Anda di halaman 1dari 14

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).6
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat yang diperantarai oleh
IgE (Hipersensitivitas tipe 1) yang mengancam jiwa dan menimbulkan gejala
sistemik / generalisata (setidaknya 2 sistem organ). Reaksi ini ditandai dengan
gangguan dalam hitungan menit-jam pada sistem respirasi dan atau kardiovaskular
(airway, breathing dan circulation) yang mengancam jiwa dan berkembang
dengan cepat. Keluhan sering disertai gejala muko-kutaneus atau pencernaan.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik berat dari anafilaksis
yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah
sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.1,2,4,5
Gejala yang timbul melalui reaksi allergen-antibodi disebut sebagai reaksi
anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik disebut dengan
reaksi anafilaktoid. Keduanya tidak dapat dibedakan dari gejala maupun
pengobatannya, sehingga kedua reaksi tersebut digolongkan dalam reaksi
anafilaksis.1

2.2 Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa
lifetime risk anafilaksis sebesar 1,6% dari 1000 penduduk. Angka kejadian
anafilaksis meningkat setidaknya 2.2% dalam setahun dari tahun 1999-2009.
Angka kejadian anafilaksis pada anak akibat makanan dilaporkan meningkat
sebesar 2 kali dari tahun 2000-2009. Di Inggris-Wales, angka masuk rumah sakit
untuk kasis anafilkasis meningkat sebesar 615% dari tahun 1992-2012, dengan
mortalitas pada 0,047 kasus / 1 juta penduduk.4
Anafilaksis paling banyak akibat penggunaan antibiotik (58,8%) dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. 4 Sementara di Indonesia,
3

khususnya di RSUP Sanglah Denpasar, kejadian anafilaksis banyak terjadi dan


disebabkan oleh obat maupun cara pemberian obat pada pasien.7

2.3 Faktor Predisposisi dan Etiologi


Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
makanan, venom, dan obat-obatan. Pada umumnya, reaksi anafilaksis dipicu oleh
makanan (alergi makanan) terutama pada anak-anak. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, OAT, vitamin B1, asam folat,
agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti
antibodi monoklonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.1,2
Tabel 1. Etiologi Reaksi Anafilaksis
2
Venom dan gigitan Semut, lebah, tawon
Obat Penicillin, cephalosporin,
cotrimoxazole, NSAIDs, narkotika,
radiological contrast, ACE inhibitor,
vaccines, gelofusin
Makanan Makanan laut, kacang, telur, MSG, susu
Idiopatik
Lainnya Latihan jasmani, suhu dingin, latex

Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media
kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontras menyebabkan reaksi yang
mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan
1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras
yang hyperosmolar. Selain itu imunoterapi dan uji kulit (terutama intradermal)
juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex)
yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung
tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.1,2

2.4 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe
I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
4

pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan


mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya
pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.1,3,8
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu
reaksi selular pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik antigen
yang berikatan dengan reseptor pada sel mast atau basofil. Reaksi anafilaktoid
terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh
misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin
yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.1,3,8

Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis11

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada limfosit T, yang akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma
memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel mast (mastosit) dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain
masuk alergen yang sama ke dalam tubuh, alergen akan diikat oleh IgE spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
(preformed mediators). Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema, sekresi mukus,
dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
5

menyebabkan kontraksi otot polos.1,8,9,10


Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT), prostaglandin (PG), dan
platelet activating factor (PAF) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut newly formed mediators. Prostaglandin dan leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. PAF berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa
faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.8,9,10
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan
syok.8,9,10
Tabel 2. Kadar Histamin dalam Darah12

Histamine (ng/ml) Biological Activities


0-1 Tidak ada reaksi
1-2 Meningkatkan sekresi asam lambung
3-5 Takikardi, reaksi pada kulit (urtikaria,dll)
6-8 Turunnya tekanan arteri
9-12 Spasme bronkus
>100 Cardiac arrest
6

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam, reaksi
lambat terjadi lebih dari 24 jam.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Reaksi Anafilaksis


2
General Cemas, malaise, lemah, lemas,
paresthesia, mulut kering
Mukokutaneus Kongesti nasal, rinorea, eritema
konjungtiva, konjungtiva basah, gatal,
kemerahan, urtikaria, angioedema
Gastrointestinal Mual, muntah, nyeri abdominal, diare
Respirasi Edema saluran pernapasan, stridor,
sesak, dispnoea, bronkospasme, batuk,
hipoksemia
Kardiovaskular Takikardia (vasodilatasi dan hipotensi),
diaphoresis dan gagal sirkulasi, aritmia,
syok kardiogenik, edema pulmonum,
cardiac arrest
Saraf Sakit kepala, pusing, bingung,
penurunan kesadaran

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.1,2,6
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan
diaphoresis. 1,2,6
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah parumenurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
7

penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.1,2,6
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai
terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut.1,2,6
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel
sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada
sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme
otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. 1,2,6
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
1,2,6

Tabel 3. Klasifikasi Gejala Reaksi Anafilaksis


2
Grade Gejala
Ringan (mukokutaneus) Eritema generalisata, urtikaria,
periorbital edema/angioedema
Moderat/Sedang (respirasi, Dyspnoea, stridor, wheezing, mual,
kardiovaskular, atau gastrointestinal) muntah, pusing, diaphoresis, sesak,
nyeri abdominal
Berat (hipoksia, hipotensi, sistem saraf Sianosis / SpO2 ≤92%, hipotensi (SBP
pusat) – Syok Anafilaksis <90 mmHg pada dewasa), bingung,
kolaps, penurunan kesadaran,
inkontinensia.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer,
8

sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok, kongesti hidung,


pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Derajat sedang
mencakup semua gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas
atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas,
dan gatal-gatal juga sering terjadi. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat
mendadak dengan gejala serupa disertai kemajuan yang pesat ke arah
bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, kejang, henti jantung, dan koma.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel, syok. Pada
keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga
terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan
antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel. 1,2,6

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis anafilaksis yang saat ini banyak digunakan yaitu menggunakan
kriteria diagnosis oleh Sampson et al.

Tabel 4. Diagnosis Anafilaksis3

Anafilaksis ditegakkan dengan satu dari 3 gejala berikut:


1. Reaksi akut (menit-jam) dengan keterlibatan kulit, mukosa, atau keduanya,
dan paling tidak satu dari berikut:
 Respiratory compromise (dispnoea, wheezing/bronkospasme,
stridor, penurunan PEF, hipoksemia)
 Penurunan tekanan darah atau disfungsi end-organ
(hipotonia/kolaps, sinkop, inkontinensia)
2. Dua atau lebih dari berikut, yang berlangsung cepat setelah paparan
allergen yang dicurigai:
 keterlibatan jaringan mukosa kulit (bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-
uvula)
 Respiratory compromise (sesak, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)
 Gejala gastrointestinal yang persisten (nyeri abdominal, kram,
muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui
(menit-jam)
 Anak: tekanan darah sistolik rendah (spesifik umur) atau
9

penurunan darah sistolik lebih dari 30%


 Dewasa: tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan
darah sistolik >30% dari tekanan darah awal.

2.7 Diagnosis Banding


Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang
tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis
dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, dan angioedema herediter.1
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien
tampakpingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak
terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infarkmiokard akut, gejala yang
menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.1
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.1
Sindrom angioedema neurotik herediter ditandai dengan angioedema
saluran napas atas dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kolaps
vaskular dan kelainan kulit. Sindrom ini bersifat herediter, ditandai dengan
penurunan kadar C1 esterase. Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik,
10

ditandai dengan gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar
kulit, tetapi tidak dijumpai urtikaria/angioedema. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kadar serotonin darah tinggi dan histamine dan 5 hidroksi indol
asam asetat urin meninggi.1
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak,
dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus
seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu
hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena
faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.1

2. 8 Penatalaksanaan
Apabila terjadi syok anafilaktik setelah paparan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.1,2,3,13,14
 Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas
agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver
yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
 Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
11

Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong


dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-
10 liter/menit.
 Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Terapi Medikamentosa
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek. 1,2,3,14
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan. Adrenalin sebaiknya tidak diberikan
secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok
(mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat
kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena
lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000)
diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami
12

syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.1,2,3,14
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg)
atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang
juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-
10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam. 1,2,3,14
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon peradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 200 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 0,2 mg/kg BB. 1,2,3,14
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena
4- 7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg
BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5%
atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain
adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau
agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi. 1,2,3,14
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam
13

250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau
15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-
pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrose 5%.1,2,3,14
Terapi Cairan
Apabila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. 1,2,3,14
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 1,2,3,14
Observasi
Dalam keadaan gawat darurat, maka penanganan penderita di tempat kejadian
harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Setelah syok teratasi, penderita
harus diobservasi selama selama 24 jam.1,2,3,14
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
14

dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit. 1,2,3,14

Gambar 2. Alur Tatalaksana Reaksi Anafilaksis14


2.10. Prognosis
Prognosis baik dengan adanya allergen yang sudah diketahui sebagai penyebab
15

reaksi anafilaksis. Walaupun penyebab tidak diketahui, dengan penanganan yang


cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian. Mortalitas terjadi pada 0,7-20% kasus, disebabkan karena
kegagalan fungsi respirasi dan kardiovaskular.8 Reaksi anafilaksis dapat rekuren
akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan
observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan
sistem organ yang lebih luas lagi.1,2,3
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti β- blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.1,2,3

Anda mungkin juga menyukai