Anda di halaman 1dari 12

Depresi Postpartum

Posted on December 29, 2007 by klinis

1. Pengertian Kecenderungan depresi postpartum


Menurut Sudarsono (1997), kecenderungan adalah hasrat, keinginan yang selalu timnbul
berulang-ulang. Sedangkan Anshari (1996), berpendapat bahwa kecenderungan merupskan
susunan atau disposisi untuk berkelakuan dalam cara yang benar.
haplin (1995), mengartikan kecenderungan sebagai satu set atau satu susunan sikap untuk
bertingkah laku dengan cara tertentu. Soekanto (1993), menyatakan kecenderungan merupakan
suatu dorongan yang muncul dari dalam individu secara inharen menuju suatu arah tertentu
untuk menunjukkan suka atau tidak suka kepada suatu objek.
Manusia dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan, baik yang
tergolong sederhana sampai yang kompleks. Semua itu membutuhkan kesiapan mental untuk
menghadapinya. Pada kenyataannya terdapat gangguan mental yang sangat mengganggu dalam
hidup manusia, yang salah satunya adalah depresi. Gangguan mental emosional ini bisa terjadi
pada siapa saja, kapan saja, dari kelompok mana saja, dan pada segala rentang usia. Bagi
penderita depresi ini selalu dibayangi ketakutan, kengerian, ketidakbahagiaan serta kebencian
pada mereka sendiri. Hadi (2004), menyatakan secara sederhana dapat dikatakan bahwa depresi
adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu perasaan tidak ada harapan lagi.
Kartono (2002), menyatakan bahwa depresi adalah keadaan patah hati atau putus asa yang
disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus tertentu, pengurangan aktivitas fisik
maupun mental dan kesulitan dalam berpikir, Lebih lanjut Kartono menjelaskan bahwa gangguan
depresi disertai kecemasan , kegelisahan dan keresahan, perasaan bersalah, perasaan menurunnya
martabat diri atau kecenderungan bunuh diri.
Trisna (Hadi, 2004), menyimpulkan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang
biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. Mulai dari perasaan murung
sedikit sampai pada keadaan tidak berdaya. Individu yakin tidak melakukan apa pun untuk
mengubahnya dan merasa bahwa respon apa pun yang dilakukan tidak akan berpengaruh pada
hasil yang muncul.
Individu yang mengalami depresi sering merasa dirinya tidak berharga dan merasa bersalah.
Mereka tidak mampu memusatkan pikirannya dan tidak dapat membuat keputusan. Individu
yang mengalami depresi selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan kesedihan yang mendalam
dan rasa putus asa tanpa sebab. Mereka mempersepsikan diri sendiri dan seluruh alam dunia
dalam suasana yang gelap dan suram. Pandangan suram ini menciptakan perasaan tanpa harapan
dan ketidakberdayaan yang berkelanjutan (Albin, 1991).
Depresi menurut Kaplan dan Sadock (1998), merupakan suatu masa terganggunya fungsi
manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Sebagian perempuan menganggap bahwa masa–masa setelah melahirkan adalah masa–masa sulit
yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguan–gangguan
psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak
mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang
sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan–bulan atau bertahun –
tahun lamanya.
Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan.
Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi, mudah
marah dan terutama mudah frustasi serta emosional.
angguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering
terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-IV, gangguan pascasalin
diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala adalah dalam 4 minggu pascapersalinan.
da 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression
dan postpartum psychosis (Ling dan Duff, 2001).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Paltiel (Koblinsky dkk, 1997), bahwa ada 3
golongan gangguan psikis pascasalin yaitu postpartum blues atau sering disebut juga sebagai
maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression
yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung sampai berminggu – minggu atau bulan dan
kadang ada diantara mereka yang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan
penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat
karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap
pasca melahirkan.
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt (Regina dkk, 2001),
depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan
kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk
berhubungan intim dengan suami). Masih menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan
depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami
“kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut
dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis
postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif
mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.
Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan terjadinya akumulasi
stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi. Depresi adalah pengalaman yang
negatif ketika semua persoalan tamapak tidak terpecahkan. Persoalan juga tidak akan
terpecahkan dengan berpikir lebih positif, tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat
dikendalikan.
Masih menurut Duffet-Smith, faktor kunci dalam depresi pasca persalinan adalah kecapaian yang
menjadi kelelahan total. Kepercayaan diri ibu dapat luntur jika ibu merasa tidak mampu
menanganinya dan menjadi frustasi karena kelemahan fisiknya.
Inwood (Regina dkk, 2001) menghubungkan fenomena depresi postpartum dengan gangguan
perasaan mayor seperti kesedihan, perasaan tidak mampu, kelelahan, insomnia dan anhedonia.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sloane dan Bennedict (1997), depresi postpartum
merupakan tekanan jiwa sesudah melahirkan, mungkin seorang ibu baru akan merasa benar –
benar tidak berdaya dan merasa serba kurang mampu, tertindih oleh beban tanggung jawab
terhadap bayi dan keluarganya, tidak bisa melakukan apapun untuk menghilangkan perasaan itu.
Depresi pascalahir dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih dan berkembang menjadi depresi
lain yang lebih berat atau lebih ringan. Gejalanya sama saja tetapi disamping itu ibu mungkin
terlalu memikirkan kesehatan bayinya dan kemampuannya sebagai seorang ibu (Wilkinson,
1995).
Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis sesudah
melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung
berbulan – bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya
terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus 1 – 2 minggu.
Llewellyn–Jones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara klinis pada masa
postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan. Wanita yang
menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa
terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya.
erdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah gangguan
emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari pertama masa setelah
melahirkan dan berlangsung terus – menerus sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun.

2. Faktor – faktor penyebab depresi postpartum


Cycde (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa depresi postpartum tidak berbeda secara
mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan dan
kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya gangguan emosional.
Nadesul (1992), penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan adalah adanya
ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan kehamilan dan persalinan.
Sarafino (Yanita dan Zamralita, 2001), faktor lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya
gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya
atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan
ketidakpuasaan dalam pernikahan. Perempuan yang memiliki sejarah masalah emosional rentan
terhadap gejala depresi ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti
kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Llewellyn–Jones (1994), karakteristik wanita yang
berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah
mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang
kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan
setelah melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya
misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama
kehamilan.
Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebeb depresi postpartum sebagai berikut :
a. Faktor konstitusional. Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat
obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari
kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara. Wanita
primipara lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam
proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham
perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.
b. Faktor fisik. Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental
selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran
pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan
periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat
berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun secara
cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.
c. Faktor psikologis. Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir kehamilan
menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu. Klaus
dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam menanggulangi masa
peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak.
d. Faktor sosial. Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak
memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam
perkawinan.
Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi pascasalin
dipengaruhi oleh faktor :
1. Biologis. Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon
seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa
nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.
2. Karakteristik ibu, yang meliputi :
a. Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah
periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang
bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental
perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
b. Faktor pengalaman. Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh
Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang
berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat
menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami
istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami
krisis setelah kelahiran bayi pertama.
c. Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan
konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau
melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang
tua dari anak–anak mereka (Kartono, 1992).
d. Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis
yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan
pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan
kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
e. Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan
dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.

erdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum adalah
faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal,
faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.

3. Gejala – gejala depresi postpartum


Depresi merupakan gangguan yang betul–betul dipertimbangkan sebagai psikopatologi yang
paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala
depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan
ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah,
kelelahan, sukar konsentrasi, hingga pikiran mau bunuh diri.
enurut Vandenberg (dalam Cunningham dkk, 1995), menyatakan bahwa keluhan dan gejala
depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya. Hal yang
terutama mengkhawatirkan adalah pikiran – pikiran ingin bunuh diri, waham–waham paranoid
dan ancaman kekerasan terhadap anak–anaknya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ling dan Duff (2001), bahwa gejala depresi postpartum yang
dialami 60 % wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya. Tetapi dibandingkan
dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang
spesifik antara lain :
a. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi – mimpi yang menakutkan,
individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.
b. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti
kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia.
. Phobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat
dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu irasional adanya. Ibu
yang melahirkan dengan bedah Caesar sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang
dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah Caesar akan merasakan emosi yang bermacam–macam.
Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi.
Wanita yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan bedah Caesar pula untuk
kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan peralatan operasi dan
jarum (Duffet-Smith, 1995).
d. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan
akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak
diketahuinya.
e. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali penyesuaian diri
dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, ibu harus
belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia terhadap dirinya
sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri dengan
bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu
(Santrock, 2002).
f. Perubahan mood.
enurut Sloane dan Bennedict (1997), menyatakan bahwa depresi postpartum muncul dengan
gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih – murung, perasaan tidak berharga, mudah
marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit
konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak
mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain
kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus
serta mengotori kain yang baru diganti. Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah
pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar–benar memusuhi bayinya.
Menurut Nevid dkk (1997), depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan
gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau
perhatian.
Kriteria diagnosis spesifik depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam DSM-IV, dimana tidak
terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika
depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan kelahiran anak dengan onset episode dalam 4
minggu pasca persalinan.
Menurut DSM IV, simptom–simptom yang biasanya muncul pada episode postpartum antara lain
perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi. Wanita yang
menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan sering panik.
Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik penderita
depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood, memiliki episode kesedihan,
kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan dengan orang lain. Selain itu,
penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai
bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
Gejala depresi pascasalin ini memang lebih ringan dibandingkan dengan psikosis pascasalin.
Meskipun demikian, kelainan–kelainan tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan kesulitan
atau masalah bagi ibu yang mengalaminya (Kruckman dalam Yanita dan Zamralita, 2001).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejala–gejala depresi postpartum antara lain
adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan mood, gangguan
nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mencintai
bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
DAFTAR PUSTAKA

Albin, R. S. 1991. Emosi : Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Yogyakarta :


Kanisius.

American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
Fourth Edition (Text Revision). Washington, DC : American Psychiatric Assosiation (APA).

Anshari, H. 1996. Kamus Psychologi. Jakarta : Arcan.

Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III. Jakarta :
Gramedia.

As’ari, Y. 2005. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kestabilan Emosi Dalam
Menghadapi Kelahiran Anak Pertama. Skripsi. (tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Azwar, S. 1996. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Liberty.

_______. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Chaplin, C.P. 1995. Kamus Lengkap Psikologi. Yogyakarta. Liberty.

Cunningham, F. G, Macdonald, P. C dan Gant, N. F. 1995. Williams Obstetrics. Jakarta : Buku


Kedokteran EGC.

Duffet-Smith, T. 1995. Persalinan dengan Bedah Caesar. Jakarta : Arcan.

Erikania, J. 1999. Mengenal Post Partum Blues. Nakita. 8 Mei 199. No. 05/1. Halaman 6. Jakarta
: PT Kinasih Satya Sejati.

Hadi, P. 2004. Depresi dan Solusinya. Yogyakarta : Tugu

Hadi, S. 1990. Metodologi Research II. Yogyakarta : Andi offset.

Hinton, J. 1989. Depresi dan Perawatannya. Jakarta : Dian Rakyat.

Ibrahim, Z. 2002. Psikologi Wanita. Bandung : Pustaka Hidayah.

Kaplan, H. I dan Sadock, B. J. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
Kartono, K. 1992. Psikologi Wanita : Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Jilid Dua.
Bandung : Mandar Maju.

. 2002. Patologi Sosial 3. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


Llewellyn–Jones, D. 1994. Fundamental of Obstetrics and Gynecology. Sixth Edition. Barcelona
: Mosby.

Ling, F. W, dan Duff, P. 2001. Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw – Hill
Companies.

Malonda, B. F. 1999. Sosial – Budaya, Gangguan Emosi dan Fisik Pasca Salin Masyarakat
Pedesaan Sumedang. Diakses 29 September 2004. www.tempo.co.id/ medika arsip/ 122002/ art-
2.htm.

Mappiare, A. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya : Usaha Nasional.

Monks, F. J, Knoers, A. M. P, dan Rahayu, S. 1988. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Nadesul, H. 1992. Seri Kesehatan Keluarga Hippocrates. Jakarta : Arcan.


Nevid, J. S dan Rathus, S. A. 1997. Abnormal Psychology in Changing World. Third edition.
USA : Prentice-Hall Inc.

Paltiel, F. K. 1997. Kesehatan Jiwa Wanita : Suatu Perspektif Global. Dalam Koblinsky, M,
Timyan, J dan Gay, J. (ed). Kesehatan Wanita : Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.

Regina, Pudjibudojo, J. K dan Malinton, P. K. 2001. Hubungan Antara Depresi Postpartum


Dengan Kepuasan Seksual Pada Ibu Primipara. Anima Indonesian Psychological Journal. Vol.
16. No. 3. 300 – 314.

Santrock, J .W. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. Jakarta : Erlangga.


Sloane, P. D, dan Benedict, S. 1997. Petunjuk Lengkap Kehamilan. Jakarta : Mitra Utama.

Soekanto. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Steiner, M. 2005. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. Diakses 17


April 2005. Http//www.psychdirect.com/women/PMS.htm.

Sudarsono. 1997. Kamus Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.

Suparlan, YB, Rachmanto, W, dan Pardiman, S. 1990. Kamus Istilah Kependudukan dan
Keluarga Berencana. Yogyakarta : Kanisius.

Wiknjosastro, H, Saifudin, BR, dan Rachimhadhi, T. 1999. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Wilkinson, G. 1992. Buku Pintar Kesehatan : Depresi. Jakarta : Arcan.

www.bluerider.com/wordseach/primipara. Primipara.
www.ivillage.co.uk/pregnancyandbaby/tools.pregnancy_gloss. Look Up Any Word In Our
Glossary.

www.Jawaban.com. Urutan Kelahiran.

Yanita, A, dan Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara Tentang Dukungan Suami Dalam
Usaha Menanggulangi Gejala Depresi pascasalin. Phronesis. Vol.3. No : 5. 34 – 50.

Filed under: setiyo purwanto

« Kualitas Pelayanan Keperawatan Sikap Kerja Perawat »


Pengalaman menjadi orangtua khususnya menjadi seorang ibu tidaklah selalu merupakan suatu hal yang
menyenangkan bagi setiap wanita atau pasangan suami istri. Realisasi tanggung jawab sebagai seorang
ibu setelah melahirkan bayi seringkali menimbulkan konflik dalam diri seorang wanita dan merupakan
faktor pemicu munculnya gangguan emosi, intelektual dan tingkah laku. Beberapa penyesuaian
dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi aktifitas dan peran barunya sebagai seorang ibu. Sebagian
wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik tetapi sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri
dan mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma yang oleh para
peneliti dan klinisi disebut post-partum blues.
Banyak faktor yang diduga berperan pada sindroma ini, salah satunya yang penting adalah kecukupan
dukungan sosial dari lingkungannya (terutama suami). Kurangnya dukungan sosial dari keluarga dan
teman khususnya dukungan suami selama periode pasca-salin (nifas) diduga kuat merupakan faktor
penting dalam terjadinya post-partum blues.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh ketidak-cukupan
dukungan sosial dari lingkungan terhadap kejadian post-partum blues yang dialami wanita primipara.
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang melihat hubungan antara dua variabel dengan
melihat hubungan sebab akibat antara kedua variabel tersebut. Variabel dalam penelitian ini ada dua,
yaitu pengaruh ketidak-cukupan dukungan sosial dari lingkungan dan kejadian post-partum blues.
Analisa statistik yang digunakan untuk menguji hipotesa adalah analisa regresi linear.
Setelah data terkumpul dan dilakukan analisa data, diperoleh hasil hipotesa alternatif ditolak dan
hipotesa nol diterima dengan nilai F hitung 2,271 lebih kecil dari nilai F tabel yaitu 4,10, yang
menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara kedua variabel penelitian tersebut.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu untuk penelitian
sejenis selanjutnya sekiranya dapat lebih memperhatikan aspek-aspek yang diasumsikan dapat
mempengaruhi masalah ini, seperti : aspek budaya, suku bangsa yang beragam, jumlah sampel yang
lebih besar, tingkat sosial ekonomi dan masih banyak lagi. Selain itu disarankan juga untuk melakukan
wawancara langsung dengan responden untuk lebih memperkaya hasil penelitian.
STRATEGI PENANGGULANGAN (COPING) PADA IBU YANG MENGALAMI POSTPARTUM BLUES
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
Amalia Rahmandani, Karyono Karyono, Endah Kumala Dewi

Abstract

Postpartum blues muncul ketika seorang ibu tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap perubahan
pola kehidupan akibat kehamilan dan proses kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan. Penelitian ini
penting karena postpartum blues, yang dikenal sebagai bentuk depresi tingkat ringan, dapat
berkembang menjadi depresi postpartum bila tidak tertangani dengan baik. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif pendekatan fenomenologis. Tiga subjek yang mengalami postpartum
blues diperoleh dari RSUD Kota Semarang. Metode pengumpulan data yang dilakukan tidak hanya
wawancara mendalam dan pengamatan, tetapi juga rekaman medis dan hasil pengisian The Edinburgh
Postnatal Depression Scale (EPDS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya postpartum blues
melibatkan faktor-faktor biopsikososial sebelum dan setelah bersalin. Penilaian kognitif sangat berperan
sepanjang perjalanan postpartum blues untuk mengenali sumber-sumber yang dimiliki. Terdapat dua
strategi yang digunakan oleh subjek. Strategi yang berfokus pada emosi dan yang berfokus pada
masalah digunakan secara bergantian atau bersamaan sehingga subjek terhindar dari krisis lebih lanjut.
Keberhasilan penanggulangan terhadap postpartum blues dipengaruhi pula oleh faktor biopsikososial
pelindung. Faktor biopsikososial akan membedakan pemaknaan pengalaman postpartum blues dan
penggunaan strategi penanggulangan antara subjek yang satu dengan yang lain.

Ayo para suami, bantu ibu atasi sindroma baby blues!

by pangesti
Filed under Ayah, Keluarga, Tidak Ada Kategori

Brooke Shields bukanlah satu-satunya wanita yang pernah mengalami gangguan emosi setelah
melahirkan. Beberapa selebriti internasional seperti Sadie Frost, Elle McPherson, dan Kate
Winslet mengaku mengalaminya. Berabad sebelumnya, kondisi serupa juga dialami para ibu
pada masa kehidupan Hippocrates, di abad ke 5 SM. Catatan medis yang ditulis bapak ilmu
kedokteran ini menyebutkan secara detil tentang depresi ringan yang dialami oleh ibu yang baru
melahirkan. Depresi ringan inilah yang belakangan lebih popular dengan istilah baby blues
syndrome.

Sayangnya walau sudah dicatat dalam jurnal medis Hippocrates, sindroma ini tak terlalu
dianggap penting. Kalaupun banyak yang mengalaminya, sering hanya dianggap sebagai efek
samping dari keletihan setelah melahirkan. Padahal data penelitian di berbagai belahan dunia
secara tegas menunjukkan 2/3 atau sekitar 50-75% wanita mengalami baby blues syndrome.
Besarnya angka ini menurut Dr. dr. Irawati Ismail Sp.Kj, MEpid, dari Bagian Psikiatri FKUI,
menunjukkan bahwa baby blues syndrome adalah gangguan yang sering terjadi. “Sayangnya
jarang dirujuk ke ahli kejiwaan,” katanya menekankan.
Khusus di Indonesia kurangnya perhatian terhadap masalah ini semakin diperparah oleh
anggapan awam yang keliru. Tidak sedikit orang yang menganggap baby blues syndrom hanya
dialami orang wanita-wanita di luar Indonesia. “Nenekmu punya anak banyak tapi tidak pernah
mengalaminya. Mungkin kamu hanya manja saja!” Begitulah komentar yang sering kita dengar.
Kemudahan menyewa jasa pengasuh anak serta masih kentalnya tradisi membantu kerabat yang
baru melahirkan, semakin memperkuat keyakinan kalau wanita Indonesia ‘kebal’ terhadap baby
blues syndrome. Padahal hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta oleh dr. Irawati Sp.Kj
menunjukkan 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindroma ini.

Baby blues syndrom, adalah gangguan emosi ringan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu setelah
ibu melahirkan. Ada pula yang menyebutnya dengan istilah lain seperti maternity blues atau post
partum blues. Sesuai dengan istilahnya – blues – yang berarti keadaan tertekan, sindroma ini
ditandai dengan gejala-gejala gangguan emosi seperti sering menangis atau mudah bersikap
berang. Munculnya berbagai gejala ini menurut dr. Irawati Sp.Kj dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Salah satunya adalah ketidaksiapan ibu menghadapi kelahiran bayinya. Ada ibu yang
tidak menyadari kalau kelahiran seorang bayi selalu disertai dengan peningkatan tanggung
jawab. “Kesulitan menyusui misalnya, bisa membuat ibu jadi tertekan,” kata dr. Irawati Sp.Kj
lagi. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal cenderung 3.64 kali
berpeluang lebih besar mengalami baby blues dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi
dengan berat badan normal.

Faktor pencetus lain yang tidak kalah serius adalah sikap ibu dalam memandang dan menghadapi
persalinan. Seringkali seorang ibu berharap bayi yang baru lahir akan tidur nyenyak di malam
hari. Siapa sangka sang bayi justru ‘menjadi teroris di tengah malam’ dengan tangisannya yang
tak kunjung usai.
Baby blues juga sangat mungkin terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan
atau mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung. Brooke Shields,
misalnya, kehilangan ayahnya saat sedang mengandung. Ibu yang mengalami depresi saat
mengandung, atau pernah mengalami depresi sebelumnya lebih harus mendapatkan perhatian
khusus karena memiliki peluang besar untuk mengalami baby blues.

Selain dipicu oleh faktor-faktor yang sifatnya kejiwaan, perubahan hormon di turut
mempengaruhi kestabilan emosi. Selama hamil hormon (estrogen dan progresteron) akan
mengalami peningkatan. Hormon-hormon ini akan menurun tajam dalam tempo 72 jam setelah
melahirkan. “Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau kondisi hormon yang sudah stabil selama
9 bulan mendadak berubah drastis,” kata dr. Arju Anita SpOG dari RSIA Hermina.
Walau terdengar begitu mencemaskan, para orang tua baru sebenarnya tak perlu cemas dalam
mengalami baby blues syndrome. Singkatnya kurun waktu dan sifatnya yang temporer membuat
baby blues akan akan ‘sembuh’ dengan sendirinya tanpa perlu ditangani dengan terapi hormonal.
Pertolongan yang paling tepat menurut dr. Arju Anita adalah terapi psikologis. Dukungan moral
dari lingkungan sekitarnya juga berperan penting di dalam membantu ibu dalam mengatasi
sindroma ini.

Kewaspadaan harus lebih ditingkatkan ketika gangguan emosi yang dialami tak kunjung hilang
setelah 2 minggu. Kemungkinan terbesar, ibu mengalami depresi pasca persalinan atau post
partum depression (PPD). Layaknya depresi-depresi lainnya, depresi paska persalinan harus
ditangani secara serius secara psikis oleh psikiater atau psikolog. “Membiarkan ibu terbenam
dalam depresi akan mengakibatkan dampak negatif. Tidak hanya untuk si ibu tetapi juga si bayi,
karena PPD bisa terus berlanjut selama 2 tahun,” kata dr. Irawati.

Berbeda dengan ketika mengalami baby blues syndrome, para penderita PPD biasanya dilanda
rasa putus asa yang sangat berat. Seringkali mereka merasa ingin bunuh diri atau mencelakai
bayinya. Satu kejadian paling menghebohkan yang sempat mengguncang masyarakat di Amerika
Serikat adalah kasus pembunuhan 2 anak oleh ibu kandungnya, Tonya Vasilev. Tonya
membunuh anaknya karena menderita depresi berat. Sebelum kejadian ini ia memang sudah
mengalami beberapa kali depresi yang menjadi semakin parah setiap kali habis bersalin.

Dalam kadar yang lebih ‘ringan’ sekalipun PPD akan menimbulkan dampak buruk kepada
seluruh anggota keluarga. Bayangkan bagaimana jika istri menarik diri dan menolak berinteraksi
dengan suaminya. Depresi bisa membuat ibu menolak menyusui dan mengurus bayinya.
Kesehatan fisik dan psikis si bayi pastilah akan terganggu.

Walau telah mendapatkan pertolongan yang menyeluruh dari ahli medis, penanganan post
partum depression tidak akan sempurna tanpa dukungan dari keluarga. Para suami bisa memulai
dari hal-hal yang kecil. Misalnya menanyakan kabar istrinya, atau mencarikan orang yang dapat
membantunya mengurus rumah dan bayi. Dukungan sosial yang positif terbukti dapat membantu
ibu melepaskan diri dari jerat depresi pasca persalinan. Untuk urusan yang satu ini barangkali
kita perlu belajar pada orang Jawa yang mengenal tradisi ‘memanjakan’ ibu yang baru
melahirkan selama 40 hari setelah persalinan. Ayo, para suami…para bapak…saatnya Anda
tunjukkan sifat pria sejati.

Anda mungkin juga menyukai