Anda di halaman 1dari 6

MASALAH KEHAMILAN PRANIKAH PADA REMAJA DITINJAU DARI

KESEHATAN REPRODUKSI
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa di mana terjadi perubahan fisik, mental, psikososial yang cepat dan
berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Masa ini tidak hanya menjanjikan
kesempatan untuk maju menuju kehidupan yang berhasil di masa depan tetapi
juga menawarkan risiko terpaparnya masalah kesehatan. Perubahan fisik yang
dialami remaja berhubungan dengan produksi hormon seksual dalam tubuh yang
mengakibatkan timbulnya dorongan emosi dan seksual. Hal ini menjadi titik
rawan karena remaja mempunyai sifat selalu ingin tahu dan mempunyai
kecenderungan mencoba hal-hal baru.

Rasa ingin tahu dari remaja kadang-kadang kurang disertai pertimbangan


rasional dan pengetahuan yang cukup akibat yang didapat dari perbuatan yang
telah dilakukannya. Selain itu rasa ingin tahu dianggap sebagai manusia dewasa,
kaburnya nilai-nilai yang dianut, kurangnya kontrol dari pihak yang lebih tua
berkembangnya naluri seks akibat berkembangnya alat-alat kelamin sekunder,
kurangnya informasi seks dari media massa yang tidak sesuai dengan norma yang
dianut menyebabkan para remaja sering mengambil keputusan-keputusan yang
kurang tepat.

Hal itu pulalah yang mendorong mereka melakukan hal-hal yang tidak
seharusnya dilakukan pada masa remaja. Interaksi dengan lawan jenis yang tidak
terkontrol telah menimbulkan banyak masalah pada saat ini, seperti banyaknya
remaja putri yang hamil sebelum menikah akibat hubungannya dengan pacarnya
yang terlanjur begitu jauh dijalani tanpa mengetahui segala risiko yang akan
dihadapi nantinya. Kehamilan pranikah telah menjadi masalah pada saat ini, tapi
meskipun demikian hal itu sepertinya belum begitu banyak menarik perhatian.

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah agar kita
mengetahui apa yang menjadi masalah dari kehamilan pranikah yang terjadi pada
remaja di Indonesia saat ini ditinjau dari aspek kesehatan reproduksinya.
(Depkes RI, 2009)
Remaja dan kehamilan pranikah
Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak
penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badan dan
pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka
hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja
meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk
mengendalikannya.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami
perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras
menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta
tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka. Pandangan bahwa seks adalah
tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang
kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka
justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota
keluarganya sendiri.

Tak tersedianya informasi yang akurat dan "benar" tentang kesehatan


reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi
sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan
yang menantang.

Majalah, buku, dan film pornografis yang memaparkan kenikmatan


hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan
risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap
"pelajaran" seks dari internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar
2-3%, dan sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi. Hasilnya, remaja
yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan
hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun.

Sebagai contoh, di sebuah rubrik konsultasi di media massa, seorang


remaja perempuan berusia 16 tahun yang tidak ingin disebutkan namanya
menuturkan, kalau dirinya sudah beberapa kali melakukan hubungan seks dengan
pacar yang usianya empat tahun lebih tua. Ia pernah terlambat bulan, tetapi bisa
keluar dengan obat-obat peluntur. Ia ingin menghentikan semua ini, karena setiap
bulan ia selalu kuatir hamil. Orangtuanya pasti marah besar kalau tahu semua ini
dan menganggapnya perempuan gampangan. Tetapi ia tidak tahu bagaimana
menghentikannya. Ia takut pacarnya marah dan meninggalkannya. Berbagai data
menunjukkan bahwa remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum usia 19
tahun. Misalnya hasil survai di 12 kota dan di kota Medan menunjukkan perkiraan
angka sekitar 5,5 - 11% remaja melakukan hubungan seksual sebelum usia 19
tahun, sedang usia 15 - 24 tahun adalah 14,7 - 30%.

"Apabila dari jumlah 42,3 juta remaja di tahun 2000 terdapat 10% dari
mereka telah menyatakan dirinya aktif seksual, maka ada 4,3 juta remaja yang
menghadapi berbagai risiko kesehatan reproduksi. Hal itu terjadi karena pada
umumnya remaja melakukan hubungan seksual tanpa proteksi terhadap terjadinya
kehamilan yang tidak diinginkan," Selain dianggap hal itu dapat diatasi dengan
aborsi, norma-norma yang dulu sangat dipegang keras oleh masyakat kini telah
nampak mulai mengendur.

Data lain dari survai yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu pada 117 remaja
usia 13-20 tahun yang sering mangkal di Blok M Mall dan Blok M Plaza Jakarta
menemukan 42 persen responden pernah berhubungan seks dan lebih dari
setengahnya masih aktif berhubungan seks dalam 1-3 bulan terakhir.
(Depkes RI, 2009)

Dampak kehamilan remaja


1. Dampak sosial
Kehamilan yang terjadi pada remaja memberi dampak yang berat pada
remaja. Dikucilkan, diberhentikan dari pekerjaan, dan menjadi bahan pembicaraan
yang tidak enak dalam masyarakat harus selalu diterima olehnya. Kemungkinan
untuk diusir dari keluarga karena keluarga tidak tahan menahan aib yang harus
diterima akibat perbuatannya juga harus diterima olehnya. Satu cara lain yang
harus dihadapi oleh remaja itu sendiri untuk menutupi semua adalah perkawinan.
Meskipun hal itu terpaksa dilakukan namun dia tidak memiliki pilihan lain untuk
menyelamatkan nama baik keluarga.

2. Dampak medis
Ada 2 (dua) komplikasi utama yang dihadapi remaja yang hamil:
a) Keracunan kehamilan, yang ditandai dengan bengkak terutama di kaki dan
tangan serta tekanan darah tinggi. Bila tidak mendapat pengobatan yang
baik dan benar, maka keadaan ini dapat menimbulkan kejang-kejang yang
pada gilirannya dapat membawa maut bagi ibu dan bayinya. Diperkirakan
51,7% remaja putri menderita anemia (SKRT, 1995). Remaja 15 – 19
tahun merupakan kelompok terbesar. mengalami kurang energi kronis
sekitar 35,5%. Keracunan kehamilan yang merupakan penyebab kematian
ibu terbesar ketiga sering terjadi pada remaja. WHO memperkirakan risiko
kematian akibat kehamilan dua kali lebih tinggi untuk remaja usia 10 – 15
tahun dibandingkan wanita usia 20 tahunan.

b) Ketidakseimbangan besarnya bayi dan luasnya panggul. Biasanya hal ini


menyebabkan macetnya jalan keluar bayi dalam persalinan. Bila hal ini
tidak diakhiri dengan operasi caesar maka keadaan ini dapat menyebabkan
kematian bagi ibu dan janinnya. Selain itu anak-anak yang dilahirkan oleh
ibu remaja mengalami berbagai masalah di antaranya; perkembangan yang
terhambat, prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR). Hal di atas
biasanya disebabkan karena gizi ibu remaja yang buruk. Bayi yang baru
lahir dari ibu yang remaja cenderung untuk lahir prematur, berat bayi lahir
rendah dan menderita gangguan pertumbuhan atau kecacatan. Sehingga
risiko kematian bayi juga lebih tinggi bila ibunya berusia kurang dari 20
tahun (The population Reference Bureau, 1996). Kehamilan yang tidak
diinginkan dapat mendatangkan upaya percobaan pengguguran kandungan
yang tidak aman oleh tenaga non-profesional. Ketakutan akan hukuman
dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri
yang belum menikah menerima layanan Keluarga Berencana sebagaimana
diatur dalam Undang – Undang No. 20/1992 memaksa mereka melakukan
aborsi. Sebagian besar aborsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
tanpa memperdulikan standar medis, alasan karena malu.
(Depkes RI, 2009)

Penanggulangan kehamilan pranikah


a) Pencegahan
Pencegahan hubungan seksual pranikah memerlukan waktu yang
sangat lama dan bertahap. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan timbulnya hubungan seksual pranikah maka langkah-
langkah yang perlu dilakukan adalah:
a. Melakukan pendidikan seksual bagi anak dan remaja.
Penyampaian materi pendidikan seksual dapat dilakukan di
rumah maupun di sekolah. Di sini peranan orangtua dan
masyarakat sangat diharapkan, terutama untuk dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan para remaja mengenai
kesehatan reproduksinya dan juga apa saja yang harus
dilakukan untuk menjaga kesehatan reproduksinya. Sebelum
usia 10 tahun pendidikan seksual bisa diberikan secara
bergantian tetapi ibu umumnya lebih berperan, menjelang akil
balig, saat sudah terjadi proses diferensiasi jenis kelamin dan
muncul rasa malu, sebaiknya ibu memberikan penjelasan
kepada anak perempuan dan ayah kepada anak laki-laki.
Menurut Dr. Paat dan dr. Yulia pendidikan seks di sekolah
hendaknya tidak terpisah dari pendidikan pada umumnya dan
bersifat terpadu. Bisa dimasukkan pada pelajaran biologi,
kesehatan, moral dan etika secara bertahap dan terus menerus.
Sekali waktu penyuluhan seksual perlu diadakan misalnya
tentang menghadapi masa haid dan mimpi basah yang
diberikan pada murid kelas VI.
b. Meningkatkan pengetahuan agama bagi remaja. Penegakan
norma agama dan norma sosial lainnya juga harus diupayakan
secara maksimal untuk mencegah para remaja unutuk
melakukan hubungan yang terlalu bebas yang dapat
menyebabkan kehamilan. Pemberian pengetahuan agama pada
anak sejak usia dini sampai akil baligh akan sangat besar
pengaruhnya dalam mencegah terjadinya hubungan seksual
pranikah.
c. Meningkatkan perhatian kedua orangtua terhadap anak-
anaknya. Pada saat ini hubungan antara orangtua dan anak
mulai kurang karena keduanya sibuk bekerja dari pagi hingga
sore, sehingga sedikit sekali waktu yang bisa digunakan untuk
berkomunikasi dengan anak. Untuk orangtua diharapkan
khususnya yang bekerja agar bisa menyisihkan waktunya
dalam membina anak-anaknya, minimal pada waktu makan
malam bersama dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi.
d. Menunda hubungan seks bagi remaja yang terlibat pacaran.
Remaja juga harus dituntut untuk mengisi kegiatan sehari-
harinya dengan kegiatan yang bermanfaat seperti olahraga,
kesenian dan juga belajar. Selama pacaran remaja harus
dihindarkan untuk bercumbu secara berlebihan, karena hal itu
juga akan memancing mereka untuk melakukan tindakan yang
lebih jauh lagi dan akhirnya melakukan persenggamaan.
(Tukan, J. Sukan, 2010)

Dapus : "Kumpulan Materi Kesehatan Reproduksi Remaja”, 2009.Depkes RI,


Jakarta,

Tukan, J. Sukan, 2010. Metode Pendidikan Seks, Perkawinan dan Keluarga, Seri
Keluarga I, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai