Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan, usia 33 tahun, datang dengan keluhan utama lemas. Pasien
mengeluhkan lemas, kepala terasa ringan, dengan kulit, bibir, kuku pucat yang
memberat sejak 3 hari lalu, BAK berwarna kuning pekat sejak 5 hari lalu, disertai
keluhan perut membesar sejak lama, dan mata menguning yang sudah lama
dikeluhkan. Pasien tidak mengeluhkan adanya riwayat sariawan (terutama di ujung
bibir), nyeri menelan, lidah bengkak. Riwayat rambut rontok, ruam pada kulit, nyeri
persendian, mata kering, kemerahan pada kulit wajah juga disangkal pasien. Pasien
diketahui menderita thalassemia beta sejak umur 5 tahun, dengan riwayat transfusi
darah berulang/rutin setiap sekitar 3 bulan. Terdapat anggota keluarga pasien (paman
pasien) yang menderita thalassemia.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan peningkatan denyut nadi, peningkatan laju
respirasi, konjungtiva anemis, pelebaran batas kiri jantung (apex: 2 cm lateral MCL S
ICS VI), pembesaran hepar (batas bawah 3 cm di bawah arkus kosta kanan),
pembesaran lien (Shuffner 2). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan HGB 7,49
g/dL, HCT 30,50 %, MCV 54,33 Fl, MCH 13,35 pg, Ferritin 1348,00 ng/dL, TIBC
132,00 μg/dL, bilirubin indirek 3,81 mg/dL, dan pada hasil Hb elektroforesis
didapatkan hasil Hb – F 70,7%, Hb – A2 11,6 %, dan Hb – A 17,7%. Pada
pemeriksaan radiologi (foto thorax) didapatkan kesan kardiomegali.
Pasien didiagnosis dengan thalasemia beta. Thalassemia merupakan suatu
kelainan genetik yang sangat beraneka ragam, ditandai dengan penurunan sintesis
rantai α atau β dari globin. Menurut epidemiologinya, dikenal sabuk thalassemia, dan
Asia, termasuk Indonesia merupakan salah satu negara di dalamnya. Pada anamnesis,
didapatkan pasien merupakan warga negara Indonesia (keturunan Indonesia), dan
didapatkan riwayat penyakit thalassemia pada keluarga (paman).
Thalassemia diklasifikasikan menjadi thalassemia alfa dan beta. Thalassemia
alfa ditandai dengan penurunan sintesis ranta alfa globin, thalassemia beta ditandai
dengan penurunan sintesis rantai beta globin. Hal ini berpengaruh terhadap
pembentukan jenis hemoglobin yang terdapat dalam darah. Berdasarkan berat
ringannya gejala, thalassemia beta dibagi menjadi 3 yaitu: thalassemia beta major,
intermediat, dan minor. Thalasemia beta major merupakan bentuk homozigot, dapat
dengan sintesis rantai β0 atau β+ minimal atau tidak sama sekali, yang tergantung pada
transfusi darah. Thalasemia beta major didapatkan pada 25% anak dari kedua
orangtua dengan thalassemia trait. Pasien menurut klasifikasi digolongkan sebagai
thalassemia beta major, yang tergantung pada transfusi darah. Orang tua pasien dapat
saja tidak tidak mengalami gejala thalassemia, dan diperkirakan merupakan karier
thalassemia (thalassemia trait/minor). Thalassemia trait dapat menunjukkan gejala
ringan/tidak bergejala (asimptomatik).
Manifestasi klinis dari thalassemia beta major meliputi anemia (seringkali
berat), yang dapat mulai dialami sejak pasien berusia muda (6 bulan kelahiran).
Dalam usia 1 tahun pertama, pasien akan mengalami gagal tumbuh, pucat, dan perut
yang membesar. Pada pasien ini ditemukan gejala anemia berupa lemah, letih, lesu
dan tanda anemis berupa konjungtiva pucat, Selain itu, pada pasien thalassemia dapat
ditemukan pembesaran hepar dan lien yang terjadi akibat destruksi sel darah merah,
hemopoeisis ekstrameduler, dan overload besi. Dari pemeriksaan fisik, pasien ini
didapatkan pembesaran hepar 3 cm di bawah arkus kosta, liver span 15 cm, dan
pembesaran lien sesuai Schuffner 3.
Manifestasi klinis lain dari thalassemia adalah terjadinya pembesaran tulang-
tulang. Hal ini disebabkan oleh hiperplasia sumsum tulang yang intens sehingga
membentuk suatu thalassemic facies. Proses hiperplasia ini juga mengakibatkan
penipisan korteks tulang sehingga memudahkan terjadinya fraktur dan bossing tulang
kepala dengan gambaran ‘hair on end’ pada x-ray. Pada pasien ini ditemukan
thalassemic facies dengan tulang frontal, parietal, dan maksilaris yang prominen.
Anemia dibagi berdasarkan derajat (berat-ringannya) yaitu: ringan (Hb 8 – 9,9
g/dL), sedang (Hb 6 – 7,9 g/dL), dan berat (Hb <6 g/dL). Pembagian anemia
berdasarkan morfologi eritrosit berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, MCV
dan MCH. Anemia hipokromik mikrositer dengan MCV <80 fl dan MCH < 27 pg,
anemia normokromik normositer dengan MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl, anemia
makrositer dengan MCV >95 fl. Adapun penyakit dengan anemia hipokromik
mikrositer yaitu anemia defisiensi besi, thalassemia, anemia akibat penyakit kronik,
dan anemia sideroblastik. Dari laboratorium didapatkan Hb rendah sebesar 6,49 g/dl,
MCV rendah 54,33 Fl, MCHC rendah 24,57 g/dL yang menunjukkan adanya suatu
anemia sedang hipokromik mikrositer. Hal ini sesuai dengan thalassemia yang
termasuk ke dalam satu bentuk anemia hipokromik mikrositer tersebut.
Untuk membedakan diagnosis banding anemia hipokromik mikrositer, dalam
hal ini anemia defisiensi besi, dilakukan anamnesis tambahan berupa adanya
stomatitis angularis, disfagia/odinofagia, dan koilonichia. Pada pasien tidak
ditemukan tanda-tanda tersebut berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik.
Dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa serum iron, feritin dan TIBC.
Pada anemia defisiensi besi, ditemukan serum iron dan ferritin yang rendah
sementara TIBC meningkat. Sebaliknya, pada pasien thalassemia akan ditemukan
ferritin yang tinggi dan TIBC yang rendah. Pada pasien didapatkan ferritin 1348
ng/dL (tinggi) dan TIBC 132,00 μg/dL (rendah).
Pemeriksaan penunjang diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis
thalassemia yaitu elektroforesis Hb. Pada thalassemia beta major, didapatkan hasil
pemeriksaan berupa Hb – F meningkat 10-98%, Hb – A bisa ada (pada β+), bisa tidak
ada (pada β0), Hb – A2 bervariasi, dapat rendah, normal, atau meningkat. Pada pasien
ini didapatkan hasil Hb elektroforesis berupa peningkatan Hb – F 70,7%, peningkatan
Hb – A2 11,6 % dan Hb – A yang minimal (17,7%). Hal ini dikarenakan
berkurangnya sintesis rantai beta, sehingga mengakibatkan presipitasi ranta alfa yang
berlebihan yang tidak mendapat pasangan rantai beta, sehingga terbentuk Hb-F dalam
jumlah banyak sebagai kompensasi. Presipitasi ini membentuk inclusion bodies yang
menyebabkan lisis eritrosit intramedular dan berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
sirkulasi. Hal ini dapat ditemukan berupa adanya hepatosplenomegali akibat destruksi
eritrosit massif. Peningkatan eritropoesis menyebabkan hiperplasia dari sumsum
tulang, ditandai dengan thalasemic facies, seeperti dijumpai pada pasien.
Terapi yang diberikan pada pasien berupa transfusi darah (PRC) dengan target
Hb ≥ 10 gr/dL. Premedikasi diberikan Furosemid, agen diuretik, ditujukan untuk
mencegah hipervolume akibat pemberian transfusi. Adapun komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien thalassemia akibat pemberian transfusi darah adalah iron
overload. Karena itu pada pasien diberikan Deferasirox (iron chelator). Deferasirox
mengikat Fe (2 molekul deferasirox mengikat 1 atom Fe) kemudian diekskresi
melalui feses. Pemberian chelating agent mencegah terjadinya iron overload yang
dapat menumpuk di jaringan.
Anemia kronis dapat menyebabkan komplikasi pada sistem kardiovaskular,
akibat demand oksigen jaringan yang meningkat. Sehingga didapatkan kompensasi
berupa takikardia (peningkatan cardiac output) dan takipnu. Pada pasien juga
didapatkan peningkatan denyut nadi dan laju pernapasan. Pada kasus yang kronis,
maka dapat dijumpai kegagalan fungsi jantung (gagal jantung), yaitu Anemia Heart
Disease (AHD) atau Anemia Heart Failure. Tanda khas yang dapat dijumpai berupa
hipertrofi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan fisik pasien, dijumpai tanda-tanda
pembesaran ventrikel kiri, berupa pergeseran apex ke kaudolateral. Demikian pula
pada pemeriksaan penunjang radiologi (foto thorax AP) dijumpai kesan kardiomegali.
Pasien dikonsulkan pada bagian kardiologi.

Anda mungkin juga menyukai