria masuk Intensif (NICU, ICU, Padma)

5. Kriteria keluar Intensif (NICU, ICU, Padma)

6. Pengkajian Medis dan Keperawatan Ilmu Kes. Anak

7. Pengkajian Keperawatan pasien Immunocompromise Rawat Inap

8. Pengkajian Tahap Terminal

9. Form Pengkajian keperawatan Rawat Inap

10. Form Observasi 24 jam Intensif

11. Permintaan Darah

12. Monitoring Pemberian Darah dan Produk Darah

13. Persetujuan Pemberian Transfusi Darah

14. Pengkajian Awal Pasien Dialisis

15. Pengkajian Ulang Pasien Dialisis

16. Asuhan Keperawatan dan Observasi pasien Hemodialisis

17. Resume Tindakan Hemodialisis

18. Form Monitoring Restrain

19. Monitoring pemberian trombolitik

20. Implementasi Keperawatan

21. Intervensi dan Pengkajian Ulang Nyeri

22. Persetujuan Tindakan Kedokteran dan Terapi Berisiko Tinggi

E. PELAYANAN RESUSITASI

Tindakan resusitasi yang telah dilaksanakan oleh Tim Reaksi cepat Blue

code di dokumentasikan pada form Catatan Perkembangan Terintegrasi

oleh dokter anastesi (TRCBC).

F. PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH

Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan transfusi darah untuk penyembuhan

ataupun pemulihan pasien nya.Namun demikian ,tidak selamanya

pemberian transfusi darah untuk penyembuhan atau pemulihan

pasien.Namun demikian ,tidak selamanya pemberian transfusi darah

dirumah sakit aman dan dapat menyelamatkan pasien karena ada

beberapa faktor dalam pemberian transfusi darah yang dapat merugikan

pasien diantaranya:adanya kelalaian dari tenaga kesehatan sebelum

ataupun pada saat memberikan transfusi darah,dan tidak tersedianya

peralatan medis maupun non medik untuk menyimpan maupun

mendistribusikan darah,sehingga darah telah rusak sebelum transfusi

179
Dari penjelasan diatas maka sangat perlu pendokumentasian dalam

memberi pelayanan darah,dari pemberian inform consen, monitoring dalam

pemberian transfusi darah.

G. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU NAPAS DAN KOMA

Pada pasien –pasien yang menggunakan alat bantu nafas

didokumentasikan pada rekam medis pasien meliputi:

1. Formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi

2. Formulir persetujuan tindakan kedokteran berisiko tinggi

3. Formulir catatan kebutuhan edukasi

4. Formulir informasi dan edukasi terintegrasi

5. Formulir monitoring 24 jam perawatan intensif

H. PELAYANAN PASIEN PENYAKIT MENULAR DAN IMUNOCOMPREMISE

Semua asuhan medis dan perawatan yang telah dilakukan pada pasien

dengan penyakit menular di dokumentasikan pada:

1. Pengkajian Keperawatan Pasien Isolasi dan Penyakit Menular

2. Pengkajian Medis Rawat Inap Penyakit Dalam

3. Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

4. Form Catatan Informasi dan Edukasi Terintegrasi.

3. Formulir Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

4. Formulir Catatan Informasi dan Edukasi terintegrasi

I. PELAYANAN HEMODIALISA

1. Lembar observasi pasien HD

J. PELAYANAN RESTRAINT

1. Skrining Pasien Restraint di Formulir Asesmen Medis IGD

2. Observasi Pasien Retsraint

3. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

K. PELAYANAN KHUSUS

Pencatatan terhadap perlindungan pasien dari kekerasan fisik

didokumentasikan/dicatat pada tamu/pengunjung rumah sakit di luar jam

berkunjung, catatan patroli petugas keamanan da ketertiban lingkungan

dan catatan pemantauan CCTV

L. PELAYANAN PASIEN TERMINAL

180
Semua rangkaian pelayanan pada pasien tahap terminal dilakukan secara

terkoordinasi dan terintegrasi dalam suatu rekam medis agar asuhan yang

diterima oleh pasien terencana dengan baik,sehingga pelayanan yang

diberikan dapat secara optimal dan sesuai dengan kebutuhan asuhan

pasien.

181

Anda mungkin juga menyukai