erdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum adalah
faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal,
faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
Fourth Edition (Text Revision). Washington, DC : American Psychiatric Assosiation (APA).
Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III. Jakarta :
Gramedia.
As’ari, Y. 2005. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kestabilan Emosi Dalam
Menghadapi Kelahiran Anak Pertama. Skripsi. (tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Erikania, J. 1999. Mengenal Post Partum Blues. Nakita. 8 Mei 199. No. 05/1. Halaman 6. Jakarta
: PT Kinasih Satya Sejati.
Kaplan, H. I dan Sadock, B. J. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
Kartono, K. 1992. Psikologi Wanita : Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Jilid Dua.
Bandung : Mandar Maju.
Ling, F. W, dan Duff, P. 2001. Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw – Hill
Companies.
Malonda, B. F. 1999. Sosial – Budaya, Gangguan Emosi dan Fisik Pasca Salin Masyarakat
Pedesaan Sumedang. Diakses 29 September 2004. www.tempo.co.id/ medika arsip/ 122002/ art-
2.htm.
Paltiel, F. K. 1997. Kesehatan Jiwa Wanita : Suatu Perspektif Global. Dalam Koblinsky, M,
Timyan, J dan Gay, J. (ed). Kesehatan Wanita : Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Suparlan, YB, Rachmanto, W, dan Pardiman, S. 1990. Kamus Istilah Kependudukan dan
Keluarga Berencana. Yogyakarta : Kanisius.
Wiknjosastro, H, Saifudin, BR, dan Rachimhadhi, T. 1999. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
www.bluerider.com/wordseach/primipara. Primipara.
www.ivillage.co.uk/pregnancyandbaby/tools.pregnancy_gloss. Look Up Any Word In Our
Glossary.
Yanita, A, dan Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara Tentang Dukungan Suami Dalam
Usaha Menanggulangi Gejala Depresi pascasalin. Phronesis. Vol.3. No : 5. 34 – 50.
Abstract
Postpartum blues muncul ketika seorang ibu tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap perubahan
pola kehidupan akibat kehamilan dan proses kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan. Penelitian ini
penting karena postpartum blues, yang dikenal sebagai bentuk depresi tingkat ringan, dapat
berkembang menjadi depresi postpartum bila tidak tertangani dengan baik. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif pendekatan fenomenologis. Tiga subjek yang mengalami postpartum
blues diperoleh dari RSUD Kota Semarang. Metode pengumpulan data yang dilakukan tidak hanya
wawancara mendalam dan pengamatan, tetapi juga rekaman medis dan hasil pengisian The Edinburgh
Postnatal Depression Scale (EPDS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya postpartum blues
melibatkan faktor-faktor biopsikososial sebelum dan setelah bersalin. Penilaian kognitif sangat berperan
sepanjang perjalanan postpartum blues untuk mengenali sumber-sumber yang dimiliki. Terdapat dua
strategi yang digunakan oleh subjek. Strategi yang berfokus pada emosi dan yang berfokus pada
masalah digunakan secara bergantian atau bersamaan sehingga subjek terhindar dari krisis lebih lanjut.
Keberhasilan penanggulangan terhadap postpartum blues dipengaruhi pula oleh faktor biopsikososial
pelindung. Faktor biopsikososial akan membedakan pemaknaan pengalaman postpartum blues dan
penggunaan strategi penanggulangan antara subjek yang satu dengan yang lain.
by pangesti
Filed under Ayah, Keluarga, Tidak Ada Kategori
Brooke Shields bukanlah satu-satunya wanita yang pernah mengalami gangguan emosi setelah
melahirkan. Beberapa selebriti internasional seperti Sadie Frost, Elle McPherson, dan Kate
Winslet mengaku mengalaminya. Berabad sebelumnya, kondisi serupa juga dialami para ibu
pada masa kehidupan Hippocrates, di abad ke 5 SM. Catatan medis yang ditulis bapak ilmu
kedokteran ini menyebutkan secara detil tentang depresi ringan yang dialami oleh ibu yang baru
melahirkan. Depresi ringan inilah yang belakangan lebih popular dengan istilah baby blues
syndrome.
Sayangnya walau sudah dicatat dalam jurnal medis Hippocrates, sindroma ini tak terlalu
dianggap penting. Kalaupun banyak yang mengalaminya, sering hanya dianggap sebagai efek
samping dari keletihan setelah melahirkan. Padahal data penelitian di berbagai belahan dunia
secara tegas menunjukkan 2/3 atau sekitar 50-75% wanita mengalami baby blues syndrome.
Besarnya angka ini menurut Dr. dr. Irawati Ismail Sp.Kj, MEpid, dari Bagian Psikiatri FKUI,
menunjukkan bahwa baby blues syndrome adalah gangguan yang sering terjadi. “Sayangnya
jarang dirujuk ke ahli kejiwaan,” katanya menekankan.
Khusus di Indonesia kurangnya perhatian terhadap masalah ini semakin diperparah oleh
anggapan awam yang keliru. Tidak sedikit orang yang menganggap baby blues syndrom hanya
dialami orang wanita-wanita di luar Indonesia. “Nenekmu punya anak banyak tapi tidak pernah
mengalaminya. Mungkin kamu hanya manja saja!” Begitulah komentar yang sering kita dengar.
Kemudahan menyewa jasa pengasuh anak serta masih kentalnya tradisi membantu kerabat yang
baru melahirkan, semakin memperkuat keyakinan kalau wanita Indonesia ‘kebal’ terhadap baby
blues syndrome. Padahal hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta oleh dr. Irawati Sp.Kj
menunjukkan 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindroma ini.
Baby blues syndrom, adalah gangguan emosi ringan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu setelah
ibu melahirkan. Ada pula yang menyebutnya dengan istilah lain seperti maternity blues atau post
partum blues. Sesuai dengan istilahnya – blues – yang berarti keadaan tertekan, sindroma ini
ditandai dengan gejala-gejala gangguan emosi seperti sering menangis atau mudah bersikap
berang. Munculnya berbagai gejala ini menurut dr. Irawati Sp.Kj dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Salah satunya adalah ketidaksiapan ibu menghadapi kelahiran bayinya. Ada ibu yang
tidak menyadari kalau kelahiran seorang bayi selalu disertai dengan peningkatan tanggung
jawab. “Kesulitan menyusui misalnya, bisa membuat ibu jadi tertekan,” kata dr. Irawati Sp.Kj
lagi. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal cenderung 3.64 kali
berpeluang lebih besar mengalami baby blues dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi
dengan berat badan normal.
Faktor pencetus lain yang tidak kalah serius adalah sikap ibu dalam memandang dan menghadapi
persalinan. Seringkali seorang ibu berharap bayi yang baru lahir akan tidur nyenyak di malam
hari. Siapa sangka sang bayi justru ‘menjadi teroris di tengah malam’ dengan tangisannya yang
tak kunjung usai.
Baby blues juga sangat mungkin terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan
atau mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung. Brooke Shields,
misalnya, kehilangan ayahnya saat sedang mengandung. Ibu yang mengalami depresi saat
mengandung, atau pernah mengalami depresi sebelumnya lebih harus mendapatkan perhatian
khusus karena memiliki peluang besar untuk mengalami baby blues.
Selain dipicu oleh faktor-faktor yang sifatnya kejiwaan, perubahan hormon di turut
mempengaruhi kestabilan emosi. Selama hamil hormon (estrogen dan progresteron) akan
mengalami peningkatan. Hormon-hormon ini akan menurun tajam dalam tempo 72 jam setelah
melahirkan. “Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau kondisi hormon yang sudah stabil selama
9 bulan mendadak berubah drastis,” kata dr. Arju Anita SpOG dari RSIA Hermina.
Walau terdengar begitu mencemaskan, para orang tua baru sebenarnya tak perlu cemas dalam
mengalami baby blues syndrome. Singkatnya kurun waktu dan sifatnya yang temporer membuat
baby blues akan akan ‘sembuh’ dengan sendirinya tanpa perlu ditangani dengan terapi hormonal.
Pertolongan yang paling tepat menurut dr. Arju Anita adalah terapi psikologis. Dukungan moral
dari lingkungan sekitarnya juga berperan penting di dalam membantu ibu dalam mengatasi
sindroma ini.
Kewaspadaan harus lebih ditingkatkan ketika gangguan emosi yang dialami tak kunjung hilang
setelah 2 minggu. Kemungkinan terbesar, ibu mengalami depresi pasca persalinan atau post
partum depression (PPD). Layaknya depresi-depresi lainnya, depresi paska persalinan harus
ditangani secara serius secara psikis oleh psikiater atau psikolog. “Membiarkan ibu terbenam
dalam depresi akan mengakibatkan dampak negatif. Tidak hanya untuk si ibu tetapi juga si bayi,
karena PPD bisa terus berlanjut selama 2 tahun,” kata dr. Irawati.
Berbeda dengan ketika mengalami baby blues syndrome, para penderita PPD biasanya dilanda
rasa putus asa yang sangat berat. Seringkali mereka merasa ingin bunuh diri atau mencelakai
bayinya. Satu kejadian paling menghebohkan yang sempat mengguncang masyarakat di Amerika
Serikat adalah kasus pembunuhan 2 anak oleh ibu kandungnya, Tonya Vasilev. Tonya
membunuh anaknya karena menderita depresi berat. Sebelum kejadian ini ia memang sudah
mengalami beberapa kali depresi yang menjadi semakin parah setiap kali habis bersalin.
Dalam kadar yang lebih ‘ringan’ sekalipun PPD akan menimbulkan dampak buruk kepada
seluruh anggota keluarga. Bayangkan bagaimana jika istri menarik diri dan menolak berinteraksi
dengan suaminya. Depresi bisa membuat ibu menolak menyusui dan mengurus bayinya.
Kesehatan fisik dan psikis si bayi pastilah akan terganggu.
Walau telah mendapatkan pertolongan yang menyeluruh dari ahli medis, penanganan post
partum depression tidak akan sempurna tanpa dukungan dari keluarga. Para suami bisa memulai
dari hal-hal yang kecil. Misalnya menanyakan kabar istrinya, atau mencarikan orang yang dapat
membantunya mengurus rumah dan bayi. Dukungan sosial yang positif terbukti dapat membantu
ibu melepaskan diri dari jerat depresi pasca persalinan. Untuk urusan yang satu ini barangkali
kita perlu belajar pada orang Jawa yang mengenal tradisi ‘memanjakan’ ibu yang baru
melahirkan selama 40 hari setelah persalinan. Ayo, para suami…para bapak…saatnya Anda
tunjukkan sifat pria sejati.