Anda di halaman 1dari 9

Selasa, 19 Mei 2009

DEPRESI

A. Depresi

1. Pengertian Depresi
Seseorang dikatakan depresi apabila aktifitas fisiknya menurun, berpikir sangat lamban dan diikuti
oleh perubahan suasana hati. Sesorang yang mengalami depresi memiliki pemikiran yang negatif
terhadap dirinya sendiri, terhadap masa depan, dan ingatan mereka menjadi lemah, serta kesulitan
dalam mengambil keputusan.

Menurut Suryantha Chandra (2002 : 8), depresi adalah suatu bentuk gangguan suasana hati yang
mempengaruhi kepribadian seseorang. Depresi juga merupakan perasaan sinonim dengan perasaan
sedih, murung, kesal, tidak bahagia dan menderita. Individu umumnya menggunakan istilah depresi
untuk merujuk pada keadaan atau suasana yang melibatkan kesedihan, rasa kesal, tidak mempunyai
harga diri, dan tidak bertenaga. Individu yang menderita depresi aktifitas fisiknya menurun, berpikir
sangat lambat, kepercayaan diri menurun, semangat dan minat hilang, kelelahan yang sangat,
insomnia, atau gangguan fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, rasa sesak didada, hingga
keinginan untuk bunuh diri (John & James, 1990 : 2).

Salah satu gejala depresi adalah pikiran dan gerakan motorik yang serba lamban (retardasi
psikomotor), fungsi kognitif (aktifitas mental emosional untuk belajar, mengingat, merencanakan,
mencipta, dan sebagainya) terganggu. Jadi depresi mencakup dua hal kesadaran yaitu menurunnya
aktifitas dan perubahan suasana hati. Perubahan perilaku orang yang depresi berbeda - beda dari yang
ringan sampai pada kesulitan - kesulitan yang mendalam disertai dengan tangisan, ekspresi kesedihan,
tubuh lunglai dan gaya gerak lambat (A. Supratiknya, 1995 : 67).

Menurut Maramis (1998 : 107), depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan
komponen psikologis seperti rasa sedih, rasa tidak berguna, gagal, kehilangan, putus asa, dan
penyesalan yang patologis. Depresi juga disertai dengan komponen somatik seperti anorexia,
konstipasi, tekanan darah dan nadi menurun. Dengan kondisi yang demikian, depresi dapat
menyebabkan individu tidak mampu lagi berfungsi secara wajar dalam hidupnya.

Depresi pada lanjut usia kemungkinan akan sangat berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi pada
diri lanjut usia, pada fase tersebut sering terjadi perubahan fisik dan mental yang mengarah ke
penurunan fungsi. Proses menjadi tua menghadapkan lanjut usia pada salah satu tugas yang paling sulit
dalam perkembangan hidup manusia. Hurlock (1992 : 387 ) mengemukakan beberapa masalah yang
umumnya unik pada lanjut usia, yaitu :
a. Keadaan fisik lemah dan tidak berdaya, sehingga bergantung pada orang lain.
b. Status ekonominya sangat terancam, sehingga cukup beralasan untuk melakukan berbagai
perubahan besar dalam pola hidupnya.
c. Menentukan kondisi fisik yang sesuai dengan perubahan status ekonominya.
d. Mencari teman untuk mengganti pasangan yang meninggal atau cacat.
e. Mengembangkan kegiatan untuk mengisi waktu luang yang semakin bertambah.
f. Belajar untuk memperlakukan anak – anak yang sudah besar sebagai orang dewasa.
g. Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk orang dewasa.
h. Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk orang berusia lanjut dan memiliki
kemampuan untuk menggantikan kegiatan lama yang berat dengan yang lebih cocok.
i. menjadi korban atau dimanfaatkan oleh para penjual obat “buaya darat”, dan kriminalitas karena
tidak sanggup lagi mempertahankan diri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa depresi pada lanjut usia adalah suatu keadaan dimana
individu mengalami gangguan psikologis yang berpengaruh terhadap suasana hati, cara berpikir,
fungsi tubuh dan perilakunya, seperti rasa sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, insomnia, putus
asa dan merasa tidak berharga. Jadi keadaan depresi dapat diketahui dari gejala dan tanda yang penting
yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan individu atau menyebabkan kesedihan yang
mendalam.

2. Aspek Depresi
Beck (dalam Nanik Afida dkk, 2000 :181) menjelaskan depresi memiliki beberapa aspek emosional,
kognitif, motivasional, dan fisik.

a. Aspek yang dimanifestasikan secara emosional, yaitu :


1). Perasaan kesal atau patah hati (dejected mood) ; perasaan ini menggambarkan keadaan sedih,
bosan dan kesepian yang dialami individu. Keadaan ini bervariasi dari kesedihan sesaat hingga
kesedihan yang terus - menerus.
2). Perasaan negatif terhadap diri sendiri ; perasaan ini mungkin berhubungan dengan perasaan sedih
yang dijelaskan di atas, hanya bedanya perasaan ini khusus ditujukan kepada diri sendiri.
3). Hilangnya rasa puas ; maksudnya ialah kehilangan kepuasan atas apa yang dilakukan. Perasaan ini
dapat terjadi pada setiap kegiatan yang dilakukan termasuk hubungan psikososial, seperti aktivitas
yang menuntut adanya suatu tanggung jawab.
4). Hilangnya keterlibatan emosional dalam melakukan pekerjaan atau hubungan dengan orang lain ;
keadaan ini biasanya disertai dengan hilangnya kepuasan diatas. Hal ini dimanifestasikan dalam
aktivitas tertentu, kurangnya perhatian atau rasa keterlibatan emosi terhadap orang lain.
5). Kecenderungan untuk menangis diluar kemauan ; gejala ini banyak dialami oleh penderita depresi,
khususnya wanita. Bahkan mereka yang tidak pernah menangis selama bertahun-tahun dapat
bercucuran air mata atau merasa ingin menangis tetapi tidak dapat menangis.
6). Hilangnya respon terhadap humor ; dalam hal ini penderita tidak kehilangan kemampuan untuk
mempersepsi lelucon, namun kesulitannya terletak pada kemampuan penderita untuk merespon humor
tersebut dengan cara yang wajar. Penderita tidak terhibur, tertawa atau puas apabila mendengar
lelucon.

b. Aspek depresi yang dimanifestasikan secara kognitif, yaitu :


1). Rendahnya evaluasi diri ; hal ini tampak dari bagaimana penderita memandang dirinya. Biasanya
mereka menganggap rendah ciri - ciri yang sebenarnya penting, seperti kemampuan prestasi,
intelegensi, kesehatan, kekuatan, daya tarik, popularitas, dan sumber keuangannya.
2). Citra tubuh yang terdistorsi ; hal ini lebih sering terjadi pada wanita. Mereka merasa dirinya jelek
dan tidak menarik.
3). Harapan yang negatif ; penderita mengharapkan hal - hal yang terburuk dan menolak uasaha terapi
yang dilakukan.
4). Menyalahkan dan mengkritik diri sendiri ; hal ini muncul dalam bentuk anggapan penderita bahwa
dirinya sebagai penyebab segala kesalahan dan cenderung mengkritik dirinya untuk segala
kekurangannya.
5). Keragu-raguan dalam mengambil keputusan ; ini merupakan karakteristik depresi yang biasanya
menjengkelkan orang lain ataupun diri penderita. Penderita sulit untuk mengambil keputusan, memilih
alternatif yang ada, dan mengubah keputusan.

c. Aspek yang dimanifestasikan secara motivasional ; meliputi pengalaman yang disadari penderita,
yaitu tentang usaha, dorongan, dan keinginan. Ciri utamanya adalah sifat regresif motivasi penderita,
penderita tampaknya menarik diri dari aktifitas yang menuntut adanya suatu tanggung jawab, inisiatif
bertindak atau adanya energi yang kuat.

d. Aspek depresi yang muncul sebagai gangguan fisik meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan
tidur, kehilangan libido, dan kelelahan yang sangat.

Menurut Mendels (dalam Meyer, 1984 : 159) mengatakan bahwa individu mengalami depresi jika
individu mengalami gajala-gejala rasa sedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi,
kehilangan konsentrasi, dan kehilangan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan,
berat badan menurun, insomnia, kehilangan libido, dan selalu ingin menghindari orang lain.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek depresi adalah gejala depresi yang dapat
dimanifestasikan secara emosional, kognitif, motivasional, fisik dan pencernaan, raut wajah sedih,
retardasi, dan agitasi. Gejala yang dimanifestasikan secara emosional terdiri dari perasaan kesal atau
patah hati, perasaan negatif terhadap dirinya, hilangnya rasa puas, hilangnya keterlibatan
emosional,kecenderungan untuk menangis diluar kemauan, dan hilangnya respon terhadap humor.
Sedangkan gejala yang dimanifestasikan secara kognitif meliputi sikap menyimpang penderita, baik
terhadap diri, pengalaman, dan masa depannya. Gejala yang dimanifestasikan secara motivasional
meliputi pengalaman yang disadari penderita, yaitu tentang usaha, dorongan, dan keinginan ,
sedangkan gejala yang muncul sebagai gangguan fisik apabila terjadi gangguan saraf otonom dan
hipotalamus.

3. Proses Terjadinya Depresi


Dalam kehidupan individu, ada periode - periode kritis yang berpengaruh terhadap perkembangan
individu selanjutnya. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari figur yang penting bagi individu pada
periode kritis akan mempengaruhi kecenderungan depresi pada masa yang akan datang. Pada saat
individu merespon kembali situasi serupa yaitu kurangnya kasih sayang dan perhatian, maka individu
mempunyai kecenderungan depresi yang lebih tinggi dibandingkan pada orang yang tidak mengalami
keadaan demikian.

Kehidupan manusia ditandai oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Depresi dapat timbul
karena beberapa faktor, baik faktor dari dalam maupun dari luar individu. Menurut Abraham (dalam
Meyer, 1984 : 165), keadaan depresi didominasi oleh perasaan kehilangan, rasa bersalah dan ada
perasaan ambivalen antara cinta dan benci. Ambivalensi dari depresi ada dua, yaitu :
a. Marah dan benci terhadap objek cinta yang hilang kerena persepsi tentang dirinya yang ditinggalkan
atau ditolak.
b. Rasa bersalah karena keyakinannya bahwa dirinya telah gagal merespon secara tepat dan sesuai
terhadap objek cinta yang hilang.

Arienti dam Bemporad (dalam Meyer, 1984 : 249), menyatakan bahwa depresi sering terjadi pada
orang yang mengalami kehilangan anak - anak. Situasi yang menyenangkan akan hilang jika ada
kehadiran anggota keluarga lain seperti adik sehingga perhatian ibu terbagi, karena kematian orang
tua, ditinggalkan oleh orang terdekat dengan individu, dan bisa juga disebabkan oleh larangan yang
mendadak terhadap perilaku anak yang sudah menetap. Individu akan menyerap gaya hidup yang
ditujukan untuk meraih keberhasilan dalam menyenangkan orang yang demikian tersebut. Harapan -
harapan tersebut seringkali melebihi kemampuan individu sehingga terjadi kegagalan, individu akan
mencela dan menyalahkan diri sendiri.

Jadi depresi terjadi karena hilangnya objek eksternal yang bernilai tinggi bagi individu tersebut.
Kehilangan didefinisikan sebagai kehilangan objek cinta utama, yaitu sesorang, sesuatu atau aktifitas.

Depresi menurut teori kognitif disebabkan oleh adanya bentuk-bentuk pemikiran yang tidak logis.
Individu yang depresi cenderung berpikir dengan cara yang menyimpang dan penyimpangan ini
menimbulkan masalah baru dan memperburuk keadaan yang ada serta meningkatkan perputaran yang
memyebabkan depresi. Hal ini dipertegas oleh Ellis (dalam Meyer, 1984 : 187) yang mengatakan
bahwa cara individu memandang dan berpikir tentang dirinya sendiri akan menimbulkan gangguan
tertentu seperti depresi.

Menurut Ferster ( dalam Meyer, 1984 : 167 ) depresi dapat timbul karena salah satu daridua proses
dibawah ini, yaitu :
a. Perubahan lingkungan seperti anggota keluarga atau kehilangan pekerjaan dapat membatasi
(reinforcement) yang diterima individu. Individu yang menyandarkan diri pada satu atau dua
reinforcement akan cenderung mudah terserang depresi karena kurangnya reinforcement.
b. Ditinjau dari perilaku menghindar, depresi muncul pada saat usaha menghindar di lingkungan
menjadi kuat. Dalam kasus ini depresi timbul karena individu ingin menghindari kecemasan. Jika
individu menarik diri dari stimulus yang menyebabkan kecemasan, maka akan kehilangan dengan
kontak reinforcement sosial, dan akan timbul depresi.
Dari beberapa uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa depresi terjadi karena individu kehilangan
objek eksternal yang bernilai tinggi bagi individu tersebut. Kehilangan yang dimaksud adalah
kehilangan objek cinta utama, seperti kehilangan pasangan hidup, anak atau teman. Hal ini
menyebabkan individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik, sehingga tidak menutup
kemungkinan individu akan mudah mengalami gangguan depresi.

4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Depresi


Menurut Birren (1980 : 629) ada beberapa faktor yang menimbulkan depresi, yaitu :
a. Faktor individu yang meliputi :
1). Faktor biologis seperti genetik, proses menua secara biologis, penyakit fisik tertentu.
2). Faktor psikologis seperti kepribadian, proses menua secara psikologis. Pada kepribadian introvert
akan berusaha mewujudkan tuntutan dari dalam dirinya dan keyakinannya, sedangkan kepribadian
ekstrovert membentuk keseimbangan dirinya dengan menyesuaikan keinginan - keinginan dari orang
lain.

b. Faktor kejadian - kejadian hidup yang penting bagi individu


Kehilangan seseorang ataupun sesuatu dapat menimbulkan depresi. Penyakit fisik juga berhubungan
dengan serangan afeksi karena penyakit merupakan ancaman terhadap daya tahan individu, terhadap
kemampuan kerjanya, kemampuan meraih apa yang diinginkannya dan merupakan ancaman terhadap
aktifitas motorik dan perasaan sejahtera individu.

c. Faktor lingkungan yang meliputi faktor sosial, faktor budaya, dan faktor lingkungan fisik.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan depresi,
diantaranya adalah proses menua secara biologis, penyakit fisik, kepribadian, kehilangan orang yang
dicintai, dan faktor lingkungan.

B. Kebutuhan Berafiliasi
1. Pengertian Kebutuhan Afiliasi
Setiap individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi dalam rangka mempertahankan kehidupanya,
baik anak-anak maupun dewasa. Kebutuhan merupakan kekurangan dalam diri individu yang sangat
diperlukan dalam kehidupannya. Kekurangan itu memerlukan adanya pemenuhan untuk kelangsungan
dan kesejahteraan dalam hidupnya. Apabila kekurangan itu tidak terpenuhi, maka individu tersebut
akan mengalami frustasi.

Sebagian besar hasrat dan dorongan pada seseorang adalah saling berhubungan dengan orang lain,
salah satu alasannya adalah karena individu memiliki kebutuhan akan afiliasi, kebutuhan afiliasi
termasuk salah satu motif sosial yaitu motif yang diperoleh dari interaksi interpersonal dan tujuan yang
ingin dicapai mempunyai interaksi dengan orang lain. Individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi
memiliki keinginan untuk memelihara suatu persahabatan, amat peka mengenai hubungannya dengan
orang lain dan lebih senang menaruh perhatian pada hubungan sosialnya (James & Joan, 1990 : 225).
Menurut Adler (A. Supratiknya, 1994: 241), manusia selain sebagai individu yang berusaha memenuhi
kebutuhannya sendiri juga merupakan makhluk sosial. Individu menghubungkan dirinya dengan orang
lain, ikut dalam kerjasama sosial, menempatkan kesajahteraan sosial diatas kepentingan dirinya
sendiri. Minat sosial yang ada pada dirinya terjelma dalam bentuk-bentuk kerjasama, hubungan antar
pribadi dan hubungan sosial, identifikasi dengan kelompok, empati dan sebagainya.

Selain itu menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, 1989 : 35) kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan
untuk mendekatkan diri, bekerjasama atau membalas ajakan orang lain yang berkelompok, membuat
senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan tetap setia kepada seorang kawan.
Dalam kebutuhan afiliasi ini terkandung kepercayaan dan kemauan, baik afeksi dalam bersahabat,
sosial, menyenangkan penuh kasih sayang dan kepercayaan serta bersifat baik. Kebutuhan berafiliasi
berhubungan dengan keinginan individu untuk berteman dan keinginan untuk mempertahankan yang
telah terjalin agar dapat berjalan dengan baik.

Chaplin (1999 : 14) kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan untuk bersama dengan orang lain,
penbenyukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu, kerjasama kooperatif.
Sedangkan menurut Barkowitz (dalam A.S Munandar, 1993 : 77) kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan
yang mendasari aktifitas individu dalam bereaksi dengan orang lain.

Selain itu McClelland (dalam A.S Munandar, 1994 : 77) kebutuhan afiliasi merupakan dorongan untuk
berinteraksi dengan orang lain, dan tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
Sedangkan menurut Mc Adams dan Contantian (dalam Sarlito. W.S, 1994 : 77) kebutuhan afiliasi
berhubungan dengan bagaimana keinginan sesorang untuk bersama dengan orang lain daripada
seorang diri.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan
yang mendorong seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan cara menjalin
persahabatan, bekerjasama dan berada bersama - sama dengan orang lain.

2. Karakteristik Kebutuhan Berafiliasi


Kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan yang timbul dari dalam diri individu untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosilanya. Individu yang kebutuhan berafiliasinya tinggi terdorong untuk
membentuk persahabatan. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi juga memiliki
karakteristik tertentu.

Karakteristik yang ditampilkan oleh individu yang memiliki afiliasi yang kuat dikemukakan oleh
McClelland (1987 : 356) adalah sebagai berikut :
a. Akan tampil lebih baik jika ada insentif afiliasi
Individu butuh akan penghargaan maupun identitas diri, kebutuhan ini akan dapat terpenuhi apabila
individu bersama dengan orang lain, yaitu dengan cara mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya dan
aktif mengikuti kegiatan selain menghasilkan prestasi juga mengandung insentif afiliasi berupa
penghargaan dan identitas diri dari orang lain.

b. Mempertahankan hubungan antar induvidu


Individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi akan belajar hubungan sosial dengan cepat. Lebih peka
dan banyak berkomunikasi dengan orang lain, juga berharap untuk mempertahankan hubungan dengan
orang lain. Mempertahankan hubungan antar individu akan tampak bila individu berusaha untuk
terlibat dengan orang - orang disekitarnya, diantaranya dengan menjalin keakraban dengan orang lain
dan menjaga persahabatan yang telah terbina.

c. Kerjasama dan menghindari persaingan


Individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung setuju dengan pendapat orang lain
yang tidak dikenal, yang tidak sependapat dengannya selama orang tersebut dianggap menarik.
Individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi senang bekerjasama dengan teman - teman dan
bersikap mengalah dari orang lain untuk menghindari situasi yang bersifat kompetitif.

d. Rasa takut akan penolakan


Individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi akan menunjukkan terhadap situasi penolakan, merasa
sendiri bila ditinggalkan secara fisik dan menekankan rasa saling mengasihi. Individu berusaha
bertindak dalam berbagai cara untuk menghindari konflik dan persaingan karena mereka merasa takut
mendapat umpan balik negatif dari orang lain. Agar tidak mendapat umpan balik dari orang lain
dengan cara berbuat baik dengan sesama teman dan mengikuti aturan yang ada.

e. Tingkah laku kepemimpinan dalam kelompok


Karakteristik pemimpin yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi, dalam tugas senang berada
bersama anggota kelompoknya dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurangi perbedaan
antar anggota agar dapat selalu bersama - sama. Selain itu karakteristik pemimpin yang memiliki
kebutuhan afiliasi yang tinggi mampu mengarahkan aktifitas sebuah kelompok yang terorganisasi
menuju pencapaian suatu tujuan. Individu yang memiliki tipe tingkah laku kepemimpinan dapat
membangkitkan semangat anggotanya, memberi pengarahan dan memberi petunjuk kepada anggota
kelompoknya, ikut dalam kegiatan kelompoknya. Tingkah laku kepemimpinan lebih mengutamakan
anggota daripada tugas yang harus diselesaikan oleh kelompoknya dan bersikap adil kepada anggota
kelompoknya tanpa membedakan satu sama lain.

Menurut A.S Munandar (1994 : 77) seseorang yang memiliki dorongan persahabatan yang tinggi akan
memperlihatkan ciri - ciri tingkah laku sebagai berikut:
a. Lebih suka bersama dengan orang lain.
b. Sering berhubungan dengan orang lain.
c. Lebih memperlihatkan segi hubungan pribadi dalam bekerja daripada tugas-tugas yang ada pada
pekerjaan itu.
d. Melakukan pekerjaannya lebih giat apabila bekerjasama dengan orang lain.

Salah satu analisis kebutuhan afiliasi dikemukakan oleh Weiss (dalam Sears, 1985 : 211), yaitu apa
yang disebutnya enam dasar “ketentuan hubungan sosial” yang diberikan berbagai hubungan bagi
individu, yaitu :
a. Kasih sayang, merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat
b. Integrasi sosial, merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikan oleh hubungan
dengan teman, rekan sekerja atau teman seregu. Hubungan semacam ini memungkinkan adanya
persahabatan dan memberikan rasa mempunyai kepada kelompok
c. Harga diri, diperoleh jika ada orang yang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang
berharga dan berkemampuan
d. Rasa persatuan yang dapat dipercaya, melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu kita pada
saat kita membutuhkan
e. Bimbingan, diberikan oleh konselor, orang tua, guru, teman-teman lain yang nasehat dan
informasinya kita harapkan
f. Kesempatan untuk mengasuh, terjadi jika kita bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
Mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa kita dibutuhkan dan penting.

3. Alasan-alasan Individu Memenuhi Kebutuhan Afiliasi


Setiap individu memiliki alasan yang berbeda - beda dalam memenuhi kebutuhan afiliasi. Beberapa
para ahli mengemukakan alasan - alasan seseorang untuk berafiliasi. Menurut McAdams dan Losof
(dalam Sarlito, 1999 : 201) alasan individu berafiliasi diantaranya adalah :
a. Kebutuhan untuk mengurangi kecemasan atau ketidakpastian
b. Mendapat rangsang positif dari orang lain
c. Mendapat dukungan emosional
d. Mendapat perhatian dari orang lain

Zimbardo dan Formika (dalam Zimbardo, 1980 : 256) mengemukakan bahwa dalam keadaan yang
tidak menekankan individu berafiliasi untuk dicintai dan mencintai, untuk menghibur diri dan berbagi
dengan orang lain. Sedangkan bila dalam keadaan yang menekan, individu akan berafiliasi dengan
alasan selain untuk menghibur diri, juga untuk membandingkan emosi dirinya dengan orang lain dan
melakukan katarsis (berbicara dengan orang lain akan mengurangi tekanan).

Boyatzis (dalam A.S Munandar, 1993 : 77) mengatakan keinginan berafiliasi berdasarkan dua cara,
yaitu :
a. Approach Affiliation
Yaitu persahabatan yang berdasarkan keinginan untuk menciptakan, membangun hubungan baik,
penuh kasih sayang, mengadakan kontak dengan orang lain.

b. Avoidance Affiliation
Yaitu persahabatan yang berdasarkan keinginan untuk menghindari sesuatu. Menyangkut keinginan
untuk mempertahankan persahabatan, takut ditolak atau ditinggalkan sendirian oleh orang lain. Selalu
ingin mencari persetujauan dengan orang lain, mencari pertolongan untuk meyakinkan diri bahwa
orang lain masih tetap ingin bersahabat dan menaruh perhatian pada dirinya.

James dan Joan (1990 : 247) menyatakan bahwa seorang individu memiliki alasan untuk berafiliasi
berdasarkan tiga teori, yaitu :
a. Social Change Theory (Teori Pertukaran Sosial)
Seseorang berafiliasi untuk mencapai tujuan tertentu, tujuan ini hanya dapat dicapai bila individu
berafiliasi dengan orang lain. Berafiliasi dengan orang lain dijadikan perantara untuk mencapai tujuan.

b. Reinforcement Theory (Teori Penguatan)


Kebutuhan akan penghargaan maupun identitas diri hanya dapat dipenuhi bila ada orang lain. Oleh
sebab itu individu berafiliasi dengan keinginan untuk mendapatkan penghargaan maupun identitas diri.

c. Social Comparison Theory (Teori Perbandingan Sosial)


Individu berafiliasi untuk membandingkan perasaan mereka sendiri dengan perasaan orang lain dalam
situasi yang sama.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu memiliki alasan untuk memenuhi
kebutuhan afiliasi karena adanya tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan sosial, individu dapat
menghibur diri serta dapat membandingkan perasaan emosinya dengan orang lain. Tanpa afiliasi
individu tidak akan dapat bekerja sendiri dalam mencapai tujuan.

4. Kebutuhan Afiliasi pada Lanjut Usia


Pada dasarnya kebutuhan berafiliasi ada pada setiap manusia, pada lanjut usia kebutuhan berafiliasi
dilakukan dengan menjalin persahabatan, secara khusus sahabat berfungsi penting untuk kesehatan
psikologisnya dan sahabat dimasa - masa sulit yang dialaminya (Lewittes, 1998 : 99).

Selain keluarga, lanjut usia di panti werdha akan berusaha memenuhi kebutuhan berafiliasinya dengan
menjalin hubungan yang baik dengan teman - teman di panti. Kesempatan memilih sahabat merupakan
hal yang penting bagi para lanjut usia terutama bagi lanjut usia yang tidak dapat lagi mengontrol hal -
hal lain dalam hidup lanjut usia. Keakraban suatu persahabatan penting untuk meyakinkan apakah
lanjut usia masih dihargai dan diperlukan walaupun lanjut usia telah kehilangan beberapa hal yang
berarti dalam hidupnya, seperti kesehatan dan lain - lainnya.
Penelitian ini menekankan pada aspek yang berbeda dari persahabatan pada lanjut usia yaitu adanya
persamaan minat, keterlibatan sosial dan saling membantu. Bagi para lanjut usia, kebutuhan afiliasi
berfungsi untuk memahami perasaan dan pikiran-pikirannya yang paling dalam, membicarakan
kecemasan dan keluhan-keluhan penyakit yang dideritanya, berbagi rasa dan pengalaman sehubungan
dengan perubahan dan krisis-krisis yang dihadapinya pada masa tua (Papalia & Olds, 1992 : 147).

Beberapa studi menemukan bahwa kebutuhan berafiliasi secara nyata berefek positif terhadap
semangat hidup, kebahagiaan, dan kepuasan hidup diantara orang lanjut usia (Aizenberg & Treas;
Fisher & rekan; Roberto & Kimboko dalam Lemme, 1995 : 90).

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1992 : 10) membagi tugas perkembangan, yaitu :
a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiunan dan berkurangnya pendapatan.
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.
d. Membentuk hubungan dengan orang – orang seusia.
e. Pengaturan kehidupan fisik yang menyenangkan atau memuaskan.
f. Menyesuaikan diri dengan persaan sosial yang luwes.

Menurut Hurlock (1992 : 442) juga ada kebutuhan lanjut usia yang diperlukan untuk mencapai
kebahagiaan pada masa tua, yaitu : kebutuhan yang diterima “acceptance”, kebutuhan afektif
“affection”, kebutuhan prestasi “achievement”.

Hasil survey menemukan semangat hidup pada lanjut usia lebih kuat hubungannya pada interaksi
dengan sahabat. Dengan adanya sahabat dapat memberikan stimulasi nilai, menambah daya tarik dan
kesempatan untuk bersosialisasi dalam hidup, memperluas pengetahuan, memberikan ide atau
pandangan (Babhuck; Geneway dalam Papalia & Olds, 1992 : 146).

Hubungan lanjut usia dengan teman - teman di panti memang berbeda hubungannya dengan keluarga
karena lanjut usia dapat memilih dengan siapa lanjut usia ingin berteman. Menurut Lewittes (1998 :
55) lanjut usia memilih sahabatnya atas dasar beberapa hal yaitu : kesamaan usia, kesamaan jenis
kelamin, tempat tinggal, kesamaan suku, kesamaan status sosial-ekonomi, persamaan status
perkawinan.

Dari uraian diatas, maka dapat ditari kesimpulan bahwa definisi kebutuhan berafiliasi pada lanjut usia
adalah suatu keinginan yang mendorong seseorang untuk menjalin hubungan persahabatan yang positif
dan berafeksi dengan orang lain, dengan cara berbagi rasa dan pengalaman sehubungan dengan krisis
yang dihadapinya pada masa tua.

C. Hubungan Antara Kebutuhan Berafiliasi Dengan Kecenderungan Depresi Pada Wanita


Lanjut Usia
Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial karena setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dapat
intim atau akrab dengan sesamanya (need for intimacy) dimana kebutuhan ini muncul pertama kali
pada saat seorang bayi ingin menjalin kontak dengan orang lain (Fromm-Reichman dalam Peplau &
Perlan, 1982 : 4). Hal ini ditambahkan oleh Mc Dougall (dalam Atkinson & Hillgard, 1996 : 6) yang
menyatakan bahwa salah satu naluri manusia yaitu suka berteman. Jika kebutuhan untuk kontak
dengan orang lain atau berinteraksi sosial tidak dapat terpenuhi maka akan menimbulkan perasaan
tertekan pada individu yang bersifat subyektif.

Dengan berjalannya waktu, sesungguhnya kebutuhan tersebut tetap sama sepanjang masa remaja atau
dewasa, kebutuhan tersebut dapat langsung terpenuhi tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
Keterlibatan individu pada situasi sekolah, kerja, teman sekelompok dan pasangan hidup, dengan
kemampuan mobilitas yng tinggi lebih memungkinkan terjadinya kontak sosial. Tetapi pada masa
lanjut usia terjadi perubahan-perubahan dalam peran sosial dan emosional. Menurut Hyuck, Hoyer dan
Kivett (dalam Schultz & Moore, 1984 : 195) masa ini ditandai dengan kehilangan kekuatan ekonomi
dan sosial, kehilangan pasangan hidup dan teman-teman yang menimbulkan perubahan peran dan
pengurangan keterlibatan lanjut usia dalam interaksi sosial.

Dengan keadaan yang seperti itu, para lanjut usia diharapkan melakukan penyesuaian diri dengan
tugas-tugas perkembangan yang dihadapi. Lanjut usia diharapkan dapat menyesuaikan diri terhadap
kemunduran kesehatan, pensiun, kematian pasangan hidup dan mengembangkan hubungan kedekatan
dengan teman seusia serta anak, cucu atau keluarga lainnya.

Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat menuju modernisasi terjadi pula pergeseran dalam
pola interaksi keluarga. Perubahan-perubahan yang cepat, kesibukan, pekerjaan dan munculnya
teknologi baru yang dapat menimbulkan kesenjangan pengalaman antar generasi tua dan muda.
Akibatnya komunikasi dan keakraban hubungan didalam keluarga menjadi berkurang. Penghargaan
terhadap lanjut usia sering hanya diwujudkan dalam bentuk materi.

Pada dasarnya lanjut usia masih membutuhkan perhatian dan dukungan dari keluarganya sebagai
tempat bergantung yang terdekat. Lanjut usia ingin hidup bahagia dan tenang dihari tua serta masih
ingin diakui keberadaannya. Namun seiring dengan bertambah tuanya individu, anak – anak dan teman
– temannya juga semakin sibuk dengan masalahnya sendiri.

Sebenarnya lanjut usia tidak akan menimbulkan masalah yang berarti bagi keluarganya apabila
keluarganya masih sanggup merawatnya. Namun, bila keluarganya menjadi semakin sibuk dan tidak
memiliki waktu dan tenaga untuk merawatnya, salah satu jalan yang dipilih adalah dengan
menempatkan lanjut usia di panti werdha. Keputusan keluarga untuk menempatkan lanjut usia di panti
werdha belum tentu diterima oleh lanjut usia. Lanjut usia mungkin saja merasa terbuang, tidak
dibutuhkan lagi, terisolasi dan kehilangan orang – orang yang dicintai (Turner & Helms, 1983). Hal ini
menyebabkan lanjut usia harus mampu menyesuaikan diri diri dan menjalin hubungan yang baik
dengan sesama penghuni panti, apabila lanjut usia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
panti, lanjut usia akan merasa kesepian dan mudah mengalami depresi.

Salah satu cara umum untuk mengatasi depresi adalah dengan cara berafiliasi atau berintegrasi dengan
orang lain. Kebutuhan berafiliasi pada lanjut usia terutama mengarah pada kebutuhan berada dengan
keluarganya terutama anak – anaknya karena kebersamaan didalam keluarga merupakan hal yang
sangat didambakan oleh setiap individu, terutama bagi para lanjut usia. Berkumpul bersama pasangan,
anak, cucu, membuat harapan hidup para lanjut usia bertambah panjang dan hubungan yang baik
diantara semua anggota keluarga merupakan suatu kebahagiaan yang besar bagi para lanjut usia
(Turner & Helms, 1995 : 215).

Menurut Mullins dan Dugan (dalam Nanik Afida, 2000 : 185) menyatakan bahwa anggota keluarga,
terutama anak – anak cenderung menyumbang lebih besar terhadap kebahagiaan para lanjut usia
daripada teman – teman. Sumbangan ini dapat beripa dukungan emosional, penjagaan kesehatan, dan
dukungan finansial. Selain itu, perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh anak – anaknya dapat
meningkatkan kepuasan serta rasa aman, sehingga membuat para lanjut usia merasa kebutuhan
berafiliasinya terpenuhi.Dari beberapa uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jika sedang
mengalami depresi, individu termotivasi untuk mencari orang lain yang mengalami situasi yang sama.
Alasannya ada dua macam. Pertama, berkumpul dengan orang lain dan berbicara kepada mereka
tentang keadaan yang dialami tampaknya dapat menolong untuk mengurangi depresi yang dialaminya.
Kedua, dengan membandingkan reaksi individu itu sendiri dengan orang lain, sehingga individu dapat
lebih mampu mengatur dan mengevaluasi perasaan individu tersebut. Dengan kata lain, individu dapat
mengurangi depresi yang dialaminya dengan cara berafiliasi dengan orang lain.
Diposting oleh Defli di 02.03 Tidak ada komentar:
Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Anda mungkin juga menyukai