Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan

secara terus menerus, dan berkesinambungan yang selanjutnya akan

menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada tubuh, sehingga

akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes,

2009 dalam Maryam, 2011). Peningkatan jumlah lansia juga dapat

mempengaruhi aspek kehidupan mereka, antara lain perubahan-perubahan fisik,

biologis, psikologis sosial, dan munculnya penyakit degeneratif akibat proses

penuaan (Azizah, 2011).


Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara memiliki populasi lansia sebesar

8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi lansia

meningkat 3 kali lipat dari tahun ini. Sedangkan di Indonesia sendiri pada tahun

2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000. Jumlah penduduk lansia di

Indonesia semakin meningkat tahun ketahun. Menurut Data dari Biro Pusat

Statistik menyatakan, pada tahun 2012 jumlah lansia sebanyak 7,9%, tahun 2013

sebanyak 8,0% dan pada tahun 2014 sebanyak 8,2% dari total populasi Indonesia

(Kemenkes, 2014).
Lansia juga sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis

dari imobilitas. Sepuluh sampai 15% kekuatan otot dapat hilang setiap minggu

jika otot beristirahat sepenuhnya, dan sebanyak 5,5% dapat hilang setiap hari

pada kondisi istirahat dan imobilitas sepenuhnya. Jadi, lansia yang mengalami

gangguan imobilisasi fisik seharusnya melakukan latihan aktif agar tidak terjadi
penurunan rentang gerak lansia maupun penurunan kekuatan otot pada lansia

(Stanley, 2006).
Pada lansia, perkembangan dari semua sistem tubuh yang ada akan

mengalami penurunan. Salah satunya adalah penurunan pada sistem

muskuloskeletal. Nyeri musculoskeletal merupakan masalah pada lanjut usia

(lansia) yang sulit ditangani dan dapat berdampak pada penurunan kemampuan

fungsional fisik. Salah satu masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada

lansia adalah nyeri punggung bawah atau LBP (Bandiyah, 2009).


Gangguan muskuloskeletal merupakan penyakit urutan pertama yang

diakibatkan aktifitas kerja dengan 32,7% salah satunya Low Back Pain ( LBP )

(Depkes, 2006). Selain faktor pekerjaan tersebut penyakit Low Back Pain ( LBP)

ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor individu terutama umur

seseorang (Depkes, 2008). Prevalensi nyeri musculoskeletal, termasuk LBP,

dideskripsikan sebagai sebuah epidemik. Sekitar 80 persen dari populasi pernah

menderita nyeri punggung bawah paling tidak sekali dalam hidupnya.


World Health Organization (WHO) menyatakan kira-kira 150 jenis

gangguan musculoskeletal diderita oleh ratusan juta manusia yang menyebabkan

nyeri dan inflamasi yang sangat lama serta disabilitas atau keterbatasan

fungsional, sehingga menyebabkan gangguan psikologik dan sosial penderita.

Nyeri yang diakibatkan oleh gangguan tersebut salah satunya adalah keluhan

nyeri punggung bawah yang merupakan keluhan paling banyak ditemukan

diantara keluhan nyeri yang lain. Laporan ini berhubungan dengan penetapan

dekade 2000-2010 oleh WHO sebagai dekade tulang dan persendian, dimana
penyakit gangguan musculoskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai

di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia (WHO, 2010).


Berdasarkan data yang di dapat di Dunia bahwa persentase keparahan LBP

pada laki-laki dan perempuan yaitu kategori berat (48,32% dan 53,64%), lumpuh

(3,35% dan 8,68%), dan katagori minimal (2,68% dan 2,64%). Pada usia 40-45

tahun menunjukkan bahwa perempuan memiliki persentase lebih tinggi dari pada

laki-laki dengan nyeri saat berjalan, duduk, tidur, dalam kehidupan sosial dan

dalam aktivitasnya. Alasan yang didapatkan bahwa laki-laki memiliki kegiatan

fisik di tempat kerja dan kekuatan otot yang lebih besar dari pada perempuan.

Kemudian pada rentang usia 46-50 dan 51-55 tahun didapatkan bahwa laki-laki

memiliki persentase yang lebih besar terhadap LBP dari pada perempuan.

Namun pada rentang usia 56-60 tahun perempuan memiliki persentase yang

lebih tinggi pada semua variabel dari pada laki-laki, hal ini juga dirasakan

dengan keluhan lemah pada otot perut dan degenerasi lumbal (Wheeler, 2013).
Dengan demikian semakin lanjut usia, maka semakin besar risiko

terkenanya nyeri punggung bawah. Orang berusia lanjut terjadi penurunan

fungsi-fungsi tubuhnya terutama tulangnya sehingga tidak lagi elastis seperti

diwaktu muda. Data untuk jumlah penderita LBP di Indonesia belum diketahui

secara pasti, namun diperkirakan penderita LBP di Indonesia bervariasi antara

7,6% sampai 37% dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia (Lailani, 2013).

Adapun data yang diperoleh dari Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Kota

Mataram tahun 2018 bahwa sebagian besar lansia yang berjumlah 80 orang di

Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika menderita nyeri low back pain yaitu sekitar

30 orang (37,5%).
Salah satu masalah yang timbul pada saat proses kerja fisik adalah

timbulnya rasa nyeri pada bagian pinggang akibat mengangkat menurunkan dan

membawa beban berat yang dilakukan secara langsung . Selain itu faktor risiko

terhadap pekerjaan dipengaruhi aktivitas terlalu banyak duduk atau berdiri juga

merupakan faktor yang mendukung LBP (Subiantoro, 2005). Adanya nyeri

membuat penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga menganggu

aktifitas sehari-harinya dan dapat menurunkan produktifitasnya (Potter & Perry,

2005). Komplikasi umum yang biasanya terjadi setelah pembedahan yaitu

infeksi dan peradangan, cedera pada akar-akar saraf, robekan pada lapisan

durameter, hematoma, tidak ada penyatuan pada area bedah (Joyce, 2009). LBP

jika di biarkan akan menjadi rasa nyeri yang sangat hebat menganggu aktivitas

penderita untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.


Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi

nonfarmakologi. Intervensi nonfarmakologis merupakan intervensi yang cocok

untuk pasien yang merasa cemas terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh

terapi farmakologi. Stimulasi kutaneus, distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing

dan hypnosis adalah contoh intervensi nonfarmakologis yang sering digunakan

dalam keperawatan untuk mengelola nyeri (Potter & Perry, 2005). Terdapat

beberapa tehnik non farmakologis yang juga dapat membantu menanggani nyeri

yaitu dengan memberikan stimulasi Kutaneus, merupakan tehnik memberikan

masase melalui tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan (Slow

Stroke Back Massage). Usapan dengan minyak essensial memberikan sensasi

hangat dengan mengakibatkan dilatasi pada pembuluh darah lokal (Kenworthy


et al, 2002). Sensasi hangat juga dapat meningkatkan rasa nyaman (Reeves,

1999).
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit untuk menghilangkan nyeri

dengan melakukan massase dan sentuhan, salah satunya dengan Slow Stroke

Back Massage (SSBM). Keuntungan dari stimulus kutaneus SSBM adalah

tindakan ini dapat dilakukan di rumah, sehingga memungkinkan pasien dan

keluarga melakukan upaya dalam mengontrol nyeri (Potter & Perry, 2005). Hal

ini dapat membantu kemandirian pasien dan keluarga dalam mengatasi nyeri,

khususnya bagi pasien yang sulit menjangkau fasilitas pelayanan medis. Pada

penelitian yang berjudul Pengaruh Terapi Back Massage Terhadap Intensitas

Nyeri Reumatik Pada Lansia di Willayah Puskesmas Pembantu Karang Asem

oleh Kristanto (2011) menyatakan bahwa lansia yang diberikan terapi back

massage mengalami penurunan nyeri reumatik dari intensitas sedang menjadi

ringan.
Selain untuk menghilangkan nyeri terapi SSBM juga dapat menghilangkan

rasa cemas dan memberikan efek menenangkan apabila dikombinasikan dengan

wangi-wangian seperti aromaterapi. Aromaterapi selain dapat merangsang

stimulus penciuman dapat pula digunakan sebagai pelembab saat melakukan

terapi pijat atau massase. Penatalaksanaan nyeri akan lebih efektif jika

dikombinasikan dengan terapi nonfarmakologi. Aromaterapi merupakan

penggunaan ekstrak minyak esensial tumbuhan yang digunakan untuk

memperbaiki mood dan kesehatan (Primadiati, 2002).


Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia berlangsung

melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem penciuman.
Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis,digunakan untuk mengatasi

nyeri dan cemas. Zat yang terkandung dalam lemon salah satunya adalah linalool

yang berguna untuk menstabilkan sistem saraf sehingga dapat menimbulkan efek

tenang bagi siapapun yang menghirupnya (Wong, 2010). Bau berpengaruh

secara langsung terhadap otak seperti narkotika. Bau-bauan tersebut masuk ke

hidung dan berhubungan dengan silia. Reseptor di silia mengubah bau tersebut

menjadi impuls listrik yang dipancarkan ke otak dan mempengaruhi bagian otak

yang berkaitan dengan mood (suasana hati), emosi, ingatan, dan pembelajaran

(Tara, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh (Bakti, 2010) membuktikan bahwa aroma

lavender dapat menurunkan intensitas nyeri dismenore primer (p=0,001).

Simanjutak dan Maharani (2009) juga membuktikan bahwa aromaterapi lavender

dengan menggunakan tungku pemanas dapat menurunkan intensitas nyeri kala I

(p=0,001). Penelitian Sulistyowati (2009) membuktikan bahwa terapi aroma

lavender efektif untuk menurunkan nyeri dan kecemasan kala I pada primipara

(p=0,001). Penelitian Yuliadi (2011) membuktikan bahwa aroma lemon dapat

memberikan efek rileks pada pasien pre operasi section cessaria (p<0,05).
Hasil studi pendahuluan tanggal 30 November 2018 di Balai Sosial Lanjut

Usia Mandalika didapatkan dari 80 lansia, 30 orang menderita LBP (37,5%).

Hasil wawancara dari 5 orang lansia, 3 orang yang mengalami nyeri LBP dan

sering kambuh, 2 orang lainnya yang ketika nyeri datang penderita memijit

punggungnya sendiri secara sembarangan atau tidak beraturan.


Berdasarkan uraian diatas, pembahasan mengenai terapi non farmakologi

untuk membantu menurunkan nyeri low back pain pada lansia dengan slow
stroke back massage sudah pernah ada namun belum dengan kombinasi

aromaterapi yang berbeda selain aromaterapi lavender. Terapi slow stroke back

massage yang dikombinasikan dengan aromaterapi lemon belum diketahui

pengaruhnya terhadap nyeri low back pain pada lansia, sehingga peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Slow Stroke Back Massage

dengan Minyak Essensial Lemon terhadap Nyeri Low Back Pain pada Lansia di

BSLU”

1.2 Rumusan Masalah


Pada lansia, perkembangan dari semua sistem tubuh yang ada akan

mengalami penurunan, salah satunya adalah penurunan pada sistem

muskuloskeletal. Salah satu komplikasi yang terjadi pada lansia dengan

gangguan muskuloskeletal yaitu nyeri low back pain. Adanya nyeri low back

pain membuat penderita seringkali takut untuk bergerak sehingga menganggu

aktivitas sehari-hari dan dapat menurunkan produktifitas. Terapi non farmakologi

yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri low back pain salah satunya

adalah masase. Ada berbagai bentuk gerakan masase yang dapat digunakan pada

bagian tubuh yang berbeda, salah satunya adalah slow stroke back massage. Slow

stroke back massage yang dikombinasikan dengan wangi-wangian seperti

aromaterapi, dapat memberikan rasa tenang dan menghilangkan rasa cemas.

Terutama aromaterapi lemon yang berperan pada efek menurunkan nyeri dan

ketegangan saraf.
Berdasarkan dengan uraian latar belakang diatas maka dapat diambil suatu

rumusan masalah sebagai berikut “ pentingnya dilakukan penelitian tentang

Pengaruh Terapi Slow Stroke Back Massage dengan Minyak Essensial Lemon
Terhadap Nyeri Low Back Pain dan Apakah Ada Pengaruh Terapi Slow Stroke

Back Massage dengan Minyak Essensial Lemon Terhadap Nyeri Low Back Pain

pada lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi slow stroke back massage dengan

minyak essensial lemon terhadap nyeri low back pain pada lansia di Balai

Sosial Lanjut Usia Mandalika.


1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik lansia yang mengalami low back pain

(umur, jenis kelamin, dan pekerjan) di Balai Sosial Lanjut Usia

Mandalika
2. Mengidentifikasi nyeri pada lansia dengan low back pain sebelum

dilakukan terapi slow stroke back massage dengan minyak essensial

lemon di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.


3. Mengidentifikasi nyeri pada lansia dengan low back pain setelah

dilakukan terapi slow stroke back massage dengan minyak essensial

lemon di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.


4. Mengidentifikasi perbedaan nyeri pada lansia dengan low back pain

sebelum dan setelah dilakukan terapi slow stroke back massage dengan

minyak essensial lemon di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.


5. Menganalisis pengaruh terapi slow stroke back massage dengan

minyak essensial lemon terhadap nyeri low back pain pada lansia di

Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai pustaka dalam bidang keperawatan khususnya keperawatan

komplementer dalam memberikan intervensi kepada pasien yang


mengalami keluhan low back pain dengan metode komplementer yaitu

terapi slow stroke back massage dengan minyak essensial lemon.


2. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti manfaat lain

dari terapi slow stroke back massage dengan minyak essensial lemon

selain berpengaruh terhadap skala nyeri pada low back pain.


1.4.2 Manfaat Praktis
1. Sebagai acuan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat agar

menggunakan terapi slow stroke back massage dengan minyak essensial

lemon sebagai pilihan terapi komplementer selain terapi farmakologis

dalam mengatasi keluhan nyeri low back pain.


2. Membantu pasien terutama dengan keluhan low back pain agar dapat

mengatasi keluhan nyeri yang dirasakan dengan menggunakan terapi

komplementer yaitu terapi slow stroke back massage dengan minyak

essensial lemon.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh slow stroke back

massage dengan minyak essensial lemon terhadap nyeri low back pain pada

lansia di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika. Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian pre-eksperimental dengan rancangan one group pre-test and post-test

design without control. Pada desain ini dilakukan pretest sebelum diberi terapi

SSBM dengan minyak essensial lemon dan posttest setelah diberi tera pi SSBM

dengan minyak essensial lemon. Populasi penelitian ini adalah semua lansia

dengan keluhan nyeri punggung bawah di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.

Variabel Independen yaitu slow stroke back massage dan minyak essensial

lemon, pada Variabel Dependen yaitu skala nyeri seperti nyeri ringan, nyeri
sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat. Alasan peneliti mengambil judul

Pengaruh Slow Stroke Back Massage dengan minyak essensial lemon terhadap

nyeri lowback pain karena belum ada yang melakukan penelitian SSBM dengan

minyak essensial lemon untuk mengurangi nyeri pada lansia di Balai Sosial

Lanjut Usia Mandalika sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tersebut.

1.6 Keaslian Penelitian


Tabel 1.1 Keaslian Data

No Nama Judul Variabel yang Desain Persamaan Perbedaan


Penelitian Penelitian di teliti Penelitian Penelitian penelitian
1 A.A.Ayu Pengaruh Variabel Desain pre- Persamaan Perbedaan
Emi terapi slow independent: eksperimental penelitian oleh penelitian oleh
Primayanthi stroke back slow stroke dengan Ayu Emi Ayu Emi
(2015) massage back massage menggunakan Primayanthi Primayanthi
dengan Variabel one grup pre- (2015) dengan (2015) dengan
minyak dependent: test and post- penelitian yang penelitian yang
essensial penurunan test design dilakukan dilakukan adalah
lavender skala nyeri without control adalah variabel variabel
terhadap LBP pada dengan teknik dependent yaitu independen yaitu
penurunan lansia incidental variabel slow stroke back
intensitas sampling penurunan skala massage dan
nyeri low nyeri LBP pada minyak essensial
back pain di lansia lemon
Klinik
Praktik
Perawat Latu
Usadha
Abiansemal,
Badung
2 Sri Wahyuni Pengaruh Variabel Jenis penelitian Persamaan Perbedaan
(2013) stimulasi independent: ini adalah penelitian oleh penelitian oleh
kutaneus stimulasi eksperimen Sri Wahyuni Sri Wahyuni
slow stroke kutaneus slow dengan metode (2013) dengan (2013) dengan
back massage stroke back Pre eksperimen penelitian yang penelitian yang
terhadap massage dengan dilakukan dilakukan adalah
penurunan Variabel rancangan The adalah variabel variabel
skala nyeri dependent: One Group dependent yaitu independen yaitu
osteoarthritis penurunan Pretest-Posttest variabel slow stroke back
pada lansia di skala nyeri Design penurunan skala massage
PSTW osteoarthritis nyeri LBP pada
“Puspakarma pada lansia lansia
” Mataram
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia


2.1.1 Definisi
Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang

definisi lanjut usia, yaitu :


1. Berdasarkan definisi secara umum, seorang dikatakan lanjut usia (lansia)

apabila usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004 dalam Efendi, 2009).


2. Menurut Setyonegoro dalam Nugroho (2000) seseorang dikatakan lanjut

usia bila berumur lebih dari 65 tahun.


Terbagi dalam :
a. 70-75 tahun (young old)
b. 75-80 tahun (old)
c. >80 tahun (very old)
Sedangkan menurut WHO dalam Masdani (2009) lanjut usia meliputi :
a. Lanjut usia antara 60 sampai 74 tahun
b.Lanjut usia tua antara 75 sampai 90 tahun
c. Usia sangat tua di atas 90 tahun
3. Lansia adalah keadaan ditandai oleh kegagalan sesorang untuk

mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis.

Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk

hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001

dalam Efendi, 2009).


2.1.2 Teori Penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkat laku yang

dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan

suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat

diobservasi didalam suatu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan

system (Stanley, 2007).


Terjadinya proses penuaan dijelaskan dalam beberapa teori proses

menua antara lain :


Teori Biologi
Teori ini mengungkapkan adanya berbagai perubahan pada tingkat

seluler yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi biologis tubuh.

Teori penuaan secara biologis dijelaskan dalam teori-teori berikut:


1. Teori Genetik Clock
Menurut teori ini, penuaan telah terpogram secara genetic untuk

spesies tertentu. Di dalam nuclei (inti sel) tiap spesies memiliki suatu

jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu dan jika

habis putarannya maka proses replikasi sel akan berhenti (Darmojo,

2006).
2. Teori Error Castastrophe (Mutasi Somatik)
Menurut hipotesis ini, penuaan disebabkan oleh kesalahan-

kesalahan yang beruntun dalam proses transkripsi maupun translasi

sepanjang kehidupan dalam waktu yang cukup lama. Kesalahan tersebut

menyebabkan terjadinya reaksi metabolism yang salah, dengan demikian

mengurangi fungsional sel (Darmojo, 2006). Kesalahan dalam proses

translasi akan menyebabkan katastrop (Suhana, 1994; Constanstinides,

1994 dalam Darmojo, 2006).


3. Rusaknya Sistem Imun Tubuh
Menurut teori ini, mutasi yang berulang atau perubahan protein

pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem

imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi

somatic menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,

maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel

yang mengalami perubahan tersebut sebagai se lasing dan

menghancurkannya (Darmojo, 2006).


4. Teori Penuaan akibat Metabolisme
Menurut teori ini perpanjangan umur berhubungan dengan

tertundanya proses degenerasi. Perpanjangan umur antara lain

disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses

metabolism. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang

proliferasi sel (Darmojo, 2006).

2.1.3 Perubahan yang terjadi pada lanjut usia


Perubahan yang berhubungan dengan proses menua normal sebagaian

besar merupakan akibat kehilangan atau penurunan secara bertahap.

Kehilangan tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak awal usia muda, tetapi
pada sebagaian system organ, kehilangan tersebut baru bermakna secara

fungsional setelah terjadi kehilangan yang besar. Pada beberapa sistem

organ, sekelompok individu tampak mengalami penurunan fungsi secara

bertahap sepanjang waktu (misalnya organ ginjal), sedangkan fungsi organ-

organ lain tetap konstan. (Suyono S, 2001).


1. Perubahan fisik dalam hal ini system musculoskeletal
Perubahan normal musculoskeletal terkait usia pada lansia

termasuk penurunan tinggi badan, redistribusi massa otot dan lemak

subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang

lambat, pengurangan kekuatan dan kekakuan sendi. Tulang kehilangan

densitas (cairan) dan semakin rapuh. Perubahan pada tulang, otot, dan

sendi mengakibatkan terjadinya perubahan penampilan, kelemahan, dan

lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan. Komposisi otot berubah

sepanjang waktu (myofibril digantikan oleh lemak, kolagen dan

jaringan parut). Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses

menua (Nogroho, W. 2008).


Kekuatan muscular mulai merosot sekitar usia 40 tahun, dengan

suatu kemunduran yang dipercepat setelah usia 60 tahun. Perlambatan

pergerakan yang kurang aktif dihubungkan dengan perpanjangan waktu

kontraksi otot, periode laten, dan periode relaksasi dari unit motor

dalam jaringan otot. Sendi-sendi seperti pinggul, lutut, siku,

pergelangan tangan, leher, dan vertebra menjadi sedikit fleksi pada usia

lanjut. Peningkatan fleksi disebabkan oleh perubahan dalam kolumna

vertebralis, ankilosis (kekakuan) ligament dan sendi, penyusutan dan


sklerosis tendon dan otot, dan perubahan degenerative system

ekstrapiramidal. Secara umum terdapat kemunduran kartilago sendi

sebagian besar terjadi pada sendi-sendi yang menahan berat, dan

pembentukan tulang dipermukaan sendi. Komponen-komponen kapsul

pecah dan kolagen yang terdapat pada jaringan penyambung meningkat

secara progresif yang jika tidak di pakai lagi, mungkin menyebabkan

inflamasi, nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan deformitas. Seiring

dengan bertambahnya usia yang sejalan dengan penurunan fungsi dari

system tubuh menyebabkan banyaknya penyakit yang sering diderita

oleh lansia (Stanley, 2006).


2. Perubahan Mental
Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek

yaitu fisik, psikologik, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat

berupa emosi labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan,

kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia

dengan problem tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikiatrik

seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau

kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia

adalah masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya

perubahan dari keadaan sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan

berpenghasilan) menjadi kemunduran (akhmadi, 2009).


Perubahan kepribadian yang drastis jarang terjadi, lebih sering

berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan

mungkin karena faktor lain seperti penyakit. Berkurangnya penampilan,


persepsi dan ketrampilan psikomotor, perubahan pada daya

membayangkan karena tekanan dari faktor waktu (Nogroho, W. 2008).


3. Perubahan Psikososial
Perubahan sosialisasi karena produktivitas menurun, berkurangnya

kesibukan sosial, kehilangan financial, status, teman atau relasi,

pekerjaan atau kegiatan. Merasakan atau sadar akan kematian,

perubahan dalam cara hidup, perubahan ekonomi akibat pemberhentian

dari jabatan, meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit,

bertambahnya biaya pengobatan menimbulkan masalah yang besar bagi

lansia (Albert, 2003).


2.1.4 Penyakit yang umum terjadi pada lanjut usia
Menurut Stieglitz (1945) yang dikutip dalam Buku Keperawatan

Gerontik mengemukakan adanya empat penyakit yang sangat erat

hubungannya dengan proses menua yakni:


1. Gangguan sirkulasi darah seperti hipertensi, kelainan pembuluh

darah, gangguan pembuluh darah di otak dan ginjal


2. Gangguan metabolisme hormonal, seperti diabetes mellitus ,

klimakterium, dan ketidaksimbangan tiroid.


3. Gangguan persendian, seperti osteoarthritis, gout arthritis.
4. Berbagai penyakit neoplasma
Menurut The National Old People’s Welfare Council di Inggris (2000)

dikutip dalam buku Keperawatan Gerontik (2008) mengemukakan bahwa

penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12 macam yakni:

Depresi mental, gangguan pendengaran, bronchitis kronis, gangguan pada

tungkai/sikap berjalan, gangguan pada koksa/sendi panggul, anemia,

demensia, gangguan penglihatan, ansietas/kecemasan, dekompensasi


kordis, diabetes mellitus, osteomalasia, dan hipotiroidisme, gangguan pada

defekasi.
Sedangkan di Indonesia penyakit yang sering dijumpai pada lansia

meliputi; penyakit sistem persarafan, penyakit kardiovaskuler dan

pembuluh darah, penyakit pencernaan makanan, penyakit urogenital,

penyakit gangguan metabolic, penyakit persendian dan tulang dan penyakit-

penyakit akibat keganasan (Nogroho, 2008).

2.2 Low Back Pain


2.2.1 Definisi Low Back Pain
Low Back Pain adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung

bawah. Nyeri ini dapat bersifat lokal atau radikuler maupun keduanya serta

terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di

daerah lumbal. Nyeri ini kerap kali disertai dengan penjalaran hingga kea

rah tungkai dan kaki. Nyeri ini bisa akut, subakut dan kronis berdasarkan

durasi timbulnya keluhan (Meliala L, 2005). Sumber lain mengatakan, Low

back pain adalah nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta

(tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor) yakni daerah L1-

L5 dan S1-S5. Nyeri juga bisa menjalar ke daerah lain seperti punggung

bagian atas dan pangkal paha.


Menurut Harsono (2009), Klasifikasi low back pain adalah sebagai

berikut :
1. Nyeri Punggung Bawah Viserogenik
Keluhan low back pain yang disebabkan adanya proses patologik

di ginjal atau viscera di daerah pelvis. Sifat nyeri jenis ini tidak

dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan oleh penderita serta tidak

akan berkurang meski penderita melakukan istirahat atau bed rest.


Penderita low back pain jenis ini mengalami nyeri hebat akan selalu

menggeliat dalam upaya untuk meredakan perasaan nyerinya.


2. Nyeri Punggung Bawah Vascular
Aneurisma atau penyakit vascular perifer dapat menimbulkan

nyeri punggung atau menyerupai iskialgia. Aneurisma abdominal dapat

menimbulkan nyeri punggung bawah di bagian dalam dan tidak ada

hubungannya dengan aktivitas tubuh.


3. Nyeri Punggung Bawah Neurogenik
Keadaan patologik pada saraf dapat menyebabkan low back pain, yaitu:
a. Neurogenik
Neoplasma interkanalis spinal sering ditemukan ialah

neurioma, hemagloma, ependioma, dan meningioma. Nyeri yang

diakibatkan neoplasma ini sering sulit dibedakan dengan nyeri

akibat Hernia nucleus pulposus (HNP). Pada umumnya gejala

pertama adalah rasa nyeri baru kemudia timbul gejala neurologik

yaitu gangguan motorik, sensibilitas dan vegetatif. Rasa nyeri sering

timbul waktu sedang tertidur sehingga membangunkan penderita.

Rasa nyeri berkurang dengan berjalan.


b. Araknoiditis
Pada araknoiditis terjadi perlengketan-perlengketan. Nyeri

timbul bila terjadi penjepitan terhadap radiks oleh perlengketan

tersebut.
c. Stenosis Kanalis Spinalis
Menyempitnya kanalis spinalis disebabkan karena proses

degenerasi diskus intervertebralis dan biasanya disertai oleh

ligamentum. Gejala klinik yang timbul adalah adanya rasa

kesemutan dan pada saat penderita istirahat rasa nyerinya masih

tetap ada.
4. Nyeri Punggung Bawah Spondilogenik
Nyeri punggung bawah spondilogenik adalah keluhan low back

pain yang disebabkan oleh berbagai proses patologik di kolumna

vertebralis yang terdiri dari unsure tulang (osteogenik), diskus

intervertebralis (diskogenik) dan miofasial (miogenik) dan proses

patologik di artikulasio sakroiliaka.


Nyeri punggung bawah osteogenik disebabkan oleh :
1. Radang atau infeksi misalnya osteomielitis vertebral atau spondilitis

tuberkulosa, yang masih sering dijumpai meskipun jarang ditemui

di daerah lumbal, karena predileksinya di daerah torakal.


2. Trauma, yang dapat mengakibatkan fraktur maupun spondilitis

(bersgesernya korpus vertebra terhadap korpus vertebra di

bawahnya).
Nyeri punggung bawah diskogenik disebabkan oleh :
1. Spondilitis, ini disebabkan oleh proses degenerasi yang progresif

pada diskus vertebralis, yang mengakibatkan menyempitnya jarak

antara vertebra sehingga menyebabkan terjadinya osteofit,

penyempitan kanalis spinalis dan foramen intervertebrale dan iritasi

persendian posterior. Rasa nyeri pada spondilitis ini disebabkan oleh

terjadinya osteoarthritis dan tertekannya radiks oleh kantong

durameter yang mengakibatkan iskemi dan radang.


2. Hernia nucleus pulposus (HNP) adalah keadaan dimana nucleus

pulposus keluar menonjol untuk kemudian menekan kea rah kanalis

spinalis melalui annulus fibrosus yang robek. Penonjolan dapat

terjadi di bagian lateral dan ini banyak terjadi, disebut HNP lateral,

dapat pula terjadi di bagian tengah dan disebut HNP sentral. Dasar
terjadinya HNP ini adalah proses degenerasi diskus intervertebralis,

maka banyak terjadi pada usia pertengahan.


3. Spondilitis ankilosa, proses ini biasanya mulai dari sendi sakroiliaka,

yang kemudian menjalar ke atas, ke daerah leher. Gejala permulaan

berupa rasa kaku di punggung bawah waktu bangun tidur dan hilang

setelah melakukan beberapa gerakan. Pada foto rontgen terlihat

gambaran mirip dengan ruas-ruas bamboo sehingga disebut bamboo

spine.
Nyeri punggung bawah miogenik, disebabkan oleh ketegangan otot,

spasme otot, defisiensi otot dan hipersensitivitas


1. Ketegangan otot, disebabkan oleh sikap tegang yang konstan atau

berulang-ulang pada posisi yang sama akan memendekan otot yang

yang akhirnya akan menimbulkan perasaan nyeri. Keadaan ini tidak

akan terlepas dari kebiasaan buruk atau sikap tubuh yang tidak atau

kurang fisiologik.
2. Spasme otot atau kejang otot, disebabkan oleh gerakan yang tiba-tiba

dimana jaringan otot sebelumnya dalam kondisi yang tegang atau

kaku atau kurang pemanasan. Spasme otot ini member gejala khas,

ialah dengan adanya kontraksi otot yang disertai nyeri yang hebat.

Setiap gerakan akan memperberat rasa nyeri sekaligus menambah

kontraksi.
3. Defisiensi otot, dapat disebabkan oleh kurang latihan sebagai akibat

dari mekanisme yang berlebihan, tirah baring yang terlalu lama

maupun karena imobilisasi.


4. Otot yang hipersensitif, akan menciptakan satu daerah kecil apabila

dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri dan menjalar ke daerah


tertentu (target area). Daerah kecil disebut sebagai noctah picu

(trigger point).
5. Nyeri punggung bawah psikogenik
Nyeri jenis ini tidak jarang ditemui, tetapi biasanya ditemukan

setelah dilakukan pemeriksaan yang lengkap, dan hasilnya tidak

memberikan jawaban yang pasti. Hal ini memang bersifat legeartis,

dimana semua kemungkinan faktor organik tidak dapat dibuktikan

sebagai faktor etiologi nyeri punggung bawah. Nyeri punggung bawah

psikogenik pada umumnya disebabkan oleh ketegangan jiwa atau

kecemasan dan depresi atau campuran antara kecemasan dan depresi.


Selain itu, IASP dalam Yuliana (2011) juga membagi low back

pain ke dalam :
a. Low Back Pain Akut, telah dirasakan kurang dari 3 bulan.
b. Low Back Pain Kronik, telah dirasakan sekurangnya 3 bulan.
c. Low Back Pain Subakut, telah dirasakan minimal 5-7 minggu, tetapi

tidak lebih dari 12 minggu.

2.2.2 Etiologi Low Back Pain


Kebanyakan low back pain disebabkan oleh salah satu dari berbagai

masalah musculoskeletal (missal rengangan lumbosakral akut,

ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, spondiloarthrosis,

stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan

panjang tungkai). Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal,

masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah

psikosomatik. Kebanyakan low back pain akibat gangguan muskuloskeletal

akan diperberat oleh aktifitas (Potter & Perry, 2006).


Faktor-faktor lain seperti obesitas, stress, depresi, ketergantungan

alkohol dan obat analgetik, kelainan sistem vaskuler dan psikogenik, dan

beban kerja yang berat juga menjadi pemicu timbulnya keluhan low back

pain ini. Menurut (Mutargh, 2003), low back pain dapat timbul akibat

adanya peregangan atau laserasi pada ligament (sprain) atau peregangan

yang berlebihan dari otot atau sendi (strain) atau postur yang tidak tepat.

Low back pain berat biasanya disebabkan karena adanya cedera pada sendi

tulang punggung, termasuk permukaan sendi dan disk yang mengakibatkan

nyeri pada jaringan atau serabut saraf yang ada di dekatnya. Keadaan ini

biasa terjadi ketika membungkuk, khususnya ketika mengangkat sesuatu

yang berat. Penyebab nyeri punggung bawah selain spasme otot adalah

deformitas, Hernia Nucleus Pulposus, Osteoartrhitis, proses metastase,

fraktur tulang punggung, hingga kelainan bawaan seperti lordosis maupun

skoliosis.
2.2.3 Patofisiologi
Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastic

yang tersusun atas banyak unit rigid (vertebrae) dan unit fleksible (diskus

intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset,

berbagai ligament dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik

tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat

memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang

belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical

pada saat berlari atau melompat. Kolumna vertebralis membantu

menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat


penting pada aktivitas mengangkat beban. Mengangkat beban berat pada

posisi membungkuk menyamping menyebabkan otot tidak mampu

mepertahankan posisi tulang belakang thorakal dan lumbal, sehingga pada

saat faset joint lepas dan disertai tarikan dari samping, terjadi gesekan pada

kedua permukaan faset sendi menyebabkan ketegangan otot di daerah

tersebut yang akhirnya menimbulkan keterbatasan gesekan pada tulang

belakang. Obesitas, masalh postur, masalah struktur dan peregangan

berlebihan dapat berakibat nyeri punggung (Brunner and Suddarth, 2005).


Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia

bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas

fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi

fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra

merupakan penyebab low back pain. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-

LS5, menderita stress paling berat dan perubahan degenerasi terberat.

Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan

pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan

nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (Brunner, 2005).


2.2.4 Penatalaksanaan
Oleh karena penyebab LBP sangat beraneka ragam maka

tatalaksananya juga bervariasi. Namun dikenal dua tahapan terapi LBP,

yaitu: konservatif dan operatif (Harsono, 2009).


1. Terapi Konservatif
Cara konservatif meliputi bed rest (rehat baring), medikamentosa

dan fisioterapi.
a. Bed Rest
Penderita harus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa

hari dengan sikap tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas

atau peer. Tempat tidur harus dari papan yang lurus dan ditutup

dengan lembar busa tipis. Tirah baring ini sangat bermanfaat untuk

nyeri punggung mekanik akut, fraktur, dan HNP. Pada HNP sikap

terbaring paling banyak ialah dalam posisi setengah duduk dimana

tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul atau lutut. Lama tirah

baring bergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan

penderita.

b. Medikamentosa
Ada dua jenis obat dalam tatalaksana LBP ini, ialah obat yang

bersifat simptomatik dan yang bersifat kausal. Obat-obat

simptomatik antara lain: salisilat, paracetamol, kortikosteroid, anti-

inflamasi non steroid (AINS), antidepresan, diazepam, dan

klordiasepoksid. Obat-obatan kausal misalnya antituberkulosis,

antibiotika untuk spondilitis piogenik,nukleolisis misalnya

khimopapain, kolagenase (untuk HNP).


c. Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermi (pemanasan dengan jangkauan

permukaan yang lebih dalam) misalnya pada HNP, trauma mekanik

akut, serta traksi pelvis untuk relaksasi otot an mengurangi lordosis.


1) Terapi Panas
Terapi menggunakan kantong dingin-kantong panas.dengan

menaruh sebuah kantong dingin di tempat daerah punggung yang

terasa nyeri atau sakit selama 5-10 menit. Jika selama 2 hari 48
jam rasa nyeri masih terasa gunakan heating pad (kantong

hangat).
2) Elektro Stimulus
3) Akupuntur
4) Traction, helaan atau tarikan pada badan (punggung) untuk

kontraksi otot
5) Ultra Sound
6) Radiofrequency Lesioning, dengan menggunakan impuls listrik

untuk merangsang saraf, seperti:


a) Spinal Endoscopy, dengan memasukan endoskopi pada

kenalis spinalis untuk memindahkan atau menghilangkan

jaringan scar.
b) Percutaneous Electrical Nerpe Stimulation (PENS).
c) Elektro Thermal Disc Decompression.
d) Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS),

menggunakan alat dengan tegangan kecil.


7) Alat Bantu
a) Back Corsets.
Penggunaan penahan pada punggung sangat membantu untuk

mengatasi Low Back Pain yang dapat membungkus

punggung dan perut.


b) Tongkat jalan.
2. Terapi komplementer
Terapi komplementer adalah terapi yang digunakan secara

bersama-sama dengan terapi lain dan bungkan untuk menggantikan terpi

medis. Namun terapi komplementer dapat digunakan sebagai single

therapy ketika digunakan untuk meningkatkan kesehatan. Saat ini

banyak terapi komplementer yang dilakukan untuk mengatasi keluhan

nyeri pada pasien low back pain seperti akupuntur, reiki , massage, trapi

bekam, herbal dan hipnoterapi. Terapi komplementer dapat bekerja


dengan efek analgetik langsung (seperti akupuntur, bekam , akupresur,

massage ), menghasilkan efek anti inflamasi (seperti obat-obatan

herbal), atau distraksi (seperti terapi musik) yang dapat mempengaruhi

persepsi nyeri, menimbulkan relaksasi, meningkatkan kualitas tidur serta

mengurangi tingkat kecemasan (Barrie, 2010).


3. Terapi Operatif
Pada dasarnya terapi oporatif dikerjakan apabila dengan tindakan

konservatif selama 3-4 minggu tidak memberikan hasil yang nyata atau

terhadap kasus fraktur yang langsung mengakibatkan defisit neurologis,

ini memerlukan tindakan segera (cito). Defisit neurologis yang dapat

diketahui adalah gangguan fungsi otonom dan paraplegia. Pada kasus

HNP, tindakan operatif perlu dikerjakan apabila terapi konservatif tidak

memberi hasil atau kambuh berulang-ulang, atau telah terjadi deficit

neurologik (Harsono, 2009).

2.3 Konsep Nyeri


2.3.1 Definisi Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan

maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah

mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Associaton for Study

of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak

menyenangkan akibat terjadinya kerusakan actual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.


Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan sangat

individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri dapat
memenuhi seluruh pikiran seseorang, mengatur aktivitasnya, dan mengubah

kehidupan orang tersebut. Tidak ada dua orang yang mengalami nyeri

dengan cara yang benar-benar sama. Selain itu, perbedaan persepsi dan

reaksi secara individual, dan banyaknya penyebab nyeri, menimbulkan

situasi yang kompleks bagi perawat ketika membuat sebuah rencana untuk

mengatasi nyeri dan menyediakan kenyamanan (Berman & Audrey, 2009).


2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang

mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Hal ini sangat penting dalam

upaya memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistic

dalam pengkajian dan perawatan pasien yang mengalami nyeri (Potter &

Perry, 2006). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut

antara lain menurut Potter & Perry (2006) :


1. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang

ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi

bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak

kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan semua hal yang

dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum

mempunyai kosakata yang banyak mempunyai kesulitan

mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang

tua atau perawat.


Lansia cenderung mengabaikan lama nyeri sebelum melaporkannya

atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka


menganggap nyeri menjadi bagian dari proses penuaan yang normal.

Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena

mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian

tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan

nyeri pasien dan pereda dari pada berdasarkan usia.


2. Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan tidak mempunyai perbedaan secara

signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan

bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam

ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh

menangis dimana seorang perempuan dapat menangis dalam waktu yang

sama. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang

melibatkan pria dan wanita.


3. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu

mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa

yang diterima oleh kebudayaan mereka. Masyarakat menganggap nyeri

seperti tamparan tangan dihubungkan dengan kepatuhan dan rasa

bersalah. Individu yang secara sadar atau tidak sadar memandang nyeri

sebagai hukuman untuk menebus kesalahan mereka. Mengenali nilai-

nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-

nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya dapat membantu

untuk mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai

budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan

mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan
lebih akurat dalam mengkaji nyeri sehingga lebih efektif dalam

menghilangkan nyeri pasien.


4. Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri memengaruhi

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini

juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu

tersebut.
5. Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi

dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan

salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk

menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing, dan

massase.
6. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas

seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga menimbulkan

suatu perasaan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem

limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya

ansietas.
7. Keletihan
Keletihan meningkat persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan

sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal

ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita

penyakit dalam jangka lama.


8. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri

sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima

nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu

sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah

sembuh atau menderita nyeri berat, maka ansietas dapat muncul.

Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis sama

berulang-ulang tetapi kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan akan

lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi

nyeri.

9. Gaya Koping
Seseorang yang mengalami nyeri secara terus-menerus akan

kehilangan kontrol termasuk tidak mampu untuk mengontrol lingkungan

termasuk nyeri. Pasien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek

nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber

koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti

berkomunikasi dengan keluarga, latihan, dan bernyanyi dapat digunakan

sebagai rencana untuk mendukung dan menurunkan nyeri pasien.

Seorang pasien mungkin tergantung pada dukungan emosional dari anak-

anak, keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat

diminimalkan. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan

untuk berdoa dan memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi

ketidaknyamanan yang datang.


10. Dukungan keluarga Dan Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah

kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang mengalami nyeri sering

bergantung pada keluarga untuk mendukung pasien, membantu atau

melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan

membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal

khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri.


2.3.3 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut

biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik jika

kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik. Nyeri akut

biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan

sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan

(Brunner & Suddarth, 2005). Secara fisiologis terjadi perubahan denyut

jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot,

keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.


Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan

yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini

tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang

berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 2005).

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri nosiseptif

dan neuropatik (Potter & Perry, 2006).


1. Nyeri nosiseptif
Nosiseptif berasal dari kata “noxsious/harmful nature” dan dalam

hal ini ujung saraf nosiseptif menerima informasi tentang stimulus yang

mampu merusak jaringan. Nyeri nosiseptif tajam dan berdenyut (Potter

& Perry, 2006).


2. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik terasa seperti terbakar kesemutan dan

hipersensitif terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri atas

beberapa macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang umumnya

bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superficial) pada otot

dan tulang. Jenis lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu

nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan

yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cedera organ viseral. Nyeri

visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-macam organ viscera

dalam abdomen dan dada (Guyton & Hall, 2008).


2.3.4 Fisiologi Nyeri
Terdapat tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel

saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron, dan sel

saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel saraf ini mempunyai reseptor pada

ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sumsum tulang

belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls

yang mersepon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang

berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan

akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari

prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P, dan enzim


proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung saraf dan

menyampaikan impuls ke otak (Farida, 2010).


Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls

elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord. Pesan

kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak dimana sensasi

seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan

lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri

dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak

kemudian turun ke spinal cord. Pada bagian dorsal, zat kimia seperti

endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Potter

& Perry, 2006).


Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup.

Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga

bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan cara menggaruk atau mengelus

secara lembut di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga

mencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup

gerbang, misalnya motivasi dari individu yang bersemangat ingin sembuh

dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Potter &

Perry, 2006).
Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan

respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon

otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti

peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan

pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat,


diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat,

berakibatkan tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan,

kelelahan, dan pucat.


2.3.5 Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda

oleh setiap orang. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang

paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri

itu sendiri (Tamsuri, 2007).


Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien menurut Gunawan

(2012) :
1. Wong-Barker Faces Pain Rating Scale :

Gambar 1 Skala Nyeri Dengan Gambar Wajah


Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,

dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini

berguna pad pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak,

orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak

mengerti dengan bahasa lokal setempat.


2. Verbal Rating Scale (VRS) :
Gambar 2 Skala Nyeri Dengan Verbal
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan

berdasarkan skala lima poin yaitu: tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan

sangat berat.
3. Numerical Rating Scale (NRS)

Gambar 3 Skala Nyeri Dengan Angka


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan

menunjukkan angka 0-10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada

nyeri, angka 5 menunjukkan nyeri sedang dan 10 menunjukkan nyeri

yang hebat.
4. Visual Analogue Scale (VAS)

Gambar 4 Skala Nyeri Dengan Analogi Visual (Sumber : Erdek &

Pronovost, 2004)
Skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda

tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien

diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan

nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien,


dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala

lainnya. Penggunaan VAS lebih direkomendasikan karena selain telah

digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih

baik, dimana penggunaannya relative mudah, hanya dengan

menggunakan beberapa kata sehingga kosakata tidak menjadi

permasalahan dan VAS dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai

VAS 0 menandakan tidak ada nyeri, 1-3 menandakan nyeri ringan, nilai

4-6 menandakan nyeri sedang, nilai 7-9 menandakan nyeri berat dan

nilai 10 menandakan nyeri sangat berat.

2.4 Terapi Slow Stroke Back Massage


2.4.1 Definisi
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorfin,

sehingga membloktransmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan

mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan

lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan

A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap untuk

transmisi impuls nyeri. Slow-Stroke Back Massage (SSBM) adalah

tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan

selama 10 menit (Potter & Perry, 2006).


Slow-Stroke Back Massage merupakan intervensi keperawatan yang

diberikan dengan cara memberikan usapan secara perlahan, tegas,

berirama dengan kedua tangan menutup area selebar lima cm diluar tulang
belakang yang dimulai dari bahu hingga area sakrum (Casanelia dan

Stelfox, 2009).
2.4.2 Mekanisme Kerja SSBM
Menstimulasi saraf-saraf superfisial di kulit yang kemudian

diteruskan ke otak di bagian hipotalamus. Sistem saraf desenden

melepaskan opiat endogen, seperti endorfin. Pengeluaran endorfin

mengakibatkan meningkatnya kadar endorfin dalam tubuh yang

merangsang produksi hormon dopamin dan hormon serotonin. Hormon

dopamin yang meningkat menyebabkan kecemasan berkurang sedangkan

hormon serotonin yang meningkat dapat mengurangi gangguan tidur

(Potter & Perry, 2006).


Pengeluaran hormon endorfin dapat memblok transmisi stimulus

nyeri sehingga menurunkan kecemasan dan nyeri. Sentuhan dan masase

merupakan teknik integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas sistem

saraf otonom. Sistem saraf desenden bekerja melepaskan neuroregulator

yang menghambat transmisi stimulus nyeri. Neuron beta-A menstimulasi

mekanoreseptor yang menyebabkan menurunnya transmisi delta-A dan C

sehingga menutup mekanisme pertahanan dan mengurangi persepsi nyeri

(Potter & Perry, 2006).


2.4.3 Indikasi dan Kontraindikasi
SSBM tidak boleh dilakukan pada kulit di daerah punggung yang

mengalami luka bakar, luka memar, ruam kulit, inflamasi, dan kulit di

bawah tulang yang fraktur dikarenakan memijat jaringan yang sensitif

dapat menyebabkan cedera jaringan yang lebih lanjut sedangkan memijat

di daerah kulit yang kemerahan meningkatkan kerusakan kapiler pada


jaringan di bawahnya (Potter & Perry, 2006). Berdasarkan beberapa

penelitian yang dilakukan indikasi untuk SSBM, yaitu untuk penurunan

intensitas nyeri, menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas tidur

(Kozier, et al. 2004).


2.4.4 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan
Menurut (Potter & Perry, 2006) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan pada tindakan SSBM, yaitu :


1. Menanyakan kepada pasien apakah pasien menyukai SSBM

dikarenakan beberapa pasien tidak menyukai kontak secara fisik.


2. Perlu diperhatikan kemudian adanya alergi atau kulit mudah

terangsang, sebelum memberikan lotion.


3. Mengidentifikasi faktor-faktor atau kondisi seperti fraktur tulang rusuk

atau vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, atau luka

terbuka yang menjadi kontraindikasi untuk masase punggung.


4. Hindari untuk melakukan masase pada area kemerahan, kecuali bila

kemerahan tersebut hilang sewaktu dimasase.


5. Menyiapkan peralatan dan bahan yang diperlukan.
6. Memperhatikan adanya tanda-tanda pasien tidak nyaman selama

tindakan dilakukan.

2.4.5 Metode
Tehnik untuk SSBM dilakukan dengan beberapa pendekatan, tetapi

salah satu metode yang dilakukan ialah dengan mengusap kulit pasien

secara perlahan dan berirama dengan kecepatan 60 kali usapan per menit.

Kedua tangan menutup suatu area yang lebarnya lima cm pada kedua sisi

tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai area sakrum. Tehnik

ini berlangsung selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2006).


Gambar 2.1 Gerakan Sirkular dalam Pemberian Slow Stroke Back Massage

Gambar 2.2 Area Usapan Slow Stroke Back Massage


Sumber : Caldwell & Hegner. (2003) dalam Adhyati (2011). Asisten

Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Perawatan. Jakarta : EGC

Gambar 2.3 Arah Usapan Slow Stroke Back Massage


Sumber : Ester, M (2005) dalam Dwi (2008). Pedoman Perawatan

Pasien. Jakarta : EGC


2.4.6 Prosedur Pelaksanaan
Prosedur kerja SSBM menurut Potter & Perry (2006) dalam Arisanti

(2012) dijelaskan sebagai berikut:


1. Identifikasi faktor-faktor atau kondisi sepe rti fraktur tulang rusuk atau

vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, atau luka terbuka.
2. Persiapkan peralatan dan bahan yang diperlukan.
3. Persilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama intervensi,

bisa tidur miring, telungkup, atau duduk. Bantu pasien pada posisi

yang nyaman.
4. Buka punggung pasien, bahu, lengan atas, dan bokong. Tutup sisanya

dengan selimut mandi.


5. Cuci tangan dan hangatkan lotion di telapak tangan. Peneliti mencuci

tangan dalam air hangat. Hangatkan lotion di telapak tangan atau

tempatkan botol lotion ke dalam air hangat. Tuang sedikit lotion di

tangan. Jelaskan pada responden bahwa lotion akan terasa dingin dan

basah. Ratakan lotion mulai dari bahu hingga bokong.


6. Letakkan tangan pada bokong, masase dalam gerakan melingkar.
Usapkan ke atas dari bokong ke bahu. Masase di atas scapula dengan

gerakan lembut dan tegas. Lanjutkan dalam satu usapan lembut ke

lengan atas dan secara lateral sepanjang sisi punggung dan kembali ke

bawah ke puncak iliaka.


7. Jangan biarkan tangan anda terangkat dari kulit pasien dan lanjutkan

pola masase selama sepuluh menit.


8. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu pasien bahwa

perawat mengakhiri usapan.


9. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung pasien dengan

handuk

mandi. Ikat kembali gaun atau bantu memakai baju/piyama. Bantu

pasien posisi yang nyaman.


10. Letakkan handuk yang kotor pada tempatnya dan cuci tangan.
11. Tanyakan pasien tentang kenyamanan.
12. Catat respons terhadap masase.
13. Beri tahu pasien tindakan telah selesai dilakukan.
14. Beri reinforcement positif.
15. Lakukan kontrak selanjutnya.
16. Akhiri kegiatan dengan cara yang baik.
17. Bereskan alat jika tindakan telah selesai.
2.5 Minyak Essensial Lemon
2.5.1 Definisi Minyak Essensial
Minyak essensial merupakan hasil sulingan ekstrak tanaman biasanya

juga disebut sebagai minyak atsiri. Tanaman dan ekstraknya sudah

digunakan dalam waktu yang cukup lama untuk meringankan rasa nyeri,

membantu penyembuhan, membunuh kuman dan untuk memulihkan serta

mempertahankan kesehatan tubuh. Minyak essensial dapat digunakan

tanpa menimbulkan banyak efek samping (Price, 2006).


2.5.2 Sifat Terapeutik Minyak Essensial
Hal terpenting yang menjadi alasan minyak essensial disukai yaitu

karena aromanya yang menyenangkan bahkan banyak sekali digunakan

dalam keperluan rumah tangga seperti lemon dan lavender, dan jauh lebih

aman bila dibandingkan dengan pemakaian karbol (Price, 2006). Minyak

dari tanaman mempunyai kemampuan inflamasi, antiseptik, analgesik,

perangsang selera makan, perangsang sirkulasi, dan sedatif.


2.5.3 Cara Penggunaan Minyak Essensial
Hampir semua minyak esensial tidak dapat diberikan langsung pada

kulit dan harus diencerkan terlebih dahulu dengan minyak pembawa.

Pengenceran normal adalah 2,5% dari minyak esensial murni, untuk 15

tetes (± 1 ml) minyak esensial perlu diencerkan dengan 1 ounce (± 30 ml)

minyak pembawa (Isabella, 2011).


2.5.4 Cara Kerja Minyak Essensial
1. Absorbsi melalui Kulit
Berdasarkan kerutannya dalam lipid yang ditemukan di dalam

stratum korneum, minyak essensial dianggap mudah diserap.

Penyerapan senyawa ini berlangsung ketika senyawa ini melewati

lapisan epidermis kulit dan masuk ke dalam saluran limfe, kelenjar

keringat, saraf, serta masuk ke dalam aliran darah dan menuju ke setiap

sel tubuh untuk bereaksi (Djilani & Dicko, 2012).


2. Pemberian melalui Nasal
Jika minyak essensial dihirup, molekul-molekul yang ada pada

minyak tersebut akan terbawa oleh arus turbulen ke langit-langit

hidung. Pada langit- langit hidung terdapat bulu-bulu halus yang

menjulur dari sel-sel reseptor ke dalam saluran hidung. Ketika molekul

minyak tertahan pada bulu-bulu ini suatu impuls akan ditransmisikan

lewat bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius ke dalam sistem limbik.

Proses ini akan memacu memori dan emosional yang lewat

hipotalamus bekerja sebagai regulator yang menyebabkan pesan

tersebut dikirim ke bagian otak dan bagian tubuh lainnya.


Pesan yang diterima akan diubah sehingga terjadi pelepasan zat-

zat neurokimia yang bersifat euforik, relaksan, sedatif, atau stimulan

menurut keperluan tubuh (Djilani & Dicko, 2012).

3. Pijat
Aromaterapi apabila digunakan melalui pijat dilakukan dengan

langsung mengoleskan minyak essensial yang telah dipilih di atas kulit.

Minyak esensial baru bisa digunakan setelah dilarutkan dengan minyak


dasar seperti minyak zaitun, minyak kedelai, dan minyak tertentu

lainnya (Departement of Health, 2007).


2.5.5 Khasiat Minyak Essensial Lemon
Aroma terapi lemon mengandung minyak atsiri yang bermanfaat

sebagai anti stress. Minyak atsiri lemon mampu menenangkan, sehingga

dapat membantu dalam menghilangkan kelelahan mental, pusing, gelisah,

gugup, ketegangan saraf dan menurunkan nyeri. Minyak atsiri lemon

memiliki kemampuan untuk menyegarkan pikiran, yaitu dengan

menciptakan pikiran dalam bingkai positif dan menghapus emosi negatif.

Menghirup minyak atsiri lemon dapat membantu dalam meningkatkan

konsentrasi dan kewaspadaan (Anonim, 2013). Minyak lemon untuk tubuh

bermanfaat untuk mengatasi masalah pencernaan, untuk meredakan sakit

dan nyeri pada persendian dan diterapkan untuk kondisi seperti rematik

dan asam urat, untuk menurunkan tekanan darah dan membantu untuk

meredakan sakit kepala. Hal ini diyakini untuk memperkuat sistem

kekebalan tubuh dan menjadi pewangi yang baik untuk tubuh. Dalam

perawatan kulit, minyak atsiri lemon sangat cocok untuk kulit berminyak.

Namun, harus hati-hati dalam hal penggunaan bila dipakai pada kulit yang

sensitive (Clarke, 2009). Dengan kandungan limonene yang banyak

dibandingkan senyawa lainnya, membuat minyak lemon dapat berfungsi

sebagai aromaterapi.
2.5.6 Kandungan dan Zat Aktif Minyak Lemon
Kandungan senyawa dalam minyak lemon Limonena, Linalol, Neral,

Geranial, Nerol, Geraniol, Terpinolen, Dekanal, Mirsena, Sabinena

(Clarke, 2009). Minyak atsiri jeruk lemon dapat digunakan sebagai


antirematik, antiseptik, antiracun, astringen, antibakteri, diaforetik,

diuretic, antihipertensi, insektisida, dan antijamur (Cooksley, 1996; Tyler

el al, 1988). Mekanisme kerja aroma terapi pada tubuh melalui inhalasi

(dihirup). Komponen aroma dari minyak atsiri setelah dihirup akan cepat

berinteraksi dengan system syaraf pusat dan langsung merangsang pada

system olfactory, kemudian sistem ini akan menstimulasi syaraf-syaraf

pada otak dibawah kesetimbangan korteks serebral.


Senyawa-senyawa berbau harum atau fragrance dari minyak atsiri

suatu bahan tumbuhan telah terbukti pula dapat mempengaruhi aktivitas

lokomotor. Aktivitas lokomotor merupakan aktivitas gerak sebagai akibat

adanya perubahan aktivitas listrik yang disebabkan oleh perubahan

permeabelitas membrane pasca sinaptik dan oleh adanya pelepasan

transmitter oleh neuron prasinaptik pada sistem syaraf pusat (Muchtaridi,

2008). Hal ini didukung oleh (Bansod et al., 2012) dalam penelitiannya

tentang pengaruh dari senyawa limonenaa untuk mengurangi rasa anti

cemas, anti depresi dan anti stress pada tikus. Hasil penelitiannya adalah

bahwa dosis optimum limonene (25mg) menghasilkan efek anti cemas, anti

stress dan anti depresi yang paling baik. Selain itu, minyak atsiri lemon

dalam bidang aromaterapi juga berfungsi untuk mengangkat dan

memfokuskan pikiran.

2.6 Pengaruh SSBM dengan Minyak Lemon dalam Menurunkan Nyeri


Penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri

dan membantu mengurangi ketegangan otot yang dapat meningkatkan nyeri.

Stimulus nyeri yang mencapai ambang nyeri akan menyebabkan aktivasi reseptor
dan terjadi penjalaran impuls nyeri oleh serabut saraf A delta dan C. Adanya

impuls ini akan menyebabkan gerbang nyeri di substansia gelatinosa terbuka.

Namun dengan pemberian stimulasi kutan berupa usapan punggung (SSBM),

dimana stimulus ini direspons oleh serabut A beta yang lebih besar, maka stimulus

ini akan mencapai otak lebih dahulu, dengan demikian akan menutup gerbang

nyeri sehingga persepsi nyeri tidak timbul. Sistem kontrol desenden juga akan

bereaksi dengan melepaskan endorphin yang merupakan morfin alami tubuh

sehingga persepsi nyeri tidak terjadi (Potter & Perry, 2006).


Hal ini sejalan dengan penelitian Husna (2012) mengenai efektivitas SSBM

terhadap perubahan intensitas nyeri LBP menyatakan bahwa setelah massase ini

diberikan pada 32 ibu rumah tangga dan dilakukan analisa data didapatkan nilai

p=0.0001 (p <0.05) yang berarti bahwa terdapat perubahan intensitas nyeri

sebelum dan sesudah diberikan terapi SSBM, sehingga terapi ini efektif dalam

menurunkan nyeri pada pasien LBP. Terapi ini juga dapat membuat pasien lebih

mandiri dalam memanajemen nyeri karena terapi ini murah, mudah dan tidak

memerlukan alat khusus untuk melakukannya. Massase sederhana dengan minyak

essensial digunakan untuk memudahkan penetrasi minyak tersebut pada kulit.


Aromaterapi bekerja dengan merangsang sel-sel saraf penciuman dan

mempengaruhi kerja sistem limbik dengan meningkatkan perasaan positif dan

rileks (Brunner & Suddarth, 2005).


Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2014) mengenai massase

ektremitas dengan minyak lavender terhadap tekanan darah pada lansia hipertensi

dengan jumlah sampel sebanyak 38 responden yang berumur 55-65 tahun. Hasil

rata-rata tekanan darah sistolik sebelum intervensi adalah 140,00 mmHg dan rata-
rata tekanan darah sistolik setelah intervensi adalah 133,95 mmHg dengan nilai p

value= 0,000 sedangkan tekanan darah diastolik sebelum intervensi adalah 90,00

mmHg dan rata-rata tekanan diastolik setelah intervensi adalah 80,00 mmHg

dengan nilai p value=0.005 yang berarti bahwa ada pengaruh massase ekstremitas

dengan aromaterapi lavender terhadap penurunan tekanan darah lansia hipertensi,

sehingga massase ini efektif dalam menurunkan tekanan darah pada lansia

hipertensi. Penelitian lain yang sudah dilakukan Pratiwi (2013) mengenai

penurunan nyeri post sectio cesarean dengan minyak aromaterapi lavender

dengan jumlah sampel sebanyak 30 responden didapatkan nilai p=0,000 (p=0,05)

yang berarti bahwa aromaterapi lavender dapat menurunkan nyeri pada ibu post

section cesarean.
2.7 Kerangka Teori

Lanjut usia: Perubahan yang terjadi


1. usia 60-74 tahun pada
1. lansia:
Perubahan fisik Low Back Pain
2. usia 75-90 tahun 2. Perubahan mental
dalam sistem
3. usia >90 tahun 3.Perubahan
muskuloskletal Penatalaksanaan
Psikososial 1. Farmakologis
2. Non Farmakologis
Slow Stroke Back
Gambar : 2.1 Konsep Teori, pengaruh Slow Stroke Back Massage dengan minyak
Massage dengan
minyak esensial lemon
essensial lemon terhadap nyeri low back pain pada lansia di Balai

Sosial Lanjut Usia Mandalika.


BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo,

2010).
Variabel Independen Variabel Dependen

Slow stroke Back


Skala nyeri Low Back
Massage dengan
Pain pada lansia
Minyak Essensial
Lemon

Faktor yang mempengaruhi Faktor yang mempengaruhi


slow stroke back massage Nyeri:
-Gerakan sirkular sebanyak -Usia
60 kali usapan per menit -Jenis kelamin
Gambar
-Durasi usapn 3.1 Kerangka konseptual,
3-10 menit pengaruh Slow Stroke Back Massage
-Ansietas
-Frekuensi 1 kali sehari pada -Keletihan
pagi hari
dengan minyak essensial lemon terhadap nyeri low
-Dukungan back painDan
keluarga pada lansia di
Sosial
Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak Diteliti

3.2 Variabel Penelitian


Variabel adalah segala sesuatu berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian

ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009).


3.2.1 Variabel Independen
Variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau

yang terjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen


(terikat) (Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini variabel independennya

adalah Slow Stroke Back Massage dengan Minyak Essensial Lemon


3.2.2 Variabel Dependen
Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono,2009). Dalam

penelitian ini variabel dependennya adalah skala nyeri LBP pada lansia di

balai sosial lanjut usia mandalika (BSLU) .


3.3 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian dari suatu penelitian. Hasil

suatu penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian

yang dirumuskan. Jadi hipotesis di dalam penelitian berarti jawaban sementara

penelitian, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan

dibuktikan dalam penelitian tersebut (Setiadi, 2007).


Ho : Tidak ada pengaruh Slow Stroke Back Massage dengan minyak

essensial lemon terhadap nyeri LBP pada lansia


Ha : Ada pengaruh Slow Stroke Back Massage dengan minyak essensial

lemon terhadap nyeri LBP pada lansia

3.4 Definisi Operasional


Definisi oprasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana cara

menentukan variabel dan mengukur suatu variabel yang sama (stiadi,2007).


1. Independen (bebas) variabel yang mempengaruhi adalah Stimulus Kutaneus

Slow Stroke Back Massage dengan Minyak Essensial Lemon.


2. Dependen (terikat) variabel yang dipengaruhi adalah skala nyeri LBP pada

lansia
Adapun penjelasan dari kedua variabel tersebut terdapat pada tabel berikut :
Tabel 3.4 Definisi Operasional

Variabel Definisi Parameter Alat ukur Hasil ukur Skala ukur


Operasional
Independen : Tehnik slow 1. Lokasi -Wawancara - -
slow stroke stroke back masase pada (terstruktur)
back massage dengan daerah
massage minyak punggung
dengan essensial lemon 2. Lama
minyak diberikan 2 kali pemberian
essensial seminggu dalam masase 10
lemon 10 menit. menit
3. Dilakukan
pada pagi
hari
Dependent: Perubahan skala . Tidak nyeri -VAS Skala 0-10 Ordinal
Skala nyeri nyeri yang .Nyeri ringan (Skala nyeri dengan
LBP pada dirasakan pada .Nyeri sedang dengan analogi kriteria:
lansia lansia yang .Nyeri berat visual) 0: tidak
diukur .Sangat nyeri nyeri
menggunakan 1-3: nyeri
skala ringan
bourbonais (0- 4-6: nyeri
10) sedang
7-9: nyeri
berat
10: sangat
nyeri
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan penelitian

atau menguji keaslian hipotesis (Nursalam, 2008). Desain penelitian membantu

peneliti untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian dengan sahih,

objektif, akurat serta hemat (Setiadi, 2007).


Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode pra eksperimental

dengan pendekatan one group pretest – posttest. Ciri dari tipe penelitian ini

adalah tidak menggunakan kelompok pembanding (kontrol) yang dilakukan

dengan cara observasi pertama (pretest) yang memungkinkan peneliti dapat

menguji perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Setiadi, 2009).


Adapun gambar dari desain penelitian one group pretest-posttest adalah

sebagai berikut :
Pre tes Perlakuan Post tes

01 Keterangan: X 02
01 : Observasi pada saat pre-tes
02 : Observasi setelah post-tes
X : Intervensi / perlakuan
Gambar 4.1 : Rancangan penelitian One group pretest – Posttest
4.2 Lokasi Penelitian
4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika

tahun 2019
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dibulan Maret-April 2019 (Jadwal

terlampir)

4.3 Populasi dan Sampel


4.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek dan

subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua lansia yang mengalami LBP di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika

sebanyak 30 orang.
4.3.2 Sampel dan Besar Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,

2010). Sampel pada penelitian ini adalah lansia yang mengalami LBP di

Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika. Sampel yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria inklusi. Variabel yang diuji

adalah komparatif numerik berpasangan pengukuran berulang dua kali

pengukuran, sehingga perhitungan sampel dihitung dengan rumus

(Dahlan, 2016) :
n = [Zα + Zβ] S 2
X1-X2

Keterangan :
n = jumlah subyek yang mendapat responden
Alpha = kesalahan tipe satu, ditetapkan 5% hipotesis satu arah
Metode penarikan sampel dengan rumus factorial arah
Zα = nilai standar alpha 5% hipotesis satu arah, yaitu 1,96
Beta = kesalahan tipe dua, ditetapkan 20%
Zβ = nilai standar beta 20%, yaitu 0,84%
X1-X2 = selisih minimal skor yang bermakna antara sesudah dan

sebelum diberikan perlakuan, ditetapkan sebesar 0,5


S = simpang baku selisih skor antara sesudah dan sebelum

diberikan perlakuan, berdasarkan kepustakaan = 0,5


n= [Zα + Zβ] S 2

X1- X2
n= [1,96 + 0,84] 0,5 2
0,5
n = 7,8
n= 8
Jadi dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel, yaitu 8 orang

yang dijadikan sebagai estimasi. Maksudnya ketika jumlah sampel

terpenuhi sebelum batas waktu penelitian berakhir, maka penelitian boleh

dihentikan.
4.3.3 Kriteria Sampel
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan

atau layak untuk diteliti adalah :


1) Lansia yang berusia 60 tahun
2) Lansia yang bersedia dilakukan Slow Stroke Back Massage
3) Lansia dengan LBP di punggung bawah
4) Kesadaran Composmentis dapat berkomunikasi dengan baik
2. Kriteria Eklusi
Kriteria eklusi adalah criteria yang tidak layak untuk diteliti
1) Lansia yang memiliki riwayat alergi jika diberikan usapan minyak
2) Lansia yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik
4.3.4 Teknik sampling
Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel, untuk

menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian (Sugiyono,

2009).
Pada penelitian ini, sampel diambil dari sebagian lansia yang

mengalami LBP di BSLU. Pemilihan teknik sampling dalam penelitian ini

menggunakan tehnik Non Probability Sampling dengan purposive

sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu

(Sugiyono, 2009).
4.4 Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan izin

kepada institusi Stikes Yarsi Mataram. Setelah mendapat persetujuan peneliti

mengumpulkan data dan melakukan Slow Stroke Back Massage terhadap skala

nyeri LBP yang akan diteliti dengan menekankan pada masalah etika yang

meliputi :
1. Informed concent (Lembar Persetujuan)
Lembar persetujuan ini diberikan dan dijelaskan kepada responden yang

akan diteliti yang memenuhi criteria inklusi dan disertai judul penelitian serta

manfaat penelitian dengan tujuan responden dapat mengerti maksud dan

tujuan penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap

menghormati hak-hak subjek.


2. Anonimity (Tanpa Nama)
Peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar

pengumpulan data yang diisi subjek, tetapi hanya diberikan kode tertentu,

demi menjaga kerahasiaan identitas subyek.


3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.


4.5 Instrumen Penelitian
4.5.1 Teknik pengumpulan data
Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode wawancara dan observasi, untuk mengukur tingkat penurunan skala

nyeri dengan LBP


Metode wawancara yang digunakan adalah metode wawancara

terstruktur. Pengukuran wawancara terstruktur meliputi strategi yang

memungkinkan adanya suatu control dari pembicaraan sesuai dengan isi

yang diinginkan peneliti. Daftar wawancara sudah disusun sebelum

wawancara dan ditanyakan secara urut. Metode observasi disini adalah

untuk mengukur skala nyeri yaitu : tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang,

nyeri berat, sangat berat.


4.5.2 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nyeri

Bourbonais dengan angka nyeri 0 sampai dengan 10 mengukur skala nyeri

saat pre-test dan post-test pada responden yang diteliti . Metode untuk

pengumpulan data digunakan metode observasi menggunakan check list

yaitu suatu daftar untuk men “cek”, yang berisi nama subjek dan beberapa

gejala serta identitas lainnya dari sasaran pengamatan. Pengamat tinggal

memberikan tanda check (√) pada daftar tersebut yang menunjukkan

adanya gejala atau cirri dari sasaran pengamatan. Metode berikutnya adalah

wawancara terstruktur yaitu pedoman wawancara yang disusun secara

terperinci sehingga menyerupai check-list. Pewawancara tinggal

membubuhkan tanda √ (check) pada nomor yang sesuai (Arikunto, 2010).


4.5.3 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam melakukan intervensi pada

penelitian ini adalah:


1. Minyak essensial lemon
2. Selimut mandi
3. Handuk mandi
4. Stopwatch
4.5.4 Prosedur
Peneliti akan memperkenalkan identitas (diri dan institusi), maksud

dan tujuan, kemudian meminta persetujuan dari penderita, peneliti akan

melakukan kontrak waktu dengan kepala Balai Sosial Lanjut Usia

Mandalika dan responden untuk melakukan observasi awal mengenai skala

nyeri pada lansia yang mengalami Low Back Pain, dengan menggunakan

instrument yang telah ditentukan. Setelah dilakukan observasi awal,

kemudian dilakukan kontrak untuk pemberian perlakuan dan kontrak waktu

untuk observasi lanjutan setelah pemberian perlakuan, jarak waktu untuk

observasi post test adalah 15 menit setelah diberikan perlakuan. Penelitian

ini akan dilakukan selama 2 kali seminggu dimana Slow Stroke Back

Massage akan diberikan setiap pagi hari saat nyeri LBP bisa dirasakan oleh

lansia.

4.6 Pengumpulan Data


Pengumpulan data peneliti menggunakan wawancara terstruktur dan lembar

observasi yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang karakteristik

responden penderita low back pain di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika.

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Memperoleh ijin untuk melakukan penelitian dari kampus kemudian ke

Bakesbangpol Kota Mataram, dan ke Balai Sosial Lanjut Usia mandalika.


2. Melakukan pemilihan sampel atau responden sesuai dengan criteria inklusi.
3. Memberi penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian yang

akan dilaksanakan kepada responden.


4. Setelah responden memahami penjelasan yang diberikan, responden diminta

persetujuan sebagai responden dalam penelitian dengan menandatangani

informed consent sebagai buktinya.


5. Melakukan pre test SSBM dengan minyak essensial lemon pada responden

yang memenuhi criteria inklusi


6. Peneliti memberikan perlakuan berupa SSBM dengan minyak essensial

lemon yang dilakukan sebanyak 2 kali seminggu. Setelah diberikan

perlakuan, peneliti memberikan pos test skala nyeri LBP kepada kelompok

perlakuan.
7. Peneliti melakukan analisis data kepada kedua kelompok perlakuan.

4.7 Pengolahan Data


Setelah pengumpulan data dilakukan kemudian diolah dengan cara sebagai

berikut :
1. Memeriksa (Editing)
Dilakukan pengecekan kelengkapan pada data yang telah terkumpul, jika

terdapat kesalahan dan kekurangan dalam pengumpulan data akan diperbaiki

dengan pemeriksaan dan pendataan ulang.


2. Memberi tanda kode (Coding)
Pemberian kode atau tanda pada setiap data yang telah terkumpul untuk

mempermudah memasukkan data ke dalam tabel.


3. Tabulating
Untuk mempermudah analisa data dan pengolahan data serta

pengambilan kesimpulan. Data dimasukkan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi dengan memberikan skor terhadap responden.


4. Cleaning
Cleaning adalah melakukan pengecekan kembali data yang sudah di

entry untuk melihat ada tidaknya kesalahan terutama kesesuaian pengkodean

yang telah ditetapkan dengan pengetikan melalui komputer.

4.8 Analisa Data


4.8.1. Analisis Univariat
Analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian.


1. Data karakteristik responden (Nama, Jenis kelamin, umur, pekerjaan,

pendidikan, lokasi lbp)


Berikut ini akan disajikan tabel distribusi frekuensi berdasarkan jenis

kelamin sebagai berikut :


Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2019

Jenis kelamin Frekuensi (n) f (%)


Laki-laki
Perempuan
Total
Sumber : Budiarto (2002)
a. Melakukan Slow Stroke Back Massage pada Lansia dengan LBP.
b. Penurunan skala nyeri pada angka 0 dari skala nyeri 10.
4.8.2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat adalah analisis terhadap dua variabel dengan tujuan

mencari pengaruh antara kedua variabel tersebut. Dalam penelitian ini

hubungan antara variabel (Pengaruh Slow Stroke Back Massage terhadap

skala nyeri LBP pada lansia) maka dilakukan tabulasi dan analisis data

dengan menggunakan ujia statistik Mann Whitney dan Wilcoxon Signed

Rank Test untuk membandingkan data sebelum dan sesudah dilakukan

intervensi dengan tingkat signifikansi p ≤ 0,05 dan tingkat kepercayaan

95%. Bila hasil perhitungan p ≤ 0,05 berarti Ho ditolak. (Shocker, 2008).


Tabel 4.3 Rencana Tabulasi Data
No Pre Test Post Test
Selisih
subjek Skala Skor Skala Skor
1
2
Sumber : Shocker, (2008)

Anda mungkin juga menyukai