Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KELOMPOK

PENGAWASAN MUTU INDUSTRI PETERNAKAN

SERTIFIKASI HACCP PADA PRODUK DAGING BEKU

OLEH:

INDRA WIJAYA (200110160176)


FADHIL MUHARRAM (I111 16 065)
TRISKA MEIDIANA (I111 16 303)
HARTATI (I111 16 041)
MUHAMMAD FAJAR A. (I111 16 347)
WARDIN (I111 16 045)
ANDI NURMASYITHA AS (I111 16 329)
ANISA (I111 16 063)
FADHLIYAH AMINUDDIN (I111 16 057)
WILDAYANTI (I111 16 053)
JUWILDA (I111 16 053)
DINA AULIA K. (I111 16 071)
MUH. IRGI FAHRESI K. (I111 16 325)
ANDI TENRI RAKIYAH (I111 16 009)
MUHAMMAD DICKY P. (I111 15 011)
FADEL MUHAMMAD (I111 15 019)
MUH. YASSER (I111 16 315)
MUH. ARMIN (I111 13 049)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Menjelang pelaksanaan liberalisasi di sektor industri dan perdagangan,

Menteri Perindustrian dan Perdagangan pernah mengisyaratkan bahwa di masa

mendatang industri pangan nasional akan menghadapi tantangan persaingan yang

makin berat dan kendala yang dihadapi pun semakin besar. Globalisasi ekonomi

negara, industri, penguasaan teknologi canggih, persaingan terbuka dan proteksi

ekonomi dalam blok-blok perdagangan internasional mengharuskan reorientasi

dalam strategi pembinaan dan pengembangan industri pangan nasional. Seperti

kita ketahui bersama bahwa dewasa ini masalah jaminan mutu dan keamanan
pangan terus berkembang sesuai dengan tuntutan dan persyaratan konsumen serta

dengan tingkat kehidupan dan kesejahteraan manusia. Bahkan pada beberapa

tahun terakhir ini, konsumen telah menyadari bahwa mutu dan keamanan pangan

tidak hanya bisa dijamin dengan hasil uji pada produk akhir di laboratorium saja.

Mereka berkeyakinan bahwa dengan pemakaian bahan baku yang baik, ditangani

atau di ”manage” dengan baik, diolah dan didistribusikan dengan baik akan

menghasilkan produk akhir pangan yang baik pula. Oleh karena itu,

berkembanglah berbagai sistem yang dapat memberikan jaminan mutu dan

keamanan pangan sejak proses produksi hingga ke tangan konsumen serta ISO-

9000, QMP (Quality Management Program), HACCP (Hazard Analysis Critical

Control Point) dan lain-lain.

Sebagai konsekwensi logis, strategi pembinaan dan pengawasan mutu

pada industri pangan nasional harus bergeser ke strategi yang juga wajib

memperhatikan aspek keamanan pangan tersebut, disamping aspek sumber daya

manusia, peningkatan keterampilan serta penguasaaan dan pengembangan

teknologi. Salah satu konsep dan strategi untuk menjamin keamanan dan mutu

pangan yang dianggap lebih efektif dan ”safe” serta telah diakui keandalannya

secara internasional adalah sistem manajemen keamanan pangan HACCP. Filosofi


sistem HACCP ini adalah pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan

pangan berdasarkan pencegahan preventif (preventive measure) yang dipercayai

lebih unggul dibanding dengan caracara tradisional (conventional) yang terlalu

menekankan pada sampling dan pengujian produk akhir di laboratorium. Sistem

HACCP lebih menekankan pada upaya pencegahan preventif untuk memberi

jaminan keamanan produk pangan.

Implementasikannya konsep HACCP ini pada setiap industri pengolah

pangan merupakan suatu keharusan yang direkomendasikan oleh WHO, begitu

pula negara-negara yang tergabung dalam MEE melaui EC Directive 91/493/EEC

juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan sistem

manajemen mutu dinegara-negara yang akan mengekspor produk hasil perikanan

dan udangnya ke negara-negara MEE tersebut. Berdasarkan uraian diatas, perlu

pengkajian mengenai pemahaman sistem HACCP, prinsip dasar dalam HACCP

sera pola penerapan dan pengembangan sistem HACCP.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang akan

diangkat pada penulisan makalah ini adalah:

1. Bagaimana Implementasi HACCP dalam produk pangan?

2. Apa prinsip dasar dalam sertifikasi HACCP?

3. Bagaimana pola penerapan dan pengembangan sistem HACCP?

4. Bagaimana pengajuan dalam proses sertifikasi HACCP?

Maksud dan Tujuan

Berdasarkan uraian diatas, adapun maksud dan tujuan dari penulisan

makalah ini adalah sebagai sumber informasi dan wawasan bagi mahasiswa dalam

penerapan sistem HACCP pada produk pangan, sebagai acuan dalam proses
pengajuan sertifikat HACCP , sebagai informasi bagi khalayak luas dalam proses

pengembagan, pengajuan dan pola penerapan sisten HACCP dalam produk

pangan.
PEMBAHASAN

Industri Pengolahan Daging Beku

Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna,

karena mengandung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein

hewani, energi, air, mineral dan vitamin (Soeparno, 2005). Kebutuhan daging sapi

di Indonesia sangat tinggi, Rumah Potong Hewan sangat berperan pada

penyediaan konsumsi daging di pasaran. Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan

bangunan yang di desain dengan kontruksi khusus untuk memenuhi persyaratan

teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan

potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Untuk memperoleh kualitas

daging yang baik dan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) maka perlu

diterapkan sistem pengawasan terhadap hewan potong di RPH dengan baik serta

ditunjang dengan sarana dan prasana baik yang mendukung.

Penanganan daging dilakukan di ruang Unit Penanganan Daging (UPD), di

ruang tersebut daging hasil pemotongan kemudian akan di parting untuk

mempermudah dalam proses pengangkutan daging ke pasar dan depot daging.

Proses penanganan daging di RPH harus sesuai dengan persyaratan yang berlaku,

peralatan yang digunakan dalam penanganan daging juga sudah memenuhi syarat

agar daging tetap baik dan higienis sampai di pasar. Ada beberapa faktor yang

harus diperhatikan dalam higiene daging, antara lain higiene karyawan, higiene

peralatan dan higiene ruang penanganan daging.

Daging yang dapat diedarkan untuk dikonsumsi sebelum diedarkan harus

dilayukan selama sekurang-kurangnya 8 jam dengan cara menggantungkan di

dalam ruangan pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik dan bersih.
Daging yang baik tidak boleh ditambahkan zat yang dapat mengubah warna

aslinya, dicegah kontak antara daging dengan lantai dan dijaga agar daging tidak

terkontaminasi (Soeparno, 2005).

Proses penyimpanan daging dapat dilakukan dengan proses refrigerasi dan

penyimpanan beku. 1) Refrigerasi, penyimpanan karkas atau daging pada

temperatur dingin, meskipun dalam waktu yang singkat, diperlukan untuk

mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan kerusakan dan perkembangan

mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama

penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan karkas dalam

bentuk yang belum di potong-potong. Penyimpanan daging dingin sebaiknya

dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena adanya perubahan- perubahan

kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan (Soeparno,

2005). 2) Penyimpanan beku, pembekuan merupakan metode yang sangat baik

untuk pengawetan daging. Proses pembekuan tidak berpengaruh pada sifat

kualitatif maupun organoleptik termasuk warna, flavor. Nilai nutrisi daging secara

relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dari penyimpanan beku

dalam jangka waktu terbatas. Perubahan kualitas daging beku sangat minimal

pada temperatur penyimpanan -180C, sehingga temperatur pembekuan ini

dipergunakan sebagai dasar penyimpanan beku (Soeparno, 2005).

Kemunduran Mutu Daging

Kemunduran mutu daging segar terutama diawali dengan proses

perombakan oleh aktifitas enzim proteolitik yang secara alami terdapat pada tubuh

ikan. Salah satu enzin tersebut adalah enzim katepsin yang berperan melunakkan

tekstur daging ikan akibat degradasi protein miofibril sehingga mempercepat


proses kemunduran mutu. (Jiang, 2000).

Standardisasi Mutu Daging

Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran

seperti berikut kenampakan mata cerah, cemerlang bau segar, tekstur elastis, padat

dan kompak sesuai SNI 01-2729-2006. Secara mikrobiologidan kimia juga harus

memenuhi syarat standar kelayakan, di bawah ini tabel 2 dan tabel 3 yang

menjelaskan persyaratan mutu dan keamanan pangan sesuai SNI 01-4110-2014

dan persyaratan standar mutu ikan segar berdasarkan SNI 01-2729-2006.

Tabel 1. Persyaratan Mutu Daging


Jenis Analisis Satuan Persyaratan Mutu
a. Organoleptik - Min.7 (skor 1-9)
b. Kimia
c
Histamin Mg/kg Maks. 100
TVB mgN% Maks. 20
c. Fisika
Suhu pusat C Maks. -18
d. Cemaran mikroba
5
ALT Koloni/g Maks. 5,0x10
Escherichia coli APM/g <3
Salmonella Per 25 g Negative
a
Vibrio cholera Per 25 g Negative
a
Vibrio parahaemolyticus APM/g <3
a,f
Listeria monocytogenes Per 25 g Negative
a
e. Cemaran logam berat
Arsen (As) Mg/kg Maks.1,0
Cadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,1
b
Mg/kg Maks. 0,5
d
Mg/kg Maks. 0,05
a
e. Cemaran logam berat
Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,5
b
Mg/kg Maks. 1,0
Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40,0
Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 0,3
b
Mg/kg Maks. 0,4
d
Mg/kg Maks. 0,3
a
f. Cemaran fisik -
Filth 0
a
g. Racun hayati -
Ciguatoksin Negatif
A
h. Parasite
Cacing Parasit ekor 0

Pembekuan Daging

Pembekuan daging berarti menyiapkan daging untuk disimpan di dalam

suhu rendah (cold storage). Pembekuan bukanlah sebuah cara pengawetan

(Adawyah, 2008). Pembekuan daging menggunakan suhu yang lebih rendah, yaitu

dibawah titik beku daging. Pembekuan mengubah hampir seluruh kandungan air

pada ikan menjadi edis, tetapi pada waktu daging beku dilelehkan kembali untuk

digunakan, keadaan daging harus kembali seperti semula. Keadaan beku

menghambat aktivitas bakteri dan enzim sehingga daya awet daging beku lebih

besar dibandingkan dengan daging yang hanya didinginkan. Pada suhu -12°C,

keadaan bakteri telah dapat dihentikan, tetapi proses kimia enzimatis masih terus

berjalan.

Proses Pembekuan Daging

Pembekuan berarti mengubah kandungan cairan itu menjadi es. Daging

mulai membeku pada suhu antara -0,6ᵒC sampa -2ᵒC, atau rata-rata pada -1ᵒC.

Free water adalah yang paling awal membeku, disusul oleh bound water.

Pembekuan dimulai dari bagian luar, bagian tengah membeku paling akhir.

Pembekuan merupakan pengeluaran panas dari bahan yang dibekukan. Prosesnya

terbagi atas tiga tahapan yaitu tahap pertama, suhu menurun hingga saat

tercapainya titik beku. Tahap kedua, suhu turun perlahan-lahan karena 2 hal,

penarikan panas dari ikan bukan penurunan suhu, melainkan karena pembekuan
air di dalam tubuh ikan, dan terbentuknya es pada bagian luar daging adalah

penghambat untuk proses pendinginan dari bagian-bagian di dalam. Tahap ketiga,

jika kira-kira tiga perempat bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan

suhu kembali berjalan cepat (Adawyah, 2008). Berdasarkan panjang pendeknya

thermal arrest time, pembekuan dibagi menjadi dua yaitu pembekuan cepat (quick

freezing), yaitu pembekuan dengan waktu tidak lebih dari dua jam dan pembekuan

lambat (slowfreezing atau sharp freezing), yaitu bila waktu pembekuan lebih dari

dua jam (Adawyah, 2008).

Kristal-kristal es yang terbentuk selama pembekuan berbeda ukurannya

tergantung kepada kecepatan pembekuan. Pembekuan cepat menghasilkan Kristal

yang kecil-kecil di dalam jaringan daging beku. Jika daging yang dibekukan

dicairkan kembali maka kristal-kristal yang keluar akan diserap kembali oleh

daging dan hanya sedikit yang lolos. Pembekuan lambat akan menghasilkan

kristal yang besar-besar sehingga merusak jaringan daging, sehingga tekstur

daging setelah dicairkan menjadi kurang baik karena akan berongga-rongga.

Prosedur Pengolahan Daging Beku

Dalam pengolahan daging beku, terdapat beberapa prosedur yang dijalani

agar tercapai standar yang ditentukan dan dapat mendapat sertifikat HACCP

adalah penangan yang dilakukan dari mulai penyediaan bahan baku, sampai bahan

siap jual pada konsumen, diagram tersebut menunjukan bahwa proses sertifikasi

HACCP pada industri daging beku dilaksanakan dari penanganan bahan baku

berupa ternak hidup, penyembelihan, sampai dengan proses pengemasan dan

distribusi pada konsumen. Proses alur produksi tersebut tersaji pada gambar 1.
Gambar 1. Alur produksi daging beku

Cooling unit

Metal detector Packing dan distribusi

Gambar 1. Alur produksi daging beku

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Implememntasi dalam

Industri Daging Beku

HACCP merupakan suatu sistem manajemen pengawasan dan

pengendalian keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional dan

sistematis dengan tujuan untuk mengidentifikasi, memonitor dan mengendalikan

bahaya (hazard) mulai dari bahan baku, selama proses produksi/pengolahan,

manufakturing, penanganan dan penggunaan bahan pangan untuk menjamin

bahwa bahan pangan tersebut aman bila dikonsumsi (Motarkemi dkk, 1996 ;

Stevenson, 1990). Dengan demikian dalam sistem HACCP, bahan/materi yang

dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan ataupun yang

dapat menyebabkan produk makanan menjadi tidak disukai; diidentifikasi dan

diteliti dimana kemungkinan besar terjadi kontaminasi/pencemaran atau

kerusakan produk makanan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahapan
proses pengolahan bahan sampai distribusi dan penggunaannya. Kunci utama

HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik kendali kritis.

Konsep sistem HACCP sebagai penjamin keamanan pangan pertama kali

dikembangkan oleh tiga institusi, yaitu perusahaan pengolah pangan Pillsbury

Company bekerjasama dengan NASA (The National Aeronaties and Space

Administration) dan US Arm’s Research, Development and Engineering Center

pada dekade tahun 1960-an dalam rangka menjamin suplai persediaan makanan

untuk para astronotnya (Adams, 1994 ; Motarjemi dkk, 1996 ; Vail, 1994).

Konsep ini pada permulaannya dikembangkan dengan misi untuk menghasilkan

produk daging beku dengan kriteria yang bebas dari bakteri pathogen yang bisa

menyebabkan adanya keracunan maupun bebas dari bakteri-bakteri lain serta

dikenal pula dengan program ”zero-defects” (Hobbs, 1991). Program ”zero-

defects” ini esensinya mencakup tiga hal, yaitu : pengendalian bahan baku,

pengendalian seluruh proses dan pengendalian pada lingkungan produksinya serta

tidak hanya mengandalkan pemeriksaan pada produk akhir (finished products)

saja. Oleh karena hal tersebut maka diperlukan sistem/metode pendekatan lain

yang bisa menjamin bahwa faktorfaktor yang merugikan harus benar-benar dapat
diawasi dan dikendalikan. Dari hasil pengkajian, evaluasi dan penelitian yang

lebih mendalam ternyata sistem/metode HACCP merupakan satu-satunya konsep

yang pas (sesuai) kinerjanya untuk program ”zero-defects” tersebut (National

Food Processors Association’s Microbiology And Foodsafety Committee, 1992).

Konsep HACCP ini pun telah mengalami revisi, kajian ulang dan

penyempurnaan dari berbagai institusi yang memberikan masukannya seperti

National Advisory Committee On Microbiological Criteria on Foods (NACMCF),

US Departement of Agriculture (USDA), National Academiy of Sciences (NAS),

USDA Food Safety and Inspection Service (FSIS) (Adams, 1994) ; The National

Marine Fisheries Institute (NMFS), National Oceanic and Atmospherie


Administration (NOAA), National Fisheries Institute (NFI) dan FDA sendiri

(Garrett III dan Hudak-rose, 1991). Perkembangan selanjutnya konsep HACCP ini

telah banyak diimplementasikan di berbagai jenis operasi pengolahan pangan

termasuk pula pada jasa ”catering” dan ”domestic kitchen” dan dalam

implementasinya biasanya dilakukan validasi dan verifikasi oleh Badan/Lembaga

pengawas keamanan pangan.

Sistem HACCP dapat dikatakan pula sebagai alat pengukur atau

pengendali yang memfokuskan perhatiannya pada jaminan keamanan daging

beku, terutama sekali untuk mengeliminasi adanya bahaya (hazard) yang berasal

dari bahaya mikrobiologi (biologi), kimia dan fisika ; dengan cara mencegah dan

mengantisipasi terlebih dahulu daripada memeriksa/menginspeksi saja. Sementara

itu, tujuan dan sasaran HACCP adalah memperkecil kemungkinan adanya

kontaminasi mikroba pathogen dan memperkecil potensi mereka untuk tumbuh

dan berkembang. Oleh karena itu, secara individu setiap produk dan sistem

pengolahannya dalam industri daging beku harus mempertimbangkan rencana

pengembangan HACCP. Dengan demikian, setiap produk dalam industri daging

beku yang dihasilkannya akan mempunyai konsep rencana penerapan HACCP-


nya masing-masing disesuaikan dengan sistem produksinya. Bagi industri

pengolahan daging beku, sistem HACCP sebagai sistem penjamin keamanan

daging beku mempunyai kegunaan dalam hal, yaitu : (1) Mencegah penarikan

produk daging beku yang dihasilkan, (2) Mencegah penutupan pabrik, (3)

Meningkatkan jaminan keamanan produk, (4) Pembenahan dan pembersihan

pabrik, (5) Mencegah kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar, (6) Meningkatkan

kepercayaan konsumen dan (7) Mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang

mungkin timbul karena masalah keamanan produk.

Pendekatan HACCP dalam industri pangan terutama diarahkan terhadap

produk pangan (makanan) yang mempunyai resiko tinggi sebagai penyebab


penyakit dan keracunan, yaitu makanan yang mudah terkontaminasi oleh bahaya

mikrobiologi, kimia dan fisika (Tabel 1).


Tabel 1. Pengolahan Makanan Berdasarkan Resiko Kesehatan dan beberapa
contohnya
Tingkat resiko Jenis Makanan
kesehatan
Resiko Tinggi 1. Susu dan produk olahannya
2. Daging (sapi, ayam, kambing, dsb) dan produk
olahannya
3. Hasil perikanan dan produk olahannya
4. Sayuran dan produk olahannya
5. Produk makanan berasan rendah lainnya
Resiko Sedang 1. Keju Es krim
2. Makanan beku
3. Sari buah beku
4. Buah-buahan dan sayuran beku
5. Daging dan ikan beku
Resiko Rendah 1. Serealia
2. biji-bijian
3. Makanan kering
4. Kop, teh

Perinsip Dasar Sistem Hazard Analisis Critical Control Point (HACCP) Pada

Industri Daging Beku

Secara teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan sistem

HACCP pada industri pangan seperti yang direkomendasikan baik oleh NACMCP

(National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods, 1992) dan

CAC (Codex Alintarius Commission, 1993). Ketujuh prinsip dasar penting

HACCP yang merupakan dasar filosofi HACCP tersebut adalah:

1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara

pencegahannya pada produk daging beku.

Pendekatan pertama pada konsep HACCP adalah analisis bahaya yang

berkaitan dengan semua aspek produk yang sedang diproduksi pada

prosesproduksi daging beku. Pemeriksaan atau analisis terhadap bahaya ini harus

dilaksanakan, sebagai tahap utama untuk mengidentifikasi semua bahaya yang

dapat terjadi bila produk daging beku untuk dikonsumsi. Analisis bahaya harus
dilaksanakan menyeluruh dan realistik, dari bahan baku hingga ke tangan

konsumen. Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan dibedakan atas

tiga kelompok bahaya, yaitu :

1) Bahaya Biologis/Mikrobiologis, pada proses pembekuang daging, bahaya

ini muncul disebabkan oleh bakteri pathogen, virus atau parasit yang dapat

menyebabkan keracunan, penyakit infeksi atau infestasi, misalnya : E. coli

pathogenik, Listeria monocytogenes, Bacillus sp., Clostridium sp., Virus

hepatitis A, dan lain;

2) Bahaya Kimia, mungkin saja terjadi paparan pada ternak karena

tertelannya toksin alami atau bahan kimia yang beracun, misalnya :

aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang, alkoloid pirolizidin,

pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan, logam-logam berat (Pb, Zn,

Ag, Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit, sulfit), pewarna (amaranth,

rhodamin B, methanyl jellow), lubrikan, sanitizer, dan sebagainya.

3) Bahaya Fisik, karena tertelannya atau terdapat benda-benda asing yang

seharusnya tidak boleh terdapat di dalam makanan, misalnya : pecahan

gelas, potongan kayu, kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik,


bagian tubuh (rambut), sisik, duri, kulit dan lain-lain.

Agar analisis bahaya ini dapat benar-benar mencapai hasil yang dapat

menjamin semua informasi mengenai bahaya dapat diperoleh, maka analisis

bahaya harus dilaksanakan secara sistematik dan terorganisasi. Ada tiga elemen

dalam analisis bahaya dalam prosedur pembuatan daging beku, diantaranya: 1).

Menyusun tim HACCP; 2). Mendefisinikan produk: cara produk dikonsumsi dan

sifat-sifat negatif produk yang harus dikontrol dan dikendalikan; 3). Identifikasi

bahaya pada titik kendali kritis dengan mempersiapkan diagram alir proses yang

teliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, untuk menghasilkan suatu produk.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis (CCP) di dalam proses

produksi pada daging beku.

Titik kendali kritis (CCP) didefinisikan sebagai suatu titik lokasi, setiap

langkah/tahap dalam proses, atau prosedur, apabila tidak terkendali (terawasi)

dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya makanan,

kerusakan (spoilage), dan resiko kerugian ekonomi. CCP ini ditentukan setelah

diagram alir proses produksi yang sudah teridentifikasi potensi bahaya pada setiap

tahap produksi dengan menjawab pertanyaan ”Apakah pengawasan/pengendalian

kritis dari bahaya (hazard) terjadi pada tahap ini atau yang lain; apabila

pengawasan/pengendalian pada tahap tertentu gagal apakah langsung

menghasilkan bahaya yang tak diinginkan, kerusakan dan kerugian secara

ekonomi”. Harus diperhatikan titik kendali (CP) tidaklah sama dengan titik

kendali kritis (CCP).

Secara sistematis untuk mengidentifikasi dan mengenali setiap titik kendali

kritis (CCP) dapat dilakukan dengan metode alur keputusan atau CCP Decission

Tree seperti terlihat pada Gambar 1.


Gambar 1. CPP Decession Tree
Sumber: The design of HACCP Plan for Potato Chips in Baglades (M. Easdani,
dkk. 2012)
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah

teridentifikasi pada indutri daging beku)

Setelah semua CCP dan parameter pengendali yang berkaitan dengan

setiap CCP teridentifikasi, Tim HACCP harus menetapkan batas kritis untuk

setiap CCP. Biasanya batas kritis untuk bahaya biologis/mikrobiologis, kimia dan

fisika untuk setiap jenis produk berbeda satu sama lainnya. Batas kritis
didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima untuk mengamankan

bahaya, sehingga titik kendali dapat mengendalikan bahaya kesehatan secara

cermat dan efektif. Batas kritis yang sudah ditetapkan ini tidak boleh dilanggar

atau dilampaui nilainya, karena bila suatu nilai batas kritis yang dilanggar dan

kemudian titik kendali kritisnya lepas dari kendali, maka dapat menyebabkan

terjadinya bahaya terhadap kesehatan konsumen.

Beberapa contoh batas kritis yang perlu ditetapkan sebagai alat pencegah

timbulnya bahaya, misalnya adalah ; suhu dan waktu maksimal untuk proses

thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendinginan, suhu dan waktu

tertentu untuk proses sterilisasi komersial, jumlah residu pestisida yang

diperkenankan ada dalam bahan pangan, pH maksimal yang diperkenankan, bobot

pengisian maksimal, viskositas maksimal yang diperkenankan dan sebagainya.

Selain batas kritis untuk residu pestisida yang berasal dari komoditas pertanian,

batas kritis bahan kimia lain yang berpotensi sebagai bahaya kimia juga harus

ditetapkan. Dalam hal ini tim HACCP harus menggunakan peraturan-peraturan

yang sudah ditetapkan sebagai panduan dalam menetapkan batas kritis untuk

semua Bahan Tambahan Makanan (BTM), termasuk bahan kimia yang digunakan

dalam bahan pengemas yang bersentuhan dengan produk pangan. Batas kritis
untuk setiap CCP perlu didokumentasikan. Dokumentasi ini harus dapat

menjelaskan bagaimana setiap batas kritis dapat diterima dan harus disimpan

sebagai bagian dari rencana formal HACCP

4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk memonitor CCP.

Setelah prinsip III dilengkapi dengan penetapan batas kritis untuk semua

CCP, tim HACCP harus menetapkan persyaratan monitoring untuk setiap CCP-

nya. Monitoring merupakan rencana pengawasan dan pengukuran

berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dalam keadaan terkendali

dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan dalam verifikasi

nantinya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1) Pemeriksaan apakah prosedur

penanganan dan pengolahan pada CCP dapat dikendalikan dengan baik ; (2)

Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap efektifitas sustu proses untuk

mengendalikan CCP dan batas kritisnya ; (3) Pengamatan atau pengukuran batas

kritis untuk memperoleh data yang teliti, dengan tujuan untuk menjamin bahwa

batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk (Corleett, 1991).

Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi agar dapat

memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan produk pangan masih


dalam batas kritisnya dan dijamin tidak ada bahayanya. Dalam hal ini, metode,

prosedur dan frekuensi monitoring serta kemampuan hitungnya harus dibuat

daftarnya pada lembaran kerja HACCP.

Prosedur dan metode monitoring harus efektif dalam memberi jaminan

keamanan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Idealnya, monitoring pada

CCP dilakukan secara kontinyu hingga dicapai tingkat kepercayaan 100 persen.

Namun bila hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan monitoring secara tidak

kontinyu dengan syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang

sesuai sehingga keamanan pangan benar-benar terjamin. Biasanya agar

pengukurannya dapat dilakukan secara cepat dan tepat, monitoring dilakukan


dengan cara pengujian yang bersifat otomatis dan tidak memerlukan waktu yang

lama. Oleh karena itu, pengujian dengan cara analisis mikrobiologis jarang

digunakan sebagai prosedur monitoring. Beberapa contoh pengukuran dalam

pemantauan (monitoring) adalah : observasi secara visual dan pengamatan

langsung (misal : kebersihan lingkungan pengolahan, penyimpanan bahan

mentah), pengukuran suhu dan waktu proses, pH, kadar air dsb.

5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila

terjadi penyimpangan (deviasi) pada batas kritis pengolahan daging beku.

Meskipun sistem HACCP sudah dirancang untuk dapat mengenali kemungkinan

adanya bahaya yang berhubungan dengan kesehatan dan untuk membangun

strategi pencegahan preventif terhadap bahaya, tetapi kadang-kadang terjadi pula

penyimpangan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, jika dari hasil pemantuan

(monitoring) ternyata menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap CCP dan

batas kritisnya, maka harus dilakukan tindakan koreksi (corrective action) atau

perbaikan dari penyimpangan tersebut. Tindakan koreksi adalah prosedur proses

yang harus dilaksanakan ketika kesalahan serius atau kritis diketemukan dan batas

kritisnya terlampaui. Dengan demikian, apabila terjadi kegagalan dalam


pengawasan pada CCP-nya, maka tindakan koreksi harus segera dilaksanakan.

Tindakan koreksi ini dapat berbeda-beda tergantung dari tingkat resiko produk,

yaitu semakin tinggi resiko produk semakin cepat tindakan koreksi harus

dilakukan (Tabel 2.).


Tabel 2. Tindakan Koreksi yang harus dilakukan jika ditemukan penyimpangan
dari batas pada CCP-nya.
Tingkat Resiko Tindakan Koreksi
Produk beresiko 1. Produk tidak boleh diproses/diproduksi sebelum
tinggi semua penyimpanan dikoreksi/diperbaiki.
2. Produk ditahan/tidak dipasarkan, dan diuji
keamanannya.
3. Jika keamanan produk tidak memenuhi persyaratan,
perlu dilakukan tindakan koreksi/perbaikan yng tepat
Produk beresiko 1. Produk dapat diproses, tetapi penyimpangan harus
sedang diperbaiki dalam waktu singkat (dalam beberapa
hari/minggu).
2. Diperlukan pemantauan khusus sampai semua
penyimpangan dikoreksi /diperbaiki.
Produk beresiko 1. Produk dapat diproses
rendah 2. Penyimpangan harus dikoreksi/diperbaiki jika waktu
memungkinkan
3. Harus dilakukan pengawasan rutin untuk menjamin
bahwa status resiko rendah tidak berubah menjadi
resiko sedang atau tinggi
Tindakan koreksi di sini harus dapat mengurangi atau mengeliminasi

potensi bahaya dan resiko yang terjadi, ketika batas kritis terlampaui pada CCP-

nya sehingga dapat menjamin bahwa disposisi produk yang tidak memenuhi, tidak

mengakibatkan potensi bahaya baru. Setiap tindakan koreksi dilaksanakan, harus

didokumentasikan dengan tujuan untuk modifikasi suatu proses atau


pengembangan lainnya.

6. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan

datanya (Record keeping).

Sistem doumentasi dalam sistem HACCP bertujuan untuk : (1)

Mengarsipkan rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang

teliti dan rapih mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP ; (2)

Memudahkan pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk

yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus keracunan

makanan.

Berbagai keterangan yang harus dicatat untuk dokumentasi sistem dan

penerapan HACCP mencakup ; 1) Judul dan tanggal pencatatan; 2) Keterangan

produk (kode, tanggal dan waktu produksi); 3) Karakteristik produk

(penggolongan resiko bahaya); 4) Bahan serta peralatan yang digunakan,

termasuk : bahan mentah, bahan tambahan, bahan pengemas dan peralatan penting

lainnya; 5) Tahap/bagan alir proses, termasuk : penanganan dan penyimpanan

bahan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan produk dan distribusinya; 6) Jenis

bahaya pada setiap tahap; 6) CCP dan batas kritis yang telah ditetapkan; 7)

Penyimpangan dari batas kritis; 8) Tindakan koreksi/perbaikan yang harus


dilakukan jika terjadi penyimpangan; 9) karyawan/petugas yang bertanggung

jawab untuk melakukan koreksi/ perbaikan.

Pada tahapan melakukan pencatatan, beberapa hal yang dianjurkan adalah

catatan harus sistematis, rapih dan teratur. Disamping itu, bila pencatatan dan

pendokumentasian dilakukan tepat dan sesuai dengan sistem HACCP, maka

berarti keefektifan sistem dokumentasi HACCP dapat diuji atau dibuktikan.

7. Menetapkan prosedur untuk menguji kebenaran.

Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan : (1) Untuk memeriksa apakah

program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan HACCP yang

ditetapkan dan (2) Untuk menjamin bahwa rancangan HACCP yang ditetapkan

masih efektif dan benar. Hasil verifikasi ini dapat pula digunakan sebagai

informasi tambahan dalam memberikan jaminan bahwa program HACCP telah

terlaksana dengan baik.

Verifikasi mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan dan

penerapan HACCP, yaitu : 1) Penetapan jadwal verifikasi yang tepat 

Pemeriksaan kembali (review) rancangan HACCP; 2) Pemeriksaan atau

penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya; 3) Pemeriksaan


penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang harus

dilakukan; 4) Pengampilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau

mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis; 5) Catatan

tertulis mengenai : kesesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap

rancangan HACCP, pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP; 6) Pemeriksaan

kembali modifikasi rancangan HACCP (Corlett, 1991).


Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat

tertentu, dapat dilakukan secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa

CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Jika diketahui bahwa produk

tertentu memerlukan perhatian khusus karena informasi terbaru tentang keamanan


pangan. Jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab

keracunan makanan. Jika kriteria yang ditetapkan dalam rancangan HACCP

dirasakan belum mantap, atau jika ada saran dari instansi yang berwenang.

Pola Penerapan dan Pengembangan Sistem HACCP dalam Industri Daging

Beku

Pada dasarnya untuk merancang dan menerapkan sistem HACCP dalam

industri pangan perlu mempertimbangkan pengaruh berbagai hal terhadap

keamanan pangan, misal : bahan mentah, ingredien dan bahan tambahan, praktek

pengolahan makanan, peranan proses pengolahan dan pengendalian bahaya, cara

mengkonsumsi produk, resiko masyarakat konsumen, dan keadaan epidemiologi

yang menyangkut keamanan pangan. Keberhasilan dalam penerapan HACCP

membutuhkan tanggung jawab penuh dan keterlibatan manajemen serta tenaga

kerja. Keberhasilan penerapan HACCP juga membutuhkan kerjasama tim yang

baik. Kemudian untuk memperoleh program yang efektif dan menyeluruh dalam

penerapan/implementasi HACCP perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut :

1. Komitmen Manajemen

Keberhasilan penerapan / implementasi sistem HACCP sangatlah


tergantung pada manajemen sebagai penanggung jawab tertinggi. Mereka harus

menyatakan komitmen tidak hanya dalam kata-kata saja melainkan juga dalam

tindakan. Seluruh karyawan dan staf nantinya harus tahu bahwa manajemen

adalah yang paling bertanggung jawab memikul beban tugas implementasi ini.

Dengan demikian segala sumber daya yang diperlukan untuk mendukung

implementasi HACCP harus disediakan baik manusia maupun peralatan, sarana,

dokumentasi, informasi, metode, lingkungan, bahan baku dan waktu.

2. Pembentukan Tim HACCP

Setelah Pimpinan Puncak mempunyai komitmen manajemen terhadap

program keamanan pangan, maka mereka membentuk tim HACCP yang bertugas
dan bertanggung jawab dalam hal perencanaan, penerapan dan pengembangan

sistem HACCP. Anggota tim implementasi HACCP sebaiknya terdiri dari

berbagai bidang disiplin ilmu (multidisiplin) yang mempunyai pengetahuan dan

keahlian spesifik yang tepat untuk produk. Dalam hal ini anggotanya tidak perlu

dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi, pengendalian mutu atau QC,

jaminan mutu (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), R & D serta

sanitasi. Mereka merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan

pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan

masukan (input) dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem HACCP

secara efektif dan benar

3. Pelatihan Tim HACCP

Individu personil yang terpilih dalam tim HACCP kemudian diberi

pelatihan (training) mengenai prinsip-prinsip HACCP dan cara implementasinya

(misalnya tentang hazard dan analisisnya, peran titik kendali kritis dan batas kritis

dalam menjaga keamanan pangan, prosedur monitoring dan tindakan koreksi yang

harus dilakukan seandainya ada penyimpangan CCP, prosedur dokumentasi

HACCP dan lain-lain). Pelatihan dan pendidikan ini bertujuan untuk


meningkatkan pengetahuan (knowledge) dan mengembangkan keahlian (skill)

personil yang bersangkutan guna memperlancar pelaksanaan pekerjaan yang

menjadi tanggung jawabnya. Pelatihan dapat dilakukan oleh tenaga ahli berasal

dari dalam perusahaan sendiri atau tenaga ahli dari luar perusahaan atau konsultan

manajemen HACCP yang dapat memberi bantuan dalam implementasi HACCP

tersebut.

4. Deskripsi Produk

Tim HACCP yang telah dibentuk dan disusun selanjutnya harus

mendiskripsikan/menggambarkan secara menyeluruh terhadap produk pangan

yang akan dibuat/diproduksi. Dalam hal ini keterangan atau karakteristik yang
lengkap mengenai produk harus dibuat, termasuk keterangan mengenai komposisi

(ingredien), formulasi, daya awet dan cara distribusinya. Semua informasi tersebut

diperlukan oleh tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan

komprehensif.

5. Identifikasi Pelanggan/Konsumen

Kemudian tim HACCP harus mengidentifikasi tujuan penggunaan produk.

Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada konsumen atau pengguna akhir

dari produk tersebut. Pada kasus, harus dipertimbangkan kelompok

populasi/masyarakat beresiko tinggi.

6. Penyusunan Bagan Alir Produksi

Bagan/diagram alir proses harus disusun oleh tim HACCP. Setiap tahap

dalam proses tertentu harus dianalisis untuk menyusun bagan alirnya. Dalam

menerapkan HACCP untuk suatu proses, pertimbangan harus diberikan terhadap

tahap sebelum dan sesudah proses tersebut.

Tujuan dibuatnya alir proses adalah untuk menggambarkan tahapan proses

produksi secara dalam industri pangan yang bersangkutan serta untuk melihat

tahapan proses produksi tersebut menjadi mudah dikenali. Bagan/diagram alir


proses ini selain bermanfaat membantu tin HACCP dalam melaksanakan

tugasnya, dapat pula berfungsi sebagai ”Pedoman” berikutnya bagi orang

(personil) atau lembaga lainnya (pemerintah dan pelanggan) yang ingin

mengetahui tahap proses produksi pangan yang dibuatnya sehubungan dengan

kegiatan verifikasinya.

7. Menguji dan Memeriksa Diagram Alir Proses

Tim HACCP harus menguji dan memeriksa kembali diagram alir proses

yang sudah dibuat. Dalam hal ini, tim HACCP harus menyesuaikan kegiatan

proses pengolahan yang sebenarnya (di pabrik) dengan bagan alir proses pada

setiap tahap dan waktu proses, dan jika perlu mengubah diagram alir proses bila
ditemukan hal-hal yang tidak sesuai atau kurang sempurna. Dengan demikian, bila

ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat dan kurang sempurna, dapat

dilakukan modifikasi.

8. Menerapkan Tujuh Prinsip HACCP

Tujuh prinsip penting HACCP yang harus diterapkan adalah; 1) Membuat

daftar bahaya yang mungkin timbul dan cara pencegahan untuk mengendalikan

bahaya; 2) Menetapkan titik kendali kritis (CCP = Critical Control Point); 3)

Menetapan batas/limit kritis untuk setiap titik kendali kritis (CCP); 4) Menetapkan

sistem/prosedur pemantauan untuk setiap CCP; 5) Menetapkan tindakan koreksi

terhadap penyimpangan; 6) Menetapkan prosedur verifikasi untuk membuktikan

bahwa sistem HACCP berjalan dengan baik dan benar; 7) Membuat catatan dan

dokumentasi. Catatan data yang praktis dan teliti merupakan hal yang penting

dalam penerapan sistem HACCP.

Proses Sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Point Produk Daging

Beku

Keamanan hasil pangan merupakan persyaratan utama dan terpenting dari

seluruh parameter mutu pangan mengingat dewasa ini konsumen semakin


menyadari bahwa mutu pangan khususnya keamanan pangan tidak dapat hanya

dijamin dengan hasil uji produk akhir dari laboratorium. Produk yang aman

didapat dari bahan baku yang ditangani dengan baik, diolah dan didistribusikan

dengan baik sehingga akan menghasilkan produk akhir yang baik.

Hazard Analisis and Critical Control Point pada produk daging beku

merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi bahaya spesifik yang mungkin

timbul pada produk daging beku dan cara pencegahannya untuk mengendalikan

bahaya tersebut. CCP suatu titik, tahap, atau prosedur dimana bahaya yang

berhubungan dengan pangan dapat dicegah, di eliminasi, atau dikurangi hingga ke

titik yang dapat diterima (diperbolehkan atau titik aman). CCP produk daging
beku adalah meliputi bahaya mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.

bahaya mikrobiologis berasal dari bahan baku daging yaitu adanya bakteri

pathogen seperti Salmonella, S. aureus, Y. enterocolitica, C. perfringens, E.

colipatogenik, L. monocytogenes, virusenteric, parasit dan mikroorganisme yang

tahan pada suhu rendah, serta mikroorganisme yang mampu memproduksi spora.

Bahaya yang timbul akibat cemaran miroorganisme dapat dikurangi atau bahkan

dihilangkan melalui proses yang dapat dilakukan sesuai CCP.

Bahaya kimia meliputi bahaya yang berasal dari bahan tambahan pangan

atau non pangan. Bahan tambahan non pangan yang seringkali ditambahkan pada

daging beku seperti formalin dan boraks. Bahan tambahan pangan yang tidak

dilarang namun dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek kurang baik pada

kesehatan contohnya pewarna. Sebenarnya bahaya ini bukan berasal dari bahan

baku, melainkan bahaya ini timbul akibat penambahan bahan-bahan secara

sengaja. Bahaya fisik timbul dari benda benda asing yang tercampur secara tidak

sengaja selama proses produksi. Misalnya isi strapler, batu, rambut ternak atau

manusia. Bahaya ini dapat dihilangkan dengan pengawasan sanitasi selama proses

produksi.
Langkah untuk mengantisipasi hal tersebut, serta adanya tuntutan dalam

pasar bebas, salah satu langkah yang telah diterbitkan oleh pemerintah salah

satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu mengembangkan suatu sistem

jaminan mutu berdasarkan konsep HACCP yang harus diterapkan oleh pelaku

usaha perikanan khususnya, dan pelaku pengolahan pangan secara umum, mulai

bahan baku hingga produk akhir. Untuk memastikan bahwa suatu unit pengolahan

pangan menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil pangan berdasarkan

prinsip-prinsip HACCP sesuai persyaratan yang telah ditentukan, maka otoritas

kompeten melakukan pengendalian melalui kegiatan inspeksi. Inspeksi dilakukan

baik dalam rangka persetujuan oleh otoritas kompeten melalui sertifikasi


penerapan HACCP maupun dalam rangka pengecekan efektifitas dan penerbitan

sertifikat kesehatan melalui surveilan.

Gambar 2. Proses pengajuan sertifikat HACCP


Sumber: BIKPM Kementrian Kelautan dan Perikanan

Keterangan alur proses:

(1). Unit pengolahan daging mengajukan permohonan Sertifikasi.

(2-3). BKIPM menugaskan Inspektur Mutu untuk melakukan inspeksi ke

unit pengolahan.

(4). Unit pengolahan daging membuat laporan tindakan perbaikan hasil

temuan ke inspektur mutu untuk di verifikasi.

(5). Laporan hasil verifikasi disampaikan ke BKIPM.

(6). BKIPM melakukan proses Sertifikasi Penerapan HACCP hingga

terbit, dan menyampaikan Sertifikat tersebut secara langsung

kepada pihak unit pengolahan daging.


Pada proses pengajuan sertifikat HACCP, ada beberapa persyaratan dan

tahapan yang harus dilalui dan dipenuhi oleh pelaku usaha daging beku.

Permohonan sertifikat penerapan HACCP dapat didapatkan dengan cara:

1. Unit pengolahan daging mengajukan permohonan untuk mendapatkan

sertifikat penerapan HACCP melalui pos atau surat elektronik kepada

komite akreditasi nasional atau lembaga yang memiliki wewenang untuk

mengeluarkan sertifikat HACCP. Melampirkan persyaratan sebagaimana

sesuai dengan persyaratan pengajuan HACCP, persyaratan dan lampiran

surat permohonan sertifikasi HACCP, terlampir pada lampiran 1.

2. Berdasarkan permohonan diatas, kepala lembaga penerbit HACCP

melakukan audit kecukupan terhadap permohonan apabila belum sesuai

persyaratan.

3. Apabila berdasarkan hasil audit kecukupan telah memenuhi persyaratan,

kepala b=lembaga sertifikasi selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja

setelah menerima permohonan, menugaskan tim inspektur mutu untuk

melakukan inspeksi.

4. Tim inspektur mutu melakukan inspeksi berdasarkan persyaratan yang


mengacu pada keputusan pemerintah, salah satunya Keputusan Mentri

Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2007 tentang Persyaratan

Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi,

Pengolahan dan Distribusi dan ketentuan lain yang berlaku.

5. Unit pengolahan daging beku melakukan tindakan perbaikan terhadap

hasil temuan ketidaksesuaian selambat-lambatnya 1(satu) bulan kalender,

dan melaporan hasil tindakan perbaikan kepada kepala lembaga sertifikasi

dengan tembusan kepada kelaa UPT Badan.

6. Khusus untuk perbaikan yang bersifat fisik, kepala UPT Badan selambat-

lambantna 5(lima) hari kerja setelah menetima laporan tindakan perbaikan


dari unit pengolahan, menugadkan inspektur mutu melakukan verifikasi

tindakan perbaikan dan melaporkan hasil verifikasi kepada kepala badan

lembaga pemberi sertifikat.

7. Kepala pusat sertifikasi menugaskan tim inspektur mutu untuk melakukan

evaluasi terhadap semua tindakan perbaikan dari unit pengolahan dan

melaporkan hasil evaluasi selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja.

8. Kepala pusar pusat lemabga sertifikasi menugasikan komisi approval

untuk evaluasi terhadap hasil verifikasi tindakan perbaikan dan

melaporkan evaluasi kepala kepala pusat sertifikasi selambat-lambatnya 3

(tiga) hari kerja.

9. Kepala Pusat melaporkan hasil evaluasi kepada Kepala Badan selaku

Otoritas Kompeten untuk selanjutnya menerbitkan sertifikat penerapan

HACCP setelah disetujui oleh Komisi Approval;

10. Apabila dalam kurun waktu dimaksud angka No.5, UPI yang bersangkutan

belum juga memenuhi persyaratan, maka unit pengolahan diberikan

perpanjangan waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan untuk melakukan

tindakan perbaikan.
11. Apabila dalam kurun waktu dimaksud No.10 UPI bersangkutan belum

juga dapat memenuhi persyaratan, maka dinyatakan tidak lulus.

12. Sertifikat penerapan HACCP berlaku selama 1 (satu) tahun sejak

diterbitkan. Sertifikat Penerapan HACCP di klasifikan dalam 3 (tiga)

tingkatan, yaitu; 1). Tingkatan A, Temuan ketidaksesuaian adalah: Kritis

(Kr) = 0, Serius = 0 Mayor (My) = maksimal 5 dan minor (Mn) =

maksimal 6; 2). Tingkatan B, Temuan ketidaksesuaian adalah: Kritis (Kr)

= 0, Serius = maksimal 2, Mayor (My) = maksimal 10 dan Minor (Mn) =

maksimal 7 (jumlah Mayor dan Serius tidak lebih dari 10); 3). Tingkatan
C; Temuan ketidaksesuaian adalah: Kritis (Kr) = 0, Serius = maksimal 4,

Mayor (My) = maksimal 11 dan Minor (Mn) =>7

Persyaratan Sertifikasi HACCP

Persyaratan pengajuan HACCP harus dilaksanakan dan dipenuhi, agar

proses sertifikasi dapat berjalan dengan baik, Adapun persyaratan yang harus

dipenuhi adalah sebagai berikut:

1. Ruang lingkup Unit pengolahan daging meliputi tempat/unit yang


melakukan sebagian atau keseluruhan kegiatan penanganan dan atau

pengolahan hasil perikanan .

2. Sertifikat Penerapan HACCP dalam satu unit manajemen dibedakan

berdasarkan jenis olahan, unit proses dan/atau potensi bahaya (hazard)

yang berbeda.

3. UPI yang sudah menerapkan dan memenuhi persyaratan dasar tetapi

belum menerapkan 7 prinsip HACCP diberikan Sertifikat Penerapan

Persyaratan Dasar HACCP.

4. Mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penanggung jawab

mutu yang mempunyai sertifikat HACCP di bidang perikanan.

5. Untuk memperoleh Sertifikat Penerapan HACCP, UPI harus :

a. Memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Akta Notaris

Pendirian Perusahaan di bidang Pengolahan Hasil Perikanan, Ijin

Usaha Perikanan (IUP); dan/atau Tanda Daftar Usaha Perikanan.

b. Mendapat SKP hasil Pembinaan dari Ditjen P2HP, bagi UPI yang

pertama kali mengajukan permohonan Sertifikat Penerapan HACCP.

c. Memiliki dan menerapkan Sistem HACCP secara konsisten sesuai

dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor


KEP.01/MEN/.2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan

Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi.

d. Melakukan proses produksi secara aktif.


PENUTUP

Kesimpulan

Menjelang pelaksanaan liberalisasi di sektor industri dan perdagangan,

Menteri Perindustrian dan Perdagangan pernah mengisyaratkan bahwa di masa

mendatang industri pangan nasional akan menghadapi tantangan persaingan yang

makin berat dan kendala yang dihadapi pun semakin besar.

Implementasikannya konsep HACCP ini pada setiap industri pengolah

pangan merupakan suatu keharusan untuk menjamin dan mempersiapkan industri

dagung beku di Indonesia dapat menjangkau pasar global. Dalam penetapan

sertifikasi HACCP daging beku perlu beberapa tahapan, tahapa b tersebut

mencakup dari mulai pendaftaran dan pengajuan, sampai dengan penetapan dan

penerbitan sertifikat HACCP.

Saran

Perlunya pengkajian ulang mengenai pembagian tugas secara kelompok,

efektifitas dan target yang dicapai belum dapat direalisasikan, dalam hal ini

sedikit kontribusi yang dapat disampaikan oleh individu dalam tiap kelompok.

Pada pengkajian prosedur sertifikasi HACCP, perlu pembagian materi yang telah

terrealisasikan di Indoneisa, karena sulitnya mendapat sumber sesuai dengan topik

yang diberikan, tapi pada prinsipnya, daging beku dan ikan beku, memiliki prinsip

yang sama dalam proses sertifikasi HACCP yang dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

A. Tjahjanto Prasetyono. Implementasi GMP dan HACCP dalam Menunjang


Quality Assurance Industri Pangan

Crocker, O. L. and Leung Chiu, J. S., 1984, Quality Circles, A Guide to


Participation and Productivity, Methuen, Toronto.

FDA. 2018. Food and Drug Administration HACCP Analysis for food.
http://www.fda.gov/gmp5thed, download : 02 Desmber 2018

Hicks, Philips E., 1994, Industrial Engineering and Management, A New


Perspective, 2nd ed., McGraw-Hill Book Co., Singapore.

Kementrian Perikanan dan Kelautan. 2011. Persyaratan dan tata cara penertiban
sertifikasi penerapan HACCP. Jakarta

M. Easdani, Khaliduzzaman, dan M.H.R Bhuiyan. 2012. The design of HACCP


plan for potato chips pant in Bangladesh. Journal Environment, Science
and Natural Resources. 5(2): 329-338.

Stebbing, Lionel, 1993, Quality Assurance, The Route to Efficiency and


Competitiveness, 3rd ed., Ellis Horwood, London.

Taguchi, G., Elsayed, E. A and Hsiang, T. C., Quality Engineering in Production


Systems, McGraw Hill Book Co., Singapore.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai