A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi Penywkit
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah
hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
2. Manifestasi Klinis
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor kemungkinan penyebab
antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase
diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel
prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya
akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan
berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor kompleks. Kemudian masuk ke
inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi
protiferasi sel (Hardjowidjoto, 2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel yang telah mati
tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan didegradasi oleh enzim lisosom. Hal ini,
menyebabkan pertambahan massa prostat.
4. Patofisiologi
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik. menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan
terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Wim de jong, 2005).
5. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal examination) atau
colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas atas
masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100
ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Pemeriksaan Diagnostik
7. Penatalaksanaan Medik
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenai
masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial da
n lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
1). Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama
, suku bangsa /
ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Je
nis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tah
un dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I,
1991 : 1743 ).
2). Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah
nyeri yang berhubungan dengan spasme buli - buli. Pada saat mengkaji k
eluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringan
kan nyeri ( provokative / paliative
), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity
) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
3). Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urin
ari Tract Symptoms ( LUTS
) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling,
terasa ada sisa setelah selesai miksi,
urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-
hal yang dapat menimbulkan keluhan dan
ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.
4). Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan pe
nyakit sekarang perlu ditanyakan .
Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi
Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya peny
ulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya
riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
5). Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hi
pertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
6). Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap
dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
7). Pola – pola fungsi kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama
24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli
memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter (Marilynn.
E.D, 2000 : 683).
b). Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum se
belum flatus .
c). Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin d
apat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontin
ensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
d). Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan t
erpasang traksi kateter selama 6
24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh flek
si selama traksi masih diperlukan.
e). Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f). Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan
Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.
g). Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawata
n dan komplikasi pasca TURP.
h). Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempe
ngaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan m
asyarakat.
i). Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd (
Sunaryo, H, 1999 : 36
j). Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP. Gali
adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut
k). Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadah
nya .
8). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
a). Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bil
a terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam
) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil
interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam
sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
b). Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan perna
pasan kecuali bila dengan konsentrasi
tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
c). Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun
pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan
observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui
masukan dan haluaran.
d). Sistem neurologi
Pada daerah kaudaL akan mengalami kelumpuhan
(relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari
, 1989 : 40).
e). Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989
: 40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
f). Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .
Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah.
Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, teras
a ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo,
H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi.
Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
g). Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien.
Pada paha yang direkatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD.
dr. Soetomo, 1997 : 21).
9). Pemeriksaan penunjang
a). Laboratorik
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar
hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan
perlu di periksa ulang bila terjadi
penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga
perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat.
Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP.
Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah (
Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
b). Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan
setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat,
dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase
cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma
jaringan, insisi bedah
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi berhubungan dengan
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada.