Anda di halaman 1dari 68

BAB II

KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL


DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1. Kerangka Teoritik

Dalam membahas permasalahan penelitian didasarkan pada

kerangka teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini

adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-

konsep hukum, azas-azas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai

landasan untuk membahas permasalahan penelitian. 49

Sebagai suatu kegiatan ilmiah, maka dalam suatu penelitian

diperlukan teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan hubungan antar konsep. 50

Suatu teori merupakan hubungan antar dua variable atau lebih

yang telah diuji kebenarannya. 51 Fungsi teori dalam suatu penelitian

adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan

dilakukan.52

49
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2006, Metodologi Penelitian Hukum
Empiris, Makalah Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana
Universitas Udayana. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut II)
50
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta, h. 19.
51
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III)
52
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Sebagaimana
dikutip dari Duane R. Monette, Thomas J. Sullivan, Corucl R. Dejong, 1986,
Applied Social Research, New York, Chocago, San Francisco Holt, Rinehart and
Winston Inc, h. 27

47
48

Terkait dengan tatanan hukum positif kongkrit dalam penulisan

karya ilmiah diperlukan teori. Hal ini dikemukakan oleh Jan Gigssels dan

Mark Van Hoecke dengan pendapatnya sebagai berikut :

Een degelijk inzicht in dezerechlsteokefische kucesties wordt


blijkens het voouvoord beschouwd al seen noodzakelijke basis
voor alke wettenschappelijke studie van eeu konkrect positief
rechtsstelsel.53 (Dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan
yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada
sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan
hukum positif).

Beranjak dari permasalahan penelitian sebagaimana dipaparkan

di atas, maka dipergunakan beberapa teori yang dijadikan sebagai pisau

analisa dalam membedah permasalahan penelitian disertasi ini. Untuk

membedah permasalahan yang pertama penelitian ini dipergunakan teori

Sistem Hukum (Legal System Theory) yang didukung dengan teori

utilitarisme, teori hak dan HAM. Kemudian untuk membedah

permasalahan yang kedua dipergunakan teori Negara Kesejahteraan,

yang didukung teori Stakeholders (Stakeholders Theory), teori Hukum

Progresif, Teori Keadilan, dan Konsep Hukum sebagai sarana Pembaruan

masyarakat.

Adapun teori-teori dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut :

2.1.1. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)

Untuk mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan

yang mengatur UMKM terhadap modal dan politik hukum

pengaturan UMKM dalam hubungannya dengan hak UMKM

53
Jan Gijssels and Mark Van Hoecke, 1982¸ Whats Is Rechtsteorie ?
Nederland, h. 57.
49

atas akses modal dipergunakan teori system hukum dari Lawrence

M. Friedman.

Sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari

tiga elemen, yaitu elemen struktur hukum (legal structure),

substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal

culture). 54

Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai

berikut:

"The structure of a legal system consists of elements of this


kind: the number and size of courts; their jurisdiction (that
is, what kind of cases they hear, and how and why), and
modes of appeal from one court to another. Structure also
means how the legislature is organized, how many
memberis sit on the Federal Trade Commission, what a
president can (legally) do or not do, what procedures the t
police department follows, and so on". (Struktur dari suatu
sistem hukum terdiri atas hal-hal sebagai berikut,
diantaranya : jumlah dan kapasitas peradilan, yurisdiksi,
dan pola banding dari satu peradilan keperadilan lainnya.
Struktur pun menjelaskan pengaturan legislasi, jumlah
anggota yang duduk pada Kamar Dagang, batas wewenang
dan keabsahan tindakan suatu pimpinan, prosedur yang
dijalankan Kepolisian dan sebagainya).

Mengacu kepada rumusan di atas, maka pengadilan beserta

organisasinya, dan DPR merupakan elemen struktur dari sistem

hukum. Lembaga DPR sebagai elemen struktur, alat-alat

54
Lawrence M. Friedman, 1977, Law and Society, an introduction,
Prentice Hall, New Jersey, p.7. (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I)
Pada prinsipnya menurut Friedman bahwa sistem hukum terdiri dari struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum menyangkut
lembaga-lembaganya, substansi hukum mencakup semua peraturan hukum,
sementara itu budaya hukum mencakup gambaran sikap dan perilaku terhadap
hukum, dan faktor-faktor yang menentukan diterimanya sistem hukum tertentu
dalam suatu masyarakat.
50

kelengkapan dan anggota DPR merupakan aspek struktur dalam

sistem hukum.

Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum

(substance). Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum

adalah sebagai berikut:

"By this is meant the actual rules, norms, and behavior


patterns of people inside the system. This is, first of all,
"the law" in the popular sense of the term-the fact that the
speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be
sent to prison, that 'by law' a pickle maker has to list his
ingredients on the label of the jar".55 (Hal tersebut
diartikan sebagai peraturan yang nyata, norma, dan pola
perilaku masyarakat dalam suatu sistem. Hal ini utamanya
hukum dalam pengertian umum, sebagai suatu bentuk
batasan kecepatan 50 mili per/jam, bahwa penjahat dapat
dijebloskan kepenjara, dan demi hukum setiap pembuat
acara harus menjelaskan bahan-bahan dalam setiap
toplesnya).

Dengan demikian, Friedman mengatakan, bahwa yang

dimaksudkan dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan

yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau

yang biasanya dikenal orang sebagai "hukum" itulah substansi

hukum.

Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman

mengartikannya sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum

dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta

harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya Friedman

merumuskannya sebagai berikut;

55
Lawrence M. Friedman, dalam Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan
Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, h. 23.
51

"By this we mean people's attitudes toward law and the


legal system-their beliefs, values, ideas, and expectations.
In other words, it is that part of the general culture which
concerns the legal system".56 (Dengan ini kami
mengartikan perilaku masyarakat terhadap hukum dan
kepercayaan terhadap sistem hukum, tata nilai, gagasan dan
ekspektasi. Dengan kata lain, ini merupakan bagian dari
kebudayaan umum yang membahas perihal sistem hukum).

Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga

elemen sistem hukum tersebut Friedman dengan menarik dan jelas

sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem

hukum sebagai suatu "proses produksi" dengan menempatkan

mesin sebagai "struktur", kemudian produk yang dihasilkan

sebagai "substansi hukum", sedangkan bagaimana mesin ini

digunakan merupakan representasi dari elemen "budaya hukum".

Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut

sebagai berikut;

"Another way to visualize the three dements of law is to


imagine legal "structure" as a kind of machine.
"Substance" is what the machine manufactures or does.
The "legal structure" is whatever or whoever decides to
turn the machine on and off, and determines how it will be
used".57 (Cara lain untuk memvisualisasikan tiga elemen
hukum adalah untuk membayangkan suatu “struktur”
selayaknya suatu mesin. “Substansi” adalah hal yang diolah
oleh suatu mesin. “Struktur hukum” adalah apapun atau
segala jenis bentuk yang memutuskan dimatikan atau
dihidupkannya mesin tersebut dan bagaimana cara
penggunaannya).

56
Ibid, h. 24
57
Ibid. Lihat juga John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara
Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluarsa,
Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 37-35.
52

Pada dasarnya pembangunan hukum sama dengan

pembangunan komponen-komponen sistem hukum.58 Pernyataan

ini mengacu pada tujuan utama hukum adalah mewujudkan

ketertiban (order).59 Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan

fakta dan kebutuhan obyektif bagi setiap masyarakat manusia. 60

Pada dasarnya ada tiga tujuan hukum yaitu ; kepastian,

keteraturan, dan keadilan. 61 Dengan demikian, tujuan dalam

pembangunan hukum terhadap pemberdayaan UMKM atas akses

modal adalah kepastian hukum, keteraturan, dan keadilan dalam

sistem hukumnya.

Seperti dikemukakan oleh Achmad Ali, persoalan yang

dihadapi Indonesia saat ini adalah adanya keterpurukan dalam

ketiga elemen sistem hukum tersebut, dan yang sangat

menyedihkan adalah fakta bahwa ketiga elemen sistem hukum

Indonesia masih belum harmonis satu sama lain. 62

Begitu juga terkait dengan elemen substansi hukum yang

menyangkut peraturan hukum (Peraturan Perundang-Undangan)

58
Lili Rasjidi, Wyasa Putra IB., 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Mandar Maju, Bandung, h. 184.
59
Andrieansjah Soeparman, 2013, Hak Desain Industri Berdasarkan
Penilaian Kebaruan Desain Industri, PT. Alumni, Bandung, h. 56.
60
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi dan Perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2-3. (Selanjutnya
disebut Mochtar Kusumaatmadja I)
61
Lili Rasjidi, Wyasa Putra IB., Op.Cit, h. 185.
62
Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.9 – 11. (Selanjutnya disebut Achmad Ali I).
53

berkaitan dengan hak UMKM atas akses modal, disamping

menunjukkan adanya norma kabur, juga menunjukkan adanya

norma konflik atau pertentangan antara peraturan satu dengan

peraturan yang lainnya, sehingga menampakkan adanya

ketidakpastian hukum.

Guna meneliti peraturan perundang-undangan yang ada

terkait dengan hak UMKM atas akses modal, maka sudah barang

tentu ketiga komponen sistem hukum itu tidak boleh lepas dari

pengamatan, terutama komponen substansi hukum (legal

substance). Dengan demikian, untuk mengetahui stagnasi-stagnasi

hukum ketiga komponen sistem hukum itu harus diberikan

perhatian penuh.

2.1.2. Teori Utilitarisme

Terkait dengan substansi hukum, yaitu pembentukan

peraturan perundang-undangan yang mengatur hak UMKM atas

akses modal, maka teori Utilitarisme dari Jerremy Bentham

relevan untuk dijadikan dasar rujukan. Salah satu substansi teori

Jeremy Bentham yaitu; terori perundang-undangan atau prinsip

legislasi, dimana yang menjadi tujuan pembentukan hukum oleh

pembentuk undang-undang (legislator) adalah manfaat umum

(kebaikan publik).
54

Jeremy Bentham dikenal sebagai penggagas aliran

“Utilitarisme Hukum”. Bentham mampu menenun dari “benang”

kemanfaatan menjadi permadani doktrin etika dan ilmu-ilmu

hukum yang luas dan dikenal sebagai utilitarisme. Menurut

Jeremy Bentham pembentuk undang-undang hendaknya dapat

melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan

bagi semua individu. 63 Dengan berpegang pada prinsip ini Jeremy

Bentham mengemukakan bahwa suatu perundang-undangan itu

hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya

bagi sebagian terbesar masyarakat. 64

Dalam teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap

orang akan mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan

kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh

(volwaardig), tidak seorangpun bernilai lebih (everybody to count

for one, no body for more than one). Teori ini bertujuan untuk

mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya

guna (efektif). 65

Hukum barulah diakui sebagai hukum jika ia memberikan

kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya

orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya

63
Gerald Postema, 1986, Bentham and The Common Law Tradition,
Clafendom Press, Oxford, h. 403.
64
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2011, Hak Kekayaan Intelektual dan
Harmonisasi Hukum Global Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan
Program Komputer, Disertasi, Universitas Diponegoro Semarang, h.11-12.
(Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut III), Lihat juga Abdul Manan,
2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 17.
65
Ibid, h. 18.
55

Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789)

yang berbunyi ; bahwa hukum bertujuan untuk “the greatest

happiness of the greatest number” 66

Bagi Bentham tujuan perundang-undangan adalah untuk

menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-

undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan;

1. To provide subsistence (untuk memberikan nafkah hidup)

2. To Provide abundance (untuk memberikan makanan yang

berlimpah)

3. To Provide Security (untuk memberikan perlindungan)

4. To Provide equity (untuk mencapai persamaan). 67

Aliran utilitarisme dianggap sebagai aliran yang

meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.

Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).

Dalam konteks ini apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan

kepada manusia atau tidak. 68 Sementara Gustav Radbruch justru

menegaskan tentang manfaat hukum sebagai sarana untuk tercipta

66
Bentuk Utilitarisme pertamakali diperkenalkan oleh Filsuf Inggris,
Jeremy Bentham (1748 – 1832). Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum
harus dibuat secara utilitarianistik, melihat gunanya dengan patokan -patokan
yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia. Dal am
hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi
atau yang terendah dalam ukuran nilai. Hukum yang baik adalah hukum yang
dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan rasa
sakit dalam masyarakat. Adapun jaminan kebahagiaan yang dimaksud oleh
Bentham terutama ditujukan kepada individu. Lihat Muhamad Erwin, Filsafat
Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
180-181.
67
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interprestas i Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 78. (Selanjutnya
disebut Achmad Ali I)
68
Muhamad Erwin, Op.Cit, h. 179
56

suatu kepastian hukum (azas legalitas), keadilan (finalitas) dan

kemanfaatan (utility)69.

Dengan mengutip pandangan dari Resoe Pound terkait

dengan aliran Utilitarisme, Muhamad Erwin kemudian

menegaskan bahwa pembuat undang-undang harus dipimpin oleh

suatu azas kegunaan (utility), harus menjadi patokan bagi

pembuat undang-undang ialah apa yang akan memberikan

kebahagiaan kepada jumlah individu yang paling besar. 70

Guna mewujudkan hukum (peraturan perundang-undangan)

tentang UMKM yang dapat memberikan kemanfaatan, maka

peraturan perundang-undangan tersebut harus mengandung

kepastian hukum (normanya harus jelas, tidak kabur, dan tidak

mengandung norma yang konflik). Dengan demikian azas-azas

pembentukan peraturan harus mendapat perhatian dan penting

adanya.

Jeremy Bentham mengemukakan bahwa ketidaksempurnaan

(imperfectionis) yang dapat mempengaruhi undang-undang

(statute law), bisa dijadikan sebagai azas-azas dalam penbentukan

perundang-undangan.71 Jeremy Bentham membagi ketidak-

sempurnaan tersebut dalam dua derajat atau tingkatan sebagai

berikut;

69
Muhamad Erwin, Op.Cit, h. 184
70
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Kanisius, Yogyakarta, h. 161. (Selanjutnya disebut Theo Huijbers I)
71
Yuliandri, 2011, Azas-Azas Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Baik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 129.
57

1. Ketidaksempurnaan derajat pertama, disebabkan hal-hal


yang meliputi ;
a. Arti ganda (ambiguity)
b. Kekaburan (abscurity)
c. Terlalu luas (overbulkinnes)
2. Ketidaksempurnaan derajat kedua, disebabkan oleh;
a. Ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of
expression);
b. Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu
(unsteadiness in respect of import);
c. Berlebihan (redundancy);
d. Terlalu panjang lebar (longwindedness);
e. Membingungkan (entanglement);
f. Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness
in respect of helps to intellection);
g. Ketidakteraturan (disorderliness).72

Begitu juga bila berangkat dari pendapat Lon L. Fuller,

yang bersandar pada perspektif pembentukan peraturan

perundang-undangan, Hamid S. Attamimi A. mengemukakan,

bahwa hukum adalah alat untuk mengatur masyarakat Ia

berpendapat, bahwa tugas pembentuk peraturan perundang-

undangan akan berhasil, apabila ia sampai kepada tingkat dimana

keseluruhan persyaratan bisa terpenuhi. Azas-azas pembentukan

peraturan perundang-undangan menurut pandangan Lon L. Fuller

sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, adalah;

1. ... a failure to achieve rules at all, so that every issue must


de decided on an ad hoc basic (peraturan harus berlaku juga
bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya;
dituangkan dalam ataun-aturan yang berlaku umum, artinya
suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan

72
Hamid S. Attamimi A., 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-
Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan ), Fakutlas Hukum,
UI, Jakarta, h. 323 – 324.
58

dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan


yang bersifat sementara atau adhoc);
2. a failure to publicize, or at least to make available to the
affected party, the rules he is expected to observe (aturan-
aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka
yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut);
3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot
itself guide action, but undercuts the integrity of'rules
prospective effect, since it puts them under the threat of
retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang
memiliki daya laku surut atau harus non-retroaktif, karena
dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk
berlaku bagi waktu yang akan datang);
4. a failure to make rules understandable (dirumuskan secara
jelas, artinya disusun dalam rumusan yang
dapat...dimengerti);
5. the enactment of contradictory rules (tidak boleh
mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama
lain;
6. rules that require conduct beyond the powers of the affected
party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan
yang melebihi apa yang dapat dilakukan);
7. introductions such frequent changes in the rules that the
subject cannot orient his action by them (tidak boleh terus-
menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebisaaan untuk
sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan
seseorang kehilangan orientasi); dan
8. a failure of congruence between the rules as announced and
their actual administration (harus ada kecocokan atau
konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari. 73

2.1.3. Teori Hak dan HAM

Berbicara tentang hukum (law) erat kaitannya dengan hak

(right), khususnya hak-hak manusia, sebab hukum berorientasi

73
Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, New Haven and London :
Yale University Press, h. 39. Lihat A. Hamid S. Attamimi, Op.,Cit, h. 303, Lihat
juga Yuliandri, Op.Cit, h. 130-131.
59

pada hak-hak manusia. Tujuan hukum adalah merinci, dan kalau

perlu menegakkan dan melaksanakan hak-hak manusia. 74

Hukum berorientasi pada hak-hak. Tidak dapat dipungkiri

hak itu penting, dan hak itu merupakan sesuatu yang bernilai.

Tugas hukum adalah menentukan hak-hak seseorang. Dengan

menentukan hak-hak itu, hukum akan membantu orang tersebut

menegakkan hak-haknya.75

Dalam istilah Belanda, hak tersebut dinamakan

“beschikken” yang meliputi hak/kewenangan untuk menjual,

memberi, menukar, mewariskan secara legal. Beschikken meliputi

segala kewenangan untuk memindahtangankan dari tangan yang

satu ke tangan yang lain. 76

Menurut Soerjono Soekanto, hak merupakan suatu

wewenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan

secara sosiologis hak merupakan sesuatu peranan atau lebih tepat

peranan yang diharapkan (“Ideal rol”, “Expected role”).77

Bachsan Mustafa, memberikan definisi hak adalah

74
Arthur Lewis (Terjemahan Perta Sri Widowati), 2009, Dasar-Dasar
Hukum Bisnis Introduction to Business Law, Nusa Media, Bandung, h. 1-2.
75
Ibid.
76
R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.
273-274.
77
Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan
Disiplin Sosial, Radjawali, Jakarta, h. 96. Menurut Saut P. Pandjaitan, hak adalah
peranan yang boleh tidak dilaksanakan (bersifat spekulatif ), sedangkan kewajiban
merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperatif). Saut P.
Panjaitan, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Azas, Pengertian dan Sistematika),
Universitas Sriwijaya, Palembang, h. 81.
60

kekuasaan dan kekuasaan itu dapat dipertahankan terhadap setiap

orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati, dan

mengindahkan kekuasaan itu. 78

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud

dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh

hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan

untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung

kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam

melaksanakannya. 79

Bila dilihat dari segi kelahirannya pada dasarnya hak

bersumber dari 3 (tiga) hal, yaitu ; 1) Dari kodrat manusia sebagai

manusia yang diciptakan oleh Allah, 2) Hak yang lahir dari

hukum, 3) Hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang

dan orang lain melalui sebuah kontrak/perjanjian.80

Secara tradisional dikenal 2 (dua) macam pembedaan hak,

yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai

manusia (hak azasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya

peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang.81

78
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 39.
79
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, h. 40.
80
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 35-36.
81
Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, h. 94 – 95.
(Selanjutnya disebut Theo Huijbers II)
61

Hak yang melekat pada tiap-tiap manusia dan secara azasi

ada sejak manusia dilahirkan, berkaitan dengan eksistensi hidup

manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, dan tidak

tergantung dengan ada atau tidak ada orang lain disekitarnya.

Hak-hak inilah dikenal dengan Hak Azasi Manusia. 82

Menurut Mahfud MD, Hak Azasi Manusia itu diartikan

sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sejak lahir ke

muka bumi, sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan

pemberian manusia atau negara, 83 dan hak ini wajib dilindungi

oleh negara tanpa alasan apapun. 84

Hak azasi manusia yang sering disebut hak kodrat, hak

dasar, juga dengan natural right, dan dalam bahasa Belanda

dikenal dengan ground rechten, mensen rechten, rechten van deen

mens, menjadi bahan perdebatan yang tidak ada hentinya, 85

terutama terkait dengan penegakan, pelaksanaan hak tersebut oleh

negara / pemerintah.

82
Arya B Wiranata I Gede, dalam Muladi, 2009, Hak Azasi Manusia,
Hakekat, Konsep dan Implementasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat ,
PT. Refika Aditama, Bandung, h. 229. Wujud dari Hak Azasi Manusia ini
diantaranya adalah; kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi dan hak untuk
hidup. Ibid.
83
Moch. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketetanegaraan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 227. (Selanjutnya disebut Moch. Mahfud
MD. II)
84
Endang Sutrisno, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta
Press, Yogyakarta, h. 169.
85
Masyhur Effendi A., 2011, Membangun Kesadaran HAM dalam
Masyarakat Modern, dalam Memahami Hukum Dari Kontruksi Sampai
Implementasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 77.
62

Keyakinan dan pandangan adanya hak abadi yang melekat

pada setiap manusia tersebut menempatkan John Locke sebagai

Bapak Hak Azasi Manusia. Teori Hukum Alam John Locke

memberi inspirasi basis filosofis atas Revolusi Amerika dan

Prancis.86 John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang

negara dan hukum dari Inggris. Ia hidup tahun 1632 – 1704,

dibawah kekuasaan pemerintahan Willem III. 87

Pemikiran awal pengaturan hak azasi manusia dalam

bingkai negara hukum dimulai ketika John Locke mengemukakan

pikiran spekulatifnya mengenai kontrak sosial. 88 Menurut Locke,

negara merupakan hasil kesepakatan (pactum unionis) antar rakyat

yang dikuasai dengan penguasa (Pactum subjectionis), dimana

posisi masing-masing pihak wajib dilindungi dan dibatasi oleh

aturan hukum yang disebut konstitusi. Pemikiran Locke tentang

hak azasi manusia konstektualnya bersifat alamiah yang melekat

pada harkat dan martabat manusia, sehingga tidak dapat dialihkan

kepada negara bahkan mewajibkan negara untuk melindunginya. 89

86
Masyhur Effendi A., 2005, Perkembangan Dimensi HAM dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia (HAKHAM ), Gralia, Indonesia,
Jakarta, h. 3.
87
Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 106.
88
Von JJ. Schmid, 1980, Ahli-Ahli Pikir Negara dan Hukum (Terjemahan
R. Wiratno), Pembangunan, Jakarta, h. 152.
89
Suko Wiyono H., Hak Azasi Manusia (HAM) Dalam Kerangka Negara
Hukum Yang Demokratis Berdasarkan Pancasila dalam Demokra si, HAM dan
Konstitusi Perspektif Negara Bangsa untuk Menghadirkan Keadilan , 2001, Setara
Press, Malang, h. 180.
63

Berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak azasi

manusia, sesuai dengan perkembangannya, tidak hanya

menyangkut hak sipil dan hak politik saja sebagai hak azasi

manusia generasi pertama, tetapi juga meliputi hak-hak ekonomi,

sosial, budaya yang merupakan hak azasi manusia generasi kedua,

yang sudah menjadi perjanjian internasional dan telah diratifikasi

oleh berbagai negara di dunia. 90

Hak UMKM atas akses modal sebagai bagian hak ekonomi

penting untuk diatur dan diimplementasikan dalam

penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata dengan menempatkan

negara atau pemerintah sebagai pihak yang wajib bertanggung

jawab untuk mewujudkannya. Mengacu pada pemikiran John

Locke, bahwa hak azasi manusia, termasuk hak-hak ekonomi

wajib bagi negara untuk melindunginya.

UMKM yang melakukan kegiatan usaha dibidang

pariwisata adalah merupakan pihak yang posisinya lemah,

terutama lemah dari segi permodalan. Hak Azasi Manusia selalu

berupa perlindungan terhadap yang lemah. Hak azasi manusia

90
Perumusan hak-hak azasi manusia secara internasional dilakukan pada
10 Desember 1948 dengan diterimanya Universal Declaration of Human Right
sebagai pernyataan bersama masyarakat dunia terhadap hak azasi ma nusia oleh
negara-negara yang tergabung dalam PBB. Endang Sutrisno, Op.Cit, h. 169.
Sebagai tindak lanjut dari deklarasi tentang HAM tersebut, pada tahun 1966
dibuat dua perjanjian yakni; 1) Convenant on Economic, Social and Culture Right
(Perjanjian Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dan 2) Covenan on
Civil and Political Righ (Perjanjian Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik),
Muhammad Halim, 2001, Demokrasi dan Hak Azasi Manusia Dalam Konstitusi
Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, UII Press, Yogyakarta, h. 49.
64

merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang

kuat dan lemah dalam masyarakat modern. 91

Hak UMKM untuk mendapatkan akses modal adalah

merupakan hak ekonomi yang sangat diperlukan UMKM untuk

mampu bersaing dan berusaha secara wajar. Hak-hak ekonomi

dengan berbagai ragam bentuknya yang menjadi ciri HAM

generasi kedua ini mewajibkan negara untuk menyusun dan

menjalankan program-program bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-

hak itu.92 Dalam konteks ini pula Magnis Suseno menyatakan

pendapatnya;

Hak Azasi Manusia berlaku universal dan bersifat


kontekstual. Hak Azasi Manusia menjadi relevan dalam
sistem perubahan sosial dimana individu, golongan maupun
suku terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-
kekuatan sosial lain. Secara katagoris Magnis Suseno
berkata bahwa hak azasi manusia adalah sarana etis dari
hukum untuk melindungi individu, kelompok dan golongan
yang lemah terhadap kekuatan-kekuatan raksasa dalam
masyarakat modern. 93

Dalam konteks hak azasi manusia, menegakkan hak-hak

ekonomi, termasuk hak UMKM atas akses modal merupakan

langkah penting dan positif bila dikaitkan masih adanya

kesenjangan antara usaha besar dengan UMKM didalam

memperoleh modal usaha. Jaminan hukum bagi hak UMKM ini

91
Franz Magnis Suseno, Hak-Hak Azasi Manusia Dalam Konteks Sosio
Kultural dan Religi di Indonesia dalam Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif
Budaya Indonesia, 1997, PT. Grafika Media Pustaka Utama, Jakarta, h. 8.
92
Scott Davidson (Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka), 1994, Hak
Azasi Manusia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 8.
93
Franz Magnis Suseno, Op.cit, h. 59.
65

penting untuk diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan

dan politik hukum dan kemudian diimplementasikan secara nyata

dan konsekuen dalam berbagai kebijakan pemerintah.

2.1.4. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Teori ini dipergunakan untuk menganalisis tentang peran

dan campur tangan negara/pemerintah dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan guna mewujudkan kesejahteraan

masyarakat, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)

dalam bentuk pemberian kesempatan atau peluang untuk

mendapatkan akses modal usaha sebagai bagian dari

pemberdayaan dan pengembangan UMKM.

Ide Dasar Negara Kesejahteraan seperti dikemukakan oleh

Watts, Dalton dan Smith, sudah ada semenjak abad ke-18 ketika

Jeremy Bentham (1748-1832) menjelaskan gagasan bahwa

pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk menjamin the

greatest happiness (Wellfare) of the greatest number of their

citizens, 94 artinya bahwa pemerintah berkewajiban membuat

bahagia sebanyak mungkin warganya.

Bentham menggunakan istilah utility (kegunaan) dalam

menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Atas dasar

prinsip utilitarismenya Bentham mengatakan bahwa hal yang bisa

membawa kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Bentham


94
Bessant, Judiths, 2006, Talking Policy; How Social Policy in Made,
Crows Mest : Allen and Unwin, h. 11.
66

juga berpendapat bahwa pemerintah berkewajiban membuat

bahagia sebanyak mungkin warganya, dan atas gagasan-gagasan

inilah Bentham diakui sebagai Bapak Negara Kesejahteraan

(Father of Welfare State).

Paham Negara Kesejahteraan (welfare state) lahir pada

abad XIX sebagai reaksi terhadap kelemahan liberalisme dan

kapitalisme klasik dan sekaligus reaksi terhadap ajaran “negara

penjaga malam” (nachtwachtersstaat) yang mengidealkan prinsip

pemerintah yang paling baik adalah yang memerintah sesedikit

mungkin (the best government is the least government)95

Negara Kesejahteraan (welfare state) menurut Bagir Manan

adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga

keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama

tanggungjawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan

umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 96

Munculnya konsep Negara Kesejahteraan didahului oleh

konsep Negara Penjaga Malam (Nachtwachterstaat). Dalam

konsep Negara Penjaga Malam pemerintah hanya dibenarkan

masuk dalam wilayah keamanan dan tidak masuk pada wilayah

politik dan ekonomi, sesuai dengan dalil “laissez-faire

95
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-
Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, h. 330. (Selanjutnya disebut
Jimly Asshiddiqie II). Lihat juga Miriam Budiardjo, 2001, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.50.
96
Abrar, 1999, Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi PPS Universitas Padjajaran,
Bandung, h. 4.
67

laissezaller” 97 atau paham liberal. Paham liberal percaya bahwa

jika seorang diberikan kebebasan mengurus ekonominya masing-

masing, ekonomi negara akan sehat. Dalam perspektif ini urusan

ekonomi terlepas campur tangan negara.

Paham liberal ini muncul karena sebelumnya dalam

pemerintahan yang berbentuk kerajaan bersifat absolut, dan

rajalah yang menentukan segala-galanya bagi kepentingan

masyarakat. Semboyan yang terkenal saat itu sebagaimana

ungkapan raja Perancis, Louis XIV, “L’etate C’estmoi,”98 negara

adalah aku. Azas yang berlaku dalam pemerintahan waktu itu

adalah bahwa rajalah yang menentukan segala-galanya untuk

rakyatnya, dan kepentingan umum mengatasi semua undang-

undang dan hukum (legibus solutes est, soluspublikus suprema

lex)99

Paham Negara Kesejahteraan (walfare state) menjadi ide

yang cukup dominan dalam penyelenggaraan negara di Negara

Maju maupun Dunia Ketiga. Konsep Negara Kesejahteraan

merupakan jawaban terhadap ekses-ekses negatif paham

kapitalisme periode pertama yang sangat meminimalkan peran

negara.100 Dalam Konsep Negara Kesejahteraan, gagasan bahwa

97
Marbun S.F., 2001, Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, h. 201.
98
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, h. 34-35.
99
Donald A. Runokoy, Marbun SF., Op.Cit.h.10.
100
Adji Samekto F.X., 2005, Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Tatanan Sosial Yang Berubah, Jurnal Hukum Progresif Vol. I Nomor 2 Oktober
2005, h.18.
68

pemerintah dilarang intervensi dalam urusan warga negara lambat

laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah harus intervensi

dan bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat, dan karenanya

harus proaktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.101

Intervensi tersebut bila dikaitkan dengan tujuan pokok

negara kesejahteraan, antara lain ;

1. Mengontrol dan menggunakan sumber daya sosial dan

ekonomi untuk kepentingan publik

2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata

3. Mengurangi kemiskinan

4. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi

disadvantage people.

5. Menyediakan asuransi sosial (kesehatan dan pendidikan) bagi

masyarakat miskin.

6. Memberi proteksi sosial bagi tiap warga negara. 102

Negara Kesejahteraan juga didefinisikan, is a state which

provides all individuals a fair distribution of the basic resources

necessary to maintain a good standard of living, (suatu negara

yang memberikan seluruh rakyat suatu pendistribusian secara adil

sumber-sumber kebutuhan pokok untuk pemeliharaan suatu

standar hidup yang layak.) 103

101
Ibid.
102
Tjandra W. Riawan, 2008, Hukum Tata Negara, Universitas
Atmadjaja, Jakarta, h. 4.
103
Yohannes Usfunan, et.al. Op.Cit, h. 18.
69

Menurut Spicker 104 Negara Kesejahteraan dapat

didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang

memberi peran lebih besar pada Negara atau pemerintah untuk

mengalokasikan sebagian dana publik untuk menjamin

terpenuhinya kebutuhan dasar warganya.

Negara Kesejahteraan mengantarkan pada aksi

perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok

lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran, usaha mikro,

kecil dan menengah (UMKM), dan sebagainya. Negara

Kesejahteraan dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya

kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat.

Secara konstitusional Negara Kesejahteraan Indonesia

tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34. 105 Pemahaman

mengenai Negara Kesejahteraan terfokus pada dua konsep yaitu

social welfare dan economic development. Social Welfare

berkaitan dengan altruism, hak-hak sosial, dan redistribusi asset.

Hal ini merupakan mekanisme redistribusi kekayaan untuk

membiayai layanan sosial bagi masyarakat yang kurang mampu.

Economic development berkenaan dengan pertumbuhan,

104
Jasim Hamidi, Herlin Wijayanti, 2009, Teori dan Politik Hukum Tata
Negara, Total Media, Yogyakarta, h. 307.
105
Djauhari, Politik Hukum Negara Kesejahteraan Indonesia (Studi
tentang Kebijakan Regulasi dan Institusionalisasi Gagasan Keseja hteraan Sosial
Ekonomi Masyarakat Nelayan di Jawa Tengah, dalam Bunga Rampai Pemikiran
Hukum di Indonesia, FH. UII Press, Yogyakarta, h. 312.
70

akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi. Hal ini merupakan

jalan mewujudkan kekayaan dan meningkatkan kualitas standar

hidup.106

Negara Kesejahteraan diwujudkan tidak semata-mata dalam

bentuk kebijakan dan program sosial seperti social safety net,

social security, social insurance, atau social subsidy, tetapi juga

melalui penyelenggaraan pembanguan sosial yang diarahkan pada

penciptaan lapangan kerja, pengembangan modal, memobilisasi

modal sosial, mengakumulasi asset produktif, dan merintis serta

mengembangkan UMKM dalam bentuk pemberian dan penguatan

untuk mendapatkan hak aksesnya terhadap modal.

Bila dihubungkan dengan liberalisasi perdagangan jasa

pariwisata, yang sudah barang tentu pasti akan menghadirkan

pengusaha dan pemasok jasa asing, maka pemerintah sebagai

representasi welfare state wajib campur tangan untuk melindungi

keberadaan UMKM dibidang akses untuk mendapatkan modal dan

akses pasar sehingga mereka tidak tereliminasi dalam kegiatannya

dibidang ekonomi.

Wujud campur tangan negara atau pemerintah sebagaimana

dimaksud adalah dengan membuat atau merumuskan peraturan

dibidang ekonomi berkaitan dengan hak UMKM atas akses

106
Johanes Usfunan, et.al., Op.Cit, h. 19.
71

modal. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Alinea

keempat), mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan yang

meliputi berbagai bidang seperti; politik, hukum, maupun

ekonomi.107

2.1.5. Teori Stakeholders (Stakeholders Theory)

Salah satu akses UMKM untuk mendapatkan modal usaha

adalah melalui pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan

(Corporate Social Responsibility). Perusahaan–perusahaan besar

biasanya menyalurkan dana hibah yang disalurkan melalui divisi

CSR nya.

Konsep dan pengimplementasian CSR (Corporate Social

Responsibility) ini didasarkan pada teori stakeholders

(Stakeholders Theory). Menurut teori stakeholrders dari Thomas

Donaldson, yang menyatakan bahwa manajemen suatu perusahaan

harus memperhatikan kepentingan para stakeholders, baik yang

berasal dari group atau individu yang dapat mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh maksud dan tujuan perusahaan. 108 Menurut

Stakeholders Theory tidak ada suatu perseroan dapat berdiri

sendiri tanpa dukungan dari pihak lain yang dapat menunjang


107
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian
Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional Sebuah Upaya
Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, PT. Alumni,
Bandung H. 22.
108
Misahardi Wilamarta, 2002, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam
Rangka Good Corporate Governance, Program Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 260.
72

keberhasilan perusahaan, seperti langganan, supplier, kreditor,

anggota masyarakat, termasuk karyawan perseroan. 109

Dengan landasan Stakeholders Theory ini CSR penting

untuk dikembangkan guna memudahkan UMKM untuk

mendapatkan akses pembiayaan atau modal, terlebih-lebih bila

melihat fakta adanya ketidakseimbangan ekonomi, terutama

didalam memperoleh akses pembiayaan antara usaha besar dengan

UMKM.

Dalam konteks pembangunan saat ini, perusahaan tidak

lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada aspek

keuntungan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi

kelangsungan usahanya, melainkan juga bertanggungjawab

terhadap aspek sosial dan lingkungannya, karena dalam

kegiatannya aktivitas ekonomi berkembang sangat tidak

seimbang. 110

Suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usaha atau

berbisnis, ia memiliki kewajiban kepada Shareholders (Pemegang

Saham), namun ia juga harus memenuhi harapan para

Stakeholders (Pemangku Kepentingan), yakni karyawan, rekanan

bisnis, pemerintah, dan masyarakat sekitar. CSR harus dikerjakan

109
Ibid.
110
Thomas Lindblad J., et.al, 2002, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia,
terjemahan Nawianto S., Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, hl. 26.
73

dengan sepenuh hati sebagai bentuk tanggungjawab kepada

Stakeholders.111

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan

fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan

dan kepentingan Stakeholdersnya. Kesadaran akan pentingnya

Sustainability perusahaan jangka panjang dari pada sekedar

Profitability ini dinilai sudah tidak sesuai dengan pandangan

tradisional yang menyatakan mengenai “The Social Responsibility

of Business is that business should maximize profits for

shareholders”.112

Dalam konteks CSR, perusahaan yang ingin

mempertahankan eksistensinya atau kelangsungan hidupnya, maka

konsep Triple Bottom Lines yaitu people, profit, dan planet harus

diperhatikan. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan

juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan

kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif

dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Konsep Triple Bottom Lines mengimplikasikan bahwa

perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan Stakeholders

(semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang

111
Sukandarrumidi, 2012, Corporatet Social Responsibility (CSR) Usaha
Meredam Unjukrasa Akibat Gangguan Lingkungan, Bajawa Press, Yogyakarta,
h.61.
112
Henry R. Cheeseman, 2000, Countemporary Business, 3 rd ed, Upper
Saddle River, New Jersey, h. 41.
74

dilakukan perusahaan) dari pada kepentingan Shareholders

(pemegang saham).

Mengacu pada konsep Triple Bottom Lines, maka UMKM

sebagai Stakeholders penting untuk diperhatikan bila perusahaan

ingin tetap mempertahankan eksistensinya. Perusahaan harus

memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat, termasuk

UMKM dengan melaksanakan program CSR.

Terkait dengan implementasi CSR itu sendiri sebagai suatu

kewajiban hukum seperti diatur dalam undang-undang,113

nampaknya pada saat sekarang ini sudah menjadi suatu kebutuhan

bila dilihat dari segi pemberdayaan UMKM. Ketika CSR sudah

menjadi suatu kewajiban hukum yang mesti harus dilaksanakan

oleh suatu perusahaan, maka hal itu akan mendorong perusahaan

untuk melaksanakannya.

Dalam konteks ini relevan untuk dicermati pendekatan

Hybrid Framwork yang diperkenalkan Ni Ketut Supasti

Dharmawan sebagai suatu alternatif penerapan konsep Corporate

Social Responsibility (CSR) ditengah kontroversi CSR antara

voluntary dan mandatory. A Hybrid Framwork adalah sebuah

113
Undang-Undang yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang -Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal 74 ayat (2) Undang -Undang
Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan ; Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pasal 15 huruf b Undang -
Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan; Setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.
75

pendekatan yang menggabungkan antara pelaksanaan CSR secara

voluntary dan regulatory (mandatory).114

Melalui pendekatan Hybrid ini tidak melihat keduanya

terpisah secara eksklusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal

yang saling melengkapi. Adanya suatu usaha legislasi, itu bukan

berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai suatu hal yang

tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep CSR ke

dalam undang-undang sebagai salah satu factor lebih

mempengaruhi perilaku korporasi dalam menjalankan

tanggungjawab sosialnya. 115

Sementara itu, dalam undang-undang tanggungjawab sosial

yang berbasis kewajiban hukum (legal obligation) hendaknya

tidak dilihat sebagai suatu yang berbenturan, akan tetapi suatu

pendekatan yang saling melengkapi. Pencantuman konsep CSR

dalam format undang-undang bukan suatu kesalahan melainkan

suatu kebutuhan.116

2.1.6. Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata dasar adil dengan mendapat

imbuhan ke-an, menjadi keadilan. Keadilan berarti dapat

114
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2010, A Hybrid Framwork Suatu
Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Respponsibility) di Indonesia ,
Jurnal Ilmiah Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 34
No. 1, Januari, Denpasar, h. 9. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut
IV).
115
Ibid.
116
Ibid.
76

menempatkan sesuatu secara proporsional dan persamaan hak

sesuai dengan kapasitas dan kemampuan seseorang dalam

melakukan sesuatu masalah. 117

Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan

“justice”, kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau

hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari justice adalah

hukum. Dalam makna keadilan sebagai hukum, kemudian

berkembang arti dari kata justice sebagai “lawfulness” yaitu

keabsahan menurut hukum. 118

Menurut bahasa (etimologi) keadilan ialah seimbang

antara berat dan muatan, 119 sesuai dengan hak dan kewajiban,

sesuai antara pekerjaan dan hasil yang diperoleh, sesuai dengan

ilmu, sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan.

WJS. Poerwadaminta memberikan pengertian adil sebagai

berikut:

1. Adil berarti tidak berat sebelah (tidak memihak),

pertimbangan yang adil, putusan yang dianggap adil;

2. Adil berarti patut, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.

Misalnya, dalam mengemukakan tuntutan yang adil,

117
Yatimin Abdullah, 2006, Pengantar Studi Etika, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 537.
118
Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan
Berserikat Bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung, h. 48.
119
Ibnu Miskawaih, 1995, Menuju Kesempurnaan Ahlak, Mizan, bandung,
h. 115.
77

masyarakat adil, masyarakat yang sekalian anggotanya

mendapat perlakuan yang sama adil. 120

Apa yang dikemukakan WJS. Poerwadarminta tentang adil,

hampir sama dengan pengertian adil/keadilan menurut pengertian

kalangan masyarakat pada umumnya yaitu merupakan sifat

tindakan atau perlakuan yang tidak memihak kepada salah satu

pihak, tidak berat sebelah, memberikan sesuatu kepada setiap

orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya, selalu berpihak

kepada yang benar dan tidak berbuat sewenang-wenang.121

Mengenai pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran

yang panjang. Tema keadilan merupakan tema utama dalam

hukum semenjak masa Yunani kuno, 122 karena salah satu tujuan

hukum adalah keadilan.

Perbincangan tentang keadilan berkembang dengan

pendekatan dan sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga

karenanya berkembang pula teori-teori keadilan dari para sarjana

yang intinya mengemukakan teorinya dari sudut pandangannya

masing-masing.

Teori keadilan yang tepat dipergunakan dalam membedah

permasalahan penelitian ini, terutama permasalahan pertama dan

permasalahan kedua adalah teori keadilan Pancasila. Di Indonesia

120
Poerwadarminta WJS., 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h. 16.
121
Kuffal HMA., 2012, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Universitas Muhammadiyah, Malang, h. 48.
122
Fernando M. Manullang E., 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, PT.
Kompas Media Nusantara, Jakartam h. 96.
78

keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.123 Nilai-nilai yang

terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila-sila dari Pancasila. 124

Berdasarkan sila-sila dari Pancasila, maka dalam sila

kelima terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam

kehidupan bersama (kehidupan sosial). Adapun keadilan tersebut

didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan kemanusiaan yaitu

keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri,

manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat,

bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya. 125

Menurut I Ketut Rindjin, sesungguhnya keadilan sosial

yang berlaku dalam masyarakat meliputi segala bidang

kehidupan, tidak hanya meliputi aspek materiil saja, tetapi juga

aspek spiritual, yaitu yang menyangkut adil dibidang hukum,

politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. 126 Makna keadilan sosial

mencakup pula pengertian adil dan makmur yang merupakan

tujuan dari negara Indonesia. 127

123
Agus Santoso H.M., 2012, Hukum, Moral, dan Keadilan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 86.
124
Ibid
125
Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,
Paradigma, Yogyakarta, h. 36.
126
Rindjin Ketut, 2012, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 178.
127
Kaelan, Op. Cit, h. 37
79

Menurut Ida Bagus Wyasa Putra, teori keadilan Pancasila

mencakup sekurang-kurangnya tiga komponen keadilan yaitu;

keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan keadilan dalam

membagi.128 Apa yang dimaksud dengan ketiga komponen

keadilan tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut;

1. Keadilan tukar menukar mencakup dua konsep yaitu; (a)


memberikan kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi
haknya, atau yang semestinya mereka terima, sehingga
masing-masing pihak mempunyai kesempatan untuk
melaksanakan hak dan kewajiban tanpa rintangan; (b)
dalam hubungan manusia orang perorangan; memberikan
kepada sesamanya segala sesuatu yang menjadi hak pihak
lain atau yang seharusnya diterima pihak lain, sehingga
timbul keadaan saling memberi dan saling menerima.
2. Keadilan sosial, yaitu dalam hubungan manusia
perseorangan dengan masyarakat, memberi dan
melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran
serta kesejahteraan sebagai tujuan mutlak masyarakat.
3. Keadilan dalam membagi, yaitu dalam hubungan antara
masyarakat dengan warganya, masyarakat dengan alat
penguasaannya, membagikan segala kenikmatan dan beban
bersama dengan secara rata dan merata, menurut
keselamatan sifat dan tingkat perbedaan rohaniah serta
badaniah warganya, baik sebagai perseorangan maupun
golongan, sehingga terlaksana sama rasa sama rata. 129

Keadilan Pancasila menurut Ida Bagus Wyasa Putra

mempunyai cakupan lebih luas dan tidak hanya sekedar keadilan

sosial saja, tetapi juga keadilan tukar menukar dan keadilan dalam

membagi.

Dari konstruksi keadilan sosial dapat ditarik benang merah

bahwa merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk

menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga, oleh karena itu

merupakan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk


128
Wyasa Putra Ida Bagus I, Op.Cit. h. 210.
129
Wyasa Putra Ida BAgus I, Loc.Cit.
80

memperhatikannya dalam merumuskan undang-undang. Terkait

dengan hak UMKM atas akses modal, maka konsep keadilan

sosial penting untuk diatur dan diimplementasikan dalam konteks

pemberdayaan UMKM.

Mengingat dalam praktek dewasa ini masih

memperlihatkan bahwa para pembuat kebijakan dan pembentuk

hukum masih mengabaikan mandat konstitusi bahwa pendirian

negara ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan

mewujudkan keadilan sosial, maka prinsip keadilan sosial sebagai

salah satu sila dari Pancasila relevan dan penting untuk diterapkan

dan tercermin dalam norma hukum yang akan dibentuk.

Konsep John Rawls tentang keadilan relevan pula dipakai

sebagai landasan teori dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan di Indonesia terkait dengan pemberdayaan

(Perlindungan) UMKM yang posisinya lemah dan kurang

beruntung. John Rawls mengemukakan ada 2 (dua) prinsip

keadilan sebagai berikut :

First, each person is to have an equel right to the most


extensive basic liberty compatible with a similiar liberty
for other, second, social and economic inequalities are to
be arranged so that they kare both (a) reasonably expected
to be eveyone’s advantage, and (b) attached to positions
and offices open to all. 130 (Pertama-tama, tiap orang agar
memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar terhadap
yang lain, dan kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi agar
diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kemampuan
dan tugas dan wewenangnya).

130
John Rawls, 2006, Teori Keadilan Atau Theory of Justice (Terjemahan
Pustaka Pelajar), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 60.
81

Kedua prinsip keadilan di atas dapat dijelaskan sebagai

berikut; prinsip yang pertama; menempatkan setiap orang

mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,

seluas kebebasan yang sama bagi semua orang (bagi orang lain).

Sedangkan prinsip kedua; ketimpangan sosial dan ekonomi yang

ada ditengah masyarakat, harus diatur sedemikian rupa sehingga ;

(a) dapat diharapkan memberi keuntungan pada setiap orang; (b)

semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.

Seperti ditegaskan oleh Otong Rosadi bahwa teori John

Rawls sangat penting dalam konteks pembahasan mengenai

inkorporasi prinsip keadilan sosial dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Teori Rawls tentang

keadilan penting karena dua hal; 131

1. Prosedur pencapaian atau pencarian konsensus yang

menempatkan individu sama peluangnya.

2. Mengakui ada ketimpangan dalam masyarakat yang harus

mendapat prioritas perhatian dalam penyusunan atau

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Prinsip keadilan yang kedua dari John Rawls dapat menjadi

pedoman bahwa pembentukan undang-undang harus memberikan

perlindungan yang memadai bagi masyarakat yang mempunyai

akses kecil dan terbatas terhadap sumber-sumber daya dalam

masyarakat, termasuk UMKM sebagai kelompok yang posisinya

131
Otong Rosadi, 2012, Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial Dalam
Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, h. 117.
82

lemah. Kelompok masyarakat yang masuk katagori ini harus

diperhatikan dan menjadi dasar pertimbangan dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan.

2.1.7. Teori Hukum Progresif

Seirama dengan perkembangan bidang hukum dewasa ini

telah berkembang berbagai pendirian dari para sajana tentang

hukum, salah satunya adalah pemikiran dari Satjipto Rahardjo

mengenai Hukum Progresif. Tidak dapat dipungkiri, pemikiran

Hukum Progresif ini telah memberikan warna bagi perkembangan

hukum di Indonesia.

Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang

paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini.

Dikatakan menarik, karena Hukum Progresif telah menggugat

keberadan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam

berhukum kita selama ini. 132

Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah

berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh Filsafat

positivistik, legalistik, dan linier tersebut untuk menjawab

persoalan hukum sebagai masalah manusia dan kemanusiaan. 133

Dalam konteks hukum progresif, hukum tidak hanya

dijalankan dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum

haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen

132
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h.v (Selanjutnya disebut Satjipto
Rahardjo I).
133
Ibid.
83

terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain

guna mensejahterakan rakyat.

Melalui pemikiran hukum progresif ini Satjipto Rahardjo

kemudian melakukan elaborasi mendalam mengenai peranan

hukum dan bagaimana seharusnya hukum diperankan dalam

mengatur kehidupan masyarakat Indonesia. 134

Gagasan hukum progresif yang dicetuskan Satjipto

Rahardjo disampaikan dalam berbagai seminar, diskusi, dan

pertemuan ilmiah dan telah mengundang berbagai komentar dari

berbagai kalangan dalam mengkritisi pemikiran hukum progresif

tersebut. 135

134
Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif; Rekonstruksi
Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta
Publishing, Yogyakarta, h. 86
135
Pandangan Teori Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo,
merupakan gagasan yang berintikan 9 (Sembilan) pokok pemikiran sebagai
berikut ;
1) Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatik dan
berbagai paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslekre,
sociological jurisprudence, interressenjuriprudenz di Jerman, teori hukum
alam dan critical legal studies.
2) Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui
institusi-institusi kenegaraan.
3) Hukum progresif bertujuan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal
hukum.
4) Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
5) Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia pada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia ba hagia.
6) Hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro
keadilan.
7) Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa hukum untuk manusia, dan
bukan sebaliknya.
8) Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final, melainkan
sangat tergnatung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya.
Manusialah yang merupakan penentu.
9) Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi ( law as a process,
law in the making)
Ibid. h. 88-89.
84

Asumsi dasar hukum progresif adalah mengenai pandangan

tentang hubungan antara hukum dan manusia. Ada penegasan prinsip

bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. 136

Berkaitan dengan itu bahwa hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,

melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Setiap kali

ada masalah dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki

dan bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam

skema hukum. 137

Begitu juga halnya dengan ketentuan hukum yang menyangkut

akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM yang menunjukkan

adanya ketidakjelasan atau pertentangan, maka mengacu pada

pandangan hukum progresif, ketentuan hukum itu yang mesti harus

diperbaiki atau disempurnakan, dalam arti dikonstruksi normanya,

sehingga membuka peluang bagi UMKM untuk mendapatkan akses

modal, sebagai bagian dari upaya untuk membuat masyarakat

(manusia) sejahtera dan bahagia.

Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order)

hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif

ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan

menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai

teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang

bermoral. 138

136
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan,
Jurnal Hukum Progresif, PDIH Semarang, Volume I Nomor 1, April, 20 05, h.5.
(Selanjutnya disebut Satjipto rahardjo II).
137
Endang Sutrisno, Op.Cit, h. 67.
138
Satjipto Rahardjo I, h.2
85

Konsep pemikiran tersebut diatas ditawarkan untuk

diimplementasikan dalam tataran agenda akademia dan agenda aksi.

Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia

kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia

bahagia.139

Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya

memuncak pada tuntutan bagi kehiadiran hukum progresif.

Pernyataan tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik

konsep, fungsi serta tujuannya. Hal tersebut sekaligus merupakan

ideal hukum yang menuntut untuk diwujudkan. Sebagai

konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terus-

menerus membangun dirinya menuju ideal tersebut. Inilah esensi

hukum progresif. Secara spesifik hukum progresif adalah suatu

hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. 140

Dalam konteks paparan di atas kiranya demikian relevan dan

urgen beberapa pokok pikiran hukum progresif dari Satjipto

Rahardjo, kaitannya dengan pemberdayaan UMKM karena;

1) Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat (UMKM)

kepada ideal hukum.

2) Hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia

(UMKM) pada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat

manusia bahagia.

139
Satjipto Rahardjo I, Op.Cit, h.2.
140
Satjipto Rahardjo II, Loc.Cit.
86

3) Hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang

pro keadilan.

2.1.8. Konsep Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaruan


Masyarakat (Law as a Tool of Social Engineering)

Konsep fungsi hukum yang relevan dalam pemberdayaan

UMKM dibidang akses modal adalah konsep fungsi hukum

sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang merupakan pemikiran

Rescoe Pound, salah seorang peletak dasar (aliran dalam filsafat

hukum) Sociological Jurisprudence.141 Pound menyatakan hukum

dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool

of social engineering). Di Indonesia, konsep Rescoe Pound

diintrodusir dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. 142

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi

sebagai sarana pembaharuan atau sarana pembangunan adalah

didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaedah atau

peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur)

atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan

manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan. 143

141
Lily Rasjidi, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 47.
142
Syahmin, AK, Mengkritisi Hukum Sebaga Sarana Pembaharuan
Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum Progresif Volume I Nomor 2, Oktober,
2005, h. 32.
143
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 12-13. (Selanjutnya disebut Mochtar
Kusumaatmadja I).
87

Abdurahman mengungkapkan bahwa disatu pihak hukum

memperlihatkan diri sebagai suatu objek pembangunan nasional,

dalam arti hukum itu dilihat sebagai suatu sektor pembangunan

yang perlu mendapat prioritas penegakan, pengembangan dan

pembinaannya. Sedangkan dipihak lain hukum harus dipandang

sebagai suatu “alat” (tool) dan sarana penunjang yang akan

menentukan usaha-usaha pembangunan nasional. 144 Berkaitan

dengan fungsi hukum dalam konteks pembangunan, diungkapkan

juga oleh Sunaryati Hartono, sebagai ; 1) Pemelihara ketertiban

dan keamanan; 2) Sarana pembangunan; 3) Sarana penegak

keadilan; 4) Sarana pendidikan masyarakat. 145

Menurut Michael Hager, hukum dalam fungsinya sebagai

sarana pembangunan dapat mengabdi dalam tiga sektor, yaitu : 1)

Hukum sebagai alat penertib (ordering); 2) Hukum sebagai alat

penjaga keseimbangan; 3) Hukum sebagai katalisator, yang dapat

membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan

melalui pembaharuan hukum (law reform).146

Pemberdayaan UMKM dibidang akses modal sebagai

bagian dari kebijakan pemerintah dalam perekonomian, agar

tercapai seperti dikehendaki, memerlukan dukungan hukum untuk

144
Abdurahman, 1976, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di
Indonesia, Alumni, Bandung, h. 19.
145
Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Binacipta, Bandung, h. 10-30
146
Ibid. h. 22
88

mewujudkannya. Banyak negara telah menggunakan hukum

sebagai sarana perubahan masyarakat. Peranan hukum sebagai

sarana perubahan masyarakat merupakan kebutuhan kaitannya

dengan tujuan pembangunan sebagaimana dicita-citakan atau yang

sudah direncanakan.

Apabila hukum akan dipergunakan sebagai sarana

perubahan, maka hukum tersebut harus dibentuk terlebih dahulu

dan harus memuat substansi perubahan yang diinginkan. Apabila

diinginkan sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam

pemberdayaan UMKM dibidang akses modal dengan melibatkan

partisipasi masyarakat, maka hal itu harus dirumuskan terlebih

dahulu dengan menggunakan hukum (peraturan perundang-

undangan) yang dibuat oleh pemerintah sebagai sarananya. 147

2.2. Kerangka Konsepsual

2.2.1. Konsep Pengaturan

Pengaturan yang dimaksud disini adalah pengaturan

terhadap UMKM dengan segala aspeknya melalui sarana hukum

(peraturan perundang-undangan) yang dibuat oleh Pemerintah dan


147
Sebagaimana diungkapkan oleh Erwin Arifin, apabila melalui hukum
akan dilakukan perubahan terhadap masyarakat dalam arti bahwa hukum
digunakan sebagai sarana untuk mengubah dan perubaha n itu ditujukan ke arah
yang baru, maka berarti hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan harus memuat
bentuk masyarakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian,
untuk melakukan perubahan itu, maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau
yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu serta harus memenuhi unsur -
unsur masyarakat yang dikehendaki. Erwin Arifin, 1994, Konsep Mazhab
Sociological Jurisprudence Dalam Hubungannya Dengan Perkembanga n Hukum
di Indonesia Dalam Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya , PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, h. 87.
89

badan legislatif. Dalam kerangka pengaturan, pembinaan dan

pengembangan UMKM, dibutuhkan peraturan yang sifatnya

komprehensif sebagai bentuk perlindungan oleh pemerintah. 148

Pengaturan merupakan salah satu bentuk fungsi dari fungsi

hukum. Pengaturan merupakan bentuk tindakan legislatif

(legislation) dalam bentuk penerbitan aturan oleh badan

legislatif. 149

Dengan banyaknya peran hukum yang tidak terhingga itu,

maka salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur tata

tertib hubungan masyarakat. 150 Dalam bukunya “Inleiding tot de

studie van het Nederlandse recht”. Apeldoorn menyatakan bahwa

tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara

damai dan adil. 151

Meskipun hukum tidak identik dengan peraturan

perundang-undangan, secara umum dapat dinyatakan bahwa dalam

realitas kehidupan masyarakat modern, apa yang dimaksud dengan

hukum sebagian besar dapat ditemukan dan dirumuskan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari

suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang dibentuk

148
Teguh Sulistia, 2006, Aspek Hukum Usaha Kecil Dalam Ekonomi
Kerakyatan, Andalas University Press, Padang, h. 157.
149
R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
h.53.
150
Ibid. h. 57
151
Wyasa Putra I.B. II, Op.Cit, h. 126
90

berdasarkan atribusi dan delegasi. 152 Dalam rumusan lain dapat

juga diartikan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah

peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat

yang berwenang dan mengikat secara umum. 153

Pembentukan peraturan perundang-undangan (Staatliche

rechtssetzung) adalah ikhtiar atau upaya merealisasikan tujuan

tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, dan pengaturan

perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui

dan dengan bersaranakan kaedah-kaedah hukum yang diarahkan

kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan. 154

Lebih lanjut pengaturan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan tersebut, tujuan yang ingin direalisasikan

pada umumnya mengacu kepada ideal atau tujuan hukum secara

umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban, dan kepastian

hukum.

Dalam sistem ketatanegaraan modern, semua kebijaksanaan

pemerintah yang disusun haruslah berdasarkan konstitusi dan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Pengaturan terhadap kepentingan publik maupun perlindungan

hukum terhadap kepentingan anggota masyarakat agar terciptanya


152
Kementerian PAN/BAPPENAS, Departemen Kelautan dan Perikanan
DEPKUMHAM dan Mitra Pesisir/Coastal Resorces Management Project II,
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indsonesia, Jakarta, 2005, h. 32. Lihat juga Yuliandri, Op.Cit, h. 41.
153
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
154
Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katho lik
Parahyangan (UNPAR), Keterampilan Perancangan Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 2.
91

ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, pada umumnya

dibuat dalam bentuk aturan hukum. 155 Begitu juga untuk

kepentingan pengembangan dan perlindungan hukum terhadap

UMKM pengaturannya diwujudkan dalam bentuk aturan hukum

(Peraturan Perundang-undangan).

UMKM merupakan salah satu pelaku ekonomi yang

dominan dalam dunia usaha di negara-negara berkembang,

termasuk Indonesia. Potensi dan peran UMKM sangat penting

dalam perekonomian nasional. Namun kenyataannya UMKM

belum dapat mewujudkan semua kemampuan, peran dan fungsinya

dalam kegiatan ekonomi naisonal, mengingat adanya berbagai

kelemahan, baik dari segi SDM, akses pasar, akses modal, maupun

akses informasi dan penguasaan teknologi. Dari keadaan faktual

tersebut diperlukan perangkat hukum untuk melaksanakan

pengaturan, pembinaan dan pengembangan dalam arti seluas-

luasnya bagi seluruh kegiatan UMKM, termasuk UMKM dibidang

usaha pariwiata.

2.2.2. Konsep Hak

Pembahasan mengenai hak menjadi demikian penting

karena sangat berkaitan erat dengan posisi manusia terhadap

negara dan dengan manusia sebagai subyek hukum. 156 Ketika

155
Johnny Ibrahim, 2009, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Teori
dan Implikasi Penerapannya Dalam Penegakan Hukum , CV. Putra Media
Nusantara, Surabaya, h.69. (Selanjutnya disebut Johnny Ibrahim II).
156
Muhamad Erwin, Loc.Cit.
92

seseorang dikatakan mempunyai hak, maka sudah barang tentu

ada seorang lain yang mempunyai suatu kewajiban. Begitu pula

keberadaan negara berposisi sebagai pihak yang wajib melindungi

hak-hak dari setiap orang warga negara.

Hak (recht = bahasa Belanda, droit = bahasa Prancis, ius =

bahasa latin), adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh

hukum. Istilah hak sering disebut juga wewenang. 157 Beberapa

literatur memberikan berbagai rumusan tentang konsep hak,

diantaranya 158 :

1. Salmond
Hak adalah kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh
hukum. Memenuhi kepentingan merupakan suatu
kewajiban sedangkan melalaikannya adalah kesalahan.
Suatu hak, karena itu mengharuskan kepada mereka yang
terkena melakukan suatu perbuatan/tidak melakukan
perbuatan. Hak ini berhubungan dengan suatu obyek tempat
perbuatan yang terkait.
2. Alien
Hak adalah suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang
dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.
3. Jhering
Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
4. Holland
Hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan
wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu
paksaan masyarakat yang terorganisasi.
5. K. Bartens
Hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau
kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap
masyarakat. Orang yang mempunyai hak bisa menuntut

157
Muladi, Op.Cit, h. 239.
158
Muladi, Loc.Cit, Lihat juga Lili Rasyidi dan Ira Thania Rasjidi, 2002,
Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung.
93

(dan bukan saja mengharapkan atau menganjurkan) bahwa


orang lain akan menghormati hak itu. 159

Menurut Jhering tujuan hukum bukanlah melindungi

kehendak individu, melainkan melindungi kepentingan tertentu.

Oleh karena itulah ia mendefinisikan hak sebagai kepentingan-

kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan-

kepentingan ini bukan diciptakan oleh negara, karena kepentingan-

kepentingan itu telah ada dalam kehidupan masyarakat dan negara

hanya memilih mana yang harus dilindungi 160.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai banyak

ragam kepentingan. Dalam setiap aktivitas manusia tidak dapat

disangkal pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu berupa

kepentingan. Seperti ditegaskan oleh G.W. Paton bahwa

kepentingan-kepentingan itu adalah objek keinginan manusia. 161

Selanjutnya Paton mengemukakan bahwa suatu

kepentingan adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau

kelompok individu yang ingin dipenuhi oleh individu atau

kelompok individu tersebut. Hukum memberikan hak kepada

keinginan manusia yang mengejar tujuan yang dibolehkan oleh

hukum.162

159
Bartens K., 2001, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 179
160
Paton G.W. dalam Peter Mahmud Marzuki II, Op.Cit. h. 151.
161
Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit.
162
Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit
94

Sejauh hak yang dimiliki manusia itu tidak bertentangan

dengan hukum, maka sudah sepantasnya hak tersebut dilindungi

dan dijunjung tinggi. Seperti dikemukakan oleh Dworkin;

“Right are best understood as trumps over some background


justification for political decisions that the state a goal for the
community as a whole”, yang kalau diterjemahkan secara
bebas artinya “(hak paling tepat dipahami sebagai nilai yang
paling tinggi atas justifikasi latar belakang dari keputusan
politik yang menyatakan suatu tujuan bagi masyarakat secara
keseluruhan)” 163.

Mengacu pandangan Dworkin, bahwa hak mempunyai nilai

yang paling tinggi. Dari pandangan itu, Dworkin menempatkan hak

sebagai sesuatu yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun,

termasuk oleh negara.

Secara tradisional dikenal 2 (dua) macam pembedaan hak,

yaitu hak untuk dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai

manusia (hak azasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya

peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang.164

Hak yang melekat pada tiap-tiap manusia dan secara azasi

ada sejak manusia dilahirkan, berkaitan dengan eksistensi hidup

manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut dan tidak

tergantung dengan ada atau tidak orang lain disekitarnya. Hak-hak

inilah dikenal dengan Hak Azasi Manusia. 165

163
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. 153.
164
Theo Huijbers, II, Loc.Cit.
165
Muladi, Loc.Cit.
95

Hak asasi tidak perlu direbut sebab ada dan selalu ada,

selama ia masih ada manusia. Keberadaan dari hak azasi tidak

bergantung pada persetujuan orang ataupun undang-undang negara.

Terhadap hak azasi hukum negara hanya boleh dan bahkan wajib

mengatur pemenuhannya, sedangkan untuk meniadakan atau

menghapuskan hak azasi melalui hukum, tidak dibenarkan.

Sementara hak yang bersumber dari hukum atau perjanjian

itu dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Hak

kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda

yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Misalnya hak

milik. Sedangkan hak perorangan memberikan suatu tuntutan atau

penagihan terhadap seseorang. 166 Dalam Hukum Romawi,

keduanya disebut dengan actions in rem untuk tuntutan kebendaan

dan actions in personam untuk tuntutan perseorangan. 167

2.2.3. Konsep Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

Perekonomian nasional digerakkan oleh para pelaku

ekonomi atau pelaku usaha baik perorangan maupun institusi yang

166
Subekti R., 1989, Pokok-Pokok Hukm Perdata, Intermasa, Jakarta, h.63.
167
Untuk lebih jelasnya dapat diberikan uraian lebih lanjut mengenai hak
kebendaan dan hak perorangan dimaksud. Hak kebendaan adalah hak untuk
memiliki atau menguasai suatu kebendaan, baik itu benda bergerak maupun benda
tidak bergerak, dan hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Artinya bahwa
setiap orang harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan hak milik itu,
karena hak milik itu merupakan sebagian dari hak mutlak/hak absolute. Sementara
hak perorangan adalah hak seseorang tertentu untuk menuntut suat u tagihan
terhadap seseorang tertentu (tidak setiap orang) dan hak ini hanya dapat
dipertahankan terhadap orang lain tertentu saja. Dengan demikian hak ini disebut
dengan hak tagih atau hak relatif/hak nisbi. Jadi hanya orang lain tertentu saja yang
harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan hak tagih tersebut. Bachsan
Mustafa, Op.Cit, h. 41-42.
96

mempunyai tujuan memperoleh keuntungan. Para pelaku ekonomi

melakukan kegiatan ekonomi dengan menggunakan bentuk usaha

yang bervariasi, dan menjalankan usaha yang bervariasi pula. 168

Hal ini diungkapkan oleh Sri Redjeki Hartono sebagai berikut :

Kegiatan ekonomi masyarakat pada hakekatnya dilaksanakan


oleh para pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi terdiri atas
perorangan dan institusi yang bertujuan komersial dengan
istilah badan usaha atau korporasi. Kegiatan ekonomi
dilaksanakan dalam berbagai skala dan berbagai bentuk
kegiatan. Kegiatan dimaksud dapat meliputi baik dalam
bentuk produksi (barang dan atau jasa), perdagangan (barang
atau jasa), maupun perantara, baik berskala lokal nasional
maupun internasional. 169

Selain bervariasi dalam bentuk usaha, jenis usaha, dan

ruang lingkup usaha, para pelaku ekonomi sangat bervariasi pula

dalam eksistensinya didalam hukum nasional dan kedudukan

institusinya. Mengenai hal ini Sri Redjeki Hartono

mengungkapkan;

Pelaku ekonomi di Indonesia pada hakekatnya sangat


bervariasi, baik mengenai eksistensinya didalam peraturan,
kegiatan maupun kedudukan institusinya. Pada strata rendah,
misalnya terdiri dari pelaku ekonomi perorangan dengan
kekuatan modal yang relatif terbatas. Pada strata menengah ke
atas dijumpai beberapa bentuk badan usaha, baik yang bukan
badan hukum yang mempunyai status badan hukum. 170

Apa yang diungkapkan oleh Sri Redjeki Hartono tersebut,

bahwa didalam masyarakat ada kegiatan ekonomi yang dilakukan

168
Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Tentang Telaah Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 1
169
Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar
Maju, Bandung, h. 70. (Selanjutnya disebut Sri Redjeki Hartono I).
170
Sri Redjeki Hartono, Pengembangan Koperasi Sebagai Pelaku
Ekonomi di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
“Pengembangan Hukum Nasional VIII”, Denpasar 14 -18 Juli 2013, h.1 (selanjutnya
disebut Sri Redjeki Hartono II), lihat juga Neni Sri Imaniyati, Op.Cit, h.4.
97

oleh pelaku ekonomi atau pelaku usaha dengan kekuatan modal

terbatas, seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan

pelaku ekonomi atau pelaku usaha besar dengan kekuatan modal

besar.

Dalam perekonomian Indonesia UMKM merupakan

kelompok usaha yang mempunyai jumlah besar. Mengenai UMKM

di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2008.

Regulasi tersebut menunjukkan perhatian pemerintah Indonesia

dalam mengendalikan dan mengawasi salah satu pilar ekonomi

nasional tersebut. Ketentuan pasal 1 angka 1, 2, dan 3 memberikan

pengertian UMKM sebagai berikut;

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan


dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria
usaha mikro sesuai undang-undang.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha
menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha
kecil sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsune dengan
usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam undang-undang.

Dari pengertian atau batasan dari usaha mikro, kecil dan

menengah (UMKM), maka selanjutnya dipertegas lagi dalam


98

ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008

mengenai kriteria dari UMKM sebagai berikut :

(1) Kriteria Usaha Mikro.


a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Kriteria Usaha Kecil.
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima
ratus juta rupiah).
(3) Kriteria Usaha Menengah
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima
puluh milyar rupiah).

Mengacu pada ketentuan di atas, maka dapat diberikan

penjelasan yang lebih singkat kriteria dari UMKM tersebut dalam

uraian dan tabel sebagai berikut :

1. Usaha mikro : maksimum asset 50 juta, dengan maksimum

omzet adalah 300 juta

2. Usaha kecil : maksimum asset di atas 50 juta s/d 500 juta,

omzet diatas 300 juta s/d 2,5 milyar

3. Usaha menengah : asset di atas 500 juta s/d 10 miliar, omzet di

atas 2,5 milyar s/d 50 milyar


99

Tabel 1 : Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Kriteria
No. Uraian
Aset Omzet

1. Usaha Mikro Maks. 50 juta Maks. 300 juta

2. Usaha Kecil > 50 Juta – 500 Juta > 300 juta – 2,5 Milyar

3. Usaha Menengah > 500 Juta – 10 Milyar > 2,5 Milyar – 50 Milyar

Sumber : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha


Mikro, Kecil dan Menengah

Masalah UMKM merupakan masalah yang sangat menarik

untuk dikaji secara ilmiah, karena UMKM merupakan sebagian

tata perekonomian masyarakat Indonesia. 171 Peran penting UMKM

sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia mulai diakui dan

diperhatikan sejak krisis melanda Indonesia. 172

Setidak-tidaknya ada dua peran penting UMKM yang

cukup signifikan adalah kontribusinya dalam investasi dan

penyediaan kesempatan kerja. 173 Untuk itu tidak dapat dipungkiri

keberadaan UMKM dapat menopang perekonomian Indonesia.

Jika melihat perekonomian di Indonesia, sebagian besar

sektor ekonomi bangsa ini ada pada UMKM. Pada kenyataannya

perekonomian bangsa lebih bertumpu pada industri kecil dan

menengah yang jumlahnya sangat besar sekali, sementara industri

besar jumlahnya tidak begitu banyak.

171
Suhardi et.al., 2012, Hukum Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah di Indonesia, Akademi, Jakarta Barat, h. 1.
172
Mohamad Ichsan, Mmengembalikan Laju Pertumbuhan Ekonomi
Dalam Jangka Panjang Menengah; Pesan Usaha Kecil dan Menengah, Jurnal
Analisis Sosial, vol.9 No.2 Agustus 2004, h.1.
173
Ibid.
100

2.2.4. Konsep Modal

Bagi mereka yang akan memulai membuka usaha pasti

memerlukan modal, dan begitu pula untuk mengembangkan usaha

yang sudah ada diperlukan modal. Peranan modal menjadi sangat

besar ketika masyarakat akan melakukan aktivitas dibidang

ekonomi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kasmir, untuk mendirikan

atau menjalankan usaha diperlukan sejumlah modal (uang) dan

tenaga (keahlian). Modal dalam bentuk uang diperlukan untuk

membiayai segala keperluan usaha, mulai dari biaya pra investasi,

pengurusan izin-izin, biaya investasi untuk pembelian aktiva tetap,

sampai dengan modal kerja. Sementara itu, modal keahlian adalah

keahlian dan kemampuan seseorang untuk mengelola atau

menjalakan usaha. 174

Modal bagi seseorang pengusaha adalah dana yang dipakai

untuk memulai suatu perusahaan. Modal bagi seorang akuntan

adalah selisih antara harta dikurangi utang. Sedangkan modal bagi

ahli ekonomi adalah hasil yang dipergunakan untuk menghasilkan

lebih lanjut. 175

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud

dengan modal adalah uang yang dipakai sebagai pokok (induk)

174
Kasmir, 2011, Kewirausahaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.90
175
Wasis, 1986, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Alumni, Bandung, h. 93.
101

untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya, harta benda

(uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk

menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan. 176

Achmad Ichsan menyatakan, dalam bidang ekonomi

perusahaan, modal adalah suatu perwujudan, kesataun benda yang

berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan oleh sesuatu

badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. 177 Disini pengertian

modal adalah tidak sama dengan kekayaan, karena dengan

kekayaan dimaksudkan selisih antara milik badan usaha itu dengan

hutang-hutangnya yang dinilai dalam jumlah uang.

Dari beberapa batasan tentang modal tersebut, maka yang

dimaksud modal itu tidak hanya berupa uang saja, tetapi juga

termasuk barang dan hak-hak untuk mendapatkan keuntungan

dalam menjalankan suatu usaha. Dalam tulisan ini yang dimaksud

modal adalah berupa uang, barang, dan hak-hak untuk membiayai

suatu unit usaha.

Besarnya modal yang diperlukan tergantung dari jenis

usaha yang digarap. Dalam kenyataan sehari-hari ditemui adanya

jenis usaha yang termasuk usaha mikro, kecil dan menengah

(UMKM) dan usaha besar. Masing-masing memerlukan modal

176
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Repbulik Indonesia, 1990,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 588.
177
Achmad Ichsan, 1986, Dunia Usaha Indonesia, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 363
102

dalam batas tertentu. Jadi, jenis usaha menentukan besarnya

jumlah modal yang diperlukan.

Dalam menjalankan sebuah usaha, salah satu faktor

pendukung yang dibutuhkan adalah modal. Jika diibaratkan

memulai usaha dengan membangun sebuah rumah, maka adanya

modal menjadi bagian pondasi dari rumah yang akan dibangun.

Semakin kuat pondasi yang dibuat, maka semakin kokoh pula

rumah yang akan dibangun. 178

Begitu juga pengaruh modal terhadap sebuah usaha atau

bisnis, keberadaannya menjadi pondasi awal usaha atau bisnis yang

akan dibangun. Modal yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha,

antara lain, tekad, pengalaman, keberanian, pengetahuan,

networking, serta modal uang atau barang. Namun dari beberapa

yang dibutuhkan, kebanyakan orang terhambat memulai usaha

karena mereka sulit untuk mendapatkan modal uang atau barang. 179

Menyinggung soal modal yang dapat dimanfaatkan oleh

mereka yang menjalankan suatu usaha, maka menurut Wasis,

sumber modal itu sendiri dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Dilihat dari status penyetor modal dalam perusahaan, ada


sumber modal pemilik (the owner) dan sumber modal
kreditur (the creditor).

178
Cara Mendapatkan Modal Untuk Usaha Kecil Menengah,
www.bisnisukm.com, diakses 20 Juni 2013.
179
Ibid.
103

b. Dilihat dari jangka waktunya, maka dapat dibedakan


sumber modal jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
c. Dilihat dari jenisnya kita dapat menamakan kredit
perdagangan, kredit bank, kredit langganan, hipotek,
obligasi, leasing, partner, saham, penyertaan bank, surplus
dan cadangan.
d. Dilihat dari perusahaan sendiri, ada sumber modal ekstern
dan sumber intern. 180

Secara skematis pembedaan-pembedaan sumber modal

tersebut diatas dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini :

180
Wasis, Op.Cit. h. 96.
104

Bagan 1 : Sumber-Sumber Modal Menurut Wasis

Statusnya Waktunya Jenisnya

Kredit
Perdagangan

Kredit
Jangka Pendek Bank

Kredit
Langganan

Kreditur
Kredit
Jangka Bank
Menengah
Leasing Ekstern

Obligasi
Jangka Panjang
Sumber Modal Hipotek

Partner

Jangka Panjang Saham

Penyertaan
Bank
Pemilik

Surplus

Jangka Pendek Intern

Cadangan

Sumber : Wasis, 1986, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Alumni,


Bandung.

2.2.5. Konsep Bidang Usaha Pariwisata

Dalam sejarah pembangunan dibanyak negara, sektor

kepariwisataan telah terbukti berperan penting dalam

menyumbangkan perkembangan perekonomiannya, khususnya

dalam dua dekade terakhir, yang ditunjukkan dengan

meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi bangsa-bangsa yang

menjadikan kepariwisataan sebagai industri hilirnya untuk


105

meningkatkan pertumbuhan kegiatan-kegiatan usaha dan

penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor usaha dibidang

pariwisata itu sendiri. 181

Ada beberapa karakteristik keunggulan dari industri

kepariwisataan yang menyebabkan industri ini mampu berperan

sebagai lokomotif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara,

diantaranya adalah;

1. Sektor kepariwisataan adalah sebuah industri yang mempunyai

keterkaitan rantai nilai (multiplier effect) yang sangat panjang

dan mampu menjalin sinergi pertumbuhan dengan berbagai

usaha mikro, termasuk kegiatan usaha home industry.

2. Usaha dibidang pariwisata mampu menyerap banyak sumber

daya setempat (local resource based) dan utamanya berbahan

baku yang relatif tidak pernah habis atau terbaharui (renewable

resources).182

Selain itu, industri pariwiata juga mempunyai karakter

spesifik yang sangat strategis sebagai instrumen untuk pemerataan

pembangunan wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam

konteks ini industri pariwisata mampu menggerakkan sektor-sektor

usaha dan kegiatan terkait, baik yang ada didepan maupun yang

ada dibelakang kegiatan kepariwisataan itu sendiri, dan terjadi

181
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi
Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, h. 33.
182
Ibid, h. 35.
106

dalam berbagai skala usahanya, mulai usaha mikro sampai usaha

besar.

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, menjelaskan

usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan

menyelenggarakan jasa pariwisata, menyediakan atau

mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana

pariwisata dan usaha lain yang terkait dengan bidang tersebut.

Rincian dari rumusan tersebut kemudian diuraikan dalam pasal 4

yang menggolongkan usaha pariwisata menjadi tiga golongan,

yaitu : 1) usaha jasa pariwisata, 2) pengusaha obyek dan daya tarik

wisata, dan 3) usaha sarana pariwisata. 183

Golongan besar dari usaha dibidang pariwisata atau

dikenal dengan komponen pariwisata tersebut terus berkembang

maju sesuai dengan perkembangan teknologi dan pariwisata itu

sendiri. Berkembangnya suatu usaha pariwisata tidak terlepas dari

adanya dukungan prasarana dan usaha pendukung lainnya. 184

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, mengenai bidang usaha pariwisata diatur dalam

183
Muljadi A.J. 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 51.
184
Usaha pendukung yang terkait erat dengan pengembangan pariwisata
meliputi; usaha peternakan, usaha pertanian, usaha perindustrian, usaha
perbankan, dan sebagainya. Yang termasuk dalam jasa pendukung ini adalah
fasilitas atau sarana penunjang yang dapat menunjang kebutuhan wisatawan bila
sewaktu-waktu diperlukan, sehingga dengan tersedianya sarana penunjang akan
lebih membantu memperlancar perjalanan. Yang termasuk komponen penunjang,
antara lain ; kantor pos dan telepon, kantor bank, penukaran uang, tempat
pelayanan kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Ibid, h. 65.
107

ketentuan pasal 14. Undang-Undang Kepariwisataan ini

menyebutkan jenis-jenis bidang usaha dalam lapangan usaha

pariwisata yang meliputi ; daya tarik wisata, kawasan pariwisata,

jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan

minuman, penyediaan akomodasi, penyelenggaraan kegiatan

hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan

insentif, konferensi dan pameran, jasa informasi pariwisata, jasa

konsultasi pariwisata, jasa pramuwisata, wisata tirta dan Spa. 185

Cakupan bidang usaha pariwisata demikian luas, dan yang

pada umumnya banyak dijalankan oleh UMKM adalah umumnya

terbatas pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan kemampuan

dan potensi yang ada pada mereka, seperti misalnya usaha dibidang

makanan dan minuman, cindera mata, parkir, porter dan sarana

penunjang pariwisata lainnya.

Beberapa bidang usaha dan kesempatan kerja dapat

diciptakan dari industri pariwisata yang berada pada satu destinasi

yang dijalankan masyarakat. Berbagai segmen usaha ditekuni oleh

masyarakat seperti berusaha di sektor jasa ekonomi, penyediaan

makanan dan minuman, jasa laundry, toko serba ada (Toserba)

berskala kecil, jasa angkutan lokal, termasuk ojek, dan

sebagainya. 186

185
Lihat ketentuan pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan.
186
Madiun I Nyoman, Op.Cit. h. 172.
108

Pada dasarnya, keterlibatan masyarakat dalam usaha

kepariwisataan diberbagai destinasi di Indonesia secara umum

sudah berlangsung, baik sebagai pekerja maupun sebagai

pengusaha. Namun demikian, dapat diikatakan berbagai usaha dan

tenaga kerja masyarakat setempat yang ada tadi, pada umumnya

masih berupa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan

tingkatan kerja menengah ke bawah, yang seringkali masih

mengalami banyak kendala untuk bisa berkembang. 187

2.3. Kerangka Berpikir

Penelitian ini diawali dengan pemaparan latar belakang masalah

yang mencoba untuk mengindentifikasi berbagai problematik, baik

problematik sosiologis, filosofis, maupun yuridis berkaitan dengan hak

187
Penguatan Usaha dan peningkatan kesempatan kerja dibidang kepariwisataan
pada masyarakat yang ada di sekitar destinasi, secara garis besar dapat dilakukan mela lui
berbagai strategi pengembangan sebagai berikut :
a. Meningkatkan permintaan terhadap fasilitas penunjang wisata (akomodasi, makan
minum, cinderamata, jasa wisata, dan sebagainya) di destinasi, sehingga pada giliran
berikutnya akan meningkatkan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya kesempatan
kerja dan usaha masyarakat pada jenis-jenis fasilitas tersebut;
b. Mengembangkan produk-produk wisata baru bagi usaha ekonomi masyarakat setempat
dan bentuk jasa layanan lainnya (persewaan kendaraan wisata, usaha kerajinan, seni
pertunjukan, seni rupa dan seni sastra sebagai atraksi wisata, agro tourism dan produk-
produk wisata minat khusus lainya);
c. Meningkatkan permintaan pasar terhadap produk wisata lokal yang spesifik seperti:
produk yang dihasilkan desa setempat seperti: kuliner, lukisan, ukiran, batik serta seni
tradisional yang akan mendorong keberlanjutan atau kesinambungan adat tradisi
masyarakat lokal secara turun temurun;
d. Menggunakan tenaga kerja dan tenaga "ahli" lokal (misal: pemandu wisata, pelayan
restoran dan usaha cinderamata, karyawan hotel, dsbnya);
e. Membuka peluang dan pengembangan sumber dana bagi usaha perlindungan atau
konservasi sumber daya alam dan budaya di sekitar kawasan, serta
f. Menumbuhkan tingkat kesadaran masyarakat komunitas lokal terhadap nilai-nilai
lokalitas budaya dan keunikan alam yang bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik dan
atraksi wisata
Bambang Sunaryo, Op.Cit, h. 229-230
109

UMKM atas akses modal dalam penyelenggaran kegiatan usaha di

bidang pariwisata sesuai dengan judul dari disertasi ini.

Secara sosiologis problem yang dihadapi oleh UMKM adalah masih

terbatasnya akses mereka terhadap modal sebagai salah satu komponen

penting dalam penyelenggaraan kegiatan usaha. UMKM masih kesulitan

untuk mendapatkan akses modal, terutama melalui fasilitas kredit

perbankan karena tidak bisa menyediakan agunan sebagai salah satu

persyaratan yang diminta oleh bank.

Secara filosofis, demokratis ekonomi yang berintikan keadilan

sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 belum sepenuhnya dapat

diwujudkan secara nyata, terutama berkaitan dengan masih kecilnya

peluang atau kesempatan UMKM untuk mendapatkan modal usaha bila

dibandingkan usaha besar, sehingga menimbulkan kesenjangan dan

ketidakadilan dalam bidang ekonomi.

Secara yuridis formal terdapat adanya ketidakpastian perundang-

undangan yang mengatur UMKM dibidang akses modal, yang

disebabkan adanya rumusan normanya yang tidak jelas (kabur). Selain

itu, disamping ada rumusan normanya yang tidak sinkron atau

bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga

menampakkan adanya konflik norma, juga menampakkan adanya norma

kosong.
110

Berdasarkan beberapa problematik yang telah diuraikan berkaitan

dengan akses UMKM terhadap modal tersebut, maka ada 2 (dua)

rumusan masalah pokok yang akan diteliti dalam penulisan disertasi ini,

yaitu; 1) Apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah

menjamin terwujudnya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha

pariwisata. 2) Bagaimana formulasi pengaturan kedepan dalam rangka

mewujudkan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata?

Guna dapat menjawab permasalahan penelitian sebagaimana telah

dirumuskan, maka dipergunakan beberapa teori sebagai pisau analisa,

yaitu; teori Sistem Hukum (Legal System Theory) yang didukung dengan

teori utilitarisme, teori Hak dan HAM untuk membedah permasalahan

yang pertama. Selanjutnya untuk membedah permasalahan yang kedua

dipergunakan Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang didukung

dengan Teori Cita Hukum, Teori Stakeholders (Stakeholders Theory),

Teori Keadilan dan Teori Hukum Progresif.

Kegunaan teori hukum salah satunya adalah untuk memberikan

jawaban pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah

pengetahuan tentang sistem yang berbeda maknanya dari sekedar

mengetahui bagaimana menjalankan dalam suatu sistem dimana praktisi

hukum tidak bisa melakukannya. 188

188
Romli Atmasasmita, Op.Cit, h. 12.
111

Teori hukum yang sering juga dinamakan ajaran hukum

(rechtslcer), tugasnya antara lain adalah menerangkan berbagai

pengertian dan istilah-istilah dalam hukum, menyibukkan diri dengan

hubungan hukum dan logika, dan menyibukkan diri dengan

metodologi.189 Dengan bantuan teori hukum diharapkan permasalahan

penelitian dapat diberikan jawaban yang mengandung unsur kebenaran

ilmiah.

Suatu karya ilmiah yang membuktikan kebenaran ilmiah

menggunakan metode penelitian, begitu juga halnya dengan karya ilmiah

disertasi ini. Penelitian itu sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. 190 Penelitian

disertasi ini termasuk penelitian hukum normatif dengan pendekatan

perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual

approach), dan pendekatan analitis (analytical approach).

Selanjutnya dengan menggunakan teori-teori hukum yang ada yang

didukung metode penelitian beserta pendekatan-pendekatan ilmiahnya,

dilakukan pembahasan terhadap permasalahan penelitian dengan

menekankan kajian pada rumusan masalah yang diteliti. Setelah melalui

analisa dan pembahasan kemudian diberikan kesimpulan hasil penelitian

dan rekomendasi. Untuk jelasnya mengenai kerangka berpikir, alur

berpikir pemecahan masalah 1, alur berpikir pemecahan masalah 2,

dalam penelitian ini, maka dapat dilihat pada bagan dibawah ini;

189
Johnny Ibrahim II, Op.Ct. h.221.
190
Johnny Ibrahim I, Op.Cit, h. 26.
112

Bagan 2 : Kerangka Berpikir

Pengaturan Hak UMKM Atas Akses Modal Dalam


Penyelenggaraan Usaha Dibidang Pariwisata

Latar Belakang Rumusan Landasan Metode Hasil dan


Masalah Masalah Teori Penelitian Pembahasan

Problematik Filosofis 1. Mengapa peraturan 1. Jenis Penelitian 1. Pengaturan Hak


 Teori Sistem Hukum
Demokrasi ekonomi yang perundang-undangan Penelitian Hukum UMKM Atas Akses
(Legal System Theory)
berintikan keadilan yang ada belum Normatif Modal dan Politik
sebagaimana diamanatkan menjamin dapat  Teori Utilitarisme
konstitusi belum Hukum Pengaturan
diwujudkannya hak
 Teori Hak dan HAM 2. Pendekatan Penelitian UMKM Di Indonesia
sepenuhnya dapat UMKM atas akses
diwujudkan secara nyata modal dibidang usaha a. Pendekatan per-
pariwisata ? undang-undangan 2. Formulasi Pengaturan
Problematik Sosiologis
(statue approach) Dalam Rangka
Masih terbatasnya akses 2. Bagaimana formulasi
UMKM terhadap sumber  Teori Negara Kese- b. Pendekatan Mewujudkan hak
pengaturan dalam jahteraan Konsep UMKM atas Akses
daya produktif, khususnya
modal. rangka mewujudkan  Teori Stakeholders (Cenceptual Modal di Bidang Usaha
hak UMKM atas akses (Stakeholders Theory)
 Teori Keadilan approach) Pariwisata.
Problematik Yuridis modal dibidang usaha c. Pendekatan
 Teori Hukum Progresif
Adanya ketidakpastian pariwisata ?  Konsep Law as a tool of Analitis (Analitical
hukum pengaturan Hak Social Engineering
UMKM atas akses modal. Approach)
d. Pendekatan
Histroris (Historical
Approach)

Kesimpulan dan Saran-Saran


113

Bagan 3 : Alur Berpikir Pemecahan Masalah 1

Pengaturan Hak UMKM Atas Akses Modal


Dibidang Usaha Pariwisata

Peraturan Perundang-Undangan
Yang Mengatur UMKM

Landasan Teori
 Teori Sistem Hukum
 Teori Utilitarisme
 Teori Hak dan HAM

Problematik Yuridis
(Problem Norma)

Norma Kabur Norma Konflik Norma Ambigu

Tidak Adanya
Kepastian Hukum

Peraturan Perundang-
Undangan Yang Ada :
Belum Menjamin dapat
diwujudkannya Hak
UMKM Atas Akses Modal
Dibidang Usaha Pariwisata
114

Bagan 4 : Alur Berpikir Pemecahan Masalah 2

Formulasi Pengaturan Dalam Rangka


Mewujudkan Hak UMKM Atas Akses Modsal
Dibidang Usaha Pariwisata

Pemberdayaan UMKM
Dibidang Akses Modal

PERAN NEGARA
PARTISIPASI
(PEMERINTAH) DAN
LANDASAN TEORI MASYARAKAT
PEMERINTAH DAERAH
 Teori Negara Peran Usaha Besar
Kesejahteraan  Kemitraan
Peran Negara  Teori Keadilan (Partnership)
 Pembentukan Hukum  Teori Stakeholders  CSR
 Teori Hukum Progresif
Peran Pemerintah Daerah  Konsep Law as a Tool Peran Lembaga
 Penjaminan Kredit of Social Engineering Pembiayaan
 Modal Ventura
 Factoring

KONSEP
Pemberdayaan UMKM
Berbasis Partisipasi
Masyarakat
(A Community Based
Empowerment Micro, and
Small Medium Enterprises)

UU Kepariwisataan dan
Peraturan Perundang-
Undangan Lainnya

Terwujudnya Hak UMKM


Atas Akses Modal
Dibidang Usaha Pariwisata

Anda mungkin juga menyukai