Anda di halaman 1dari 4

Teknik Berkomunikasi

Dengan Klien yang Memiliki Gangguan Pendengaran dan Bicara

Orang yang mengalami kerusakan pendengaran, baik tuli maupun sulit


mendengar, kepekaannya terhadap bunyi akan hilang sama sekali atau berkurang.
Berapapun tingkat keparahan hilangnya pendengaran, seseorang yang memiliki
gangguan pendengaran akan menghadapi hambatan dalam berkomunikasi. Hilangnya
kemampuan mendengar menimbulkan masalah komunikasi yang sangat nyata karena
orang yang tuli atau kurang mendengar mungkin juga tidak mampu berbicara atau
memiliki kemampuan verbal yang terbatas dan seringkali miskin kosa kata. Orang
yang mengalami gangguan pendengaran barangkali rentan terhadap gangguan bicara,
karena proses belajar yang terhambat. Hal ini disebabkan oleh proses belajar
mengenal kosa kata diperoleh dari kegiatan mendengar. Keterampilan membaca
orang dewasa dengan gangguan pendengaran pun rendah, kira-kira setaraf dengan
kemampuan membaca kelas empat. Keterampilan menulis mereka juga mungkin
lemah. Tingkat baca-tulis yang rendah ini disebut melek huruf fungsional.
Mereka yang tunarungu memiliki keterampilan dan kebutuhan yang berbeda-
beda bergantung pada jenis ketuliannya dan berapa lama mereka kehilangan
kemampuan mendengarnya itu. Bagi mereka yang menderita tunarungu sejak lahir,
belajar bahasa mungkin tidak ada manfaatnya, sehingga mereka mungkin tidak dapat
berbicara dengan jelas. Kemungkinan besar, model utama komunikasi mereka adalah
dengan bahasa isyarat atau membaca gerak bibir.
Berikut ini beberapa model komunikasi yang disarankan sebagai jalan untuk
mengurangi hambatan dalam komunikasi dan memfasilitasi pengajaran dan
pembelajaran bagi klien yang mengalami gangguan pendengaran dan bicara.
1. Bahasa Isyarat
Bagi kebanyakan penderita gangguan pendengaran dan bicara yang berbahasa
induk bahasa isyarat, model ini seringkali menjadi bentuk komunikasi yang lebih
disukai. Jika tenaga kesehatan tidak menguasai bahasa isyarat, meminta bantuan
seorang penerjemah profesional bisa menjadi alternatif. Akan tetapi, sebelum
meminta bantuan penerjemah, sebaiknya meminta persetujuan klien terlebih dahulu
karena informasi yang disampaikan berkaitan dengan masalah kesehatan yang dapat
dianggap sebagai urusan pribadi.
2. Membaca Bibir
Salah satu anggapan yang salah yang muncul pada orang yang normal adalah
semua penderita gangguan pendengaran dapat membaca bibir. Tingkat kemampuan
membaca bibir mereka tentu berbeda-beda. Dengan demikian, hanya pembaca bibir
terampil saja yang akan memperoleh manfaat yang sebenarnya dari metode
komunikasi ini. Jika klien dapat membaca bibir, tenaga kesehatan tidak perlu
melebih-lebihkan gerakan bibir karena tindakan itu dapat mendistorsi gerakan bibir
dan mengganggu penafsiran kata-kata. Jika klien lebih suka membaca bibir, pastikan
wajah tenaga kesehatan menghadap ruang yang cukup terang. Sebaiknya singkirkan
benda-benda yang menutupi wajah, misalnya masker bedah, tangan, atau permen
karet.

3. Materi Tulis
Informasi tertulis barangkali merupakan cara komunikasi yang dapat
diandalkan, terutama jika pemahaman sangat diperlukan. Tenaga kesehatan sebaiknya
menulis informasi yang penting untuk melengkapi kata-kata yang diucapkan kendati
klien terampil membaca bibir. Perlu diingat bahwa pemahaman bacaan rata-rata orang
dewasa tunarungu setaraf dengan kelas empat, sehingga pesan yang disampaikan
hendaknya menggunakan kalimat yang sederhana. Alat peraga seperti gambar yang
sederhana, lukisan, atau diagram bisa juga dimanfaatkan sebagai pelengkap untuk
meningkatkan pemahaman materi tertulis. Penyampaian informasi melalui media tulis
juga bisa dilakukan oleh klien—dengan gangguan bicara—kepada tenaga kesehatan.
Metode ini bisa menjadi metode yang paling fleksibel, karena dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan klien gangguan pendengaran dan bicara maupun klien dengan
gangguan bicara saja.

4. Verbalisasi oleh Klien


Kadang-kadang klien dengan gangguan pendengaran atau tunarungu lebih
memilih untuk berkomunikasi dengan cara berbicara, terutama jika tenaga kesehatan
dan klien telah memiliki hubungan yang baik dan saling percaya. Seringkali nada dan
infleksi suara mereka akan berbeda dari cara berbicara kebanyakan orang, sehingga
tenaga kesehatan perlu menyediakan waktu untuk mendengarkan secara cermat.
Tenaga kesehatan harus menghindari interupsi saat klien berbicara. Jika masih
mengalami kesulitan, tenaga kesehatan sebaiknya membuat catatan tentang informasi
yang didengar dari klien agar lebih mudah dalam memahami inti pesan.

5. Memperkeras Bunyi
Bagi klien yang mengalami gangguan pendengaran tetapi tidak hilang sama
sekali, alat bantu pendengaran mungkin akan sangat berguna. Jika klien tidak
memiliki alat bantu dengar, sebaiknya meminta persetujuan klien dan keluarganya
untuk mencari rujukan dari spesialis telinga, yang dapat menentukan apakah alat
bantu dengar cocok untuk klien. Cara lain untuk memperkeras bunyi adalah dengan
menelungkupkan tangan di dekat telinga klien, atau menggunakan stetoskop yang
dibalik dengan cara memasang stetoskop di telinga klien dan tenaga kesehatan
berbicara di corongnya (Babcock dan Miller, 1994). Jika salah satu telinga klien dapat
mendengar lebih jelas daripada telinga yang lain, tenaga kesehatan sebaiknya berada
dekat dengan telinga yang “baik”. Tenaga kesehatan harus berbicara lambat, tidak
berteriak, dan hendaknya memberikan waktu yang cukup banyak bagi klien untuk
memproses pesan yang disampaikan dan memberikan tanggapan. Metode ini kurang
cocok jika digunakan untuk berkomunikasi dengan klien yang mengalami gangguan
bicara saja, karena meskipun mengalami gangguan bicara, fungsi pendengaran
mereka tetap bekerja dengan baik.
Berikut ini rangkuman beberapa petunjuk dari Navarro dan Lacour (1980) yang
sebaiknya diikuti ketika menerapkan bentuk-bentuk komunikasi di atas.
1. Bersikap wajar
a. Jangan tegang dan kaku atau mencoba mengartikulasikan kata-kata secara
berlebihan.
b. Gunakan kalimat yang sederhana.
c. Pastikan klien memperhatikan dengan cara menyentuh lengannya dengan
lembut sebelum mulai berbicara.
d. Berdiri menghadap klien dengan jarak tidak lebih dari 2 meter apabila
mencoba berkomunikasi.
2. Bersikap penuh perhatian dan hindari hal-hal berikut.
a. Berbicara sambil berjalan.
b. Terlalu sering menggerak-gerakkan kepala.
c. Berbicara sambil mengunyah.
d. Memalingkan muka dari klien saat berkomunikasi.
Apa pun metode komunikasi yang akan digunakan, sebaiknya kedua pihak - klien
dan tenaga kesehatan telah membuat kesepakatan terlebih dahulu agar tercipta
keselarasan persepsi sehingga komunikasi berjalan lancar. Kegiatan komunikasi harus
selalu memperhatikan tujuan utamanya yaitu menyampaikan informasi dan menerima
informasi dengan baik, sehingga seorang informan, dalam hal ini tenaga kesehatan,
harus memastikan bahwa pesan kesehatan telah diterima dan dipahami dengan baik
oleh klien. Tenaga kesehatan juga harus selalu mengingat bahwa inti dari komunikasi
kepada klien dengan keadaan khusus adalah proses pemahaman klien divalidasikan
dengan cara yang tidak menakutkan.

DAFTAR PUSTAKA


Bastable, Susan B. 1999. Perawat sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran


dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


Uripni, Christina Lia. 2002. Komunikasi Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Arwani. 2002. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

Anda mungkin juga menyukai