Anda di halaman 1dari 5

PERNIKAHAN

1. Pengertian dan Tujuan

Nikah berasal dari bahasa arab, yaitu ( ‫) النكاح‬. Dalam Al-Qur’an dan Hadist pernikahan
disebut dengan kata an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di
atas, menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh.

Ada beberapa definisi nikah menurut para ahli fikih, yaitu

 Menurut ulama Hanafiyah


Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapat kesenangan.
 Menurut ulama Asy-Syafi’iyah
Nikah adalah akad yang mengandung untuk memiliki kesenangan (wathi’) disertai
lafadz nikah, kawin atau semakna.
 Menurut ulama Malikiyah
Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapat kesenangan dengan sesama
manusia.
 Menurut ulama Hanabilah
Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapat manfaat
bersenang-senang.

Dari empat mazhab di atas, pada umumya memiliki makna yang sama mengenai pengertian
nikah, yaitu akad yang disengaja dengan di awali lafadz nikah untuk mendapat kesenangan.

Menurut Azzam dan Hawwas (2011:39-43), tujuan menikah tidaklah hanya sekedar pada
pemenuhan hawa nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan
aspek sosial, psikologi, dan agama. Pernikahan dalam islam merupakan sebuah fitrah setiap
manusia bukan semata-mata untuk mencari kesenangan tetapi pernikahan memiliki tujuan
yang lebih besar agar bisa menjaga amanat dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap diri
sendiri dan orang yang dinikahi untuk menyempurnakan separuh agamanya.

Rasulullah SAW bersabda

“Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah
kepada Allah SWT untuk separuh sisanya” (HR. Baihaqi).

Sebuah pernikahan bertujuan agar tercipta sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa
rahmah. Dengan terciptanya sebuah keluarga yang bertakwa kepada Allah sehingga dapat
mengantarkan ke Surganya Allah SWT. Sebagaimana firman Allah

“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21).
Selain itu, nikah sebagai pengontrol hawa nafsu, karena nikah menyalurkan nafsu manusia
dengan cara yang benar. Nikah dapat menjaga diri manusia dan menjauhkan dari pelanggaran
yang di haramkan oleh agama, sebab nikah memperbolehkan masing-masing pasangan
melakukan hajat biologisnya dengan halal dan mubah. (Hanafi, 2014:87).

Sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

“wahai para pemuda barang siapa di antara kalian ada kempuan biaya nikah, maka nikahlah.
Sesungguhnya ia lebih memejamkan pandangan mata dan lebih memelihara faraj (alat
kelamin). Barang siapa yang tidak mampu hendaknya berpuasalah, sesungguhnya ia sebagai
perisai baginya.”

2. Asas Pernikahan
 Pernikahan Hukumnya Wajib
Bagi orang yang sudah mampu untuk menikah, baik secara fisik, metal dan materi
sedangkan dirinya takut tidak dapat menahan hawa nafsunya sehingga
mendorongnya untuk melakukan zinah, maka wajib hukumnya untuk menikah.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang sudah mampu menanggung
nafkah, hendaknya ia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu,
hendaknya ia bepuasa. Sebab, itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
 Pernikahan Hukumya Sunnah
Bagi orang yang sudah mampu menikah, tetapi nafsunya belum terlalu mendesak
dan tidak mendorongnya melakukan perbuatan zinah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.................................................................
 Pernikahan Hukumnya Makruh
Bagi orang yang secara materi belum mampu untuk menafkahi calon istrinya dan
memiliki syahwat yang lemah.
Rasullah SAW bersabda...........................................................................
 Pernikahan Hukumnya Haram
Bagi orang yang tidak mampu menafkahi calon istrinya secara lahir dan batin.
Rasulullah SAW bersabda.........................................................................
 Pernikahan Hukumnya Mubah
Bagi orang yang berada di posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mewajibkan
untuk menikah dengan hal-hal yang melarang untuk menikah.

3. Kriteria Pendamping Hidup dan Ikhtiar Mencarinya


a) Kriteria Ideal Pendamping Hidup

Remaja atau orang dewasa memilih pendamping hidup di dasari sejumlah pertimbangan
atau variabel tertentu. Pada umumya orang-orang cenderung memilih kekayaan, kedudukan,
atau fisik rupawan sebagai prioritas utama dalam menentukan pendamping hidup mereka.
Pandangan masyarakat ini wajar, sebab umumnya tiga daknya saat hidup di dunia. Namun
cara pandangan materialistik untuk meraih kebahagiaan pernikahan ini ditantang oleh agama
islam. Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa yang kawin dengan perempuan karena hartanya, maka Allah akan jadikan
fakir. Barang siapa kawin dengan perempuan karena keturunannya, maka Allah akan
menghinakannya. Tetapi barang siapa kawin dengan tujuan agar lebih dapat menundukkan
pandangannya, membentengi nafsunya atau untuk menyambung tali persaudaraan, maka
Allah akan memberikan barokah kepadanya dengan perempuan itudan kepada si perempuan
juga diberikan barokah karenanya” (HR.Daraquthni).

Dalam ajaran islam, variabel yang pertama dan di utamakan adalah agama yang satu
paket dengan akhlak yang baik akan membawa ketengan dan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat bagi pasangan dan anak-anaknya. (Hanafi, 2014:88).

Oleh sebab itu, seorang laki-laki yang ingin mencari pasangan hidup tidak layak
menjadikan kecantikan, kedudukan dan kekayaan sebagai syarat utama untuk memilih
pasangan. Namun yang lebih utama dalah agama dan akhlaknya, kemudian kecantikan,
kedudukan dan kekayaan sebagai syarat pendukungnya. Sebagaimana Rasullah SAW
bersabda:

“Seorang perempuan dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaanya, kedudukannya,
kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi perempuan yang taat
beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung” (Muttafaq’alaih).

b) Ragam Ikhtiar Mencari Pendamping Hidup

Menurut Hanafi (2014) Ada beragam cara yang dapat dilakukan seseorang untuk
mendapatkan pendamping hidup. Umumnya cara yang ditempuh adalah melalui perjodohan,
pacaran, persahabatan, ta’aruf, cinta pada pandangan pertama, dan melalui ilham atau intusi.

Dalam islam, cara mencari jodoh yang disyariatkan adalah ta’aruf. Secara bahasa
ta’aruf adalah perkenalan. Dalam istilah agama, ta’aruf adalah proses pertemuan/perkenalan
seorang pria dn wanita dalam suasana terhormat ditemanipihak ketiga dengan tujuan mencari
pendamping hidup. Dalam proses ta’aruf pihak pria dan wanita dipersilahkan saling
menanyakan berbagai halyang ingin diketahui, terutama terkait dengan keinginan masing-
masing nanti saat menjalani pernikahan. Agar tidak menimbulkan kekecewaan di lain hari,
masing-masing pihak diharuskan berkata jujur.

Saat ta’aruf, masing-masing pihak diperbolehkan untuk melihat wajah calon


pendamping dengan seksama. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan kemantapan pada
mereka. Di samping itu agar masing-masing pihak memperoleh informasi yang lengkap an
benar tentang calon pendamping , mereaka dapat bertanya kepada pihak ketiga atau orang
yang mengenal dia. Bila kedua belah pihak mersa ada kecocokan, maka perlu segera
ditentukan waktu pernikahan untuk menghindari fitnah dan dosa. Namun bila tidak ada
kecocokan, mereka bisa menghenikan proses ta’aruf dengan cara yang baik.
Utamanya yang siap menikah hendaklah berhati-hati saat menentukan cara
menemukan jodoh. Pernikahan adalah wahana suci untuk melaksanakan perintah Allah. Oleh
karena itu, sangat penting di awali dengan cara yang baik dan benar, sebab hal ini merupakan
bekal positif untuk mengarungi hidup berumah tangga. Metode yang jelas halal adalah adalah
ta’aruf. Adapun pacaran tidak perlu dipilih karena jelas haram menurut Islam. Adapun jika
memilih metode lain, hendaknya berhati-hati agar tidak melanggar aturan agama.

4. Meraih Keluarga Berkah Dalam Bingkai Pernikahan

Dalam bahas Arab, Barokah atau berkah bermakna tetapnya sesuatu, menurut Hanafi (2014)
barokah bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu. Dalam al-Quran dan Hadits,
berkah adalah langgengnya kebaikan, atau bertambahnya kebaikan.

Sebuah kenikmatan dipandang berkah jika meningkatkan kebaikan orang yang


memiliki nikmat tersebut. Karena berkah artinya bertambahnya kebaikan, maka berkah tidak
identik dengan banyak atau melimpah, artinya sesuatu yang berkah bisa banyak melimpah
bisa juga tidak, yang penting kenikmatan itu bisa membuat seseorang semakin dekat dengan
Allah SWT (Hasyim, 2012).

a) Ciri-Ciri Keluarga Berkah

Berdasrkan makna berkah diatas, dalam konteks perkawinan, keluarga berkah adalah
keluarga yang baik, yang membawa kebaikan bagi diri mereka dan orang lain. Kebaikan yang
ada pada keluarga tersebut terus bertambah seiring berjalannya waktu. Merujuk pada al-
Quran Surat Ar-Rum:30, keluaga berkah adalah keluarga yang sakinah (tenang, tentram),
mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (diliputi kasih). Intinya adalah keluarga berkah
membuat semua anggotanya merasa nyaman, tenang, dan bahagia.

Menurut Kuesnaeni (2006), keluarga berkah juga ditandai dengan makin meningkatnya
kualitas keimanan para anggota keluarga tersebut. Hal ini berarti keluarga berkah menjadikan
syariat islam sebagai pedoman hidup dan ridho Allah sebagai tujuan. Menurut Hanafi (2014)
keluarga berkah adalah kualitas pribadi-pribadi dalam keluarga tersebut berkembang menuju
kebaikan, sikap semakin matang, bertambah bijak, wawasan bertambah, akhalak makin baik,
serta riski dan kesehatan yang membawa kebaikan, dan anak-anak yang sholeh atau sholehah.

b) Upaya Meraih Keluarga Berkah

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk mewujudkan keluarga yang
berkah. Hal-hal tersebut adalah:

a. Sebelum Menikah
 Menata niat menikah, yaitu meraih ridho Allah
 Tidak berpacaran. Mencari pendampng hidup melalui cara yang diperbolehkan
ajaran Islam, misalnya ta’aruf
 Memilih calon pendamping hidup yang sesuai dengan pedoman Islam
 Menyiapkan diri secara fisik dan psikis, termasuk ilmu berumah tangga
 Bermusyawarah dengan orang tua agar memperoleh restu dan dukungan
b. Saat Menikah
 Menjaga agar niat tetap lurus, yakni menikah untuk meraih ridho Allah
 Meninta didoakan orang tua dan orang-orang sholeh
 Memenuhi syarat dan rukun pernikahan agar syah menurut agama.
c. Saat Menjalani Kehidupan Rumah Tangga
 Mempertahankan motivasi menjalani pernikahan untuk beribadah
 Menjadikan ridho Allah sebagai pedoman dalamberumah tangga
 Nafkah yang halal, dan diupayakan diperoleh di negaranya sendiri
 Suami dan istri menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik. Tugas pokok
suami adalah mencari nafkah, dan tugas istri adalah mengurus rumah tangga
 Memperlakukan pasangan dengan ma’ruf (baik)
 Saling membantu dalam mengerjakan urusan rumah tangga. Istri membantu
suami, dan sebaliknya suami juga membantu istri
 Bersikap toleran pada pasangan terkait urusan yang tidak melanggar agama.
 Membiasakan diri bersikap sabar dan syukur
 Saling terbuka dalam berbagai urusan.
 Berbuat adil dan bijak dalam : berbagai peran, memberikan penilaian, menerapkan
aturan, memberikan penghargaan dan sanksi.
 Bermusyawarah dalam memutusakan permaslahan atau urusan.
(Kusnaeni, 2006 dan Takariawan, 2006)

Anda mungkin juga menyukai