Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Parkinson menjadi penyakit yang mengiringi proses penuaan (degeneratif)
pada otak yang sering menghantui para lansia setelah alzheimer. Alasan utamannya
bukan karena proses penuaan. Penyakit parkinson lebih sering dialami para lansia
sebagai cermin manifestasi pola hidup yang dijalani selama ini.
Sebagai penyakit yang menyerang sistem saraf pusat, parkinson seringkali
ditandai dengan gangguan khas gejala motorik seperti otot yang bergetar (tremor),
kekakuan otot, perubahan postur, gangguan berjalan, kesulitan atau melambatnya
gerak, serta masalah keseimbangan. Penyakit ini menyerang dua persen orang berusia
65 tahun ke atas dan 4-5 persen orang berusia 85 tahun ke atas.
Penyakit Parkinson lebih banyak terjadi pada lanjut usia dan jarang terjadi
pada individu yang berumur kurang dari 30 tahun. Penyakit Parkinson lebih sering
ditemukan pada umur 40-70 tahun, dengan rata-rata pada umur 58-62 tahun dan
hanya sekitar 5% yang terjadi pada umur dibawah 40 tahun (PERDOSSI, 2013).
Insidensi penyakit Parkinson lebih tinggi pada laki-laki, tertinggi pada ras Kaukasian,
dan insidensi yang lebih rendah ditemukan pada populasi Asia dan kulit hitam Afrika.
Faktor lingkungan sudah terbukti sebagai faktor risiko terjadinya penyakit Parkinson
(Sharma, 2008).
Di Indonesia, prevalensi penyakit Parkinson diperkirakan sekitar 876.665
orang Indonesia dari total jumlah penduduk saat itu sebesar 238.452.952 (Noviani et
al., 2010). Kematian pada pasien Parkinson biasanya bukan disebabkan oleh penyakit
Parkinson itu sendiri namun lebih dikarenakan infeksi sekunder yang terjadi (Joesoef,
2007)
Walaupun penyebab penyakit Parkinson belum diketahui, tetapi penyakit
sindrom rigiditas-akinetik lainnya, walaupun jarang, telah diketahui penyebabnya,
seperti trauma serebelar, inflamasi (ensefalitis), neoplasia (tumor ganglia basalis),
infark lakunar multipel, penggunaan obat-obatan (neuroleptik, antiemetik, amiodaron)
dan toksin. Diketahui bahwa toksin eksogen yang tidak umum dapat meneyebabkan
kerusakan SSP tertentu dan Parkinsonism, menunjukkan bahwa penyakit Parkinson
idiopatik mungkin disebabkan oleh pajanan faktor lingkungan yang lebih sering,
namun belum teridentifikasi.2 Pengobatan penyakit parkinson saat ini bertujuan untuk

1
mengurangi gejala motorik dan memperlambat progresivitas penyakit. Tetapi selain
gangguan motorik penyakit parkinson juga mengakibatkan gejala non motorik seperti
depresi dan penurunan kognitif, disamping terdapat efek terapi obat jangka panjang.
Hal tersebut tentu saja mempengaruhi kualitas hidup penderita penyakit parkinson.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas hidup adalah penting sebagai tujuan
pengobatan.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan
Gerontik mengenai penyakit parkinson pada lansia

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami pengertian parkinson
b. Mengetahui dan memahami klasifikasi parkinson
c. Mengetahui dan memahami etiologi parkinson
d. Mengetahui dan memahami patofisiologi parkinson
e. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis parkinson
f. Mengetahui dan memahami komplikasi parkinson
g. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang parkinson

I. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I berisi latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
2. BAB II KONSEP DASAR RISET KEPERAWATAN
Berisi pengertian, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang dari penyakit parkinson
3. BAB III PENUTUP
Bab III berisi simpulan
4. DAFTAR PUSTAKA
Berisi sumber-sumber isi makalah

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Parkinsonism adalah sindrom yang ditandai dengan bradykinesia atau
akinesia, tremor pada saat istirahat, rigidity, serta hilangnya reflek postural akibat

2
penurunan kadar DA dengan berbagai macam sebab (Shahab, 2007). Parkinsonism
lebih luas dan kurang spesifik dibanding PP. Istilah parkinsonism digunakan sebagai
“payung” untuk mendeskripsikan profil klinik tanpa mempertimbangkan penyebab
spesifiknya (Brown, 2010).
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif pada sistem
ekstrapiramidal yang bersifat progresif. Secara patologi, penyakit ini ditandai dengan
degenerasi sel saraf dopaminergik pada SN. Hilangnya neuron tersebut diiringi
dengan munculnya inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut dengan badan Lewy
(Hisahara, 2011). Neurondopaminergik hingga 60-70% menyebabkan berkurangnya
produksi DA, menyebabkan terjadinya gejala parkinsonism (Patel, 2015).

B. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, parkinsonism dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Idiopatik (primer), meliputi penyakit Parkinson dan Juvenile Parkinsonism.
2. Simptomatik (sekunder), meliputi parkinsonism yang disebabkan oleh
penggunaan obat (misal antipsikosis, antiemetik, reserpin, tetrabenazin, α-
metildopa, lithium, flunarisi, sinarisin), infeksi dan pasca infeksi, pasca ensefalitis,
slow virus, disfungsi paratiroid, toksin, trauma kranioserebral, tumor otak,
vaskular, dan siringomielia.
3. Parkinsonism plus (Multiple System Degeneration), meliputi degenerasi ganglion
kortikal basal, sindrom demensia, Parkinsonism Guam-demensia-ALS, sindrom
atrofi multi sistem, dan palsy supranuklear progresif.
4. Parkinsonism heredodegeneratif, meliputi penyakit Hallervoden-Spatz, penyakit
Huntington, Lubag, nekrosis striatal dan sitopati mitokondria, neuroakantositosis,
penyakit Wilson, seroid lipofusinosis, Penyakit Gertsmann-Strausler-Scheinker,
penyakit Machado-Joseph, atrofi familial olivopontoserebelar, dan sindroma
thalamik demensia.
(Syamsudin, 2013)

C. Etiologi
Penyebab dasar terjadinya PP masih belum diketahui, sehingga penyakit ini
disebut dengan Idiophatic Parkinsonism. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit
multifaktorial, yang dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik (Mark,
2010). Faktor risiko terkuat yang diasosiasikan menjadi penyebab terjadinya PP antara
lain memiliki riwayat keluarga menderita PP atau tremor serta riwayat konstipasi
(Noyce, 2012). Individu dengan konstipasi, dibandingkan dengan yang tanpa
konstipasi, memiliki risiko 2,27 kali lipat lebih besar mengalami perkembangan PP
(Adams-Carr, 2015). Peneliti lain berspekulasi bahwa konstipasi dapat meningkatkan

3
risiko PP dengan meningkatkan absorpsi neurotoksin pada usus atau terdapat faktor
risiko lingkungan maupun genetik yang tidak diketahui baik pada konstipasi maupun
PP (Lin, 2014).
Hal lain yang diasosiasikan positif tehadap PP antara lain trauma kepala,
depresi atau anxiety, dan penggunaan -blocker (Bellou, 2016). -blocker dapat
mengurangi neurotransmisi norepinefrin di otak. Sistem norepinefrin dianggap
memiliki peran penting dalam melindungi integritas neuron dopaminergik pada SN.
Gangguan pada sistem norepinefrin dianggap memiliki peran penting terhadap
patogenesis PP dengan mempengaruhi awitan dan perkembangan kerusakan jalur DA
nigostriatal. Hilangnya norepinefrin dapat meningkatkan neurotoksik dari toksin
lingkungan ke neuron dopaminergik nigostriatal (Ton, 2007).
Hal yang diasosiasikan negatif terhadap PP antara lain latihan fisik, merokok,
konsumsi kopi alkohol, serta penggunaan nonsteroidal antiinflamatory drugs
(NSAID) dan calcium channel blocker (CCB) (Bellou, 2016). Urat serum merupakan
penangkap radikal bebas yang dianggap berkontribusi terhadap hilangnya neuron
dopaminergik (Noyce, 2012). Latihan fisik dapat meningkatkan kadar urat plasma,
sehingga diasosiasikan dengan menurunnya risiko terjadinya PP (Yang, 2015).
Salah satu faktor lingkungan yang dikaitkan menjadi penyebab PP adalah paparan
senyawa kimia beracun, misal MPTP. Hipotesis ini diperkuat oleh fakta bahwa
individu yang tinggal di wilayah dengan pestisida yang strukturnya mirip MPTP,
relatif lebih besar memiliki risiko menderita PP (Bartels, 2009). Penelitian yang lain
menunjukkan bahwa PP lebih banyak diderita oleh individu yang tinggal di wilayah
pedesaan, yang bekerja sebagai petani dan mengkonsumsi air sumur (Mark, 2010)
Mutasi gen yang dikaitkan dengan PP antara lain gen α-synuclein(SNCA), gen
eukaryotic translation initiation factor 4 gamma 1 (EIF4G1), gen glucocerebrosidase
(GBA), gen loci leucine-rich repeat kinase 2(LRRK2), gen loci PTEN-induced
putative kinase 1 (PINK1), gen superokside dismutase 2 (SOD2), dan gen vacuolar
protein sorting 35 homolog (VPS35) (DeMaagd, 2015).

D. Patofisiologi

Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena


penurunan kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta
(SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy
bodies) dengan penyebab multifaktor.

4
Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di
otak (brain stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi
pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan
neurotransmitter yang disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh
gerakan otot dan keseimbangan tubuh yang dilakukan oleh sistem saraf pusat.
Dopamine diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak
terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta
kelancaran komunikasi (bicara). Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc
mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine menurun dan akibatnya semua
fungsi neuron di system saraf pusat (SSP) menurun dan menghasilkan kelambatan
gerak (bradikinesia), kelambatan bicara dan berpikir (bradifrenia), tremor dan
kekauan (rigiditas).
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron
SNc adalah stress oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi
oksiradikal, seperti dopamine quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein
(disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di gradasi oleh ubiquitin-
proteasomal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme
patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain :
 Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan
nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.
 Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin trifosfat
(ATP) dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres oksidatif,
akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
 Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu
apoptosis sel-sel SNc.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang utama ialah:
1. Tremor/bergetar
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan dianggap
sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah satu ciri khas dari
penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika sedang beristirahat.
Namun, jika orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran tersebut tidak terlihat
lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang juga sewaktu tidur. Tremor
terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis, kadang-

5
kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung (pil
rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki fleksi-
ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah
terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu
emosi terangsang (resting/ alternating tremor). Tremor tidak hanya terjadi pada
tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir,
lidah dan jari tangan (seperti orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat
istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak
sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut
bisa berhenti. Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin
berat penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi.
2. Rigiditas/kekakuan
Pada stadium dini, rigiditas otot terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Biasanya lebih jelas bila pergelangan difleksi dan
ekstensi pasif dan pronasi serta supinasi lengan bawah secara pasif. Pada stadium
lanjut rigiditas menjadi menyeluruh dan berat sehingga memberikan tahanan bila
persendian-persendian digerakkan secara pasif. Rigiditas merupakan peningkatan
terhadap regangan otot pada otot antagonis dan agonis. Salah satu gejala dini dari
rigiditas ialah hilangnya gerak asosiasi lengan bila berjalan. Peningkatan tonus
otot pada sindrom prakinson disebabkan oleh meningkatnya aktifitas neuron
motorik alfa. Kombinasi dengan resting tremor mengakibatkan bunyi seperti gigi
roda yang disebut dengan cogwheel phenomenon muncul jika pada gerakan pasif.
3. Akinesia/bradikinesia
Bradikinesia merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi pada impuls optik,
labirin, propioseptif dan impuls sensoris di ganglia basalis. Hal ini mengakibatkan
berubahan aktivitas refleks yang mempengaruhi motorneuron gamma dan alfa.
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda
akinesia/bradikinesia muncul
4. Ketidakstabilan postural

Gejala motorik lainnya:

1. Penurunan ketrampilan dalam menggunakan tangan atau tubuh


2. Kesulitan bangkit dari posisi duduk
3. Dysarthria
4. Dystonia
5. Dysphagia
6. “Membeku” pada awal pergerakan

6
7. Hipomimia (berkurangnya ekspresi wajah)
8. Hipophonia (berkurangnya volume suara)
9. Mikrofagia (pengurangan penulisan huruf)

Gejala nonmotorik:

1. Gangguan saat tidur (insomnia, tidur siang yang berlebihan, REM sleep
behavioral disorder)
2. Gejala otonomik dan sensorik (konstipasi, hipotensi ortostatik, pusing, disfungsi
seksual, diaphoresis, sialorrhea, seborrhea, nyeri, paresthesia, hyposmia)
3. Depresi
4. Psikosis (halusinasi, delusi)
5. Demensia
6. Gelisah

Gejala lain:

1. Mual
2. Mudah kelelahan
3. Penurunan berat badan
4. Jatuh

(DeMaagd, 2015)

F. Komplikasi

Komplikasi dari penyakit Parkinson ini dapat di sebabkan karena imobilisasi


seperti peneumonia, infeksi saluran perkemihan. Karena pasien parkinson mengalami
ganguan dalam keseimbangan maka akan meningkatkan resiko terjatuh dan
menimbulkan trauma. Selain itu Parkinson dapat menyebabkan komplikasi gangguan
fungsi pernafasan, dan gangguan okulomotorius.

Gangguan fungsi pernafasan pada pasien-pasien penyakit Parkinson dapat


berupa pernapasan disritmik, central apnea, pernapasan Cheyne-Stokes, pernapasan
klaster, pernapasan apneustik, dan hipoventilasi sentral. Gangguan pernapasan lebih
sering dijumpai pada penyakit Parkinson yang disertai dengan gangguan autonom.

Kelemahan Otot Ekspirasi dan Otot Bulbar Walaupun ekspirasi kebanyakan


merupakan proses pasif, otot-otot ekspirasi diperlukan untuk membersihkan jalan
napas dari sekret, misalnya dengan cara batuk. Pada beberapa penyakit saraf, terjadi
kelemahan otot bulbar (dipersarafi oleh saraf kranial IX,X,XII), otot pengunyah (N.
V) dan otot laring (dipersarafi radiks C1). Walaupun tidak berperan langsung dalam

7
respirasi, otot-otot ini berfungsi untuk bicara, menelan dan proteksi saluran napas.
Gangguan otot-otot ini dapat menyebabkan disartria, disfonia, disfagia, tersedak,
batuk yang lemah, dan kerentanan terjadinya atelektasis dan pneumonia aspirasi.1
Otot-otot bulbar dan otot-otot ekspirasi dapat terganggu pada kelainan saraf pusat
ataupun kelainan saraf perifer, misalnya penyakit Parkinson. Pada penyakit Parkinson,
terjadi gangguan otot jalan napas atas serta gangguan batuk sehingga berisiko tinggi
aspirasi dan berhubungan dengan mortalitas akibat penyakit ini.

Gangguan Tidur Pasien penyakit saraf disertai keterlibatan awal bulbar atau
diafragma sangat rentan untuk mendapat gangguan pernapasan saat tidur, terutama
pada fase tidur Rapid Eye Movement (REM). Pemeriksaan di klinik tidur dapat
mendeteksi gangguan otot respirasi dini dan kebutuhan bantuan ventilasi. Beberapa
mekanisme dapat menjelaskan fenomena ini. Pada pasien dengan gangguan diafragma
dapat terjadi desaturasi saat tidur akibat perubahan normal beban otot diafragma
selama tidur fase REM. Pada pasien dengan gangguan bulbar dapat timbul hipopnea
(pernapasan lambat dan dangkal) selama fase REM sleep. Selain itu, efek withdrawal
dari kerja pusat napas di siang hari dapat menyebabkan hypercapnic central apnea
saat tidur. Gangguan mekanisme respirasi sentral saat tidur dapat dijumpai pada
pasien gangguan susunan saraf pusat, misalnya pada penyakit Parkinson.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. EEG (Elektroensefalografi)
Melalui pemeriksaan EEG, diharapkan akan didapatkan perlambatan dari
gelombang listrik otak yang bersifat progresif
2. CT Scan Kepala
Melalui pemeriksaan CT Scan Kepala, diharapkan akan didapatkan gambaran
terjadinya atropi kortikal difus, dengan sulki melebar, dan hidrosefalus eks vakuo
3. Positron Emission Tomography ( PET )
Merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi
kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine nigrostriatal
dan peranannya dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik
pada pengambilan fluorodopa , khususnya di putamen , dapat diperlihatkan
hampir pada semua penderita penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini.Pada
saat awitan gejala , penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan
30% pada pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat
membedakan antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga

8
merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit ,
maupun secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon
fetus.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Penyakit Parkinson ditandai oleh gejala rigiditas, tremor dan bradikinesia.
Trias gejala ini dijumpai pada berbagai penyakit. Penyakit parkinson yang idiopatik
merupakan jenis yang paling sering dijumpao dan didapatkan pada usia menengah
atau lanjut. Penyakit Parkinson merupakan keadaan dimana didapatkan insufisiensi
dopamine di susunan saraf pusat. Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki sistem
dopaminegik di otak. Sebagian besar penderita akan mendapatkan manfaat dari terapi
fisik. Program terapi fisik adalah jangka panjang dan harus disesuaikan dengan jelas.
Penyakit Parkinson merupakan penyakit yang kronis yang membutuhkan penanganan
secara holistic meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk
menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala
yang timbul. Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala Parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena penyakit Parkinson, maka penyakit ini akan menemani pasien sepanjang
hidup.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi
total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan
dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap berbeda-beda
.kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan

9
lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang
dapat sangat parah.

DAFTAR PUSTAKA

De Long, Mahlon.Harrison Neurology in Clinical Medicine. First edition. McGraw-Hill


Professional.2006

Fahn, Stanley. Merrit’s Neurology. Tenth edition. Lippincott Williams & Wilkins.2000.

Harsono. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Neurologis Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia dan UGM. 2008.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. FKUI. 2007

10

Anda mungkin juga menyukai