Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

ASMA PERSISTEN SEDANG

Diajukan kepada Yth :


dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :

SYLVIA

1810221033

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

ASMA PERSISTEN SEDANG

Pada tanggal, 18 Agustus 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Sylvia
1810221033

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


NIP. 19670316 200604 2 001
I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. R
Usia : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Karangklesem 04/07 P Selatan
Tanggal periksa : 15 Agustus 2018
No. CM : 00726812

B. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke polikinik paru RSMS dengan keluhan sesak
nafas. Keluhan dirasakan sejak lebih dari 1 bulan yang lalu dan semakin
berat semenjak 5 hari terakhir sebelum datang ke poliklinik paru
RSMS. Sesak yang dirasakan hampir setiap hari. Sesak diperparah jika
melakukan aktivitas fisik yang berat, sehingga sesak sedikit
mengganggu aktivitas sehari-hari, sesak juga dirasakan jika terkena
debu saat bersih-bersih rumah. Sesak nafas dirasakan paling sering saat
malam hari, dan berbunyi “ngik-ngik”, hampir setiap malam pasien
mengeluhkan susah tidur karena sesaknya. Pasien mengaku sesak
berkurang jika istirahat atau mengkonsumsi obat seretide. Ibu pasien
juga menderita hal yang sama. Pasien pernah berobat dan mempunyai
riwayat asma sejak tahun 2016. Saat ini pasien mengkonsumsi obat
seretide untuk mengatasi sesak napasnya.
Pasien mengeluhkan nyeri kepala, batuk berdahak berwarna putih
dan leher kaku. Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan karena
tidak nafsu makan. Tidak ada demam, namun terdapat mual dan tidak
sampai muntah, terkadang tenggorokan terasa asam, dan sering
bersendawa. BAB dan BAK lancar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui, 1,5 tahun yang lalu
b. Riwayat OAT : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : diakui, sejak tahun 2016
f. Riwayat alergi : diakui, alergi salbutamol
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa :
diakui, ibu pasien memiliki keluhan
yang sama
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : diakui
e. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Karangklesem bersama suami dan satu anaknya.
Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.
b. Home
Pasien tinggal di Karangklesem bersama suami dan satu anaknya.
Lantai rumah beralaskan keramik, dan ada beberapa buah jendela
serta ventilasi yang dibuka tiap pagi. Rumah pasien terdiri dari 2
kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga, satu dapur, dan
satu kamar mandi. Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu
dan sinar matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga sedangkan suaminya sudah
tidak bekerja. Pembiayaan rumah sakit ditanggung olah BPJS NON
PBI.
d. Drugs and diet
Pasien mengkonsumsi obat asma yaitu seretide, namun jarang
diminum saat kambuh. Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali
sehari, dengan nasi, sayur dan lauk pauk seadanya.
e. Personal habit
Pasien mengaku tidak pernah merokok, alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pasien juga jarang
berolahraga.
C. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 140/80 mmHg
2) Nadi : 81x/menit
3) RR : 23x/menit
4) Suhu : 37,6 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi
temporal (-)
- Rambut : warna hitam bercampur uban, tidak mudah
dicabut, distribusi merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal,isokor Ø 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge(-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea(-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : tidak nampak
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi :sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/
+) saat ekspirasi. Ronki basah kasar (-/-),
ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari
Medial LMCS
- Palpasi :ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS,tidak kuat angkat
- Perkusi :Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SICIV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 2 jari
medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi :cembung
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-),
pekak alih (-), nyeri ketok costovertebrae
(-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-),
edema (-/-), sianosis (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema
(-/-), sianosis (-/-)
2. Pemeriksaan penunjang
Berikut lampiran hasil Rontgen RSMS 13 Agustus 2018, Ny. R
berumur 53 tahun, asal Karangklesem

Tabel 1 Hasil Lab RSMS Tanggal 13 Agustus 2018


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 13.3 H g/dL 11.7-15.5
Leukosit 11310 U/L 3600-11000
Hematriki 39 35-47
Eritrosit 4.7 10^6/uL 3.8-5.2
Trombosit 463.000 H /uL 150.000-440.000
MCV 84.2 fL 80-100
MCH 28.4 Pg/cell 26-34
MCHC 33.8 32-36
RDW 12.5 11.5-14.5
MPV 8.8 L fL 9.4-12.3
Hitung Jenis
Basofil 0.4 0-1
Eosinofil 1.1 L 2-4
Batang 1.1 L 3-5
Segmen 60.9 50-70
Limfosit 32.5 25-40
Monosit 4.0 2-8
Hitung esosinofil 124.4 /uL 50-300
Kimia Klinik
SGOT 41 H U/L 15-37
SGPT 46 U/L 14-59
Asam Urat 6.2 H mg/dL 2.6-6.0
Gluosa Sewaktu 116 mg/dL <=200
Berikut lampiran hasil Rontgen RSMS 13 Agustus 2018, Ny. R
berumur 53 tahun, asal Karangklesem.

Gambar 1 Hasil Rontgen RSMS 13 Agustus 2018


Kesan :
Cor tidak membesar
Gambaran bronchopneumonia

D. DIAGNOSIS
1. CAP
2. Asma persisten sedang
3. Alergi salbutamol
4. GERD
E. TERAPI
1. Infus amino1 amp/8 jam
2. Methylprednisolon INJ 2x62.5 mg
3. MP tab 2x4 mg
4. Inj ceftriaxon 2x1 gr
5. Sefixim 2x100 mg
6. Inj rantin 2x1 amp
7. Tabas syr 3x1 dL
8. Acetylsistein caps 3x1
9. Seretide 2x250
10. Nebuliser combivent kp
F. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

II. PEMBAHASAN

A. Definisi
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat
menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau
tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009).
B. Epidemiologi
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2011, 235 juta orang di
seluruh dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8% di negara-
negara berkembang yang sebenarnya dapat dicegah. National Center for Health
Statistics (NCHS) pada tahun 2011, mengatakan bahwa prevalensi asma menurut
usia sebesar 9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut jenis
kelamin 7,2% lakilaki dan 9,7% perempuan. Di Indonesia, berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 mendapatkan hasil prevalensi
nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5 %. Dengan prevalensi
asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur
(7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%) dan untuk provinsi
Jawa Tengah memiliki prevalensi asma sebesar 4,3 % (RISKESDAS, 2015).
C. Faktor Risiko
Etiologi dari asma sampai saat ini masih belum jelas tetapi terdapat berbagai
faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya asma. Adapun faktor
resiko terjadinya serangan asma adalah interaksi antara faktor pejamu (host) dan
lingkungan (environmental), yaitu (GINA, 2008):
1. Faktor Host
a. Predisposisi genetik
b. Atopik
c. Hiperresponsif saluran napas
d. Jenis kelamin
e. Ras/Etnik

2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam ruangan. Contoh: alergen binatang (kutu), jamur
b. Alergen luar ruangan. Contoh: asap rokok, cuaca, asap kendaraan,
sari bunga, lingkungan sekitar, dan lain-lain.

Gambar 1. Mekanisme Dasar Kelainan Asma (PDPI,2003)


D. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin (PDPI, 2003).
1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi
akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus
diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel
mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi
tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi (PDPI, 2003).
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen
dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+,
neutrofil dan makrofag (PDPI, 2003).
2. Inflamasi kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel
tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel,
fibroblast dan otot polos bronkus.
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+
subtipe Th2. Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi
saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL- 3, IL-
4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam
menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13
menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE.IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil (PDPI, 2003).
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE,
PGE2 pada penderita asma.Sel epitel dapat mengekspresi
membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide
synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian
mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan
tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule
protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic
enzym dan metaloprotease sel epitel (PDPI, 2003).
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk
asma tetapi tidak spesifik.Eosinofil yang ditemukan pada saluran
napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil
berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara
lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid
antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan
hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah
eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin
(EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas (PDPI, 2003).
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang
tinggi.Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast
mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease
serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan
leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-
alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF (PDPI, 2003).

Gambar 2.Inflamasi dan remodelling pada asma (PDPI, 2003).


Gambar 3.Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses
remodelling (PDPI, 2003).

Gambar 4.Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan


airway remodelling dengan gejala klinis (PDPI, 2003).
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ
pernapasan, baik pada orang normal maupun penderita asma,
didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag
dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF
serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi,
makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk
fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β (PDPI, 2003).
3. Air Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan
pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang
rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang
menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal
dengan airway remodeling (PDPI, 2003).
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat
dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami
sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada
asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses
remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular,
membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor,
protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus
(PDPI, 2003)
Perubahan struktur yang terjadi (PDPI, 2003):
a. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
b. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
c. Penebalan membran reticular basal
d. Pembuluh darah meningkat
e. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
f. Perubahan struktur parenkim
g. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar 5.Perubahan struktur pada airway remodelling dan konsekuensi


klinis (PDPI, 2003).

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan


fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang
terus menerus (longstanding inflammation). Konsekuensi klinis airway
remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan
obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling
bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan
dari proses tersebut (PDPI, 2003).
E. Tanda dan Gejala
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada.Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam
atau dini hari (PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan alergen
penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti tercekik dan
harus berdiri atau duduk danaa berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat
untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan
trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi namun sulit untuk
memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena mengalami
edema dan terisi mukus.Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas
asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar.Biasanya juga diikuti
batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price &
Wilson, 2006).
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran faal paru
terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik (PDPI, 2003)
1. Riwayat penyakit / gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan
berdahak
c. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respons terhadap pemberian bronkodilator
2. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
a. Riwayat keluarga (atopi)
b. Riwayat alergi / atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan
3. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan Fisik
dapat normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering
ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita,
auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif
(faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi.Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar
(silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (PDPI, 2003).
4. Pemeriksaan Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan
persepsi mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat
dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan
objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter
dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma (PDPI,
2003).
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
a. Obstruksi jalan nafas
b. Reversibilitas kelainan faal paru
c. Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung
hiperesponsif jalan napas.
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
5. Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
a. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitivititas yang tinggi tetapi
spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik (PDPI, 2004).
b. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji
tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma,
tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus
sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan. (PDPI, 2003).
G. Klasifikasi Asma
Klasifikasi Asma menurut PDPI (2004) adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Klasifikasi Asma (PDPI, 2004)

Sumber: PDPI 2004


Sedangkan Klasifikasi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2016)
adalah
Tabel 3 Klasifikasi Asma (GINA, 2016)

Sumber: Global Initiative for Asthma (GINA) (2016)


Sedangkan Klasifikasi asma dalam pengobatan menurut PDPI (2013)
adalah sebagai berikut, dengan ketentuan apabila pengobatan yang sedang
dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik
satu tingkat (kecuali asma intermitten & persisten berat).
Tabel 4 Klasifikasi asma dalam pengobatan menurut PDPI (2013)

Sumber : Klasifikasi asma dalam pengobatan menurut PDPI (2013)


Pada saat eksaserbasi, asma diklasifikasikan berdasarkan tingkat
keparahan eksaserbasi untuk menentukan terapi. Berikut ini klasifikasi eksaserbasi
asma menurut GINA (2016 ):
Tabel 5 Klasifikasi Eksaserbasi Asma Menurut GINA (2016 )

Sumber Klasifikasi Eksaserbasi Asma GINA 2016

H. Pencapaian ASMA Terkontrol


Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian
obat-obatan yang benar (Baratawidjaja, 2003). Obat-obatan dapat membantu
penderita asma untuk melakukan aktivitas secara normal. Tujuan pengobatan pada
penderita asma adalah untuk mengontrol gejala asma (PDPI, 2004).
Kontrol Gejala Level Kontrol Gejala Asma

Dalam 4 minggu terakhir, apakah pasien memiliki : Terkontrol Terkontrol Tidak


penuh sebagian terkontrol

1. Gejala asma harian lebih dari dua kali Tabel 6 Kriteria ASMA Terkontrol
dalam 1 minggu
2. Terbangun di malam hari karena asma Tidak
terdapat Terdapat Terdapat
3. Penggunaan obat pelega untuk mengatasi satupun 1- 2 3- 4
gejala lebih dari dua kali dalam 1 minggu kriteria kriteria kriteria

4. Pembatasan aktivitas karena asma

Sumber: GINA, 2018


Dengan mencapai kontrol asma yang baik, diharapkan dapat mencegah
terjadinya eksaserbasi, menormalkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial
yang baik, meningkatkan kualitas hidup dan akhirnya mencegah kematian karena
asma (Sundaru, 2009).

I. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol
sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Program penatalaksanaan asma sendiri meliputi 7 komponen,
yaitu :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Sedangkan, pada prinsipnya pentalaksanaan asma dibagi menjadi 2, yaitu
penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan asma akut/ saat
serangan (Depkes, 2014) :
1. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma).Obat
pelega diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus (Depkes, 2014).
2. Tatalaksana serangan asma akut
a. Mengatasi gejala serangan asma.
b. Mengembailkan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan.
d. Mencegah kematian karena serangan asma.
Untuk medikamentosa bagi asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat
pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan
untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid
inhalasi). Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
1. Inhalasi kortikosteroid
2. β2 agonis kerja panjang
3. antileukotrien
4. teofilin lepas lambat
Tabel 7 Jenis Obat Asma

 IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan


bersama dengan spacer
 Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
 Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet
 Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv
Tabel 8 Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan
Dan Tempat Pengobatan
Penanganan Pertama Asma Exaserbasi menurut GINA (2018) sebagai berikut:

Bagan 1 Penatalaksanaan Pertama ASMA Exaserbasi, GINA 2018


Penatalaksaan Asma bukan hanya di rumah sakit atau pelayanan
kesehatan, melainkan bagi penderita Asma perlunya penanganan Asma di rumah,
sebagai berikut:

Bagan 2 Penatalaksaan ASMA di Rumah


Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016

Bagan 3 Penatalaksaan ASMA di Rumah Sakit


III. KESIMPULAN

1. Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang


menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat
terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan.
2. Pasien kasus kali ini didiagnosis dengan Asma persisten sedang karena
frekuensi serangan lebih dari 1 kali/bulan, lama serangan lebih dari 1 minggu,
tidur dan aktivitas sering terganggu. Pasien alergi obat salbutamol
3. Pasien juga didiagnosa CAP, berdasarkan foto rontgen dan GERD karena rasa
mual, asam lambung yang meningkat, serta terasa asam di mulut
4. Penatalaksanaan asma bronkial mencakup penatalaksanaan non
medikamentosa dan medikamentos berupa edukasi, identifikasi dan
mengendalikan faktor pencetus asma, menilai dan memonitor berat asma
secara berkala, merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang,
menetapkan pengobatan pada serangan akut, kontrol teratur dan pola hidup
sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Global Initative for Asthma. 2016. Global stategy for asthma management
and prevention. Available from: www.ginasthma.org

Global Initiative for Asthma. 2017. Pocket Guide for Asthma Management
and Prevention (for Adults and Children Older than 5 years.
Available from: www.ginasthma.org

Global Initative for Asthma. 2018. Global stategy for asthma management
and prevention. Available from: www.ginasthma.org

Tanto, C., 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004. Pedoman Diagnosis &


Penatalaksanaan Asma di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2016. Pneumonia Komunitas, pedoman


diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004. Asma Pedoman dan penatalaksanaan


di IndonesiaJakarta: PDPI

Price, A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai