PENDAHULUAN
Sejak 5 dekad terakhir insiden DBD telah meningkat hingga lebih dari 30 kali
dimana peningkatan tersebut meliputi ekspansi geografis ke negara baru, terutama
dari urban ke rural. Berdasarkan estimasi diperoleh 50 juta kasus baru terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya dan sekitar 2,5 juta orang hidup di negara endemik
dengue.2,3 Di Indonesia dimana lebih dari 35% penduduknya tinggal di daerah urban,
150.000 kasus dilaporkan tahun 2007 (rekord tertinggi), dengan lebih dari 25.000
kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Laju fatalitas kasus sekitar 1%.3 Faktor-
faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat
kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana
dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah
endemik, dan peningkatan sarana transportasi.4
1
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod
Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family
Flaviviridae. Virus ini mempunyai empat jenis serotipe : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. DEN-3 adalah serotype yang terbanyak yang ditemukan di indonesia.DEN-1
dan DEN-2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-II, sedangkan
DEN-3 dan DEN-4 ditemukan saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue
berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil-eter dan
natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 C. Keempat serotipe virus dengue dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Infeksi salah satu serotype akan
menimbulkan antibody terhadap serotipe yang bersangkutan, tapi tidak memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain.4
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu : manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ini sendiri
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty betina. Nyamuk Aedes tersebut
dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan menularkan virus selama hidupnya (infected). Pada
manusia, virus memerlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan sakit.
Gejala klinis DBD sangat bervariasi dari yang ringan atau yang asimtomatik
sampai yang berat dengan syok atau perdarahan, bahkan mungkin dengan kematian.
Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi hanya terhadap serotipe
yang bersangkutan, sehingga tidak dapat menimbulkan antibody dan memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lainnya. Oleh karena itu diperlukan
kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi,
dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap,
diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu
terutama bila gejala klinis kurang memadai.
2
Jumlah kasus DBD paling tinggi terjadi pada akhir musim hujan. Perubahan
musim agaknya mempengaruhi frekuensi gigitan dan panjang umur nyamuk,
perubahan itu pula yang mempengaruhi kebiasaan manusia untuk tinggal di dalam
rumah. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit juga
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya
empat serotipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.4
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, dan Sindrom Syok
Dengue
Demam Dengue adalah infeksi virus dengue tanpa disertai dengan kebocoran plasma.
Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-40°C, bersifat
bifasik, menetap antara 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis
sebagai berikut:5
• Nyeri kepala
• Nyeri retro-orbital
• Mialgia/artralgia
DBD adalah infeksi virus dengue yang disertai dengan kebocoran plasma.
Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan
adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu,
trombositopenia (sedang sampai berat) dan hemokonsentrasi merupakan kejadian
yang selalu dijumpai.5
Sindrom syok dengue (SSD) merupakan suatu keadaan infeksi dari Demam Berdarah
Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20mmHg), hipotensi dibandingkan
standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. 5
4
2.2 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
kadang-kadang juga disebut sebagai demam sendi. Disebut demikian karena demam
yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,
dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya
merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian., tetapi sejak
tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulakan penyakit dengan manifestasi berat,
yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.5 Diestimasikan 50 juta kasus
baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dan sekitar 2,5 juta orang hidup di
negara endemik dengue.2
Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali berisiko tinggi
(AI>55 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2009 hampir seluruh provinsi di pulau
Kalimantan beresiko tinggi (kecuali Kalimantan Selatan). Terjadi perubahan
kelompok umur yang terserang penyakit DBD, menjadi seluruh kelompok umur,
terutama pada usia produktif. Resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan
hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Angka kematian (AK) nasional pada
5
tahun 2009 adalah 0,89% telah berhasil mencapai target (di bawah 1%), namun
sebagian besar provinsi (61,3%) belum mencapai target.2,3
6
Data serotipe dengue pada bulan Maret sampai April 2009 sejumlah 112 kasus
anak dan dewasa dari pasien dengue yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan
anak dan Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo didapatkan 19
kasus den-3, 9 kasus den-1, 9 kasus den-2 dan 2 kasus den-4. Kasus DBD dengan
syok paling banyak termasuk serotype den-3 (54,54%).6 DBD dapat berkembang
menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS)
yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian yang cukup tinggi.4
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus dan proses sitolisis. Peran limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksis
(CD8) juga berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Monosit dan
macrofag berperan dalam fagositosis virus namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Makrofag akan segera
bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak
7
virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibody yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibody fiksasi komplemen.7,8
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan
berikatan dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Sebagai
8
respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.7,8,9
Pada saat terjadi suatu kebocoran plasma, terjadi konsentrasi kompleks imun
yang tinggi akibat reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi
virus dengue menyababkan aktivasi macrofag yang memagositosis kompleks virus-
antibodi sehingga virus berkembang di macrofag. Infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksis sehingga diproduksilah limfokin dan
interferon gamama. Interferon gama akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresikanlah berbagai mediator inflamasi, seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6, dan histamin yang megakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadilah kebocoran plasma.
9
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
10
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan
memperberat syok.
Infeksi dengan salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
berbagai spektrum penyakit dan tingkat keparahan. Spektrum penyakit dapat berkisar
dari ringan, seperti sindrom demam non - spesifik untuk demam dengue klasik (DF) ,
dan bentuk parah dari penyakit ,yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan dengue
syok syndrome (DSS). bentuk parah biasanya manifes setelah fase demam 2-7 hari
dan sering ditunjukkan oleh tanda-tanda peringatan klinis dan laboratorium. 11
• Kritis / fase kebocoran plasma: onset mendadak dari berbagai derajat kebocoran
plasma ke dalam rongga pleura dan perut
11
• Fase pemulihan atau reabsorpsi: penangkapan mendadak kebocoran plasma seiring
dengan reabsorpsi plasma dan cairan yang keluar dari pembuluh darah
Pasien biasanya mengalami demam tinggi yang terjadi tiba-tiba. Fase demam
akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada
12
wajah, eritema pada kulit, sakit seuruh badan, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbital,
fotofobia, dan sakit kepala. Umumnya pasien mengalami anoreksia, mual dan
muntah. Pada fase ini, demam yang tinggi dapat mengakibatkan ganggguan
neurologis dan kejang demam pada anak.11
13
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah dan volume nadi. Derajat
hemokonsentrasi diatas hematokrit baseline mencerminkan tingkat keparahan
kebocoran plasma. Namun, ini dapat dikurangi dengan terapi cairan awal intravena.
Karenanya,sering penentuan hematokrit sangat penting karena perlunya penyesuaian
terapi cairan intravena. Efusi pleura dan asites biasanya hanya secara klinis terdeteksi
setelah terapi cairan intravena, kecuali terdapat kebocoran plasma yang signifikan.
Rontgen thorax lateral dekubitus kanan, deteksi USG cairan bebas dalam dada atau
perut, atau edema dinding kandung empedu mungkin mendahului deteksi klinis.11
Syok terjadi ketika volume plasma hilang melalui kebocoran didahului dengan
tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh mungkin subnormal saat syok terjadi. Jika syok
terjadi dalam waktu lama, hipoperfusi menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Pada keadaan ini dapat
menyebabkan perdarahan parah yang menyebabkan hematokrit turun pada syok berat.
Leukopenia biasanya terjadi selama fase demam dengue, namun jumlah leukosit
mungkin meningkatkan sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat.11
14
bertahan ke tahap syok. Lemah, pusing atau postural hipotensi terjadi selama keadaan
syok. Perdarahan spontan pada mukosa adalah manifestasi perdarahan yang penting.
Sering ditemukan hepar menjadi lebih besar dan lunak. Namun, akumulasi cairan
hanya dapat dideteksi secara klinis jika terjadi kebocoran plasma yang signifikan atau
setelah pengobatan dengan cairan intravena. Penurunan cepat dan progresif jumlah
trombosit sekitar 100 000 sel / mm3 dan hematokrit naik di atas baseline mungkin
tanda awal kebocoran plasma. Hal ini biasanya didahului dengan leukopenia (≤ 5000
sel / mm3).11
Dengue shock syndrome (DSS) adalah bentuk syok hipovolemik dan hasil
dari permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma. Hal ini biasanya terjadi
pada saat penurunan suhu badan sampai normal, yaitu pada hari 4-5 sakit dan sering
didahului oleh tanda peringatan. Pada keadaan ini, pasien yang tidak segera menerima
intravena dengan cepat berkembanga ke keadaan shock. Dengue shock sebagai
rangakaian fisiologis, kemajuan dari kebocoran kapiler asimtomatik menjadi syok
terkompensasi lalu syok hipotensi dan akhirnya henti jantung. Takikardia pada saat
penurunan suhu badan merupakan respon awal jantung untuk hipovolemia. Selama
tahap awal shock, mekanisme kompensasi yang mempertahankan normal tekanan
darah sistolik menghasilkan takikardia, takipnea tenang (takipnea tanpa peningkatan
usaha), dan vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit berkurang (diwujudkan
sebagai ekstremitas dingin dan capillary refill > 2 detik dan volume lemah nadi
perifer. Bersamaan dengan peningkatan resistensi vaskular perifer, tekanan diastolik
naik menuju tekanan sistolik dan tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan tekanan
diastolik) menyempit. Pasien dianggap memiliki syok terkompensasi jika tekanan
sistolik dipertahankan pada normal atau sedikit di atas normal tapi tekanan nadi ≤ 20
mmHg pada anak-anak (misalnya 100/85 mmHg) atau jika mereka memiliki tanda-
tanda yang buruk dari perfusi kapiler (ekstremitas dingin, pengisian kapiler tertunda,
atau takikardia). kompensasi metabolik asidosis diamati ketika pH normal dengan
ketegangan karbon dioksida rendah dan rendah tingkat bikarbonat. Syok hipovolemik
15
yang memburuk dimanifestasikan sebagai peningkatan takikardia dan vasokonstriksi
perifer. Tidak hanya ekstremitas dingin dan sianosis tetapi anggota badan menjadi
berbintik-bintik, dingin dan basah. Pada tahap ini pernapasan menjadi lebih cepat,
dalam, dan meningkat sebagai kompensasi untuk asidosis metabolik (Kussmaul
pernapasan). Akhirnya, terjadi dekompensasi, baik tekanan darah sistolik dan
diastolik menghilang tiba- tiba, dan pasien dikatakan memiliki hipotensi atau syok
dekompensasi. Pada saat ini nadi perifer menghilang sementara nadi pusat (femoralis)
akan lemah. Hipotensi terjadi ketika fisiologis berusaha untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik dan perfusi yang tidak lagi efektif. Salah satu tanda klinis
utama dari kerusakan ini adalah perubahan keadaan mental karena perfusi otak
menurun. pasien menjadi gelisah, bingung dan sangat lesu. Kejang dapat terjadi dan
agitasi dapat bergantian dengan lesu. Di sisi lain, anak-anak memiliki status mental
yang jelas meskipun syok berat. Kegagalan bayi dan anak-anak untuk mengenali,
focus atau melakukan kontak mata dengan orang tua mungkin merupakan tanda awal
hipoperfusi kortikal, seperti kegagalan untuk merespon rangsangan nyeri. Orangtua
mungkin menjadi yang pertama untuk mengenali tanda-tanda ini.11
Syok terkompensasi
16
ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi
berbercak-bercak, pengisian waktu kapiler memanjang lebih dari dua detik. Dengan
adanya vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan
diastolic meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan
tekanan antara sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang dari 20 mmHg. 16
Syok dekompensasi
Temuan adanya hipotensi untuk pasien dalam perawatan merupakan hal yang
terlambat karena tanda hipotensi sudah masuk ke dalam syok dekompensasi, kolaps
kardiorespirasi akan segera terjadi. Deteksi dini syok terkompensasi da terapi yang
cepat dan tepat memberikan prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
syok dekompensasi. Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan
kondisi mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung, atau
letargi. Kejang dan agitasi mengkin terjadi bergantian dengan letargi. Syok hipotensif
berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis metabolic berat, kegagalan organ
multiple serta perjalanan klinis yang sangan sulit diatasi. Perjalanan dari
ditemukannya warning sign sampai terjadi syok terkompensasi dan dari syok
17
terkompensasi menjadi syok hipotensi dapat memakan waktu beberapa jam. Akan
tetapi dari syok hipotensif dampai terjadinya kolaps kardiorespirasi dan henti jantung
hanya dalam beberapa menit. 16
Bersamaan dengan pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi
bertahap cairan kompartemen ekstravaskuler berlangsung di 48-72 jam berikutnya.
Kesejahteraan umum meningkatkan, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal
mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa mungkin
mengalami pruritus pada seluruh tubuh. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi
sering ditemukan selama tahap ini. Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah
karena efek dari penyerapan cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai naik
segera setelah penurunan suhu badan sampai yg normal tapi pemulihan jumlah
trombosit biasanya lebih lambat dibandingkan dengan jumlah sel darah putih.
Gangguan pernapasan dari efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal
jantung kongestif akan terjadi selama kritis dan / atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan secara berlebihan.11
2.5 Diagnosis
Pemeriksaan fisik selain tanda vital juga pastikan kesadaran penderita, status
hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok dapat dikenal lebih dini, yaitu
takipneu/pernafasan kussmaul/efusi pleura, adanya hepatomegali/ asites/kelainan
abdominal, cari adanya ruam atau peteki atau tanda perdarahan lainnya. Bila tanda
18
perdarahan spontan tidak ditemukan, maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji
torniket ini 30%, sedangkan spesifitasnya 82%.
Pada fase demam penyakit , biasanya tidak adanya tanda-tanda lokalisasi fisik
dan diferensial diagnosis terkait dengan DF sangat beragam, termasuk virus infeksi
19
bakteri dan protozoa. Leptospirosis, malaria, hepatitis menular, chikumgunya,
meningococcemia, rubella dan influenza termasuk dalam diagnosis banding DF.
Kehadiran hemokonsentrasi bersama dengan trombositopenia membedakan DBD dari
penyakit lainnya . Sebuah ESR yang normal membedakan penyakit ini dari infeksi
bakteri dan syok septik .
Tata laksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas
DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan
memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simptomatis dan suportif,
terapi suportif juga berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam
tata laksana DBD.16
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila cukup
banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah dengan
syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian
penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok. Masalahnya adalah
kapan terjadi perembesan plasma dan pemeriksaan sederhana apa yang dapat dipakai
sebagai indicator terjadinya perembesan plasma. Perembesan plasma terutama terjadi
saat suhu tubuh turun (time of fever defervescence). Pemeriksaan nilai hematokrit
merupakan indikator yang sensitif untuk mendeteksi derajat perembesan plasma,
sehingga jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan
hematokrit. Perlu diperhatikan bahwa kebocoran plasma pada demam berdarah
dengue bersifat sementara, sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka
waktu lama dapat menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya. Terapi
simptomatis diberikan terutama untuk kenyamana pasien, seperti pemberian
antipiretik dan istirahat.16
Penggantian cairan
• Jenis cairan
20
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Tidak
dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, kecuali bagi pasien usia
<6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya
1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravascular sedangkan cairan isotonis 1⁄4
volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular.
Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan akan
semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian
cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L) seperti
dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun
memiliki efek samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi
mengganggu fungsi ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan
plasma masif yang ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau
tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau 2) pada
keadaan sok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus cairan kristaloid yang
kedua. Cairan koloid isoonkotik kurang efektif. Pada bayi <6 bulan diberikan cairan
NaCl 0,45% atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak
yang lebih besar.16
• Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis
dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas, pemberian jumlah cairan harus
hati-hati karena mudah terjadi kelebihan cairan, penghitungan cairan sebaiknya
berdasarkan berat badan ideal. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran
plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar
kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah denganperkiraan defisit cairan 5%.
Untuk memudahkan, tabel 1 memperlihatkan kebutuhan volume cairan yang harus
diberikan dosis rumatan dan apabila disertai defisit cairan 5%. Tabel 2
memperlihatkan kecepatan dari volume cairan yang akan diberikan. Contoh untuk
anak dengan berat badan ideal 20 kg, maka kebutuhan cairan adalah 2.500
21
mL/kgBB/jam. Apabila hematokrit meningkat jumlah cairan harus dinaikkan dan bila
menurun jumlah cairan dikurangi.16
5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics. 1957;19:823.
22
1⁄2 rumatan 1,5
Rumatan 3
Rumatan + defisit 5% 5
Rumatan + defisit 7% 7
Rumatan + defisit 10% 10
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics. 1957;19:823.
Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38oC dengan interval 4-6
jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan kompres hangat.16
.Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama minum
cairan yang mengandung elektrolit. 16
Pemantauan 16:
▪ Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok (mudah
dilakukan).
▪ Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah
harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali.
▪ Diupayakan jumlah urin ≥1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat badan
ideal).
23
▪ Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil, komorbid
(diabetes mellitus, hipertensi thalassemia, sindrom nefrotik, dan lain-lain) diperlukan
pemeriksaan laboratorium atas indikasi.
▪ Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan system
koagulasi sesuai indikasi.
24
Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat
pengobatan sebagai berikut16:
▪ Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena dengan jumlah
cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam. Periksa hematokrit.
▪ Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mL/kgBB/jam selama 1-2 jam.
▪ Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan
yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin membaik.
▪ Bila syok tidak teratasi, periksan analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula
darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S (A=asidosis,
B=bleeding/perdarahan, C=calcium, S=sugar/gula darah) yang memperberat syok
hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera
lakukan koreksi.
• Asidosis yang berat terutama terjadi pada syok yang berkepanjangan (prolonged
shock). Hal ini menimbulkan eksaserbasi hipotensi, gangguan kontraktilitas otot
jantung dan mudah terjadi aritmia bahkan sampai henti jantung, selain itu akan
menurunkan respons kardiovaskular terhadap katekolamin. Dengan perkataan lain,
asidosis yang tidak segera dikoreksi akan memperberat syok hipovelemik. Perdarahan
berat dapat menimbulkan atau memperberat syok hipovolemik. Tanpa pemberian
transfusi akan menimbulkan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, menimbulkan
hipoksia jaringan sehingga dapat menyebabkan asidosis dan hal lain yang
mempersulit upaya mengatasi syok hipovolemik. Perdarahan dapat terlihat nyata
seperti hematemesis dan melena, namun dapat tersembunyi (occult/concealed
bleeding) yang pada umumnya terjadi di dalam rongga usus. Sebelum feses yang
berwarna hitam keluar untuk pertama kali, perdarahan usus sulit diketahui. Rasa tidak
25
enak di perut, distensi perut, penurunan peristaltik/bising usus dapat merupakan tanda
adanya perdarahan tersembunyi di rongga usus. Indikator lain adanya perdarahan
adalah melalui pemeriksaan hematokrit berkala. Pada keadaan syok, hematokrit
diperiksa saat masuk, setelah resusitasi cairan, selanjutnya setiap 4-6 jam. Bila pada
pemeriksaan selanjutnya hematokrit menurun atau bila pada pemeriksaan awal
hematokrit tidak tinggi namun disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil, harus
dicurigai adanya perdarahan. Transfusi dapat berupa darah segar (fresh whole blood)
dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB.16
• Kalsium pada umumnya menurun pada setiap pasien DBD walaupun umumnya
tidak memberikan gejala. Kalsium berperan penting untuk kontraktilitas otot polos
dan otot skeletal. Hipokalsemia yang tidak dikoreksi akan menimbulkan insufisiensi
kontraktilitas otot jantung. Disfungsi jantung tidak jarang ditemukan pada anak yang
mengalami sakit berat, sehingga respons terhadap resusitasi cairan menjadi kurang
atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kalsium glukonat diberikan dengan dosis
1 mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan secara intravena perlahan-lahan (apabila
diperlukan dapat diulang setiap 6 jam), dosis maksimal 10 Ml. 16
• Hipoglikemia disebabkan asupan yang rendah akibat nafsu makan yang menghilang
dan atau muntah. Selain itu adanya gangguan fungsi hati akan menyebabkan
hipoglikemia pula. Namun pada beberapa kasus dapat terjadi hiperglikemia.
Hipoglikemia yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan gangguan kesadaran, kejang,
aritmia bahkan henti jantung sehingga akan mempersulit upaya dalam mengatasi
syok. Hipoglikemia merupakan keadaan darurat medis dan harus segera dikoreksi
dengan larutan glukosa dengan dosis glukosa 0,5-1,0 g/kgBB diberikan secara bolus.
16
• Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus kedua.
Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu
10-20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan larutan kristaloid isotonik. Walaupun
26
tidak ditemukan perdarahan tetapi keadaan klinis tidak membaik, pertimbangkan
pemberian transfusi. 16
27
mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat berobat sudah dalam syok
dekompensasi, baik yang masih dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh ke
dalam profound shock, diberi pengobatan sebagai berikut16:
▪ Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5 menit,
berikan cairan melalui prosedur intraosseus.
▪ Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus dalam waktu
10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan hematokrit,
analisis gas darah, gula darah, dan kalsium.
▪ Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kgBB selama
12 jam.
▪ Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan jumlah
cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBBB/jam. Pada
umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral makin membaik.
▪ Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi
diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau
hipokalsemia. Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan
masif, berikan transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kgBB
atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau
turun namun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak
membaik pertimbangkan pemberian transfusi darah. Pada syok berat (prolonged
shock, recurrent shock, profound shock), perdarahan masif, ensefalopati/ensefalitis,
atau gagal nafas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.
Tanda-tanda penyembuhan16 :
28
▪ Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi nafas stabil
▪ Tidak tampak distress pernapasan yang disebabkan efusi pleura atau asites
▪ Jumlah trombosit > 50.000/mm3. Apabila masih rendah namun klinis baik, pasien
boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang memudahkan untuk
mengalami trauma selama 1-2 minggu (sampai trombosit normal). Pada umumnya
apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain yang menyertai (misalnya idiopatik
trombositopenia purpura = ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal dalam
waktu 3- hari.
29
2.8 Komplikasi
2.9 Pencegahan
30
populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan
insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan
penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempatatau
bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan
mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara
ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air
tanpa mengambil jentiknya.14,15
31
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan
mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu,
lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian
di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.
14,15
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif.
Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun system
surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun system
ini berguna untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka panjang.
Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas,
poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan
setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya
dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran
dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana
berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai
tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang
baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.14,15
1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan
minimal sekali dalam seminggu;
32
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat
diterobos oleh nyamuk dewasa; dan
3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat
menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.15
2.10 Prognosis
33
Kasus kematian berkisar 2,5-5,0. Angka kematian akibat syok dengue, berkisar antara
12-44%.16
34