Sebagai seorang manusia utuh yang hidup dalam masyarakat khususnya di Kota
Bandung, saya mengalami banyak peristiwa dimana saya melihat dan mendengar
reaksi masyarakat terhadap kaum difabel di tempat apapun seperti di tempat umum,
dan di sekolah. Reaksi yang mereka buat beragam, ada yang tersenyum sopan pada
mereka, ada juga yang hanya melirik, dan ada diantara mereka yang hanya diam saja
bahkan kaget ketika melihat kaum difabel. Pada akhirnya jika saya melihat raut wajah
masyarakat yang tersenyum, melirik, kaget, dan yang hanya diam saja, mereka akan
mengerutkan alis mata mereka atau melihat kaum-kaum difabel dengan rasa ingin
tahu di pikiran mereka dan mungkin menganggap kaum difabel “tidak normal” atau
“aneh”.
Pada hari ini saya bertatapan langsung dengan salah satu penyandang
tunarungu dan saya merasa takjub karena mereka berhasil menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman dan globalisasi (dengan teknologi yang semakin canggih dan
kemampuan indra yang diperlukan untuk merasakannya) meskipun dengan
ketidakmampuan mereka dalam pendengaran. Namun, di era globalisasi dan
perkembangan teknologi ini ,kaum tunarungu (dan kaum ketidakmampuan lainnya)
masih belum mendapatkan fasilitas dan hak yang sama seperti layaknya manusia utuh.
Fasilitas seperti jalan miring untuk kaum pemakai kursi roda, ataupun lampu lalu lintas
yang sering mati yang membuat kaum tunarungu bingung untuk bertindak di jalan
raya. Saya juga tersadar akan betapa susahnya kaum difabel dalam mendapatkan
perkerjaan, dan susahnya kaum difabel muda untuk masuk dalam sekolah umum
sehingga pada akhirnya bersekolah di SLB (sekolah luar biasa). Saya rasa semua
hambatan yang dialami oleh kaum difabel berasal dari stereotip “tidak normal” yang
dibuat oleh masyarakat, oleh sebab itu sebagai calon dokter yang akan terjun dalam
masyarakat kita harus tahu cara untuk mengerti mereka secara sepenuhnya agar
setidaknya, walaupun mereka kurang diterima dalam masyarakat, mereka merasa
nyaman berada di sekitar kita.