Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Diabetes melitus (DM) atau disebut diabetes merupakan penyakit gangguan metabolik
menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang yang mengatur keseimbangan
kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah atau yang
disebut hiperglikemia. (Depkes RI, 2014).

Terdapat dua kategori utama diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2, diabaetes tipe 1
dulu disebut insulin-dependent atau juvenile/childhood-onset diabetes, ditandai dengan
kurangnya produksi insulin. Diabetes tipe 2, dulu disebut non-insulin-dependent atau adult-onset
diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh. Diabetes tipe 2
merupakan 90% dari seluruh diabetes, sedangkan diabetes gestasional adalah hiperglikemia yang
di dapatkan saat kehamilan. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau impaired glucose
tolerance (IGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDP terganggu) atau impaired Fasting
Glycaemia (IFG) merupakan kondisi transisi antara normal dan diabetes. Orang dengan IGT
atau IFG beresiko tinggi berkembang menjadi diabetes tipe 2. Dengan penurunan berat badan
dan perubahan gaya hidup, perkembangan diabetes dapat dicegah dan ditunda. (Depkes RI,
2014).

Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus pada tahun
2015 telah mencapai 415 juta orang dewasa dengan diabetes melitus, kenaikan 4 kali lipat dari
108 juta di tahun 1980an, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 642 juta pada tahun
2040 (IDF, Atlas 2015). International Diabetes Federation (IDF). Pada tahun 2015, presentase
orang dewasa dengan diabetes melitus adalah 8,5% (1 diantara 11 orang dewasa menyandang
diabetes).
Pada tahun 2014, terdapat 96 juta orang dewasa dengan diabetes di 11 negara anggota di
wilayah regional Asia Tenggara, Prevalensi diabetes diantara orang dewasa di wilayah regional
Asia Tenggara meningkat dari 4,1% di tahun 1980an menjadi 8,6% di tahun 2014. Lebih dari
60% laki-laki dan 40% perempuan dengan diabetes meninggal sebelum berusia 70 tahun di
wilayah regional Asia Tenggara, populasi dari wilayah regional Asia Tenggara secara genetik
memang rentan terhadap faktor diabetogenik lingkungan, sehingga memiliki ambang lebih
rendah terhadap faktor resiko seperti usia, kelebihan berat badan dan distribusi lemak tubuh.
Diabetes melitus terjadi 10 tahun lebih cepat di wilayah regional Asia Tenggara daripada
orang-orang dari wilayah eropa, pada usia dimana merupakan masa paling produktif. (IDF,
Atlas 2015). International Diabetes Federation.

Di Indonesia, pada tahun 2015 menempati peringkat ke tujuh dunia, yakni untuk prevalensi
penderita diabetes melitus tertinggi di dunia bersama dengan China, India, Amerika Serikat,
Brazil, Rusia, dan Meksiko, dengan estimasi orang dengan diabetes sebesar 10 juta. Prevalensi
orang dengan diabetes di Indonesia menunujukan kecenderungan meningkat yaitu dari 5,7%
(2007) menjadi 6,9% (2013), dan 2/3 orang dengan diabetes di Indonesia tidak megetahui dirinya
mengidap diabetes, dan berpotensi untuk mengakses layanan kesehatan dalam kondisi terlambat
atau sudah dengan komplikasi. Prevalensi berat badan berlebih atau overweight (13,5%
Riskesdas 2013) dan obesitas (15,4% Riskesdas 2013) yang merupakan faktor resiko terbesar
diabetes meningkat terus dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. (IDF, Atlas 2015).
International Diabetes Federation (IDF).

Menurut Kemenkes RI (2013), diabetes disebabkan oleh pola makan atau nutrisi, kebiasaan
tidak sehat, kurang aktivitas fisik, dan stres. Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2013
adalah 2,1%. Angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan prevalensi pada tahun 2007 (1,1%).
Sebanyak 31 provinsi (93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti.
Prevalensi tertinggi diabetes pada umur ≥15 tahun menurut diagnosis dokter atau gejala adalah di
Provinsi Sulawesi Tengah (3,7%), kemudian disusul Sulawesi Utara (3,6%) dan Sulawesi
Selatan (3,4%), sedangkan Provinsi gorontalo menempati urutan ke-6 (2,8%).
Berdasarkan data Di provinsi gorontalo pada tahun 2013 dan 2014 jumlah penderita diabetes
melitus tahun 2013 sebanyak 878 orang, dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 dengan
jumlah penderita 1457 0rang. Dengan jumlah kematian kasus diabetes melitus pada tahun 2013
sebanyak 68 orang dan meningkat pada tahun 2014 menjadi 98 orang. Dengan jumah kasus
tertinggi terdapat di kabupaten gorontalo yakni kasus baru sebanyak 538 orang, kasus lama 1403
orang dan jumlah kematian 48 orang dan jumlah kasus yang terendah terdapat di kabupaten
pohuwato yakni kasus baru sebanyak 87 orang, kasus lama 35 orang. (Dinkes Prov. Gorontalo,,
2013 & 2014).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Kabila, Kecamatan Kabila Kabupaten Bone
Bolango, di dapatkan jumlah pasien yang menderita penyakit diabetes melitus pada tahun 2017
sebanyak 176 pasien, pada tahun 2018 didapatkan penderita baru diabetes melitus dari bulan
januari sampai dengan bulan september sebanyak 256 pasien dan data dari prolanis tahun 2018
didapatkan sebanyak 31 pasien diabetes tipe 2. (SP2TP Puskesmas kabila, 2017 & 2018).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Nur Isnaini (2017) yaitu pada Populasi warga yang
berada di wilayah kerja Puskesmas I Wangon. Teknik purposif sampel sebanyak 106 orang
dengan pembagian 53 kasus dan 53 kontrol. Analisa data menggunakan uji chi-square. Faktor
risiko yang terbukti berpengaruh dengan DM tipe dua di Puskesmas I Wangon adalah faktor
genetik dengan keluarga DM (OR=10,938), pola makan tidak sehat, umur ≥45 tahun, IMT
obesitas, dan tingkat pendidikan rendah.

Penelitian terkait yang dilakukan oleh Melly Ana Sari, (2016) ditemukan bahwa faktor risiko
pada masyarakat urban yang terbukti berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe II
adalah konsumsi karbohidrat, konsumsi makanan siap saji, aktifitas fisik dan stress.Probabilitas
responden untuk mengalami diabetes mellitus tipe II berdasarkan analisis multivariate dengan
memiliki faktor risiko aktifitas fisik rendah dan konsumsi makanan siap saji lebih sering adalah
sebesar 97.9%.

Faktor risiko penyakit DM terbagi menjadi faktor yang berisiko tetapi dapat dirubah oleh
manusia, dalam hal ini dapat berupa pola makan, pola kebiasaan sehari-hari seperti makan, pola
istirahat, pola aktifitas dan pengelolaan stres. Faktor yang kedua adalah faktor yang berisiko
tetapi tidak dapat dirubah seperti usia, jenis kelamin serta faktor pasien dengan latar belakang

keluarga dengan penyakit Diabetes (Suiraoka, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2012) menyatakan bahwa riwayat keluarga,
aktifitas fisik, umur, stres, tekanan darah serta nilai kolesterol berhubungan dengan terjadinya
DM tipe dua, dan orang yang memiliki berat badan dengan tingkat obesitas berisiko 7,14 kali
terkena penyakit DM tipe dua jika dibandingkan dengan orang yang berada pada berat badan
ideal atau normal.

Penelitian yang dilakukan Rahman (2013) didapatkan kelompok umur yang paling banyak
menderita DM berada pada kelompok umur 55-59 tahun sebanyak 27,67% (Rahman,2013).
Penelitian yang dilakukan Rahman (2013) di Kabupaten Wajo juga menunjukkan bahwa
responden perempuan merupakan penderita diabetes mellitus terbanyak yaitu 56,33% dan
berdasarkan tingkat pendidikan, SLTA yang paling banyak menderita DM yaitu 32,33% dan
paling sedikit responden tidak pernah sekolah yaitu sebanyak 2,00%. Distribusi berdasarkan
pekerjaan responden yang paling banyak ibu rumah tangga sebesar 36,67% dan paling sedikit
pada responden yang memiliki pekerjaan sebagai buruh 1,67%.

Penyakit DM sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia dan berdampak
pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Oleh karenanya, semua pihak baik
masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta secara aktif dalam usaha penanggulangan
kejadian DM, khususnya dalam upaya pencegahan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dipaparkan dapat memberikan gambaran
bahwa penyakit DM masih perlu mendapat prioritas pelayanan kesehatan akibat dari perilaku
masyarakat. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Determinan
kejadian diabetes melitus tipe 2 pada di wilayah kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone
Bolango.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “ apakah
determinan kejadian diabetes melitus tipe 2 di wilayah Puskesmas Kabila Kabupaten Bone
Bolango?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum

Untuk mengetahui determinan kejadian diabetes melitus tipe 2 di wilayah


Puskesmas Kabila Kabupeten Bone Bolango.

2. tujuan khusus
a. untuk menidentifikasi hubungan faktor keturunan dengan kejadian d
b. iabetes melitus tipe 2.
c. Untuk mengidentifikasi hubungan faktor umur dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2.
d. Untuk menidentifikasi hubungan faktor gaya hidup dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2.
e. Untuk menidentikasi hubungan faktor obesitas dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengalaman yang nyata dalam peneltian
dan sebagai sarana pembelajaran serta meningkatkan daya pikir peneliti
dalam mengimplementasikan teori dalam bentuk nyata khususnya pada
penyakit diabetes melitus tipe 2.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi dan bahan pembanding
bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Akademik
Dapat menambah bahan acuan dan wawasan serta diharapkan menjadi
masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan tentang determinan
kejadian diabetes melitus tipe 2 terutama pada bidang keperawatan medikal
bedah.
b. Bagi Profesi
Agar tenaga kesehatan khususnya perawat lebih meningkatkan serta
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, serta kemampuan yang
dimilikinya dalam menerapkan teori dan pengalaman, mengenai ilmu
keperawatan medikal bedah khusunya pada penyakit diabetes melitus tipe 2.
c. Bagi Puskesmas Kabila
Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan
informasi dan pengetahuan bagi puskesmas kabila mengenai determinan
kejadian diabetes melitus tipe 2.

E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti mengenai Determinan Kejadian Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango. Namun, ada
penelitian yang mirip dengan penelitian yang akan dilakukan, yakni:

1. Nur Isnaini 2017, “ Faktor Risiko Mempengaruhi Kejadian Diabetes Mellitus Tipe
Dua Di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Kabupeten Banyumas” Perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan adalah:
Metode penelitian: kuantitatif dengan desain studi non-eksperimental, atau juga bisa disebut
dengan observasional.
Desain penelitian : desain penelitian cross-sectional.
Populasi : seluruh penderita diabetes melitus tipe 2 yang berkunjunng di Puskesmas I
Wangon kabupeten banyumas”.
Sampel : Jumlah sampel sebanyak 106 responden yang terdiri dari 53 kelompok
kasus (penderita DM tipe dua) dan 53 kelompok kontrol (bukan penderita
DM tipe dua) di wilayah kerja Puskemas I Wangon kabupeten banyumas.
Variabel independen : jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, riwayat keluarga, aktifitas
fisik, terpapar asap, IMT, tekanan darah dan pola makan.
Variabel dependen : kejadian Diabetes Mellitus tipe dua.
Hasil penelitian : Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian DM tipe dua di
Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon adalah riwayat keluarga DM, pola
makan tidak sehat, umur ≥ 45 tahun, IMT obesitas, tingkat pendidikan
rendah. Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian
DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon adalah pekerjaan,
aktifitas fisik, terpapar asap, dan tekanan darah.

2. Wahyu Ratri Sukmaningsih, 2016 “Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe Ii Di
Wilayah Kerja Puskesmas Purwodiningratan Surakarta”
Metode penelitian : Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan
kasus kontrol (case control) yang merupakan penelitian analitik.
Tempat penelitian :di wilayah kerja puskesmas purwodingratan surakarta yaitu di Kelurahan
Gandekan, Purwodiningratan, dan Sudiroprajan.
Populasi :dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang menderita DM tipe II
dan tidak menderita DM tipe II di wilayah kerja Puskesmas
Purwodiningratan Surakarta.
Sampel :Sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Sastroasmoro dan
Ismael (2011), dan diperoleh jumlah sampel sejumlah 40 responden. Pada
kelompok kontrol berjumlah 40 dan pada kelompok kasus berjumlah 80,
sehingga total seluruh responden menjadi berjumlah 120 responden.
variabel bebas ;(Independent) yakni riwayat DM keluarga, pola makan, aktivitas fisik,
dan merokok.
variabel terikat : (Dependent) kejadian DM tipe II.
Hasil penelitian : Ada hubungan antara riwayat DM keluarga, pola makan, aktivitas fisik,
merokok dengan kejadian DM tipe II di wilayah kerja Puskesmas
Purwodiningratan Surakarta. Dan Faktor risiko dominan kejadian DM
tipe II di wilayah kerja Puskesmas Purwodiningratan Surakarta adalah
aktivitas fisik.

Anda mungkin juga menyukai