Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma adalah cedera yang parah dan sering membahayakan jiwa yang
terjadi ketika seluruh atau suatu bagian tubuh terkena pukulan benda tumpul atau
tiba-tiba terbentur. Jenis cedera yang seperti ini berbahaya karena tubuh dapat
mengalami shock sistemik, dan organ vital dapat berhenti bekerja secara cepat.
Saat ini, cedera trauma merupakan penyebab dari lebih 120.000 kematian setiap
tahunnya serta bertanggung jawab atas 80% kematian remaja dan 60% kematian
anak. Sementara itu, setiap tahun ada lebih dari 50 juta cedera yang dikategorikan
sebagai trauma dan sebagian dari cedera tersebut cukup parah sehingga pasien
harus dirawat di rumah sakit. Selain koma atau kematian, trauma juga dapat
menyebabkan kelumpuhan pasien, seperti yang telah terjadi pada sekitar 8 juta
orang di seluruh dunia. Salah satu bahaya terbesar dari trauma adalah trauma tidak
selalu menyebabkan gejala yang terlihat. Bisa saja seseorang terlihat baik-baik
saja dari luar namun sebenarnya ia telah mengalami pendarahan atau kerusakan
organ di dalam tubuh. Walaupun cedera traumatis terjadi secara mendadak,
gejalanya bisa saja baru terlihat setelah beberapa saat. Namun saat gejala sudah
terlihat, kerusakan pada tubuh sudah parah, sehingga proses pengobatan menjadi
lebih sulit dan rumit serta kurang efektif. Tenaga kesehatan adalah orang pertama
yang harus menangani pasien trauma, dan sebagai tenaga kesehatan kita harus
mampu mengetahui bagaimana melakukan penanganan yang cepat dan tepat
terhadap pasien trauma agar pasien trauma dapat selamat. Penderita
trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat
untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena
itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal
dengan Initial assessment ( penilaian awal )(PTC : 2011).

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah itu Tim Trauma dan bagaimana Peran Tim Trauma?
1.2.2 Bagaimana prioritas penilaian awal trauma?
1.2.3 Bagaimana tahapan Primary Survey?
1.2.4 Bagaimana komponebn Sekundery Survey?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mampu mendefinisikan tim trauma dan peran tim trauma.
1.3.2 Mampu menjelaskan prioritas penilaian awal dalam kaitannya dengan
ABCDE.
1.3.3 Mampu memahami setiap tahapan primary survey.
1.3.4 Mampu mengidentifikasi komponen sekundery survey.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tim Trauma dan Peran Tim Trauma

Defenisi tim trauma

Tim trauma merupakan kumpulan beberapa/banyak orang yang melakukan


kegiatan bertujuan untuk menyembuhkan atau meringankan beban yang
menggoncangkan jiwa seseorang atau kelompok tertentu akibat bencana,
kecelakaan dan kejadian yang menimbulkan trauma.

Menurut Jason dan Waseem (2017), di pusat trauma, tim trauma


dikembangkan untuk memberikan evaluasi pasien trauma yang aman dan efisien.
Tim multidisiplin ini memiliki anggota dengan perannya masing-masing, yaitu
sbb:

1. Pemimpin Tim (Dokter) 5. Dua Perawat (paling


2. Ahli anestesi tidak)
3. Trauma Surgeon 6. Radiografer
4. Dokter Departemen 7. Scribe
Darurat
Staf lain mungkin tidak terlibat dalam setiap panggilan trauma tapi harus
segera tersedia (jika diperlukan) yaitu Ahli bedah saraf, Dokter bedah torak,
Operasi plastik, serta seorang Radiolog.

Peran tim trauma

Peran tim trauma disesuaikan dengan kelompok penanganan trauma


seperti trauma ringan, trauma sedang dan trauma berat.

Adapun peran tim trauma adalah:

a. Trauma ringan
 Mengajak yang obrol dan mendengarkan keluh kesahnya.

3
 Jangan mengungkit kejadian penyebab trauma.
 Memberikan pengertian dan motivasi bahwa musibah itu adalah
ujian untuk meningkatkan derajat seseorang.
 Mengajaknya bermain sesuatu yang disukai korban.
 Jika gejala trauma terus meningkat bawa ke psikiater.
b. Trauma sedang
 Jangan mengungkit kejadian penyebab trauma karena akan
mengingatkan kembali kejadian trauma.
 Gali informasi mengenai karakter korban, apa yang disukai atau
tidak disukai.
 Berikan motivasi, jadikan diri si korban menjadi penting dan
dibutuhkan orang sekitarnya.
 Ajak bermain dengan permainan yang mendidik.
c. Trauma berat

Penanganan trauma berat sebaiknya diserahkan kepada dokter atau


psikiater. Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai pada trauma berat:

 Kejiwaan yang sangat tidak stabil.


 Sering melakukan perbuatan tidak rasional.
 Mudah tersinggung.

Disamping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam


penanganan trauma, seperti:

 Menentukan prioritas usia dan tingkat triase yang lebih membutuhkan


pertolongan.
 Menentukan personil lapangan seperti penanggungjawab dan pelaksana.
 Membuat pendokumentasian.

2.2 Prioritas Penilaian Awal Trauma


Tim pengajar BTCLS dalam Modul Basic Trauma Cardiac Life
Support (2012) memaparkan bahwa penilaian awal trauma meliputi:

4
 Persiapan penderita  Survey sekunder (Head to
 Triase Toe & anamnesis)
 Survey primer (ABCDE)  Pemeriksaan penunjang untuk
 Resusitasi survey sekunder
 Pemeriksaan penunjang untuk  Pengawasan dan evaluasi
survey primer ulang
 Terapi definitif.
 Persiapan

Pada tahap persiapan dibagi menjadi 2 keadaan yaitu:

 Tahap pra-rumah sakit.

Dalam persiapan pra-rumah sakit petugas diarahkan untuk dapat


menstabilisaai, fiksasi, & transportasi dengan benar serta mampu berkoordinasi
dengan dokter maupun perawat di RS yang dituju.

 Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
 Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian.
 Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat
penderita.

 Tahap rumah sakit.

Dalam tahap ini, dimana dilakukan persiapan untuk menerima pasien sehingga
dapat dilakukan tindakan & sesusitasi dslam waktu yang cepat. Serta data2 dalam
tahap pra-rumah sakit juga dibutuhkan diantaranya waktu kejadian, mekanisme
kejadian, serta riwayat pasien.

 Perencanaan sebelum penderita tiba


 Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat
yang mudah dijangkau

5
 Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada
tempat yang mudah dijangkau
 Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila
sewaktu-waktu dibutuhkan.
 Pemakaian alat-alat proteksi diri
 TRIASE

Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan


sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :

 Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan
rumah sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi
trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

 Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah
sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal :

 Label hijau : Penderita tidak luka . Ditempatkan di ruang tunggu untuk


dipulangkan.
 Label kuning : Penderita hanya luka ringan. Ditempatkan di kamar bedah
minor UGD.
 Label merah : Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan di ruang
resusitasi UGD dan disiapkan dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD
apabila sewaktu-waktu akan dilakukan operasi
 Label biru : Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya.
Ditempatkan di ruang resusitasi UGD disiapkan untuk masuk intensive
care unit atau masuk kamar operasi.
 Label hitam : Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah.

6
2.3 Primary Survey
Primary survey adalah kegiatan mensurvey keadaan yang dapat mengancam
jiwa secara cepat pada pasien trauma. Survei yang biasa digunakan yaitu survei
ABCDE dan dilakukan dalam waktu 2-5 menit. (PTC : 2011).
A. Airway
Airway maintenance adalah mempertahankan jalan napas, hal ini dapat
dikerjakan dengan teknik manual ataupun menggunakan alat bantu (pipa
orofaring, pipa endotrakheal, dll). Tindakan ini mungkin akan banyak
memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas
tulang leher. (Bambang : 2008)
Dalam PTC (2011) dikatakan bahwa menilai jalan napas pada pasien
trauma yaitu dengan memperhatikan apakah pasien mampu berbicara dan
bernapas dengan bebas. Jika terjadi obstruksi, maka diberikan tindakan:
- Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
- Suction / hisap (jika alat tersedia)
- Guedel airway / nasopharyngeal airway
- Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Pengelolaan jalan napas dilakukan dengan cara :
a. Bicara kepada pasien
b. Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan
nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan
nafas buatan dan bantuan pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien
tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika
ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea
tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-
line.
c. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas (
selfinvlating)
d. Menilai jalan nafas
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
Suara berkumur

7
Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
Pasien gelisah karena hipoksia
Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
Sianosis
e. Menjaga stabilitas tulang leher
f. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan
Indikasi tindakan ini adalah :
- Obstruksi jalan nafas - Hipoksia
yang sukar diatasi - Trauma kepala berat
- Luka tembus leher - Trauma dada
dengan hematoma yang - Trauma wajah / maxillo-
membesar facial
- Apnea

B. Breathing
Breathing adalah menjaga pernapasan atau ventilasi dapat berlangsung
dengan baik. Setiap penderita trauma berat memerlikan tambahan oksigen
yang harus diberikan kepada penderita dengan cara efektif.(Bambang :
2008).
Breathing ini dilakukan untuk menilai apakah napas pasien cukup atau
memenuhi kebtuhannya. Jika tidak memadai, maka dapat dilakukan
Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks), Menutup jika ada luka robek
pada dinding dada, dan Pernafasan buatan. (PTC : 2011)
Prioritas utama dari tindakan ini yaitu ventilasi yang adekuat. Pengelolaan
ventilasi ini dilakukan dengan cara :
1. Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)
Inspeksi apakah terdapat Sianosis, Luka tembus dada, Flail chest,
Sucking wounds, atau Gerakan otot nafas tambahan pada pasien
trauma.
2. Palpasi / raba (FEEL)

8
Palpasi adanya Pergeseran letak trakhea, Patah tulang iga, Emfisema
kulit, serta Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau
pneumotoraks
3. Auskultasi / dengar (LISTEN)
Auskultasi Suara nafas, detak jantung, bising usus pasien. Adanya
penurunan Suara nafas (pneumotoraks), dan adanya Suara nafas
tambahan / abnormal.
4. Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari
udara dan darah dengan memasang drainage toraks segera tanpa
menunggu pemeriksaan sinar X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi
sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.

C. Circulation
Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan tindakan
untuk menghentikan perdarahan. Pengenalan dini tanda-tanda syok
perdarahan dan pemahaman tentang prinsip-prinsip pemberian cairan
sangat penting untuk dilakukan sehingga menghindari pasien dari
keterlambatan penanganan.(Bambang : 2008)
Prioritas dari tindakan circulation yaitu memperbaiki sirkulasi agar
memadai. Kita harus mampu mengidentifikasi tanda-tanda syok dengan
cepat. (PTC : 2011)
Syok dalam Joyce (2014) didefinisikan sebagai kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital. Syok
biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Syok hipovolemik
Terjadi karena ketidakadekuatan volume darah yang bersirkulasi
akibat hemoragi karena kehilangan darah aktual, luka bakar dengan
pergeseran cairan yang besar, dan dehidrasi. Yang perlu kita ingat
yaitu Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan
pleura, Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2

9
(dua) liter., dan Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat
melebihi 2 liter.
b. Syok kardiogenik
Tidak adekuatnya kerja pompa jantung dikarenakan adanya. Kontusioo
miokard, Tamponade jantung, Pneumotoraks tension, Luka tembus
jantung, atau Infark miokard. Penilaian tekanan vena jugularis sangat
penting jika terjadi syok kardiogenik dan sebaiknya ECG dapat
direkam.
c. Syok distributif (syok vasogenik)
Terjadi karena perubahan dalam tonus pembuluh darah yang
meningkatkan ukuran ruang vaskular tanpa peningkatan volume darah
yang bersirkulasi. Dibagi 3 jenis, yaitu syok anafilaktik, syok
neurogenik, dan syok septik.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis :

Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin,


melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi
urine.

Langkah-langkah dalam resusitasi sirkulasi yaitu prioritas utamanya


adalah resusitasi cairan dengan :

1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan
kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena
sectie.
2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena
hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang
golongan darah.
D. Disability
Adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya gangguan
neurologis (Bambang : 2008). Menilai kesadaran dengan cepat, apakah

10
pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar.
Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale, akan tetapi
menggunakan cara AVPU, yaitu :
AWAKE =A
RESPONS BICARA (verbal) =V
RESPONS NYERI =P
TAK ADA RESPONS =U
Resusitasinya yaitu dilakukan terapi yang cepat/ agresif apabila terjadi
hipovolemia, hipoksia dan hiperkarbia untuk menghindari cedera otak
sekunder.

E. Exposure
Exposure atau Environment adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh
penderita untuk melihat jelas jejas atau tanda-tanda kegawatan yang
mungkin tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi. Di
rumah sakit seluruh pakaian penderita harus dibuka untuk evaluasi
kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian
dibuka perhatikan injury/ jejas pada tubuh penderita dan harus dipasang
selimut agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut yang
hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah
dihangatkan. Apabila pada primary survey dicurigai adanya perdarahan
dari belakang tubuh lakukan long roll untuk mengetahui sumber
perdarahan(Bambang : 2008).

2.4 Sekunderi Survey


Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila sewaktu
survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali
mengulangi Primary Survey. Sekunder sekunder survei merupakan
pemeriksaan secara head to toe. (PTC : 2011) Tujuan survei sekunder adalah
untuk mendapatkan data historis yang berkaitan tentang pasien dan cedera,
serta untuk mengevaluasi dan mengobati luka yang tidak ditemukan selama
survei primer (CHEMM : 2017).

11
a) Anamnesis
Dalam Modul Basic Trauma Cardiac Life Support oleh Tim Pengajar
BTCLS (2012) Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan
gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh yang
dapat dilihat sebagai berikut:
- Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman
mengalami: cedera wajah, maksilofacial, servikal, thoraks, abdomen
dan tungkai bawah.
- Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intrakranial, fraktur
servikal atau vertebra lain, fraktur ekstrimitas.
- Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE. Riwayat AMPLE
didapatkan dari penderita, keluarga ataupun petugas pra- RS yaitu:
A : alergi
M : medikasi/ obat-obatan
P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi, DM
L : last meal ( terakhir makan jam berapa )
E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari cedera.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination)
dilakukan dengan perhatian utama sebagai berikut :
1. Pemeriksaan kepala
- Kelainan kulit kepala dan bola mata
- Telinga bagian luar dan membrana timpani
- Cedera jaringan lunak periorbital
2. Pemeriksaan leher
- Luka tembus leher
- Emfisema subkutan
- Deviasi trachea
- Vena leher yang mengembang
3. Pemeriksaan neurologis
- Penilaian fungsi otak dengan AVPU

12
- Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
- Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
4. Pemeriksaan dada
- Clavicula dan semua tulang iga
- Suara napas dan jantung
- Pemantauan ECG (bila tersedia)
*pasien trauma kepala harus dicurigai juga mengalami trauma tulang
leher sampai terbukti tidak demikian.
5. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
- Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
- Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen
kecuali bila ada trauma wajah
- Periksa dubur (rectal toucher)
- Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
6. Pelvis dan ekstremitas
- Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan
tes gerakan apapun karena memperberat perdarahan)
- Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
- Cari luka, memar dan cedera lain
7. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :
- Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
- Pelvis dan tulang panjang
- Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak
disertai defisit neurologis fokal.

13
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Tim trauma merupakan kumpulan beberapa/banyak orang yang melakukan


kegiatan bertujuan untuk menyembuhkan atau meringankan beban yang
menggoncangkan jiwa seseorang atau kelompok tertentu akibat bencana,
kecelakaan dan kejadian yang menimbulkan trauma. Penilaian awal trauma
meliputi ; Persiapan penderita, Triase, Survey primer (ABCDE), Resusitasi,
Pemeriksaan penunjang untuk survey primer, Survey sekunder (Head to Toe &
anamnesis), Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder, Pengawasan dan
evaluasi ulang, dan Terapi definitif.

Primary survey adalah kegiatan mensurvey keadaan yang dapat


mengancam jiwa secara cepat pada pasien trauma. Survei yang biasa digunakan
yaitu survei ABCDE dan dilakukan dalam waktu 2-5 menit. Sedangkan Sekunder
sekunder survei merupakan pemeriksaan secara head to toe. Tujuan survei
sekunder adalah untuk mendapatkan data historis yang berkaitan tentang pasien
dan cedera, serta untuk mengevaluasi dan mengobati luka yang tidak ditemukan
selama survei primer

14
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah :


Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Ed. 8. Singapore :
Elsevier.

Chemical Hazards Emergency Medical Management. 2017. Primary Survey


and Secondary Survey. Diakses di
https://chemm.nlm.nih.gov/appendix8.htm#top pada 30 Januari
2018.

Planas, Jason H. Muhammad Waseem. 2017. Trauma : Primary Survey.


Diakses di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430800/ pada
30 Januari 2018.

Primary Trauma Care. 2011. PTC INDO. [pdf].


http://www.primarytraumacare.org/wp-
content/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdf diakses 30 Januari 2018.

Suryono, Bambang dkk. 2008. Materi Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat


Darurat (PPGD) dan Basic life Support Plus (BSL). Yogyakarta: Tim
PUSBANKES 118 BAKER-PGDM PERSI DIJ.

Tim Pengajar BTCLS. 2012. Modul Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta:
AGD Dinkes DKI Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai