Anda di halaman 1dari 23

KOMUNIKASI KEPADA GANGGUAN JIWA

NAMA KELOMPOK : NISRINA NUR NAFILA (005)

ALLYA DANDY KARUNIA (015)

AGNES DWI ULFA ARILIN (023)

ALFIRA SALSABILA (025)

NUR KHOFIFAH DIANA (038)

DANANG TRIYANTO (201510300512022)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN 2019

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Komunikasi
Keperawatan ini tepat pada waktunya. Kami menyadari sepenuhnya masih banyak
terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik dari isi
maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini di masa
yang akan datang. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas segala bantuan semua pihak sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Malang, 17 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................
C. Tujuan...........................................................................................................
D. Manfaat.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
A. Pengertian Komunikasi.................................................................................
B. Komunikasi Terapeutik.................................................................................
C. Gangguan Jiwa..............................................................................................
D. Faktor Penyebab Gangguan Jiwa..................................................................
E. Gejala Gangguan Jiwa..................................................................................
F. Langkah Komunikasi Kepada Gangguan jiwa..............................................
BAB III PENUTUP....................................................................................................
A. KESIMPULAN.............................................................................................
B. SARAN.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan setiap individu datang silih berganti dan menguji setiap


mental manusia. Ketika individu tersebut tidak kuat dalam menerima segala hal
yang ada di hidupnya baik secara fisik maupun mental, tidak dapat mengelola
stres kehidupan yang wajar, maka individu tersebut bisa mengalami gangguan
kesehatan pada jiwanya. Gangguan jiwa sendiri menurut Damaiyanti (2010)
adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang
berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Suatu perubahan pada
fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan/atau hambatan
dalam melaksanakan peran sosial. Hambatan dalam melaksanakan peran sosial
tersebut salah satunya adalah dalam melaksanakan komunikasi atau interaksi
dengan masyarakat sekitar sehingga efek yang ditimbulkan adalah adanya
pandangan yang berbeda atau dalam hal ini biasa disebut dengan intimidasi
karena dianggap berbeda. Penanganan bagi individu yang mengalami
gangguan kesehatan pada jiwanya sangat diperlukan dengan tindakan yang
tepat. Penanganan pada individu yang mengalami gangguan kesehatan pada
jiwanya diperlukan agar individu tersebut bisa berinteraksi atau berkomunikasi
secara normal di masyarakat karena pada umumnya terdapat keterbatasan yang
dimiliki individu dengan gangguan kesehatan jiwa dan kembali menjalani
aktivitas normal kesehariannya tanpa adanya intimidasi dari masyarakat. Salah
satu wadah yang memfasilitasi individu tersebut dengan baik adalah rumah
sakit jiwa. Rumah sakit jiwa memiliki fasilitas dalam menunjang individu yang
mengalami gangguan kesehatan jiwa, yaitu rehabilitasi psikososial. Seperti
fasilitas yang dimiliki rumah sakit yang menjadi lokasi penelitian yaitu Rumah
Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, yang berdiri sejak 1 Juli 1882,
dengan nama saat itu Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg. Rumah Sakit Dr.H.
Marzoeki Mahdi Bogor merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional pada
pelayanan kesehatan jiwa, di dalamnya terdapat rehabilitasi psikososial yang
merupakan suatu proses memfasilitasi kesempatan bagi orang-orang yang
mengalami kelemahan, ketidakmampuan, dan keterbatasan akibat gangguan
jiwa, untuk mencapai fungsi yang optimal di dalam komunitas. Dalam
rehabilitasi tersebut masing-masing klien diberikan kesempatan untuk
menggali diri mereka kembali agar bisa menjadi manusia yang berinteraksi
atau berkomunikasi dengan normal dengan masyarakat luas. Dalam proses
terapi salah satu yang penting dan signifikan dalam menunjang kesembuhan
klien adalah dengan cara berkomunikasi langsung antara perawat dengan klien.
Komunikasi ini digunakan sebagai alat penting untuk membina hubungan
terapeutik karena mencakup penyampaian informasi dan pertukaran pikiran
dan perasaan (Kusumo, 2017). Perlu adanya hubungan saling percaya (trust)
yang didasari oleh keterbukaan serta pengertian akan kebutuhan, harapan, dan
kepentingan masing-masing. Ketika hal tersebut sudah tercapai maka klien
akan bercerita atau memberikan keterangan lengkap serta benar mengenai
dirinya, sehingga akan membantu perawat serta dokter dalam mendiagnosis
penyakitnya, yang pada akhirnya akan memberikan penanganan dan
pengobatan yang tepat bagi klien. Berdasarkan hasil pengamatan atau pra
penelitian yang dilaksanakan peneliti pada saat di Rumah Sakit Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor, menunjukkan bahwa komunikasi merupakan hal
penting dalam andil proses penyembuhan klien, dalam hal ini adalah
komunikasi terapeutik itu sendiri, dimana komunikasi terapeutik yang
dijalankan oleh perawat memiliki fase-fase yang sesuai dengan teori yang ada,
namun terdapat perbedaan penerapan antara satu klien dengan klien lainnya
sesuai dengan situasi dan kondisi klien.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara melakukan komunikasi kepada pasien dengan gangguan


jiwa?
2. Gangguan apa saja yang dialami oleh pasien penderita gangguan jiwa?
3. Apa saja penyebab seseorang mengalami gangguan jiwa?
C. Tujuan

1. Membantu pasien agar pasien tidak mengalami gangguan stress yang


terlalu berlebih
2. Membantu mengurangi beban yang dialami oleh pasien gangguan jiwa

D. Manfaat

1. Meningkatkan kualitas hubungan antara perawat dan pasien


2. Mengetahui penyebab seseorang mengalami gagguan jiwa
3. Dapat mengetahui apa saja gejala yang timbul akibat gangguan jiwa
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Komunikasi

Menurut Depkes RI tahun 2001, komunikasi adalah suatu proses


menyampaikan pesan yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang
bertujuan untuk menciptakan persamaan pikiran antara pengirim dan penerima
pesan. Menurut Dale Yoder, kata “communication” berasal dari sumber yang
sama seperti kata “common” yang berarti sama, bersama-sama dalam membagi
ide, setiap orang mempunyai pemahaman yang sama. Oleh karena itu,
komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu
dengan yang lainnya. Ada beberapa pengertian komunikasi yang di kemukakan
oleh beberapa para ahli, yaitu:

1. Menurut Edward Depari, komunikasi adalah proses penyampaian gagasan,


harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang – lambang tertentu,
mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada
penerima pesan.
2. Menurut James A.F. Stoner, komunikasi adalah proses dimana seorang
berusaha memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan.
3. Menurut John R. Schemerhom, komunikasi adalah proses antara pribadi
dalam mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi
kepentingan mereka.
4. Menurut Dr. Phill Astrid Susanto, komunikasi adalah proses pengoperan
lambang-lambang yang mengandung arti.
5. Menurut Human Relation of Work, Keith Devis, komunikasi adalah proses
lewatnya informasi dan pengertian seseorang ke orang lain.
6. Menurut Oxtord Dictionary (1956), komunikasi adalah pengiriman atau
tukar menukar informasi, ide atau sebagainya.
Sebagai contoh kegiatan berkomunikasi juga dilakukan antara perawat dan
pasien. Komunikasi merupakan proses yang dilakukan perawat dalam menjaga
kerjasama yang baik dengan pasien dalam memenuhi kebutuhan kesehatan
pasien, maupun dengan tenaga kesehatan yang lain dalam rangka membantu
mengatasi masalah pasien. Proses komunikasi adalah langkah-langkah di
antara seorang sumber dan penerimanya yang menghasilkan transfer dan
pemahaman makna. Pesan tersebut disampaikan dari seorang pengirim kepada
seorang penerima. Komunikasi disandikan dengan cara diubah menjadi suatu
bentuk simbolis dan dialihkan melalui perantara (saluran) kepada penerima,
yang lalu menerjemahkan ulang (membaca sandi ) pesan yang diberikan
pengirim. Jadi di dalam terjadinya suatu proses komunikasi terdapat beberapa
faktor yang penting yaitu:

1. Pengirim pesan (sender) dan isi pesan / materi


Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk
disampaikan kepada seseorang dengan harapan dapat dipahami oleh orang
yang menerima pesan sesuai dengan yang dimaksudkannya. Pesan adalah
informasi yang akan disampaikan atau diekspresikan oleh pengirim pesan.
Pesan dapat verbal atau non verbal dan pesan akan efektif bila diorganisir
secara baik dan jelas.

2. Simbol / isyarat
Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol sehingga
pesannya dapat dipahami oleh orang lain. Sebagai contoh : biasanya
seorang manajer menyampaikan pesan dalam bentuk kata-kata, gerakan
anggota badan (tangan, kepala, mata dan bagian muka lainnya). Tujuan
penyampaian pesan adalah untuk mengajak, membujuk, mengubah sikap,
perilaku atau menunjukkan arah tertentu.

3. Media / penghubung
Adalah alat untuk penyampaian pesan seperti : TV, radio, surat
kabar, papan pengumuman, telepon, dan lainnya. Pemilihan ini dapat
dipengaruhi oleh isi pesan yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan
dan situasi.

4. Mengartikan kode / isyarat


Setelah pesan diterima melalui indera (telinga, mata dan
seterusnya) maka si penerima pesan harus dapat mengartikan simbol /
kode dari pesan tersebut, sehingga dapat dimengerti atau dipahaminya.

5. Penerima pesan
Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan dari
sipengirim meskipun dalam bentuk kode atau isyarat tanpa mengurangi
arti pesan yang dimaksud oleh pengirim

6. Umpan balik (Feedback)


Umpan balik adalah isyarat atau tanggapan yang berisi kesan dari
penerima pesan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Tanpa adanya
umpan balik, seorang pengirim pesan tidak akan tahu dampak pesannya
terhadap si penerima pesan. Sebagai contoh : Umpan balik sangatlah
penting bagi manajer atau pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan
sudah diterima dengan pemahaman yang benar dan tepat.

7. Gangguan
Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan
tetapi mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap
situasi hampir selalu ada hal yang mengganggu kita. Gangguan adalah hal
yang merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah
menafsirkan pesan yang diterimanya.

B. Komunikasi Terapeutik

2.1 Pengertian komunikasi terapeutik

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi khusus yang


dilaksanakan oleh penyelenggara jasa kesehatan dalam hal ini adalah
perawat dan tenaga kesehatan lain yang direncanakan dan berfokus pada
kesembuhan pasien. Hubungan antara perawat dan pasien yang bersifat
terapeutik karena komunikasi yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki
emosi pasien. Perawat menjadikan dirinya secara terapeutik dengan
berbagai tehnik komunikasi secara optimal dengan tujuan mengubah
perilaku pasien ke arah yang positif. Komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu
penyembuhan atau pemulihan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan
komunikasi professional bagi perawat (Indrawati, 2003: 11).

2.2 Tahapan komunikasi terapeutik

Tahapan komunikasi interpersonal (terapeutik) yaitu, prainteraksi,


perkenalan, orientasi, tahap kerja, dan terminasi.

1. Prainteraksi

Prainteraksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan


berkomunikasi dengan pasien. Perawat diharapkan tidak memiliki
prasagka buruk kepada pasien, karena akan menggangu dalam membina
hubungan dan saling percaya.

2. Perkenalan

Pada tahap ini, perawat dan pasien mulai mengembangkan


hubungan komunikasi interpersonal yaitu, dengan memberikan salam,
senyum, memberikan keramah-tamahan kepada pasien, memperkenalkan
diri, menanyakan nama pasien dan menanyakan keluhan pasien, dan lain-
lain.

3. Orientasi

Tujuan tahap orientasi adalah memeriksa keadaan pasien,


menvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan
pasien saat itu, dan mengevaluasi hasil tindakan. Pada tahap ini sangat
diperlukan sentuhan hangat dari perawat dan perasaan simpati dan empati
agar pasien merasa tenang dan merasa dihargai.

4. Tahap kerja.

Perawat memfokuskan arah pembicaraan pada masalah khusus


yaitu tentang keaadan pasien, dan keluhan-keluhan pasien. Selain itu
hendaknya perawat juga melakukan komunikasi interpersonal yaitu,
dengan seringnya berkomunikasi dengan pasien, mendengarkan keluhan
pasien, memberikan semangat dan dorongan kepada pasien, serta
memberikan anjuran kepada pasien untuk makan, minum obat yang
teratur dan istirahat teratur, dengan tujuan adanya penyembuhan.

5. Terminasi

Terminasi merupakan tahap akhir dalam komunikasi interpersonal


dan akhir dari pertemuan antara perawat dengan pasien. Terminasi
terbagi dua yaitu, terminasi sementara dan terminasi akhir.

a. Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan antara perawat


dan pasien, dan sifatnya sementara, karena perawat akan menemui
pasien lagi, apakah satu atau dua jam atau mungkin besok akan
kembali melakukan interaksi.

b. Terminasi akhir, merupakan terminasi yang terjadi jika pasien akan


keluar atau pulang dari rumah sakit. Dalam terminasi akhir ini,
hendaknya perawat tetap memberikan semangat dan mengingatkan
untuk tetap menjaga dan meningkatkan kesehatan pasien. Sehingga
komunikasi interpersonal perawat dan pasien terjalin dengan baik.
Dan pada tahap ini akan terlihat apakah pasien merasa senang dan
puas dengan perlakuan atau pelayanan yang diberikan perawat kepada
pasien.

C. Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang berkaitan
dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih fungsi
penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, gaangguan
tersebut mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga masyarakat
(Maramis, 2010). Gangguan jiwa atau mental illnes adalah keadaan dimana
seseorang mengalami kesultan mengenai persepsinya tentang kehidupan,
hubungan dengan orang lain, dan sikapnya terhadap dirinya sendiri.

Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang sama halnya dengan


gangguan jasmaniah lainnya, tetapi gangguan jiwa bersifat lebih kompleks,
mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, takut hingga tingkat berat berupa
sakit jiwa (Budiono, 2010). Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana
seseorang mengalami gangguan dalam pikiran,perilaku, dan perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia ( UU.RI No.18, 2014).

Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-


manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan
kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis,
genetik, fisis, atau kimiawi. Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres
yang berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap jenis
ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas.

Setiap gangguan jiwa dinamai dengan istilah yang tercantum dalam PPDGJ-IV
(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi IV)
atau DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th
edition with text revision). Kendati demikian, terdapat pula beberapa istilah
yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan gangguan jiwa:

1. Gangguan jiwa psikotik: ditandai hilangnya kemampuan menilai realitas,


ditandai waham (delusi) dan halusinasi, misalnya schizophrenia.
2. Gangguan jiwa neurotik: tanpa ditandai kehilangan kemampuan menilai
realitas, terutama dilandasi konflik intrapsikis atau peristiwa kehidupan
yang menyebabkan kecemasan (ansietas), dengan gejala-gejala obsesi,
fobia, dan kompulsif.
3. Gangguan jiwa fungsional: tanpa kerusakan struktural atau kondisi
biologis yang diketahui dengan jelas sebagai penyebab kinerja yang buruk.
4. Gangguan jiwa organik: ketidakberesan kesehatan disebabkan oleh suatu
penyebab spesifik yang membuahkan perubahan struktural di otak,
biasanya terkait dengan kinerja kognitif, delirium, atau demensia, misalnya
pada penyakit Pick. Istilah ini tidak digunakan dalam DSM-IV-TR karena
ia merangkum pengetian bahwa beberapa gangguan jiwa tidak
mengandung komponen biologis.
5. Gangguan jiwa primer: tanpa penyebab yang diketahui disebut pula
idiopatik atau fungsional.
6. Gangguan jiwa sekunder: diketahui sebagai sutu manifestasi simtomatik
dari suatu gangguan sistemik, medis atau serebral, misalnya delirium yang
disebabkan oleh penyakit infeksi otak.

D. Faktor Penyebab Gangguan Jiwa

Penyebab gangguan jiwa diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Faktor Somatik (Somatogenik),yaitu akibat gangguan pada neuroanatomi,


neurofisiologi,dan nerokimia, termasuk tingkat kematangan dan
perkembangan organik, serta faktorpranatal dan perinatal.

2. Faktor Psikologik (Psikogenik), yaitu keterkaitan interaksi ibu dan anak,


peranan ayah,persaingan antara saudara kandung, hubungan dalam
keluarga,pkerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi,
tingkat perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan
mempengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan
tersebut kurang baik, maka dapat menyebabkan kecemasan, depresi, rasa
malu, dan rasa bersalah yang berlebihan.

3. Faktor Sosial Budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola


mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok
minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan
yang tidak memadai, serta pengaruh mengenai keagamaan.

Sedangkan Menurut Faris tahun 2016 faktor-faktor penyebab gangguan


jiwa diantaranya :

a. Usia

Pada usia menginjak dewasa,dimana pada usia ini merupakan usia


yang produktif, dimana seseorang dituntut untuk menghadapi dirinya
sendiri secara mandiri, masalah yang dihadapi juga semakin banyak,
bukan hanya masalah dirinya sendiri tetapi juga harus memikirkan
anggota keluarganya.

b. Tidak bekerja

Tidak mempunyai pekerjaan mengakibatkan seseorang tidak


mempunyai penghasilan dan gagal dalam menunjukan aktualisasi
dirinya, sehingga seseorang tidak bekerja tdak mempunyai kegiatan
dan memungkinkan mengalami harga diri rendah yang berdampak
pada gangguan jiwa.

c. Kepribadian yang tertutup

Seseorang yang memiliki kepribadian tertutup cenferung


menyimpan permasalahannya sendiri sehingga masalah yang dihadapi
akan semakin menumpuk. Hal ini yang membuat seseorang tidak bisa
menyelesaikan permasalahan dan enggan mengungkapkan sehingga
menimbulkan depresi dan mengalami gagguan jiwa.

d. Berhenti meminum obat


Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa seseorang dengan
gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup, terkadang klien
merasa bosan, dan kurang pengetahuan akan menghentikan minum
obat dan merasa sudah sembuh.

e. Pengalaman yang tidak menyenangkan

Pengalaman tidak menyenangkan yang daialami misalnya adanya


aniaya seksual, aniaya fisik, dikucilkan oleh masyarakat atau kejadian
lain akan memicu seseorang mudah mengalami ganguan jiwa

f. Konflik dengan teman atau keluarga

Seseorang yang memepunyai konflik dengan keluarga misalnya


karena harta warisan juga dapat membuat seseorang mengalami
gangguan jiwa. Konflik yang tidak terselesaikan dengan teman atau
keluarga akan memicu stressor yang berlebihan. Apabila seseorang
mengalami stressor yang berlebihan namun mekanisme kopingnya
buruk, maka kemungkinan besar sesorang akan mengalami gangguan
jiwa.

E. Gejala Gangguan Jiwa

Gejala yang muncul pada pasien dengan gangguan jiwa adalah sebagai
berikut.

a. Abnormal

Abnormal berarti menyimpang dari yang normal. Seseuatu


dikatakan abnormal apabila terdapat suat norma, dan seseorang tersebut
telah menyimpang dari batas-batas norma.

b. Gangguan Kesadaran

Kesadaran mrupakan kemampuan individu dalam mengadakan


pembatasan terhadap lingkungannya serta dengan dirinya sendiri (melalui
panca inderanya).apabila kesadaran tersebut baik maka orientasi (waktu,
tempat, dan orang) dan pengertian yang baik serta pemakaian informasi
yang masuk secara efektfif (melalui ingatan dan pertimbangan). Kesadaran
menurun adalah suatu keadaan dengan kemampuan persepsi, perhatian dan
pemikiran yang berkurang secara keseluruhan (secara kwantitatif).
Kesadaran yang berubah atau tidak normal merupakan kemampuan dalam
mengadakan hubungan dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah
terganggu dalam taraf tidak sesuai kenyataan.

c. Gangguan Ingatan

Ingatan berdasarkan tiga proses yaitu, pencatatan atau regristasi


(mencatat atau meregristasi sesuatu pengalaman didalam susunan saraf
pusat); penahanan atau retensi (menyimpan atau menahan catatan tersebut)
; dan pemanggilan kembali atau “recall” (mengigat atau mengeluarkan
kembali catatan itu). Gangguan ingatan terjadi apabila terdapat gangguan
pada salah satu atau lebih dari ketiga usnsur diatas.

d. Gangguan Orientasi

Gangguan orientasi atau Disorientasi timbul sebagai akibat


gangguan kesadarandan dapat menyangkut waktu, tempat, atau orang.
Gangguan Afek dan Emosi. Afek ialah nada perasaan, menyenangkan atau
tidak (seperti kebanggan, kekecewaan, kasih sayang) yang menyertai suatu
pikiran dan biasanya bermanifestasi afek ke luar dan disertai oleh banyak
komponen fisiologik. Emosi adalah manifestasi fek ke luar dan dsertai
oleh banyak komponen fisiologi dan berlansung relatif tidak lama.
Seseorang dikatakan telah mengalami gangguan afek atau emosi yaitu
dapat berupa depresi, kecemasan, eforia, anhedonia, kesepian,
kedangkalan, labil, dan ambivalensi.

e. Gangguan Psikomotor
Psikomotor merupakan gerakan badan yang dipengaruhi oleh
keadaan jiwa, gangguan psikomotor dapat berupa :

i. Hipokinesia atau hipoaktivitas : gerakan atau aktivitas


berkurang

ii. Stupor Katatonic : reaksi terhadap lingkungan sangat


berkurang, gerakan dan aktivitas menjadi sangat lambat.

iii. Katalepsi : mempertahankan posisi tubuh secara kaku posisi


badan tertentu.

iv. Fleksibilitas serea : memetahankan posisi badan yang


dibuat padanya oleh orang lain.

v. Hiperkinesia : pergerakan atau aktivitas yang berlebihan.

vi. Gaduh gelisah katatonik : aktivtas motorik yang


kelihatannya tidak bertujuan, yang berkali-kali dan
seakanakan tidak dipengaruhi oelh rangsangan dari luar

vii. Berisikap aneh : dengan sengaja mengambil sikap atau


posisi badan yang tidak wajar.

viii. Grimas : miik yang aneh dan ebrulang-ulang.

ix. Stereotype : gerakan salah satu anggota badan yang


berkalikali dan tidak bertujuan.

f. Gangguan proses berfikir

Proses berfikir meliputi proses pertimbangan, pemahaman, ingatan


serta penalaran.

g. Gangguan persepsi

h. Gangguan intelegensi
i. Gangguan kepribadian.

F. Langkah Komunikasi kepada Gangguan Jiwa

Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah


teknik khusus, ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara
orang gangguan jiwa dengan gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya
adalah :

1. Penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri,


penderita gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar
(kecuali pasien dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit,
pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll).
2. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri
sedangkan penderita penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.
3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit
fisik bisa saja jiwanya sehat tetapi bisa juga jiwa ikut terganggu.
 

Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar


pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan
terkadang melompat, fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan
menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja kacau balau.

Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan


jiwa:

1. Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik


meminta klien berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat,
pasien halusinasi terkadang menikmati dunianya dan harus sering harus
dialihkan dengan aktivitas fisik.
2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement
3. Pada pasien yang sering menarik diri harus sering dilibatkan dalam
aktivitas atau kegiatan yang bersama – sama ajari dan contohkan cara
berkenalan dan berbincang dengan pasien lain, beri penjelasan manfaat
berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau
berhubungan, dll.

Misalkan contoh : Komunikasi pada  pasien gangguan jiwa dengan


masalah resiko bunuh diri.Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar
(2OOO), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sandiri secara internasional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intense
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung(aktif).atau tidak lansung
(pasif), misalnya tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan
hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

Tindakan keperawatan yang dapat diambil:

1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan pengobat


2. Perkenalan diri dengan pasien
3. Tanggapi pernbicaraan pasien dengan sabar dan tidak menyangkal.
4. Bicara dengan tegas jelas dan jujur
5. Bersifat hangat dan bersahabat
6. Temani pasien saat keinginan mencederai diri meningkat
7. Usahakan pasien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri seperti :
8. Jauhkan pasien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau, silet
gunting tali kaca dan lain-lain).
9. Tempatkan kllen di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat.
10. Awasi pasien secara ketat Setiap saat
Kita sebagai perawat dalam menghadapi pasien yang ingin bunuh diri ,kita
harus  dapat mengekspresikan perasaannya dengan cara :

1. Dengarkan keluhan yang dirasakan


2. Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan dan
keputusasaan
3. Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagimana harapannya
4. Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,
kematian, dan lain-lain
5. Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan
keingnan untuk hidup’

Pasien diusahakan agar dapat meningkatkan harga dirinya dengan cara :

1. Bantu untuk memahami bahwa pasien dapat mengatasi kep


2. Bantu mengdentifikasi Sumbet sumber harapan (misal hubungan atar
sesama, keyakinan, hala-hal untuk diselesaikan).

Pasien  dapat menggunakan koping yang adaptif.

1. Ajarkan untuk mengdentifikasi pengalaman-pengalaman yang


menyenangkan setiap trari (e.g. berjalan-ialan’ membaca buku favorit’
menulis surat dll’)’
2. Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan ia sayang dan
pentingnya  terhadap kehidupan orang lain mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan
3. Beri dorongan untuk berbagai keprihatinan pada orang lain yang
mempunyai suatu masalah atau penyakit yang sama dan telah mempunyai
pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut dengan koping yang
efektif
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Komunikasi adalah suatu proses menyampaikan pesan yang dilakukan


oleh seseorang kepada pihak lain yang bertujuan untuk menciptakan persamaan
pikiran antara pengirim dan penerima pesan. Komunikasi terapeutik adalah
suatu pengalaman bersama antara pengobat dan pasien yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah pasien yang mempengaruhi perilaku pasien.

Secara langsung, gangguan psikologis / jiwa dapat dijelaskan dengan


mengetahui penyebab psikologis itu sendiri. Penyebab tersebut diantara lainnya
seperti stres, pengalaman trauma, dan masalah pada masa kanak-kanak.
Sementara itu, gangguan fisik diakibatkan oleh penyebab fisik yang beraneka
ragam. Dengan mengetahui perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
gangguan psikologis seharusnya disembuhkan dengan sarana psikologi seperti
psikoterapi dan terapi perilaku, sedangkan gangguan fisik disembuhkan secara
medis.

B. Saran

1. Perawat harus bisa menghadapi pasien dengan gangguan fisik dan jiwa
agar terjadi hubungan terapeutik dengan pasien. Walaupun pasien
mempunyai gangguan persepsi sensori, pengobat harus merawat pasien
dengan baik dan mengetahui teknik-teknik komunikasi yang harus lebih
diperhatikan.
2. Perawat mampu menguasai cara-cara berkomunikasi dengan pasien yang
terganggu fisik dan mentalnya lebih efektif karena telah mengetahui
bagaimana terapeutik berkomunikasi dengan pasien gangguan fisik dan
jiwa, serta mengetahui hambatan yang akan ditemui pada saat akan
berkomunikasi.
3. Perawat mampu menerapkan teknik-teknik cara berkomunikasi dengan
terapeutik kepada pasien gangguan jiwa
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.umm.ac.id/41478/3/BAB%20II.pdf

http://pohoseng.com/komunikasi-pada-pasien-gangguan-fisik-dan-jiwa/

http://www.jurnalkommas.com/docs/JURNALfidya.pdf

file:///C:/Users/Ulfa/Downloads/485-1349-1-PB.pdf

Anda mungkin juga menyukai