ASMA
Oleh:
Pembimbing:
dr. Putu Pramitha Rahayu, Sp.A
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia
termasuk di Indonesia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu
aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan
kegiatan harian. Produktivitas akan menurun akibat mangkir kerja atau sekolah,
dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan
produktivitas serta menurunkan kualitas hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat
akan kesehatan dan sulitnya akses kesehatan di beberapa daerah di Indonesia
menyebabkan rendahnya tingkat kontrol asma. Sehingaa angka morbiditas dan
mortalitas akibat asma meningkat.
Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan
yang dihubungkan dengan hiperresponsif saluran napas, keterbatasan aliran udara
yang reversible, dan episodik1. World Health Organization (WHO) mengestimasi
terdapat 15 juta jiwa setiap tahunnya yang mengalami keterbatasan fisik dan
mental (disabilitas) akibat asma atau sama dengan 1% dari seluruh penyakit lain
yang mampu menimbulkan disabilitas2.
Laporan setiap tahunnya terkait kematian akibat asma telah mencapai
angka 250.000 jiwa. Selain dilihat dari angka morbiditas dan mortalitas yang
cukup tinggi, asma akan menjadi permasalahan masyarakat karena mampu
memberikan beban yang signifikan dalam konteks biaya perawatan kesehatan dan
juga hilangnya produktivitas dan rendahnya partisipasi individu yang
bersangkutan dalam kehidupan keluarga maupun sosial ekonominya sehingga
diperlukan diagnosis dini dan implementasi terapi yang tepat dan akurat2,3.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Inflamasi saluran napas kronis pada pasien asma tergolong
persisten atau menetap, ditemukan pada pasien yang baru terkena serangan
asma maupun pada pasien asma yang jarang mengalami serangan. Pola
inflamasi pada saluran napas akan tampak sama pada kasus asma baik
yang alergi maupun tidak alergi pada semua kelompok umur5.
Walaupun terdapat tipe alergi dan non-alergi, pada pasien akan
tetap dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh
karena itu, paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan
tersebut, yaitu jalur imunulogis yang terutama di dominasi oleh
immunoglobulin E (IgE) dan jalur saraf otonom1.
Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh
Antigen Presenting Cells (APC) untuk selanjutnya hasil olahan alergen
akan dikomunikasikan kepada sel T helper (Th). Sel Th inilah yang akan
memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel sel plasma
membentuk IgE, serta sel sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator mediator inflamasi seperti histamin prostaglandin, leukotrien,
platelet activating factor, bradikinin, tromboksan dan lain lain yang
akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang,
sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Jalur non alergik selain merangsang sel
inflamasi juga merangsang system saraf autonom dengan hasil akhir juga
berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas.9
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon
inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction =
EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah
reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut
menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi
inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi
3
terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen
bronkus.2
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik
oleh sel plasma. Ig E melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan
basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul
reaksi asma cepat (immediate asthma reaction) dimana terjadi degranulasi
sel mast, dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4
(LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2, triptase. Mediator-
mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi
kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan
asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan asma hilang)
dengan pengobatan.9,10
Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya yang disebut
reaksi asma lambat (late asthma reaction). Sitokin IL-3, IL-4, dan GM-
CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi akan
mengaktifkan sel-sel radang seperti eosinofil, basofil, monosit, dan
limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T helper (Th), limfosit subtipe CD4+
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis
limfosit T mensekresi IL3 dan granulocytemacrophage colony
stimulating factor (GMCSF), Thl terutama memproduksi IL2, IFN-
dan TNF- sedangkan Th terutama memproduksi sitokin yang terlibat
dalam asma, yaitu IL4, IL5, IL9, IL13, dan IL16.9,10
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab terjadinya
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Masing-masing sel radang
berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi
LTC4, eosinophil peroxidase (EPX), eosinophil cathion protein (ECP) dan
major basic protein (MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan
mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil
mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan
bronkospasme.13
4
Sel makrofag mensekresi IL-8, platelet activating factor (PAF),
regulated upon activation novel T cell expression and presumably secreted
(RANTES). Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan mempertahankan proses inflamasi.
Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan,
sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan
membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada
rangsangan spesifik maupun non spesifik. 9,10
Tabel 1. Sel Inflamasi pada Saluran Napas dengan Asma2
Jenis Sel Inflamasi Pengaruh
5
Sel dendritik Sel dendritik bermigrasi menuju limfonodi dan
berinteraksi dengan sel T regulator dan melakukan
stimulasi terhadap sel Th2.
7
dengan terapi yang tersedia saat ini. Hal ini mungkin terjadi sebagai reflek
terhadap perubahan struktur saluran napas pada asma kronis.9,10
8
2.6 Diagnosis Asma
Diagnosis asma dapat ditegakkan dengan identifikasi karakteristik
gejala pernapasan yang dapat ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang selanjutnya apabila mengarah ke asma maka dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk menunjang diagnosis5.
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi,
atau rasa berat di dada. Terkadang pasien mengeluh hanya batuk saja yang
dialami pada malam hari atau pada saat berolahraga. Dapat ditemukan
riwayat gangguan pernapasan pada saat pasien masih anak-anak. Riwayat
alergi pada pasien ataupun pada keluarga seperti rhinitis alergi, eczema,
dan dermatitis atopi juga dapat membantu dalam penegakkan diagnosis1,5.
Temuan klinis yang bisa ditemukan pada pasien dengan asma
adalah (1) lebih dari satu keluhan berupa mengi, sesak napas, batuk, dada
seperti terikat, (2) gejala memburuk saat malam atau pagi hari, (3) durasi
dan intensitas gejala bervariasi, (4) gejala dipicu oleh infeksi virus,
olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca, tertawa, dan bahan iritan
seperti asap knalpot, asap rokok, maupun bebauan kuat5.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan asma seringkali normal.
Temuan yang paling sering pada pasien asma adalah adanya mengi
(wheezing) saat auskultasi yang akan mengkonfirmasi adanya obstruksi
jalan napas. Namun pada beberapa pasien dengan asma, wheezing bisa saja
tidak ada atau hanya terdengar apabila pasien diinstruksikan untuk
melakukan ekspirasi paksa. Jika sudah mengalami eksaserbasi berat akan
menimbulkan tanda berupa sianosis, penurunan kesadaran, kesulitan
berbicara, takikardia, dada hiperinflasi, dan napas menggunakan otot
aksesoris dan resesi intercostal5.
Dalam praktiknya, diagnosis asma tidak sulit ditegakkan. Namun
pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang
objektif. Pemeriksaan yang dilakukan merupakan pengukuran faal paru
yang memiliki kegunaan sebagai konfirmasi diagnosis, membantu menilai
gradasi penyakit, dan monitoring perjalanan penyakit5,6. Beberapa metode
dapat dilakukan untuk menilai hambatan udara yang terjadi pada paru-
9
paru, namun terdapat dua metode yang secara luas dipergunakan yaitu (1)
sprirometri, untuk mengukur volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) (forced expiratory flow in 1 second FEV1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) (forced vital capacity/ FEC), dan (2) arus puncak ekspirasi
(APE) (peak expiratory flow/ PEF)2,5.
Pengukuran faal paru akan menampilkan derajat dari obstruksi
jalan napas, reversibilitas, variabilitas, dan menyediakan data untuk
konfirmasi diagnosis asma. Reversibilitas secara umum dijelaskan sebagai
perbaikan cepat pada VEP1 atau APE yang diukur dalam beberapa menit
setelah inhalasi bronkodilator aksi cepat, atau perbaikan dalam kurun
waktu hari hingga minggu setelah pemberian terapi kontrol berupa inhalasi
glukokortikosteroid. Sedangkan istilah variabilitas berarti perbaikan pada
gejala atau fungsi paru yang terjadi sepanjang waktu. Variabilitas dapat
terjadi sepanjang satu hari penuh (diurnal variability) atau bisa juga dari
hari ke hari, bulan ke bulan, ataupun per musim. Mengetahui riwayat
variabilitas merupakan komponen esensial dalam diagnosis asma5,6.
Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan untuk
mengukur gangguan jalur napas dan reversibilitasnya untuk menegakkan
diagnosis asma. Pengukuran VEP1 dan KVP dilakukan saat pasien
berekspirasi maksimal atau ekspirasi paksa menggunakan spirometri.
Derajat reversibilitas VEP1 yang mengindikasikan diagnosis asma adalah
sebesar 12% dan perbaikan 200ml dari nilai VEP1 sebelum pemberian
bronkodilator. Namun, tidak semua pasien menunjukkan reversibilitas
pada setiap pemeriksaan, sehingga pemeriksaan berulang disarankan untuk
dilakukan7,8.
Spirometri termasuk alat yang mampu mencerminkan kondisi
saluran napas dengan baik namun dalam penggunaannya sangat
bergantung pada usaha dan teknik pasien. Oleh karena itu diperlukan
instruksi yang tepat dan menyeluruh bagaimana untuk melakukan manuver
ekspirasi paksa pada pasien dan mencatat 3 nilai tertinggi yang mampu
dilakukan oleh pasien. Rentang nilai VEP1 juga bisa sangat berbeda sesuai
dengan umur pasien. Berkaitan dengan banyak penyakit paru lain yang
10
menyebabkan penurunan VEP1, penilaian yang lebih tepat kondisi saluran
napas adalah dengan melihat rasio antara VEP1 terhadap KVP. Rasio
VEP1 terhadap KVP normalnya lebih besar daripada 0,75-0,80 dan
mungkin akan lebih besar dari 0,90 pada anak-anak. Nilai yang didapatkan
lebih kecil dibandingkan nilai diatas maka akan menandakan adanya
penyempitan saluran napas5,7.
Pengukuran APE dilakukan dengan menggunakan alat bernama
peak flow meter yang menjadi alat penting didalam diagnosis dan
monitoring asma. APE meter termasuk alat yang tidak mahal, mudah
dibawa, dan ideal untuk digunakan oleh pasien di rumah untuk penilaian
objektif penyempitan jalur napas. APE mampu untuk menilai derajat
penyempitan lumen saluran napas terutama apabila terjadi perburukan.
Namun karena nilai APE yang didapatkan akan bervariasi dan nilai
prediksi orang normal sangatlah lebar maka penilaian APE juga sebaiknya
dibandingkan dengan nilai APE terbaik masing-masing pasien. Pada
kondisi ini nilai yang dianggap paling baik adalah saat pasien berada
dalam fase asimptomatis atau pada kondisi dengan terapi penuh dan
nantinya akan mampu memberikan data tentang efek perbaikan kondisi
saluran napas oleh pemberian terapi saat terjadinya eksaserbasi atau
setelah maintenance-nya5,7,8. Diagnosis asma ditegakkan jika didapatkan
hasil peningkatan 60cc/menit setelah inhalasi bronkodilator atau 0%
dibandingkan APE sebelum diberikan bronkodilator atau variasi diurnal
APE 0% (dengan kali pembacaan setiap paginya)1,2. Secara garis
besar diagnosis asma pada anak bisa dilihat pada gambar 2.1 berikut11
11
Gambar 2.1. Diagnosis Asma12
13
inspirasi inspirasi stetoskop
sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
bantu paradoks torako-
respiratorik abdominal
Retraksi Dangkal. Sedang, Dalam, ditambah Dangkal/hilang
interkostal ditambah napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipneu Takipneu Takipneu Bradipneu
Usia : Frekuensi napas
normal:
< 2 bulan < 60 x/menit
2-12 bulan < 50 x/menit
1-5 tahun < 40 x/menit
6-8 tahun < 30 x/menit
Frekuensi nadi Nomal Takikardi Takikardi Bradikardi
Usia : Frekuensi napas
normal:
2-12 bulan < 160 x/menit
1-2 tahun < 120 x/menit
3-8 tahun < 110 x/menit
Pulsus Tidak ada (< 10 Ada (10-20 Ada (> 20 Tidak ada, tanda
paradoksus mmHg) mmHg) mmHg) kelelahan otot
respiratorik
PEER atau FEV1 >60% 40-60% <40%
(pra-
bronkodilator)
(Pasca- > 80% 60-80% <60%
bronkodilator)
SaO2 >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal > 60 mmHg < 60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
14
Tabel 3. (Pembagian derajat asma pada anak menurut PNAA)11
No Parameter Asma episodik Asma episodik Asma persisten
jarang sering
1 Frekuensi serangan < 1 x/bulan > 1 x/minggu Sering
2 Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
3 Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
4 Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
5 Pemeriksaan fisik di Normal Mungkin Tidak pernah
luar serangan terganggu normal
6 Obat pengendali Tidak perlu Steroid hirupan Steroid hirupan/oral
dosis rendah
7 Uji faal paru di luar PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 >60- PEF/FEV1 < 60%
serangan 80% (Variabilitas 20-
30%
8 Variabilitas faal paru Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
(bila ada serangan)
15
mengatasai gejala seragan asma, mengembalikan fungsi paru ke keadaan
sebelum serangan, memcegah keambuhan dan mencegah kematian.10
Asma dikatakan terkontrol apabila gejala minimal atau tidak ada,
gejala malam minimal, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik termasuk
exercise, kebutuhan bronkodilator kerja cepat minimal, variasi harian APE
<20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek samping obat
minimal, dan tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat9.
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Yang
termasuk obat pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid
sistemik, sodium kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonis
beta-2 kerja lama inhalasi dan oral, leukotrien modifiers, dan antihistamin
generasi ke dua (antagonis -H1). Pelega adalah obat untuk dilatasi jalan
napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat
di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah agonis
beta-2 kerja singkat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofillin,
dan adrenalin9. Yang terpenting pada penatalaksanaan jangka panjang
adalah penghindaran terhadap pencetus. Bila dengan penghindaran yang
optimal asma masih sering kambuh maka penatalaksanaannya seperti yang
tampak pada Gambar 2.3.
16
Gambar 2.2. (Alur tata laksana serangan pada anak)13
17
Gambar 2.3. (Algoritme tata laksana jangka panjang asma)13
18
BAB III
LAPORAN KASUS
19
ibu pasien tidak mengukur suhunya. Nafsu makan pasien dikatakan berkurang
sejak sesak pasien memberat. BAK dan BAB dikatakan normal.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan:
Pasien dikatakan sempat mengalami keluhan sesak, batuk, pilek dan
demam yang sama saat pasien berusia 7 bulan. Saat itu pasien sempat dirawat inap
di RSUD Wangaya. Saat sesak mulai memberat 3 hari SMRS, pasien sempat
dibawa ke UGD RSUD Wangaya dan dikatakan sempat diuap, dan sesak
dikatakan mereda. Pasien hari itu dipulangkan karena kamar penuh. Saat pulang
pasien diberi obat puyer (tidak diketahui isinya oleh ibu pasien) dan sirup
parasetamol.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Dari keluarga ibu pasien dikatakan ada yang mengidap asma. Ibu pasien
sewaktu kecil sering dikatakan sesak akan tetapi menghilang sendiri tanpa
diberikan obat. Riwayat penyakit sistemik lain seperti hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung dan keganasan dalam keluarga pasien disangkal.
Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan:
Pasien merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Pasien tinggal di
rumah bersama ayah, ibu, dan kakak-kakak pasien. Ayah pasien merupakan
seorang perokok. Ventilasi rumah pasien dikatakan cukup baik.
Riwayat Alergi:
Pasien dikatakan tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-
obatan apapun.
Riwayat Imunisasi:
BCG : 1 kali
Polio : 4 kali
Hepatitis B : 4 kali
DPT : 3 kali
Campak : 1 kali
Riwayat Persalinan:
Pasien lahir secara Sectio Caesaria, dibantu dokter, berat badan lahir 3500
gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala dikatakan lupa. Pasien lahir segerea
menangis dan tidak didapatkan adanya kelainan kongenital.
20
Riwayat Nutrisi:
ASI :-
Susu Formula : sejak usia 0 bulan, frekuensi on demand
Nasi Tim : sejak usia 6 bulan, frekuensi 3 kali sehari
Makanan Dewasa : sejak usia 1 tahun, frekuensi 3 kali sehari
Riwayat Tumbuh Kembang:
Menegakkan kepala : 2 bulan
Membalikkan badan : 3 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 15 bulan
Berbicara : 12 bulan
Kesan : normal
Riwayat Operasi : tidak ada
Riwayat Transfusi : tidak ada
21
BB/U : Z score 0 2 (normal)
PB/U : Z score (-2) 0 (normal)
BB/PB : Z score 1 2 (normal)
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/- ikterus -/- edema palpebra -/- reflex pupil +/+ isokor
THT : Telinga : bentuk normal, sekret (-)
Hidung : bentuk normal, sekret (+), napas cuping hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Mulut : Sianosis bibir (-) sianosis lidah (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax :
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris saat
statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Auskultasi : pola napas bronkial +/+ wheezing +/+ rhonki +/+
Abdomen : Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-, Capillary Refill Time < 2 detik
Kulit : Sianosis (-)
22
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap (26 Oktober 2016)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 8,53 103/uL 5,0-13,0
Neutrofil 50,4 % 32-52
Limfosit 39,6 % 30-60
Monosit 9,1 % Tinggi 2-8
Eosinofil 0,5 % 0-4
Basofil 0,4 % 0-1
RBC 5,22 106/uL 4,00-5,30
HGB 13,4 g/dL 12,0-16,0
HCT 40,4 % 35,0-45,0
MCV 77,4 fL 75,0-91,0
MCH 25,7 pg 25,0-33,0
MCHC 33,2 33,2 31,0-37,0
3
PLT 269 10 /uL 150-400
IG 0,1 % Tinggi
23
Cor : CTR <55%
Pulmo : Corakan bronkovaskular paru normal
Tampak infiltrat minimal pada kedua perihiler dan basal paru
Sinus kostofrenikus kanan tajam kiri tajam
Diafragma kanan normal kiri normal
Tulang dan soft tissue normal
Kesan : Observasi bronkopneumonia
3.6 Penatalaksanaan
Terapi:
- MRS
- IVFD D5 + NS 10 tetes makro per menit
- Oksigen 2 liter per menit via nasal canule
- Nebulisasi 2 agonist + Ipratroprium Bromide 1 ampul tiap 6 jam
- Dexamethasone 3 x 2 mg i.v.
- Ambroxol syr 3 x cth p.o.
- Cefotaxime 3 x 300 mg i.v.
Monitoring:
- Keluhan (sesak napas, batuk, pilek, demam)
- Tanda vital (tekanan darah, laju respirasi, nadi, suhu axilla, saturasi
oksigen)
KIE:
- Memberikan informasi tentang kondisi pasien, penanganan yang
diberikan, serta komplikasi yang mungkin timbul
- Memberikan informasi kepada keluarga agar memperhatikan tanda
perburukan (sesak dan batuk memberat, napas cepat, anak lemas/tidak
sadar, kebiruan pada bibir/lidah, cekungan di dada saat bernapas) dan agar
menghindari faktor pencetus
24
BAB IV
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
1. Asma didefinisikan sebagai 1. Pada kasus, ditemukan pasien
penyakit inflamasi kronis datang dengan keluhan sesak
saluran pernapasan yang napas, batuk, pilek, dan demam.
dihubungkan dengan Sesak pertama kali muncul 2
hiperresponsif saluran napas, minggu SMRS (tanggal 7
keterbatasan aliran udara yang Oktober 2016), awalnya sesak
reversible, dan episodik. Gejala hanya dikeluhkan tiap pagi hari
pernapasan yang timbul dapat dan mereda di siang hari.
berupa mengi, sesak napas, dada Namun sejak 3 hari SMRS
seperti terikat, dan batuk yang (tanggal 23 Oktober 2016) sesak
bervariasi dalam frekuensi dan dikeluhkan memberat, sesak
intensitas. Gambaran klinis dikeluhkan sepanjang hari dari
asma dapat berbeda-beda pagi sampai malam. Batuk
tergantung faktor pencetus muncul sejak 3 hari SMRS,
seperti olahraga, alergen atau bersamaan dengan mulai
paparan terhadap faktor iritasi, memberatnya sesak. Batuk
perubahan cuaca, atau infeksi disertai dahak berwarna putih,
virus pada saluran pernapasan. tidak disertai darah. Pilek juga
Pada asma alergi, serangan muncul sejak 3 hari SMRS, dari
dapat disertai dengan pilek atau hidung dikatakan keluar cairan
bersin. Pada awalnya gambaran bening dan encer. Demam juga
klinis batuk tidak disertai dikatakan mulai muncul sejak 3
dengan sekret, namun pada hari SMRS, akan tetapi ibu
perkembangannya batuk dapat pasien tidak mengukur suhunya.
disertai dengan sekret baik yang
mukoid, putih, terkadang
purulen.
25
2. Faktor pencetus asma secara 2. Pada pasien ini, ditemukan
garis besar dibagi menjadi dua beberapa faktor pencetus asma
kelompok yaitu faktor pejamu Dari faktor pejamu ditemukan
(host factor) dan faktor adanya predisposisi genetik,
lingkungan. Faktor dimana dari keluarga ibu pasien
penjamu/host factor mencakup dikatakan ada yang mengidap
jenis kelamin, ras/etnik, asma, dan ibu pasien sewaktu
obesitas, hiperresponsif saluran kecil sering dikatakan sesak
pernafasan, dan predisposisi akan tetapi menghilang sendiri
genetik. Faktor lingkungan yang tanpa diberikan obat. Dari faktor
mempengaruhi berkembangnya lingkungan didapatkan pajanan
asma secara khusus dibagi terhadap asap rokok
menjadi dua yaitu alergen dalam dikarenakan ayah pasien adalah
ruangan seperti alergen seorang perokok.
binatang, mite domestic, jamur
dan alergen diluar ruangan
seperti tepung sari bunga, asap
rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan, infeksi parasit,
status sosoal ekonomi, diet dan
obat. Faktor lingkungan juga
dapat mencetuskan eksaserbasi
dan atau menyebabkan gejala
asma menetap, biasanya
diakibatkan oleh alergen dalam
dan luar ruangan, polusi dalam
dan luar ruangan, perubahan
cuaca, sulfur oksida, makanan
aditif, asap rokok dan iritan
(parfum, bau-bauan yang
merangsang, household spray).
26
3. Temuan klinis yang bisa 3. Pada pasien ditemukan adanya
ditemukan pada pasien dengan sesak napas dan batuk, dan pada
asma adalah (1) lebih dari satu awalnya gejala memburuk di
keluhan berupa mengi, sesak pagi hari. Ditemukan riwayat
napas, batuk, dada seperti atopi pada keluarga pasien,
terikat, (2) gejala memburuk yaitu dari keluarga ibu pasien
saat malam atau pagi hari, (3) ada yang menderita asma dan
durasi dan intensitas gejala ibu pasien sewaktu kecil sering
bervariasi, (4) gejala dipicu oleh dikatakan sesak. Pada
infeksi virus, olahraga, paparan pemeriksaan fisik ditemukan
alergen, perubahan cuaca, suara napas tambahan berupa
tertawa, dan bahan iritan seperti wheezing dan rhonki. Pada
asap knalpot, asap rokok, pasien ini tidak dilakukan
maupun bebauan kuat. pemeriksaan penunjang berupa
Didapatkan juga riwayat atopi pemeriksaan faal paru. Setelah
pada keluarga. Pemeriksaan pemberian bronkodilator
fisik pada pasien dengan asma inhalasi, keluhan sesak
seringkali normal. Temuan yang dikatakan segera mereda.
paling sering pada pasien asma
adalah adanya mengi (wheezing)
saat auskultasi yang akan
mengkonfirmasi adanya
obstruksi jalan napas.
Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan merupakan
pengukuran faal paru. Terdapat
dua metode yang secara luas
dipergunakan yaitu sprirometri,
dan arus puncak ekspirasi
(APE). Keluhan biasanya akan
segera membaik setelah
diberikan bronkodilator.
27
4. Klasifikasi asma dapat dibagi 4. Asma yang diderita pasien ini
menjadi 2 kelompok besar, yaitu diklasifikasikan ke asma
menurut derajat kekerapannya intermiten menurut derajat
dan derajat serangannya. Untuk kekerapannya, dan asma
derajat kekerapan asma, serangan ringan-sedang menurut
terdapat sedikit perbedaan dari derajat serangan asmanya.
klasifikasi PNAA 2004 dan
2015. Klasifikasi PNAA 2004
yang membagi derajat
kekerapan asma menjadi asma
episodik jarang, asma episodik
sering, dan asma persisten.
Klasifikasi PNAA 2015
membagi derajat kekerapan
asma menjadi asma intermiten,
asma persisten ringan, asma
persisten sedang, dan asma
persisten berat. Untuk derajat
serangan asma juga terdapat
perbedaan dari klasifikasi
PNAA 2004 dan 2015.
Klasifikasi derajat serangan
asma menurut PNAA 2004
adalah asma serangan ringan,
asma serangan sedang, asma
serangan berat, dan ancaman
gagal napas, sedangkan
klasifikasi PNAA 2015 adalah
asma serangan ringan-sedang,
asma serangan berat, dan
serangan asma dengan ancaman
henti napas.
28
5. Pada prinsipnya 5. Pada pasien ini hanya diberikan
penatalaksanaan asma dibagi obat pelega saja berupa agonis
menjadi dua yaitu beta-2 kerja singkat,
penatalaksanaan asma jangka kortikosteroid sistemik,
panjang dan penatalaksanaan antikolinergik karena derajat
asma akut/saat serangan. asma pasien adalah asma
Tatalaksana asma jangka intermiten yang tidak
panjang yang terutama adalah memerlukan obat pengontrol.
edukasi, obat asma (pengontrol Keluarga pasien juga telah
dan pelega) dan menjaga diedukasi mengenai pentingnya
kebugaran (senam asma), penghindaran pada faktor
sedangkan tatalaksana akut ialah pencetus asma.
untuk mengatasai gejala seragan
asma, mengembalikan fungsi
paru ke keadaan sebelum
serangan, mencegah
kekambuhan dan mencegah
kematian. Pengontrol adalah
medikasi asma jangka panjang
untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada
asma persisten. Yang termasuk
obat pengontrol adalah
kortikosteroid inhalasi,
kortikosteroid sistemik, sodium
kromoglikat, nedokromil
sodium, metilsantin, agonis
beta-2 kerja lama inhalasi dan
oral, leukotrien modifiers, dan
antihistamin generasi ke dua
29
(antagonis -H1). Pelega adalah
obat untuk dilatasi jalan napas
melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat di dada
dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan
napas. Termasuk pelega adalah
agonis beta-2 kerja singkat,
kortikosteroid sistemik,
antikolinergik, aminofillin, dan
adrenalin. Yang terpenting pada
penatalaksanaan jangka panjang
adalah penghindaran terhadap
pencetus.
30
BAB V
KESIMPULAN
Pada pasien ditemukan adanya sesak napas dan batuk, dan pada awalnya
gejala memburuk di pagi hari. Ditemukan riwayat atopi pada keluarga pasien,
yaitu dari keluarga ibu pasien ada yang menderita asma dan ibu pasien sewaktu
kecil sering dikatakan sesak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara napas
tambahan berupa wheezing dan rhonki. Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan faal paru. Setelah pemberian
bronkodilator inhalasi, keluhan sesak dikatakan segera mereda. Asma yang
diderita pasien ini diklasifikasikan ke asma intermiten menurut derajat
kekerapannya, dan asma serangan ringan-sedang menurut derajat serangan
asmanya. Pada pasien ini hanya diberikan obat pelega saja berupa agonis beta-2
kerja singkat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik karena derajat asma pasien
adalah asma intermiten yang tidak memerlukan obat pengontrol. Keluarga pasien
juga telah diedukasi mengenai pentingnya penghindaran pada faktor pencetus
asma.
31
DAFTAR PUSTAKA