Anda di halaman 1dari 68

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laparoskopi merupakan suatu prosedur operatif dengan cara pendekatan


minimal invasif sarat dengan teknologi tinggi. Rancang bangun dan rekayasa terus
dilakukan pada perlengkapan dan peralatan bedah laparoskopi untuk kemudahan
melakukan prosedur maupun kenyamanan dan keamanan pasien. Di Indonesia,
laparoskopi ginekologi mengalami kemajuan signifikan dalam 30 tahun terakhir,
dari hanya peran diagnostik ke prosedur operatif. Operasi laparoskopi
konvensional untuk tujuan diagnostik dan sterilisasi tuba dimulai sejak tahun 1975
di Indonesia dengan bantuan Johns Hopkins Program for International Education
in Gynecology and Obstetrics. Saat ini, para ahli endoskopi ginekologi di
Indonesia sudah banyak melakukan tindakan prosedur operatif seperti
pengangkatan kehamilan ektopik, penanganan endometriosis dan pengangkatan
mioma uteri. Tindakan tersebut terbukti baik dalam hal biaya dan keamanan.
Untuk prosedur lain seperti histerektomi radikal dan penentuan stadium kanker
ginekologi, kegunaannya cukup menjanjikan namun peranannya masih perlu
dikembangkan.1

Di Jerman, sejak tahun 1960 sampai dengan 1977, dengan teknik yang lebih
disempurnakan, dilaporkan bahwa penurunan morbiditas dan mortalitas yang
bermakna pada operasi laparoskopi. Pada tahun 1960 tercatat 834 prosedur
laparoskopi dengan tingkat mortalitas 10% dan kemudian diantara tahun 1975-
1977 dengan 104.578 prosedur laparoskopi tercatat tingkat mortalitas turun
menjadi 0,009%. Penurunan angka mortalitas bermakna ini disebabkan oleh
teknik operasi dan peralatan yang lebih sempurna.2

Hingga saat ini, tindakan laparoskopi terus dikembangkan dan diperkenalkan


kepada masyarakat dan pasien yang berindikasi karena prosedur laparoskopi ini
minimal invasive sehingga risiko komplikasi yang terjadi pun kecil sehingga dapat
menjadi pilihan untuk penatalaksanaan kasus. Hal ini tercatat di RS H.Adam
2

Malik Medan, Sumatera Utara periode 2010-2013 6.7% kasus tumor ovarium
mendapat penatalaksanaan laparoskopi.3

Dari survey data awal yang dilakukan di RSUD Raden Mattaher Jambi pada
tahun 2015 hingga april 2017 tercatat 100 pasien yang dilakukan tindakan
laparoskopi dimana terdapat 32 tindakan pada sepanjang tahun 2015, 23 tindakan
pada tahun 2016 dan peningkatan drastis tindakan laparoskopi terdapat pada tahun
2017, yaitu terdapat 45 pasien yang dilakukan tindakan laparoskopi dari bulan
Januari hingga April 2017.4

Berdasarkan hasil survey dan latar belakang tersebut, dimana terdapat


peningkatan pasien yang dilakukan tindakan laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi pada tahun 2016 hingga 2017, peneliti merasa tertarik untuk
mengetahui bagaimana gambaran pasien yang dilakukan bedah laparoskopi
melalui penelitian ini. Penelitian ini belum pernah dilakukan di bagian Obstetri
dan Ginekologi FKIK UNJA. Kedua hal ini menjadi alasan utama peneliti untuk
melakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam


penelitian ini adalah Bagaimana Gambaran Pasien dengan Tindakan Laparoskopi
di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden Mattaher Jambi Periode Juni
2015 – Juni 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pasien dengan
tindakan laparoskopi di RSUD Raden Mattaher Jambi Periode Juni 2015 – Juni
2017.
3

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran sebaran indikasi laparoskopi di RSUD


Raden Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017.
2. Untuk mengetahui gambaran sebaran berdasarkan jenis tindakan
laparoskopi di RSUD Raden Mattaher Jambi Juni 2015 – Juni 2017.
3. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017 berdasarkan usia.
4. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017 berdasarkan status paritas.
5. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017 berdasarkan IMT.
6. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017 berdasarkan keluhan
utama.
7. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017 berdasarkan pembiayaan.
8. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017 berdasarkan status
pekerjaan.
9. Untuk mengetahui gambaran pasien laparoskopi di RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juli 2015 – Juni 2017 berdasarkan kadar
hemoglobin.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Instansi Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data epidemiologi kasus-kasus dengan


penatalaksanaan laparosokopi di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden
Mattaher Jambi periode Juni 2015 – Juni 2017, serta dapat menjadi tambahan
informasi dan masukan sebagai evaluasi bagi RSUD Raden Mattaher Jambi agar
pihak rumah sakit terutama di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden
4

Mattaher Jambi dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dengan mengetahui
gambaran pasien dengan tindakan laparoskopi kedepannya.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat mengenai


indikasi tindakan laparoskopi serta sebagai pilihan pertimbangan untuk
melakukan penatalaksanaan dikemudian hari.

1.4.3 Bagi Peneliti Lainnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi


peneliti lain, serta dapat dijadikan sebagai dasar atau bahan untuk penelitian
selanjutnya.

1.4.4 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan diri dan


penerapan pengetahuan yang diperoleh penulis tentang metodologi penelitian,
serta dapat menjadi tambahan pengetahuan mengenai tindakan minimal invasif
laparoskopi.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Laparoskopi

2.1.1 Definisi Laparoskopi

Istilah laparoskopi digunakan sebagai cara untuk melihat rongga abdomen


dengan bantuan laparoskop melalui dinding abdomen depan, yang sebelumnya
telah dilakukan pneumoperitoneum. Penggunaan laparoskopi untuk penanganan
massa di pelvik meningkat satu dekade terakhir ini. Di Jerman, sejak tahun 1960
sampai dengan 1977 dengan teknik yang lebih disempurnakan, melaporkan
penurunan morbiditas dan mortalitas yang bermakna pada operasi laparoskopi.4

Gambar 2.1 Teknik Laparoskopi

Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan melakukan teknik operasi


laparoskopi antara lain:

1. Luka dinding abdomen atau forniks anterior kecil, sehingga tidak


menimbulkan gangguan fungsi abdomen, khususnya fungsi usus.
6

2. Segera setelah operasi, pasien dapat bangun dengan kesadaran baik


sehingga memperpendek hospitalisasi.
3. Perlukaan yang kecil sangat menguntungkan nilai kosmetik. Pada kulit
tanpa sikatrik, luka kecil tidak akan terlalu tampak.
4. Komplikasi pada tindakan laparoskopi relative rendah dan ringan.

Sedangkan kekurangan melakukan teknik operasi laparoskopi antara lain:

1. Harga alat yang mahal sehingga biaya operasional relatif tinggi


2. Memerlukan keterampilan dan latihan khusus untuk dapat menggunakan
peralatan laparoskopi.
3. Komplikasi laparoskopi masih mungkin terjadi pada setiap tahap tindakan
sampai tingkat akhir saat operasi terapi dilakukan.6
2.1.2 Jenis Tindakan Laparoskopi
Di Departemen Obstetri dan Ginekologi, Universitas Kiel, Jerman operasi
bedah laparoskopi ginekologi, seperti enukleasi kista ovarium, miomektomi,
penatalaksanaan kehamilan ektopik, adhesiolysis dan histeroskopi, secara
rutin dilakukan. Operasi laparoskopi pada kehamilan ektopik pertama sekali
dilaporkan oleh Bruhart dkk. Secara tradisional, penatalaksanaan bedah pada
kehamilan ektopik dilakukan dengan laparotomi, namun pada saat ini
laparoskopi mendapatkan popularitas yang signifikan dalam diagnosis dan
pengelolaan kehamilan ektopik. Peran laparoskopi dalam pengelolaan bedah
kehamilan ektopik juga diakui dan telah menambahkan pendekatan baru
dalam modalitas diagnostik dan terapeutik. Di negara Denmark, sekitar 94%
Kehamilan Ektopik dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan
laparoskopi. Laparoskopi salfingektomi adalah tindakan yang paling sering
dilakukan.
Laparoskopi diagnostik merupakan instrument penting untuk
mengevaluasi pasien dengan nyeri pelvis atau kronis. Kehamilan ektopik,
penyakit radang panggul, endometriosis, torsi adneksa, dan kelainan pelvis
lain dapat segera didiagnosis dengan laparoskopi. Keuntungan laparoskopi
diagnostik adalah mengurangi secara signifikan komplikasi akibat
keterlambatan diagnosis. Laparoskopi juga digunakan untuk mengevaluasi
faktor tuba dan peritoneum pada kasus infertilitas. Peraturan pada
7

laparoskopi diagnostik pada infertilitas berdasarkan dua hal utama. Yang


pertama, apakah perlu dilakukan laparoskopi diagnostik sebagai pilihan
terapi pengobatan dan apakah meningkatkan tingkat kejadian kehamilan.
Yang kedua, apakah laparoskopi di indikasikan setelah induksi ovulasi yang
berkali-kali gagal atau apakah perlu dilakukan teknik reproduksi buatan
untuk meningkatkan kejadian kehamilan.
Laparoskopi diagnostik pada lesi tuba dapat dilakukan dengan
laparoskopi sebagai terapeutik. Johnson, dkk, melakukan dua penelitian
sistemik Cochrane merekomendasikan laparoskopi salfingektomi sebelum
dilakukan tindakan IVF (In Vitro Fertilization), baik unilateral ataupun
bilateral, tergantung dari organ yang terlibat proses, dimana setelah itu
probabilitas untuk terjadinya kehamilan intra uterine meningkat sampai 95%.
Wanita infertil dengan PCOS mempunyai kesulitan dalam ovulasi.
Ovulasi dapat diinduksi secara pembedahan dengan prosedur yang disebut
ovarian drilling atau ovarian diathermy. Prosedur ini berguna untuk wanita
dengan PCOS yang resisten terhadap pengobatan dengan klomifen sitrat.
Ovarian drilling dilakukan secara laparoskopi melalui lubang insisi kecil,
kemudian beberapa insisi kecil dilakukan pada ovarium dengan
menggunakan panas atau laser. Proses ini akan membantu kelainan hormon
dan memacu terjadinya ovulasi. Selama lebih dari 20 tahun yang lalu
tindakan laparoskopi untuk koagulasi kortek ovarium pada pasien-pasien
PCOS yang resisten clomifen akan terjadi peningkatan ovulasi sekitar 92%
dan terjadi peningkatan kesempatan untuk terjadinya kehamilan sekitar
69%.46 Salpingostomi dapat dilakukan pada pengobatan kehamilan ektopik
dan infeksi pada tuba fallopi. Salpingostomi biasanya dilakukan untuk
membentuk sebuah lubang baru pada tuba. Prosedur ini dapat dilakukan
secara laparotomy ataupun laparoskopi.
Sebuah grup peneliti di Jerman meneliti wanita-wanita yang telah
menjalani laparoskopi miomektomi pada kasus-kasus infertilitas, didapati
peningkatan untuk terjadinya kehamilan setelah miomektomi sekitar 46%,
tanpa ada kejadian rupture uteri yang terjadi ketika persalinan. Mereka
menyimpulkan bahwa laparoskopi dapat dikatakan mempunyai komplikasi
8

pasca operasi yang lebih sedikit dan laparoskopi merupakan terapi pilihan
pada pasien-pasien infertil dengan mioma uteri. Miomektomi laparoskopi
merupakan teknik operasi pada operasi reproduksi yang dapat diterima
diseluruh dunia.

Adhesi tuba fallopi diimplikasikan sebagai penyebab infertilitas.


Munculnya kembali adhesi setelah laparoskopi adhesiolisis dapat terjadi
sekitar 12% sementara pada laparotomi dapat terjadi kembali sekitar 50%.
Penelitian acak pertama oleh kelompok Canadian Collaboration
membandingkan kejadian infertilitas dengan endometriosis. Pada grup
pertama, laparoskopi reseksi atau ablasi dilakukan pada kasus minimal atau
mild endometriosis, sementara pada grup kedua hanya dilakukan laparoskopi
diagnostik. Pada grup pertama mempunyai kenaikan peningkatan terjadinya
kehamilan sekitar 31% sementara pada grup kedua hanya 18%. The
European Society for Human Reproduction and Endocrinology (ESHRE),
merekomendasikan tindakan laparoskopi sebagai protokol pada tindakan
bedah pada kasus wanita infertil dengan minimal atau mild endometriosis.

Di Amerika Serikat, tuba sterilisasi secara laparoskopi biasanya


dilakukan dengan koagulasi bipolar. Metode lainnya pada sterilisasi tuba
secara laparoskopi adalah koagulasi unipolar, parsial salfingektomi, dan
teknik mekanik dengan menggunakan spring clips atau silastic rings. Jika
dilakukan secara benar, teknik bipolar koagulasi lah yang memilki efektifitas
paling tinggi dan dengan angka kegagalan angka jangka panjang yang
rendah.

2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Laparoskopi


2.1.3.1 Indikasi Laparoskopi
2.1.3.1.1 Kista Ovarium

A. DEFINISI
9

Kista adalah kantong berisi cairan, kista seperti balon berisi air, dapat tumbuh
di mana saja dan jenisnya bermacam-macam. Kista yang berada di dalam atau
permukaan ovarium (indung telur) disebut kista ovarium atau tumor ovarium.
Sebagian besar kista terbentuk karena perubahan kadar hormon yang terjadi
selama siklus haid, produksi dan pelepasan sel telur dari ovarium. Kebanyakkan
kista ovarium ini tidak berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya. Jika kista
ini bertambah besar, maka akan dapat menyebabkan tekanan, perasaan penuh dan
rasa tidak nyaman. Kista ovarium sering ditemukan pada wanita di masa
reproduksinya. Seorang wanita dapat memiliki satu atau lebih kista, dimana dapat
memiliki ukuran yang bervariasi, dari yang sebesar kacang hingga sebesar anggur.

B. JENIS-JENIS KISTA OVARIUM

a. Kista fungsional

Kista yang terbentuk dari jaringan yang berubah pada saat fungsi normal haid.
Kista normal ini akan mengecil dan menghilang dengan sendirinya dalam kurun
2-3 siklus haid. Terdapat 2 macam kista fungsional: kista folikular dan kista
korpus luteum.

 Kista folikular : Folikel sebagai penyimpan sel telur akan mengeluarkan


sel telur pada saat ovulasi bilamana ada rangsangan LH (Luteinizing
Hormone). Pengeluaran hormon ini diatur oleh kelenjar hipofisis di otak.
Bilamana semuanya berjalan lancar, sel telur akan dilepaskan dan mulai
perjalannya ke saluran telur (tuba falloppi) untuk dibuahi. Kista folikuler
terbentuk jika lonjakan LH tidak terjadi dan reaksi rantai ovulasi tidak
dimulai, sehingga folikel tidak pecah atau melepaskan sel telur, dan
bahkan folikel tumbuh terus hingga menjadi sebuah kista. Kista folikuler
biasanya tidak berbahaya, jarang menimbulkan nyeri dan sering hilang
dengan sendirinya antara 2-3 siklus haid.
10

 Kista korpus luteum : Bilamana lonjakan LH terjadi dan sel telur


dilepaskan, rantai peristiwa lain dimulai. Folikel kemudian bereaksi
terhadap LH dengan menghasilkan hormon estrogen dan progesteron
dalam jumlah besar sebagai persiapan untuk pembuahan. Perubahan dalam
folikel ini disebut korpus luteum. Tetapi, kadangkala setelah sel telur
dilepaskan, lubang keluarnya tertutup dan jaringan-jaringan mengumpul di
dalamnya, menyebabkan korpus luteum membesar dan menjadi kista.
Meski kista ini biasanya hilang dengan sendiri dalam beberapa minggu,
tetapi kista ini dapat tumbuh hingga 4 inchi (10 cm) diameternya dan
berpotensi untuk berdarah dengan sendirinya atau mendesak ovarium yang
menyebabkan nyeri panggul atau perut. Jika kista ini berisi darah, kista
dapat pecah dan menyebabkan perdarahan internal dan nyeri tajam yang
tiba-tiba.

b. Kista Abnormal :Maksud kata “abnormal” disini adalah tidak normal,


tidak umum, atau tidak biasanya (ada, timbul, muncul, atau terjadi). Semua tipe
atau bentuk kista -selain kista fungsional- adalah kista abnormal, misalnya:

 Kista dermoid :Kista ovarium yang berisi ragam jenis jaringan misal
rambut, kuku, kulit, gigi dan lainnya. Kista ini dapat terjadi sejak masih
kecil, bahkan mungkin sudah dibawa dalam kandungan ibunya. Kista ini
biasanya kering dan tidak menimbulkan gejala, tetapi dapat menjadi besar
dan menimbulkan nyeri.

 Kistadenoma: Kista yang berkembang dari sel-sel pada lapisan luar


permukaan ovarium, biasanya bersifat jinak. Kistasenoma dapat tumbuh
menjadi besar dan mengganggu organ perut lainnya dan menimbulkan
nyeri.

 Polikistik ovarium : Ovarium berisi banyak kista yang terbentuk dari


bangunan kista folikel yang menyebabkan ovarium menebal. Ini
berhubungan dengan penyakit sindrom polikistik ovarium yang
11

disebabkan oleh gangguan hormonal, terutama hormon androgen yang


berlebihan. Kista ini membuat ovarium membesar dan menciptakan
lapisan luar tebal yang dapat menghalangi terjadinya ovulasi, sehingga
sering menimbulkan masalah infertilitas.

C. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Pada sebagian besar kanker ovarium berbentuk tumor kistik (kista ovarium) dan
sebagian kecil berbentuk tumor padat. Kanker ovarium merupakan penyebab
kematian terbanyak dari semua kanker ginekologi. Angka kematian yang tinggi
ini disebabkan karena penyakit ini awalnya bersifat asimptomatik dan baru
menimbulkan keluhan apabila sudah terjadi metastasis, sehingga 60% – 70%
pasien datang pada stadium lanjut, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai
“silent killer”. Pemeriksaan USG transvaginal ditemukan kista ovarium pada
hampir semua wanita premenopouse dan terjadi peningkatan 14,8% pada wanita
post menopouse. Kebanyakan dari kista tersebut bersifat jinak. Kista ovarium
fungsional terjadi pada semua umur, tetapi kebanyakan pada wanita masa
reproduksi. Dan kista ovarium jarang setelah masa menopouse.

D. ETIOLOGI

Sampai sekarang ini penyebab dari Kista Ovarium belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi beberapa teori menyebutkan adanya gangguan dalam pembentukan estrogen
dan dalam mekanisme umpan balik ovarium-hipotalamus. Kista ovarium
terbentuk oleh bermacam sebab. Penyebab inilah yang nantinya akan menentukan
tipe dari kista. Diantara beberapa tipe kista ovarium, tipe folikuler merupakan tipe
kista yang paling banyak ditemukan. Kista jenis ini terbentuk oleh karena
pertumbuhan folikel ovarium yang tidak terkontrol. Folikel adalah suatu rongga
cairan yang normal terdapat dalam ovarium. Pada keadaan normal, folikel yang
berisi sel telur ini akan terbuka saat siklus menstruasi untuk melepaskan sel telur.
Namun pada beberapa kasus, folikel ini tidak terbuka sehingga menimbulkan
12

bendungan carian yang nantinya akan menjadi kista. Cairan yang mengisi kista
sebagian besar berupa darah yang keluar akibat dari perlukaan yang terjadi pada
pembuluh darah kecil ovarium. Pada beberapa kasus, kista dapat pula diisi oleh
jaringan abnormal tubuh seperti rambut dan gigi. Kista jenis ini disebut dengan
Kista Dermoid.

Faktor yang menyebabkan gejala kista meliputi:

1. Gaya hidup tidak sehat.diantaranya:

 Konsumsi makanan yang tinggi lemak dan kurang serat

 Zat tambahan pada makanan

 Kurang olah raga

 Merokok dan konsumsi alkohol

 Terpapar dengan polusi dan agen infeksius

 Sering stress

2. Faktor genetic :

Dalam tubuh kita terdapat gen gen yang berpotensi memicu kanker, yaitu yang
disebut protoonkogen, karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan
yang bersifat karsinogen ,polusi, atau terpapar zat kimia tertentu atau karena
radiasi, protoonkogen ini dapat berubah menjadi onkogen, yaitu gen pemicu
kanker.

E. Manifestasi Klinis
13

Sebagian besar kista ovarium tidak menimbulkan gejala, atau hanya


sedikit nyeri yang tidak berbahaya. Tetapi adapula kista yang berkembang
menjadi besar dan menimpulkan nyeri yang tajam. Pemastian penyakit tidak bisa
dilihat dari gejala-gejala saja karena mungkin gejalanya mirip dengan keadaan
lain seperti endometriosis, radang panggul, kehamilan ektopik (di luar rahim) atau
kanker ovarium.

 Perut terasa penuh, berat, kembung

 Tekanan pada dubur dan kandung kemih (sulit buang air kecil)

 Haid tidak teratur

 Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke


punggung bawah dan paha.

 Nyeri sanggama

 Mual, ingin muntah, atau pengerasan payudara mirip seperti pada saat
hamil.

Gejala-gejala berikut memberikan petunjuk diperlukan penanganan kesehatan


segera:

 Nyeri perut yang tajam dan tiba-tiba

 Nyeri bersamaan dengan demam

 Rasa ingin muntah.

F. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Pemastian diagnosis untuk kista ovarium dapat dilakukan dengan pemeriksaan:


14

1. Ultrasonografi (USG)

Tindakan ini tidak menyakitkan, alat peraba (transducer) digunakan untuk


mengirim dan menerima gelombang suara frekuensi tinggi (ultrasound) yang
menembus bagian panggul, dan menampilkan gambaran rahim dan ovarium di
layar monitor. Gambaran ini dapat dicetak dan dianalisis oleh dokter untuk
memastikan keberadaan kista, membantu mengenali lokasinya dan menentukan
apakah isi kista cairan atau padat. Kista berisi cairan cenderung lebih jinak, kista
berisi material padat memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-kadang oval) dan terlihat
sangat echolucent dengan dinding dinding yang tipis/tegas/licin, dan di tepi
belakang kista nampak bayangan echo yang lebih putih dari dinding depannya.

Kista ini dapat bersifat unillokuler (tidak bersepta) atau multilokuler (bersepta-
septa).Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus (internal
echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-elemen darah di dalam kista.

2. Laparoskopi

Dengan laparoskopi (alat teropong ringan dan tipis dimasukkan melalui


pembedahan kecil di bawah pusar) dokter dapat melihat ovarium, menghisap
cairan dari kista atau mengambil bahan percontoh untuk biopsi.

1. MRI

Gambaran MRI lebih jelas memperlihatkan jaringan halus dibandingkan dengan


CT-scan, serta ketelitian dalam mengidentifikasi lemak dan produk darah. CT-
Scan dapat pemberian petunjuk tentang organ asal dari massa yang ada. MRI tidak
terlalu dibutuhkan dalam beberapa/banyak kasus. USG dan MRI jauh lebih baik
dalam mengidentifikasi kista ovarium dan massa/tumor pelvis dibandingkan
dengan CT-Scan.
15

G. DIAGNOSIS BANDING KISTA OVARIUM

Diagnosis pasti tidak dapat dilihat dari gejala-gejala saja. Karena banyak penyakit
dengan gejala yang sama pada kista ovarium, adalah :

1. Endometriosis
Pada pemeriksaan endovaginal sonogram tampak karakteristik yang difus, echo
yang rendah sehingga memberikan kesan yang padat.

2. Kehamilan Ektopik

Pada pemeriksaan endovaginal sonogram memperlihatkan ring sign pada tuba,


dengan dinding yang tebal disertai cairan yang bebas disekitarnya. Tidak ada
pembuahan intrauterine.

3. Kanker Ovarium

Pada pemeriksaan transvaginal ultrasound di dapatkan dinding tebal dan ireguler.

4. Inflamasi Pelvic (PID )

Pada pemeriksaan endovaginal sonogram, memperlihatkan secara relative


pembesaran ovarium kiri (pada pasien dengan keluhan nyeri).

H. KOMPLIKASI

Beberapa ahli mencurigai kista ovarium bertanggung jawab atas terjadinya kanker
ovarium pada wanita diatas 40 tahun. Mekanisme terjadinya kanker masih belum
jelas namun dianjurkan pada wanita yang berusia diatas 40 tahun untuk
melakukan skrining atau deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kanker
ovarium. Faktor resiko lain yang dicurigai adalah penggunaan kontrasepsi oral
16

terutama yang berfungsi menekan terjadinya ovulasi. Maka dari itu bila seorang
wanita usia subur menggunakan metode konstrasepsi ini dan kemudian
mengalami keluhan pada siklus menstruasi, lebih baik segera melakukan
pemeriksaan lengkap atas kemungkinan terjadinya kanker ovarium.

I. Tatalaksana

Pengobatan yang dilakukan bergantung pada umur, jenis dan ukuran kista dan
gejala-gejala yang diderita. Beberapa pilihan pengobatan yang mungkin
disarankan:

Pendekatan wait and see

Jika wanita usia reproduksi yang masih ingin hamil, berovulasi teratur, tanpa
gejala, dan hasil USG menunjukkan kista berisi cairan, dokter tidak memberikan
pengobatan apapun dan menyarankan untuk pemeriksaan USG ulangan secara
periodik (selang 2-3 siklus haid) untuk melihat apakah ukuran kista membesar.
Pendekatan ini juga menjadi pilihan bagi wanita pascamenopause jika kista berisi
cairan dan diameternya kurang dari 5 cm.

Pil kontrasepsi

Jika terdapat kista fungsional, pil kontrasepsi yang digunakan untuk mengecilkan
ukuran kista. Pemakaian pil kontrasepsi juga mengurangi peluang pertumbuhan
kista.

Pembedahan

Jika kista besar (diameter > 5 cm), padat, tumbuh atau tetap selama 2-3 siklus
haid, atau kista yang berbentuk iregular, menyebabkan nyeri atau gejala-gejala
berat, maka kista dapat dihilangkan dengan pembedahan. Jika kista tersebut bukan
17

kanker, dapat dilakukan tindakan miomektomi untuk menghilangkan kista dengan


ovarium masih pada tempatnya. Jika kista tersebut merupakan kanker, dokter akan
menyarankan tindakan histerektomi untuk pengangkatan ovarium.

J. PROGNOSIS PENYAKIT KISTA OVARIUM

Kelangsungan Hidup

Prognosis untuk jinak baik. Namun untuk kista yang dapat berkembang untuk
menjadi kanker ovarium angka kelangsungan hidup 5 tahun (“5 Years survival
rate”) penderita kanker ovarium stadium lanjut hanya kira-kira 20-30%,
sedangkan sebagian besar penderita 60-70% ditemukan dalm keadaan stadium
lanjut.

Walaupun penanganan dan pengobatan kanker ovarium telah dilakukan dengan


prosedur yang benar namun hasil pengobatannya sampai sekarang ini belum
sangat menggembirakan termasuk pengobatan yang dilakukan di pusat kanker
terkemuka di dunia sekalipun.

Kelangsungan Organ

Umumnya kista ovarium pada wanita usia subur akan menghilang dengan
sendirinya dalam 1 sampai 3 bulan. Meskipun ada diantaranya yang pecah namun
tidak akan menimbulkan gejala yang berarti.Kista jenis ini termasuk jinak dan
tidak memerlukan penanganan medis.

Kista biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat dokter melakukan


pemeriksaan USG. Meskipun demikian, pengawasan tetap harus dilakukan
18

terhadap perkembangan kista sampai dengan beberapa siklus menstruasi. Bila


memang ternyata tidak terlalu bermakna maka kista dapat diabaikan karena akan
mengecil sendiri.

2.1.3.1.2 Kista Endometriosis

a. Definisi
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-
kelenjar dan stroma.4 Kista endometriosis adalah suatu jenis kista yang berasal
dari jaringan endometrium. Ukuran kista bisa bervariasi antara 0.4-4 inchi. Jika
kista mengalami ruptur, isi dari kista akan mengisi ovarium dan rongga pelvis.

Gambar 2. Kista endometriosis

b. Etiologi
Teori tentang terjadinya endometriosis adalah sebagai berikut:

1. Teori retrograde menstruasi

Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori
implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup) dari Sampson. Teori ini
didasari atas 3 asumsi:

1. Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii


19

2. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga


peritoneum
3. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel ke
peritoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi.
Teori diatas berdasarkan penemuan:

1. Penelitian terkini dengan memakai laparoskopi saat pasien sedang haid,


ditemukan darah haid berbalik dalam cairan peritoneum pada 75-90%
wanita dengan tuba falopii paten.
2. Sel-sel endometrium dari darah haid berbalik tersebut diambil dari cairan
peritoneum dan dilakukan kultur sel ternyata ditemukan hidup dan dapat
melekat serta menembus permukaan mesotelial dari peritoneum.
3. Endometriosis lebih sering timbul pada wanita dengan sumbatan kelainan
mulerian daripada perempuan dengan malformasi yang tidak menyumbat
saluran keluar dari darah haid.
4. Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan permulaan menars,
siklus haid yang pendek atau menoragia.
2. Teori metaplasia soelomik

Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini
menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan
dalam sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam
peritoneum dan pleura). Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh
beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori
ini dapat menerangkan endometriosis yang ditemukan pada laki-laki, sebelum
pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta yang
terdapat di tempat yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran
kencing dan saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor lain
juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel endometrium.

3. Teori transplantasi langsung


20

Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang


kurang hati-hati seperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan
episiotomi, dapat mengakibatkan timbulnya jaringan endometriosis pada bekas
parut operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut.

4. Teori genetik dan imun

Semua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua wanita yang
mengalami haid menderita endometriosis, kenapa pada wanita tertentu
penyakitnya berat, wanita lain tidak, dan juga tidak dapat menerangkan beberapa
tampilan dari lesi. Penelitian tentang genetik dan fungsi imun wanita dengan
endometriosis dan lingkungannya dapat menjawab pertanyaan diatas.

Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu
dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu
dasar genetik. Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang
menghancurkan matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium
normal dan pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen.
Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh
progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP dikaitkan dengan
penyakit-penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita
endometriosis, MMP yang disekresi oleh endometri-um luar biasa resisten (kebal)
terhadap penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap didalam sel-sel
endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasif terhadap
endometrium yang berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan
peritoneum dan selanjutnya terjadi proliferasi sel.

Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang


menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif.
Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun
yang tidak antigen-spesifik dan tidak mencakup memori imunologik. Makrofag
mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan penghancuran
mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan, membantu untuk
21

membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai


macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu
fungsi-fungsi faktor diatas disamping merangsang pertumbuhan dan proliferasi
tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum normal dan jumlah
serta aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada penderita
endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar
teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan
dan sitokin yang merangsang proliferasi dari endometrium ektopik dan
menghambat fungsi pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain
yang penting dalam proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun
dan lebih jelas terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut.

5. Faktor endokrin

Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung kepada


estrogen (estrogen-dependent disorder). Penyimpangan sintesa dan metabolisme
estrogen telah diimplikasikan daam patogenesa endometriosis. Aromatase, suatu
enzim yang merubah androgen, androstenedion dan testosteron menjadi estron
dan estradiol. Aromatase ini ditemukan dalam banyak sel manusia seperti sel
granulosa ovarium, sinsisiotrofoblas di plasenta, sel lemak dan fibroblas kulit.

Gambar 3. Biosintesa estrogen wanita usia reproduksi


22

Kista endometriosis dan susukan endometriosis diluar ovarium


menampilkan kadar aromatase yang tinggi sehingga dihasilkan estrogen yang
tinggi pula. Dengan kata lain, wanita dengan endometriosis mempunyai kelainan
genetik dan membantu perkembangan produksi estrogen endometrium lokal.
Disamping itu, estrogen juga dapat merangsang aktifitas siklooksigenase tipe-2
lokal (COX-2) yang membuat prostaglandin (PG)E2, suatu perangsang poten
terhadap aromatase dalam sel stroma yang berasal dari endometriosis, sehingga
produksi estrogen berlangsung terus secara lokal.

Gambar 4. Sintesis estrogen pada susukan endometriosis

Estron dan estradiol saling dirubah oleh kerja 17β-hidroksisteroid


dehidrogenase (17βHSD), yang terdiri dari 2 tipe: tipe-1 merubah estron menjadi
estradiol (bentuk estrogen yang lebih poten) dan tipe-2 merubah estradiol menjadi
estron. Dalam endometrium eutopik normal, progesteron merangsang aktifitas
tipe-2 dalam kelenjar epitelium, enzim tipe-2 ini sangat banyak ditemukan pada
kelenjar endometrium fase sekresi. Dalam jaringan endometriotik, tipe-1
ditemukan secara normal, tetapi tipe-2 secara bersamaan tidak ditemukan.
Progesteron tidak merangsang aktiftas tipe-2 dalam susukan endometriotik karena
tampilan reseptor progesteron juga abnormal. Reseptor progesteron terdiri dari 2
tipe: PR-A dan PR-B, keduanya ini ditemukan pada endometrium eutopik normal,
sedangkan pada jaringan endometriotik hanya PR-A saja yang ditemukan.
23

c. Klasifikasi

Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan


lokasi dan tipe lesi, yaitu:
1. Peritoneal endometriosis

Pada awalnya lesi di peritoneum akan banyak tumbuh vaskularisasi


sehingga menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan
menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehingga
tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah
menjadi lesi hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih yang
miskin vaskularisasi dan ditemukan debris glandular.

2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)

Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks


ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan
endometriosis. Kista endometrium bisa besar (>3cm) dan multilokus, dan bisa
tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dan debris ke dalam rongga
kista.

3. Deep Nodular Endometriosis

Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum


rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan
ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan
jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan endometriosis
akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara klinis
yangberhubungan dengan endomeriosis nodular dalam.
24

Ada banyak klasifikasi stadium yang digunakan untuk mengelompokkan


endometriosis dari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan adalah
sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi (Tabel 1). Klasifikasi
ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan
perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut adalah skor yang
digunakan untuk mengklasifikasikan stadium:9

- Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)


- Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)
- Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)
- Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

Tabel 1. Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFS

Endometriosis <1 cm 1-3 cm >3 cm


Peritoneum

Permukaan 1 2 4

2 4 6
Dalam
Kanan Permukaan 1 2 4

4 16 20
Ovarium

Dalam
Kiri Permukaan 1 2 4

Dalam 4 16 20

Perlekatan kavum Douglasi


Sebagian Komplit
4 40

<1/3 1/3-2/3 >2/3


Perlekatan
1 2 4
Tipis
Ovarium

Kanan 4 8 16
Tebal
1 2 4
Tipis
Kiri Kiri 4 8 16
Tebal
25

1 2 4
Kanan Tipis
4 8 16
Tebal
Tuba

1 2 4
Tipis
Kir Kiri 4 8 16
Tebal

Martin pada tahun 2006 mengusulkan sistem kalsifikasi stadium untuk


mengetahui tingkat kepercayaan dari tindakan laparaskopi diagnostik terhadap
endometriosis. Tingkat kepercayaan laparaskopi terdiri atas 4 tingkatan:
Tingkat 1: Mungkin endometriosis – Vesikel peritoneal, polip merah, polip
kuning, hipervaskularisasi, jaringan parut, adhesi
Tingkat 2: Diduga endometriosis – Kista coklat dengan aliran bebas dari cairan
coklat.
Tingkat 3: Pasti endometriosis – Lesi jaringan parut gelap, lesi merah dengan latar
belakang jaringan ikat sebagai jaringan parut, kista coklat dengan area mottle
merah dan gelap dengan latar belakang putih.
Tingkat 4: Endometriosis – Lesi gelap dan jaringan parut pada pembedahan
pertama.

Gambar 5. Adhesi akibat endometriosis

d. Histogenesis
26

Teori histogenesis dari endometriosis yang paling banyak dianut adalah


teori dari Sampson. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid
mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah
dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih
hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan
implantasi di pelvis.

Teori lain dikemukakan oleh Robert Meyer bahwa endometriosis terjadi


karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat
mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan
metaplasia dari sel-sel epitel itu sehingga terbentuk jaringan endometrium.

Teori hormonal bermula dari kenyataan bahwa kehamilan dapat


menyembuhkan endometriosis. Rendahnya kadar FSH, LH dan E2 dapat
menghilangkan endometriosis. Pemberian steroid seks dapat menekan sekresi
FSH, LH dan E2. Pendapat yang sudah lama dianut ini mengemukakan bahwa
pertumbuhan endometriosis sangat tergantung dari kadar estrogen dalam tubuh.
Pendapat ini mulai diragukan karena pada tahun 1989 Baziad dan Jacoeb
menemukan kadar E2 yang cukup tinggi pada kasus-kasus endometriosis. Jacoeb
pada tahun 1990 pun menemukan kadar E 2 serum pada setiap kelompok derajat
endometriosis hampir semuanya tinggi. Keadaan ini juga tidak bergantung pada
beratnya derajat endometriosis. Kalau memang dianggap perkembangan
endometriosis bergantung pada kadar estrogen dalam tubuh, seharusnya terdapat
hubungan bermakna antara beratnya derajat endometriosis dengan kadar E 2 di lain
pihak, apabila kadar E2 dalam tubuh maka senyawa ini akan diubah kembali
menjadi androgen melalui proses aromatisasi. Akibatnya, kadar testosterone pun
akan meninggi. Tetapi kenyataannya pada penelitian ini, kadar T tidak berubah
secara bermakna menurut beratnya penyakit.

Sedangkan teori terakhir, endometriosis dikaitkan dengan aktivitas imun.


Teori imunologis menerangkan bahwa secara embriologis, sel epitel yang
membungkus peritoneum parietal dan permukaan ovarium memiliki asal yang
27

sama, oleh karena itu sel-sel endometriosis akan sejenis dengan mesotel. Telah
diketahui bahwa CA-125 merupakan suatu antigen permukaan sel yang semula
diduga khas untuk ovarium. Karena endometriosis merupakan proses proliferasi
sel yang bersifat destruktif, maka lesi ini tentu akan meningkatkan kadar CA-125.
Banyak yang berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun
karena memiliki kriteria yang cenderung lebih banyak pada wanita, bersifat
familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan dan menunjukkan
aktivitas sel B-poliklonal.

e. Patologi

Gambaran mikroskopik dari endometrium sangat variabel. Lokasi yang


sering terdapat ialah pada ovarium dan biasanya bilateral. Pada ovarium tampak
kista-kista biru kecil sampai besar berisi darah tua menyerupai coklat. Darah tua
dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista dan dapat
menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan
dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak
ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista dan menyebabkan akut
abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal.

Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi


endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium dan perdarahan
bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi
hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat sebagai reaksi
dari jaringan normal disekelilingnya. Jaringan endometriosis seperti juga jaringan
endometrium di dalam uterus dapat dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron.
Sebagai akibat dari pengaruh hormon-hormon tersebut, sebagian besar sarang
endometriosis berdarah secara periodik yang menyebabkan reaksi jaringan
sekelilingnya berupa radang dan perlekatan.

Pada kehamilan dapat ditemukan reaksi desidual jaringan endometriosis.


Apabila kehamilannya berakhir, reaksi desidual menghilang disertai dengan
regresi sarang endometriosis. Pengaruh baik dari kehamilan kini menjadi dasar
28

pengobatan endometriosis dengan hormon untuk mengadakan apa yang


dinamakan kehamilan semu (pseudopregnancy).

f. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang sering ditemukan pada kista endometriosis adalah:

 Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan
selama haid (dismenore). Sebab dari dismenore ini tidak diketahui tetapi
mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam
sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak
selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas
sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang hebat.
Nyeri yang hebat dapat menyebabkan mual, mntah, dan diare. Dismenore
primer terjadi selama tahun-tahun awal mestruasi, dan semakin meningkat
dengan usia saat melahirkan anak, dan biasanya hal ini tidak berhubungan
dengan endometriosis. Dismenore sekunder terjadi lebih lambat dan akan
semakin meningkat dengan pertambahan usia. Hal ini bisa menjadi tanda
peringatan akan terjadinya endometriosis, walaupun beberapa wanita
dengan endometriosis tidak terlalu merasakannya.
 Dispareunia merupakan gejala yang sering dijumpai disebabkan oleh
karena adanya endometriosis di kavum Douglasi.

 Nyeri waktu defekasi, terjadi karena adanya endometriosis pada dinding


rekstosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar
tersebut.

 Poli dan hipermenorea, dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan


pada ovarium sangat luas sehingga fungsi ovarium terganggu.
29

 Infertilitas, hal ini disebabkan apabila motilitas tuba terganggu karena


fibrosis dan perlekatan jaringan disekitarnya. Sekitar 30-40% wanita
dengan endometriosis menderita infertilitas.

g. Diagnosis

Tidak ada pemeiksaan yang sederhana untuk mendiagnosis endometriosis.


Dalam kenyataannya, satu-satunya cara untuk mendiagnosis pasti endometriosis
adalah dengan melakukan laparoskopi dan melakukan biopsi jaringan.
Pemeriksaan ini merupakan standar emas dalam mendiagnosis endometriosis.

Endometriosis dicurigai bila ditemukan adanya gejala nyeri di daerah


pelvis dan adanya penemuan-penemuan yang bermakna selama pemeriksaan fisik.
Melalui pemeriksaan rektovaginal (satu jari di dalam vagina dan satu jari lagi di
dalam rectum) akan teraba nodul (jaringan endometrium) di belakang uterus dan
di sepanjang ligamentum yang menyerang dinding pelvis. Suatu saat bisa saja
nodul tidak teraba, tetapi pemeriksaan ini sendiri dapat menyebabkan rasa nyeri
dan tidak nyaman.

h. Penatalaksanaan

Endometriosis bisa diterapi dengan medikamentosa dan/atau pembedahan.


Pengobatan endometriosis juga bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan/atau
memperbaiki fertilitas.

 Endometriosis dan subfertilitas

o Adhesi peritubal and periovarian dapat menginterferensi dengan


transportasi ovum secara mekanik dan berperan dalam
menyebabkan subfertilitas. Endometriosis peritoneal telah terbukti
berperan dalam menyebabkan subfertilitas dengan cara
berinterferensi dengan motilitas tuba, follikulogenesis, dan fungsi
korpus luteum. Aromatase dipercaya dapat meningkatkan kadar
30

prostaglandin E melalui peningkatan ekspresi COX-2.


Endometriosis juga dapat menyebabkan subfertilitas melalui
peningkatan jumlah sperma yang terikat ke epitel ampulla sehingga
mempengaruhi interaksi sperm-endosalpingeal.

o Pemberian medikamentosa pada endometriosis minimal atau


sedang tidak terbukti meningkatkan angka kehamilan.
Endometriosis sedang sampai berat harus dioperasi.

o Pilihan lainnya untuk mendapatkan kehamilan ialah inseminasi


intrauterin, superovulasi, dan fertilisasi invitro. Pada suatu
penelitian case-contol, rata-rata kehamilan dengan injeksi sperma
intrasitoplasmik tidak dipengaruih oleh kehadiran endometriosis.
Lebih jauh, analisi lainnya menunjukkan peningkatan kejadian
kehamilan akibat fertilisasi in vitro dengan preterapi endometriosis
tingkat 3 dan 4 dengan agonis gonadotropin-releasing hormone
(GnRH).

 Terapi interval

o Beberapa peneliti percaya bahwa endometriosis dapat ditekan


dengan pemberian profilaksis berupa kontrasepsi oral kombinasi
berkesinambungan, analog GnRH, medroksiprogesteron, atau
danazol sebagai upaya untuk meregresi penyakit yang
asimtomastik dan mengatasi fertilitas subsekuen.

o Ablasi melalui pembedahan untk endometriosis simptomatik juga


dapat meningkatkan kesuburan dalam 3 tahun setelah follow-up.

 Tidak ada hubungan antara endometriosis dengan abortus rekuren dan


tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa terapi medikamentosa atau
pembedahan dapat mengurangi angka kejadian abortus.
31

 Terapi medis: pil kontrasepsi oral kombinasi, danazol, agen progestational,


dan analog GnRH. Semua obat ini memiliki efek yang sama dalam
mengurangi nyeri dan durasinya.

o Pil kontrasepsioral kombinasi berperan dalam supresi ovarium dan


memperpanjang efek progestin.

o Semua agen progesteron berperan dalam desidualisasi dan atrofi


endometrium.

 Medroksiprogesteron asetat berperan dalam mengurangi


nyeri.

 Megestrol asetat juga memiliki efek yang sama

 The levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) berguna


dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis.

o Analog GnRH berguna untuk menurunkan gejala nyeri, namun


tidak berefek dalam meningkatkan angka fertilitas. Terapi dengan
GnRH menurunkan gejala nyeri pada 85-100% wanita dengan
endometriosis.

o Danazol berperan untuk menghambat siklus follicle-stimulating


hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) dan mencegah
steroidogenesis di korpus luteum.

Terapi Bedah
Terapi bedah bisa diklasifikasikan menjadi terapi bedah konservatif jika fungsi
reproduksi berusaha dipertahankan, semikonservatif jika kemampuan reproduksi
dikurangi tetapi fungsi ovarium masih ada, dan radikal jika uterus dan ovarium
diangkat secara keseluruhan. Usia, keinginan untuk memperoleh anak lagi,
32

perubahan kualitas hidup, adalah hal-hal yang menajdi pertimbangan ketika


memutuskan suatu jenis tindakan operasi.

 Pembedahan konservatif

o Tujuannya adalah merusak jaringan endometriosis dan melepaskan


perlengketan perituba dan periovarian yang menjadi sebab
timbulnya gejala nyeri dan mengganggu transportasi ovum.
Pendekatan laparoskopi adalah metode pilihan untuk mengobati
endometriosis secara konservatif. Ablasi bisa dilakukan dengan
dengan laser atau elektrodiatermi. Secara keseluruhan, angka
rekurensi adalah 19%. Pembedahan ablasi laparoskopi dengan
diatermi bipolar atau laser efktif dalam menghilangkan gejala nyeri
pada 87%. Kista endometriosis dapat diterapi dengan drainase atau
kistektomi. Kistektomi laparoskopi mengobati keluhan nyeri lebih
baik daripada tindakan drainase. Terapi medis dengan agonis
GnRH mengurangi ukuran kista tetapi tidak berhubungan dengan
hilangnya gejala nyeri.

o Flushing tuba dengan media larut minyak dapat meningkatkan


angka kehamilan pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan
endometriosis.

o Untuk dismenorhea yang hebat dapat dilakukan neurektomi


presakral. Bundel saraf yang dilakukan transeksi adalah pada
vertebra sakral III, dan bagian distalnya diligasi.

o Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) berguna untuk


mengurangi gejala dispareunia dan nyeri punggung bawah.

o Untuk pasien dengan endometriosis sedang, pengobatan hormonal


adjuvant postoperative efektif untuk mengurangi nyeri tetapi tidak
33

ada berefek pada fertilitas. Analog GnRH, danazol, dan


medroksiprogesteron berguna untuk hal ini.

 Pembedahan semikonservatif

o Indikasi pembedahan jenis ini adalah wanita yang telah melahirkan


anak dengan lengkap, dan terlalu muda untuk menjalani
pembedahan radikal, dan merasa terganggu oleh gejala-gejala
endometriosis. Pembedahan yang dimaksud adalah histerektomi
dan sitoreduksi dari jaringan endometriosis pelvis. Kista
endometriosis bisa diangkat karena sepersepuluh dari jaringan
ovarium yang berfungsi diperlukan untuk memproduksi hormon.
Pasien yang dilakukan histerektomi dengan tetap mempertahankan
ovarium memiliki risiko enam kali lipat lebih besar untuk
mengalami rekurensi dibandingkan dengan wanita yang dilakukan
histerektomi dan ooforektomi.

o Terapi medis pada wanita yang telah memiliki cukup anak yang
juga memiliki efek dalam mereduksi gejala.

 Pembedahan radikal

o Histerektomi total dengan ooforektomi bilateral dan sitoreduksi


dari endometrium yang terlihat. Adhesiolisis ditujukan untuk
memungkinkan mobilitas dan menormalkan kembali hubungan
antara organ-organ di dalam rongga pelvis.

o Obstruksi ureter memerlukan tindakan bedah untuk mengeksisi


begian yang mengalami kerusakan. Pada endometriosis dengan
obstruksi usus dilakukan reseksi anastomosis jika obstruksi berada
di rektosigmoid anterior.
34

Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Endometriosis

i. Diagnosis Banding

Adenomiosis uteri, radang pelvik, dengan tumor adneksa dapat


menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis
jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum
Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau
mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis
ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis dengan kista ovarium.
Sedangkan endometriosis yang berasal dari rektosigmoid perlu dibedakan
dari karsinoma.

j. Prognosis

Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan


dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral. Angka kejadian rekurensi
35

endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20% dalam waktu


5 tahun. Ablasi komplit dari endometriosis efektif dalam menurunkan gejala
nyeri sebanyak 90% kasus. Beberapa ahli mengatakan eksisi lesi adalah
metode yang baik untuk menurunkan angka kejadian rekurensi dari gejala-
gejala endometriosis.

Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah berhubungan dengan tingkat


berat ringannya penyakit. Pasien dengan endometriasis sedang memiliki peluang
untuk hamil sebanyak 60%, sedangkan pada kasus-kasus endometriosis yang berat
keberhasilannya hanya 35%.

2.1.3.1.3 Mioma Uteri

a. Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi
padat kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau
multipel. Mioma uteri terdiri dari sel-sel otot polos, tetapi juga jaringan ikat. Sel-
sel ini tersusun dalam bentuk gulungan, yang bila membesar akan menekan otot
uterus normal.
Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri,
atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga
berhubungan dengan keganasan.

b. Epidemiologi
Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun
mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih
banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke,
sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih
bertumbuh. Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh
wanita. Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua
penderita ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada
36

wanita umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun
dan wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih sedikit
kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan dengan wanita yang
tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri
berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau hanya hamil 1 kali.
Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan dan
nullipara.

c. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah
tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik
tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom lengan 12q13-15.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor, di samping faktor
predisposisi genetik, adalah estrogen, progesteron dan human growth hormone
1. Estrogen
Beberapa ahli dalam penelitiannya menemukan bahwa pada otot
rahim yang berubah menjadi mioma ditemukan reseptor estrogen yang
lebih banyak daripada otot rahim normal. Mioma uteri dijumpai setelah
menarke. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor yang cepat selama
kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada
saat menopause dan pengangkatan ovarium. Adanya hubungan dengan
kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti endometriosis (50%),
perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan
hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. 17B
hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah estradiol (sebuah estrogen
kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada
jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen yang
lebih banyak daripada miometrium normal.
2. Progesteron
37

Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron


menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan
17B hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada
tumor.
3. Hormon pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi
hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL,
terlihat pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat
dari leiomioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi
sinergistik antara HPL dan Estrogen.

beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya


mioma uteri, yaitu :
1. Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering
memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.

2. Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma
uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah
kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
3. Faktor ras dan genetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan
mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada
wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.

4. Fungsi ovarium
38

Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan


mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, dan mengalami
regresi setelah menopause.
Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik
dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma
mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap
reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi
reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth
factor yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah
mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih
banyak pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting
pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan
karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause
sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang
berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada
usia dini.

5. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh
enzim aromatease di jaringan lemak (Djuwantono, 2005). Hasilnya terjadi
peningkatan jumlah estrogen tubuh yang mampu meningkatkan prevalensi
mioma uteri.

d. Patofisiologi
Mioma merupakan monoclonal dengan tiap tumor merupakan hasil dari
penggandaan satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk di dalamnya
perkembangan dari sel otot uterus atau arteri pada uterus, dari transformasi
metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel embrionik sisa yang persisten.
Penelitian terbaru telah mengidentifikasi sejumlah kecil gen yang mengalami
mutasi pada jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial normal. Penelitian
39

menunjukkan bahwa pada 40% penderita ditemukan aberasi kromosom yaitu


t(12;14)(q15;q24).
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genioblast.
Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan
ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada
tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan
pemberian preparat progesteron atau testosteron. Pemberian agonis GnRH dalam
waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma.
Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon
mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat
bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal
dan insulin like growth factor 1 yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk,
telah mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih
banyak pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada
perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan karena
tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause
sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang
berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia
dini.

e. Klasifikasi
Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang terkena.
1. Lokasi
• Cervical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi.
• Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius.
• Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali tanpa gejala.

2. Lapisan Uterus
40

Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasi dibagi menjadi 3
jenis, yaitu :
• Mioma Uteri Submukosa
Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini di jumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis lain
meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari
tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai
Currete bump. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma
submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga
rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang di
lahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa
kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.

• Mioma Uteri Subserosa


Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan
saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus
melalui tangkai. Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam
ligamentum latum dan disebut sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang
cukup besar akan mengisi rongga peritoneal sebagai suatu massa.
Perlengketan dengan usus, omentum atau mesenterium di sekitarnya
menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke
omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga mioma
akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga
peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik.

• Mioma Uteri Intramural


Disebut juga sebagai mioma intraepitelial. Biasanya multipel apabila
masih kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi bila besar akan
41

menyebabkan uterus berbenjol- benjol, uterus bertambah besar dan berubah


bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali
rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah bawah.
Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang
sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat (jaringan
ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan). Secara makroskopis
terlihat uterus berbenjol-benjol dengan permukaan halus. Pada potongan,
tampak tumor berwarna putih dengan struktur mirip potongan daging ikan.
Tumor berbatas tegas dan berbeda dengan miometrium yang sehat, sehingga
tumor mudah dilepaskan. Konsistensi kenyal, bila terjadi degenerasi
kistik maka konsistensi menjadi lunak. Mioma yang terletak pada dinding
depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung
kemih keatas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

 Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya
ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus.
Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma
pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran serviks sehingga ostium uteri
eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa
mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti
kumparan (whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan
ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.
Bila terjadi kalsifikasi maka konsistensi menjadi keras. Secara histologik
tumor ditandai oleh gambaran kelompok otot polos yang membentuk pusaran,
meniru gambaran kelompok sel otot polos miometrium. Fokus fibrosis,
kalsifikasi, nekrosis iskemik dari sel yang mati. Setelah menopause, sel-sel otot
polos cenderung mengalami atrofi, ada kalanya diganti oleh jaringan ikat.
Pada mioma uteri dapat terjadi perubahan sekunder yang sebagian besar
bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada
42

sarang mioma. Perubahan ini terjadi secara sekunder dari atropi


postmenopausal, infeksi, perubahan dalam sirkulasi atau transformasi maligna.

Gambar 6. Jenis-jenis mioma uteri.

f. Gejala Klinis
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul
sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada serviks, intramural,
submukus, subserus, besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi.
Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut
1) Perdarahan abnormal
Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia
dan dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
perdarahan ini, antara lain adalah :
- Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai
adeno karsinoma endometrium.
- Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.
- Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.
43

- Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang


mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit
pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.
2) Rasa nyeri
Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan
sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan
peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan,
pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga
dismenore.
3) Gejala dan tanda penekanan
Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada
kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan
retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis,
pada rectum dapat menyebabkan konstipasi, pada pembuluh darah dan
pembuluh limfe dipanggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.
4) Infertilitas dan abortus
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars
intertisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya
abortus oleh karena distorsi rongga uterus. Rubin (1958) menyatakan bahwa
apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma merupakan
penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan
miomektomi.

g. Diagnosis
Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
- Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air
besar.
- Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
44

2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan
tumor tersebut menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobile, permukaan tumor umumnya rata.
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala
yang terjadi berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :
a. Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)
b. Perut terasa penuh dan membesar
c. Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Nyeri bisa terjadi saat menstruasi, setelah berhubungan seksual, atau
ketika terjadi penekanan pada panggul. Nyeri terjadi karena terpuntirnya
mioma yang bertangkai, pelebaran leher rahim akibat desakan mioma atau
degenerasi (kematian sel) dari mioma. Gejala lainnya adalah:
- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan
saluran kemih menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan
hidronefrosis (pembesaran ginjal)
- Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang
mengakibatkan konstipasi (sulit BAB) atau sumbatan usus
- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri
hebat, luka, dan infeksi
Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan
tromboflebitis sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)
4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor
dapat terbatas atau bebas.
5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas
atau bebas.
6. Pemeriksaan penunjang
45

- Pemeriksaan laboratorium.
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat
besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada
beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara
polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma
terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter
dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.
- USG, CT scan, MRI
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan
keadaan adnexa dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi
dengan CT scan ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih
mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG.
- Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta
menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
- Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa
disertai dengan infertilitas.
- Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.

h. Penatalaksanaan Mioma Uteri


Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan
mioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran
tumor, sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara
cepat dan bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas.
Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan
konservatif dan operatif :
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil pada
46

pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai
berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3
menstruasi setiap minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan
pengerutan tumor dan menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi
gonadotropin dan menciptakan keadaan hipoestrogenik yang serupa yang
ditemukan pada periode postmenopause. Efek maksimum dalam
mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena
memberikan beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama
pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
- Progestin dan antiprogestin dilaporkan mempunyai efek terapeutik.
Kehadiran tumor dapat ditekan atau diperlambat dengan pemberian
progestin dan levonorgestrol intrauterin.8

2. Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.

Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa :


a. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan
uterus. Dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan
47

anak atau mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas. Apabila


miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka
kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. Sejauh ini tampaknya
aman, efektif, dan masih menjadi pilihan terbaik. Miomektomi sebaiknya
tidak dilakukan bila ada kemungkinan terjadinya karsinoma endometrium
atau sarkoma uterus, juga dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini
seharusnya dibatasi pada tumor dengan tangkai dan jelas yang dengan
mudah dapat dijepit dan diikat. Bila miomektomi menyebabkan cacat yang
menembus atau sangat berdekatan dengan endometrium, kehamilan
berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea.
Kriteria preoperasi menurut American College of Obstetricians
Gynecologists (ACOG) adalah sebagai berikut :
 Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
 Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
 Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab kegagalan
kehamilan dan keguguran yang berulang.
b. Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan terpilih.
Histerektomi dapat dilaksanakan per-abdominal atau per-vaginam. Yang
akhir ini jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor angsa
dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolapsus uteri akan
mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya
dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis
uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat
kesukaran teknis dalam mengangkat uterus.
Histerektomi dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada
penderita yang memiliki leiomioma yang simptomatik atau yang sudah
bergejala. Kriteria ACOG untuk histerektomi adalah sebagai berikut:
 Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang dapat teraba
dari luar dan dikeluhkan oleh pasien.
 Perdarahan uterus berlebihan :
48

 Perdarahan yang banyak bergumpal-gumpal atau berulang-ulang


selama lebih dari 8 hari.
 Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
 Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi :
 Nyeri hebat dan akut.
 Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang
kronis.
 Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulang dan
tidak disebabkan infeksi saluran kemih.
c. Penanganan Radioterapi
- Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk
patient).
- Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
- Bukan jenis submukosa.
- Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum.
- Tidak dilakukan pada wanita muda, sebab dapat menyebabkan
menopause.
- Maksud dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan.

Mioma

Besar < 14 mgg Besar > 14 mgg

Tanpa keluhan Dengan keluhan


49

Konservatif Operatif

Gambar 7. Bagan Penatalaksanaan Mioma Uteri.


i.Komplikasi
Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat
degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang
mioma. Perubahan sekunder tersebut antara lain:
• Atrofi
Sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi
kecil.
• Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terjadi pada penderita berusia lanjut. Tumor
kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian
besar atau hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan
satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
• Degenerasi kistik
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma
menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur
berisi agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan
bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan
konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kista
ovarium atau suatu kehamilan.
• Degenerasi membatu (calcereus degeneration)
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya
gangguan dalam sirkulasi. Mioma menjadi keras dan memberikan
bayangan pada foto rontgen.
• Degenerasi merah (carneus degeneration)
50

Perubahan ini terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis :


diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan
vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti
daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin dan
hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada
kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor
pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini
seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai.
• Degenerasi lemak
Jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin.

Komplikasi yang terjadi pada mioma uteri


1. Degenerasi ganas.
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6%
dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus
yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma
uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam
menopause.
2. Torsi (putaran tangkai).
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut
tidak terjadi.
3. Nekrosis dan infeksi.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan
karena gangguan sirkulasi darah padanya.

Mioma uteri dan kehamilan


Pengaruh mioma uteri pada kehamilan adalah :
51

- Kemungkinan abortus lebih besar karena distorsi kavum uteri khususnya


pada mioma submukosum.
- Dapat menyebabkan kelainan letak janin
- Dapat menyebabkan plasenta previa dan plasenta akreta
- Dapat menyebabkan HPP akibat inersia maupun atonia uteri akibat
gangguan mekanik dalam fungsi miometrium
- Dapat menganggu proses involusi uterus dalam masa nifas
- Jika letaknya dekat pada serviks, dapat menghalangi kemajuan persalinan
dan menghalangi jalan lahir.

Pengaruh kehamilan pada mioma uteri adalah :


- Mioma membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh
estrogen yang meningkat
- Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas seperti
telah diutarakan sebelumnya, yang kadang-kadang memerlukan pembedahan
segera guna mengangkat sarang mioma. Namun, pengangkatan sarang
mioma demikian itu jarang menyebabkan perdarahan.
- Meskipun jarang, mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi dengan
gejala dan tanda sindrom akut abdomen.

Terapi mioma dengan kehamilan adalah konservatif karena miomektomi


pada kehamilan sangat berbahaya disebabkan kemungkinan perdarahan hebat dan
dapat juga menimbulkan abortus. Operasi terpaksa jika lakukan kalau ada
penyulit-penyulit yang menimbulkan gejala akut atau karena mioma sangat besar.
Jika mioma menghalangi jalan lahir, dilakukan SC (Sectio Caesarea) disusul
histerektomi tapi kalau akan dilakukan miomektomi lebih baik ditunda sampai
sesudah masa nifas.

j. Prognosis
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif.
Miomektomi yang ekstensif dan secara signifikan melibatkan miometrium atau
52

menembus endometrium, maka diharuskan sektio sesar pada persalinan


berikutnya. Mioma yang kambuh kembali setelah miomektomi terjadi pada 15-
40% pasien dan 2/3-nya memerlukan tindakan lebih lanjut.

2.1.3.2 Kontraindikasi Laparoskopi


1. Kontraindikasi absolut
a. Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi
b. Diatesis hemoragik sehingga mengganggu fungsi pembekuan darah
c. Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas ,
disertai dengan distensi dinding perut, sebab kelainan ini merupakan
kontraindikasi untuk melakukan pneumoperitonium.
2. Kontraindikasi relatif
a. Tumor abdomen yang sangat besar, sehingga sulit untuk
memasukkan trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat
melukai tumor tersebut
b. Hernia abdominalis, dikawatirkan dapat melukai usus pada saat
memasukkan trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat
hernia pada saat dilakukan pneumoperitonium.kini kekhawatiran
ini dapat di hilangkan dengan modifikasi alat pneumoperitonium
otomatis.
c. Kelainan atau insufisiensi paru paru, jantung, hepar atau kelainan
pembuluh darah vena porta, goiter atau kelainan metabolisme lain
yang sulit menyerap gas CO2.2

2.1.4 Komplikasi Laparoskopi

1. Komplikasi Insuflasi gas CO2

Pada saat proses pengisian gas ke kavum abdomen dapat terjadi


beberapa komplikasi diantaranya, jarum tidak sampai masuk kavum
peritonii sehingga menimbulkan timbunan gas di dinding abdomen,
emboli gas CO2 dan gas CO2 terlalu sedikit sehingga kesulitan saat
memasukkan trocar.

2. Perlukaan Usus
53

Perlukaan pada usus yang paling sering ialah laserasi dan biasanya tak
terdiagnosa pada saat melakukan tindakan. Intervensi yang terlambat
untuk menangani perlukaan ini dapat mengancam jiwa pasien. Setelah
tindakan laparoskopi selesai dilakukan, pasien yang mengalami
perlukaan akan mengeluhkan nyeri pada abdomen, demam, diare, dan
distensi abdomen. Keterlambatan penatalaksanaan dapat menyebabkan
peritonitis, abses dan syok septik.

3. Perlukaan Ureter

Penelitian menunujukkan hanya 9% kasus perlukaan ureter yang


didiagnosa intraoperative dan 70% postoperative. Pasien dengan
perlukaan uretra akan mengeluh nyeri pelvis akut, mual muntah,
malaise, perembesan cairan dari tempat trocar entry, distensi abdomen,
peningkatan CRP dan leukositosis, peningkatan kadar kreatinin serum,
costovertebrae angle teraba lunak, demam dan ileus peritonitis.

4. Perlukaan Kandung Kemih

Perlukaan kandung kemih paling sering terjadi saat melakukan


tindakan histerektomi. Perlukaan dapat terjadi saat pensisipan trokar
khususnya pada area suprapubic. 90% kasus perlukaan kandung kemih
terjadi pada dome dan sisanya terjadi pada basis. Hanya 9,2% kasus
yang tidak terdiagnosa pada intraoperative, berbeda dengan perlukaan
ureter; sehingga angka morbiditasnya lebih rendah. Pasein yang tidak
terdiagnosis saat intraoperative akan mengeluhkan perut yang tidak
nyaman dan oliguria.

5. Perlukaan pada Dinding Pembuluh Darah Abdomen

Insidensi perlukaan ini 0,3% - 0,5%. Komplikasi vaskular yang sering


terjadi ialah perlukaan pada pembuluh darah epigastric inferior.
Tetesan darah yang muncul di daerah operasi dapat menunjukkan
adanya perdarahan intraoperative. Hematoma dan abses karena infeksi
54

akan menjadi komplikasi lanjutan apabila perdarahan tidak segera


ditangani. Transiluminasi dinding perut anterior, penyisipan trokar
lateral dari otot rektus, dan penggunaan trokar kecil di port lateral
dapat membantu menghindari cedera vaskular. Ini adalah praktik yang
baik untuk memeriksa semua situs trokar sekunder untuk pendarahan
aktif sebelum laparoskopi akhirnya ditarik.

6. Hernia

Hernia merupakan komplikasi yang dapat dicegah dengan insidensi


0,17% - 0,2%. Obstruksi usus, peningkatan bising usus, diare, mual
dan muntah merupakan penanda hernia.

7. Komplikasi Pneumoperitoneum

a. Emfisema subkutan, terdapatnya CO2 pada subkutan dengan


insidensi sebesar 2,3% tetapi tidak menimbulkan gejala klinis dan
akan hilang dengan sendirinya.

b. Emfisema Preperitoneal, disebabkan oleh tidak tercukupinya


preperiotenal terutama pada pasien obesitas yang mana jarum
Veress tidak dapat mencapai kavitas peritoneal.

c. Pnemomediatinum, disebabkan oleh perpindahan gas


preperiotoneal ke mediastinum. Pada kondisi defek diafragma
kongenital atau perlukaan diafragma intraoperative dapat terjadi
pnemothoraks. Inhalasi O2 100% dan penggunaan pipa thoraks
harus dilakukan setelah mengeluarkan CO2 dari kavitas peritoneal.

8. Emboli Gas

Komplikasi emboli gas merupakan komplikasi yang jarang namun


mengancam jiwa. Emboli gas disebabkan masukanya CO2 melalui
jarum Veress ke vena yang berukuran besar. Tanda dini emboli gas
adalah penurunan konsentrasi karbon dioksida pasang surut, karena
55

berkurangnya aliran darah ke paru-paru. Ciri indikatif meliputi


penurunan peredaran darah tiba-tiba, sianosis, dan peningkatan
tekanan vena jugularis.

9. Nyeri Bahu Pasca Operasi

Nyeri bahu yang timbul dirasakan melalui nervus phrenicus yang


diakibatkan oleh iritasi diafragma.

10. Komplikasi Terkait Anesthesi dan Posisi Pasien

a. Cedera pada Nervus, dapat terjadi secara sementara yang


disebabkan oleh posisi pasien yang tidak tepat yang mempengaruhi
plexus brachialis, nervus peroneal dan nervus saphenous.

b. Aritmia, sama seperti tindakan operasi lainnya, aritmia seperti


bradikardi, takikardi, ventricular takikardi, dan cardiac arrest dapat
terjadi terkait adanya anesthesia yang diberikan pada pasien.

11. Komplikasi Lainnya

a. Thrombosis Vena, dapat dikarenakan karena waktu operasi yang


lama dan Dan efek pembatas tekanan intraperitoneal pada
pembuluh darah balik dapat menyebabkan emboli vena.

b. Port-Site Metastasis
Tingkat port-site metastasis pada pasien dengan keganasan
ginekologis dalah 1,1% sampai 2,3%. Faktor risiko yang dapat
memicu port-site metastasis ialah penyakit agresif,
pneumoperitoneum dan berkurangnya pengaruh system pertahan
tubuh local saat tindakan laparoskopi.
56

2.2 Kerangka Teori

1. Definisi
2. Sejarah
3. Indikasi dan
Kontraindikasi Laparoskopi
4. Instrumen
5. Prosedur
6. komplikasi

1. Usia
2. Indikasi
3. Jenis Tindakan
4. Status paritas
5. Pembiayaan
6. Status pekerjaan
7. Keluhan Utama
8. IMT
9. Kadar Hb
57

Gambar 2.5Kerangka Teori

2.3 Kerangka Konsep

1. Usia
2. Indikasi
3. Jenis Tindakan
4. Status paritas
Pasien dengan Tindakan 5. Pembiayaan
Laparoskopi Juni 2015 – Juni 2017 6. Status pekerjaan
7. Keluhan Utama
di Bagian Obstetri dan Ginekologi 8. IMT
RSUD Raden Mattaher Jambi 9. Kadar Hb
58

Gambaran Pasien dengan Tindakan Laparoskopi Juni 2015 –


Juni 2017 di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden
Mattaher Jambi

Gambar 2.6 Kerangka Teori

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini menggunakan


desain penelitian observasional deskriptif yang secara kuantitatif menggambarkan
pasien dengan tindakan laparoskopi di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat data rekam medis pasien (data
sekunder).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dibagian rekam medik Rumah Sakit Umum


Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi pada bulan Oktober 2017. Adapun
pemilihan tempat ini berdasarkan atas pertimbangan berikut:
59

1. Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi berperan sebagai


rumah sakit pemerintah sekaligus rumah sakit pendidikan, sehingga
rumah sakit ini menjadi rumah sakit rujukan di provinsi Jambi dan
sekitarnya.
2. Belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai gambaran
pasien dengan tindakan laparoskopi pada bagian obstetri dan
ginekologi di RSUD Raden Mattaher Jambi.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel penelitian ini adalah semua wanita yang telah dilakukan
tindakan laparoskopi di RSUD Raden Mattaher periode Juni 2015 – Juni 2017.
Sampel dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang
memiliki kriteria eksklusi tidak diikutkan dalam penelitian ini.

3.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi yang digunakan untuk memperoleh sampel pada penelitian ini
adalah pasien dibagian obstetri dan ginekologi RSUD Raden Mattaher Jambi
periode Juni 2015 – Juni 2017 yang diberi tindakan laparoskopi.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi yang digunakan untuk mengeluarkan sampel pada penelitian


ini, yaitu pasien yang tidak memiliki rekam medis yang lengkap (indikasi, jenis
tindakan, usia, pembiayaan, pekerjaan, berat badan, tinggi badan, riwayat
persalinan, keluhan utama dan hasil pemeriksaan penunjang.)

3.5 Cara Pengambilan Sampel


60

Data yang diambil Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang diperoleh dari rekam medis dan bangsal kebidanan di RSUD
Raden Mattaher Jambi periode Juni 2015-Juni 2017 yang diambil secara total
sampling dimana sampel tersebut diambil seluruhnya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari rekam medis dan bagian instalasi bedah sentral di RSUD Raden
Mattaher Jambi Juni 2015-Juni 2017 kemudian dicatat sesuai dengan variabel
yang akan diteliti, adapun langkah pengambilan penelitian ini adalah:

1. Peneliti mengajukan izin pada direktur RSUD Raden Mattaher


Provinsi Jambi.
2. Setelah mendapatkan izin, peneliti mengamati catatan rekam medis
pasien untuk memilih sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria
sampel.

Isi rekam medis sampel penelitian yang telah dipilih menurut kriteria sampel
dicatat melalui pengisian lembar check list yang sudah disiapkan sesuai dengan
data yang dibutuhkan.

3.7 Definisi Operasional

Variable Definisi Cara ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


operasional Ukur
Usia Usia ulang tahun Data usia Rekam medis Data berupa Ordinal
terakhir pasien dilihat dari pasien yang angka dalam
yang tercatat rekam medis terdapat di tahun dan
dalam rekam pasien. ruang rekam dikelompokkan
medis pasien. medis RSUD berdasarkan
Raden kelompok usia:
Mattaher 1. ≤ 19 tahun
Jambi 2. 20-29 tahun
3. 30-39 tahun
61

4. 40-49 tahun
5. ≥ 50 tahun

Indikasi Penyakit atau Data tingkat Rekam medis Data indikasi Ordinal
Laparoskopi gejala yang pendidikan pasien yang dikelompokkan
timbul sehingga dilihat dari terdapat di menjadi:
dilakukannya rekam medis ruang rekam 1.Kista ovarium
tindakan pasien medis RSUD 2.Kista
laparoskopi. Raden endometriosis
Mattaher 3.Mioma uteri
Jambi. 4.Prolaps uteri
5.Lainnya
Status Status pekerjaan Data status Rekam medis Data status Nominal
Pekerjaan sehari-hari pekerjaan pasien yang pekerjaan
dilihat dari terdapat di dikelompokkan
rekam medis ruang rekam menjadi:
pasien. medis RSUD 1. Bekerja
2. Tidak
Raden
bekerja
Mattaher
Jambi.

Jenis Jenis tindakan Data dilihat Rekam medis Jenis tindakan Ordinal
tindakan laparoskopi yang dari rekam pasien yang dikelompokkan
diberikan pada medis pasien. terdapat di menjadi:
pasien. ruang rekam 1.Laparoskopi
medis RSUD diagnostik
62

Raden 2. Laparoskopi
Mattaher ovarian drilling
Jambi. 3.Kistektomi
laparoskopi
4.Tes Patensi
Tuba
5.Miomektomi
6.Total
Laparoscopic
Assisted
Vaginal
Hysteroscopy
(TLAVH)
7.Lainnya
Indeks Indeks yang Data berat Rekam medis Data indeks Ordinal
Massa digunakan untuk dan tinggi pasien yang massa tubuh
Tubuh menilai status badan dilihat terdapat di dikelompokkan
gizi menurut dari rekam ruang rekam menjadi:
berat badan dan medis pasien medis RSUD 1. < 18,50
kuadrat tinggi kemudian Raden 2. 18,50 – 24,99
(kg/m2) dihitung Mattaher 3. ≥ 25,00-
indeks massa Jambi. 29.99
tubuhnya. 4. ≥ 30
Riwayat Riwayat berapa Data riwayat Rekam medis Data riwayat Ordinal
Paritas kali melahirkan paritas pasien yang paritas
anak dilihat dari terdapat di dikelompokkan
rekam medis ruang rekam menjadi:
pasien. medis RSUD 1. 0 kali
2. 1 kali
Raden
3. 2 kali
Mattaher 4. 3 kali
5. 4 kali
Jambi.
6. ≥ 5 kali
63

Keluhan Keluhan utama Data keluhan Rekam medis Data keluhan Nominal
Utama yang dialami utama dilihat pasien yang utama
oleh pasien dari rekam terdapat di dikelompokkan
dengan tindakan medis pasien ruang rekam menjadi:
laparoskopi medis RSUD 1.Perdarahan
Raden 2.Nyeri
Mattaher 3.Benjolan/pem
Jambi. bengkakakan
4.Infertilitas

Kadar Kadar Data kadar Rekam medis Data kadar Ordinal


Hemoglobin hemoglobin hemoglobin pasien yang hemoglobin
darah pasein dilihat dari terdapat di dikelompokkan
ketika pertama rekam medis ruang medis menjadi:
kali berkunjung pasien RSUD Raden 1.≤ 7,9
ke RSUD Raden Mattaher 2.8,0 – 10,9
Mattaher atau Jambi 3.11,0 – 11,9
sebelum 4.≥ 12,0
dilakukan
tindakan
laparoskopi
Pembiayaan Cara pasien Data dilihat Rekam medis Data Ordinal
membayar dari rekam pasien yang dikelompokkan
tindakan medis pasien terdapat di menjadi:
Laparoskopi ruang medis 1.BPJS
RSUD Raden 2.Umum
Mattaher
Jambi
64

3.8 Metode Pengolahan Data dan Analisa Data

3.8.1 Pengolahan Data

Sebelum dilakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakuakn pengumpulan


data sekunder dengan bantuan lembar check list data yang dibutuhkan.
Selanjutnya dilakukan tahap pengolahan data melalui beberapa tahap berikut:

1. Editing
Pada tahap ini peneliti akan memeriksa hasil dari data sekunder yang
telah dikumpulkan.
2. Coding
Pada tahap ini peneliti melakukan pengkodean data dari variable
penelitian untuk memudahkan dalam pengolahannya.
:
Pada tahap ini peneliti melakukan pengkodean data dari variabel
penelitian untuk memudahkan dalam pengolahannya
3. Entry
Data yang telah didapat dimasukkan dengan teliti dan cermat kedalam
computer melalui program atau perangkat lunak pengolah dan
penganalisis data statistic SPSS.
4. Cleaning
Dalam tahap ini data yang sudah dimasukkan dicek kembali, untuk
melihat apakah ada keselahan seperti pencatatan ganda, salah
pengkodean dan sebagainya, sehingga data siap dianalisis lebih lanjut.

3.8.2 Analisa Data


65

Pada penelitian ini, identifikasi data pasien dengan tindakan laparoskopi akan
dihitung dalam bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi
menggunakan analisis univariat.

3.9 Etika Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menjamin hak-hak pasien dengan cara menjaga
kerahasiaan identitas dan data yang diambil dari rekam medis pasien.

3.10 Keterbatasan Penelitian

Terbatasnya sampel pada penelitian ini yang disebabkan oleh tidak semua
populasi yang tercatat dapat ditemukan rekam medisnya.

3.11 Alur Penelitian

Bangsal Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden


Mattaher Jambi

Rekam Medis (Juni 2015 – Juni Bangsal Obstetri dan Ginekologi


2017) (Juni 2015 – Juni 2017)

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Sampel Penelitian

Analisis Data

Gambaran Pasien dengan Tindakan


Laparoskopi

Gambar 3.1 Alur Penelitian


66

BAB IV

PEMBAHASAN
67

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadisaputra, Wachyu. Perkembangan Laparoskopi Operatif di Indonesia.


Obstet Gynecol. 2014;2(2):65-9
:
Hadisaputra, Wachyu. 2014. Perkembangan Laparoskopi Operatif di
Indonesia. Obstet Gynecol, 2(2):65-9.

2. Anwar M, RP Prabowo, A Baziad, editors. Ilmu Kandungan. Edisi ke-3.


Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2014. hal.550,551
:
Anwar M, RP Prabowo, A Baziad, editors. 2014. Ilmu Kandungan, Edisi
ke-3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal.550,551.

3. Ika Sulaika. Studi Komparasi dan Karakteristik Pada Pasien yang


Dilakukan Tindakan Laparoskopi Atau Laparotomi Atas Indikasi Tumor
Ovarium di RS HAM dari Tahun 2010-2012 (Tesis). Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2014
:
Ika Sulaika. 2014. Studi Komparasi dan Karakteristik Pada Pasien yang
Dilakukan Tindakan Laparoskopi Atau Laparotomi Atas Indikasi Tumor
Ovarium di RS HAM dari Tahun 2010-2012 (Tesis). Medan: Universitas
Sumatera Utara.

4. Buku catatan pelaporan Instalasi Bedah Sentral dibagian OK RSUD Raden


Mattaher Jambi: 2015-2017

5. Cunningham F G, Leveno K J, BLOOM S L, Hauth J C, Gilstrap


LC,Wenstrom K D, Williams Obstetri and Gynecology 22nd Edition,2008:
Chapt 1-7.
:
Cunningham F G, Leveno K J, BLOOM S L, Hauth J C, Gilstrap
LC,Wenstrom K D. 2008. Williams Obstetri and Gynecology ,Edisi ke-22,
Chapt 1-7.
68

6. Prof.dr.Manuaba Gde Bagus Ida, Sp.OG. Dasar-Dasar Teknik Operasi


Ginekologi. Cetakan ke-1. Jakarta: EGC;2005.hal.500
:
Prof.dr.Manuaba Gde Bagus Ida, Sp.OG. 2005. Dasar-Dasar Teknik
Operasi Ginekologi, Cetakan ke-1. Jakarta: EGC, hal.500.

7. Spanner S, Garth Loren. A Brief History of Endoscopy, Laparoscopy and


Laparoscopic Surgery. Obstet Gynecol. 1997; 7(6):369-72
:
Spanner S, Garth Loren. 1997. A Brief History of Endoscopy, Laparoscopy
and Laparoscopic Surgery. Obstet Gynecol, 7(6):369-72

8. Darwish, Atef, editor. Advanced Gynecologic Endoscopy. Kroasia:


InTech;2011.
:
Darwish, Atef, editor. 2011. Advanced Gynecologic Endoscopy. Kroasia:
InTech.

9. Mencaglia L, Luca Minelli, Arnaud. Wattiez. Manual of Gynecological


Laparoscopic Surgery. Edisi ke-2. Jerman: EndoPress;2013
:
Mencaglia L, Luca Minelli, Arnaud. Wattiez. 2013. Manual of
Gynecological Laparoscopic Surgery, Edisi ke-2. Jerman: EndoPress.

10. Wetter, Paul, editor. Prevention and Management of Laparoendoscopic


Surgical Complications. Edisi ke-3. Miami: 2012
:
Wetter, Paul, editor. 2012. Prevention and Management of
Laparoendoscopic Surgical Complications, Edisi ke-3. Miami.

Anda mungkin juga menyukai