Anda di halaman 1dari 26

LAPORAAN PENDAHULUAN SYSTEMIC LUPUS ERYHEMATOSUS

A. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan
faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun
tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu
penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap
organ tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus
dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta
jantung (Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang
bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan
pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar
terhadap IgG dan imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen
yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis)
dan radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga merupakan penyakit
auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada prempuan.
Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau secara
alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin
E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi,ginjal,selaput serosa
permukaan dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya.
Peradangan kronis ini mengenai prempuan muda dan anak-anak 90% penderita
[penyakit SLE adalah prempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,seperti
siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi yang
aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.

1
B. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau
blok jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat
yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang
berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi peningkatan komplomen yaitu :
Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen yang mengode reseptor drl T,
immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menyadi
lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T
dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu infeksi
virus dan bakteri juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et
al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab
SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia
produktif,peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit
lebih tinggi padaa wanita pascamenoupause yang menggunakan suplementasi
estrogen. Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE,namun
studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan bahwa pemberian kontrasepsi

2
hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit
pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

C. Patofisiologi

Faktor Lingkungan
Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral Laboratorium


Xerostomin

Arthritis Lesi Ulserasi


Butterfly
Gangguan
Serositis rash Lesi Diskoid
darah

Ganggua Discoid Lesi Mirip


Gangguan
n ginjal rash lichen
imun
plamus
Ganggua Fotosensi
Antibody
n saraf tivitas kandidiasis
antinuklir
(ANA)

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet

3
atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam
tubuh yaitu :
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk
kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

4
D. Pathway SLE

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada
suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan,perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi
dari ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena

5
perbedaan multisystem dari manifestasi kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis
sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang
dengan gejala kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap
atau tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan
aktivitas penyakit dan remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat
jarang,pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE
dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada
pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE.
Kedua, efek samping pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka
panjang, harus dibedakan dengan tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi
imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,dimana
peningkatan berat badan, khusus pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap selanjutnya.
Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan
seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti
gejala-gejala ini belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan,
gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya
gejala konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala ini
mungkin juga disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga
ditemukan pada pasien. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan
malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum yang memperberat
penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam
yang telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan
(exaggerated sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah

6
terpajan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering
ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, walapun
belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk
kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan
persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai
malar rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien.
Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-
minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak
eritematosa dengan adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat
diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema
inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus
subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar
matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V dileher ) tanpa pacaran
sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo
riticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau
bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus
vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit kepala, namun biasanya
muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali jika terdapat
lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus
dibedakab dari infers virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom
Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan
saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata
dan mulut kering merupakan efek samping pengobatan. Pada kasus ini
ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini
ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar
matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar
rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok
waktu menyikat rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal

7
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan
nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah
deformitas jaccoud yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan
tidak terbukti secara radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang.
Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau
antimalaris, namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan
dan biasannya merupakan gejala yang tumpah tindih. Tenosinovitis dan
bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan komplikasi terapi
glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat disebabkan oleh
penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput
femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia
merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit,
efek samping pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati
dan faktor psikogenik. Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri
pada sendi jari pada kedua tangan yang tidak disertai dengan gangguan
pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi muskuloskletal yang ditemukan
pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG minimal, aritmia
atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati
dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik nonifeksi
(Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat
menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi.
Arterisklerosis premature dengan angina pektrois dan infark miokardium
merupakan sumber mortalitas dan morbilitas jangka panjang yang paling
serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid

8
kronik,menopause premature, serta faktor diet dan gaya hidup dapat
menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diindikasi
dingin pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel
ditangan dan kaki sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran
patologis yang sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi
pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali fatal. Sebagian besar
cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh antibody
antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat
menyebabkan thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran
pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan
protein S, faktor V Leiden dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya
trombisis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinya thrombosis vena dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi
dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun
sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi
parenkim paru pneumonitis atau alveolitis dan dibuktikan dengan batuk,
hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan
hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa pneumonitis akut dan
memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus kronik
dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik,
dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru
restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang,
miopati atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan
neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh antibody
antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang tidak
dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum
keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama

9
sekali tidak menimbulkan gejala sampai glumerulonefritis
membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis
ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan hematuria
mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik
dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen
urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan
kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang
disuspek nefritis karena ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis
karena ditemukan proteinuria 25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00
leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini
diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan
serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein, pleiositosi, dan /atau
autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi
inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan pada biopsy
leptomeningeal dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis lupus SSP adalah
gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan serebrospinal
dan pencitraan menujukkan hasil normal dan diagnosis banding dari penysakit
psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah
ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering
ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan
menyerupai migren yang hanya responsive terhadap glikokortikoid merupakan
kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini
disuspek lupus serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal

10
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas
untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan
komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas
berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan atau gastropati terkait
glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,
vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang
pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek
pengobatan. Peningkatan enzim hati terkafdang dihubungkan dengan hepatiris
noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun
melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh
penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan penggunaan jangka
panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati dengan
peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering
namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat
disebabkan oleh hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin
rendah dan kadar laktat dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi.
Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat
dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan asupan makanan.
Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar
kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko
terjadinya infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh
glukokortikoid. Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan
oleh antibody antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari
50000/πL), disebabkan oleh antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis
SLE dan awalnya mungkindidiagnosis sebagai purpura trombositopenik
idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau manifestasi hematologi
sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus
ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.

11
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada
penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom
sjogren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic
atau oklusi arteri atau vena retina.

F. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America
rheumatism association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982
merevisi kreteria untuk klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11
kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria
diagnosis SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA
serositis, Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut)
immunological disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum
Dis 2001.

G. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :

12
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan
dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid
untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral
tinggil tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

H. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan
berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi
dikulit, ginjal dan neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode
aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai
dengan penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi yang paling sering
digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi antibody ini juga dapat
ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik
adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat
untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas
penyakit dapat sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah
artikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti
DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko
keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan
titer

13
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody)
berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri,
vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan
trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi
darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE,
CRP, analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang
dilakukan adalah biopsy.

I. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam
sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang
menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling
sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem
saraf. Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan
beberapa kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan
darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli
paru. Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang
melawan faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang
berarti.

14
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan
tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada
jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.

15
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS

A. Pengkajian
1.   Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan
wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit
ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan :
artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga

16
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang
sama atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot
nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau
efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup
pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif),
orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan
kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

17
B. Diagnosa
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial kronis
(metastase kanker, injuri neurologis, arthritis).
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidak mampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada mukosa
mulut
4. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

18
C. Perencanaan/Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan (NIC)


. ( NOC)
1. Nyeri kronis berhubungan 1. Comfort level Pain management
dengan ketidak mampuan fisik- 2. Pain control 1. Monitor kepuasan
psikososial kronis (metastase 3. Pain level pasien terhadap
kanker, injuri neurologis,Tujuan : Setelah dilakukan manajemen nyeri
arthritis). tindakan keperawatan selama 2. Tingkat istirahat dan
24 jam nyeri kronis pasien tidur yang adekuat
berkurang dengan kriteria 3. Kelola antianalgesik
hasil: 4. Jelaskan pada pasien
1. Tidak ada gangguan penyebab nyeri
tidur 5. Lakukan tehnik
2. Tidak ada gangguan nonfarmakologis
konsetrasi ( relaksasi masase
3. Tidak ada gangguan punggung)
hubungan
intrerpersonal
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan
otot
2 Peningkatan suhu tubuhThermoregulasi 1. Monitor suhu sesering
berhubungan dengan inflasi Tujuan : Setelah dilakukan mungkin
tindakan selama 24 jam pasien 2. Monitor TD, nadi dan
menunjukan kriteria hasil : RR
1. Suhu tubuh dalam 3. Monitor WBC,Hb dan
batas normal Hct
2. Nadi dan RR dalam 4. Monitor intake dan
rentang normal output
3. Tidak ada perubahan 5. Berikan antipiretik
warna kulit dan tidak sesuai advis dokter
ada pusing, pasien 6. Selimuti pasien
merasa nyaman 7. Berikan cairan intravena
8. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
9. Tingkatkan sirkulasi
udara
10. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
11. Monitor hidrasi seperti
turgor kulit,
kelembaban mukosa

19
a. Nutritional status : 1. Kaji adanya alergi
Ketidak seimbangan nutrisi adequacty of nutrient makanan
kurang dari kebutuhan tubuh b. Nutritional status : 2. Kolaborasi dengan ahli
berhubungan dengan ketidak Food and fluid intake gizi untuk menentukan
mampuan untuk memasukkan c. Weght control jumlah kalori dan
nutrisi karena gangguan padaTujuan : Setelah dilakukan nutrisi yang dibutuhkan
3. mukosa mulut tindakan keperawatan Selama pasien
2x24 jam nutrisi kurang 3. Ajarkan pasien
teratasi dengan indicator : bagaimana membuat
1. Albumin serum catatatan makanan
2. Prealbumin serum harian
3. Hematokrit 4. Monitor adanya
4. Hemoglobin penurunan BB dan gula
5. Total iron binding darah
capacity 5. Monitor lingkungan
6. Jumlah limfosit selama makan
6. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringa,
rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar
Hct
9. Monitor mual dan
muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
kojungtiva
11. Monitor intake nutrisi
12. Informasikan pada
pasien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
13. Kolaborasi dengan
dokter tentang
kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/TPN sehingga
intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
14. Atur posisi semifowler
tinggi selama makan
15. Kelola pemberian

20
antiemetic
16. Anjurkan banyak
minum
17. Pertahankan terapi IV
line
18. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik,
papilla lidah dan cavitas
oral
1. Activity tolerance
Kelelahan berhubungan dengan 2. Energy conservation 1. Monitor respon
kondisi fisik yang buruk karena 3. Nutritional status kardiorespirasi terhadap
suatu penyakit energy aktivitas (takikardi,
Tujuan : Setelah dilakukan disritmai, dyspnea,
tindakan keperawatan selama diaphoresis, pucat,
2x24 jam kelelahan pasien tekanan hemodinamik
teratasi dengan kriteria hasil : dan jumlah respirasi)
1. Kemampuan aktivitas 2. Monitor dan catat pola
adekuat dan jumlah tidur pasien
2. Mempertahankan 3. Monitor lokasi ketidak
nutria adekuat nyamanan atau nyeri
4 3. Keseimbangan selama bergerak dan
aktivitas dan istirahat aktivitas
4. Menggunakan teknik 4. Monitor intake nutrisi
energy konservasi 5. Monitor pemberian dan
5. Mempertahankan efek samping obat
interaksi social depresi
6. Mengidentifikasi 6. Kolaborasi dengan ahli
faktor fisik dan gizi tentang cara
psikologis yang meningkatkan intake
menyebabkan makanan tinggi energy
kelelahan 7. Monitor pemberian dan
7. Mempertahankan efek samping obat
kemampuan untuk depresi
konsentrasi 8. Instruksikan pada
pasien untuk mencatat
tanda dan gejala
kelelahan
9. Jelas pada pasien
hubungan kelelahan
dengan proses penyakit
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya
11. Catat aktivitas yang

21
dapat meningkatkan
relaksasi
12. Tingkatkan pembatasan
bedrest dan aktivitas
13. Batasi stimulasi
lingkungan untuk
memfasilitasi relaksasi

1. Anjurkan pasien untuk


menggunakan pakaian
Kerusakan integritas kulit 1. Tissue integrity : Skin yang longgar
berhubungan dengan deficit and mucous membrane 2. Hindari kerutan pada
imunologi 2. Wound healing primer tempat tidur
dan sekunder 3. Jaga kebersih dan
Tujuan : Setelah dilakukan kering
tindakan keperawatan selama 4. Monitor kulit akan
2x 24 jam kerusakan adanya kemerahan
integritaskulit berkurang 5. Mobilasasi pasien
dengan kriteria hasil : ( ubah posisi pasien)
1. Intergritas kulit yang setiap dua jam sekali
baik bisa 6. Oleskan lotion atau
dipertahankan (sensai, minyak pada daerah
elastisitas, yang tertekan
temperature, hidrasi, 7. Monitor status nutrisi
5 pigmentasi) pasien
2. Tidak ada luka/lesi 8. Monitor status nutrisi
pada kulit pasien
3. Perfusi jaringan baik 9. Memandikan pasien
4. Menujukkan dengan sabun dan air
pemahaman dalam hangat
proses perbaikan kulit 10. Kaji lingkungan dan
dan mencegah peralatan yang
terjadinya cedera menyebabkan tekanan
berulang 11. Obsevasi luka : lokas,
5. Mampu melindungi dimensi, kedalaman
kulit dan luka, karakteristik,
mempertahankan warna cairan, granulasi,
kelembaban kulit dan jaringan nekrotik, tanda
perawatan alami infeksi local, formasi
6. Menunjukkan terjadi traktus
proses penyembuhan 12. Ajarkan pada keluarga
luka tentang luka dan
perawatan luka
13. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKT,
vitamin, cegah

22
kontaminasi feses dan
urin
14. Lakukan teknik
perawatan luka dengan
steril
15. Berikan tekanan pada
luka

D. IMPLEMENTASI
E. EVALUASI

23
24
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing


Interventions Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for


Nurse Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus:


modern strategies for management – a moving target. Best Practice
& Research Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987,
2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of


Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child
Health 18:2. Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone &
Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


Outcomes Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong


(Wong’s Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing


care: optimizing outcomes for mothers, children, and Families.
United States of America : F.A. Davis Company

25
1

Anda mungkin juga menyukai