Anda di halaman 1dari 9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR
PENDAHULUAN
Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau
ekstrakardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai
mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini
dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut. Aritmia dapat dibagi menjadi
kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu
apakah di atrial termasuk AV node dan berkas His ataukah di ventrikel mulai dari infra his
bundle. Selain itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu bradikardia ataupun
takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60-100/menit. Tergantung dari letak fokus,
selain menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dapat terjadi Supraventricular Extra
Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) dimana fokusnya berasal dari
berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari
SVT di mana terjadi proses reentry mechanism di sekitar nodus AV. Pada bab ini akan
membahas tentang aritmia dengan fokus di supraventrikel yang bersifat takikardia.
MEKANISME TAKIARITMIA
Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh
premature beat
. Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium, kalium, kalsium,
khususnya mengenai fungsi kanal ion, sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan
juga
konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi gangguan fungsi pembentukan impuls
(rangsang) dan gangguan perbanyakan (
propagation
) impuls.
Pembentukan rangsang bertambah (
enchanced impulsed formation
) yang dapat
disebaban oleh peningkatan otomatisitas (
enhanced autmaticity
) dan aktivitas pemicu
(
triggered activity
).
21
Peningkatan automatisitas
: Aktivitas
pacemaker
otomatis selain pada nodus SA, juga
didapat pada serabut atrial khusus, serabut
AV junction
dan serabut Purkinje. Sel miokard
pada keadaan normal tidak mempunyai aktivitas sebagai
pacemaker.
Peningkatan
automatisitas serabut
pacemaker
laten karena terjadi depolarisasi parsial pada
resting
membrane.
Terjadi perubahan kecepatan depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase
4 sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang rangsang, akan terjadi aksi
potensial baru sehingga dengan demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut
jantung. Keadaan ini didapat pada: (1) peningkatan katekolamin endogen dan estrogen, (2)
gangguan elektrolit(misal hipokalemia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek mekanis, dan (5)
obat-obatan (misal digitalis).
Aktivitas Pemicu (
triggered activity)
:
Dapat disebabkan oleh
early after depolarization,
yang terjadi pada fase 2 dan fase 3 potensial aksi atau pada
after
depolarisasi terlambat
(
delayed
). Karena itu mekanisme ini terjadi tidak secara spontan, tetapi sudah ada gangguan
elektris jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (
late
), Na dan Ca yang masuk ke dalam sel
meningkat, sehingga terjadi gelombang sesudah (
after
) depolarisasi dan bila mencapai
ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol. Mekanisme ini telah diobservasi terjadi di
atrial, ventrikel dan jaringan
His-Purkinje
di mana kadar katekolamin meningkat,
hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada bradikardia, hipokalemia. Semua keadaan ini
menghasilkan akumulasi
Ca intracellular.
Mekanisme
Reentry:
Teori ini banyak dipakai untuk menerangkan terjadinya takiaritmia
paroksismal menetap (
sustain
). Persyaratan terjadinya mekanisme ini adalah: (1) adanya blok
unidirectional
pada salah satu jalan konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya
jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3) Konduksi perangsangan cukup
lambat, sehingga pada saat rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada dalam
fase refrakter relatif kembali, (4) ada
extra beat
sebagai pemicu terjadinya mekanisme reentri.
Secara matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x masa refrakter.
Perjalanan berulang dari impuls tersebut mengakibatkan timbulnya takiaritmia
menetap. Contoh yang jelas mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (
Wolf Parkinson
White
) di mana terdapat jalan tambahan misal dari atrium ke ventrikel, di samping jalan
normal pada nodus AV-
His-Purkinje.
Perlambatan konduksi terjadi, jika terjadi fibrosis patologis karena jaringan parut
(
scar
) akibat infark miokard. Blok unidireksional terjadi karena perubahan arsitektur jaringan
22
sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan refrakter yang inhomogen misal karena
infark miokard.
SINUS TAKIKARDIA:
Frekuensi nadi melebihi 100/menit dan biasanya bukan merupakan
kelainan jantung primer, tetapi akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam,
kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis, hipoksemia, atau gagal jantung
kongestif.
Pada gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih diikuti oleh gelombang
kompleks QRS. Masase sinus karotis bisa memperlambat takikardia.
Pengobatan:
ditujukan pada penyakit primer. Lain halnya bila terdapat kasus gagal jantung
kongestif, yaitu pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan
inhibitor ACE
atau
Angiotensin Receptor Blocker.
FIBRILASI ATRIAL (FA):
Kelainan ini sering didapat dan dibagi menjadi paroksismal,
persisten dan permanen tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan.
Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam waktu 2x24 jam, disebut
paroksismal.
Bila terus menerus menetap menjadi kronik disebut permanen. Sedangkan persisten
adalah
bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi pada manusia normal terutama karena stres
emosional atau sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau karena peningkatan
tonus vagal. Dapat juga terjadi pada pasien jantung atau paru dengan hipoksia,
hiperkapnia,
atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik. FA persisten sering terdapat pada
pasien jantung, yaitu reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit hipertensi
kardiovaskular, penyakit paru kronik, defek septal atrial, juga pada tirotoksikosis.
Sedangkan
lone
FA bila pasien tidak mengidap penyakit jantung.
Fibrilasi atrial dapat menimbulkan komplikasi yang berkaitan dengan (1) frekuensi ventrikel
yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi, edema paru, angina pectoris dan dapat juga
menyebabkan kardiomiopati yang disebabkan oleh takikadia (
tachycardia-mediated
). (2) Bila
terlalu lambat dapat menimbulkan sinkop. (3) Emboli sistemik yang biasanya terjadi pada
pasien dengan demam reuma jantung dan sebagai penyebab tersering stroke non
hemoragik.
(4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung
output
dengan akibat
terjadi
fatigue
. (5) Rasa khawatir (ansietas) dengan palpasi. Pada gambaran EKG gelombang
23
P tidak terlihat dengan jelas. Respon aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak
teratur
(iregular). Hal ini terjadi karena dari sekian banyak aksi atrial, tetapi hanya sebagian impuls
yang dapat melewati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat daripada aksi
atrial.
Pengobatan:
Penyakit primer harus diobati, seperti tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila
keadaan klinis buruk, misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi.
Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat penyekat beta atau antagonis
kalsium, di mana keduanya memblokade di nodus AV yaitu pada
slow conduction pathway,
dengan memperpanjang masa refrakternya. Pemberian antikoagulan sampai INR minimal
1,8
untuk mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan pengobatan adalah untuk kontrol
rate
yaitu dengan penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis.
Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama sinus dapat diberikan obat-
obatan golongan IC, sotalol, amiodaron untuk mempertahankan iramanya, yaitu sebagai
kontrol ritme.
Penatalaksanaan Farmakologis
Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga disamping penatalaksanaan terhadap
aritmianya
sendiri, seperti gagal jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.
Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek samping, berkenaan dengan sudah
menurunnya fungsi hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan tubuh.
Selain
itu dilihat juga interaksi obat-obat dan juga dihindari polifarmaka.
Obat-obatan aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah: (A). (1) kelompok
kontrol
rate
untuk mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta (kelas II), (2)
golongan antagonis kalsium yaitu verapamil, diltiazem (kelas IV). Disamping itu dapat
dipergunakan juga digitalis. (B) adalah kelompok
rhytme control
untuk mengkonversi dari
AF ke irama sinus, yaitu: (1) Golongan yang memblokade kanal ion Na (kelas IA, IC) yaitu
antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas III yang memperpanjang masa refrakter potensial
aksi dengan menghambat kanal ion K, yaitu amiodaron, sotalol.
Intervensi Invasif
24
Adalah penyebab yang kurang umum juga pada aritmia, berkisar kurang dari 5% dari PSVT.
Denyut jantung biasanya 160-250 denyut/menit tapi dapat juga lambat sekitar 140
denyut/menit. Pada kasus ini, mekanisme yang mendasari meningkatkan automatisitas
daripada reentri.
Automatic atrial tachycardia
biasanya dikaitkan dengan dasar penyakit
jantung. Aritmia ini sulit untuk diobati dan dapat muncul kembali dengan pengukuran
standar
termasuk kardioversi.
PSVT dapat diklasifikasikan menjadi
AV Nodal Dependent
atau
independent
. Strategi ini
terbukti berguna, yang berarti bahwa nodus AV terkait dengan sirkuit reentran. Untuk ritme
ini, manajemen farmakologik didesign untuk mengurangi konduksi melalui nodus AV.
Gambaran Klinis
berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop dengan hipotensi.
Terapi
Pasien tidak stabil
[3]
Pasien dengan PSVT dengan hemodinamik yang tidak stabil membutuhkan sinkronisasi
DC kardioversi dengan segera. Rekomendasi adalah memulai dengan level energi yang
rendah (50 joules [J]) dan lalu menaikan dosis inisial dari 50 J seperti yang diperlukan
sampai ritme sinus dapat pulih. Apabila keadaan klinis mengijinkan, berikan sedasi
intravena.
Hindari kesalahan umum dalam menunda kardioversi darurat untuk dilakukan aktivitas
perawatan yang lainnya. Apabila kardioversi segera tidak tersedia, manuver fisik yang
menyebabkan stimulasi vagal dapat dicoba.
Pasien stabil
[3]
Takikardia yang terkait dengan PSVT biasanya dapat dengan baik ditoleransi ecuali pasien
memiliki dasar penyakit jantung atau disfungsi ventrikel kiri.
1.
Manuver fisik –
pada pasien yang stabil, manuver fisik yang menyebabkan stimulasi
vagal dapat dicoba sebelum pemberian medikasi. Manuver yang menstimulasi saraf
vagal seperti manuver valsava(ekspitasi melawan penutupan glotis), manuver Muller
(inspirasi dalam melawan penutupan glotis),
cold water facial immersion
,
gagging,
dan
tindakan pijat sinus karotikus sebagai manipulasi vagal dapat dicoba untuk
menghentikan PSVT yang disebabkan dari mekanisme dependen nodus AV dan nodus
sinoatrial (SA). Penekanan pada bola mata tidak boleh dilakukan. Lakukan pijatan
sinus karotikus hanya sesudah auskultasi dari bising karotis.
27
2.
Pengobatan farmakologis – apabila stimulasi vagal terkontraindikasi atau tidak
efektif, adenosin dipertimbangkan sebagai terapi medikal lini pertama untuk konversi
dari PSVT. Secara umum, agen farmakologis dengan properti penghambat AV seperti
adenosin, β-bloker,
calsium channel blocker
, dan digoksin digunakan untuk
manajemen akut dan prevensi pada
AV nodal dependent PSVT.
Agen antiaritmik lain
seperti prokainamide dan amiodarone, yang memiliki efek pada level yang bervariasi
dari sistem konduksi jantung digunakan untuk manajemen dan prevensi dari
AV nodal
independent PSVT.
Pengobatan antiaritmik dapat dipertimbangkan untuk konversi
dari PSVT ketika agen penghambat nodus AV tidak berhasil.
Bila tak berhasil dapat diberikan adenosin intravena. Selain itu dapat dilakukan
dengan verapamil atau penyekat beta. Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih
lambat sehingga tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat dilakukan
dengan pancing atrial atau ventrikel melalui intravena. Dalam keadaan hemodinamik
jelek dengan hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk dilakukan
kardioversi.
a.
Adenosin – adenosin adalah nukleosid endogenus yang memperlambat konduksi
melalui nodus AV dan terbukti berhasil untuk menterminasi lebih dari 90% dari
PSVT yang disebabkan oleh mekanisme
AV nodal reentry (AVNRT
dan
AVRT).
Adenosin dapat juga efektif untuk menterminasi
sinus node reentry tachycardia
.
Seringkali adenosin akan menyebabkan blok AV yang sementara, secara singkat
mengekspos aktivitas atrial yang mendasari. Pemberian medikasi dengan efek
yang memanjang dari nodus AV (β-bloker atau
calcium channel blocker
) dapat
mengurangi reduksi yang lebih tetap pada ritme ventrikular.
Pemberian adenosin secara cepat, dan diikuti secepatnya dengan bilasan 20 cc
salin setiap dosisnya. Pemberian dosis inisial intravena adalah 6 mg dalam 1-3
detik. Apabila hal ini tidak menterminasi PSVT, dosis sebesar 12 mg dapat
diberikan dalam 2 menit. Dosis 12 mg dapat diulang satu kali apabila
diperlukan. Efek samping yang umum termasuk kemerahan pada wajah,
hiperventilasi, dispnue, dan nyeri dada. Efek samping ini biasanya sementara
karena pendeknya waktu paruh dari adenosin (kurang dari 5 detik). Peringatan
pada pasien akan gejala ini membantu. Efek dari adenosin diantagoniskan oleh
kafein dan theofilin dan dipotensiasi oleh dipidamol dan karbamazepin. Pasien
dengan transplan jantung dapat sensitif secara berlebihan kepada efek dari
adenosin; apabila dibutuhkan, gunakan dosis yang lebih kecil. Karena
28
adenosin dapat memprovokasi bronkospasme, gunakanlah dengan hati-hati
apabila pemberiannya diberikan pada pasien dengan riwayat penyakit jalan
nafas reaktif.
Adenosin juga dapat diberikan pada pasien yang stabil dengan
takikardia dengan kompleks QRS yang melebar yang dicurigai berasal dari
supraventrikular. Adenosin lebih dipilih daripada
calcium channel blocker
pada pasien dengan hipotensi atau gangguan fungsi jantung dan pada pasien
yang secara konkomitan menerima agen yang memblok β-
adrenergic.
b.
Β
-blocking agents –
β-bloker seperti metoprolol atau esmolol memperlambat
formasi impuls nodus SA dan konduksi lambat melalui nodus AV. Medikasi ini
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit saluran
nafas reaktif yang berat dan CHF.
Metoprolol adalah alternatif dari
calcium channel blocker
dan diberikan secara
intravena dengan dosis 5 mg setiap 5 menit untuk tiga dosis. Esmolol adalah
penyekat β selektif β1 yang kerjanya sangat pendek yang memiliki
keuntungan dari waktu paruh yang singkat (~10 menit) dan onset cepat.
Pemberian dosis
loading
0.5 mg/kg selama satu menit. Hal ini diikuti dengan
infus pemeliharaan 50μg/kg/menit. Apabila respon inadekuat, dosis lain dari
0.5μg/kg/menit dapat diberikan setelah 4 menit dan infus pemeliharaan
ditingkatkan ke 100μg/kg/menit. Ketika denyut jantung dicapai, kurangi infus
pemeliharaan ke 25μg/kg/menit.
c.
Calcium channel blocker
Calcium channel blocker
seperti diltiazem atau verapamil efektif untuk
mengkonversikan PSVT ke ritme sinus. Efikasi dari diltiazem dan verapamil
dalam hal seperti tingkat konversi, kecepatan respon, dan profil keamanan
tampaknya mirip. Medikasi ini menurunkan konduksi nodus SA dan AV dan
menyebabkan perpanjangan dari periode refrraktori nodus AV.
Calcium channel
blocker
juga menurunkan kontraktilitas miokardial dan resistensi vaskular perifer.
Penggunaan
calcium channel blocker
dengan hati-hati pada pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri atau CHF. Hindari medikasi ini pada pasien dengan WCT
dengan asal yang tidak diketahui, ventrikular takikardi (VT), atau takikardia
dengan preeksitasi ventrikular. Hipotensi adalah efek samping yang paling
mengkhawatirkan dari pemberian intravena dan muncul pada 10-15% dari pasien.
29
(1)
Verapamil – dosis inisial dari verapamil adalah 5-10 mg diberikan intravena
selama 1-2 menit. Dosis tambahan 5-10 mg dapat diberikan setiap 15 menit
bila diperlukan sampai efek yang diinginkan dicapai atau total 30 mg telah
diberikan.
(2)
Diltiazem – dosis inisial dari diltiazem adalah 0.25 mg/kg diberikan secara
intravena selama 2 menit (20 mg untuk rata-rata orang dewasa). Apabila
diperlukan, dosis 0.35 mg/kg dapat diberikan dalam 15 menit. Setelah
konversi, infus pemeliharaan dapat dimulai pada 5-10 mg/jam dan dapat
ditingkatkan pada maksimum 15 mg/jam apabila diperlukan.
Pilihan antara β-bloker dan
calcium channel blocker
tergantung pada
multipel faktor, tetapi keduanya tidak boleh diberikan secara intravena untuk
pasien yang sama. Keduanya memiliki onset yang cepat (menit) dan keduanya
harus digunakan dengan hati-hati pada PPOK dan CHF yang berat. Medikasi
yang mana pasien sedang jalankan dan pilihan dokter harus dipertimbangkan.
Pada pasien dengan hipertiroidisme dan penyakit jantung kongenital, β-bloker
adalah pilihan yang terbaik.
d.
Digoksin
Pemberian digoksin meningkatkan tonus vagal sementara mengurangi aktivitas
simpatetik. Sebagai hasilnya, konduksi melalui nodus AV diperlambat. Digoksin
dapat diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0.5 mg. Dosis tambahan dari
0.25 mg dapat diberikan apabila dibutuhkan setiap 4-6 jam, dengan dosis total
tidak melebihi 1.25 mg dalam 24 jam. Keuntungan segera digoksin dikurangi
melalui aksi onsetnya yang lambat. Ketika digunakan dengan kombinasi, digoksin
memungkinkan pemberian agen antiaritmik yang diberikan bersamanya dengan
dosis yang lebih rendah. Hindari digoksin pada pasien dengan AF pada preeksitasi
ventrikular.
e.
Amiodarone
Amiodarone adalah agen antiaritmia kelas III dengan properti penghambat kanal
natrium dan kalium dan penghambat β dan properti penghambat kanal kalsium.
Berdasarkan dari penghambat β dan properti penghambat kanal kalsium,
amiodaron memperlambat konduksi melalui nodus AV lebih dari 10 menit. Hal ini
diikuti dengan infus pemeliharaan 1 mg/menit untuk 6 jam dan kemudian 0.5
mg/menit. Dosis bolus tambahan 150 mg dapat diulangi bila dibutuhkan untuk
PSVT yang resisten atau berulang sampai dengan dosis total harian 2 gram.
30
f.
Prokainamid
Prokainamid adalah agen antiaritmik kelas IA dengan properti penghambat kanal
natrium. Prokainamid akan memperlambat konduksi melalui baik nodus AV, dan
apabila ada
accessory bypass tract.
Prokainamid dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan PSVT refrakter dengan agen penghambat nodal AV. Dosis
loading
yang direkomendasikan dari prokainamid adalah 17 mg/kg diberikan dengan infus
intravena lambat dengan ritme 20-30 mg/menit (1 gram untuk dewasa rata-rata).
Hentikan infus inisial apabila aritmia ditekan, munculnya hipotensi, atau
pelebaran kompleks QRS lebih dari 50% dari durasi normalnya. Setelah aritmia
tertekan, mulailah infus pemeliharaan sekitar 1-4 mg/menit.
NON REENTRANT TACHYCARDIA: MULTIFOCAL ATRIAL TACHYCARDIA (MAT)
Biasanya terjadi karena intoksikasi digitalis atau hipokalemia atau efek teofilin atau obat
adrenergik. Gambaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang P
consecutive
dengan gambaran
berbeda-beda. Interval R-R ireguler.
Pengobatan
dapat diberikan penyekat beta, antagonis kalsium, dan digitalis yang bekerja di
nodus AV untuk menghentikan respons ventrikel.
OBAT ANTIARITMIA
[2]
Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu:
Kelas I
. Yang berfungsi memblokade kanal Na pada membran sel sehingga menutunkan
kecepatan maksimal depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi potensial aksi
baru yang berarti mencegah timbulnya ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya
memblokade kanal Na tersebut, kelas I dibagi menjadi:
Kelas IA.
Kinetik kerjanya
intermediate
, memperpanjang masa repolarisasi potensial aksi.
Menurunkan Vmaks pada semua
heart rate.
Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.
Kelas IB.
Kinetik kerjanya cepat dan memperpendek repolarisasi potensial aksi hanya ringan
saja. Mempunyai efek yang ringan terhadap kasus dengan
heart rate
rendah, tetapi
mempunyai efek besar pada kasus dengan
heart rate
tinggi. Contoh: lidokain, meksiletin,
fenitoin, tokainid.
31

Anda mungkin juga menyukai