Anda di halaman 1dari 9

Nama : Suyati Dwi Ariyani

NIM : 12030118410010
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Semester/Kelas : I/39 Pagi

Kerinduan Manusia Akan Kebenaran:


Ilmu Pengetahuan, Agama, Seni, dan Budaya dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Sebuah Kerinduan akan Kebenaran

“Luputkanlah aku, ya TUHAN, dengan tangan-Mu, dan orang-orang dunia ini yang
bagiannya adalah dalam hidup ini; biarlah perut mereka dikenyangkan dengan apa yang
Engkau simpan,…..." (Mazmur 17:14)

"Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu, dan pada waktu bangun aku akan
menjadi puas dengan rupa-Mu” (Mazmur 17:15)

Di dunia ini adalah perkara yang sulit menemukan seseorang yang berpendirian teguh.
Mereka yang semula memperjuangkan perbaikan, pembenahan, pemulihan dan reformasi
dengan gigih dan tidak kenal menyerah, dapat saja beberapa waktu kemudian menyimpang
dan tidak lagi memperjuangkan kepentingan “banyak orang” sebagaimana digembar-
gemborkan sebelumnya, tetapi kemudian berbalik mencari keuntungan-keuntungan pribadi.
Tekad yang bulat untuk tidak kompromi sangatlah sulit ditemukan khususnya di dunia
sekarang ini. Segala yang berasal dari dunia ini banyak kali berhasil menawarkan dan
membujuk banyak orang untuk menyerah dan meninggalkan komitmen yang di buatnya
semula. Dalam segala bidang kehidupan sulit amat sulit ditemukan seorang yang begitu
mencintai kebenaran dengan tulus. Prinsip-prinsip kebenaran di pakai sebagai kedok yang
kemudian dijadikan dasar atau alat untuk mencapai keinginan dan ambisi pribadi. Betapa keji
dan tidak bermoral!

Semakin saya mempelajari kehidupan dari Daud, semakin saya mengetahui mengapa Tuhan
menyebut Daud sebagai seorang yang berkenan di hatiNya. Salah satu sebab itu terlihat jelas
sekali dalam Doa Daud, yang kemudian dibukukan menjadi Mazmur 17. Dalam doanya,
terlihat jelas sekali kerinduan Daud untuk hidup semata-mata dalam kebenaran yang sejati.
Meskipun kita tahu hidup Daud tidak sempurna dan banyak mengalami kejatuhan tetapi
inilah hati Daud, HATI SEORANG PENYEMBAH SEJATI… dan Tuhan melihat hati.
Masihkah Tuhan menemukan hati yang seperti ini di masa kini? Jika ada, Ia pasti berkenan.
Untuk menjadikannya lebih jelas, mari kita amati dan perhatikan satu persatu Mazmur 17 ini.
Ada tanda-tanda yang menunjukkan yang dari sana kita dapat belajar bagaimana
sesungguhnya hati dan kehidupan orang yang rindu untuk hidup dalam kebenaran.

Ilmu Pengetahuan, Agama, Seni, dan Budaya dikembangkan manusia sebagai sebuah upaya
pencarian pedoman tentang kebenaran. Keempat hal tersebut digunakan manusia dalam usaha
mereka untuk menemukan sebuah tata kehidupan yang lebih baik, tentang bagaimana
berperilaku, dan menjelaskan fenomena kehidupan (baik yang bersifat organik maupun
anorganik). Sebagai contoh misalnya telefon yang bisa menghubungkan antara satu orang
dengan orang lain di benua yang berbeda, radio, televisi, internet yang bisa membawa kabar
berita pada waktu yang bersamaan sampai pesawat terbang yang bisa menerbangkan manusia
hingga ke luar angkasa dan lain sebagainya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa dampak baik yang positif
maupun negatif. Kemajuan itu juga tentunya seakan memberi definisi lain hubungan antara
ilmu pengetahuan dengan agama, budaya dan peradaban. Agama sebagai wahyu yang berasal
dari Tuhan pada hakekatnya adalah sumber dari kebenaran dan ilmu pengetahuan tidak
mungkin salah. Budaya dan peradaban yang merupakan hasil akal budi manusia tentunya
bersifat relatif dan harus terus menerus di update sesuai dengan perkembangan zaman.

Benturan antara ilmu pengetahuan dengan agama, budaya dan peradaban tentunya tidak
terelakkan di masa kini. Di satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan menuntun ke arah kebenaran
relatif, di sisi lain agama yang menjadi tuntunan kebenaran hakiki ternyata dalam
perjalanannya banyak yang menjadi bias karena ulah tangan-tangan manusia yang
mempunyai banyak keinginan dan nafsu keserakahan. Sementara itu manusia
mengembangkan pola-pola budaya dan peradaban yang merupakan hasil dari interaksi
dengan sesama sesuai dengan kondisi alam setempat dan di bumbui dengan keserakahan yang
hendak dicapainya.

Kini, cakrawala baru telah terbuka yang belakangan ini tak dapat kita bayangkan. Ia
membuat kita merasa kagum terhadap bebagai kemungkinan yang diberikan oleh media baru
itu, dan pada saat yang sama menuntut suatu permenungan yang serius tentang makna
komunikasi di zaman digital. Hal ini sangat jelas ketika kita dihadapkan dengan daya
internet yang luar biasa dan pemanfaatannya yang kompleks. Sebagaimana halnya dengan
setiap buah kecerdikan manusia, teknologi komunikasi baru harus ditempatkan bagi
pelayanan demi kebaikan perorangan dan umat manusia secara utuh. Jika digunakan dengan
bijaksana, teknologi komunikasi baru dapat memberikan sumbangsih bagi pemuasan
kerinduan akan makna, kebenaran dan kesatuan yang masih menjadi cita-cita terdalam setiap
manusia.

Menyampaikan informasi di dalam dunia digital kian dipahami sebagai memperkenalkannya


dalam jejaringan sosial dimana apa yang diketahui menjadi ajang saling berbagi antar
pribadi. Perbedaan yang jelas antara penyedia informasi dan pengenyam informasi
dikurangi; sementara itu komunikasi tidak hanya nampak sebagai pertukaran data tetapi juga
sebagai suatu cara berbagi. Dinamika ini melahirkan pemahaman baru tentang komunikasi
itu sendiri, yang pada tempat pertama dilihat sebagai dialog, upaya berbagi, belarasa dan
penciptaan hubungan yang positif. Pada sisi lain, ia dihadapkan dengan keterbatasan-
keterbatasan yang khas dari komunikasi digital yaitu interaksi sepihak, kecendrungan
mengkomunikasikan dunia batin seseorang yang tidak utuh, resiko membangun citra palsu
seseorang sebagai bentuk pemuasan diri sendiri.

Secara khusus, kaum muda sedang mengalami perubahan di bidang komunikasi dengan
berbagai kecemasan, tantangan dan daya cipta, layaknya orang yang memiliki rasa ingin tahu
dan penuh semangat terhadap pengalaman baru dalam hidupnya . Keterlibatan mereka yang
semakin besar dalam forum publik digital yang disebut jejaringan sosial membantu
menciptakan cara-cara baru membangun hubungan antar pribadi, memengaruhi kesadaran
diri sendiri dan tak dapat dihindari mempertanyakan bukan saja bagaimana seharusnya
bertindak tetapi juga tentang otentisitas diri seseorang. Masuk ke dalam ruang maya dapat
menjadi tanda pencarian yang otentik seseorang untuk berjumpa dengan orang lain, asalkan
tetap tanggap terhadap bahaya seperti menyertakan diri dalam bentuk eksistensi ganda atau
menampilkan diri secara berlebihan di dalam dunia maya. Dalam usaha berbagi dan mencari
“teman”, kita ditantang untuk menjadi otentik dan setia dan tidak menyerah kepada ilusi
membangun tampang publik artifisial itu sendiri.

Teknologi baru memberikan kemungkinan untuk saling bertemu di luar batas-batas ruang dan
budaya mereka sendiri, memungkinkan sebuah dunia persahabatan yang sungguh-sungguh
baru. Ini merupakan peluang besar tetapi juga menuntut perhatian yang lebih besar dan
kesadaran akan resiko yang muncul. Siapakah “tetangga” saya di dalam dunia baru ini?
Entahkah ada bahaya bahwa kita kurang hadir di dalam diri orang-orang yang kita jumpai
dalam hidup harian kita? Apakah ada risiko menjadi lebih terganggu karena perhatian kita
terbagi-bagi dan diserap di “dunia lain” daripada dimana kita hidup? Apakah kita
mempunyai waktu untuk merenungi pilihan kita secara kritis dan membina hubungan yang
sungguh mendalam dan abadi? Penting untuk selalu diingat bahwa kontak virtual tidak
dapat dan tidak boleh mengganti kontak manusiawi langsung dengan orang-orang di setiap
tingkat kehidupan kita.

Dalam era digital juga, setiap orang dihadapkan dengan kebutuhan akan otentisitas dan
refleksi. Selain itu, dinamika di dalam jejaringan sosial itu sendiri menunjukkan bahwa
seseorang senantiasa terlibat dalam apa yang ia komunikasikan. Tatkala orang saling
menukar informasi, mereka sudah terlebih dahulu mensyeringkan diri mereka,
pandangannya tentang dunia, harapan dan cita-cita mereka. Lantas, cara hadir yang khas
kristiani di dunia digital adalah bentuk komunikasi yang jujur dan terbuka, bertanggungjawab
dan menghormati orang lain.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan Bersifat Empiris dan Rasional

Secara etimologis, ilmu berasal dari bahasa Arab, ilmu atau ilmun yang berarti pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara teratur sehingga dapat menjelaskan sesuatu secara
ilmiah. Ilmu juga berarti pengetahuan atau kepandaian. Selain itu, kita juga dapat menyelidiki
definisi ilmu dari pendapat beberapa tokoh.

Menurut Ralph Ross, dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah yang empiris, rasional, umum
dan sistematik, dan keempatnya serentak. Sedangkan Karl Person mendiskripsikan ilmu
sebagai lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman
dengan istilah yang sederhana. Dari bidang Antropologi, Ashley Montagu (Guru Besar
Antropologi, Rutgers University) menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang
disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk
menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis metafisis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku
di alam itu dapat dimengerti.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. misalnya
hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan
diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri
pengenal dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna:
kebenaran empiris, kebenaran rasional, dan kebenaran metafisik. Kebenaran empiris menjadi
bahasa, etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita
rasakan. Kebenaran rasional menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia
merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik
berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada
mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal
budi yang menyatakannya.

Secara ontologism, dijelaskan bahwa ilmu pada dasarnya adalah manusia, ia lahir dari
manusia dan untuk manusia, ilmu merupakan proses manusia menjawab ketidaktahuannya
meneganai berbagai hal dalam hidupnya. Sebagai jawaban manusia, ilmu adalah produk
manusia. Dari aspek ini, maka ilmu tergantung sepenuhnya pada manusia, yaitu bagaimana
keadaan manusia yang menghadapi ketidak tahuannya itu dan bagaimana ia melihat hal yang
tidak diketahuinya itu, dari sisi mana dan bagaimana. Oleh karena itu, tujuan ilmu pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan realitas dan tantangan yang dihadapi manusia itu
sendiri.

Perspektif filsafat Islam, ilmu pengetahuan hakikatnya merupakan perpanjangan dan


pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat Allah merupakan eksistensi kebesaran-Nya dan
manusia diwajibkan untuk berfikir tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak
bertentangan dengan ajaran-ajaran-Nya, tidak untuk merusak dan melahirkan kerusakan
dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan juga menimpa manusia itu
sendiri.

Lebih tegas lagi dijelaskan bahwa salah satu ukuran utama dalam menilai kualitas kehidupan,
baik individu, masyarakat, bangsa dan negara adalah dilihat dari tingkat kemampuannya
dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam Al-Qur’an menyebutkan
bahwa kesempurnaan keimanan jika dibarengi dengan ketinngian ilmu yang dimiliki oleh
seorang muslim (Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah ayat: 11).
Agama: Wahyu sebagai Sumber Kebenaran

Agama diidentikkan dengan kepercayaan, keyakinan dan sesuatu yang menjadi anutan.
Konsepsi agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut
Poedjawijatna, dalam pandangan filsafat, agama merupakan keseluruhan pendapat tentang
Tuhan, dunia, hidup dan mati, tingkah laku serta baik-buruknya yang berlandaskan wahyu.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wahyu adalah:

“…penerangan Tuhan secara istimewa kepada manusia, entah secara langsung, entah
secara tidak langsung (misalnya melalui wakil atau utusan Tuhan).

Dengan demikian, kebenaran dalam Agama ditentukan oleh Tuhan yang memberikan
kebenaran melalui wahyu yang diturunkan secara langsung maupun melalui wakil atau
utusan Tuhan. Kebenaran tidak diperoleh dengan usaha akal budi, melainkan karena Firman
Tuhan. Inilah yang menyebabkan bahwa agama sering disebut juga kepercayaan. Ciri yang
lain, kebenaran agama tersebut diterima oleh terutama para penganut agamanya (orang yang
percaya).

Dalam perkembangannya, agama pun juga diilmukan. Terdapat usaha untuk mencari
kebenaran mana yang diwahyukan dan apa maksud wahyu tersebut dengan menggunakan
metode tertentu. Setelah kebenaran tersebut disusun, maka dibuatlah sebuah sistem tertentu.

Maka, dalam agama pun terdapat obyektifitas, metodos, dan sistem. Semua itu harus
didukung dengan bukti. Hanya saja, landasan pembuktiannya bukanlah pengalaman
(layaknya data empiris dalam ilmu), bukan melalui akal budi semata (layaknya filsafat),
melainkan wahyu. Jika sesuatu diwahyukan, maka itu benar. Ketika orang dengan akal
budinya mencoba merenungkan kebenaran dalam agamanya berdasarkan wahyu, inilah yang
disebut Theologia.

Kebenaran agama bersifat mutlak karena berasal dari sesuatu yang mutlak dan memberi
penyelesaian yang memuaskan bagi banyak pihak. Agama memberi kepastian yang mantap
terhadap suatu bentuk kebenaran karena kebenaran agama didasarkan pada suatu
kepercayaan. Agama mengandung sistem credo atau tata kepercayaan tentang sesuatu yang
mutlak di luar manusia.
Kebenaran filsafat pun penting untuk diperhatikan. Kebenaran ini diperoleh dengan
melakukan perenungan kefilsafatan dan bersumber dari rasio sehingga menghasilkan
kebenaran yang bersifat subyektif dan solipsistik, sehingga tidak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan semua pihak. Untuk permasalahan-permasalahan tertentu filsafat
juga tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka manusia mencari jawaban
yang pasti dengan berpaling kepada agama.

Agama dapat memberi penjelasan yang terperinci tentang pelbagai hal yang tidak mungkin
dapat dijangkau oleh sains dan tidak bisa diolah semata-mata oleh akal manusia, misalnya
tentang nasib manusia setelah kematian, keadaannya di alam kubur, dan setelah hari
kebangkitan, hanya Agama melalui wahyu yang diturunkan kepada para utusan Tuhan, yang
dapat menguak dengan jelas dan otoritatif alam-alam gaib tersebut, bukan sains, dan bahkan,
bukan pula filsafat.

Seni: Kebenaran Relatif-Subjektif

Seni berbicara tentang keindahan, atau tentang tata cara berperilaku atau menciptakan sesuatu
yang baik. Maka dikenal istilah seni rupa, seni berpidato, seni musik, dan beberapa bidang
seni lainnya. Seni juga seringkali digunakan sebagai indikator peradaban manusia.
Penyeledikan atas karya seni pada masyarakat Aztec dan Maya dilakukan untuk melihat
bagaimana peradaban masyarakat tersebut pada masa itu.

Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi seni dalam menemukan kebenaran yang paling
mendasar, universal dan abadi. Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat
subjektif, kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati dan
dirasakan, dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa
dijelaskan. Kualitas perasaan tersebut harus dialami sendiri oleh manusianya sehingga ia
mampu menemukan kebenarannya. Oleh sebab itu Jakob Sumardjo menganggap bahwa seni
erat kaitannya dengan agama dalam hal kebenaran, sebab kehadiran sesuatu yang
transendental (bukan dari dunia ini yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat
ditemukan dalam seni. Seni tari, seni music, seni teater, seni sastra, dan seni rupa erat
kaitannya dengan manusia purba yang sering melakukan upacara-upacara kepercayaan yang
menghadirkan dunia gaib melalui peristiwa kesenian. Hal tersebut terjadi karena seni
bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni itu
sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan demikian, kebenaran seni
bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide. Dasarnya adalah pengalaman
empiris manusia, tetapi yang ditemukannya adalah realitas baru yang non-empiris.

Sifat seni sangatlah relatif dan mempunyai subjektifitas yang tinggi. Tiap orang boleh
mempunyai penilaian seni atas sesuatu berdasarkan subjektifitasnya. Meskipun, dalam
masyarakat seringkali ada kesepakatan bersama tentang apa-apa yang memiliki nilai seni dan
mana yang tidak; atau tentang nilai seni atas sesuatu bernilai tinggi atau rendah. Kesepakatan
tentang sesuatu hal tersebut biasanya tertuang dalam kebudayaan atau budaya.

Budaya: Akal Budi sebagai Sumber

Istilah kebudayaan didefinisikan pertama kali oleh E.B. Taylor pada tahun 1871 dalam
bukunya Primitive Culture di London. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan
terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia
mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia.

Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai
budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai
budaya masa lau atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan
hasil-hasil kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan
kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya.

Budaya dipelihara masyarakat karena fungsinya sebagai pedoman untuk berperilaku dalam
masyarakat tertentu. Menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat
penyelamat (survival kit) kemanusiaan di muka bumi. Hal itu didasarkan pada
ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif. Oleh karena itu, manusia dibekali
dengan kemampuan lain, yaitu kemampuan untuk belajar, berkomunikasi, dan menguasai
objek-objek fisik.

Dengan kata lain, akal budi menjadi sumber dari budaya yang dikembangkan oleh manusia
untuk bertahan hidup. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu: sebuah Pengantar
Populer menyatakan bahwa akal budi manusia mendorong untuk mengembangkan hubungan
yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberikan penilai terhadap objek dan
skejadian. Pilihan nilai tersebut yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan

Disamping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya


mempunyai norma, nilai serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya
dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit mofidikasi akibat pengaruh
luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai