Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS INDONESIA

Makalah Kelompok

Untuk Mata Kuliah

Pajak Penghasilan Badan

“PASAL 24 DAN PASAL 26 UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN”

Disusun oleh:
Nathasya Marta Ningrum (1406621065)
Nur Atikasari (1406621065)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL 2014

PROGRAM S-1 PARALEL

DEPOK

2016

I. Pendahuluan
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan suatu kontribusi wajib kepada negara yang

terhutang terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh

dalam tahun pajak. Kriteria Subyek Pajak yang dikenakan PPh adalah Subyek

Pajak orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan

menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap yang telah memiliki

objek pajak. Subyek Pajak ini dapat disebut sebagai Wajib Pajak yang memiliki

kewajiban untuk mematuhi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), salah

satunya tercantum dalam BAB V, yaitu pelunasan pajak dalam tahun berjalan.

Dalam makalah ini hanya akan membahas pada Pasal 24 mengenai transaksi

Wajib Pajak Luar Negeri kepada Wajib Pajak Dalam Negeri dalam bentuk Kredit

Pajak Luar Negeri (KPLN) dan Pasal 26 mengenai transaksi Wajib Pajak Dalam

Negeri kepada Wajib Pajak Luar Negeri dalam UU PPh berdasarkan UU No. 36

Tahun 2008.

II. Isi

2.1 Latar Belakang Pasal 24 UU PPh

Suatu organisasi terutama organisasi privat memiliki kecenderungan untuk

memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan cara melihat ukuran kinerja

yaitu kemampuan berproduksi, kemampuan memperoleh profit yang mampu

diraih, cara yang dilakukan oleh manajar dalam melakukan efisiensi dan

efektivitas terhadap output dan input atau cost dan benefit, serta kemampuan

organisasi untuk berkompetisi dalam merebut pangsa pasar (Tangkilisan,

2005). Dalam website Ortax, salah satu strategi perusahaan dalam merebut

pangsa pasar adalah dengan melakukan investasi melalui menanamkan

modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di negara lain, seperti


perusahaan dapat menyediakan modal untuk membangun perusahaan baru di

negara lain atau membeli saham suatu perusahaan di negara lain. Perluasan

pangsa pasar hingga ke luar negeri yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam

Negeri di Indonesia dikenakan PPh karena konsep penghasilan yang diakui

dalam Pasal 4 UU PPh menyatakan bahwa penghasilan baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia merupakan bagian dari objek Pajak

Penghasilan (konsep Worldwide Income).

2.1.1 Ketentuan Pengkreditan Penghitungan KPLN berdasarkan

Pasal 24 UU PPh

Pasal 24 UU PPh merupakan suatu solusi dalam mengatasi Pajak

Berganda Internasional (PBI) secara internasional karena konsep

Worldwide Income dapat menimbulkan pengenaan pajak lebih dari sekali,

yaitu pengenaan pajak di luar negeri dan di dalam negeri. Oleh sebab itu,

dalam menghindari pengenaan pajak berganda dan memberikan perlakuan

pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh

oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dari luar negeri serta penghasilan yang

diterima atau diperoleh dari Indonesia maka berdasarkan ketentuan Pasal

24 Ayat (1) dan Ayat (2) UU PPh, pajak yang dibayar atau yang terutang di

luar negeri dapat dikreditkan dengan pajak yang terutang dalam tahun

pajak yang sama di Indonesia namun tidak melebihi penghitungan pajak

yang terutang. Wajib Pajak Dalam Negeri yang memiliki sumber

penghasilan dari Luar Negeri dalam menghitung batas jumplah pajak yang

boleh dikreditkan diatur dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (3) dan Ayat (4)

UU PPh. Disisi lain, UU PPh menggunakan metode kredit pajak Ordinary


Tax Credit, yaitu metode kredit pajak terbatas karena Indonesia memiliki

perjanjian perpajakan secara internasional yang dikenal dengan Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan tujuan melindungi penduduk

suatu negara supaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau lebih

otoritas pajak dari dalam negeri maupun luar negeri. Metode penghindaran

pajak berganda ini dituangkan dalam aturan domestik negara tersebut,

yaitu UU PPh yang berlaku di Indonesia. maka besarnya batasan KPLN

berdasarkan Pasal 24 UU PPh untuk setiap Negara dapat diperoleh dengan

perhitungan sebagai berikut:

Penghasilan Neto Negara A

-------------------------------------- X PPh Terhutang

Penghasilan Kena Pajak


Batas maksimum KPLN telah dirangkum dalam Ortax, yaitu diambil yang

terendah dari ketiga unsur berikut:

1. Jumlah Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri

2. (Penghasilan Luar Negeri / Penghasilan Kena Pajak ) X PPh Terutang

3. Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal

penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

Melalui penjelasan ini, pada Pasal 24 Ayat (6) UU PPh ada hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan menghitung KPLN

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (KMK No. 164/KMK.03/2002),

yaitu:

a) Penghitungan Penghasilan dari Luar Negeri dan Penghasilan dari Dalam

Negeri terkait dengan Active Income dan Passive Income


Active Income (penghasilan dari usaha dan bersifat rutin) dilakukan dalam

tahun pajak diperolehnya penghasilan sedangkan Passive Income

(penghasilan dari usaha dan bersifat tidak rutin serta penghasilan lainnya)

dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut kecuali

untuk penghasilan berupa dividen dilakukan dalam tahun pajak pada saat

perolehan dividen tersebut (PMK No. 256/PMK.03/2008).

b) Kerugian yang terjadi di Luar Negeri tidak dapat diperhitungkan dalam

Penghasilan Netto Dalam Negeri dan Luar Negeri

Kerugian yang terjadi di Luar Negeri tidak diperlakukan sama dengan

kerugian di Dalam Negeri dalam hal kompensasi, yaitu kerugian yang

terjadi di Luar Negeri tidak dilakukan kompensasi sebaliknya kerugian

yang terjadi di Dalam Negeri dilakukan kompensasi sesuai dengan

ketentuan UU PPh di Indonesia.

c) Apabila Penghasilan dari Luar Negeri berasal dari beberapa Negara

maka penghitungan KPLN tidak dapat dihitung sekaligus

Contoh untuk poin a hingga c:

PT Macet di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014

sebagai berikut:

o Di negara Argentina, memperoleh penghasilan (laba)

Rp5.000.000.000,- dengan tariff pajak sebesar 40% (Rp2.000.000.000,-)

o Di negara Brazil, memperoleh penghasilan (laba) Rp6.000.000.000,-

dengan tarif pajak sebesar 20% (Rp1.200.000.000,-)

o Di negara Canada, menderita kerugian Rp3.000.000.000,-

o Penghasilan usaha di dalam negeri Rp7.000.000.000,-


o Dividen atas pemilikan saham pada "World Cup Ltd." yang terdaftar

pada Bursa efek di Negara Drogba sebesar Rp500.000.000,- yaitu berasal

dari keuntungan tahun 2012 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham

tahun 2013 dan baru dibayar dalam tahun 2014, dan dikenai Pajak

Penghasilan dengan tarif 20% (Rp100.000.000,-)

Ilustrasi Penghitungan:

Laba di negara Argentina = Rp5.000.000.000,-

Laba di negara Brazil = Rp6.000.000.000,-

Rugi di negara Canada = Rp ‐

Deviden Negara Drogba = Rp500.000.000,-

Jumlah Penghasilan luar negeri = Rp11.500.000.000,-

Penghasilan dalam negeri = Rp7.000.000.000,-

Jumlah Penghasilan WWI Netto = Rp18.500.000.000,-

Pajak Terutang Pasal 17 (25%) = Rp4.625.000.000

Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing‐masing negara

adalah:

o Untuk negara Argentina batasan kredit pajak:

= 5.000.000.000 / 18.500.000.000 X 4.625.000.000 = 1.250.000.000

Pajak yang dibayar di Negara Argentina adalah Rp2.000.000.000

Jumlah maksimum yang dapat dikreditkan adalah Rp1.250.000.000

walaupun yang dibayarkan di Negara Argentina adalah Rp2.000.000.000

o Untuk negara Brazil batasan kredit pajak:

= 6.000.000.000 / 18.500.000.000 X 4.625.000.000 = 1.500.000.000


Pajak yang dibayar dinegara Brazil adalah Rp1.200.000.000 Jumlah yang

dapat dikreditkan dari Negara Brazil adalah Rp1.200.000,000, walaupun

batas maksimum atas penghasilan dari dinegara Brazil adalah

Rp1.500.000.000

o Rugi atas usaha di Negara Canada tidak digabungkan dalam

penghitungan.

o Deviden Negara Drogba, batasan kredit pajak:

= 500.000.000 / 18.500.000.000 X 4.625.000.000 = 125.000.000

Pajak yang dibayar di Negara Drogba adalah Rp100.000.000

Jumlah yang dapat dikreditkan dari Negara Drogba adalah Rp100.000.000

walaupun batas maksimum atas penghasilan dari di Negara Drogba adalah

Rp125.000.000

Selain itu, Wajib Pajak Dalam Negeri dalam menikmati fasilitas

KPLN perlu juga untuk memerhatikan Pasal 24 Ayat (5) UU PPh terkait

dengan “Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan

ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang

terutang menurut UU ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada

tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan”. Sepanjang koreksi

tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan Surat

Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang

kurang dibayar tersebut tidak ditagih. Namun, apabila terjadi koreksi

berupa koreksi yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan

terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar.


Koreksi tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di

Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi

lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada

Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain. Hal ini

dapat diperjelas dengan contoh berikut:

PT. Oceanary telah melakukan pengkreditan pajak pada tahun 2001

sebesar Rp10.000.000,- namun pada tahun 2002, PT. Oceanary mendapat

pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri dalam tahun pajak 2001

sebesar Rp3.000.000,-. Sebelumnya, PT. Oceanary telah memasukan

nominal Rp3.000.000,- dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap

pajak yang terutang untuk tahun pajak 2001. Melalui hal ini, PT. Oceanary

seharusnya memiliki besar pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia

menjadi lebih kecil dari perhitungan semula. Oleh sebab itu, jumlah

sebesar Rp3.000.000,- tersebut ditambahkan dalam PPh terutang dalam

tahun pajak 2002.

Ilustrasi Penghitungan:

PPh terhutang Tahun Pajak 2001 = Rp40.000.000,- (Rp50.000.000,- untuk

PPh terhutang Tahun Pajak 2001 dan Rp10.000.000,- untuk KPLN)

Pengurangan Pajak untuk Tahun Pajak 2001 namun baru diberitahukan

pada Tahun Pajak 2002 = Rp3.000.000,-

PPh terhutang Tahun Pajak 2001 seharusnya = Rp43.000.000,-

(Rp50.000.000,- untuk PPh terhutang Tahun Pajak 2001 dan

Rp7.000.000,- untuk KPLN)


Namun, PT. Oceanary tidak perlu membetulkan PPh pada Tahun Pajak

2001 melainkan jumlah sebesar Rp3.000.000,- tersebut ditambahkan

dalam PPh terutang dalam tahun pajak 2002 = Rp33.000.000,-

(Rp30.000.000,- untuk PPh terhutang Tahun Pajak 2002 dan

Rp3.000.000,- untuk pengurangan pajak atas penghasilan yang dibayar di

luar negeri pada Tahun Pajak 2001)

2.2 Pasal 26 UU PPh

Indonesia terkenal sebagai negara yang banyak di cari oleh orang-orang

luar negri baik dalam hal menanamkan investasi maupun mendirikan badan

usaha. Orang tersebut mendapatkan penghasilan dari Indonesia baik dalam

bentuk dividen, bunga, royalti, maupun jasa. Atas penghasilan tersebut yang di

dapat dari Indonesia selain badan usaha tetap maka Indonesia menetapkan

adanya potongan pajak bagi warga luar negeri yang menerima pengahsilan dari

dalam negeri kecuali bentuk usaha tetap. Kewajiban perpajakan Wajib Pajak

Luar Negeri tersebut dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri yang

melakukan pembayaran melalui kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak

Penghasilan. Kettentuannya diatur dalam UU PPh Pasal 26.

Pasal 26 UU PPh adalah Pajak yang dikenakan/dipotong atas penghasilan

yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP)

luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Sesuai dengan pasal

26 ayat (1) UU PPh pengahasilan ini dipotong dari penghasilan yang diterima

oleh Wajib Pajak luar negeri dan dibayarkan oleh badan pemerintah, Subyek

pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau


perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri

selain bentuk usaha tetap..

2.2.1 Subyek, Objek, dan Tarif Pajak Pasal 26 UU PPh

Adapapun Objek Pajak atau jenis-jenis penghasilan yang termasuk

sesuai dengan UU PPh pasal 26 ayat (1), (2), (2a) dan ayat (4) adalah

sebagai berikut:

a. Dividen

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan

dengan jaminan pengembalian utang

c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta

d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan

e. Hadiah dan penghargaan

f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya

g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya

h. Keuntungan karena pembebasan utang

i. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia

(Pasal 26 ayat (2) UU PPh

j. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham dari

perusahaan antara (conduit company atau Special Purpose

Company) (Pasal 26 ayat (2a) UU PPh)

k. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu

Bentuk Usaha Tetap di Indonesia (Branch Profit) (Pasal 26 ayat

(4) UU PPh).
Dalam pasal 26 ayat (1) dijelaskan bahwa tarif domestik

pemotongan untuk pasal 26 UU PPh adalah sebesar 20% dan bersifat final

(dua puluh persen) kecuali antara Indonesia dengan negara asal Wajib

Pajak Luar Negeri tersebut terdapat Tax treaty atau P3B (Persetujuan

Penghindaran Pajak Berganda), maka tarif pajak PPh Pasal 26 dikenakan

berdasarkan Tarif Pajak PPh Pasal 26 berdasarkan Tax treaty atau P3B

(Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) tersebut. Oleh karena itu

sangat penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh Pasal 26

kepada Wajib Pajak Luar Negeri untuk mengetahui apakah Wajib Pajak

luar negeri tersebut berasal dari negara yang mempunyai Tax treaty atau

P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) dengan Indonesia atau

tidak.

Tax treaty dibedakan bedasarkan apakah penghasilan tersebut

termasuk active income (seperti; jasa) atau passive income (seperti;

dividen, bunga, royalti). Apabila termasuk passive income maka tax treaty

dapat berbentuk reduce rate atau penguran tariff, sehingga tariff bisa <

20% (kurang dari 20%). Sedangkan yang termasuk active income akan

dilihat terlebih dahulu apakah ada badan usaha tetap (BUT) atau tidak. Jika

tidak ada maka bentuk tax treaty-nya adalah tidak adanya pemotongan

pasal 26 UU PPh. Namun, jika ada maka, tidak ada tax treaty karena hal

ini bukan termasuk dalam kategori Pasal 26 UU PPh

2.1.1 Ketentuan Penghitungan berdasarkan Pasal 26 UU PPh

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU PPh, pemotongan dilakukan

dengan dipotongnya pengahsilan sebesar 20% diterima oleh Wajib Pajak


luar negeri dan dibayarkan oleh badan pemerintah, Subyek pajak dalam

negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan

perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain

bentuk usaha tetap.

Ilustrasi 1:

PT. Yogrt merupakan suatu badan Subyek Pajak dalam negeri

membayarkan royalty sebesar Rp 1000.000.000,- (satu milyar rupiah)

kepada Mr.Lee yang merupakan Wajib Pajak luar negeri. Maka PT. Yogrt

mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20%

dari Rp 1000.000.000,- (satu milyar rupiah) yaitu sebesar Rp

200.000.000,-

Maka: 20% x Rp 1000.000.000 = Rp 200.000.000

Ilustrasi 2:

Tn.Ahn adalah seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian

dalam perlombaan angkat besi di Indonesia. Tn.Ahn berhasil meraih juara

1 dan mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp 200.000.000,-. Karena

Tn.Ahn mendapatkan uang tunai tersebut dikenai pemotongan Pajak

Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

Maka: 20% x Rp 200.000.000 = Rp 40.000.000

Sedangkan perhitungan sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) UU PPh

dipotong setelah Pengahsilan Kena Pajak dikurangin dengan pajak dari

suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali pengahsilan tersebut

ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Ilustrasi 3:

Perusahaan X, merupakan badan bentuk usaha tetap di Indonesia

yang mempunyai Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 17.500.000.000,-.

atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha

tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).

Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia : Rp

17.500.000.000

Pajak Penghasilan : 28% x Rp 17.500.000.000 = (Rp

4.900.000.000)

Sehingga PKP setelah pajak adalah Rp 12.600.000.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang :

20% x Rp 12.600.000.000 = Rp 2.520.000.000

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 12.600.000.000,- (dua

belas miliar enam ratus juta rupiah) ditanamkan kembali di Indonesia

sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas

penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

III. Penutup

Subyek Pajak ini dapat disebut sebagai Wajib Pajak yang memiliki kewajiban

untuk mematuhi Undang-Undang Pajak Penghasilan, salah satunya tercantum

dalam BAB V, yaitu pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pada Pasal 24 UU PPh

merupakan suatu bentuk dalam pengindaran pajak berganda, yaitu Pajak

Penghasilan yang telah dibayarkan di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan

ketentuan. Indonesia melakukan metode pengkreditan pajak dengan cara Ordinary

Tax Credit, yaitu adanya batas maksimum dalam menentukan KPLN yaitu diambil
yang terendah dari ketiga unsur berikut, yaitu Jumlah Pajak yang dibayar atau

terutang di luar negeri, (Penghasilan Luar Negeri / Penghasilan Kena Pajak ) X

PPh Terutang, dan jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak

(dalam hal penghasilan) Bentuk pengkreditan pajak merupakan suatu hak dari

Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga Wajib Pajak Dalam Negeri dalam

mengkreditkan Pajak Penghasilan yang telah dibayar diluar negeri harus

mengetahui tata cara dan ketentuan yang mengatur hal tersebut. Secara ringkas,

pengkreditan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 24 UU PPh harus memenuhi tiga

syarat, yaitu penghitungan Penghasilan dari Luar Negeri dan Penghasilan dari

Dalam Negeri terkait dengan Active Income dan Passive Income, kerugian yang

terjadi di Luar Negeri tidak dapat diperhitungkan dalam Penghasilan Netto Dalam

Negeri dan Luar Negeri, serta apabila Penghasilan dari Luar Negeri berasal dari

beberapa Negara maka penghitungan KPLN tidak dapat dihitung sekaligus.

Disisi lain, Pasal 26 UU PPh membahas tentang pemotongan pajak dari

penghasilan Wajib Pajak luar negeri yang diterima dari Wajib Pajak dalam negeri

selain bentuk usaha tetap dengan tariff 20% dari penghasilan tersebut kecuali

terdapat perjanjian antara Indonesia dengan negara asal Wajib Pajak Luar Negeri

tersebut, maka tarif pajak PPh Pasal 26 dikenakan berdasarkan Tarif Pajak PPh

Pasal 26 berdasarkan Tax treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak

Berganda) seperti reduce rate dan tidak dikenakanya pemotongan pasal 26 UU

PPh.
IV. Lampiran
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 164/KMK.03/2002

TENTANG

KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan
Keputusan Menteri Keuangan tentang Kredit Pajak Luar Negeri;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/ M Tahun 2001;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KREDIT PAJAK LUAR
NEGERI.
Pasal 1
(1) Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari
seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
(2) Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut;

b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan


tersebut;

c. untuk penghasilan berupa deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat


(2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000,
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak.
Pasal 2
(1) Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat penghasilan yang berasal dari luar
negeri, maka Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di
Indonesia.
(2) Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).
(3) Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling tinggi sama dengan
jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi
jumlah tertentu.
(4) Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan
antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan
pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang
terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari
penghasilan luar negeri.
(5) Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan
Kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan untuk masing-masing
negara.
(6) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak termasuk
Penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud Pasal 4
ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 3
Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya
atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.
Pasal 4
(1) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;

b. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan

c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.


(2) Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Pasal 5
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang
jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 karena alasan-alasan di luar kemampuan Wajib Pajak (force majeur).
Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib
Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak
yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan
tersebut.
(2) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan Pajak
Penghasilan kurang dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaiamana telah diubah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
(3) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan Pajak
Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada
Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Pasal 7
Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri
Keuangan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tentang Kredit Pajak Luar Negeri
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd
BOEDIONO

PERATURAN MENTERI KEUANGAN


NOMOR 256/PMK.03/2008

TENTANG

PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK


DALAM NEGERI
ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN
BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen
Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada
Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual
Sahamnya di Bursa Efek;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB
PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA
BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA
YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK.
Pasal 1
Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan
usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban
penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan
badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang
bersangkutan; atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan
usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan
atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya
memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri.
Pasal 3
(1)Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar
jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak
yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
apabila sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan
dividen yang menjadi hak Wajib Pajak.
(3)Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap
diperoleh.
Pasal 4
(1)Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 menerima pembagian dividen dalam jumlah yang
melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut
wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(2)Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian
dividen selain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak
dibagikannya dividen tersebut.
Pasal 5
(1)Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar
negeri dapat dikreditkan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2)Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahun pajak dibayarnya
atau dipotongnya pajak tersebut.
Pasal 6
Ketentuan mengenai :
a. tata cara pelaporan penerimaan dividen dari luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
b. tata cara penghitungan besarnya pajak yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
dan
c. tata cara pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen
Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri yang
Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penernpatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember
2008
MENTERI KEUANGAN

SRI MULYANI INDRAWATI

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 624/KMK.04/1994

TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN
BERUPA PREMI ASURANSI
DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR KEPADA PERUSAHAAN
ASURANSI DI LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
1. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3)Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan berupa premi asuransi termasuk
premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
2. bahwa agar pemotongan pajak tersebut dapat dilaksanakan dengan baik
maka dipandang perlu untuk mengatur pelaksanaan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan tersebut, dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3567);
3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1983 tentang Pembentukan
Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG


PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN
BERUPA PREMI ASURANSI DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR
KEPADA PERUSAHAAN ASURANSI DI LUAR NEGERI

Pasal 1

Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan


(1) asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut :
atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar
negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima
puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan
di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi
yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang
berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari
jumlah premi yang dibayar.

Pasal 2

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


dilakukan oleh :
1. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a;
2. perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan
pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b;
3. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal
dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf
c.

Pasal 3

Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam


(1) Pasal 1 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada
akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut.

(2) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat
terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal


26, dalam rangkap 3 (tiga) :

Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;


-

(3)
Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak
- Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
pemotong pajak terdaftar;

- Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh


Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 27 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,

ttd
MAR'IE MUHAMMAD
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 258/PMK.03/2008

TENTANG

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN


DARI
PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD
DALAM
PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG
DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2a) Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas penghasilan dari
penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf
a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau
Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat
(3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN
SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18
AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.
Pasal 1
(1)Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (special
purpose company atau conduit company), dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia, atau penjualan atau
pengalihan bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2)Perusahaan antara (special purpose company atau conduit
company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perusahaan antara (special purpose company atau conduit
company) yang dibentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan
saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven
Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3)Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
(4)Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga
jual.
(5)Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah
bersifat final.
(6)Terhadap penjual yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar
Negeri yang merupakan penduduk dari negara yang telah
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) hanya dilakukan apabila hak pemajakan
berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Pasal 2
(1)Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) kepada Wajib Pajak Dalam
Negeri, dipotong pajak oleh pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri
dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 26.
(2)Dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, berlaku
ketentuan sebagai berikut :
a. pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan
yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang
sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak
Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan
b. badan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus mencatat
akta pemindahan hak atas saham yang dijual.
Pasal 3
(1)Pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya
transaksi pengalihan.
(2)Pemotong Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah
dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
(3)Pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan oleh pemungut Pajak Penghasilan paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya
transaksi pengalihan.
(4)Pemungut Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah
dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
Pasal 4
Pemotong Pajak Penghasilan dan/ atau pemungut Pajak
Penghasilan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini ditempatkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember
2008
MENTERI KEUANGAN

SRI MULYANI INDRAWATI


MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 82/PMK.03/2009
TENTANG
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU
PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM
PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN
BENTUK
USAHA TETAP DI INDONESIA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas penghasilan
dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan Pasal 26 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan
dari Penjualan Atau pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali
yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Urnum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN
HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR
DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK
PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA
TETAP DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di
Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan
bersifat final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di
negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia,
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga
jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta berupa
perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah,
barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau
pesawat terbang ringan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang
ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak
Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26.
(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi,
dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 4
(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memotong dan
menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi
pada Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak
Penghasilan Pasal 26 yang dipotong kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan
berikutnya.
(3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemotong, tata
cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April
2009
MENTERI KEUANGAN,

SRI MULYANI
INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN PAJAK

NOMOR PER-52/PJ/2009 TANGGAL 24 SEPTEMBER 2009

TENTANG

PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN


DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI
INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2)
UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA
TETAP DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri


Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali
yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Penunjukan Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di
Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia;

Mengingat :

1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan


Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16
TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang


Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau
Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 Ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENUNJUKAN


PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN
DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA,
KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia,


kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap
(BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.

(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara


yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan
Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada
pihak Indonesia.

(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga jual.

(4) Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas,
intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar,
dan/atau pesawat terbang ringan.

Pasal 2

(1) Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang


diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selaku penjual
diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.

(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak
melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi,
dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1).

Pasal 3

(1) Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 ayat (1) adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya dan orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak.

(2) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai
pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan


Aktuaris, yang melakukan pekerjaan bebas;

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan


pembukuan.

Pasal 4

Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri
terdaftar menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Orang Pribadi Wajib Pajak
Dalam Negeri sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan menggunakan bentuk formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5

(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 ayat (1) wajib:

a. memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang pada saat dilakukan


pembayaran atau saat terutangnya penghasilan, tergantung peristiwa mana yang
terjadi lebih dahulu; dan

b. menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan menggunakan nama


Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi ke kas
Negara melalui Kantor Pos atau bank yang dltunjuk oleh Menteri Keuangan.

(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(3) Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan dengan menggunakan Surat


Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak.

(4) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 ayat (1) memberikan tanda bukti pemotongan kepada Wajib Pajak Luar Negeri
selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipotong Pajak Penghasilan setiap
melakukan pemotongan.

Pasal 6

(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dengan
Surat Pemberitahuan Masa kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.

(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
maka saat pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta

pada tanggal : 24 September 2009

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

MOCHAMAD TJIPTARDJO
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 14/PMK.03/2011

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK


SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai


perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi
Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu mengatur kembali
perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi
Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA
PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU
BENTUK USAHA TETAP.
Pasal 1
(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali
di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila seluruh Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam
bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha
Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha
Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Pasal 2
(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan
kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3),
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling
lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun
Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha
Tetap yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman
modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan
dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan
yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk
penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai
akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak
perusahaan tersebut didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru
dimaksud berproduksi komersial.
(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk
penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di
Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (3) huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk
Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan
pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas
investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan
dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang
bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman
kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan,
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman
kembali tersebut
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling
sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang
bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman
kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman
kembali.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman
kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah
mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan
manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan
barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil
penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6
(enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat
berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya
dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang
disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang
bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat
keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi
komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang
disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang
bersangkutan.
Pasal 5
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan
Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana
ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.
Pasal 6
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak
yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan
koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Pasal 7
Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak
dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 9
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak
Luar Negeri
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 256/PMK.03/2008
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha
Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Tanpa Nama. 2014. “PPh Pasal 24: Kredit Pajak Luar Negeri”,
http://www.kabarpajak.com/2014/02/pph-pasal-24-kredit-pajak-luar-
negeri.html, diakses pada 16 Mei 2016.
Tanpa Nama. 2012. “Seri PPh - Pajak Penghasilan Pasal 26”,
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-26, diakses
pada 25 Mei 2016.
Tanpa Nama. 2015. “Regulasi Terkait PPh Pasal 26”,
http://www.klinikpajak.co.id/artikel+detail/?id=regulasi+terkait+pph+26,
diakses pada 25 Mei 2016.
Tim Redaksi Ortax. 2015. “Kredit Pajak Luar Negeri”,
http://www.ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=45, diakses pada 16
Mei 2016.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Wibowo. 2015. “Pengertian PPh Pasal 26”,
http://www.wibowopajak.com/2012/02/pengertian-pph-pasal-26.html, diakses
pada 25 Mei 2016.
Potongan
1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24

Ketentuan Undang-Undang Perpajakan No 36 Tahun 2008 Pasal 24


mengatur pajak yang dibayar/dipotong/ terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang ini dalam tahun pajak yang sama.

2.

3. Syarat Pengkreditan Pajak Dibayar atau Terutang di Luar Negeri

Syarat mengkreditan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri adalah sebagai berikut:

Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud adalah sebesar pajak


penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber


penghasilan ditentukan sebagai berikut:

penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;

penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan


harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak


adalah negara tempat harta tersebut terletak;

penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan


adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;

penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;

keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan

keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari


luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Formula Pengkreditan

Pengkreditan PPh yang terutang/dibayar di luar negeri terhadap PPh yang


terutang di Indonesia adalah mana yang lebih kecil antara jumlah yang
sebenarnya atau jumlah tertentu yang dihitung berdasarkan formula sebagai
berikut :

(Jumlah penghasilan dari LN / Penghasilan Kena


Pajak) x Total PPh terutang

B. Contoh penghitungan kredit pajak:

Wajib Pajak X (laki-laki, menikah, 2 anak) memperoleh penghasilan neto


dalam negeri selama tahun 20xx sebesar Rp125.000.000,00 dan juga
memperoleh penghasilan neto dari Singapura berupa dividen sebesar
Rp25.000.000,00 Pajak yang telah dipotong di Singapura sebesar
Rp3.750.000,00 PPh Pasal 24 yang boleh dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh
WP OP Tahun 20xx adalah sebagai berikut :

Jumlah penghasilan
neto ..................................................................Rp150.000.000,00

PTKP
(K/2) ....................................................................Rp
19.800.000,00-/-
Penghasilan Kena
Pajak
..................................................................Rp130.200.000,00

PPh terutang berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh :

5% x Rp50.000.000,00 ..............Rp 2.500.000,00

15% x Rp80.200.000,00 ..............Rp 12.030.000,00-/-

Jumlah .................................. Rp 14.530.000,00

PPh Pasal 24 yang boleh dikreditkan (maksimal) :

Rp 25.000.000,00 / Rp130.200.000,00 x
Rp14.530.000,00.......................... Rp2.789.939,00

Keterangan:

Dari perhitungan di atas, maka jumlah maksimal PPh Pasal 24 yang boleh
dikreditkan adalah sebesar Rp 2.789.939,00 karena jumlah ini lebih kecil dari
pajak yang terutang/dibayar di luar negeri, yaitu sebesar Rp. 3.750.000,00.

Anda mungkin juga menyukai