Kelompok 6
Analisis termal dalam pengertian luas adalah pengukuran sifat kimia fisika bahan
sebagai fungsi suhu. Penetapan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada
penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna
kandungan panas akibat perubahan temperatur dan titrasi termometrik. Dalam DTA
(Differential Thermal Analysis), panas diserap atau diemisikan oleh sistem kimia bahan
yang dilakukan dengan pembanding yang inert (Alumina, Silikon, Karbit atau manik kaca)
karena suhu keduanya ditambahkan dengan laju yang konstan. Dalam DSC (Differential
Scanning Calorimetry), sampel dan pembanding juga bergantung pada penambahan suhu
secara terus-menerus, namun panas yang ditambahkan baik ke sampel atau ke pembanding
dilakukan seperlunya, hal ini untuk mempertahankan agar suhu keduanya selalu sama.
Penambahan panas dicatat pada recorder, panas ini digunakan untuk mengganti
kekurangan atau kelebihan sebagai akibat dari reaksi endoterm atau eksoterm yang terjadi
dalam sampel. Data yang di peroleh dari masing-masing teknik tersebut digunakan untuk
memplot secara kontiyu dalam bentuk kurva yang dapat disetarakan dengan suatu spektrum
Prinsip dasar yang mendasari teknik ini adalah, bila sampel mengalami
transformasi fisik seperti transisi fase, lebih (atau kurang) panas harus mengalir ke referensi
untuk mempertahankan keduanya pada temperatur yang sama. Lebih atau kurang panas
yang harus mengalir ke sampel tergantung pada apakah proses ini eksotermik atau
endotermik. Misalnya, sebagai sampel padat meleleh, cairan itu akan memerlukan lebih
banyak panas mengalir ke sampel untuk meningkatkan suhu pada tingkat yang sama
sebagai acuan. Hal ini disebabkan penyerapan panas oleh sampel karena mengalami
transisi fase endotermik dari padat menjadi cair. Demikian juga, sampel ini mengalami
proses eksotermik (seperti kristalisasi), panas yang lebih sedikit diperlukan untuk
menaikkan suhu sampel. Dengan mengamati perbedaan aliran panas antara sampel dan
referensi, diferensial scanning kalorimeter mampu mengukur jumlah panas yang diserap
Menurut Klančnik et al. (2009) terdapat 3 tipe dasar dalam sistem DSC yaitu :
1. Heat – flux DSC
3. Hyper DSC
Pada umumnya untuk analisis polimer digunakan 2 tipe dasar sistem DSC yaitu :
Heat – Flux DSC, sampel dan pembanding dihubungkan dengan suatu lempengan
logam. Sampel dan pembanding tersebut ditempatkan dalam satu tungku pembakaran.
Pada Power – Compensation DSC, suhu sampel dan pembanding diatur secara
manual dengan menggunakan tungku pembakaran yang sama dan terpisah. Suhu
sampel dan pembanding dibuat sama dengan mengubah daya masukan dari kedua
tungku pembakaran. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan hal tersebut merupakan
ukuran dari perubahan entalpi atau perubahan panas dari sampel terhadap pembanding.
5. Contoh Hasil Pengujian Beserta Inteprestasi Hasil Jika Memungkinkan
Hubungkan Dengan Sediaan Yang Telah Dijelaskan Pada Kuliah (Sirup Lar. Sejati,
Suspensi, dan Emlsi)
Salah contoh analisis polimer menggunakan metode DSC yaitu penentuan ketahanan
suhu dari polimer pektin yang telah dimodifikasi untuk tujuan pemanfaatannya sebagai
membran. Dimana Sampel ditimbang sebanyak 5 – 20 mg. Untuk sampel serbuk, sampel
langsung digerus halus, dan diletakkan di dalam pan sedangkan untuk sampel rubbery,
sampel diletakkan pada plat kaca dan dikeringkan, kemudian film yang dihasilkan dipotong
seukuran pan (diameter film sekitar 3 – 4 mm). Sampel dalam pan di-crimping dengan
tutup stainless steel menggunakan alat crimp. Alat DSC dihidupkan dengan mengalirkan
gas nitrogen dan diatur kenaikan temperatur 2 ºC per menit. Untuk kalibrasi temperatur
dan panas DSC, pada alat diletakkan blanko berupa pan kosong dan sampel berisi zat
pengkalibrasi yaitu indium dan/atau seng. Setelah kalibrasi selesai, sampel indium dan/atau
seng diganti dengan sampel polimer yang akan diukur, dan pan blanko tetap pada posisi
semula selama pengukuran. Untuk sampel serbuk yang rapuh (Tg tinggi), alat diatur 50 ºC
di bawah Tg. Untuk sampel rubbery (Tg rendah), digunakan nitrogen cair untuk temperatur
sangat rendah.
Berdasarkan perbandingan puncak termogram hasil analisis DSC dari pektin murni
(Gambar 12) dengan pektin adipat (Gambar 13) terlihat ada perbedaan yang cukup nyata.
Termogram DSC pektin memperlihatkan adanya puncak pada 73°C dan 153°C. Suhu 73°C
mengindikasikan adanya pengotor (air). Suhu 153°C menunjukkan kemungkinan titik leleh (Tm)
dari pektin. Termogram ini juga menunjukkan bahwa pada kisaran suhu 0–200°C pektin berada
dalam fase yang heterogen. Pada kisaran 0-153°C pektin berwujud padat sedangkan pada suhu di
atas 153°C pektin telah berwujud cair. Termogram DSC pada pektin adipat memperlihatkan kurva
yang homogen. Artinya, pada kisaran suhu 0-200°C pektin adipat berwujud padat. Tidak
terlihatnya Tm mengindikasikan bahwa senyawa ini kemungkinan memiliki titik leleh yang lebih
tinggi dari 200°C sehingga tidak terlihat dalam termogram pada Gambar 13.Perbedaan yang cukup
nyata ini membuktikan bahwa pektin telah dapat dimodifikasi dengan asam adipat menghasilkan
makromolekul yang biasanya memiliki bobot molekul tinggi, dibangun dari pengulangan
Panjang rantai polimer dihitung berdasarkan jumlah satuan unit ulang yang terdapat
dalam rantai yang disebut derajat polimerisasi (DP). Semua polimer yang dapat
dimanfaatkan untuk plastik, karet, atau serat mempunyai bobot molekul antara 10.000 dan
1.000.000 Berdasarkan sumbernya, polimer digolongkan dalam dua jenis, yaitu polimer
alam dan polimer sintetik. Polimer alam ialah polimer yang terjadi secara alamiah,
misalnya selulosa dan pektin, sedangkan polimer sintetik ialah polimer yang disintesis oleh
Berdasarkan unit-unit ulang pada rantai molekul, polimer dibedakan dalam tiga
kelompok, yaitu polimer linear, polimer bercabang, dan polimer bertaut silang. Polimer
linear tersusun dari unit-unit ulang yang berikatan satu sama lain pada ujungujung
monomer. Polimer bercabang terdiri atas rantai utama polimer yang mengikat beberapa
monomer dan membentuk cabang pada rantai utama. Polimer bertaut silang merupakan
gabungan beberapa rantai utama polimer yang terikat satu sama lain. Taut silang yang
Berdasarkan sifat termalnya, polimer sintetik digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu
termoplastik dan termoset. Polimer termoplastik dapat melunak dan mencair pada waktu
pemanasan dan jika sudah dingin akan mengeras kembali sehingga dapat diproses
polivinil klorida (PVC), polietilena (PE), polipropilena (PP), dan polistirena. Polimer
termoset ialah polimer yang mempunyai struktur rantai bercabang dan cabang ini saling
mengikat membentuk ikatan silang. Polimer jenis ini apabila telah diproses menjadi produk
tertentu, tidak dapat dilunakkan kembali dengan pemanasan. Polimer yang termasuk
utama antara polimer termoplastik dan termoset ialah polimer termoplastik biasanya
mempunyai struktur linear sedangkan polimer termoset mempunyai struktur jaringan tiga
dimensi.
Analisis termal dalam pengertian luas adalah pengukuran sifat kimia fisika bahan
sebagai fungsi suhu. Penetapan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada
kesempurnaan kristal, polimorfisma, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, dedrasi,
penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna
Analisis termal DSC digunakan untuk mengetahui fase- fase transisi pada polimer.
Analisis ini menggunakan dua wadah sampel dan pembanding yang identik dan
temperatur dan titrasi termometrik. Dalam DTA (Differential Thermal Analysis), panas
diserap atau diemisikan oleh sistem kimia bahan yang dilakukan dengan pembanding
yang inert (Alumina, Silikon, Karbit atau manik kaca) karena suhu keduanya
Calorimetry), sampel dan pembanding juga bergantung pada penambahan suhu secara
dilakukan seperlunya, hal ini untuk mempertahankan agar suhu keduanya selalu sama.
Penambahan panas dicatat pada recorder, panas ini digunakan untuk mengganti
kekurangan atau kelebihan sebagai akibat dari reaksi endoterm atau eksoterm yang
terjadi dalam sampel. Data yang di peroleh dari masing-masing teknik tersebut
digunakan untuk memplot secara kontiyu dalam bentuk kurva yang dapat disetarakan
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik suatu kesiumpulan bahwa metode analisis
termal dengan menggunakan metode DSC (Differential Scanning Calorimetry) adalah teknik
thermoanalytical di mana perbedaan dalam jumlah panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan
suhu dari sampel dan acuan yang diukur sebagai fungsi temperatur. Prinsip Kerja alat ini adalah
bila sampel mengalami transformasi fisik seperti transisi fase, lebih (atau kurang) panas harus
mengalir ke referensi untuk mempertahankan keduanya pada temperatur yang sama. Lebih atau
kurang panas yang harus mengalir ke sampel tergantung pada apakah proses ini eksotermik atau
endotermik.