Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit karena virus Dengue


yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina
yang sebelumnya telah membawa virus tersebut di dalam tubuh manusia. Sampai saat
ini DBD masih merupakan masalah kesehatan di beberapa negara, terutama pada
daerah endemis dan tropic seperti Indonesia. Penyakit yang ditimbulkannya
hiperendemis di Asia Tenggara, dengan bentuk yang paling berbahaya DBD dan
Sindrom Syok Dengue (SSD) yang biasanya bersifat fatal, terutama pada anak-anak.1

Sejak 5 dekad terakhir insiden DBD telah meningkat hingga lebih dari 30 kali
dimana peningkatan tersebut meliputi ekspansi geografis ke negara baru, terutama
dari urban ke rural. Berdasarkan estimasi diperoleh 50 juta kasus baru terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya dan sekitar 2,5 juta orang hidup di negara endemik
dengue.2,3 Di Indonesia dimana lebih dari 35% penduduknya tinggal di daerah urban,
150.000 kasus dilaporkan tahun 2007 (rekord tertinggi), dengan lebih dari 25.000
kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Laju fatalitas kasus sekitar 1%.3 Faktor-
faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat
kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana
dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah
endemik, dan peningkatan sarana transportasi.4

Di Indonesia pada tahun 1995-1997 dilaporkan proporsi kasus DBD lebih


banyak ditemukan pada kelompok umur lebih dari 15 tahun. 2 Sejak Januari sampai
tanggal 17 Maret 2004 Kejadian Luar Biasa DBD di Indonesia ditemukan 39.938
kasus dengan 498 kematian atau CFR 1,3% dan Incidence Rate 15/100.000
penduduk.3 Di provinsi Bali pada tahun 2003, jumlah penderita adalah sebesar 2.363
orang dan 7 orang diantaranya meninggal, sedangkan pada tahun 2004 sebesar 1.890
orang dan 8 orang diantaranya meninggal, dan pada tahun 2005 sebesar 3.594 orang
dan 18 orang diantaranya meninggal.

1
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod
Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family
Flaviviridae. Virus ini mempunyai empat jenis serotipe : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. DEN-3 adalah serotype yang terbanyak yang ditemukan di indonesia.DEN-1
dan DEN-2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-II, sedangkan
DEN-3 dan DEN-4 ditemukan saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue
berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil-eter dan
natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 C. Keempat serotipe virus dengue dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Infeksi salah satu serotype akan
menimbulkan antibody terhadap serotipe yang bersangkutan, tapi tidak memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain.4

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu : manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ini sendiri
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty betina. Nyamuk Aedes tersebut
dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan menularkan virus selama hidupnya (infected). Pada
manusia, virus memerlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan sakit.

Gejala klinis DBD sangat bervariasi dari yang ringan atau yang asimtomatik
sampai yang berat dengan syok atau perdarahan, bahkan mungkin dengan kematian.
Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi hanya terhadap serotipe
yang bersangkutan, sehingga tidak dapat menimbulkan antibody dan memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lainnya. Oleh karena itu diperlukan
kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi,
dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap,
diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu
terutama bila gejala klinis kurang memadai.

2
Jumlah kasus DBD paling tinggi terjadi pada akhir musim hujan. Perubahan
musim agaknya mempengaruhi frekuensi gigitan dan panjang umur nyamuk,
perubahan itu pula yang mempengaruhi kebiasaan manusia untuk tinggal di dalam
rumah. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit juga
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya
empat serotipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.4

Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi


kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa
melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida
yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi
kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, dan Sindrom Syok
Dengue

2.1.1 Demam Dengue (DD)

Demam Dengue adalah infeksi virus dengue tanpa disertai dengan kebocoran plasma.
Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-40°C, bersifat
bifasik, menetap antara 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis
sebagai berikut:5

• Nyeri kepala

• Nyeri retro-orbital

• Mialgia/artralgia

2.1.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)

DBD adalah infeksi virus dengue yang disertai dengan kebocoran plasma.
Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan
adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu,
trombositopenia (sedang sampai berat) dan hemokonsentrasi merupakan kejadian
yang selalu dijumpai.5

2.1.3 Sindrom syok dengue (SSD)

Sindrom syok dengue (SSD) merupakan suatu keadaan infeksi dari Demam Berdarah
Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20mmHg), hipotensi dibandingkan
standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. 5

4
2.2 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
kadang-kadang juga disebut sebagai demam sendi. Disebut demikian karena demam
yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,
dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya
merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian., tetapi sejak
tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulakan penyakit dengan manifestasi berat,
yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.5 Diestimasikan 50 juta kasus
baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dan sekitar 2,5 juta orang hidup di
negara endemik dengue.2

Di Indonesia dimana lebih dari 35% penduduknya tinggal di daerah urban,


dan pada tahun 2007 pernah dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus (rekor tertinggi),
dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Laju fatalitas
kasus sekitar 1%. Puncak epidemi DBD berulang setiap 9 - 10 tahun. Pada tahun
2009 provinsi dengan Angka Insiden tertinggi adalah DKI Jakarta (313 kasus per
100.000 penduduk), dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI
terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi berisiko tinggi
dengan AI > 55 kasus per 100.000 penduduk.2

Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali berisiko tinggi
(AI>55 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2009 hampir seluruh provinsi di pulau
Kalimantan beresiko tinggi (kecuali Kalimantan Selatan). Terjadi perubahan
kelompok umur yang terserang penyakit DBD, menjadi seluruh kelompok umur,
terutama pada usia produktif. Resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan
hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Angka kematian (AK) nasional pada

5
tahun 2009 adalah 0,89% telah berhasil mencapai target (di bawah 1%), namun
sebagian besar provinsi (61,3%) belum mencapai target.2,3

Di Indonesia pada pertengahan bulan Desember 2014 dilaporkan penderita


DBD sebanyak 71.668 orang dan 641 orang diantaranya meninggal. Angka tersebut
sudah lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013, penderita DBD dilaporkan
sebanyak 112.511 dan 871 diantaranyan mmeninggal. Di provinsi Bali pada tahun
2012, jumlah penderita adalah sebesar 2.649 orang dan 3 orang diantaranya
meninggal, dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,30. Insiden rate per 100.000
penduduk adalah 64,02. Sedangkan tahun 2013 terjadi peningkatan kasus sebesar
7.077 kasus.3

Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah


hujan, oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap daerah. Pada umumnya di
Indonesia meningkat pada musim hujan sejak bulan Desember sampai April-Mei tiap
tahun.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran virus Dengue
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya control vektor nyamuk di
daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.2,3

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai factor


antara lain status imunisasi penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam
kurun waktu 30 tahun sejak ditemukannnya virus dengue di Surabaya dan Jakarta,
baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan
yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia,
dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Pola berjangkit infeksi
virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas
(28-32 C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup
untuk jangka waktu yang lama.2,3,5

6
Data serotipe dengue pada bulan Maret sampai April 2009 sejumlah 112 kasus
anak dan dewasa dari pasien dengue yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan
anak dan Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo didapatkan 19
kasus den-3, 9 kasus den-1, 9 kasus den-2 dan 2 kasus den-4. Kasus DBD dengan
syok paling banyak termasuk serotype den-3 (54,54%).6 DBD dapat berkembang
menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS)
yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian yang cukup tinggi.4

2.3 Patogenesis Infeksi Virus Dengue

DD adalah mosquito-borne viral disease yang disebabkan oleh virus dengue


dengan tipe antigen yang berbeda, yaitu tipe 1-4. Walaupun demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang
utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada
kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga
karena proses imunologi.5 Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi
klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera
terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai.6

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus dan proses sitolisis. Peran limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksis
(CD8) juga berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Monosit dan
macrofag berperan dalam fagositosis virus namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Makrofag akan segera
bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak

7
virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibody yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibody fiksasi komplemen.7,8

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang


terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang
menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifa ringan.
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS
yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory). 7,8

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti


juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan
kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen. 7,8,9

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous


infection yang menyatakan DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue
denga tipe yang berbeda. Jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus
tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila
antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi
virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.9

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan
berikatan dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Sebagai

8
respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.7,8,9

Pada saat terjadi suatu kebocoran plasma, terjadi konsentrasi kompleks imun
yang tinggi akibat reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi
virus dengue menyababkan aktivasi macrofag yang memagositosis kompleks virus-
antibodi sehingga virus berkembang di macrofag. Infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksis sehingga diproduksilah limfokin dan
interferon gamama. Interferon gama akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresikanlah berbagai mediator inflamasi, seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6, dan histamin yang megakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadilah kebocoran plasma.

Gambar 1. Imunopatogenesis DBD

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori


secondary heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang

9
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan


permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam.
Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding
pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites).
Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.7

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibody


selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia
(degranulasi trombosit). Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.7,8,9 Agregasi trombosit ini
juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit
masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

10
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan
memperberat syok.

Trombositopenia pada infeksi dengue tejadi melalui mekanisme supresi


sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum
tulang pada masa awla infkesi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah tubuh dapat mengkompensasi, maka akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia akna menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan adanya stimulasi
thrombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
thrombositopenia.9,10

2.4 Spektrum Klinis dan Perjalanan Penyakit

Infeksi dengan salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
berbagai spektrum penyakit dan tingkat keparahan. Spektrum penyakit dapat berkisar
dari ringan, seperti sindrom demam non - spesifik untuk demam dengue klasik (DF) ,
dan bentuk parah dari penyakit ,yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan dengue
syok syndrome (DSS). bentuk parah biasanya manifes setelah fase demam 2-7 hari
dan sering ditunjukkan oleh tanda-tanda peringatan klinis dan laboratorium. 11

Presentasi awal DF dan DHF/DSS adalah sama. DF relatif tidak berbahaya


dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan, DBD dapat muncul sebagai infeksi
yang relative tidak berbahaya pada awalnya, tetapi cepat dapat berkembang menjadi
penyakit yang mengancam jiwa bersamaan dengan demam yang mereda. DBD
biasanya dapat dibedakan dari DF karena berlangsung melalui tiga tahap patofisiologi
yang diprediksi:

• Fase demam: Viremia menyebabkan demam tinggi

• Kritis / fase kebocoran plasma: onset mendadak dari berbagai derajat kebocoran
plasma ke dalam rongga pleura dan perut

11
• Fase pemulihan atau reabsorpsi: penangkapan mendadak kebocoran plasma seiring
dengan reabsorpsi plasma dan cairan yang keluar dari pembuluh darah

Gambar 2. Fase infeksi DBD

2.4.1 Fase Demam

Pasien biasanya mengalami demam tinggi yang terjadi tiba-tiba. Fase demam
akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada

12
wajah, eritema pada kulit, sakit seuruh badan, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbital,
fotofobia, dan sakit kepala. Umumnya pasien mengalami anoreksia, mual dan
muntah. Pada fase ini, demam yang tinggi dapat mengakibatkan ganggguan
neurologis dan kejang demam pada anak.11

Sulit untuk membedakan klinis dengue dari penyakit demam non-dengue


diawal fase demam. Tes tourniquet positif dalam fase ini menunjukkan peningkatan
probabilitas dengue. Namun, gejala klinis tidak dapat memperkirakan tingkat
keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk memantau tanda-tanda
peringatan dan parameter klinis lain untuk mengenali perkembangan ke fase kritis.11

Manifestasi perdarahan ringan seperti peteki dan perdarahan pada mukosa,


seperti dari hidung dan gusi dapat dilihat. Perdarahan gastrointestinal dapat juga
terjadi selama fase ini meskipun jarang. Hati mungkin membesar dan lunak setelah
beberapa hari demam. Kelainan awal pada pemeriksaan darah lengkap adalah
penurunan total sel darah putih yang progresif, yang harus diwaspadai untuk
probabilitas tinggi dengue.11

2.4.2 Fase Kritis

Selama transisi dari demam ke tidak demam, pasien tanpa peningkatan


permeabilitas kapiler akan sembuh tanpa melalui fase kritis. Sedangkan, pasien
dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat bermanifestasi dengan tanda- tanda
peringatan, sebagian besar sebagai akibat dari kebocoran plasma.10

Tanda-tanda peringatan menandai awal dari fase kritis. Pasien-pasien ini


menjadi lebih buruk pada saatsuhu badan turun mencapai 37,5-38 ° C atau kurang
dan tetap di bawah tingkat ini biasanya pada hari 3-8 sakit. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan cepat jumlah trombosit biasanya mendahului kebocoran
plasma. Hematokrit meningkat mungkin menjadi salah satu yang paling awal tanda-
tanda tambahan. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya
berlangsung 24-48 jam. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Peningkatan

13
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah dan volume nadi. Derajat
hemokonsentrasi diatas hematokrit baseline mencerminkan tingkat keparahan
kebocoran plasma. Namun, ini dapat dikurangi dengan terapi cairan awal intravena.
Karenanya,sering penentuan hematokrit sangat penting karena perlunya penyesuaian
terapi cairan intravena. Efusi pleura dan asites biasanya hanya secara klinis terdeteksi
setelah terapi cairan intravena, kecuali terdapat kebocoran plasma yang signifikan.
Rontgen thorax lateral dekubitus kanan, deteksi USG cairan bebas dalam dada atau
perut, atau edema dinding kandung empedu mungkin mendahului deteksi klinis.11

Syok terjadi ketika volume plasma hilang melalui kebocoran didahului dengan
tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh mungkin subnormal saat syok terjadi. Jika syok
terjadi dalam waktu lama, hipoperfusi menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Pada keadaan ini dapat
menyebabkan perdarahan parah yang menyebabkan hematokrit turun pada syok berat.
Leukopenia biasanya terjadi selama fase demam dengue, namun jumlah leukosit
mungkin meningkatkan sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat.11

Beberapa pasien berkembang ke fase kritis dan syok sebelum terjadi


penurunan suhu badan sampai normal. Pada pasien ini hematokrit meningkat dan
onset trombositopenia yang cepat atau tanda-tanda peringatan menunjukkan
terjadinya kebocoran plasma. Kasus demam berdarah dengan tanda-tanda peringatan
biasanya akan sembuh dengan rehidrasi intravena. Beberapa kasus akan memburuk
untuk dengue yang parah.11

2.4.3 Tanda-tanda peringatan

Tanda-tanda peringatan biasanya mendahului manifestasi dari syok dan


muncul menjelang akhir fase demam, biasanya antara hari ke 3-7. Muntah terus-
menerus dan sakit perut yang parah indikasi awal kebocoran plasma. Pasien menjadi
semakin lesu tapi biasanya tetap waspada secara mental. Gejala-gejala ini dapat

14
bertahan ke tahap syok. Lemah, pusing atau postural hipotensi terjadi selama keadaan
syok. Perdarahan spontan pada mukosa adalah manifestasi perdarahan yang penting.
Sering ditemukan hepar menjadi lebih besar dan lunak. Namun, akumulasi cairan
hanya dapat dideteksi secara klinis jika terjadi kebocoran plasma yang signifikan atau
setelah pengobatan dengan cairan intravena. Penurunan cepat dan progresif jumlah
trombosit sekitar 100 000 sel / mm3 dan hematokrit naik di atas baseline mungkin
tanda awal kebocoran plasma. Hal ini biasanya didahului dengan leukopenia (≤ 5000
sel / mm3).11

2.4.4 Kebocoran Plasma Berat dan Syok Dengue

Dengue shock syndrome (DSS) adalah bentuk syok hipovolemik dan hasil
dari permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma. Hal ini biasanya terjadi
pada saat penurunan suhu badan sampai normal, yaitu pada hari 4-5 sakit dan sering
didahului oleh tanda peringatan. Pada keadaan ini, pasien yang tidak segera menerima
intravena dengan cepat berkembanga ke keadaan shock. Dengue shock sebagai
rangakaian fisiologis, kemajuan dari kebocoran kapiler asimtomatik menjadi syok
terkompensasi lalu syok hipotensi dan akhirnya henti jantung. Takikardia pada saat
penurunan suhu badan merupakan respon awal jantung untuk hipovolemia. Selama
tahap awal shock, mekanisme kompensasi yang mempertahankan normal tekanan
darah sistolik menghasilkan takikardia, takipnea tenang (takipnea tanpa peningkatan
usaha), dan vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit berkurang (diwujudkan
sebagai ekstremitas dingin dan capillary refill > 2 detik dan volume lemah nadi
perifer. Bersamaan dengan peningkatan resistensi vaskular perifer, tekanan diastolik
naik menuju tekanan sistolik dan tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan tekanan
diastolik) menyempit. Pasien dianggap memiliki syok terkompensasi jika tekanan
sistolik dipertahankan pada normal atau sedikit di atas normal tapi tekanan nadi ≤ 20
mmHg pada anak-anak (misalnya 100/85 mmHg) atau jika mereka memiliki tanda-
tanda yang buruk dari perfusi kapiler (ekstremitas dingin, pengisian kapiler tertunda,
atau takikardia). kompensasi metabolik asidosis diamati ketika pH normal dengan
ketegangan karbon dioksida rendah dan rendah tingkat bikarbonat. Syok hipovolemik

15
yang memburuk dimanifestasikan sebagai peningkatan takikardia dan vasokonstriksi
perifer. Tidak hanya ekstremitas dingin dan sianosis tetapi anggota badan menjadi
berbintik-bintik, dingin dan basah. Pada tahap ini pernapasan menjadi lebih cepat,
dalam, dan meningkat sebagai kompensasi untuk asidosis metabolik (Kussmaul
pernapasan). Akhirnya, terjadi dekompensasi, baik tekanan darah sistolik dan
diastolik menghilang tiba- tiba, dan pasien dikatakan memiliki hipotensi atau syok
dekompensasi. Pada saat ini nadi perifer menghilang sementara nadi pusat (femoralis)
akan lemah. Hipotensi terjadi ketika fisiologis berusaha untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik dan perfusi yang tidak lagi efektif. Salah satu tanda klinis
utama dari kerusakan ini adalah perubahan keadaan mental karena perfusi otak
menurun. pasien menjadi gelisah, bingung dan sangat lesu. Kejang dapat terjadi dan
agitasi dapat bergantian dengan lesu. Di sisi lain, anak-anak memiliki status mental
yang jelas meskipun syok berat. Kegagalan bayi dan anak-anak untuk mengenali,
focus atau melakukan kontak mata dengan orang tua mungkin merupakan tanda awal
hipoperfusi kortikal, seperti kegagalan untuk merespon rangsangan nyeri. Orangtua
mungkin menjadi yang pertama untuk mengenali tanda-tanda ini.11

Syok terkompensasi

Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya hipovolemi


menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur neurohorminal
agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem kardiovaskular
mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan stroke volume, laju jantung, dan
vasokontriksi perifer. Pada fase ini terkanan darah biasanya belum turun, namun telah
terjadi peningkatan laju jantung. Oleh karena itu takikardia yang terjadi pada saat
suhu tubuh mulai turun, walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus
diwaspadai kemungkinan anak jatuh ke dalam syok.16

Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau


pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan sirkulasi
ke arah organ vital dengan mengurangi sirkulasi ke daerah perifer., secara klinis

16
ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi
berbercak-bercak, pengisian waktu kapiler memanjang lebih dari dua detik. Dengan
adanya vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan
diastolic meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan
tekanan antara sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang dari 20 mmHg. 16

Pada tahap ini, sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa takipnea


tanpa peningkatan kerja otot pernapasan. Kompensasi sistem keseimbangan asam
basa berupa asidosis metabolic namun nilai pH masih normal dengan tekanan karbon
dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase ini umumnya
tetap sadar, sehingga terkadang tidak diketahui bahwa pasien sudah berada dalam
keadaan kritis. 16

Syok dekompensasi

Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan


sistem kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik
telah menurun, disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat
atau pemberian pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis makin jelas
terlihat.16

Temuan adanya hipotensi untuk pasien dalam perawatan merupakan hal yang
terlambat karena tanda hipotensi sudah masuk ke dalam syok dekompensasi, kolaps
kardiorespirasi akan segera terjadi. Deteksi dini syok terkompensasi da terapi yang
cepat dan tepat memberikan prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
syok dekompensasi. Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan
kondisi mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung, atau
letargi. Kejang dan agitasi mengkin terjadi bergantian dengan letargi. Syok hipotensif
berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis metabolic berat, kegagalan organ
multiple serta perjalanan klinis yang sangan sulit diatasi. Perjalanan dari
ditemukannya warning sign sampai terjadi syok terkompensasi dan dari syok

17
terkompensasi menjadi syok hipotensi dapat memakan waktu beberapa jam. Akan
tetapi dari syok hipotensif dampai terjadinya kolaps kardiorespirasi dan henti jantung
hanya dalam beberapa menit. 16

2.4.5 Fase Pemulihan

Bersamaan dengan pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi
bertahap cairan kompartemen ekstravaskuler berlangsung di 48-72 jam berikutnya.
Kesejahteraan umum meningkatkan, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal
mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa mungkin
mengalami pruritus pada seluruh tubuh. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi
sering ditemukan selama tahap ini. Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah
karena efek dari penyerapan cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai naik
segera setelah penurunan suhu badan sampai yg normal tapi pemulihan jumlah
trombosit biasanya lebih lambat dibandingkan dengan jumlah sel darah putih.
Gangguan pernapasan dari efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal
jantung kongestif akan terjadi selama kritis dan / atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan secara berlebihan.11

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaa penunjang. Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam,
tipe demam, jumlah asupan peroral, adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya
gangguan kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di lingkungan yang sakit
serupa.

Pemeriksaan fisik selain tanda vital juga pastikan kesadaran penderita, status
hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok dapat dikenal lebih dini, yaitu
takipneu/pernafasan kussmaul/efusi pleura, adanya hepatomegali/ asites/kelainan
abdominal, cari adanya ruam atau peteki atau tanda perdarahan lainnya. Bila tanda

18
perdarahan spontan tidak ditemukan, maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji
torniket ini 30%, sedangkan spesifitasnya 82%.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan


hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi menunjukkan adanya kebocoran plasma,
selain itu jumlah trombosit juga cenderung rendah.

Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu


isolasi virus, deteksi antibody, dan deteksi antigen atau RNA virus. Imunoglobulin M
(IgM) biasanya mulai terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam,
meningkat samapi minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun. IgM masih dapat
terdeteksi hingga hari ke 60 sampai harin ke 90. Pada infeksi primer, konsentrasi IgM
lebih tinggi daripada infeksi sekunder. Pada infeksi primer, immunoglobulin G (IgG)
dapat terdeteksi pada hari ke 14 dengan titer yang rendah,(≤1:640), sementara pada
infeksi sekunder IgG sudah dapat terdeteksi pada hari ke 2 dengan titer yang tinggi
(>1:2560) dan dapat bertahan seumur hidup.

Pemeriksaan antigen protein NS-1 Dengue (Ag NS-1) diharapkan


memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan pemeriksaan serologis lainnya.
Karena antigen ini sudah dapat terdeteksio dalam darah pada hari pertama onset
demam. Selain itu, pengerjaannya cukup mudah, praktis, dan tidak memerlukan
waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-1 yang spesifik terdapat pada virus
dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue dapat ditegakkan lebih dini.
Sensitivitas deteksi Ag NS1 sebesar 88,7% dan 91% sedangkan spesifitas mencapai
100% dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR. Penelitian
lainnya menunjukkan pemeriksaan Ag NS-1 antigen secara ELISA memberikan
sensitivitas sampai 93,3%.12

2.6 Diagnosis Banding

Pada fase demam penyakit , biasanya tidak adanya tanda-tanda lokalisasi fisik
dan diferensial diagnosis terkait dengan DF sangat beragam, termasuk virus infeksi

19
bakteri dan protozoa. Leptospirosis, malaria, hepatitis menular, chikumgunya,
meningococcemia, rubella dan influenza termasuk dalam diagnosis banding DF.
Kehadiran hemokonsentrasi bersama dengan trombositopenia membedakan DBD dari
penyakit lainnya . Sebuah ESR yang normal membedakan penyakit ini dari infeksi
bakteri dan syok septik .

2.7 Tata Laksana

Tata laksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas
DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan
memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simptomatis dan suportif,
terapi suportif juga berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam
tata laksana DBD.16

Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila cukup
banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah dengan
syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian
penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok. Masalahnya adalah
kapan terjadi perembesan plasma dan pemeriksaan sederhana apa yang dapat dipakai
sebagai indicator terjadinya perembesan plasma. Perembesan plasma terutama terjadi
saat suhu tubuh turun (time of fever defervescence). Pemeriksaan nilai hematokrit
merupakan indikator yang sensitif untuk mendeteksi derajat perembesan plasma,
sehingga jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan
hematokrit. Perlu diperhatikan bahwa kebocoran plasma pada demam berdarah
dengue bersifat sementara, sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka
waktu lama dapat menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya. Terapi
simptomatis diberikan terutama untuk kenyamana pasien, seperti pemberian
antipiretik dan istirahat.16

Penggantian cairan

• Jenis cairan

20
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Tidak
dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, kecuali bagi pasien usia
<6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya
1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravascular sedangkan cairan isotonis 1⁄4
volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular.
Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan akan
semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian
cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L) seperti
dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun
memiliki efek samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi
mengganggu fungsi ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan
plasma masif yang ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau
tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau 2) pada
keadaan sok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus cairan kristaloid yang
kedua. Cairan koloid isoonkotik kurang efektif. Pada bayi <6 bulan diberikan cairan
NaCl 0,45% atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak
yang lebih besar.16

• Jumlah cairan

Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis
dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas, pemberian jumlah cairan harus
hati-hati karena mudah terjadi kelebihan cairan, penghitungan cairan sebaiknya
berdasarkan berat badan ideal. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran
plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar
kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah denganperkiraan defisit cairan 5%.
Untuk memudahkan, tabel 1 memperlihatkan kebutuhan volume cairan yang harus
diberikan dosis rumatan dan apabila disertai defisit cairan 5%. Tabel 2
memperlihatkan kecepatan dari volume cairan yang akan diberikan. Contoh untuk
anak dengan berat badan ideal 20 kg, maka kebutuhan cairan adalah 2.500

21
mL/kgBB/jam. Apabila hematokrit meningkat jumlah cairan harus dinaikkan dan bila
menurun jumlah cairan dikurangi.16

Banyak ditemukan di klinis adalah pasien yang belum menunjukkan


peningkatan hematokrit yang berarti (pada keadaan ini diagnosis yang ditegakkan
masih DD), namun dikhawatirkan merupakan fase awal sakit DBD, maka volume
cairan yang diberikan cukup rumatan atau sesuai kebutuhan. Volume cairan
ditingkatkan apabila nilai hematokrit naik dan kemudian diturunkan bertahap seiring
dengan penurunan nilai hematokrit. Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum
stabil dan telah melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan
setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil. 16

Tabel 1. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal

BB ideal (kg) Rumatan (mL) Rumatan + Defisit 5%


(mL)

5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics. 1957;19:823.

Tabel 2. Kecepatan pemberian cairan

Jumlah Cairan Kecepatan (mL/kgBB/jam)

22
1⁄2 rumatan 1,5
Rumatan 3
Rumatan + defisit 5% 5
Rumatan + defisit 7% 7
Rumatan + defisit 10% 10
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics. 1957;19:823.

Antipiretik

Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38oC dengan interval 4-6
jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan kompres hangat.16

.Nutrisi

Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama minum
cairan yang mengandung elektrolit. 16

Pemantauan 16:

▪ Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah,perdarahan,


dan tanda peringatan seperti tertera pada Boks C.

▪ Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok (mudah
dilakukan).

▪ Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah
harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali.

▪ Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau pemberian cairan


intravena (sebagai data dasar), diupayakan dilakukan setiap 4-6 jam sekali.

▪ Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam.

▪ Diupayakan jumlah urin ≥1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat badan
ideal).

23
▪ Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil, komorbid
(diabetes mellitus, hipertensi thalassemia, sindrom nefrotik, dan lain-lain) diperlukan
pemeriksaan laboratorium atas indikasi.

▪ Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan system
koagulasi sesuai indikasi.

▪ Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya efusi pleura,


pemeriksaan yang diminta adalah foto radioloigi dada dengan posisi lateral kanan
decubitus (right lateral decubitus).

▪ Periksa golongan darah.

▪ Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG, dan


lainnya.

Tata laksana sindrom syok dengue

Syok pada infeksi dengue merupakan syok hipovolemik akibat terjadi


perembesan plasma, fase awal berupa syok terkompensasi dan fase selanjutnya fase
dekompensasi. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan yang
cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibanding apabila pasien
sudah jatuh ke dalam fase syok dekompensasi. Prinsip utama tata laksana SSD adalah
pemberian cairan yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Selain itu bila ditemukan
faktor ko-morbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan ganggian asam basa,
gangguan elektrolit harus diobati dengan segera. 16

Tata laksana sindrom syok dengue terkompensasi

24
Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat
pengobatan sebagai berikut16:

▪ Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit.

▪ Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena dengan jumlah
cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam. Periksa hematokrit.

▪ Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mL/kgBB/jam selama 1-2 jam.

▪ Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan
yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin membaik.

▪ Bila syok tidak teratasi, periksan analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula
darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S (A=asidosis,
B=bleeding/perdarahan, C=calcium, S=sugar/gula darah) yang memperberat syok
hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera
lakukan koreksi.

• Asidosis yang berat terutama terjadi pada syok yang berkepanjangan (prolonged
shock). Hal ini menimbulkan eksaserbasi hipotensi, gangguan kontraktilitas otot
jantung dan mudah terjadi aritmia bahkan sampai henti jantung, selain itu akan
menurunkan respons kardiovaskular terhadap katekolamin. Dengan perkataan lain,
asidosis yang tidak segera dikoreksi akan memperberat syok hipovelemik. Perdarahan
berat dapat menimbulkan atau memperberat syok hipovolemik. Tanpa pemberian
transfusi akan menimbulkan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, menimbulkan
hipoksia jaringan sehingga dapat menyebabkan asidosis dan hal lain yang
mempersulit upaya mengatasi syok hipovolemik. Perdarahan dapat terlihat nyata
seperti hematemesis dan melena, namun dapat tersembunyi (occult/concealed
bleeding) yang pada umumnya terjadi di dalam rongga usus. Sebelum feses yang
berwarna hitam keluar untuk pertama kali, perdarahan usus sulit diketahui. Rasa tidak

25
enak di perut, distensi perut, penurunan peristaltik/bising usus dapat merupakan tanda
adanya perdarahan tersembunyi di rongga usus. Indikator lain adanya perdarahan
adalah melalui pemeriksaan hematokrit berkala. Pada keadaan syok, hematokrit
diperiksa saat masuk, setelah resusitasi cairan, selanjutnya setiap 4-6 jam. Bila pada
pemeriksaan selanjutnya hematokrit menurun atau bila pada pemeriksaan awal
hematokrit tidak tinggi namun disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil, harus
dicurigai adanya perdarahan. Transfusi dapat berupa darah segar (fresh whole blood)
dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB.16

• Kalsium pada umumnya menurun pada setiap pasien DBD walaupun umumnya
tidak memberikan gejala. Kalsium berperan penting untuk kontraktilitas otot polos
dan otot skeletal. Hipokalsemia yang tidak dikoreksi akan menimbulkan insufisiensi
kontraktilitas otot jantung. Disfungsi jantung tidak jarang ditemukan pada anak yang
mengalami sakit berat, sehingga respons terhadap resusitasi cairan menjadi kurang
atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kalsium glukonat diberikan dengan dosis
1 mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan secara intravena perlahan-lahan (apabila
diperlukan dapat diulang setiap 6 jam), dosis maksimal 10 Ml. 16

• Hipoglikemia disebabkan asupan yang rendah akibat nafsu makan yang menghilang
dan atau muntah. Selain itu adanya gangguan fungsi hati akan menyebabkan
hipoglikemia pula. Namun pada beberapa kasus dapat terjadi hiperglikemia.
Hipoglikemia yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan gangguan kesadaran, kejang,
aritmia bahkan henti jantung sehingga akan mempersulit upaya dalam mengatasi
syok. Hipoglikemia merupakan keadaan darurat medis dan harus segera dikoreksi
dengan larutan glukosa dengan dosis glukosa 0,5-1,0 g/kgBB diberikan secara bolus.
16

• Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus kedua.
Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu
10-20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan larutan kristaloid isotonik. Walaupun

26
tidak ditemukan perdarahan tetapi keadaan klinis tidak membaik, pertimbangkan
pemberian transfusi. 16

• Apabila syok teratasi, pertahankan jumlah cairan 10 mL/kgBB/jam selama 1- 2 jam,


setelah itu jenis cairan diganti dengan larutan kristaloid dengan jumlah cairan
dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/ jam. Pada umumnya
dalam waktu 24-48 jam setelah syok teratasi pemberian cairan intravena sudah tidak
diperlukan lagi. Namun apabila tidak teratasi, pasien dapat jatuh ke dalam profound
shock, maka seringkali diperlukan bantuan napas buatan dan pemberian obat
inotropik, dan memerlukan perawatan di unit perawatan intensif. 16

Gambar 3. Bagan tata laksana sindrom syok dengue terkompensasi16

Tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi

Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera, pertolongan


terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi profound shock yang

27
mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat berobat sudah dalam syok
dekompensasi, baik yang masih dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh ke
dalam profound shock, diberi pengobatan sebagai berikut16:

▪ Berikan oksigen 2-4 L/menit.

▪ Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5 menit,
berikan cairan melalui prosedur intraosseus.

▪ Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus dalam waktu
10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan hematokrit,
analisis gas darah, gula darah, dan kalsium.

▪ Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kgBB selama
12 jam.

▪ Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan jumlah
cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBBB/jam. Pada
umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral makin membaik.

▪ Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi
diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau
hipokalsemia. Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan
masif, berikan transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kgBB
atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau
turun namun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak
membaik pertimbangkan pemberian transfusi darah. Pada syok berat (prolonged
shock, recurrent shock, profound shock), perdarahan masif, ensefalopati/ensefalitis,
atau gagal nafas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.

Tanda-tanda penyembuhan16 :

28
▪ Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi nafas stabil

▪ Suhu badan normal

▪ Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal

▪ Nafsu makan membaik

▪ Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut

▪ Volume urin cukup

▪ Kadar hematokrit stabil pada kadar basal

▪ Ruam konvalesens, ditemukan pada 20%-30% kasus

Kriteria pulang rawat16:

▪ Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik

▪ Nafsu makan membaik

▪ Perbaikan klinis yang jekas

▪ Jumlah urin cukup

▪ Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi

▪ Tidak tampak distress pernapasan yang disebabkan efusi pleura atau asites

▪ Jumlah trombosit > 50.000/mm3. Apabila masih rendah namun klinis baik, pasien
boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang memudahkan untuk
mengalami trauma selama 1-2 minggu (sampai trombosit normal). Pada umumnya
apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain yang menyertai (misalnya idiopatik
trombositopenia purpura = ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal dalam
waktu 3- hari.

29
2.8 Komplikasi

Komplikasi dari penyakit Dengue Shock Syndrome (DSS) dapat meliputi


ensefalopati dengue, perdarahan masif, serta gagal jantung. 13 Pada umumnya
ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berke-panjangan dengan
perdarahan. Ensefalopati dengue dapat menyebabkan kesadaran pasien menurun
menjadi apatis atau somnolen, dapat juga disertai kejang. Komplikasi berupa kelainan
ginjal umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi
dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
mengganti volume intravaskular. Sedangkan edem paru merupakan komplikasi yang
mungkin terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan.14

2.9 Pencegahan

Pencegahan seseorang yang telah terkena DBD menjadi perburukan kearah


DSS adalah dengan mempercepat terapi cairan pada pasien, terapi medikamentosa
serta dengan ketat memonitoring keadaan umum pasien.

Pencegahan penyakit DBD sendiri dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu


pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan
tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.14

2.9.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan surveilans vektor,


pengendalian vektor, surveilans kasus, dan pemberatasan sarang nyamuk. Surveilans
untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan

30
populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan
insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan
penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempatatau
bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan
mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara
ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air
tanpa mengambil jentiknya.14,15

Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi


nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar pengendalian vector dapat dilakukan
dengan tiga cara, yakni secara kimiawi, hayati, dan lingkungan. Pada pengendalian
kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva.
Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor,
karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk
penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat
digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos)
dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau
sering disebut dengan abatisasi.13,14

Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis


dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati
dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala
timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok
untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematode seperti
Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang
cocok untuk larva nyamuk.14,15

31
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan
mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu,
lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian
di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.
14,15

Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif.
Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun system
surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun system
ini berguna untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka panjang.
Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas,
poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan
setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya
dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran
dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana
berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai
tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang
baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.14,15

Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat


dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasil
hasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari
keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya
mewujudkan kebersihan lingkungan serta perilaku sehat dalam rangka mencapai
masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD
dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu:

1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan
minimal sekali dalam seminggu;

32
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat
diterobos oleh nyamuk dewasa; dan

3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat
menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.15

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh


petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara: 1) Bila dalam keluarga ada yang
menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak
minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung
asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.; 2) Dokter
atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segera
melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas,
kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan
epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya
untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.; dan 3) Kepala
Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa
(KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.15

2.10 Prognosis

Demam berdarah adalah penyakit mematikan, tetapi prognosis baik pada


dewasa sehat-meskipun demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome adalah
penyebab utama rawat inap dan kematian pada anak-anak. Demam berdarah
umumnya sembuh sendiri, dengan kasus kematian kurang dari 1%. Fase akut
penyakit berlangsung selama 2 sampai 7 hari, tetapi tahap konsvalesens dapat
memanjang selama berminggu-minggu terkait dengan kelelahan dan depresi,
terutama pada orang dewasa. Prognosis demam berdarah dengue dan dengue shock
syndrome tergantung pada pencegahan, atau pengenalan dini dan pengobatan syok.

33
Kasus kematian berkisar 2,5-5,0. Angka kematian akibat syok dengue, berkisar antara
12-44%.16

34

Anda mungkin juga menyukai