mematoki wilayah perbatasan Afghanistan sebagaimana yang eksis sampai sekarang ini.
Selama Afghanistan dibawah Amir Abdur Rahman Inggris mengontrol penuh politik luar
negeri Afghanistan.
Ketika pecah Perang Dunia I, pihak Jerman telah membangkitkan semangat anti Inggris dari
pihak para gerilyawan Afghanistan yang ada disepanjang perbatasan India. Disamping itu
kebijaksanaan politik Habibullah, putra Amir Abdur Rahman, yang menyatakan Afghanistan
netral tidak begitu populer diantara rakyat Afghanistan.
Ketika Habibullah dibunuh pada tahun 1919 oleh anggota keluarga yang menentang
pengaruh Inggris, digantikan oleh Amanullah putra ketiga Abdur Rahman. Dimana
Amanullah inilah yang tampil memimpin perang Afghanistan-Inggris ke tiga. Setelah perang
tahun 1919 inilah Afghanistan mendapat lagi kekuasaan untuk menguasai politik luar
negerinya dengan menandatangani Perjanjian Rawalpindi pada tanggal 19 Agustus 1919.
Pada tanggal 19 Agustus 1919 inilah Afghanistan menyatakan hari kemerdekaan dari Inggris.
Raja Amanullah Khan yang berkuasa dari 1919 – 1929 telah berhasil mengalahkan Ingris dan
mendapat kemerdekaan politik luar negeri Afghanistan dari Inggris, telah melakukan
diplomasi untuk menjalin hubungan internasional dengan negara-negara lain. Ketika Raja
Amanullah Khan melakukan kunjungan ke negara-negara Eropa dan Turki ternyata situasi
dan politik Eropa dan Turki telah mempengaruhi banyak pemikiran Raja Amanullah Khan ini
(pemikiran sekuler mempengaruhi kebijakan politik Raja). Tetapi kebijaksanaan politik yang
radikal ini ternyata mendapat tantangan dari kaum ulama, para pimpinan muslim, dan
pasukan angkatan bersenjata, sehingga Raja Amanullah Khan dipaksa turun tahta pada bulan
Januari 1929.
Setelah Raja Amanullah Khan dijatuhkan, muncullah sepupu Amanullah Khan, Nadir Khan
dari suku Pashtun pada bulan Oktober 1929 dideklarasikan sebagai Raja Afghanistan.
Dimana Raja Nadir Khan ini mengembalikan kembali kebijaksanaan politik sekular yang
telah dijalankan oleh Raja Amanullah Khan. Tetapi 4 tahun kemudian pada tahun 1933 Raja
Nadir Khan dibunuh oleh seorang pelajar dari Kabul.
Muhammad Zahir Shah naik tahta dan berkuasa dari tahun 1933 sampai 1973. Keponakan
Zahir, Mohammad Daud Khan, menjadi Perdana Menteri Afganistan dari tahun 1953. Pada
tahun 1956, pemerintah Afghanistan memulai suatu program untuk memperbaiki keadaan
ekonomi dan sosial, sarana transportasi dan perawatan kesehatan diperbaiki dan berbagai
sekolah dibangun. Bendungan, tandor air, dan terusan dibangun untuk menyediakan air bagi
irigasi dan hidro elektrik pada tahun 1964, sebuah undang-undang yang diajukan oleh raja
mohammad sahir syah disetujui hingga afghanistan menjadi suatu negara kerajaan
konstitusional.
Perdana Menteri Daud merebut kekuasaan pada kudeta hampir tak berdarah pada tanggal 17
Juli 1973, karena korupsi dan kondisi ekonomi yang miskin. Daud mengakhiri monarki,
namun ambisinya dalam reformasi ekonomi dan sosial tidak berhasil. Hal ini membuat Partai
Demokrasi Rakyat Afganistan memanas karena represi yang dilakukan terhadap mereka oleh
rezim Daoud. Selain itu, kematian atas anggota Partai Demokrasi Rakyat Afganistan, Mir
Akbar Khyber juga membuat partai itu memanas. Kematian misterius Khyber membuat
munculnya banyak demonstrasi anti Daoud di Kabul dan mengakibatkan penangkapan atas
beberapa pemimpin penting Partai Demokrasi Rakyat Afganistan.
Akibat dari hal tersebut, pada tanggal 27 April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan
menggulingkan dan mengeksekusi Daoud dan anggota keluarganya. Nur Muhammad Taraki,
Sekjen Partai Demokrasi Rakyat Afganistan, diangkat menjadi Presiden Dewan Revolusi, dan
Perdana Menteri negara yang baru, Republik Demokratis Afganistan.
Komunis makin lama makin berpengaruh di Afganistan. Sejak saat itu banyak pemimpin
islam yang terbunuh dan rakyat banyak yang mengungsi ke Pakistan, Nur Muhammad Taraki
mendapat dukungan sepenuhnya dari Uni Soviet.[7][7]
Setelah Nur Muhammad Taraki memegang Jabatan Presiden dan merangkap Perdana Menteri
Republik Demokrasi Afghanistan, dengan partai komunis demokrasi rakyat Afghanistan telah
melakukan perobahan besar-besaran, dimana mendeklarasikan membebaskan riba, melarang
kawin paksa, memberikan kebebasan bagi anak-anak perempuan untuk masuk sekolah
umum, mengakui hak perempuan ikut pemilihan, menggantikan dasar dan sumber hukum
Islam dengan dasar hukum sekular, melarang pelaksanaan hukum adat dan melarang
reformasi hak tanah milik pribadi.
Pemerintah Republik Demokrasi Afghanistan mengundang Pemerintah Uni Soviet untuk
membantu memoderenisasikan infra struktur ekonomi seperti menyangkut masalah eksplorasi
dan penyulingan mineral dan gas alam. Pemerintah Uni Soviet mengirimkan kontraktor-
kontraktor untuk membangun jalan, rumah sakit, sekolah, penyaluran air, dan melatih serta
memperlengkapi perlengkapan.
Modernisasi dan sekularisasi yang dijalankan oleh Pemerintah Republik Demokrasi
Afghanistan dibawah Presiden Nur Muhammad Taraki ternyata membawa akibat negatif,
dimana pihak ulama dan kaum muslimin Afghanistan sangat menentang terhadap
kebijaksanaan sekularisasi yang dijalankan oleh Pemerintah yang berhaluan kepada komunis
Uni Soviet ini. Perlawanan yang digerakkan oleh kaum ulama dan mujahidin ini untuk
melawan Pemerintah Nur Muhammad Taraki dan pihak pendukungnya Pemerintah Uni
Soviet dengan komunisnya, terus makin gencar dijalankan.[8][8]
Untuk membendung perlawanan pasukan anti-komunis dan “menguasai” Afganistan
seutuhnya, Uni Soviet mengirimkan pasukan bersenjatanya ke Afganistan. Dalam
perkembangan selanjutnya, kemelut politik yang terjadi menyebabkan terbunuhnya Perdana
Menteri Hafizullah Amin dan keluarganya, yang kemudian berakibat pada munculnya
intervensi Uni Soviet dengan menaikkan Babrak Kamal pada tampuk kekuasaan.[9][9]
Invasi pasukan militer Uni Soviet ke Afganistan menimbulkan pergolakan militer
berkepanjangan. Rakyat Afganistan yang dimotori oleh semangat “jihad” disatukan dibawah
kesatuan pasukan Mujahidin. Pasukan Mujahidin mampu memberikan perlawanan terhadap
pasukan Uni Soviet.
Perjuangan pasukan Mujahidin melawan pasukan militer Uni Soviet tak berhenti sampai
pasukan Uni Soviet meninggalkan Afganistan. Konflik militer bersenjata antara pasukan Uni
Soviet dan pasukan Mujahidin ternyata menimbulkan masalah kemanusiaan lain, yaitu
pengungsian penduduk sipil.
Sebagian besar pengungsi pergi menuju ke selatan, yaitu ke negara Pakistan dan ada juga
yang ke Iran, mereka menuju ke negara tersebut disebabkan oleh persamaan agama.
Pengungsian Afganistan dimulai sejak terbentuknya pemerintahan komunis di Afganistan di
bawah pimpinan Nor Moh. Taraki, bulan April 1978. Arus pengungsi terus bertambah
dengan meningkatnya pertempuran antara Mujahidin dengan pasukan Uni Soviet.
Akhir Januari 1980 tercatat tidak kurang dari 500.000 pengungsi Afganistan di Pakistan,
sepanjang tahun, arus pengungsi bertambah terus seiring dengan semakin mengganasnya
pasukan Uni Soviet yang menghancurkan desa-desa Islam.[10][10]
Salah satu “harta dan sumbangan terbesar” Afganistan bagi dunia pada umumnya, serta bagi
umat dan negara Islam khususnya adalah dengan melahirkannya salah satu pemikir terhebat
di dunia, yang pengaruhnya mampu menciptakan pembaharuan serta mampu membangkitkan
dan menghimpun semangat anti-kolonialisme pada umat dan negara-negara islam di dunia.
Jamaluddin al-Afghani adalah tokoh yang terkemuka, yang menjadi sentral umat Islam pada
abad ke XIX. Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di Asad Abad dekat dengan suatu distrik di
Kabul Afghanistan pada tahun 1839 M. Ketika berusia 22 tahun, ia telah menjadi pembantu
bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat
Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian diangkat oleh Muhammad Azam Khan menjadi
perdana menteri. Inggris telah mulai mencampuri soal politik negeri Afghanistan dan dalam
pergolakan yang terjadi, Afghanistan memihak pihak yang melawan golongan yang disokong
Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afghani meninggalkan tanah tempat kelahirannya dan
pergi ke India tahun 1869.
Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak, karena negara ini telah jatuh di bawah
kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir pada tahun 1871. Selama di Mesir al-
Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain :
1. Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang salib.
2. Umat Islam harus menentang penjajahan di mana dan kapan saja.
3. Untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).
Pan Islamisme ini bukan berarti leburnya kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus
mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerjasama. Persatuan dan kerjasama merupakan
sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila berada dalam
kesatuan pandangan dan kembali pada ajaran Islam yang murni yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Yang menjadi sasaran utama semua aspek gerakan Jamaluddin al-Afghani ialah
membebaskan negara Islam dari penjajahan dan untuk menuju itu umat Islam harus
membebaskan diri dari pola-pola pikiran yang beku. Untuk mencairkan ini menurut
Jamaluddin al-Afghani, orang-orang Islam harus mempunyai kepandaian teknis dalam rangka
kemajuan barat, wajib belajar secara rahasia kelemahan orang Eropa.
Ajaran Jamaluddin al-Afghani berpengaruh besar sekali terutama di Mesir, baik pada
generasi muda (pelajar) dan sebagian ulama Azhar misalnya M. Abdul Karim Salman, Syeikh
Ibrahim Allaqani, Syeikh Saad Zaqlul, pengaruh dari tokoh pembaharuan dalam Islam ini kita
melihat dari Turki ketika Inggris menduduki Mesir tahun 1882, Jamaluddin al-Afghani serta
merta di usir. Kemudian melanjutkan ke Konstatinopel, dan ia mendapat perlindungan dari
Abdul Hamid, lalu membentangkan politik Pan Islamisme.[13][13]
Al-Afghani menjelaskan kesatuan Islam semua umat Islam (Al-Wahdat Al-Islamiyah) yang
jangka Barat Pan-Islamisme, sebagai sarana ampuh untuk melawan imperialisme Barat. Dia
bersikeras potensi umat untuk membangun peradaban besar lagi dengan mengikuti penegasan
Al-Qur’an, innamal mu’minuna ikhwa (semua Muslim adalah saudara), dan dengan
melupakan perselisihan internal mereka, politik atau agama, dan bersatu untuk memerangi
penetrasi oleh kekuatan Eropa, khususnya Inggris yang membawa pengaruh kolonialisme
yang dapat menyengsarakan umat islam dan negara islam.[14][14]